Salah satu masalah gizi utama di Indonesia adalah anemia gizi besi (AGB) yang disebabkan
karena kekurangan asupan zat besi dalam bahan pangan yang dikonsumsinya. Dibanding dengan
penyakit anemia yang lain, anemia gizi besi merupakan penyakit kekurangan zat gizi yang paling
lazim terjadi di dunia, termasuk Indonesia. Menurut badan kesehatan dunia (world health
organization/WHO), lebih dari dua milyar penduduk dunia berisiko menderita anemia gizi.
Populasi yang rentan terhadap AGB adalah bayi dan balita, anak usia sekolah, remaja putri dan
wanita dewasa, serta ibu hamil dan ibu menyusui, pekerja berpenghasilan rendah serta orang
lanjut usia.
Anak-anak penderita AGB mengalami gangguan perkembangan fisik dan mental. Wanita hamil
dan bayi yang menderita AGB akan mengalami pengurangan kemampuannya melawan infeksi
secara nyata. AGB pada orang dewasa dapat menyebabkan kelelahan dan berdampak pada
rendahnya produktivitas kerja. Lebih jauh lagi, defisiensi besi (dalam hal simpanan zat besi
dalam tubuh) dapat terjadi tanpa munculnya gejala klinis.
Anemia gizi besi adalah anemi yang timbul karena kekurangan zat besi, sehingga pembentukan
sel darah merah dan fungsi-fungsi yang lain dalam tubuh terganggu. Keadaan ini dapat
disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: (1) makanan yang dikonsumsi tidak cukup
mengandung zat besi; (2) terdapatnya gangguan penyerapan zat gizi; (3) terjadinya peningkatan
kebutuhan, misalnya dalam kondisi hamil, menyusui, serta pertumbuhan; (4) kehilangan darah
ketika menstruasi; dan (5) menderita penyakit infeksi. Permasalahan tersebut dapat ditanggulangi
melalui kegiatan pemberian tablet zat besi, penyuluhan gizi serta melakukan fortifikasi zat besi
ke dalam bahan pangan.
Senyawa besi yang dipilih haruslah berupa jenis zat besi yang tingkat penyerapannya dalam usus
cukup tinggi. Hal tersebut berarti bioavalabilitas relatifnya lebih tinggi dibandingkan dengan fero
sulfat, namun juga tidak menyebabkan penurunan tingkat penerimaan karena adanya perubahan
sifat sensori (rasa, warna, tekstur). Selain itu, aspek biaya juga merupakan faktor lain yang
penting menjadi pertimbangan.
Keberhasilan program fortifikasi dapat diprediksi berdasarkan perkiraan jumlah zat besi ekstra
yang dapat diserap serta efeknya terhadap keseimbangan zat besi tubuh pada kelompok target.
Beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah zat besi ekstra yang dapat diserap adalah: (1)
jumlah zat besi yang dikonsumsi; (2) sifat fisiko-kimia zat besi; (3) interaksi antara zat besi dan
pembawanya selama penyimpanana dan pengolahan; (4) sifat bahan pangan yang mengandung
zat besi berhubungan dengan bioavalabilitasnya; dan (5) status zat besi populasi target. Faktor
utama berhubungan dengan sifat senyawa besi, bahan pangan dan subyeknya.
Zat besi yang dapat digunakan untuk fortifikasi meliputi zat besi yang bersifat larut dan yang
bersifat kurang larut. Zat besi yang bersifat larut antara lain fero sulfat, fero fumarat, fero
glukonat dan feri amonium sitrat, sedangkan yang bersifat kurang larut antara lain feri ortofosfat,
feri pirofosfat dan natrium pirofosfat.
Dalam penggunaannya sebagai fortifikan, harus diperhatikan beberapa sifat kimia zat besi antara
lain: (1) mudah teroksidasi dari bentuk fero menjadi feri sehingga menyebabkan perubahan
warna menjadi kuning, hijau atau kehitaman; (2) mudah bereaksi dengan senyawa fenol, seperti
tanin dan propil galat sehingga menyebabkan warna kehitam-hitaman; (3) dapat bereaksi dengan
belerang membentuk warna hitam; (4) dapat meningkatkan aktivitas enzim oksidatif sehingga
menyebabkan perubahan warna, aroma dan rasa; serta (5) dapat mengkatalisis reaksi oksidatif
pada umumnya.
Terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih senyawa untuk fortifikasi
(fortifikan), antara lain: (1) bioavailabilitas relatif fortifikan, (2) reaktivitas fortifikan yang
mengakibatkan terjadinya diskolorisasi (perubahan warna) atau perubahan bau dan cita rasa yang
tidak diinginkan; (3) stabilitas fortifikan selama penyimpanan dan pengolahan pangan; serta (4)
kompatibitas atau kecocokannya dengan senyawa atau zat gizi lain. Dalam memilih zat besi
sebagai fortifikan, di antara beberapa faktor tersebut yang paling utama harus mendapatkan
perhatian adalah bioavalibilitas relatifnya. Jika dipilih fortifikan dengan bioavalabilitas relatif
kecil, maka untuk mencapai target pemenuhan kebutuhan zat gizi yang diinginkan diperlukan
fortifikan dalam jumlah besar. Besarnya jumlah fortifikan akan berdampak pada tingginya harga
dan kemungkinan timbulnya efek sensori yang tidak diinginkan.
Berbagai macam senyawa besi yang saat ini banyak digunakan sebagai fortifikan bahan pangan
dapat dilihat pada Tabel 1. Senyawa besi tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori
sebagai berikut: larut air; sedikit larut air tetapi larut dalam asam encer; dan tidak larut air dan
kurang larut dalam asam encer. Kombinasi faktor-faktor tersebut tentunya harus menjadi
pertimbangan dalam memilih jenis zat besi yang akan digunakan. Harga bisa saja murah tapi
yang lebih penting apakah tujuan fortifikasi yang dilakukan dapat dicapai.
Fero sulfat merupakan fortifikan yang sering digunakan untuk fortifikasi roti dan tepung terigu.
Senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna sebagai hasil reaksi dengan
senyawa-senyawa yang terkandung dalam bahan pembawanya dan dapat mengkatalisis reaksi
oksidatif sehingga menghasilkan bau dan aroma yang kurang disukai. Fero fumarat banyak
digunakan untuk fortifikasi makanan sapihan yang terbuat dari campuran jagung, kedelai dan
susu. Penyerapan fero fumarat hampir sama dengan fero sulfat jika diberikan dalam bentuk
suplemen, namun jika digunakan untuk fortifikasi penyerapannya akan lebih rendah. Fero
glukonat mudah diserap tetapi harganya relatif mahal dan banyak digunakan untuk fortifikasi
susu dan makanan formula bayi yang terbuat dari kedelai. Feri amonium sitrat digunakan dalam
makanan formula bayi dan tepung terigu. Sedangkan feri ortofosfat dan natrium feri pirofosfat
digunakan untuk fortifikasi serealia, tetapi penggunaan kedua senyawa ini sangat terbatas karena
ketersedian secara biologisnya sangat rendah.
Persyaratan produk
Pada umumnya beberapa faktor perlu dipertimbangkan dalam memilih bahan pembawa atau
kendaraan untuk fortifikasi (carrier). Pertama, bahan pembawa harus merupakan bahan yang
dikonsumsi dalam jumlah yang cukup oleh kelompok target. Bahan pembawa yang ideal adalah
bahan yang dimakan setiap hari dan dalam jumlah konstan oleh kelompok sasaran, dapat
membawa zat gizi dalam jumlah yang ditetapkan serta tersedia di pasaran agar mudah diperoleh,
seperti garam dan terigu. Kedua, bahan pembawa harus diproduksi secara terpusat dan
didistribusikan melalui jalur tertentu agar mudah dimonitor atau dikontrol. Ketiga, bahan
pembawa yang telah difortifikasi seharusnya tetap stabil dan tidak banyak mengalami perubahan
dari aspek sensorinya. Sebagai contoh senyawa fortifikan yang ditambahkan ke terigu tidak akan
merubah sifat pengembangan dan warna produk pada kondisi penyimpanan. Selain itu teknik
penambahan fortifikan ke dalam bahan pembawanya tidak menyebabkan terjadinya reaksi yang
dapat menurunkan tingkat penyerapan dalam tubuh atau bioavalabilitasnya. Keempat, senyawa
fortifikan yang ditambahkan ke dalam bahan pembawa harus tidak berubah selama
penyimpanan. Sebagai contoh, tidak terjadi pengendapan zat besi pada tepung terigu yang
difortifikasi. Kelima, harga bahan pangan yang difortifikasi masih terjangkau oleh kelompok
target.
Di Negara berkembang hanya sedikit bahan pangan yang berasal dari satu pusat produksi dan
distribusi. Selain itu di beberapa negara dibutuhkan program fortifikasi multi gizi, ditambahkan
lebih dari satu jenis zat gizi sekaligus, misalnya fortifikasi zat besi, iodium dan vitamin A. Pada
kondisi tertentu senyawa-senyawa tersebut dapat saling berkompetisi dan berinteraksi. Apabila
digunakan garam sebagai bahan pembawa dan fortifikan zat besi juga dalam bentuk garam, maka
penting dipertahankan agar pH garam tetap rendah. Hal ini untuk mencegah pembentukan
senyawa feri hidroksida yang bersifat tidak larut dan terjadinya perubahan warna yang tidak
dikehendaki. Namun sebaliknya, kondisi pH bahan pembawa seperti itu tidak cocok digunakan
dalam fortifikasi yodium karena yodium akan hilang karena menguap pada pH rendah.
