Anda di halaman 1dari 86

STUDI POTENSI INTERAKSI OBAT PADA TERAPI PASIEN

STROKE ISKEMIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSU KOTA


TANGERANG SELATAN TAHUN 2018

NAMA: LAELATUL FITRIANI


NPM: 17334717

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
JULI 2019
STUDI POTENSI INTERAKSI OBAT PADA TERAPI PASIEN
STROKE ISKEMIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSU KOTA
TANGERANG SELATAN TAHUN 2018

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Farmasi

NAMA: LAELATUL FITRIANI


NPM : 17334717

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
AGUSTUS 2019
ii
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan ridho-Nya, saya
dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Program Studi Farmasi pada
Fakultas Farmasi Institut Sains Dan Teknologi Nasional. Penulis menyadari
bahwa skripsi ini tidak terwujud tanpa adanya bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini,
penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Dra. Lili Musnelina, M.si., Apt., selaku rektor Institut Sains Dan
Teknologi Nasional;
2. Dr. Refdanita, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Institut Sains
Dan Teknologi Nasional.
3. Jenny Pontoan, M.Farm., Apt., selaku Kaprodi Farmasi Institut Sains Dan
Teknologi Nasional.
4. dr. Allin Hendalin Mahdaniar, selaku Direktur RSU Kota Tangerang Selatan
beserta pihak terkait yang telah banyak membantu dalam memperoleh data
yang saya perlukan;
5. Fathin Hamida, M.Si., selaku Pembimbing Akademik penulis selama proses
perkuliahan di Institut Sains Dan Teknologi Nasional;
6. Fransisca Dhani Kurniasih. M. Farm., Apt., dan Okpri Meila, M. Farm.,
Apt., selaku Pembimbing Tugas Akhir penulis, yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan
skripsi ini;
7. Orang tua saya (Drs. Arsudin dan Dra. Dedeh Setiamanah) dan keluarga
saya atas kasih sayangnya yang tak pernah berhenti mendoakan dan
memberikan support; dan
8. Sahabat TIM KBS serta keluarga besar Farmasi RSU Tangsel atas segala
kebersamaan, bantuan, dorongan serta doa yang dicurahkan kepada saya
dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi pengembangan ilmu


pengetahuan. Segala kritik dan saran yang dapat membangun selalu diharapkan
penulis.

Jakarta, 12 Juli 2019

Penulis,

Laelatul Fitriani

iii
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
ABSTRAK

Nama : Laelatul Fitriani


Program Studi : Farmasi
Judul : Studi Potensi Interaksi Obat pada Terapi Pasien Stroke
Iskemik di Instalasi Rawat Inap RSU Kota Tangerang
Selatan Tahun 2018.

Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang terjadi secara tiba-tiba dan


menyebabkan kerusakan neurologis. Prevalensi penyakit stroke terus meningkat
seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup masyarakat. Selain itu, kasus
stroke cenderung mengalami peningkatan baik dalam hal kematian, kejadian,
maupun kecacatan. Faktor resiko yang dapat menyebabkan stroke diantaranya
peningkatan usia, jenis kelamin, serta komplikasi penyakit antara hipertensi,
diabetes melitus, dan dislipidemia. Semakin banyaknya jenis terapi yang
digunakan guna meningkatkan kualitas serta mempertahankan hidup pasien, dapat
juga memicu munculnya hal-hal yang tidak dapat dielakkan yaitu kemungkinan
terjadinya interaksi obat.

Interaksi obat yang terjadi dapat mempengaruhi outcome klinis pasien, dan
dianggap penting secara klinik bila meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi
efektivitas obat yang berinteraksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran interaksi obat yang terjadi pada pasien stroke iskemik di rawat inap
RSU Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini menggunakan rancangan analisis
deskriptif dengan metode retrospektif.

Identifikasi dilakukan terhadap 835 terapi obat dari 102 pasien stroke iskemik.
Berdasarkan hasil penelitian jenis interaksi obat berdasarkan mekanismenya
menunjukkan interaksi farmakokinetik (36,80%), interaksi farmakodinamik
(57,57%), belum diketahui (5,34%), dan tidak ditemukan interaksi farmasetika.
Berdasarkan tingkat keparahannya, interaksi Mayor (10,09%), interaksi Moderate
(70,03%), dan interaksi Minor (19,88%). Potensi interaksi obat berdasarkan
literatur paling banyak ditemukan antara diltiazem dengan aspirin sebanyak 32
kasus (9,5%) dengan kategori moderat.

Kata kunci: Stroke Iskemik, Interaksi obat, Mekanisme Interaksi obat, Tingkat
Keparahan Interaksi obat.

iv
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
ABSTRACT

Nama : Laelatul Fitriani


Program Studi : Pharmacy
Judul : Potential Study of Drug Interaction in Therapy of
Ischemic Stroke Patients in Inpatient Installation of RSU
Kota Tangerang Selatan in 2018.

Stroke is a cerebrovascular disease that occurs suddenly and causes neurological


damage. The prevalence of stroke continues to increase along with the increasing
life expectancy of the community. In addition, stroke cases tend to increase both
in terms of death, incidence, and disability. Risk factors that can cause strokes
include increasing age, sex, and disease complications between hypertension,
diabetes mellitus, and dyslipidemia. The increasing number of types of therapy
used to improve the quality and maintain the life of patients, can also trigger the
emergence of things that can not be avoided, namely the possibility of drug
interactions.

Drug interactions that occur can affect a patient's clinical outcome, and are
considered clinically important if they increase toxicity and or reduce the
effectiveness of interacting drugs. This study aims to describe the drug
interactions that occur in ischemic stroke patients hospitalized in the South
Tangerang City Hospital. This study used a descriptive analysis design with a
retrospective method.

Identification was carried out on 835 drug therapies from 102 ischemic stroke
patients. Based on the results of the research the type of drug interaction based on
the mechanism showed pharmacokinetic interactions (36.80%), pharmacodynamic
interactions (57.57%), unknown (5.34%), and no pharmaceutical interactions were
found. Based on the severity, interaction of Major (10.09%), interaction of
Moderate (70.03%), and Minor interaction (19.88%). The most potential drug
interaction based on literature is found between diltiazem and aspirin in 32 cases
(9.5%) with moderate categories.

Keywords: Ischemic Stroke, Drug Interaction, Drug Interaction Mechanism,


Severity of Drug Interaction.

v
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii


ABSTRAK ............................................................................................................ iv
ABSTRACT ........................................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix
DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 5
2.1 Stroke............................................................................................................. 5
2.1.1 Klasifikasi Stroke.................................................................................... 6
2.1.2 Patofosiologi Stroke................................................................................ 7
2.1.3 Diagnosis Stroke ..................................................................................... 9
2.1.4 Pemeriksaan Stroke............................................................................... 10
2.1.5 Faktor Resiko Stroke ............................................................................ 10
2.1.6 Komplikasi Penyakit Stroke ................................................................. 16
2.2 Terapi Farmakologi Stroke .......................................................................... 19
2.2.1 Penatalaksanaan Stroke Iskemik ........................................................... 19
2.2.2 Farmakoterapi Pada Stroke Iskemik ..................................................... 24
2.2.3 Farmakoterapi Pada Stroke Hemorogik ................................................ 28
2.3 Interaksi Obat .............................................................................................. 28
2.3.1 Mekanisme Interaksi Obat .................................................................... 29
2.3.2 Tingkat Keparahan Interaksi Obat ........................................................ 33
2.4 Kerangka Teori ............................................................................................ 35
vi
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
BAB 3 METODE PENELITIAN ...................................................................... 36
3.1 Desain Penelitian ......................................................................................... 36
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................................... 36
3.2.1 Tempat Penelitian ................................................................................. 36
3.2.2 Waktu Penelitian ................................................................................... 36
3.3 Populasi dan Sampel ................................................................................... 36
3.3.1 Populasi................................................................................................. 36
3.3.2 Sampel .................................................................................................. 36
3.4 Teknik Pengambilan Sampel ....................................................................... 37
3.5 Prosedur Penelitian ...................................................................................... 38
3.6 Variabel Penelitian ...................................................................................... 39
3.6.1 Variabel bebas....................................................................................... 39
3.6.2 Variabel terikat ..................................................................................... 39
3.7 Kerangka Konsep ........................................................................................ 39
3.8 Definisi Operasional .................................................................................... 40
3.9 Analisis Data ............................................................................................... 41
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 42
4.1 Data Demografi Pasien ................................................................................ 42
4.1.1 Distribusi Pasien Stroke Iskemik Berdasarkan Jenis Kelamin ............. 42
4.1.2 Distribusi Pasien Stroke Iskemik Berdasarkan Usia............................. 43
4.1.3 Lama Rawat Inap dan Keterangan Keluar Rumah Sakit ...................... 44
4.2 Gambaran Penggunaan Obat ....................................................................... 46
4.3 Gambaran Interaksi Obat Potensial ............................................................. 52
4.4 Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 59
BAB 5 PENUTUP............................................................................................... 60
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 60
5.2 Saran ............................................................................................................ 60
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 61
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... 65

vii
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Diagnosis Stroke ..................................................................................... 9


Tabel 4.1 Jumlah pasien stroke iskemik berdasarkan usia di IRNA RSU Kota
Tangerang Selatan tahun 2018..............................................................44
Tabel 4.2 Profil penggunaan obat pada pasien stroke iskemik di Instalasi Rawat
Inap RSU Kota Tangerang Selatan 2018. ............................................. 46
Tabel 4.3 Angka Kejadian Interaksi Obat yang Potensial di IRNA RSU Kota
Tangerang Selatan tahun 2018. ............................................................ 52
Tabel 4.4 Potensi interaksi obat berdasarkan mekanismenya di IRNA RSU Kota
Tangerang Selatan tahun 2018. ............................................................ 53
Tabel 4.5 Potensi interaksi obat berdasarkan tingkat keparahannya di IRNA RSU
Kota Tangerang Selatan tahun 2018. .................................................... 55

viii
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Stroke dan penyebabnya (sumber: google.com) ................................. 5


Gambar 2.2 Patofiologi Stroke (sumber: google.com) ........................................... 7
Gambar 2.3 Diagram Penatalaksanaan Stoke Iskemik Akut (Mestre, 2013) ........ 23
Gambar 2.4 Kerangka Teori .................................................................................. 35
Gambar 3.1 Kerangka Konsep...............................................................................39
Gambar 4.1 Persentase jumlah pasien stroke iskemik berdasarkan jenis kelamin
di IRNA RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018.........................42
Gambar 4.2 Grafik lama rawat inap pasien stroke iskemik di IRNA RSU Kota
Tangerang Selatan tahun 2018. ........................................................ 45
Gambar 4.3 Diagram keterangan keluar rumah sakit pasien stroke iskemik di
IRNA RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018. .......................... 46
Gambar 4.4 Daftar 10 besar obat yang paling sering diresepkan pada pasien
stroke iskemik RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018. .............. 50

ix
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
DAFTAR SINGKATAN

ACEI = Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor


AHA = American Heart Association
ARB = Angiotensin II Receptor Blocker
ASA = American Stroke Association
CBF = Cerebral Blood Flow
CCB = Calsium Chanel Blocker
CPB = Central Periodic Breathing
CSA = Central Sleep Apnea
CVST = Cerebral venous sinus thrombosis
DVT = Deep Vein Thrombosis
Depkes RI = Departemen Kesehatan RI
DRP‟s = Drug Related Problems
GDPO = Gangguan Peredaran Darah Otak
IPD = Instalasi Penyakit Dalam
IRNA = Instalasi Rawat Inap
LMWH = Lower Molecular Weight Heparin
Nakes = Tenaga Kesehatan
NINDS III = The National Institute of Neurological Disorders Stroke
Part III trial
PCNE = Pharmaceutical Care Network Europe
PERDOSSI = Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia
PIS = Perdarahan Intraserebral
PPI = Proton Pump Inhibitor
PSA = Perdarahan Subarakhnoid
RIND = Reversible Ischemic Neurological Deficit
RISKESDAS = Riset Kesehatan Dasar
RS PON = Rumah Sakit Pusat Otak Nasional
rtPA = Recombinant Tissue Plasminogen Activator
SCU = Stroke Care Unit
SH = Stroke Hemoragik
SNH = Stroke Non Hemoragik
SPARCL = Stroke Prevention by Aggresive Reduction in Cholesterol
Level
TIA = Trans Ischemic Attack
UFH = Unfractionated Heparin
UTI = Urinary Tract Infection
WHO = World Health Organization

x
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Surat Permohonan Izin Pengambilan Data/Penelitian ...................... 65


Lampiran 2: Surat Balasan Izin Pengambilan Data .............................................. 66
Lampiran 3: Surat Balasan Izin Penelitian ............................................................ 67
Lampiran 4: Surat Keterangan Selesai Penelitian ................................................. 68
Lampiran 5: Beberapa Sampel Data Pasien .......................................................... 69
Lampiran 6: Potensi interaksi obat berdasarkan mekanismenya di IRNA RSU
Kota Tangerang Selatan tahun 2018. ................................................. 71

xi
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang terjadi secara tiba-tiba
dan menyebabkan kerusakan neurologis. Penyakit stroke menjadi 10 penyakit
dengan prevalensi terbesar untuk kategori penyakit tidak menular seiring dengan
meningkatnya usia harapan hidup (RISKESDAS, 2013). Stroke atau yang dikenal
juga dengan istilah Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO), merupakan suatu
sindrom yang diakibatkan oleh adanya gangguan aliran darah pada salah satu
bagian otak yang menimbulkan gangguan fungsional otak berupa defisit
neurologik atau kelumpuhan saraf (Basjirudin, 2008).
Data di Indonesia menunjukkan, jumlah penderita penyakit stroke di
Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (Nakes)
diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang (7,0‰), sedangkan berdasarkan diagnosis
Nakes/gejala diperkirakan sebanyak 2.137.941 orang (12,1‰) (Kemenkes RI,
2014). Prevalensi penyakit stroke terus meningkat seiring dengan meningkatnya
usia harapan hidup masyarakat. Selain itu, kasus stroke cenderung mengalami
peningkatan baik dalam hal kematian, kejadian, maupun kecacatan. Angka
kematian berdasarkan umur adalah: sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun) dan 26,8%
(umur 55-64 tahun) dan 23,5% (umur 65 tahun). Kejadian stroke (insiden) sebesar
51,6/100.000 penduduk dan kecacatan;1,6% tidak berubah; 4,3% semakin
memberat (PERDOSSI, 2011). Di pusat–pusat pelayanan neurologi Indonesia
jumlah penderita gangguan peredaran darah otak selalu menempati urutan pertama
dari seluruh penderita rawat inap (Harsono, 2007).
Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan stroke diantaranya
peningkatan usia, jenis kelamin, serta komplikasi penyakit antara hipertensi,
diabetes melitus, dan dislipidemia (Dinata, et all., 2013). Pasien stroke biasanya
mengalami komplikasi penyakit lain sehingga membutuhkan berbagai macam
obat dalam terapinya. Semakin banyaknya jenis terapi yang digunakan guna
meningkatkan kualitas serta mempertahankan hidup pasien, dapat juga memicu

1
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
2

munculnya hal-hal yang tidak dapat dielakkan yaitu kemungkinan terjadinya hasil
pengobatan yang tidak sesuai dengan harapan (Nurhaini et all., 2017).
Ketidaksesuaian ini dapat dikarenakan munculnya Drug Related Problems
(DRPs) pada terapi yang diberikan (Pharmaceutical Care Network Europe, 2018).
Berdasarkan Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) (2018),
klasifikasi DRPs dibagi menjadi 3 pokok masalah yaitu efektifitas pengobatan,
keamanan pengobatan dan lainnya seperti biaya dan obat yang tidak dibutuhkan.
Kategori DRPs terbagi menjadi beberapa sub domain, beberapa diantaranya
meliputi terapi tanpa indikasi yang sesuai, ada indikasi tidak diterapi, obat salah,
interaksi obat, over dosis, dosis kurang, muncul efek samping obat dan kegagalan
dalam menerima obat. Dari hasil penelitian di RS X Yogyakarta, frekuensi
kejadian DRPs adalah 99 kasus (93,4%) dan tidak terjadi DRPs 7 kasus (6,6%)
meliputi: kejadian DRPs yang muncul pada ketidaktepaan dosis sebesar 13,2%,
indikasi tanpa terapi 75,5%, obat tanpa indikasi 66%, ketidaktepatan obat sebesar
66% dan ketidakpatuhan tenaga professional 93,4% (Nurhaini et all., 2017).
Selain itu juga, pada penelitian yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan,
terdapat 21 pasien (84%) mengalami DRPs dan jenis DRP yang paling banyak
terjadi adalah interaksi obat yaitu sebanyak 39 kasus (75%) (Ulfa, 2017).
Banyaknya obat yang dikonsumsi oleh pasien penderita stroke akan meningkatkan
probabilitas terjadinya interaksi obat (Nurhaini, et all., 2017).
Studi serupa yang dilakukan di Stroke Care unit (SCU) Rumah Sakit Pusat
Otak Nasional Jakarta menunjukan pasien dengan stroke hemoragik sebanyak
52.5% dan stroke iskemik 47.5%, serta angka kejadian potensi interaksi pada
pasien stroke di SCU masih sangat tinggi, yaitu 86.25%. Berdasarkan tingkat
keparahannya potensi interaksi obat yang muncul adalah interaksi Mayor (21.9%),
interaksi Moderate (57.9%), dan interaksi Minor (20.2%) (Safira, 2019).
Identifikasi DRPs terkait interaksi obat pada pengobatan pasien stroke penting
dalam rangka mengurangi morbiditas, mortalitas, dan biaya terapi obat. Untuk itu,
perlu dilakukan studi penelitian untuk mengetahui gambaran potensi interaksi obat
pada pasien stroke rawat inap yang dapat memberikan petunjuk kemungkinan
terjadinya Drug Related Problems, sehingga kejadian Drug Related Problems

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


3

terkait interaksi obat dapat dicegah dan kerugiannya dapat dielakkan oleh pihak
Rumah Sakit maupun Pasien.
Di Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan, pasien dengan diagnosa
stroke masuk dalam daftar 10 penyakit terbanyak yang diderita pasien, serta terapi
obat yang diberikan terhadap pasien-pun banyak karena banyaknya komplikasi
penyakit yang diderita. Berdasarkan keputusan Kemenkes RI No.
HK.02.03/I/1319/2015, RSU Kota Tangerang Selatan ditetapkan sebagai Rumah
Sakit tipe C, yang merupakan Rumah Sakit pilihan utama sebagai rujukan pertama
dari Puskesmas/Klinik di wilayah Tangerang Selatan. Hal ini melatarbelakangi
peneliti untuk melakukan penelitian dalam analisis potensi interaksi obat pada
pasien stroke yang menjalani rawat inap di RSU Kota Tangerang Selatan.
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian bagi pihak rumah sakit, khususnya
profesional kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada
masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana karakteristik pasien stroke iskemik di Instalasi Rawat Inap RSU
Kota Tangerang Selatan periode Januari–Desember 2018?
2. Bagaimana gambaran penggunaan obat pada pasien stroke iskemik di Instalasi
Rawat Inap RSU Kota Tangerang Selatan periode Januari–Desember 2018?
3. Bagaimana potensi interaksi obat yang terdapat pada terapi pasien stroke
iskemik di Instalasi Rawat Inap RSU Kota Tangerang Selatan periode
Januari–Desember 2018?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang penelitian diatas tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui karakteristik pasien stroke iskemik di Instalasi Rawat Inap
RSU Kota Tangerang Selatan periode Januari–Desember 2018.

