0%(1)0% menganggap dokumen ini bermanfaat (1 suara)
236 tayangan26 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang fortifikasi mineral, khususnya fortifikasi iodium, besi, dan zinc. Tiga masalah gizi mikro utama di Indonesia adalah gangguan akibat kekurangan iodium, anemia zat besi, dan kekurangan vitamin A, yang dapat dicegah melalui fortifikasi pangan secara jangka panjang. Dokumen ini juga membahas proses dan pertimbangan dalam melakukan fortifikasi pada berbagai jenis pangan."
Dokumen tersebut membahas tentang fortifikasi mineral, khususnya fortifikasi iodium, besi, dan zinc. Tiga masalah gizi mikro utama di Indonesia adalah gangguan akibat kekurangan iodium, anemia zat besi, dan kekurangan vitamin A, yang dapat dicegah melalui fortifikasi pangan secara jangka panjang. Dokumen ini juga membahas proses dan pertimbangan dalam melakukan fortifikasi pada berbagai jenis pangan."
Dokumen tersebut membahas tentang fortifikasi mineral, khususnya fortifikasi iodium, besi, dan zinc. Tiga masalah gizi mikro utama di Indonesia adalah gangguan akibat kekurangan iodium, anemia zat besi, dan kekurangan vitamin A, yang dapat dicegah melalui fortifikasi pangan secara jangka panjang. Dokumen ini juga membahas proses dan pertimbangan dalam melakukan fortifikasi pada berbagai jenis pangan."
YULIA FITRI DEFENISI MINERAL 3 masalah malnutrisi Gizi mikro di Indonesia : 1. Gangguan akibat kekurangan iodium 2. Anemia zat besi 3. Kekurangan vitamin A
Salah satu cara menangani permasalahan di atas adalah
dengan fortifikasi. Fortifikasi pangan umumnya digunakan untuk mengatasi masalah gizi mikro pada jangka menengah dan panjang. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi populasi atau masyarakat. faktor penting dalam pemilihan fortifikan (a)fortifikan tidak mempengaruhi produk akhir, dalam hal sifat sensoris, (b)tidak bereaksi dengan bahan- bahan lain, (c)tidak mengganggu selama proses, (d)fesibel secara ekonomi, dan (e)masih tersedia setelah proses selesai Fortifikasi Iodium Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi geologis yang irreversiber itu sebabnya, penganekaragaman makanan dengan menggunakan pangan yang tumbuh di daerah dengan tipe tanah dengan menggunakan pangan yang sama tidak dapat meningkatkan asupan Yodium oleh individu ataupun komunitas. Diantara strategi untuk penghampusan GAKI, pendekatan jangka panjang adalah fortifikasi pangan dengan Yodium. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KID3). Iodat lebih stabil dalam 'impure salt' pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembaban) yang buruk penambahan tidak menambah warna, penambahan dan rasa garam.
proses pengolahan makanan yang lama cenderung
menyebabkan banyak kehilangan iodium. Iodium adalah padatan berkilauan berwarna hitam kebiru-biruan, menguap pada suhu kamar. Ketidakstabilan iodium disebabkan oleh penguapan I2, reaksi I2 dengan karet, gabus, dan bahan organik lain yang mungkin masuk dalam larutan lewat debu dan asap, oksidasi oleh udara pada pH rendah, oksidasi ini dipercepat oleh cahaya dan panas Kinetika (perubahan) kemunduran mutu, sangat penting baik dalam pengolahan maupun distribusi pangan. Hilangnya kandungan iodium pada saat pemasakan ini berkisar antara 36,6% sampai 86,1% Sampai tahun 60an, beberapa cara suplementasi yodium dalam diet yang telah diusulkan berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti, susu, gula, dan air telah dicoba Iodisasi garam menjadi metode yang paling umum yang diterima di kebanyakan negara di dunia sebab garam digunakan secara luas dan serangan oleh seluruh lapisan masyarakat. Prosesnya adalah sederhana dan tidak mahal. fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KID3). Iodat lebih stabil dalam 'impure salt' pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembaban) yang buruk penambahan tidak menambah warna, penambahan dan rasa garam. FORTIFIKASI BESI
Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan
untuk perbaikan anemi gizi besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti merupakan strategi termurah untuk memulai, mempertahankan, mencapai/mencakup jumlah populasi yang terbesar, dan menjamin pendekatan jangka panjang. Fortifikasi Zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan. Inilah keuntungan pokok dalam hal keterterimaannya oleh konsumen dan pemasaran produk-produk yang diperkaya dengan besi. fortifikan besi yang dipilih harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (a). cukup baik diserap tetapi tidak menyebabkan perubahan sensoris pangan pembawa, (b). mampu menanggulangi inhibitor pada pangan seperti asam pitat, phenol dan calcium. Bentuk fe sebaiknya tidak dalam bentuk larutan karena akan menimbulkan problem jika ditambahkan pada tepung cereal, sebagai contoh sering menyebabkan ketengikan, dan di dalam garam dengan cepat mengakibatkan perubahan warna. Fe dalam bentuk non larutan seperti besi powder akan lebih baik, tidak menyebabkan perubahan sensoris tetapi absorbsinya rendah sekali. Upaya mengatasi kendala tersebut, telah dilakukan penelitian peningkatan status gizi pada populasi target mencakup formula bayi, cereal bayi, gula dan saus ikan. Hasilnya cukup baik, dengan penambahan sebuah enhancer, (asam ascorbat atau EDTA) mampu mengatasi inhibitor sehingga meningkatkan absorbsi besi. Beberapa fortifikan besi yang dapat digunakan: a. Ferro sulfate. Jenis ini sering dianggap paling dengan ukuran partikel kecil sebagai bahan kering. Ukuran partikel besar menyebabkan problem spot. Konsentrasi ferro sulfat yang bisa diberikan < 40 ppm. Hasil penelitian Purnomo (2002), menunjukkan ferro sulfat menimbulkan efek warna gelap dan rasa pahit pada mie yang dimasak. b. Elemental Iron. Jenis ini hanya mengandung sepertiga kandungan besi dalam fero sulfat, dan ketersediaanya hanya setengahnya. Berdasarkan uji organoleptik pada roti dan mie dapat diterima baik pada level 40 dan 60 ppm. Pada penelitian di Jordan, fortifikasi tepung dengan 30 ppm elemental iron sebagai ferro sulfat meningkatkan absorbsi besi. Namun demikian penambahan besi sebagai fero sulfat menghasilkan roti dengan skor falvor dan warna lebih rendah. Penetapan target penerima fortifikasi zat besi, yaitu mereka yang rentan defisiensi zat besi, merupakan strategi yang aman dan efektif untuk mengatasi masalah anemi besi Pilihan pendekatan ditentukan oleh prevalensi dan beratnya kekurangan zat besi (INAAG, 1977). Tahapan kritis dalam perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa besi yang dapat diterima dan dapat diserap. Harus diperhatikan bahwa wanita hamil membutuhkan zat besi sangat besar selama akhir trimester kedua kehamilan. Terdapat beberapa Fortifikan yang umum digunakan untuk fortifikasi besi seperti besi sulfat besi glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lain- lain. Fortifikasi Zink Fungsi zinc pada tingkat seluler dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu sebagai : 1) fungsi katalitik, terdiri dari hampir sekitar 100 macam enzim yang berbeda tergantung pada zinc untuk aktivitasnya, 2) fungsi struktural, zinc berperan penting dalam kestabilan struktur protein enzim dan membran sel, 3) fungsi regulasi, zinc finger protein meregulasi ekspresi gen dengan bertindak sebagai faktor transkripsi (berikatan dengan DNA dan mempengaruhi transkripsi gen spesifik). Selain itu, zinc juga berperan dalam cell signaling dan mempengaruhi pelepasan hormon serta transmisi impuls syaraf. Peranan zinc dalam gizi manusia belum lama dikukuhkan dan defisiensi zinc pertama kali ditemukan pada tahun 1961 di Timur Tengah. Setelah itu, diketahui bahwa ternyata defisiensi zinc merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang. Di Indonesia, belum diperoleh data lengkap mengenai masalah defisiensi zinc. Akan tetapi beberapa peneliti menyebutkan bahwa apabila di suatu masyarakat prevalensi defisiensi zat besi (Fe) tinggi, biasanya pada masyarakat tersebut prevalensi defisiensi zinc juga tinggi. Untuk diketahui, defisiensi zat besi (anemia kurang besi, AKB) merupakan salah satu masalah gizi kurang di Indonesia, dengan rata- rata prevalensi sebesar 48,86 %. Hasil sementara penelitian Puslitbang Gizi dan Direktorat Gizi pada tahun 2006 di tujuh provinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi defisiensi zinc berkisar antara 7,96 sampai 44,74 %.