Apabila digunakan Fe-EDTA sebagai pengganti fortifikan dalam bentuk garam, maka tidak
diperlukan kondisi pH rendah dan kondisi ini memungkinkan untuk dilakukan fortifikasi yodium
sekaligus. Hal tersebut menunjukkan bahwa sangat dimungkinkan adanya interaksi diantara
bahan pembawa dan fortifikan, baik pada fortifikasi gizi tunggal maupun multi gizi. Adapun
bahan pembawa yang banyak digunakan untuk fortifikasi zat besi antara lain serealia, garam,
makanan bayi, minuman dan bumbu.
Untuk meningkatkan penyerapan zat besi, fortifikasi dapat dilakukan dengan metode (1)
penambahan senyawa pendorong (enhancers) dan (2) penghilangan atau pengurangan senyawa
inhibitor. Beberapa senyawa dalam bahan pangan dapat meningkatkan penyerapan zat besi,
misalnya vitamin C (asam askorbat) dan Na2EDTA (disodium etilendiamin tetraasetat). Dalam
jumlah yang relatif tinggi (rasio molar asam askorbat:zat besi sama atau lebih besar 2:1), asam
askorbat dapat meningkatkan penyerapan zat besi sebesar dua atau tiga kali lipat. Vitamin C
mampu merubah bentuk zat besi feri menjadi fero yang relatif mudah diserap; zat besi dalam
bentuk kelat terlindungi dari senyawa inhibitor di dalam usus; dan zat besi non-hem dapat
dipertahankan kelarutannya ketika masuk dalam lingkungan alkali usus halus sehingga dapat
menetralkan efek dari senyawa inhibitor. Namun demikian, asam askorbat tidak stabil terhadap
panas dan udara yang berarti membutuhkan teknologi pengemas yang relatif mahal untuk
mempertahankan integritasnya. Teknik enkapsulasi dapat digunakan sebagai alternatif solusinya,
namun pilihan tersebut belum dapat dilaksanakan di negara berkembang karena konsekuensi
terhadap harga produk menjadi cukup mahal.
Selain asam askorbat, Na2EDTA (disodium etilendiamin tetraasetat) dapat secara mudah
mengkelat atau mengikat zat besi yang terlarut dalam lambung dan usus. Na2EDTA
meningkatkan penyerapan zat besi hingga dua atau tiga kali lipat pada bahan pangan yang
mengandung senyawa inhibitor dalam jumlah tinggi, dengan catatan zat besi barasal dari sumber
yang mudah larut dalam air (misalnya fero sulfat).
Pada bahan pangan yang rendah kandungan senyawa inhibitornya, efek Na2EDTA sebagai
faktor pendorong penyerapan zat besi kurang nyata dibandingkan dengan bahan pangan banyak
mengandung senyawa inhibitor. Pada tepung biji-bijian, penambahan Na2EDTA merupakan
pilihan yang tepat. Na2EDTA merupakan senyawa yang tahan panas dan sering digunakan
sebagai bahan tambahan pangan untuk mencegah ketengikan dan pengawet bahan pangan.
Namun demikian senyawa tersebut kemungkinan dapat mempengaruhi sifat fisik bahan
pembawanya dan jumlah yang dapat ditambahkan ke dalam bahan pangan terbatas.
Pada umumnya bioavalabilitas zat besi dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: (1)
komponen dalam bahan pangan yang secara kimia dapat mengikat mineral, misalnya oksalat
dalam sayur bayam; (2) bentuk kimia mineral, misalnya besi sulfat lebih tersedia dibandingkan
elemen besi; (3) interaksi dengan mineral yang lain, misalnya tingginya seng akan menurunkan
penyerapan zat besi dan tembaga; (4) adanya vitamin akan meningkatkan bioavalabilitas zat besi,
misalnya vitamin C meningkatkan penyerapan zat besi, vitamin D meningkatkan penyerapan
kalsium, fosfor dan magnesium; dan (5) mineral yang berasal dari bahan hewani lebih baik
diserap dibandingkan dengan yang berasal dari bahan nabati, misalnya tanaman banyak
mengandung senyawa fitat.
Adanya interaksi zat besi dengan beberapa senyawa dalam bahan pembawa seperti tanin, oksalat
dan sebagainya dapat disiasati dengan menambahkan senyawa kalsium ke dalam bahan
pembawa sebelum difortifikasi dengan zat besi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penambahan CaCl2.2H2O, Ca(OH)2 dan CaCO3 ke dalam bumbu mi instan sebelum fortifikasi
dengan zat besi dapat meningkatkan ketersediaannya berturut-turut sebesar 9, 2 dan 4 kali.
Penambahan kalsium tersebut dilaporkan tidak menyebabkan perubahan tingkat penerimaan
panelis.
Referensi