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


4

2. Untuk mengetahui gambaran penggunaan obat pada pasien stroke iskemik di


Instalasi Rawat Inap RSU Kota Tangerang Selatan periode Januari–Desember
2018.
3. Untuk mengetahui potensi interaksi obat yang terdapat pada terapi pasien
stroke iskemik di Instalasi Rawat Inap RSU Kota Tangerang Selatan periode
Januari-Desember 2018?

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini dilakukan guna memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Bagi Rumah Sakit: Sebagai bahan evaluasi bagi pihak rumah sakit mengenai
pelaksanaan pengobatan pada penderita stroke iskemik di Rumah Sakit
Umum Kota Tangerang Selatan.
b. Bagi Program Studi: Sebagai sarana untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan tentang potensi interaksi obat pada penderita stroke.
c. Bagi Peneliti: Dapat menambah pengetahuan mengenai potensi interaksi obat
yang harus diperhatikan pada penderita stroke iskemik.

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke
Stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda
klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak
fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi
bedah atau membawa kematian), yang tidak disebabkan oleh sebab lain selain
penyebab vaskuler. Pengertian lain menyatakan bahwa stroke merupakan
“serangan otak” yang tidak memberi peringatan terlebih dahulu, dengan gejala
yang mengejutkan dan mengkhawatirkan, baik bagi penderita maupun
lingkungannya (Depkes RI, 2014).
Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak)
dikarenakan terputusnya aliran darah ke otak, umumnya akibat pecahnya
pembuluh darah ke otak atau karena tersumbatnya pembuluh darah ke otak
sehingga pasokan nutrisi dan oksigen ke otak berkurang (WHO, 2014).

Gambar 2.1 Stroke dan penyebabnya (sumber: google.com)

5
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
6

2.1.1 Klasifikasi Stroke


Menurut Depkes RI (2014), Stroke dapat diklasifikasikan menurut proses
patologi dan gejala klinik, yaitu:
a. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik adalah perdarahan yang tidak terkontrol di otak.
Perdarahan tersebut dapat menggenangi dan membunuh sel-sel otak. Stroke
hemoragik dapat dibagi menjadi 2 subtipe, yaitu
a. Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang diakibatkan oleh
pecahnya pembuluh darah intraserebral sehingga darah keluar dari
pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam jaringan otak.
b. Perdarahan Subarakhnoid (PSA) perdarahan yang terjadi karena masuknya
darah ke ruang subarakhnoid baik dari tempat lain (perdarahan
subarakhnoid sekunder) atau sumber perdarahan berasal dari rongga
subarakhnoid itu sendiri (perdarahan subarakhnoid primer).
b. Stroke Iskemik
Stroke iskemik terjadi karena adanya sumbatan pembuluh darah oleh
thromboembolic yang mengakibatkan daerah dibawah sumbatan tersebut
mengalami iskemik (Hananta, 2011). Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup
lama, baru bangun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan
terjadi proses edema karena hipoksia jaringan otak. Khusus untuk stroke non-
hemoragik dapat dibedakan menurut perjalanan penyakitnya, yaitu :
1. TIA (Trans Ischemic Attack) yaitu suatu gangguan akut dari fungsi fokal
serebral yang gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam dan disebabkan
oleh thrombus atau emboli.
2. RIND (Reversible Ischemic Neurological Deficit) seperti juga TIA gejala
neurologis dari RIND juga akan menghilang, hanya saja waktu
berlangsung lebih lama, yaitu lebih dari 24 jam, bahkan sampai 21 hari.
3. Stroke in Evolution yaitu stroke yang terjadi masih terus berkembang
dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk
setelah 48 jam.

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


7

4. Complete Stroke Non-Haemmorhagic yaitu Complete stroke diartikan


bahwa kelainan neurologis yang ada sifatnya sudah menetap, tidak
berkembang lagi. Kelainan neurologis yang muncul bermacam-macam,
tergantung pada daerah otak mana yang mengalami infark.

Stroke iskemik berdasarkan penyebabnya, menurut klasifikasi The


National Institute of Neurological Disorders Stroke Part III trial (NINDS III)
dibagi dalam empat golongan yaitu karena:
a. Aterotrombotik; penyumbatan pembuluh darah oleh kerak/plak dinding arteri.
b. Kardioemboli; sumbatan arteri oleh pecahan plak (emboli) dari jantung.
c. Lakuner; sumbatan plak pada pembuluh darah yang berbentuk lubang.
d. Penyebab lain; semua hal yang mengakibatkan tekanan darah turun
(hipotensi).

2.1.2 Patofosiologi Stroke

Gambar 2.2 Patofiologi Stroke (sumber: google.com)

Stroke disebabkan oleh keadaan iskemik atau proses hemoragik yang


seringkali diawali oleh adanya lesi atau perlukaan pada pembuluh darah arteri.
Dari seluruh kejadian stroke, duapertiganya adalah iskemik dan sepertiganya
adalah hemoragik. Disebut stroke iskemik karena adanya sumbatan pembuluh
darah oleh thromboembolic yang mengakibatkan daerah di bawah sumbatan

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


8

tersebut mengalami iskemik. Hal ini sangat berbeda dengan stroke hemoragik
yang terjadi akibat adanya mycroaneurisme yang pecah (Guyton, et all., 2007).
Pada stroke iskemik, yang disebut juga sebagai stroke non-hemoragik,
aliran darah ke sebagian jaringan otak berkurang atau terhenti. Hal ini disebabkan
misalnya oleh trombus, umumnya terjadi karena berkembangnya atherosklerosis
pada dinding darah, sehingga arteri menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi
pada jaringan otak. Selain trombus, iskemik juga dapat disebabkan emboli.
Embolis disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui
arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang
tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologis fokal. Perdarahan
otak dapat disebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
Pada stroke hemoragik pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan
darah mengalir ke substansi atau ruangan subarakhnoid yang menimbulkan
perubahan komponen intrakranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan
komponen intrakranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan
peningkatan TIK yang berkelanjutan akan menyebabkan herniasi otak sehingga
timbul kematian. Disamping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang
subarakhnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan
penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak
ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak (Affandi, 2016).
Perlu diingat bahwa keadaan hemoragik dan iskemik dapat terjadi
bersamaan hemoragik dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan menyebabkan
iskemia, dan didaerah yang mengalami iskemia dapat terjadi perdarahan.
Perdarahan dapat pula diklasifikasikan atas perdarahan di parenkim (hemoragik
intraserebral) atau di rongga subaraknoid yang meliputi otak (perdarahan
subaraknoid). Aliran darah otak (CBF=Cerebral Blood Flow) yang normal ialah
sekitar 50-55 ml/100g otak/menit. Ambang bagi gagal transmisi di sinaps ialah
kira-kira 18 ml/100g otak/menit. Bila sel neuron terpapar pada tingkat CBF yang
kurang, ia tidak dapat berfungsi secara normal, namun masih mempunyai potensi
untuk pulih sempurna. Ambang bagi gagalnya pompa membran terjadi bila CBF
berkurang sampai sekitar 8 ml/100g otak/menit. Pada tingkat ini kematian sel

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


9

neuron dapat terjadi. Daerah di otak dengan tingkat CBF antara 8-18 ml/100g
otak/menit merupakan daerah yang dapat kembali normal atau dapat melanjut ke
kematian neuronal. Daerah ini dinamai penumbra iskemik. Walaupun signal
elektroensefalografik sudah menghilang dan potensial cetusan absen di penumbra
iskemik, tingkat adenosine-trifosfat dan ion K ekstraseluler hamper normal. Jika
daerah ini ingin diselamatkan, penting pemulihan CBF dalam beberapa jam
(Dipiro, 2015).

2.1.3 Diagnosis Stroke


Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan perjalanan penyakit dan hasil
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dapat membantu dalam menentukan lokasi
kerusakan otak. Prosedur pemeriksaan yang dilakukan harus diusahakan tidak
memakan waktu terlalu lama, demi meminimalkan hilangnya waktu emas antara
onset dan dimulainya terapi (Junaidi, 2006).

Tabel 2.1 Diagnosis Stroke


Defisit Fokal/
Gangguan
Jenis Stroke Nyeri Kepala Kelaianan/
Kesadaran
Kelumpuhan
Stroke Iskemik Ringan/Tidak ada Ringan/Tidak ada Berat
Stroke PIS Berat Berat Berat
Stroke PSA Berat Sedang Ringan/Tidak ada
Keterangan:
PIS=Perdarahan intraserebral.
PSA=Perdarahan subarachnoid.

Gejala pada penderita stroke iskemik memiliki kemiripan dengan gejala


penyakit lain, sehingga perlu dipertimbangkan beberapa penyakit yang memiliki
gejala yang mirip dengan stroke akut. Junaidi (2006) menyatakan, diagnosa
banding untuk penyakit stroke antara lain:
1. Trauma kepala atau leher.
2. Meningitis/ensefalitis (infeksi otak dan selaputnya).
3. Ensefalopati hipertensi/gangguan otak karena hipertensi.
4. Massa intrakranial: tumor, hematom/darah di otak.

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


10

5. Serangan kejang dengan gangguan saraf yang bersifat sementara (paralisis


Todd‟s).
6. Migraine dengan gangguan saraf sementara.
7. Gangguan metabolik: hiperglikemia, hipoglikemia, iskemia pasca-henti
jantung, keracunan bahan beracun, gangguan endokrin (myxedema),
uremia.
8. Gangguan psikiatrik/kejiwaan.
9. Syok disertai hipoperfusi susunan saraf pusat.

2.1.4 Pemeriksaan Stroke


Junaidi (2006) pernah mengungkapkan, dalam mengobati pasien stroke
perlu diperhatikan proses atau tahapannya, sehingga pengobatan tepat sasaran.
Beberapa fase pengobatan pada penyakit stroke antara lain:
a. Fase akut: umumnya berlangsung antara 4-7 hari. Sasaran pada fase ini
adalah pasien selamat.
b. Fase pemulihan: setelah fase akut berlalu, selanjutnya adalah fase pemulihan
yang berlangsung sekitar 2-4 minggu. Sasarannya adalah pasien belajar lagi
keterampilan motorik yang terganggu dan belajar penyesuaian baru untuk
mengimbangi keterbatasan yang terjadi.
c. Rehabilitasi: sasarannya adalah melanjutkan proses pemulihan untuk
mencapai perbaikan kemampuan fisik, mental, sosial dan kemampuan bicara.
d. Fase ke kehidupan sehari-hari: setelah fase akut dilewati, maka terapi
pencegahan untuk menghindari terulangnya stroke akut tetap dilakukan.
Pasien biasanya dianjurkan untuk melakukan kontrol tensi secara rutin dan
mengendalikan kadar gula darah.

2.1.5 Faktor Resiko Stroke


Faktor resiko stroke secara umum faktor risiko stroke dapat
dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu faktor risiko yang dapat diubah dan
faktor risiko yang tidak dapat diubah (PERDOSSI, 2011).

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


11

1. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah


a. Faktor Keturunan
Hingga sekarang faktor keturunan masih belum dapat dipastikan gen mana
yang menjadi penentu terjadinya stroke. Menurut Brass dkk yang meneliti lebih
dari 1.200 kasus kembar monozygot dibandingkan 1.100 kasus kembar dizygot,
berbeda bermakna antara 17,7% dan 3,6%. Jenis stroke bawaan adalah cerebral
autosomal-dominant arteriopathy dengan infark subkortikal dan leukoenselopati
(CADASIL) telah diketahui lokasi gennya pada kromosom 19q12 (Junaidi, 2011).
b. Umur
Umur merupakan faktor risiko stroke iskemik yang tidak dapat diubah.
Insiden stroke iskemik meningkat dengan bertambahnya usia. Penyakit stroke
baik stroke hemoragik maupun stroke iskemik sering dianggap sebagai penyakit
monopoli orang tua, namun sekarang ada kecenderungan juga diderita oleh
kelompok usia muda (<40 tahun). Hal ini terjadi karena adanya perubahan gaya
hidup terutama orang muda perkotaan modern, seperti mengkonsumsi makanan
siap saji (fast food) yang mengandung kadar lemak tinggi, kebiasaan merokok,
minuman beralkohol, kerja berlebihan, kurang berolahraga dan stres (Junaidi,
2011).
c. Jenis Kelamin
Laki-laki cenderung untuk menderita stroke lebih tinggi dibandingkan
wanita, dengan perbandingan 1,3 : 1, kecuali pada usia lanjut laki-laki dan wanita
hampir tidak berbeda. Laki-laki yang berumur 45 tahun bila bertahan hidup
sampai 85 tahun kemungkinan terkena stroke 25%, sedangkan risiko bagi wanita
hanya 20%. Pada laki-laki cenderung terkena stroke iskemik sedangkan wanita
lebih sering menderita perdarahan subarakhnoid dan kematiannya 2 kali lipat
lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Junaidi, 2011).
d. Ras
Tingkat kejadian stroke di seluruh dunia tertinggi dialami oleh orang
Jepang dan Cina. Menurut Broderick dkk melaporkan orang negro Amerika
cenderung berisiko 1,4 kali lebih besar mengalami perdarahan intraserebral
(dalam otak) dibandingkan dengan kulit putih. Orang Jepang dan Afrika-Amerika

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


12

cenderung mengalami stroke perdarahan intrakranial. Sedang orang kulit putih


cenderung terkena stroke iskemik, akibat sumbatan ekstrakranial lebih banyak
(Junaidi, 2011).