Defisiensi zinc akan terjadi bila: asupan zinc tidak cukup, penyerapan zinc oleh usus terganggu, tingginya kehilangan zinc dari tubuh, dan kebutuhan tubuh akan zinc meningkat (misalnya pada anak-anak, ibu hamil dan ibu menyusui). Bahan pangan sumber zinc terbaik adalah: tiram (sumber terkaya), daging merah, unggas, keju, udang, kepiting dan kerang-kerangan. Sumber zinc yang baik lainnya termasuk: susu dan produk olahan susu, kacang-kacangan, biji- bijian, brewers yeast dan jamur. empat faktor penting yang harus diperhatikan oleh industri dalam melaksanakan fortifikasi zinc pada bahan pangan 1. Penetapan fortifikan (senyawa zinc yang akan difortifikasikan). Dalam pemilihan ini harus diperhitungkan hal-hal sebagai berikut: bioavailabilitas zinc, harga (biaya), perubahan warna yang mungkin terjadi, kelarutan, ukuran partikel, dan ketersediaan suplai senyawa zinc tersebut. 2. proses pengolahan yang mungkin akan mempengaruhi bentuk dan bioavailabilitas senyawa zinc, serta bentuk produk yang akan dihasilkan, dalam hal ini termasuk pengolahan menggunakan panas (sterilisasi, pasteurisasi, spray-drying, evaporasi-kondensasi), freeze- drying, instanisasi, dan cara pencampuran senyawa zinc (dispersibilitas). 3. stabilitas produk, dalam hal ini termasuk jenis bahan pengemas yang akan digunakan, kondisi lingkungan tempat penyimpanan produk, umur simpan yang diharapkan, serta interaksi dengan flavor lain. 4. grup konsumen yang merupakan sasaran, dalam hal ini harus diperhitungkan: ukuran (serving size), frekuensi konsumsi, level fortifikasi, serta pelabelan (memenuhi peraturan yang berlaku). Langkah-langkah dalam fortifikasi Zink : 1. menentukan pangan pembawa. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah bahwa pangan tersebut harus diproduksi secara terpusat (untuk memudahkan kontrol), serta dikonsumsi secara merata oleh semua golongan masyarakat (terutama masyarakat sasaran) dalam jumlah yang cukup. Di negara-negara lain pangan pembawa yang sudah digunakan antara lain tepung terigu, demikian pula nampaknya untuk Indonesia meskipun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan bahan pangan lain. Di Meksiko misalnya digunakan tepung serealia (tepung jagung) sebagai pangan pembawa untuk program fortifikasi zinc. 2. menetapkan senyawa zinc yang akan difortifikasikan pada pangan pembawa. Terdapat lima senyawa zinc dengan kategori generally recognized as safe (GRAS) menurut US- FDA yang dapat difortifikasikan pada bahan pangan, yaitu zinc klorida, zinc glukonat, zinc oksida, zinc stearat dan zinc sulfat. Langkah-langkah fortifikasi Zink 3. menetapkan dosis fortifikasi atau jumlah senyawa zinc yang akan ditambahkan pada pangan pembawa. Untuk itu diperlukan antara lain data mengenai angka kecukupan gizi (AKG) untuk zinc, karena pada umumnya dosis fortifikasi harus dapat memenuhi sekitar sepertiga sampai setengah AKG. Dosis ini penting untuk diperhatikan mengingat konsumsi zinc yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan. Konsumsi zinc dosis tinggi dapat menghambat pembentukan sel darah dan menekan sistem imun. Selain itu, zinc dosis tinggi juga dapat menurunkan kadar HDL dan meningkatkan kadar LDL dalam darah. Hal ini disebabkan terjadinya defisiensi Cu sebagai akibat penggunaan zinc dalam jangka panjang. Telah dibuktikan bahwa konsumsi zinc dalam jumlah tinggi (> 50 mg per hari) dalam waktu mingguan dapat mempengaruhi bioavaibilitas Cu. Untuk menghindarkan defisiensi Cu dan mencegah menurunnya kadar HDL, sebaiknya fortifikasi dilakukan menggunakan kedua macam mineral tersebut dengan rasio Zn : Cu = 2 : 1. FORTIFIKASI KALSIUM Sebagian besar (99%) kalsium di dalam tubuh terdapat pada jaringan keras seperti tulang dan