2. Faktor Risiko yang Dapat Diubah


a. Stres
Pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh faktor stres pada proses
aterosklerosis adalah melalui peningkatan pengeluaran hormon kewaspadaan oleh
tubuh. Stres jika tidak dikontrol dengan baik akan menimbulkan kesan pada tubuh
adanya keadaan bahaya sehingga direspon oleh tubuh secara berlebihan dengan
mengeluarkan hormon-hormon yang membuat tubuh waspada seperti kortisol,
katekolamin, epinefrin dan adrenalin. Dengan dikeluarkannya adrenalin atau
hormon kewaspadaan lainnya secara berlebihan akan berefek pada peningkatan
tekanan darah dan denyut jantung. Hal ini bila terlalu keras dan sering dapat
merusak dinding pembuluh darah dan menyebabkan terjadi plak. Selain itu,
kecenderungan dari orang yang sedang stres umumnya mendorong seseorang
melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri seperti minum-minuman keras,
merokok, makan dan ngemil secara berlebihan (Junaidi, 2006).
b. Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami
peningkatan tekanan darah di atas normal. Nilai normal tekanan darah seseorang
dengan ukuran tinggi badan, berat badan, tingkat aktifitas normal dan kesehatan
secara umum adalah 120/80 mmHg (Sudoyo, 2009). Hipertensi merupakan faktor
risiko utama terjadinya stroke iskemik. Dikatakan hipertensi bila tekanan darah
lebih besar dari 140/90 mmHg. Semakin tinggi tekanan darah pasien
kemungkinan stroke akan semakin besar, karena hipertensi dapat mempercepat
pengerasan dinding pembuluh darah arteri dan mengakibatkan penghancuran
lemak pada sel otot polos sehingga mempercepat proses aterosklerosis. Hipertensi
berperan dalam proses aterosklerosis melalui efek penekanan pada sel
endotel/lapisan dalam dinding arteri yang berakibat pembentukan plak pembuluh

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


13

darah semakin cepat. Jika serangan stroke terjadi berkali-kali, maka kemungkinan
untuk sembuh dan bertahan hidup akan semakin kecil (Junaidi, 2011).
c. Merokok
Meskipun mengetahui merokok tidak baik untuk kesehatan, kebiasaan
merokok masih saja dilakukan oleh banyak orang dengan berbagai alasan.
Perokok sebenarnya membuka dirinya terhadap risiko penyakit jantung dan stroke
iskemik. Bagi perokok diperlukan waktu yang lama yaitu sekitar setahun untuk
mengurangi risiko secara optimal setelah berhenti merokok. Peranan rokok pada
proses aterosklerosis adalah:
 Meningkatkan kecenderungan sel-sel darah menggumpal pada dinding
arteri. Hal ini meningkatkan risiko pembentukan trombus/plak.
 Merokok dapat menurunkan jumlah HDL dan menurunkan kemampuan
HDL dalam menyingkirkan kolesterol LDL yang berlebihan.
 Merokok meningkatkan oksidasi lemak yang berperan pada perkembangan
aterosklerosis.
Merokok juga dapat mengurangi kemampuan seseorang dalam
menanggulangi stres karena zat kimia dalam rokok terutama karbon monoksida
akan mengikat oksigen dalam darah sehingga kadar oksigen dalam darah
berkurang. Akibatnya metabolisme tidak berjalan dengan semestinya (Junaidi,
2011).
d. Minum Alkohol
Mengkonsumsi alkohol mempunyai dua sisi yang saling bertolak
belakang, yaitu efek yang menguntungkan dan yang merugikan. Apabila minum
sedikit alkohol secara merata setiap hari akan mengurangi kejadian stroke iskemik
dengan jalan meningkatkan kadar HDL dalam darah. Akan tetapi jika minum
banyak alkohol yaitu lebih dari 60 gram sehari maka akan meningkatkan risiko
stroke. Alkohol merupakan racun pada otak dan pada tingkatan yang tinggi dapat
mengakibatkan otak berhenti berfungsi. Alkohol oleh tubuh dipersepsi sebagai
racun. Oleh karenanya tubuh dalam hal ini hati akan memfokuskan kerjanya untuk
menyingkirkan racun (alkohol) tersebut. Akibatnya bahan lain yang masuk ke
dalam tubuh seperti karbohidrat dan lemak yang bersirkulasi dalam darah harus

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


14

menunggu giliran sampai proses pembuangan alkohol pada kadar yang normal
selesai dilakukan, alhasil dapat menyebabkan timbulnya penyakit
kardioserebrovaskuler seperti jantung dan stroke pun meningkat (Junaidi, 2011).
e. Aktivitas Fisik Rendah
Aktivitas fisik secara teratur dapat menurunkan tekanan darah dan gula
darah, meningkatkan kadar kolesterol HDL, dan menurunkan kolesterol LDL,
menurunkan berat badan, mendorong berhenti merokok. Olahraga rutin tidak
hanya membentuk kemampuan sistem kardiovaskular namun juga membangun
kemampuan untuk mengatasi stres baik fisik maupun psikis/emosional. Olahraga
rutin mampu menghilangkan produk sampingan biokimiawi dari stres, lemak
darah, gula darah, kolesterol, membakar habis produk sampingan hormon, dapat
menurunkan tekanan darah tinggi (Junaidi, 2011).
f. Diabetes Melitus
Diabetes melitus menyebabkan kadar lemak darah meningkat karena
konversi lemak tubuh yang terganggu. Bagi penderita diabetes melitus
peningkatan kadar lemak darah akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan
stroke iskemik. Diabetes melitus mempercepat terjadinya aterosklerosis baik pada
pembuluh darah kecil (mikroangiopati) maupun pembuluh darah besar
(makroangiopati) di seluruh pembuluh darah termasuk pembuluh darah otak dan
jantung. Kadar glukosa darah yang tinggi pada penderita stroke iskemik akan
memperbesar meluasnya area infark (sel mati) karena terbentuknya asam laktat
akibat metabolisme glukosa yang dilakukan secara anaerob yang merusak jaringan
otak. Peningkatan risiko stroke pada pasien diabetes diduga karena peningkatan
kadar trigliserida total, kolesterol HDL turun, hipertensi dan gangguan toleransi
glukosa, serta berkurangnya fungsi vasodilatasi arteriol serebral. Hiperglikemia
dapat menurunkan sintesis prostasiklin yang berfungsi melebarkan saluran arteri,
meningkatkan pembentukan thrombosis, dan menyebabkan glikolisis protein pada
dinding arteri (Junaidi, 2011).
g. Kegemukan (Obesitas)
Obesitas atau kegemukan dapat meningkatkan kejadian stroke iskemik
terutama bila disertai dengan dislipidemia dan atau hipertensi, melalui proses

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


15

aterosklerosis. Obesitas juga dapat menyebabkan terjadinya stroke lewat efek


snoring atau mendengkur dan sleep apnea, karena terhentinya suplai oksigen
secara mendadak di otak. Kegemukan juga membuat seseorang cenderung
mempunyai tekanan darah tinggi, meningkatkan risiko terjadinya penyakit
kencing manis/diabetes mellitus, juga meningkatkan produk sampingan
metabolisme yang berlebihan yaitu oksidan/radikal bebas (Junaidi, 2011).
h. Hiperkolesterolemia
Kolesterol merupakan zat di dalam aliran darah di mana semakin tinggi
kolesterol maka semakin besar pula kemungkinan dari kolesterol tersebut
tertimbun pada dinding pembuluh darah. Hal ini menyebabkan saluran pembuluh
darah menjadi lebih sempit sehingga mengganggu suplai darah ke otak.Inilah
yang dapat menyebabkan terjadinya stroke iskemik atau penyempitan pembuluh
darah jantung. Kolesterol total mencakup kolesterol LDL dan HDL, serta lemak
lain di dalam darah dengan kadar tidak boleh lebih dari 200 mg/dl. Kolesterol
merupakan salah satu faktor resiko yang sangat besar peranannya pada penyakit
stroke. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa tiap peningkatan kadar
kolesterol satu persen, berarti menigkatkan risiko stroke dua persen. Makanan
yang banyak mengandung kadar lemaknya bila dikonsumsi secara berlebihan akan
meningkatkan kadar kolesterol dalam darah (Junaidi, 2011).
i. Minum Kopi
Kebiasaan minum kopi secara berlebihan dapat merugikan kesehatan
karena kafein yang terdapat dalam kopi. Kafein yang berlebihan dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah, kadar kolesterol total dan kolesterol
LDL dalam darah. Hal inilah yang merupakan faktor risiko pada pembentukan
plak (sumbatan) pada saluran/lumen pembuluh darah melalui proses aterosklerosis
dan dapat menyebabkan penyakit jantung dan stroke (Junaidi, 2011).
j. Pola Makan
Pola makan dapat memengaruhi risiko stroke iskemik melalui efeknya
pada tekanan darah, kadar kolesterol serum, gula darah, berat badan dan sebagai
prosekutor aterosklerosis lainnya. Pengurangan asupan garam natrium dan
penambahan garam kalium (potasium) pada beberapa penelitian ternyata dapat

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


16

menurunkan kejadian stroke, melalui efeknya terhadap pengurangan natrium yang


dapat meningkatkan tekanan darah (Sudoyo, 2009).
k. Kelainan Pembekuan Darah (Koagulasi)
Sistem koagulasi pada keadaan normal merupakan keseimbangan antara
pemeliharaan aliran darah di pembuluh dan perbaikan kebocoran dari gangguan
integritas pembuluh. Namun banyak faktor yang mengganggu keseimbangan
tersebut dan menghasilkan trombosis. Aktivasi koagulasi darah dengan trombosis
merupakan kejadian umum pada hampir kebanyakan stroke iskemik.
Pembentukan trombus sering terjadi karena aktivasi patologik dari hemostasis
yang mungkin ditemukan pada kerusakan sel endotel pada arteri aterosklerotik
preserebral atau jantung (Junaidi, 2011).
l. Fibrinogen
Peningkatan fibrinogen dan kelainan sistem fibrinolitik berkaitan dengan
terjadinya infark miokard dan stroke. Kadar fibrinogen >2,75g/l mempunyai risiko
tinggi terhadap penyakit jantung koroner dan stroke. Peningkatan kadar fibrinogen
1g/l akan meningkatkan risiko infark sebanyak 45%. Penelitian Cristensen
menunjukkan bahwa peningkatan kadar fibrinogen secara independen berkaitan
dengan stroke iskemik pada dewasa muda. Peningkatan kadar fibrinogen dan
enzim profibrinolitik, tissue-type plasminogen activator (tPA) dan plasminogen
activator Inhibitor (PAI-1) terbukti merupakan predikator kuat untuk infark
miokard. Kadar fibrinogen diketahui meningkat dengan cepat setelah terjadinya
stroke dihubungkan dengan respon fase akut yang dihasilkan dari iskemik otak
dan nekrosis (Junaidi, 2011).

2.1.6 Komplikasi Penyakit Stroke


Selama perawatan penyakit stroke dapat terjadi komplikasi dari beberapa
penyakit. Seluruh komplikasi ini harus mendapatkan perhatian dari awal sehingga
dapat diatasi dan diantisipasi sehingga tidak menjadi fatal. Komplikasi stroke
meliputi infeksi thorax, konstipasi, pneumonia, UTI (Urinary Tract Infection),
depresi, kejang, stroke berulang, jantung kongestif, dan luka tekan (dekubitus).

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


17

1) Infeksi Thorax
Infeksi adalah peristiwa masuk dan penggandaan mikroorganisme pada
penjamu rentan yang terjadi melalui kode transmisi kuman yang tertentu, cara
transmisi mikroorganisme dapat terjadi melalui darah, udara baik droplet maupun
airbone, dan dengan kontak langsung yang terjadi di thorax. Central Periodic
Breathing (CPB), termasuk pernapasan Cheyne-Stokes dan Central Sleep Apnea
(CSA) ditemukan pada penderita stroke. Pernapasan Cheyne-Stokes adalah suatu
pola pernapasan yang amplitudonya mula-mula naik kemudian turun bergantian
dengan periode apnea. Pola pernapasan ini sering dijumpai pada pasien stroke,
akan tetapi tidak memiliki korelasi anatomis yang spesifik. Salah satu penelitian
melaporkan CPB terjadi pada kurang lebih 53% pasien penderita stroke.
Selain menimbulkan gangguan kontrol respirasi sentral, hemiplegi akut
pada stroke berhubungan dengan risiko kematian akibat infeksi paru.
Kemungkinan infeksi paru cukup besar pada pasien dengan aspirasi dan
hipoventilasi. Kontraksi otot diafragma pada sisi yang lumpuh akibat stroke akan
berkurang pada pernapasan volunter, tidak berpengaruh pada pernapasan
involunter. Emboli paru juga pernah dilaporkan terjadi pada 9% kasus stroke
(Rohmah, 2015).
2) Pneumonia
Pneumonia dalam arti umum adalah peradangan parenkim paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme bakteri, virus, jamur, parasit. Namun pneumonia
juga dapat disebabkan oleh bahan kimia ataupun karena paparan fisik seperti suhu
atau radiasi. Peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh penyebab lain
selain mikroorganisme (fisik, kimiawi, alergi) sering disebut sebagai pneumonitis.
Menurut gejala kliniknya, pneumonia dibedakan menjadi pneumonia klasik dan
pneumonia atipik. Adanya batuk yang produktif adalah ciri pneumonia klasik,
sedangkan pneumonia atipik mempunyai ciri berupa batuk nonproduktif.
Peradangan paru pada pneumonia atipik terjadi pada jaringan interstitial sehingga
tidak menimbulkan eksudat.
Menurut lingkungan kejadiannya, pneumonia dibedakan menjadi
community acquired pneumonia, hospital acquired, serta pneumonia pada pasien

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


18

immunocompromised. Pembagian ini dibuat untuk memudahkan dalam


menentukan jenis mikroorganisme penyebabnya. Bakteri penyebab pneumonia
adalah Streptococcus pneumoniae, Streptococcuspyogenes, Staphylococcus
aureus, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
Yersinia pestis (Arofah, 2011).
3) Infeksi saluran kemih
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran
kemih, termasuk ginjal itu sendiri, akibat poliferasi suatu mikroorganisme.
Sebagian besar infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi jamur dan
virus juga dapat menjadi penyebabnya. Infeksi bakteri tersering disebabkan oleh
Escherichia coli, suatu kontaminan tinja yang sering ditemukan di daerah anus.
Dikatakan terinfeksi apabila terdapat kuman pada kultur urin >100.000/ml urin.
Infeksi saluran kemih sering terjadi pada anak perempuan dan wanita. Salah satu
penyebabya adalah uretra. Uretra wanita yang lebih pendek sehingga bakteri
kontaminan lebih mudah memperoleh akses ke kandung kemih. Faktor lain yang
berperan meningkatkan infeksi saluran kemih adalah kecenderungan untuk
menahan urin. Pada laki laki juga dapat terjadi infeksi saluran kemih walupun
lebih jarang daripada wanita.
4) Konstipasi
Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi
dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi
defekasi kurang dari tiga kali per minggu dan konsistensi tinja lebih keras dari
biasanya. Penyebab terjadinya konstipasi dapat dibedakan berdasarkan struktur
atau gangguan motilitas dan fungsiatau gangguan bentuk pelvik. Gangguan
motilitas dapat disebabkan oleh nutrisi tidak adekuat, motilitas kolon melemah,
dan faktor psikiatri. Gangguan bentuk pelvik dapat berupa fungsi pelvik dan
sfingter melemah, obstruksi pelvik, prolapsus rektum, enterokel, intususepsi
rektum, dan rektokel.
5) Kejang
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu
populasi neuron yang sangat mudah terpicu (fokus kejang) sehingga menganggu

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


19

fungsi normal otak. Namun, kejang juga terjadi dari jaringan otak normal di
bawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam-basa
atau elektrolit. Kejang dapat terjadi sekali atau berulang. Kejang rekuren, spontan
dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun tahun
disebut epilepsi. Kejang pasca stroke dan epilepsi merupakan penyebab tersering
dari sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai gejala klinis
ataupun sebagai komplikasi pasca stroke. Faktor usia menjadi faktor risiko
independen untuk stroke, dengan kecenderungan terjadinya peningkatan kejadian
dan prevalensi kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke.

2.2 Terapi Farmakologi Stroke


2.2.1 Penatalaksanaan Stroke Iskemik
Berikut merupakan penatalaksanaan stroke iskemik menurut PERDOSSI
2011:
1. Pengobatan terhadap hipertensi pada stroke akut.
2. Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak
direkomendasikan diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik
(AHA/ASA, Level of evidence A).
3. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia.
4. Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah reologik darah
secara karakteristik dengan meningkatkan tekanan perfusi tidak
direkomendasikan (grade A).
5. Pemberian terapi trombolisis rtPA pada stroke akut.
6. Pemberian antikoagulan
a. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya
stroke ulang awal, menghentikan perburukan defisit neurologi, atau
memperbaiki keluaran setelah stroke iskemik akut tidak
direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien dengan stroke
iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
b. Antikoagulasi urgent tidak direkomendasikan pada penderita
dengan stroke akut sedang sampai berat karena meningkatnya

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


20

risiko komplikasi perdarahan intrakranial (AHA/ASA, Class III,


Level of evidence A).
c. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dalam jangka waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian intravena rtPA tidak
direkomendasikan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah
stroke iskemik akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli masih
merekomendasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke
iskemik akut dengan risiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi
arteri atau stenosis berat arteri karotis sebelum pembedahan.
Kontraindikasi pemberian heparin juga termasuk infark besar
>50%, hipertensi yang tidak dapat terkontrol, dan perubahan
mikrovaskuler otak yang luas.
7. Pemberian antiplatelet
a. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dlam 24 sampai 48
jam setelah awitan stroke dianjurkan untuk seiap stroke iskemik
akut (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).
b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan
intervensi akut pada stroke, seperti pemberian rtPA intravena
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
d. Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam
setelah pemberian obat trombolitik tidak direkomendasikan
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
e. Pemberian klopidrogel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada
stroke iskemik akut, tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level
of evidence C), kecuali pada pasien dengan indikasi spesifik,
misalnya angina pectoris tidak stabil, non-Q-wave MI, atau recent
stenting, pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan setelah
kejadian (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


21

f. Pemberian antiplatelet intravena yang menghambat reseptor


glikoprotein IIb/IIIa tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level
of evidence B).
8. Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak
dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level
of evidence A).
9. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi
stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
10. Dalam keadaan tertentu, vasopressor terkadang digunakan untuk
memperbaiki aliran darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan
tersebut, pemantauan kondisi neurologis dan jantung harus dilakukan
secara ketat. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
11. Tindakan endarterektomi karotid pada stroke iskemik akut akut dapat
mengakibatkan risiko serius dan keluaran yang tidak menyenangkan.
Tindakan endovascular belum menunjukkan hasil yang bermanfaat,
sehingga tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence C).
12. Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang
efekif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan (AHA/ASA, Class III,
Level of evidence A). Namun, citicolin sampai saat ini masih memberikan
manfaat pada stroke akut. Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut
dengan dosis 2x1000 mg intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan oral
2x1000 mg selama 3 minggu dilakukan dalam penelitian ICTUS
(International Citicholin Trial in Acute Stroke, ongoing). Selain itu, pada
penelitian yang dilakukan oleh PERDOSSI secara multisenter, pemberian
Plasmin oral 3x500 mg pada 66 pasien di 6 rumah sakit pendidikan di
Indonesia menunjukkan efek positif pada penderita strke akut berupa
perbaikan motorik, score MRS dan Barthel index.
13. Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)
Diagnosa CVST tetap sulit. Faktor risiko yang mendasari baru diketahui
sebesar 80%. Beberapa faktor risiko sering dijumpai bersamaan.
Penelitian The International Study On Cerebral Vein And Dural Sinus

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


22

Thrombosis (ISCVT) mendapatkan 10 faktor risiko terbanyak, antara lain


kontrasepsi oral (54,3%), trombofilia (34,1%), masa nifas (13,8%), infeksi
dapat berupa infeksi SSP, infeksi organ-organ wajah, dan infeksi lainnya
(12,3%), gangguan hematologi seperti anemia, trombositemia, polisitemia
(12%), obat-obatan (7,5%), keganasan (7,4%), kehamilan (6,3%),
presipitasi mekanik termasuk cedera kepala (4,5%), dan vaskulitis (3%).
Penatalaksanaan CVST diberikan secara komprehensif, yaitu dengan
terapi antitrombotik, terapi simptomatik, dan terapi penyakit dasar.
Pemberian terapi UFH atau LMWH direkomendasikan untuk diberikan,
walaupun terdapat infark hemoragik (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidence B). Terapi dilanjutkan dengan antikoagulan oral diberikan
selama 3-6 bulan, diikuti dengan terapi antiplatelet (AHA/ASA, Class IIa,
Level of evidence C).

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


Gambar 2.3 Diagram Penatalaksanaan Stoke Iskemik Akut (Mestre, 2013)

23
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
24

2.2.2 Farmakoterapi Pada Stroke Iskemik


1) Fibrinolitik/trombolitik (rtPA/recombinant tissue plasminogen activator)
intravena
Golongan obat ini digunakan sebagai terapi reperfusi untuk
mengembalikan perfusi darah yang terhambat pada serangan stroke akut.
Jenis obat golongan ini adalah alteplase, tenecteplase dan reteplase, namun
yang tersedia di Indonesia hingga saat ini hanya alteplase. Obat ini bekerja
memecah trombus dengan mengaktivasi plasminogen yang terikat pada fibrin.
Efek samping yang sering terjadi adalah risiko pendarahan seperti pada
intrakranial atau saluran cerna; serta angioedema. Waktu memegang peranan
penting dalam penatalaksanaan stroke iskemik akut dengan fibrinolitik.
Beberapa penelitian yang ada menunjukkan bahwa rentang waktu terbaik
untuk dapat diberikan terapi fibrinolitik yang dapat memberikan manfaat
perbaikan fungsional otak dan juga terhadap angka kematian adalah <3 jam
dan rentang 3-4,5 jam setelah onset gejala. Pada pasien yang menggunakan
terapi ini usahakan untuk menghindari penggunaan bersama obat
antikoagulandan antiplatelet dalam 24 jam pertama setelah terapi untuk
menghindari risiko perdarahan (Presley, 2014).
2) Antikoagulan
Unfractionated Heparin (UFH) dan Lower Molecular Weight Heparin
(LMWH) termasuk dalam golongan obat ini. Obat golongan ini seringkali
juga diresepkan untuk pasien stroke dengan harapan dapat mencegah
terjadinya kembali stroke emboli, namun hingga saat ini literatur yang
mendukung pemberian antikoagulan untuk pasien stroke iskemik masih
terbatas dan belum kuat. Salah satu metaanalisis yang membandingkan
LMWH dan aspirin menunjukkan LMWH dapat menurunkan risiko
terjadinya tromboembolisme vena dan peningkatan risiko perdarahan, namun
memiliki efek yang tidak signifikan terhadap angka kematian, kejadian ulang
stroke dan juga perbaikan fungsi saraf. Oleh karena itu antikoagulan tidak
dapat menggantikan posisi dari aspirin untuk penggunaan rutin pada pasien
stroke iskemik. Terapi antikoagulan dapat diberikan dalam 48 jam setelah

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


25

onset gejala apabila digunakan untuk pencegahan kejadian tromboemboli


pada pasien stroke yang memiliki keterbatasan mobilitas dan hindari
penggunaannya dalam 24 jam setelah terapi fibrinolitik. Bukti yang ada
terkait penggunaan antikoagulan sebagai pencegahan kejadian
tromboembolik atau DVT (Deep Vein Thrombosis) pada pasien stroke yang
mengalami paralisis pada tubuh bagian bawah, dimana UFH dan LMWH
memiliki efektifitas yang sama tapi juga perlu diperhatikan terkait risiko
terjadinya pendarahan. Berdasarkan analisis efektivitas biaya LMWH lebih
efektif dan risiko trombositopenia lebih kecil dibandingkan dengan UFH
(Presley, 2014).
3) Antiplatelet
Golongan obat ini sering digunakan pada pasien stroke untuk
pencegahan stroke ulangan dengan mencegah terjadinya agregasi platelet.
Aspirin merupakan salah satu antiplatelet yang direkomendasikan
penggunaannya untuk pasien stroke. Penggunaan aspirin dengan loading dose
325mg dan dilanjutkan dengan dosis 75-100mg/hari dalam rentang 24-48 jam
setelah gejala stroke. Penggunaannya tidak disarankan dalam 24 jam setelah
terapi fibrinolitik. Sedangkan klopidogrel hingga saat ini masih belum
memiliki bukti yang cukup kuat penggunaannya untuk stroke iskemik jika
dibandingkan dengan aspirin.
Pada salah satu kajian sistematis yang membandingkan terapi jangka
panjang antiplatelet monoterapi (aspirin atau klopidogrel) dan kombinasi
antiplatelet (aspirin dan klopidogrel) pada pasien stroke iskemik
menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan dalam keterulangan stroke
antara kombinasi dan aspirin tunggal, demikian juga dengan risiko
pendarahan intrakranial yang tak berbeda bermakna namun lebih tinggi pada
kombinasi aspirin dan klopidogrel, dengan demikian penggunaan antiplatelet
tunggal efektif dengan risiko perdarahan yang lebih rendah dibandingkan
dengan kombinasi pada pasien dengan stroke iskemik. Oleh karena itu pada
pedoman terapi stroke iskemik oleh American Heart Association/American
Stroke Association tahun 2013 tidak direkomendasikan kombinasi antiplatelet

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


26

karena masih belum kuatnya bukti dan masih merekomendasikan penggunaan


antiplatelet tunggal dengan aspirin (Presley, 2014).
4) Antihipertensi
Peningkatan nilai tekanan darah pada pasien dengan stroke iskemik
akut merupakan suatu hal yang wajar dan umumnya tekanan darah akan
kembali turun setelah serangan stroke iskemik akut. Peningkatan tekanan
darah ini tidak sepenuhnya merugikan karena peningkatan tersebut justru
dapat menguntungkan pasien karena dapat memperbaiki perfusi darah
kejaringan yang mengalami iskemik, namun perlu diingat peningkatan
tekanan darah tersebut juga dapat menimbulkan risiko perburukan edema dan
risiko perdarahan pada stroke iskemik. Oleh karena itu sering kali pada pasien
yang mengalami stroke iskemik akut, penurunan tekanan darah tidak menjadi
prioritas awal terapi dalam 24 jam pertama setelah onset gejala stroke, kecuali
tekanan darah pasien >220/120 mmHg atau apabila ada kondisi penyakit
penyerta tertentu yang menunjukkan keuntungan dengan menurunkan tekanan
darah, hal ini dikarenakan peningkatan tekanan darah yang ekstrim juga dapat
berisiko terjadinya ensefalopati, komplikasi jantung dan juga insufisiensi
ginjal.
Salah satu penelitian menunjukkan bahwa setiap penurunan tekanan
darah 10 mmHg pada pasien stroke yang masuk rumah sakit dengan tekanan
darah sistolik ≤180 mmHg dan juga peningkatan tekanan darah 10 mmHg
pada pasien stroke yang masuk dengan tekanan darah sistolik > 180 mmHg
dalam 24 jam pertama setelah gejala stroke iskemik akut dapat berakibat pada
perburukan fungsi neurologis dan outcome yang lebih buruk pada pasien
stroke iskemik akut. Target penurunan tekanan darah pada pasien yang tidak
menerima terapi rtPA adalah penurunan tekanan darah 15% selama 24 jam
pertama setelah onset gejala stroke dengan disertai monitoring kondisi
neurologis. Pilihan antihipertensi yang dapat digunakan pada pasien stroke
iskemik akut dapat diberikan labetolol dan nikardipin, sedangkan setelah post
stroke semua agen antihipertensi dapat digunakan dan untuk pilihannya

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


27

disesuaikan dengan penyakit penyerta dan komplikasi masing-masing pasien


(Presley, 2014).
5) Obat Neuroprotektif
Golongan obat ini seringkali digunakan dengan alasan untuk menunda
terjadinya infark pada bagian otak yang mengalami iskemik khususnya
penumbra dan bukan untuk tujuan perbaikan reperfusi kejaringan. Beberapa
jenis obat yang sering digunakan seperti citicoline, flunarizine, statin, atau
pentoxifylline. Citicoline merupakan salah satu obat yang menjadi kontroversi
penggunaannya hingga saat ini untuk pasien dengan stroke iskemik, dimana
penggunaan obat ini diharapkan dapat melindungi sel membran serta
stabilisasi membran sehingga dapat mengurangi luas daerah infark.
Namun menurut beberapa penelitian terbaru termasuk ICTUS trial
menunjukkan bahwa penambahan citicoline tidak memberikan manfaat
dibandingkan dengan plasebo. Penggunaan flunarizine juga tidak
menunjukkan adanya manfaat pada pasien stroke berdasarkan penelitian
terdahulu dan belum ada data penelitian terbaru terkait efektifitasnya pada
stroke iskemik. Demikian juga halnya dengan penggunaan golongan statin
berdasarkan salah satu kajian sistematis menunjukkan belum adanya bukti
yang cukup kuat terkait efektifitasnya pada stroke iskemik. Namun pada
pasien yang sudah menggunakan statin sebelumnya, statin sebaiknya tetap
dilanjutkan dan tidak ditunda penggunaannya. Salah satu penelitian pada
pasien stroke iskemik yang sudah menggunakan statin sebelumnya dan statin
dihentikan saat terjadi stroke iskemik akut selama 3 hari meningkatkan risiko
kematian 4,7 kali lebih tinggi dalam 3 bulan ke depan. Oleh sebab itu
pedoman terapi yang ada menyatakan bahwa statin dapat dilanjutkan
penggunaannya pada pasien stroke iskemik akut yang sudah menggunakan
statin sebelumnya.
Penggunaan pentoxifylline yang tergolong methylxanthine berdasarkan
salah satu kajian sistematis belum menunjukkan bukti yang kuat terkait
efektifitas maupun keamanannya pada pasien stroke iskemik. Prinsip
penatalaksanaan farmakologi stroke iskemik akut adalah untuk segera

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


28

memperbaiki perfusi darah ke bagian otak yang mengalami iskemik serta


mengurangi risiko terjadinya serangan ulang stroke pada masa mendatang
hingga dapat mengurangi terjadinya risiko kecacatan dan kematian akibat
serangan stroke iskemik. Oleh sebab itu sangat penting untuk memilih terapi
obat secara tepat dan cepat dengan mempertimbangkan efektifitas dan
keamanan bagi penggunanya (Presley, 2014).

2.2.3 Farmakoterapi Pada Stroke Hemorogik


1) Terapi suportif dengan infus mannitol bertujuan untuk mengurangi edema
disekitar perdarahan.
2) Pemberian vitamin K dan fresh frozen plasma jika perdarahannya karena
komplikasi pemberian warfarin.
3) Pemberian protamin jika perdarahannya akibat pemberian heparin.
4) Pemberian asam traneksamat jika perdarahannya akibat komplikasi
pemberian trombolitik (Ikawati, 2014)

2.3 Interaksi Obat


Interaksi obat adalah perubahan yang terjadi pada obat akibat adanya obat
lain, obat herbal, makanan, minuman, atau agen kimia lainnya. Interaksi obat
termasuk dalam kategori drug related problems yang dapat mempengaruhi
outcome klinis pasien. Interaksi obat yang terjadi dianggap penting secara klinik
bila meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang
berinteraksi terutama bila berkaitan dengan obat indeks terapi sempit. Reaksi
interaksi obat dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan namun
juga dapat menghasilkan efek yang bermanfaat, seperti kombinasi obat pada
penderita hipertensi (Baxter, 2008).
Reaksi interaksi obat pada tiap orang bisa beragam. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perbedaan reaksi antara lain gen, fungsi hati dan ginjal, umur, ada
tidaknya suatu penyakit, jumlah obat yang digunakan, lama penggunaan obat,
jarak antara penggunaan satu obat dengan obat lain dan obat mana yang terlebih
dulu dikonsumsi. Oleh sebab itu, reaksi interaksi obat bisa jadi aman bagi satu

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


29

orang, namun bisa juga sangat berbahaya pada orang lain. Namun, hal yang paling
penting untuk diawasi yakni kemungkinan terjadinya interaksi obat (Harkness,
1984).
Suatu interaksi obat terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran
obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam
lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat
bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir
bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2010). Obat yang mengalami
perubahan efek akibat interaksi disebut object drug (obat 1) dan obat lain yang
menyebabkan interaksi tersebut terjadi disebut precipitant drug (obat 2) (Anonim,
2019).
2.3.1 Mekanisme Interaksi Obat
Menurut Anonim (2015) dan Maindoka (2017), mekanisme interaksi obat
secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga mekanisme, yaitu interaksi
farmasetika atau inkompabilitas, interaksi farmakokinetika, dan interaksi
farmakodinamika
1. Interaksi Farmasetika
Interaksi farmasetika terjadi karena adanya perubahan atau reaksi kimia
dan fisika antara dua obat atau lebih yang dapat dikenal atau dilihat serta terjadi
diluar tubuh (sebelum obat diberikan) dan dapat mengakibatkan aktivitas
farmakologik obat tersebut hilang atau berubah. Tanda-tanda interaksi farmasetika
yaitu endapan, kekeruhan, perubahan warna, dan pengeluaran gas, namun
terkadang tanda-tanda tersebut belum tentu ada interaksi farmasetika. Hal ini
sering terjadi antara obat-obat yang dicampur dalam cairan secara bersamaan,
misalnya dalam infus atau suntikan.
Contoh kejadian interaksi farmasetik yaitu gentamisin mengalami
inaktivasi jika dicampur dengan karbenisilin, demikian juga penisilin G jika
dicampur dengan vitamin C, sedangkan amfoterisin B mengendap dalam larutan
garam fisiologis atau larutan Ringer, dan juga phenitoin mengendap dalam larutan
dextrosa 5%.