gigi, dan sisanya tersebar dalam berbagai macam jaringan tubuh. Fungsi kalsium bagi tubuh selain untuk pembentukan tulang dan gigi, juga penting untuk pertumbuhan, pembekuan darah dan sebagai katalis reaksi biologis. Matriks tulang terbentuk dari kolagen dan karbohidrat, yang merupakan sepertiga bagian tulang. Kepada matriks tersebut ditempelkan kalsium (prosesnya disebut kalsifikasi atau osifikasi) dalam bentuk kristal Ca-fosfat dan Ca-hidroksida (hidroksipatit). Kalsium yang telah digunakan untuk fortifikasi sangat banyak ragamnya yang terdiri dari garam kalsium organik maupun anorganik Pemilihan jenis garam kalsium yang digunakan tergantung pada beberapa macam faktor, seperti kelarutan dalam air, kadar kalsium, rasa dan bioavailabilitas (seberapa banyak Ca dapat diserap oleh usus). Harga (ekonomi) juga merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan. Bila produk yang akan difortifikasi dengan kalsium berupa cairan (minuman) atau nantinya pada saat dikonsumsi berupa cairan (minuman), maka sifat kelarutan dalam air dan kestabilannya dalam larutan, merupakan faktor utama yang harus diperhatikan. Terdapat bebersifat kelarutan yang baikapa macam garam kalsium yang mempunyai, misalnya Ca-glukonat, Ca-laktat dan Ca-laktat-glukonat; akan tetapi garam-garam tersebut mempunyai kadar kalsium yang rendah Sebaliknya, garam kalsium yang mempunyai kadar kalsium yang tinggi, seperti Ca-karbonat dan Ca-fosfat, kelarutannya dalam air sangat rendah, sehingga jarang digunakan untuk fortifikasi minuman. kalsium-sitrat memberikan kombinasi yang baik: bentuk yang paling banyak digunakan adalah bentuk tetrahidrat (4H2O), dengan kadar kalsium yang cukup tinggi (21 %) dan kelarutan yang moderat (0,9 g/l). Sifat kelarutan garam kalsium dalam air sangat dipengaruhi oleh pH (keasaman) larutan, di mana kelarutan garam kalsium akan meningkat dengan meningkatnya keasaman (menurunnya pH). Trikalsium-sitrat menunjukkan kelarutan yang lebih baik pada pH lebih rendah dari 4,5; Berbeda dengan garam kalsium lain, trikalsium-sitrat lebih mudah larut pada suhu rendah. Kalsium-laktat yang tersedia dalam bentuk pentahidrat (5H2O), mengandung 13 % kalsium. Garam kalsium ini mempunyai sifat kelarutan dalam air yang tinggi (9,3 g/l), sehingga paling banyak digunakan dalam industri minuman. Berhubung kadar kalsium- nya yang relatif rendah, banyak industri pangan yang menambahkan kalsium-laktat dalam jumlah tinggi ke dalam produknya, dengan tujuan untuk mencapai konsentrasi yang diperlukan agar dapat menampilkan klaim gizi untuk kalsium. Penambahan kalsium laktat dalam jumlah tinggi dapat menyebabkan makin banyaknya ion-ion kalsium bebas yang terdapat dalam larutan. Ion kalsium bebas tersebut mudah bereaksi dengan senyawa-senyawa lain, misalnya protein bebas, tartrat atau fosfat, membentuk senyawa yang tidak larut. Walaupun kalsium-glukonat dapat stabil dalam larutan, namun karena kadar kalsiumnya rendah, tidak banyak industri pangan yang menggunakannya sebagai fortifikan kalsium. Tetapi karena sifatnya yang memberikan rasa netral dan mudah larut dalam air serta kadar airnya rendah, kalsium glukonat kadang-kadang digunakan untuk fortifikasi serbuk minuman, karena dengan cara ini dapat mensuplai kalsium dalam jumlah cukup tinggi per sajian. Keefektifan kalsium sebagai fortifikan tergantung pada bioavailabilitasnya, yang berarti seberapa banyak kalsium yang dapat diserap oleh usus dan digunakan oleh tubuh. Seperti telah diutarakan sebelumnya, secara rata-rata hanya sekitar 10 30 % kalsium yang dapat diserap oleh usus orang dewasa sehat. Beberapa macam faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, diantaranya jenis garam kalsium yang digunakan untuk fortifikasi.