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


30

2. Interaksi Farmakokinetika
Interaksi obat dengan mekanisme farmakokinetika adalah interaksi yang
mempengaruhi disposisi obat di dalam tubuh dimana object drug (obat 1)
mengalami perubahan dalam proses absorpsi, distribusi, metabolisme atau
ekskresi akibat adanya precipitant drug (obat 2) sehingga kadar plasma object
drug (obat 1) meningkat atau menurun. Akibatnya akan terjadi peningkatan
toksisitas atau penurunan efektivitas obat tersebut.
 Interaksi dalam proses absorbsi
Interaksi dapat dengan berbagai cara yaitu adanya perubahan atau
penurunan motilitas gastrointestinal sehingga mengubah absorbsi obat,
perubahan pH cairan saluran pencernaan, perubahan flora usus, pengikatan
molekul obat dengan senyawa logam sehingga absorbsi akan dikurangi
karena terbentuk senyawa kompleks yang tidak diabsorbsi, dan adanya
makanan juga dapat mengubah absorbsi obat. Semua itu dapat
mengganggu absorbsi obat sehingga kadar obat dalam darah terganggu,
akibatnya dapat menyebabkan penurunan dan peningkatan efektivitas obat
bahkan menyebabkan toksisitas.
 Interaksi dalam proses distribusi
Prinsip interaksi obat dalam proses distribusi ialah obat yang
memiliki ikatan protein lebih kuat menggeser obat yang memiliki ikatan
protein lemah, sehingga obat dengan ikatan protein yang tinggi akan lebih
banyak dalam keadaan bebas, akibatnya dapat meningkatkan efek
farmakologi atau juga terjadi efek toksik. Interaksi obat dengan ikatan
proteinnya yang dapat menimbulkan masalah dalam klinik hanyalah obat
yang memiliki sifat antara lain obat yang mempunyai ikatan protein
plasma yang kuat (minimal 85%) dan volume distribusi yang kecil
sehingga sedikit saja obat yang dibebaskan akan meningkatkan kadarnya
menjadi 2-3 kali lipat, obat yang memiliki batas keamanan yang sempit
sehingga peningkatan kadar obat bebas tersebut dapat mencapai kadar
toksik, dan obat yang eliminasinya mengalami kejenuhan, maksudnya

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


31

peningkatan kadar obat bebas tidak disertai dengan peningkatan kecepatan


eliminasinya.
Interaksi dalam proses distribusi juga dapat terjadi bila terdapat
perubahan kemampuan transport atau uptake seluler obat oleh karena obat-
obat lain. Misalnya obat-obat antidepresan trisiklik atau fenotiasin akan
menghambat transport aktif ke akhiran saraf simpatis dari obat-obat
antihipertensi (guanetidin, debrisokuin), sehingga mengurangi atau
menghilangkan efek antihipertensi.
 Interaksi dalam proses metabolisme
Prinsip terjadinya interaksi obat dalam proses metabolisme adalah
adanya obat yang dapat merangsang enzim dan menghambat enzim.
Pemacuan Enzim (Enzyme Induction) adalah obat-obat yang dapat
memacu enzim metabolisme obat disebut sebagai enzyme inducer. Obat ini
biasanya obat yang larut dalam lemak. Suatu obat presipitan dapat
mempercepat metabolisme obat objek tergantung dari jenis enzim
(substrat) yang diinduksinya. Dikenal beberapa obat yang mempunyai sifat
pemacu enzim diantaranya; rifampicin, antiepileptika (fenitoin,
karbamazepin, fenobarbital).
Penghambat Enzim (Enzyme Inhibitor) adalah sebutan bagi obat-obat
yang mempunyai kemampuan menghambat enzim yang memetabolisir
obat lain. Penghambat metabolisme suatu obat menyebabkan peningkatan
kadar obat dalam plasma, sehingga dapat meningkatkan efek atau
toksisitasnya. Hal ini terjadi akibat kompetisi antar substrat untuk enzim
metabolisme yang sama. Obat-obat yang dikenal dapat menghambat
aktifitas enzim metabolisme obat adalah kloramfenikol, isoniazid,
simetidin, propranolol, eritromisin, fenilbutason, allopurinol, dan lain-lain.
 Interaksi dalam proses ekskresi
Interaksi obat dalam proses ekskresi dapat terjadi antara obat yang
menggunakan mekanisme transport aktif dan jalur ekskresi sama. Adapun
interaksi dalam proses ekskresi dapat terjadi melalui 3 macam cara, yang
pertama ekskresi melalui empedu dan sirkulasi enterohepatik, interaksi

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


32

obat pada jalur ini terjadi karena adanya gangguan dalam ekskresi melalui
empedu akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat suatu system
transport (sekresi aktif ke dalam empedu) yang sama. Sedangkan sirkulasi
enterohepatik dapat diputuskan dengan mensupresi bakteri usus yang
menghidrolisis konjugat obat atau dengan mengikat obat yang dibebaskan
sehingga dapat direabsorpsi. Yang kedua sekresi tubuli ginjal, interaksi
obat pada jalur ini terjadi karena adanya penghambatan sekresi di tubuli
ginjal akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk system
transport aktif yang sama, terutama system transport untuk obat dan
metabolit yang bersifat asam. Dan yang ketiga perubahan pH urin,
interaksi obat pada jalur ini dapat menyebabkan perubahan bersihan ginjal
(klirens). Perubahan tersebut dapat menimbulkan masalah secara klinik
jika: (1) fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (lebih
dari 30%), dan (2) obat bersifat basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam
lemah dengan pKa 3,0-7,5.
3. Interaksi Farmakodinamik
Mekanisme farmakodinamika adalah interaksi yang menimbulkan
perubahan efek farmakologik suatu obat akibat kedua obat yang saling
berinteraksi. Interaksi ini terjadi bila obat yang bekerja pada sistem reseptor,
tempat kerja atau system fisiologik yang sama sehingga terjadi efek sinergistim
(saling memperkuat), aditif,atau efek antagonistik (saling meniadakan). Interaksi
farmakodinamik berbeda dengan interaksi farmakokinetik. Pada interaksi
farmakodinamik tidak terjadi perubahan kadar obat objek dalam darah tetapi
terjadi perubahan efek obat objek yang disebabkan oleh obat presipitan karena
pengaruhnya pada tempat kerja obat. Interaksi farmakodinamik dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
 Interaksi Langsung
Apabila dua obat atau lebih bekerja pada tempat atau reseptor yang sama,
bekerja pada tempat yang berbeda tetapi dengan hasil efek akhir yang
sama atau hampir sama disebut interaksi langsung. Interaksi dua obat pada
tempat yang sama dapat tampil sebagai antagonisme atau sinergisme.

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


33

 Interaksi Tidak Langsung


Interaksi tidak langsung dapat terjadi bila obat presipitan mempunyai efek
yang berbeda dengan obat objek, tetapi efek obat presipitan tersebut
akhirnya dapat mengubah efek obat objek. Beberapa contoh antara lain,
interaksi antara obat-obat yang mengganggu agregasi trombosit (salisilat,
fenilbutason, ibuprofen, dipiridamol, asam mefenamat, dan lain-lain)
dengan obat-obat antikoagulan seperti warfarin sehingga kemungkinan
perdarahan lebih besar karena gangguan proses hemostasis. Obat-obat
yang menyebabkan iritasi pada gastrointestinal seperti aspirin,
fenilbutason, indometasin, dan obat-obat antiinflamasi non steroid yang
lain, bila diberikan pada pasien-pasien yang sedang mendapatkan
antikoagulansia seperti warfarin, maka dapat terjadi perdarahan dari iritasi
tadi. Obat-obat yang menurunkan kadar kalium akan menyebabkan
peningkatan efek toksik glikosida jantung digoksin dan lebih besar pada
keadaan hipokalemia. Hipokalemia presipitan mengurangi efek obat-
obatan antiaritmia seperti prokainamida, kinidin, dan fenitoin. Obat
presipitan yang mengurangi kadar kalium adalah diuretik.

2.3.2 Tingkat Keparahan Interaksi Obat


Menurut Herdaningsih (2016), keparahan interaksi obat diberi tingkatan
dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga level: minor, moderate, atau major.
1) Keparahan Minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi mungkin
terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien
jika terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan absorbsi ciprofloxacin
oleh antasida ketika obat diberikan kurang dari dua jam setelahnya.
2) Keparahan Moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari
bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe
interventi/monitor sering diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin
menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan perawatan

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


34

tambahan, perawatan dirumah sakit dan atau perpanjangan lama tinggal


dirumah sakit. Contohnya adalah dalam kombinasi vankomisin dan
gentamisin perlu dilakukan monitoring nefrotoksisitas.
3) Keparahan Major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat
probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk
kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen.
Contohnya adalah perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian
eritromisin dan terfenadin.

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


35

2.4 Kerangka Teori

Gambar 2.4 Kerangka Teori

Faktor resiko: Penyakit penyerta:


Genetic Hipertensi
Umur Dislipidemia
Jenis kelamin Pasien Stroke Diabetes Melitus
Stress
Pola hidup tidak sehat

Stroke Iskemik Stroke Hemoragik

Terapi Farmakologi : Terapi Farmakologi :


 Fibrinolitik  Mannitol
 Antikoagulan  Vitamin K
 Antiplatelet  Protamin
 Antihipertensi  Asam Traneksamat
 Antikolesterol
 Obat neuroprotektif

Banyak obat yang dikonsumsi meningkatkan interaksi obat (Herdaningsih, 2016)

Analisis Interaksi Obat:


Mekanisme Interaksi Obat
Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Tujuan Terapi:
Mengurangi morbiditas
dan mortalitas

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif dengan
menggunakan desain cross sectional yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat.
Penelitian yang dilakukan berisfat retrospektif yaitu penelitian dengan mengkaji
atau mengambil data yang telah lalu. Data yang diteliti merupakan data rekam
medik dan lembar pemberian obat pasien yang menjalani rawat inap di RSU Kota
Tangerang Selatan periode Januari – Desember 2018.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan
yang beralamat di Jl. Pajajaran No. 101 Pamulang Barat, Tangerang Selatan.
3.2.2 Waktu Penelitian
Pengambilan data penelitian dilakukan pada hari Sabtu-Minggu pada
bulan Mei-Juni 2019.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien
rawat inap yang didiagnosis menderita stroke iskemik di Rumah Sakit Umum
Kota Tangerang Selatan periode Januari-Desember 2018. Populasi target, yang
memenuhi kriteria inklusi dijadikan sebagai populasi studi.
3.3.2 Sampel
Sampel penelitian ini adalah data rekam medis pasien yang memenuhi
kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

36
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
37

a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi yakni rekam medis pasien yang dirawat di RSU Kota
Tangerang Selatan pada periode Januari-Desember 2018 dengan diagnosis stroke
iskemik. Data rekam medis lengkap meliputi nama, umur, jenis kelamin, tanggal
masuk dan keluar rumah sakit, keterangan keluar rumah sakit, lembar penggunaan
obat pasien, dan ada atau tidaknya penyakit lain.
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi merupakan kriteria atau ciri-ciri anggota populasi studi
yang tidak bisa dijadikan sebagai sampel. Adapun yang menjadi kriteria ekslusi
adalah data rekam medis pasien yang dirawat di RSU Kota Tangerang Selatan
periode Januari – Desember 2018 dan tercatat menerima terapi kurang dari 2 jenis
obat.

3.4 Teknik Pengambilan Sampel


Pada penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah purposive
sampling. Purposive Sampling yaitu pengambilan sampel secara sengaja yang
memenuhi kriteria inklusi. Diketahui jumlah populasi pasien stroke iskemik yang
dirawat inap di RSU Kota Tangerang Selatan pada tahun 2018 sebanyak 136
pasien dengan batas toleransi kesalahan yang ditetapkan sebesar 5%, dihitung
dengan menggunakan rumus Slovin didapatkan jumlah sampel sebanyak 102
pasien dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan:
N: Jumlah populasi
n: Jumlah sampel
e: Batas toleransi kesalahan

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


38

3.5 Prosedur Penelitian


1. Pengumpulan data dimulai dengan permohonan izin penelitian kepada bagian
Instalasi Farmasi dan kepala ruangan Rekam Medis Rumah Sakit Umum
Kota Tangerang Selatan.
2. Setelah surat ijin penelitian dikeluarkan oleh pihak RSU Kota Tangerang
Selatan, dilakukan proses pengambilan data yang diperoleh dengan melihat
data rekam medik pasien dengan diagnosa stroke iskemik yang dirawat di
ruang Instalasi Penyakit Dalam (IPD) selama periode Januari-Desember
2018.
3. Seluruh jumlah data populasi pasien stroke yang dirawat di IPD selama
periode Januari-Desember 2018 kemudian diambil data yang memenuhi
kriteria inklusi.
4. Data yang diperoleh dicatat ke lembar pengumpulan data, seluruh data yang
diperoleh diolah dan dianalisis dalam bentuk tabulasi dan perhitungan
presentase. Data yang diambil adalah data primer dari catatan obat di Lembar
Obat Pasien dan rekam medik pasien. Data yang diambil meliputi nama
pasien, nomor rekam medik, diagnosa penyakit pasien, jenis kelamin, obat
yang diresepkan, frekuensi pemberian, waktu pemberian, lama pemberian
obat, kejadian interaksi obat.
5. Dari hasil rekapitulasi, data penggunaan obat dianalisis berdasarkan literatur
www.drugs.com, www. medscape.com, dan Stockley’s Drug Interactions edisi
Pocket companion tahun 2015 untuk mengetahui ada atau tidaknya interaksi
obat pada terapi. Hasil temuan teoritis dari interaksi obat juga didukung
dengan data klinis pasien apabila data klinis tersedia. Hasil dari analisis
kemudian disajikan secara deskriptif meliputi data demografi pasien, obat-
obat yang diterapkan pada pasien stroke di RSU Kota Tangerang Selatan, dan
interaksi obat yang terjadi.

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


39

3.6 Variabel Penelitian


3.6.1 Variabel bebas
Variabel bebas merupakan variable yang mempengaruhi atau yang
menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat). Yang
termasuk variabel bebas dalam penelitian ini adalah terapi obat pasien (Nama
obat, dosis obat, bentuk sediaan obat, jumlah terapi obat).
3.6.2 Variabel terikat
Variabel dependen sering disebut sebagai variabel output, kriteria, dan
konsekuen. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Yang termasuk dalam variabel ini
adalah potensi interaksi obat pada terapi obat pasien stroke di RSU Kota
Tangerang Selatan.

3.7 Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Variabel Bebas:
1. Demografi pasien
 Usia Variabel Terikat
 Jenis Kelamin Interaksi Obat
 Jenis Stroke
2. Jumlah kelas Terapi

Rekam medik pasien stroke berisi data tentang lembar pengobatan, waktu
pemberiannya, serta data laboratorium yang dilakukan terhadap pasien. Rekam
medik tersebut dianalisa mengenai adanya interaksi yang terjadi. Demografi
pasien yang meliputi usia, jenis stroke, dan jenis kelamin pasien stroke diruang
Instalasi Penyakit Dalam, serta banyaknya jumlah kelas obat terapi
memungkinkan terjadinya interaksi obat antara obat satu dengan obat lain.
Mekanisme interaksi obat yang terjadi bisa secara farmasetika, farmakokinetika,
dan farmakodinamika, dengan tingkat keparahan mayor, moderate, dan minor.

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


40

3.8 Definisi Operasional


Definisi
No Variabel Ukuran Skala
Operasional
1. Jenis Keadaan fisik yang
Kelamin dibedakan dari 1. Laki-laki
Nominal
sistem reproduksi 2. Perempuan

2 Jenis Stroke Klasifikasi stroke


yang tertulis 1. Stroke
direkam medik Iskemik
Nominal
2. Stroke
Hemoragik

3 Usia Pasien Lama waktu hidup


sejak dilahirkan 1. 26-35 tahun
2. 36-45 tahun
3. 46-55 tahun
Nominal
4. 56-55 tahun
5. Lebih dari
65 tahun

4 Mekanisme Interaksi obat yang


Interaksi terjadi secara 1. Interaksi
farmasetika, Farmasetika
farmakokinetika, 2. Interaksi
dan Farmakokine
farmakodinamika tika
Nominal
dilihat dari 3. Interaksi
mekanisme Farmakodina
interaksinya mik
berdasarkan 4. Belum
literatur. diketahui

5 Kejadian Ada tidaknya 1. Terjadi


Potensi interaksi obat yang interaksi obat
Interaksi terjadi berdasarkan 2. Tidak
Nominal
literatur terjadi
interaksi obat

6 Tingkat Tingkat keparahan


Keparahan interaksi yang 1. Mayor
Interaksi terjadi berdasarkan 2. Moderate
literatur 3. Minor Nominal
4. Belum
diketahui

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


41

3.9 Analisis Data


Berdasarkan hasil pengumpulan data, data obat-obatan yang diperoleh
akan diolah dan dianalisa berdasarkan www.drugs.com, www.medscape.com, dan
Stockley’s Drug Interactions edisi Pocket companion tahun 2015 untuk
mengetahui mekanisme interaksi dan tingkat keparahan dari potensi interaksi
obat. Data yang diperoleh kemudian didistribusikan dalam bentuk tabel untuk
mendapatkan gambaran meliputi :
 Presentase gambaran demografi pasien stroke iskemik di RSU Kota
Tangerang Selatan periode Januari-Desember 2018, meliputi jenis
kelamin, usia pasien dan lama rawat inap.
 Gambaran obat-obatan yang diberikan kepada pasien stroke iskemik di
RSU Kota Tangerang Selatan periode Januari-Desember 2018. Obat-
obatan dibuat profil, dikelompokkan berdasarkan kelas terapinya dan
diurutkan 10 besar obat yang paling sering diresepkan dalam bentuk
tabulasi.
 Gambaran interaksi obat yang potensial pada pasien stroke iskemik RSU
Kota Tangerang Selatan periode Januari-Desember 2018 dalam bentuk
tabulasi.

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Demografi Pasien


4.1.1 Distribusi Pasien Stroke Iskemik Berdasarkan Jenis Kelamin
Hasil pengamatan pada sampel sebanyak 102 pasien menunjukkan bahwa
pasien stroke iskemik di Instalasi Rawat Inap RSU Kota Tangsel periode Januari-
Desember 2018 diperoleh gambaran umum karakteristik subjek seperti
ditunjukkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Persentase jumlah pasien stroke iskemik berdasarkan jenis kelamin
di IRNA RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018.

47,06 Laki-laki (48 pasien)


52,94
Perempuan (54 pasien)

Berdasarkan Gambar 4.1 menunjukkan pasien penderita stroke dengan


jenis kelamin perempuan (52,94%) lebih banyak dibandingkan laki-laki (47,06%).
Meskipun di tinjauan pustaka diungkapkan bahwa risiko terjadinya stroke pada
laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, namun dari penelitian-penelitian
yang dilakukan didapatkan hasil yang beragam. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Shafira (2018) di RSPON, didapatkan angka kejadian stroke pada
laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan dengan persentase masing-
masingnya 59% laki-laki dan 41% perempuan. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Laily (2017) di RSUD Ngimbang Lamongan juga didapat hasil yang sama,
dimana penderita stroke iskemik paling banyak terjadi pada laki-laki yaitu
sebanyak 75%, dan pada perempuan sebanyak 25%.

42
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
43

Namun dalam sebuah penelitian lain yang dilakukan oleh Ulfa (2017) di
RSUP H. Adam Malik Medan, didapatkan penderita perempuan lebih banyak
dibandingkan laki-laki, yaitu 56% perempuan dan 44% penderita stroke yang
berjenis kelamin laki-laki. Pada penelitian yang dilakukan oleh Dinata dkk. (2012)
di RSUD Kabupaten Solok Selatan, dari total pasien stroke sebanyak 96 orang,
juga didapatkan penderita perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki, yaitu
54,17% perempuan dan 45,83% penderita stroke yang berjenis kelamin laki-laki.
Merujuk pada survey penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Kesehatan
RI dimana proporsi jumlah stroke di Indonesia sama antara perempuan dengan
laki-laki (Ghani, 2016). Namun, berdasarkan faktor risikonya, laki-laki lebih
tinggi mendapat serangan stroke dibanding perempuan pada usia yang lebih muda,
tetapi para perempuan akan menyusul setelah usia mereka mencapai menopause
(Ghani, 2016). Laki-laki tidak memiliki hormon esterogen sebanyak perempuan.
Hormon estrogen berfungsi menurunkan kolesterol jahat (LDL) dan sebaliknya
meningkatkan kadar HDL dalam darah sehingga mencegah terjadinya
atherosklerosis akibat terbentuknya plak-plak pada pembuluh darah. Selain itu,
dibandingkan dengan perempuan, laki-laki cenderung beresiko lebih besar
mengalami stroke terkait bahwa laki-laki cenderung merokok. Bahaya terbesar
dari rokok adalah merusak lapisan pembuluh darah pada tubuh (Arum, 2015).
Merokok menyebabkan peninggian koagulabilitas, viskositas darah, meninggikan
kadar fibrinogen, mendorong agregasi platelet, meninggikan tekanan darah,
meningkatkan hematokrit, menurunkan kolesterol HDL dan meningkatkan
kolesterol LDL (PERDOSSI, 2011).

4.1.2 Distribusi Pasien Stroke Iskemik Berdasarkan Usia


Berdasarkan hasil penelitian dari segi usia, pasien yang menderita stroke
iskemik di instalasi Rawat Inap RSU Kota Tangsel periode Januari-Desember
2018 didominasi oleh pasien yang mempunyai kelompok usia lebih dari 49 tahun,
dimana jumlah pasien terbanyak terdapat pada kelompok usia 49 – 58 tahun
sebanyak 29 pasien (28,43%), diikuti kelompok usia 59 – 68 tahun sebanyak 27
pasien (26,37%).

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


44

Tabel 4.1 Jumlah pasien stroke iskemik berdasarkan usia di IRNA RSU Kota
Tangerang Selatan tahun 2018.

Jumlah
No. Usia (Tahun) Persentase (%)
Pasien
1. 19 – 28 2 1,96
2. 29 – 38 2 1,96
3. 39 – 48 22 21,57
4. 49 – 58 29 28,43
5. 59 – 68 27 26,47
6. 69 – 78 13 12,75
7. 79 – 88 7 6,86
Total 102 100

Umur merupakan salah satu faktor risiko stroke yang tidak dapat
dimodifikasi. Stroke dapat menyerang semua umur, tetapi lebih sering dijumpai
pada populasi usia tua. Setelah berumur 55 tahun, resikonya berlipat ganda setiap
kurun waktu sepuluh tahun (Ulfa, 2017). Semakin bertambahnya usia, semakin
besar pula resiko terjadinya stroke. Hal ini terkait dengan proses degenerasi
(penuaan) yang terjadi secara alamiah. Pada orang-orang yang lanjut usia,
pembuluh darah lebih kaku karena banyak penimbunan plak. Penimbunan plak
yang berlebih akan mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke tubuh termasuk
otak (Arum, 2015).

4.1.3 Lama Rawat Inap dan Keterangan Keluar Rumah Sakit


Lama rawat inap atau Length of Stay (LOS) adalah durasi pasien dirawat
di rumah sakit. Adapun lama rawat inap pasien di RSU Kota Tangerang Selatan
rata-rata adalah 7,8 hari. Lama pasien dirawat paling sedikit adalah 1 hari dan
paling banyak yakni 21 hari. Pasien paling banyak dirawat selama 5 hari yakni
sebanyak 22 pasien. Gambar Grafik di bawah adalah gambaran lama rawat inap
pasien stroke iskemik yang dirawat di Instalasi Rawat Inap RSU Kota Tangerang
Selatan sepanjang tahun 2018:

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


45

Gambar 4.2 Grafik lama rawat inap pasien stroke iskemik di IRNA RSU Kota
Tangerang Selatan tahun 2018.

Grafik lama rawat inap pasien stroke iskemik


25 25,00
22
21
20 20,00
17
Jumlah Pasien

15 13 15,00

Jumlah Pasien
10 8 10,00
6 Persentase
5 4 5,00
3 3
2
1 1 1
0 0,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12 13 21
Lama Rawat Inap (Hari)

Berdasarkan penelitian sebelumnya di RS PMI Bogor, faktor yang


mempengaruhi lama hari rawat yang panjang adalah pasien diruangan intensive,
memiliki komplikasi dan jumlah penyakit penyerta. Sedangkan faktor yang
mempengaruhi lama hari rawat lebih singkat adalah cara keluar pasien yang
keluar atas permintaan sendiri (Purba, 2013).
Komorbiditas atau adanya penyakit penyerta turut berpengaruh terhadap
lama rawat inap pasien (Purba, dkk., 2013). Di RSU Kota Tangerang Selatan lama
rawat inap pasien stroke iskemik dipengaruhi oleh faktor-faktor pengobatan
seperti: durasi pemberian hemostatik intravena, penggunaan obat-obat dengan
pengawasan khusus, dan komplikasi yang muncul akibat perawatan selama di
rumah sakit pada pasein dengan diagnosis stroke iskemik dengan riwayat stroke
hemoragik.
Pasien dinyatakan dapat meninggalkan rumah sakit apabila dinyatakan
membaik, meninggal, atau atas permintaan sendiri dengan persetujuan dokter.
Pada penelitian ini dari 102 pasien, 90 pasien (88,24%) keluar rumah sakit dengan
keterangan membaik, 5 pasien (4,9%) keluar rumah sakit atas permintaan sendiri,
sedangkan 7 pasien lainnya (6,86%) dinyatakan meninggal. Gambaran mengenai

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


46

keterangan keluar rumah sakit pasien stroke iskemik di RSU Kota Tangerang
Selatan tahun 2018 adalah sebagai berikut:

Gambar 4.3 Diagram keterangan keluar rumah sakit pasien stroke iskemik di
IRNA RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018.

Keterangan Pasien Keluar RS


6,86%
4,90%

88,24%

Membaik (90 orang) APS (5 orang) Meninggal (7 orang)

4.2 Gambaran Penggunaan Obat


Pada profil obat-obatan ini kelas terapi dan golongan obat diklasifikasikan
berdasarkan Formularium Nasional tahun 2017 dengan perubahan dan beberapa
revisi di tahun 2018.

Tabel 4.2 Profil penggunaan obat pada pasien stroke iskemik di Instalasi Rawat
Inap RSU Kota Tangerang Selatan 2018.
No Golongan Jumlah Persentase
Kelas Terapi Nama Obat
. Obat Frekuensi (%)
1. Neuroprotektor Piracetam 69 8,25
Mecobalamin 90 10,77
Citicoline 84 10,05
2. Antiplatelet Aspirin 49 5,86
Clopidogrel 2 0,24
Cilostazol 17 2,03
3. Diuretik Diuretik Kuat Furosemide 6 0,72
Diuretik Spironolaktone 2 0,24

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


47

Hemat
Kalium
Thiazid HCT 13 1,56
Diuretik Manitol
8 0,96
Osmotik
4. Antihipertensi Calsium Amlodipin 11 1,32
Chanel Nimodipin 4 0,48
Blocker Diltiazem 56 6,70
(CCB) Nifedipin 5 0,60
ACE Kaptopril 1 0,12
Inhibitor Ramipril 16 1,91
Perindopril 1 0,12
Angiotensin Candesartan 5 0,60
II Receptor Valsartan 3 0,36
Blocker Telmisartan 1 0,12
(ARB)
Beta Blocker Bisoprolol 6 0,72
5. Antihiperlipidemia Statin Simvastatin 4 0,48
Atorvastatin 39 4,67
6. Antiaritmia Amiodaron 2 0,24
7. Antikoagulan Warfarin 1 0,12
Rivaroxaban 6 0,72
Fondaparinux 1 0,12
8. Obat gagal jantung Glikosida Digoxin
1 0,12
Jantung
Nitrat ISDN 1 0,12
9. Antivirus Acyclovir 1 0,12
10. Antibakteri Antibakteri Cotrimoxazole 1 0,12
lain Mupirocin 1 0,12
Antifungi Ketokonazole 1 0,12
Antituberkul OAT
1 0,12
osis
Polipeptida
Polymixin B
1 0,12
sulfate, Neomycin
Cefalosporin Ceftriaxone 5 0,60
Cefotaxime 1 0,12
Ceftizoxime 39 4,67
SNMC 2 0,24
Kunilon Levofloxacin 2 0,24
Moxifloxacin 1 0,12
11. Analgetik, Analgetik Paracetamol 6 0,72
Antipiretik, Non Narkotik Ketorolak 2 0,24
Antiinflamasi Non Analgetik Morfin 1 0,12

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


48

Steroid Narkotik
Antiinflamasi Dexketoprofen
40 4,78
Non Steroid
12. Obat Saluran Cerna Proton Pump Omeprazole 36 4,31
Inhibitor
Pantoprazole 4 0,48
(PPI)
Antiemetik Ondancentron 3 0,36
Granicentron 3 0,36
Antagonis Ranitidin
27 3,23
ReceptorH2
13. Obat Saluran Napas B2 Agonist/ Salbutamol
Bronchodilat 1 0,12
or
Adrenergic Oxymetazolin
Receptor 1 0,12
Agonist
14. Antidiabetik Biguanida Metformin 1 0,12
Insulin Aspart 5 0,60
Glargine 5 0,60
15. Hemostatik As. Traneksamat 7 0,84
Vitamin K 2 0,24
Carbazochrom 2 0,24
16. Kortikosteroid Dexamethason 6 0,72
17. Mukolitik Acetilcystein 2 0,24
18. Ekspektoran Erdostein 1 0,12
19. Pencahar Parafin Liq. 2 0,24
20. Antiparkinson Trihexifenidil 1 0,12
21. Antiskizoferenia Risperidone 1 0,12
22. Antiepilepsi Fenitoin 1 0,12
23. Antipsikotropik Psikotropik Haloperidol 1 0,12
Alprazolam 4 0,48
Lorazepam 1 0,12
24. Antikonvulsan Gabapentin 3 0,36
25. Antivertigo Betahistin 2 0,24
Flunarizin 1 0,12
26. Suplemen Hepatoprotek Curcuma 2 0,24
tor Eks. Echinaecea 2 0,24
Penambah Fe fumarat +
1 0,12
Darah vitamin
27. Vitamin dan Mineral Kalium klorida 3 0,36
Mineral
Vitamin larut Vit. B Komplek 1 0,12
air Vit. B Komplek +
D3 1 0,12
28. Asam amino Asam amino + 13 1,56

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


49

elektrolit
Emulsi lemak +
12 1,44
soybean oil
Asam amino +
3 0,36
sorbitol
Esensial ketoacid 3 0,36
Asam amino +
1 0,12
nitrogen
29. Elektorlit Otsu salin 1 0,12
KAEN 1B 1 0,12
KAEN 3B 1 0,12
Ringer Laktat 10 1,20
Natrium, Cl ,
Kalium, Ca,
Magnesium,
acetate, NaCl, 48 5,74
KCl, CaCl2,
Mg(OH)2, Na
acetate
30. Golongan lain Vitamin E
Ergocalciferol
1 0,12
Phytomenadione
Retinol Palmitate
Jumlah 835 100,00

Dari total 835 penggunaan obat pada tabel 4.2 gambaran penggunaan obat
pada pasien stroke iskemik rawat inap di RSU Kota Tangerang Selatan tahun
2018, didapatkan daftar 10 besar obat yang paling sering diresepkan yang
tercantum pada gambar 4.4.

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


50

Gambar 4.4 Daftar 10 besar obat yang paling sering diresepkan pada pasien
stroke iskemik RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018.
100 12
90
90 10
80
70
84
8
60 69
50 6
56
40 49 48 Penggunaan obat
40 39 39 36 4
30
Persentase
20
2
10
0 0

Pada gambar 4.4 terlihat bahwa obat yang paling sering diberikan adalah
obat golongan neuroprotektor. Selanjutnya terdapat obat golongan antihipertensi,
antiplatelet, antihiperlipidemia, dan antiinflamasi non steroid. Penatalaksanaan
pengobatan stroke iskemik terbagi dalam penatalaksanaan fase akut dan sekunder.
Secara umum, terapi stroke iskemik bertujuan untuk mengurangi progresifitas
kerusakan neurologi dan mengurangi angka kematian serta mencegah terjadinya
stroke ulangan (Fagan dan Hess, 2008).
Terdapat dua tujuan spesifik untuk pengobatan stroke iskemik akut, yaitu
pemulihan aliran darah dan peningkatkan kelangsungan hidup sel-sel dari jaringan
saraf setelah cedera pada system saraf pusat (Misbach, 2011). Neuroprotektan
merupakan salah satu terapi yang ditujukan untuk mengurangi terjadinya
kerusakan sel karena terhambatnya aliran darah yang memasok oksigen. Obat
neuroprotektan yang sering dipakai dalam terapi stroke iskemik adalah citicoline
dan piracetam (Praja, 2013)
Golongan neuroprotektor yang digunakan di IRNA RSU Tangsel adalah
mecobalamin (10,77%), citicoline (10,05%) dan piracetam (8,25%). Tujuan
pemberian obat golongan neuroprotektor adalah sebagai perlindungan pada sistem

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


51

saraf pusat yang mengalami infark (Handayani, 2018). Dalam penelitiannya,


pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang efekif,
sehingga belum dianjurkan (PERDOSSI, 2011). Namun, citicolin sampai saat ini
masih memberikan manfaat pada stroke akut. Penggunaan citicolin pada stroke
iskemik akut dengan dosis 2x1000 mg intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan
oral 2x1000 mg selama 3 minggu dilakukan dalam penelitian ICTUS (PERDOSSI,
2011). Walaupun demikian, keberhasilan penggunaan terapi neuroprotektan
terhadap perbaikan kondisi klinis pasien dapat dilihat dari tingkat kesadaran
pasien (GCS) dan perbaikan gejala yang dialami pasien yang dipantau melalui
perbaikan fungsi motorik serta berbicara pasien (Praja, 2013; Taufiqurrahman,
2016).
Golongan antihipertensi yang paling sering diresepkan adalah Diltiazem
sebanyak 56 pasien (6,70%) baik secara intravena maupun oral. Penurunan
tekanan darah yang tinggi sendiri termasuk dalam penatalaksanan terapi pada
stroke iskemik, yang harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan
beberapa kondisi pasien. Obat antihipertensi yang digunakan adalah labetalol,
nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena. Obat golongan
Calsium Chanel Blocker seperti diltiazem dan nikardipin memiliki keuntungan
yaitu awitan cepat (1-5 menit), tidak terjadi rebound yang bermakna jika
dihentikan, eliminasi tidak dipengaruhi oleh disfungsi hati atau renal, potensi
interaksi obat rendah, tidak terjadi rebound atau takiflaksis (PERDOSSI, 2011).
Pada stroke iskemik akut, hipertensi yang tidak dikelola dengan baik dapat
berakibat meluasnya area infark, edema serebral serta transformasi perdarahan,
sedangkan pada stroke hemoragik, hipertensi dapat mengakibatkan perdarahan
ulang dan semakin meluasnya perdarahan (Handayani, 2018).
Penggunaan obat golongan antiplatelet yang paling banyak adalah aspirin
sebanyak 49 pasien (5,86%). Aspirin merupakan antiplatelet yang paling
direkomendasikan untuk pencegahan kejadian kardiovaskuler, termasuk stroke
(PERDOSSI, 2011). Asetosal bekerja sebagai antiplatelet dengan menghambat
secara irreversibel siklooksigenase dimana dapat mencegah konversi asam

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


52

arakhidonat menjadi tromboxan A2 yang merupakan vasokonstriktor kuat


agregasi platelet (Handayani, 2018).
Antihiperlipidemia yang paling sering diresepkan adalah atorvastatin
sebanyak 39 pasien (4,67%). Pasien stroke iskemik dan TIA yang memiliki nilai

LDL ≥100 mg/dL, maka diperlukan pemberian terapi dengan menggunakan statin
untuk mengurangi terjadinya stroke berulang atau penyakit kardiovaskuler
lainnya. Pada studi SPARCL (Stroke Prevention by Aggresive Reduction in
Cholesterol Level), terapi statin dengan atorvastatin akan mengurangi kejadian stroke
berulang (HR 0,84; CI 0,71-0,99) (PERDOSSI, 2011).
Obat analgetik atau antiinflamasi yang paling sering diresepkan adalah
dexketoprofen intravena sebanyak 40 pasien (4,78%). Penggunaan obat ini
bertujuan untuk menangani rasa nyeri pada pasien. Penanganan nyeri termasuk
dalam penatalaksanaan dalam stroke, karena kemungkian penyebabnya yaitu
spastisitas akibat dari muskuloskletal dan neuropatik. Mekanisme kerja
dexketoprofen yaitu penghambatan terhadap aktivitas COX-1 dan COX-2 dan
memiliki aktivitas analgesik yang efektif. Efek analgesik dapat dicapai dalam
waktu 30 menit setelah pemberian dan puncaknya dapat dicapai dalam waktu 45
menit.

4.3 Gambaran Interaksi Obat Potensial


Hasil penelitian terhadap regimen rekam medis pasien stroke iskemik di
ruang IRNA RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018 menunjukkan bahwa angka
kejadian terjadinya potensi interaksi obat sebanyak 78 pasien dengan persentase
(76.47%).

Tabel 4.3 Angka Kejadian Interaksi Obat yang Potensial di IRNA RSU Kota
Tangerang Selatan tahun 2018.
Jumlah Persentase
No. Potensi Interaksi
Pasien (%)
1. Terjadi Interkasi 78 76,47
2. Tidak Terjadi Interaksi 24 23,53
Total 102 100

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


53

Dari total 102 sampel, dijumpai 78 kasus yang memiliki potensi untuk
terjadinya interaksi antar obat. Total interaksi obat-obat yang terjadi pada pasien
stroke iskemik rawat inap di RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018
berdasarkan mekanisme terjadinya interaksi obat tercantum pada Tabel 4.4 dan
distribusi terjadinya masalah yang timbul karena interaksi antar obat berdasarkan
tingkat keparahannya tercantum pada Tabel 4.5.

Tabel 4.4 Potensi interaksi obat berdasarkan mekanismenya di IRNA RSU Kota
Tangerang Selatan tahun 2018.
No. Mekanisme Interaksi Jumlah kasus Persentase (%)
1. Farmakokinetik 119 35,31
Absorpsi 27 8,01
Distribusi 25 7,42
Metabolisme 33 9,79
Ekskresi 34 10,09
2. Farmakodinamik 194 57,57
3. Belum diketahui 24 7,12
Total 337 100

Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang terjadi apabila satu obat


mengubah absorbsi, distribusi, metabolisme, atau ekresi obat lain. Dengan
demikian jenis interaksi ini dapat meningkatkan atau mengurangi jumlah
konsentrasi obat dalam tubuh yang akan berpengaruh terhadap efek
farmakologinya. Potensi interaksi farmakokinetik yang sering terjadi pada terapi
pasien stroke iskemik di IRNA RSU Tangerang Selatan tahun 2018 adalah
diltiazem dengan atorvastatin sebanyak 27 kasus (7,12%). Berdasarkan tingkat
keparahannya interaksi diltiazem dengan atorvastatin termasuk ke dalam kategori
moderat. Interaksi diltiazem dengan atorvastatin terjadi pada fase metabolisme,
dimana pemberian secara bersamaa dengan inhibitor CYP450 3A4 dapat
meningkatkan konsentrasi plasma HMGCoA reduktase inhibitor (mis., statin)
yang dimetabolisme oleh isoenzim (Drug-interactioncheck.com). Tingginya
tingkat aktivitas penghambatan HMG-CoA reduktase dalam plasma akan
meningkatkan kadar atorvastatin dalam darah dan dapat mengakibatkan resiko
terjadinya efek samping seperti rabdomyolisis (Stockley, 2015).

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


54

Selain itu, interaksi farmakokinetik yang sering terjadi juga terdapat pada
omeprazole dan atorvastatin sebanyak 21 kasus (6,23%). Berdasarkan tingkat
keparahannya interaksi omeprazole dengan atorvastatin termasuk dalam kategori
moderat. Laporan kasus menunjukkan bahwa pemberian bersama dengan
esomeprazole dan golongan obat inhibitor pompa proton lainnya (seperti:
omeprazole, lansoprazole, pantoprazole) dapat meningkatkan plasma konsentrasi
atorvastatin dan risiko terkait miopati. Mekanisme yang diusulkan yaitu
kompetitif penghambatan P-glikoprotein usus, mengakibatkan penurunan sekresi
obat ke dalam lumen usus dan peningkatan bioavailabilitas obat (Drug-
interactioncheck.com).
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang
mempunyai efek farmakologi yang serupa atau berlawanan. Jenis interaksi ini
dapat disebabkan karena kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi antara
obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang sama. Potensi interaksi
farmakodinamik yang sering terjadi pada terapi pasien stroke iskemik di IRNA
RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018 ialah diltiazem dengan aspirin sebanyak
32 kasus (9,5%). Berdasarkan tingkat keparahannya interaksi diltiazem dengan
aspirin masuk ke dalam kategori moderat. Diltiazem dapat mengubah efek terapi
dari aspirin sehingga perlu memonitoring efek antiplatelet dari aspirin berupa
pendarahan (Lexi-Comp, Inc).
Interaksi yang belum diketahui yaitu interaksi antara obat-obatan, namun
terjadinya perubahan efek terapi pada salah satu atau kedua obat tersebut belum
diketahui mekanismenya serta efek yang terjadi, hal ini dikarenakan kurangnya
penelitian lebih lanjut maupun laporan terhadap interaksi yang terjadi. Interaksi
yang belum diketahui mekanismenya yang sering terjadi pada terapi pasien stroke
iskemik di IRNA RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018 yaitu diltiazem dengan
insulin sc (Insulin glargine dan insulin aspart). Berdasarkan tingkat keparahannya
interaksi obat ini adalah kategori minor. Laporan kasus tunggal menunjukkan
bahwa diltiazem dapat menurunkan efek hipoglikemik insulin. Mekanisme
interaksi tidak diketahui. Beberapa penelitian juga tidak memiliki efek signifikan
pada kontrol glukosa pada 23 pasien hipertensi dengan diabetes tipe II. Sehingga

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


55

penting untuk pemantauan glukosa darah lebih dekat sampai kontrol glukosa
terjamin (Drug-interactioncheck.com).

Tabel 4.5 Potensi interaksi obat berdasarkan tingkat keparahannya di IRNA RSU
Kota Tangerang Selatan tahun 2018.
Potensi Jumlah Persentase
No. Obat A Obat B
Interaksi Kasus (%)
1. Mayor Diltiazem Cilostazol 8 2,37
Simvastatin 2 0,59
Amiodaron 1 0,30
Bisoprolol 1 0,30
Ramipril Asam amino +
2 0,59
elektrolit
Potasium
1 0,30
klorida
Aspirin Rivaroxaban 3 0,89
Pantoprazole 1 0,30
Ketorolak 1 0,30
Cilostazol Omeprazole 3 0,89
Clopidogrel Omeprazole 2 0,59
Rivaroxaban 1 0,30
Atorvastatin Ketokonazole 1 0,30
Haloperidol Risperidone 1 0,30
Fenitoin Nimodipin 1 0,30
Amlodipin Simvastatin 2 0,59
Valsartan Asam amino +
1 0,30
elektrolit
Amiodaron CPZ 1 0,30
Dexamethason 1 0,30
2. Moderat Diltiazem Aspirin 32 9,50
Asam amino +
5 1,48
mmineral
Atorvastatin 24 7,12
Rivaroxaban 4 1,19
Dexamethason 2 0,59
Amlodipin 3 0,89
Granicentron 1 0,30
Haloperidol 1 0,30
Risperidone 1 0,30
Lorazepam 1 0,30
Morphin 1 0,30
Alprazolam 3 0,89
Ketokonazole 1 0,30

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


56

Nimodipin 1 0,30
Ketorolac 2 0,59
Aspirin Ramipril 10 2,97
Cilostazol 13 3,86
Candesartan 2 0,59
Nifedipin 2 0,59
Amlodipin 4 1,19
Dexamethason 3 0,89
Valsartan 2 0,59
Clopidogrel 1 0,30
Digoxin 1 0,30
Nimodipin 1 0,30
Insulin
2 0,59
glargine
Insulin aspart 3 0,89
Levofloxacin 1 0,30
Budesonide
160 mcg,
Formoterol 1 0,30
Fumarate 4.5
mcg
HCT Ramipril 12 3,56
Omeprazol 9 2,67
Salbutamol 1 0,30
Furosemid 1 0,30
Bisoprolol 1 0,30
Alprazolam 2 0,59
Atorvastatin Omeprazol 21 6,23
Nifedipin 3 0,89
Clopidogrel 2 0,59
Dexamethason 1 0,30
Pantoprazole 2 0,59
Digoxin 1 0,30
Digoxin Omeprazole 1 0,30
Bisoprolol Amlodipin 3 0,89
Furosemid 5 1,48
Nifedipin 2 0,59
Amiodaron 1 0,30
Spronolactone 1 0,30
Insulin
1 0,30
glargine
Insulin aspart 1 0,30
Furosemid Omeprazole 3 0,89
Alprazolam 1 0,30
Nifedipin Cilostazol 1 0,30
Rivaroxaban 1 0,30

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


57

Amlodipin Dexamethason 1 0,30


Candesartan Dexamethason 1 0,30
Ramipril Dexamethason 1 0,30
Alprazolam 2 0,59
Risperidone 1 0,30
Lorazepam 1 0,30
Haloperidol 1 0,30
Ketorolak Ramipril 1 0,30
Ceftizoxime Warfarin 1 0,30
Furosemid 3 0,89
Paracetamol Fenitoin 1 0,30
Fenitoin Omeprazole 1 0,30
Warfarin Omeprazole 1 0,30
Nimodipin Asam amino +
1 0,30
elektrolit
CPZ 1 0,30
Captopril Alprazolam 1 0,30
Omeprazole Simvastatin 1 0,30
Fe fumarat +
1 0,30
vitamin
Alprazolam 3 0,89
Lorazepam Risperidone 1 0,30
Trihexsifenidil 1 0,30
Haloperidol 1 0,30
Haloperidol Trihexsifenidil 1 0,30
Trihexsifenidil Risperidone 1 0,30
Moxifloxacin Metformin 1 0,30
Ketokonazole Omeprazole 1 0,30
3. Minor Diltiazem Ramipril 16 4,75
Perindopril 1 0,30
Captopril 1 0,30
Insulin
5 1,48
glargine
Insulin aspart 5 1,48
Aspirin Omeprazol 16 4,75
Furosemid 2 0,59
Bisoprolol 2 0,59
Pantoprazole 1 0,30
Nifedipin Omeprazol 5 1,48
ISDN Omeprazole 1 0,30
Warfarin Furosemid 1 0,30
Spironolacton 1 0,30
Atorvastatin 1 0,30
Ranitidin Ketorolac 1 0,30
Paracetamol 2 0,59

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


58

Ketokonazole Granicentron 1 0,30


Potasium Insulin
1 0,30
klorida glargine
Insulin aspart 1 0,30
HCT Amlodipin 1 0,30
Ramipril Amlodipin 1 0,30
Cotrimoxazole Ondancentron 1 0,30
Total 337 100

Sebuat interaksi termasuk ke dalam tingkat keparahan mayor yaitu jika


terdapat probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk
kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen.
Potensi interaksi obat yang sering terjadi pada kategori mayor yaitu diltiazem
dengan Cilostazol yaitu sebanyak 8 kasus (2,37%). Interaksi diltiazem dengan
cilostazol ini terjadi secara farmakokinetik pada fase metabolisme. Pemberian
bersama dengan inhibitor CYP450 3A4 dan/atau 2C19 dapat meningkatkan
plasma konsentrasi cilostazol dalam darah, yang dapat menyebabkan efek
farmakologis yang berkepanjangan dari cilostazol (Drug-interactioncheck.com;
Lexi-Comp, Inc). Produsen cilostazol di Inggris dan AS menyarankan untuk
mengurangi dosisnya menjadi 50mg dua kali sehari bila diberikan dengan
inhibitor CYP3A4 apa pun (Stockley, 2015).
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderat yaitu jika efek
yang timbul dapat berakibat pada penurunan dari status klinik pasien sehingga di
butuhkan terapi tambahan. Potensi interaksi obat yang sering terjadi pada kategori
moderat yaitu diltiazem dan aspirin sebanyak 32 kasus (9,5%). Interaksi ini terjadi
secara farmakodinamik. Sehingga perlu untuk memonitoring peningkatan efek
antiplatelet aspirin (Drug-interactioncheck.com).
Tingkat keparahan minor diklasifikasikan jika interaksi mungkin terjadi
tetapi dipertimbangkan signifikan potensial tidak berbahaya terhadap pasien jika
terjadi kelalaian. Potensial interaksi obat yang sering terjadi pada kategori minor
diltiazem dengan ramipril dan omeprazole dengan aspirin yaitu masing-masing
sebanyak 16 kasus (4,75%). Interaksi diltiazem dengan ramipril terjadi secara
farmakodinamik. Penggunaan bersama golongan obat Ca Channel Blocker dan
inhibitor angiotensin converting enzyme (ACEI) memiliki efek hipotensi yang

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


59

aditif. Walaupun obat-obatan ini sering digunakan bersama secara aman,


pemantauan cermat terhadap tekanan darah sistemik dianjurkan selama pemberian
bersama, terutama selama satu hingga tiga minggu pertama terapi. Selain itu,
interaksi obat antara omeprazole dan aspirin terjadi secara farmakokinetik.
Pemberian bersama dengan inhibitor pompa proton dapat menurunkan
ketersediaan hayati oral dari aspirin dan salisilat lainnya. Sehingga akan
berkurangnya efek terapi dari aspirin (Drug-interactioncheck.com).
Selain itu, ditemui juga interaksi yang bersifat mayor-kontraindikasi
yaitu interaksi obat aspirin dengan ketorolak sebanyak satu kasus (0,30%).
Interaksi ini dapat meningkatkan efek samping penggunaan kedua obat tersebut.
Penggunaan ketorolak dalam kombinasi dengan obat antiinflamasi nonsteroid
lainnya (NSAID) dapat meningkatkan risiko efek samping NSAID yang serius
termasuk gagal ginjal dan gastrointestinal peradangan, perdarahan, ulserasi, dan
perforasi (Drug-interactioncheck.com; Lexi-Comp, Inc). Sehingga hindari
penggunaan bersama kedua obat ini dan gunakan alternatif terapi lainnya
(Stockley, 2015).

4.4 Keterbatasan Penelitian


Dalam penelitian ini penulis memiliki beberapa keterbatasan dimana
peneliti tidak memperhatikan subjek sampel secara lansung, terkait waktu
pemberian obat pasien sehingga tidak diketahui terjadi atau tidaknya interaksi
obat. Selain itu masih banyak variabel dan data-data pendukung seperti data
penyakit penyerta dan hasil lab yang lengkap yang mungkin berhubungan dengan
kejadian interaksi obat tetapi tidak diteliti karena kurangnya data yang terekam
pada rekam medis pasien.

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada 102 pasien stroke iskemik di ruang
IRNA RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018 terdapat beberapa kesimpulan
yang dapat ditarik sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu :
1. pasien dengan jenis jenis kelamin perempuan (52,94%) lebih banyak
dibandingkan laki-laki (47,06%). Didominasi oleh pasien yang mempunyai
kelompok usia 49 – 58 tahun sebanyak 29 pasien (28,43%) dengan waktu
lama rawat inap pasien rata-rata adalah 7,8 hari.
2. Obat yang paling sering diberikan adalah obat golongan neuroprotektor
yaitu mecobalamin (10,77%), citicoline (10,05%) dan piracetam (8,25%).
3. Angka kejadian terjadinya potensi interaksi obat berdasarkan literatur yaitu
sebanyak 78 pasien dengan persentase (76.47%). Jenis interaksi obat
berdasarkan mekanismenya menunjukkan interaksi farmakokinetik
(35,31%), interaksi farmakodinamik (57,57%), belum diketahui (7,12%),
dan tidak ditemukan interaksi farmasetika. Berdasarkan tingkat
keparahannya, interaksi Mayor (10,09%), interaksi Moderate (70,03%), dan
interaksi Minor (19,88%). Potensi interaksi obat berdasarkan literatur paling
banyak ditemukan antara diltiazem dengan aspirin sebanyak 32 kasus
(9,5%) dengan kategori moderat. Diltiazem dapat mengubah efek terapi dari
aspirin sehingga perlu memonitoring efek antiplatelet dari aspirin berupa
pendarahan.

5.2 Saran
Pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan pengambilang sampel lansung
secara observasional dengan variabel yang lebih banyak, sehingga dapat
diperhatikan interaksi obat yang terjadi. Serta perlu dibuat Stroke Center agar
dapat diteliti lebih lanjut mengenai drug related problem terapi pada pasien stroke
iskemik di IRNA RSU Kota Tangerang Selatan.

60
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Insra Gunawan., dan Panggabean, Reggy. 2016. Pengelolaan Tekanan


Tinggi Intrakranial pada Stroke. Jurnal CDK-238. Vol. 43 No. 3.
Universitas Padjajaran: Fakultas Kedokteran. Diakses 25 April 2019.
www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/download/30/27.
Anonim. 2019. What is Drug Interaction?. https://aidsinfo.nih.gov/understanding-
hiv-aids/fact-sheets/21/95/what-is-a-drug-interaction-. Diakses tanggal
25 April 2019.
Arofah, Annisa Nurul. (2011). Penatalaksanaan Stroke Trombolitik. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional. Edisi 7. Hal. 65-70.
Arum, S.P.(2015). Stroke Kenali Cegah dan Obati. Yogyakarta: Notebook.
Halaman 20-21.
Basjiruddin, Ahmad,. Darwin Amir (ed.). 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf
(Neurologi) edisi 1. Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.
Baxter, Karen. 2008. Stockley’s Drug Interactions. Eighth Edition. London:
Pharmaceutical Press.
Departemen Kesehatan RI. (2014). Standar Pelayanan Keperawatan Stroke di
Rumah Sakit. Jakarta.
Dinata, C.A., Safrita, Yuliarni., Sastri, Susila. 2013. Jurnal: Gambaran Faktor
Risiko dan Tipe Stroke pada Pasien Rawat Inap di Bagian Penyakit
Dalam RSUD Kabupaten Solok Selatan Periode 1 Januari 2010 - 31
Juni 2012. Jurnal Kesehatan Andalas. Jilid 2.
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. dan DiPiro C. V.(2015).
Pharmacotherapy Handbook. Edisi 9. Inggris: McGraw-Hill Education
Companies.
Fagan, S.C. dan Hess, D.C., 2008. Stroke. In: Wells, Barbara G., Dipiro, J.T.,
Schwinghammer, T.L. dan Dipiro, C.V. A Pharmacotherapy:
Pathophysiologic Approach, 7th Ed. New York: The McGraw Hills, hal
373-381

61
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
62

Ghani, Lannywati., Mihardja, Laurentia K., Delima. (2016). Farktor Risiko


Dominan Penderita Stroke di Indonesia. Hal 49-58.
Guyton, Arthur C; John E Hall. 2007. Textbook of Medical Physiology. Edisi 11.
Terjemahan; Dian Ramadhani; Fara Indriyani; Frans Dany; Imam
Nuryanto; Srie Sisca Prima Rianti; Titiek Resmisari; Joko Suryono.
2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta: EGC.
Handayani, dian., Dominica, dwi., 2018. Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian
Indonesia: Gambaran Drug Related Problems (DRP’s) pada
Penatalaksanaan Pasien Stroke Hemoragik dan Stroke Non Hemoragik
di RSUD Dr M Yunus Bengkulu. Vol.5 No.1. Bengkulu: Universitas
Bengkulu.
Hananta, I Putu Yuda., Harry Freitag L.M. (2011). Deteksi Dini dan Pencegahan
Hipertensi dan Stroke. Yogyakarta: Media Pressindo.
Harkness, Richard. 1984. Interaksi Obat. Terjemahan oleh Goeswin Agoes dan
Mathilda B. Widianto. 1989. Bandung: Penerbit ITB
Harsono, DSS,. 2007. Gambaran Umum tentang Gangguan Peredaran Darah
Otak: Kapita Selekta Neurologi. UGM Press. Yogyakarta.
Herdiningsih, Sulastri. Et al. (2016). Potensi Interaksi Obat-Obat pada Resep
Polifarmasi: Studi Retrospektif pada Salah Satu Apotek di Kota
Bandung. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. Edisi 5. Hal 288-292.
jurnal.unpad.ac.id/ijcp/article/download/13762/pdf. Diakses pada
tanggal 25 April 2019
Ikawati, Z. 2014. Farmakologi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta: Bursa
Ilmu
Junaidi, I. 2006. Stroke A-Z. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. Halaman 35.
Junaidi, I. 2011. Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Halaman 13-75.
KEMENKES RI. 2014, Situasi Kesehatan Jantung. Pusat Data dan Informasi.
Jakarta Selatan.
Laily, Siti Rohmatul. (2016). Hubungan Karakteristik Penderitadan Hipertensi
dengan Kejadian Stroke Iskemik. Hal 48-59.

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


63

Mestre, Humberto., et. All,. 2013. Pharmacological Treatment of Acute Ischemic


Stroke. inTech. http://dx.doi.org/10.5772/53774.
Misbach, J., 2011. Stroke: aspek diagnostik, patofisiologi, manajemen. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. Hal: 13-52.
Nurhaini, Rahmi., Akrom., Jatiningrum, Agnes., 2017. Gambaran Drug Related
Problems (DRPs) Pada Pasien Stroke Rawat Inap Rumah Sakit X Di
Yogyakarta. Universitas Ahmad Dahlan: Fakulat Farmasi.
PERDOSSI. (2011). Pedoman Penatalaksanaan Stroke. Himpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia.
PCNE. 2018. Classification for drug related problems. Pharmaceutical Care
Network Europe Foundation V 8.0 2018.
Presley, Bobby. (2014). Penatalaksanaan Farmakologi Stroke Iskemik Akut.
Buletin Rasional. Edisi 12. Hal 6-8. repository.ubaya.ac.id/21378.
Diakses tanggal 25 April 2019.
Preston, L. Claire. 2015. Stockley’s Drug Interactions. Pocket companion.
London: Pharmaceutical Press.
Purba, Imelda. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Lama Hari Rawat
Inap Pasien Stroke Iskemik di Rumah Sakit PMI Bogor Tahun 2012.
Depok: Universitas Indonesia.
Rohmah, Qurrotun „Ayun Mawadatur., dan Harahap, Mohammad Sofyan. (2015).
Hubungan antara Usia dengan Komplikasi Stroke Diruang Rawat
Intensif RSUP dr. Kariadi Semarang. Jurnal Media Medika Muda. Edisi
4. Hal.1377-1383.
Safira, Isni. 2019. Gambaran Interaksi Obat Pada Pasien Stroke di Rumah Sakit
Pusat Otak Nasional Periode Mei-Juni 2016. ISTN: Fakultas Farmasi.
Jakarta Selatan.
Stockley, I.H. (2010). Stockley’s Drug Interaction. Edisi 9. Great Britain:
Pharmaceutical Press.
Taufiqurrahman., Sari, Indah. 2016. Manfaat Pemberian Sitikoline pada Pasien
Stroke Non Hemoragik (SNH). Jmedula Unila: Vol. 6, Hal. 165-171

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


64

Ulfa, Mahya. 2017. Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Stroke Di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Fakultas Farmasi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
World Health Organization (WHO). (2014). Stroke, Cerebrovaskular accident.
https://www.who.int/topics/cerebrovascular_accident/. Diakses 23 April
2019.

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Surat Permohonan Izin Pengambilan Data/Penelitian

65
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
66

Lampiran 2: Surat Balasan Izin Pengambilan Data

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


Lampiran 3: Surat Balasan Izin Penelitian

67
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Lampiran 4: Surat Keterangan Selesai Penelitian

68
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Lampiran 5: Beberapa Sampel Data Pasien

Formulir Data Pasien Diagnosa Stroke di Rawat Inap di RSU TANGSEL Periode 2018
1 = Laki-Laki D.U = Diagnosa Utama
2 = Perempuan D.S = Diagnosa Sekuder
DIAGNOSA UTAMA OBAT YG HASIL LAB
NO JK UMUR TGL DIRAWAT RUTE DOSIS PENYAKIT PENYERTA PEMERIKSAAN FISIK2 HASIL LAB
DAN SEKUNDER DIBERIKAN (HEMATOLOGI)
HB : 11,8 g/dL
1 L 49 02/09/2018 D.U : SNH Citicoline iv 2 x 500 mg Hipertensi BB : kg GDS : 139 mg/dl
Hematokrit :35 %
07/09/2018 D.S : HCT po 1 x 25 mg TD : 170/118 mmHg Ureum :38 mg/dl eritrosit : juta/ µL
Hemiparesis Dextra Ramipril po 1 x 10 mg TB : cm Kreatinin : 3,08 mg/dL Leukosit : 8,2 /µL
Hipertensi Ramipril po 1 x 100 mg Nadi : x/menit K.Total : mg/dL Trombosit : 349 /µL
Alpentin po 1 x 100 mg P: x/menit K.HDL : mg/dL MCV : fL
Pletaal po 2 x 50 mg suhu : 36,3 °C Trigliserida : mg/dL MCH : pg
Miniaspi po 1 x 80 mg K.LDL : mg/dL MCHC : g/dL
HB 17,3 g/dL
2 L 56 01/09/2018 D.U : SNH Citicoline iv 2 x 500 mg Hipertensi BB : kg GDS : 112 mg/dl
Hematokrit : 50 %
03/09/2018 D.S : Mecobalamin iv 1x1 TD :130/100 mmHg Ureum : mg/dl eritrosit : juta/ µL
Hemiparesis Sinistra Herbesser po 1 x 100 mg TB : cm Kreatinin : mg/dL Leukosit : 7,7 /µL
Hipertensi HCT po 1 x 25 mg Nadi : x/menit K.Total :188 mg/dL Trombosit :281 /µL
Ramipril po 1 x 10 mg P: x/menit K.HDL : mg/dL MCV : fL
Pletaal po 2 x 50 mg suhu : 36 °C Trigliserida : mg/dL MCH : pg
Miniaspi po 1 x 80 mg as. Urat: 5,9 K.LDL : mg/dL MCHC : g/dL
LED : 5 GDP : mg/dL
HB :14,2 g/dL
3 L 45 30/08/2018 D.U : SNH Citicoline iv 2x1g Hipertensi BB : kg GDS : 184 mg/dl
Hematokrit : 39 %
04/04/2018 D.S : Piracetam iv 4x3g Diabetes Melitus TD :200/120 mmHg Ureum : 24 mg/dl eritrosit : juta/ µL
Pneumonia
Hemiparesis Dextra omeprazole iv 2 x 40 mg TB : cm Kreatinin :1,27 mg/dL Leukosit :9,4 /µL
Respirasi
Hipertensi Mecobalamin iv 1x1 Nadi :92 x/menit K.Total : mg/dL Trombosit : 274 /µL
DM Herbesser iv 5 cc/jam P : 20 x/menit K.HDL : mg/dL MCV : fL
Clinimix iv 1x1 suhu : 37,4 °C Trigliserida : mg/dL MCH : pg
Clinoleic iv 1x1 K.LDL : mg/dL MCHC : g/dL
Levofloxacin iv 1 x 750 mg GDP : mg/dL
Paracetamol iv extra
HCT po 1 x 25 mg
Herbesser po 1 x 100 mg
Ramipril po 1 x 10 mg

69
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
HB :13,3 g/dL
4 L 66 28/08/2018 D.U : SNH Futrolit iv 20 tpm Diabetes Melitus 2 BB : kg GDS : 141 mg/dl 219
Hematokrit : 39 %
01/09/2018 D.S : Dexketoprofen iv 2x1 Hipertensi TD :130/80 mmHg Ureum :43 mg/dl eritrosit : juta/ µL
Hemiparesis Sinistra Citicoline iv 2x1g TB : cm Kreatinin :1,16 mg/dL Leukosit :10,2 /µL
Hipokalemia Piracetam iv 4x3g Nadi :110 x/menit K.Total : mg/dL Trombosit : 252 /µL
Affasia Broca omeprazole iv 2 x 40 mg P :26 x/menit K.HDL : mg/dL MCV : fL
Mecobalamin iv 2x1 suhu :36 °C Trigliserida : mg/dL MCH : pg
Ceftizoxime iv 2x1g Kalium: 2,5 -- 2,8 K.LDL : mg/dL MCHC : g/dL
NAC iv 2 x /hr
Herbesser po 1 x 100 mg
Atorvastatin po 1 x 20 mg
Miniaspi po 1 x 80 mg
HCT po 1 x 25 mg
Ramipril po 1 x 10 mg
Vectrin po 3 x 15 ml
Salbutamol po 3 x 2 mg GDP : mg/dL
HB : 12,2 g/dL
5 81 P 28/08/2018 D.U : SNH Luas Herbesser iv 5 mg/jam Jantung BB : kg GDS : 102 mg/dl
Hematokrit :37 %
29/08/2018 D.S : Edema cerebral Ceftizoxime iv 2x2g Hipertensi TD :120/70 mmHg Ureum :38 mg/dl eritrosit : 4,1 juta/ µL
Piracetam iv 4x3g TB : cm Kreatinin :1,05 mg/dL Leukosit : 9,7 /µL
Mecobalamin iv 1x1 Nadi : x/menit K.Total : mg/dL Trombosit : 229 /µL
Citicoline iv 2 x 250 mg P: x/menit K.HDL : mg/dL MCV :87 fL
Manitol iv 3 x 150 ml suhu : °C Trigliserida : mg/dL MCH : 30 pg
Futrolit iv 20 tpm K.LDL : mg/dL MCHC : 33 g/dL
Dexketoprofen iv 1x1
Clinimix iv 1x1
Clinoleic iv 1x1
Miniaspi po 1 x 80 mg
Xarelto po 1 x 10 mg
Atorvastatin po 1 x 20 mg
HB :15,6 g/dL 14,8
6 P 65 18/12/2018 D.U : SNH Ceftizoxime iv 2x2g BB : kg GlDS : mg/dl 114
Hematokrit : % 48
23/12/2018 D.S : Piracetam iv 4x3g TD : mmHg Ureum : 33 mg/dl eritrosit : juta/ µL
Mecobalamin iv 2x1 TB : cm Kreatinin : 0,67 mg/dL Leukosit :22,4 /µL 24
Trombosit : 511 /µl
omeprazole iv 2 x 40 mg Nadi : x/menit K.Total : mg/dL
585
Miniaspi po 1 x 80 mg P: x/menit K.HDL : mg/dL MCV : fL
Adalat Oros po 1x1 suhu : °C Trigliserida : mg/dL MCH : pg
Atorvastatin po 1 x 20 mg K.LDL : mg/dL MCHC : g/dL

70
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Lampiran 6: Potensi interaksi obat berdasarkan mekanismenya di IRNA
RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018.

Mekanisme Jumlah Persentase


No. Obat A Obat B
Interaksi Kasus (%)
1. Farmakokinetik
Absorpsi Omeprazole Nifedipin 5 1,48
Aspirin 16 4,75
Ketokonazol 1 0,30
Ranitidin Ketorolak 1 0,30
Pantoprazol Aspirin 1 0,30
Digoxin Omeprazole 1 0,30
Aspirin Bisoprolol 2 0,59
Distribusi Nifedipin Bisoprolol 2 0,59
Cilostazol 1 0,30
Omeprazole ISDN 1 0,30
Fenitoin Nimodipin 1 0,30
Dexamethason Atorvastatin 1 0,30
Diltiazem Amlodipin 3 0,89
Cilostazol 8 2,37
Clinimix Diltiazem 1 0,30
Atorvastatin Nifedipin 3 0,89
Metabolisme Diltiazem Atorvastatin 24 7,12
Simvastatin 2 0,59
Atorvastatin Clopidogrel 2 0,59
Omeprazole Alprazolam 1 0,30
Amiodaron Bisoprolol 1 0,30
Fenitoin Paracetamol 1 0,30
Ekskresi Diltiazem Alprazolam 3 0,89
Granicentron 3 0,89
Aspirin Digoxin 1 0,30
Atorvastatin Omeprazole 21 6,23
Pantoprazole 2 0,59
Digoxin 1 0,30
Omeprazole Simvastatin 1 0,30
Fenitoin Omeprazole 1 0,30
Ketorolak Ramipril 1 0,30
2. Farmakodinamik
Aspirin Clopidogrel 1 0,30
Furosemid 2 0,59
Candesartan 2 0,59
Ramipril 10 2,97
Nifedipin 2 0,59

71
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
72

Amlodipin 4 1,19
Cilostazol 13 3,86
Insulin 2
0,59
Glargine
Insulin aspart 3 0,89
Rivaroxaban 3 0,89
Nimodipin 1 0,30
Valsartan 2 0,59
Levofloxacin 1 0,30
Budesonide Aspirin 1
160 mcg,
Formoterol 0,30
Fumarate 4.5
mcg
Ramipril Asam amino 2
0,59
+ mineral
Ramipril Potasium 1
0,30
klorida
Asam amino + Nimodipin 1
0,30
mineral
Asam amino + Valsartan 1
0,30
mineral
HCT Ramipril 12 3,56
Salbutamol 1 0,30
Amlodipin 1 0,30
Furosemid 1 0,30
Bisoprolol 1 0,30
Clopidogrel Rivaroxaban 1 0,30
Diltiazem Perindopril 1 0,30
Aspirin 32 9,50
Ramipril 16 4,75
Captopril 1 0,30
Amiodaron 1 0,30
Bisoprolol 1 0,30
Nimodipin 1 0,30
Rivaroxaban 4 1,19
Bisoprolol Insulin 1
0,30
Glargine
Insulin aspart 1 0,30
Nifedipin Rivaroxaban 1 0,30
Ceftizoxime Warfarin 1 0,30
Dexamethason Amlodipin 1 0,30
Candesartan 1 0,30
Ramipril 1 0,30
Aspirin 3 0,89
Diltiazem 2 0,59

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


73

Amiodaron 1 0,30
Omeprazole Cilostazol 3 0,89
HCT 9 2,67
Fe fumarat + 1
0,30
vitamin
Amlodipin Simvastatin 2 0,59
Bisoprolol 3 0,89
Ramipril 1 0,30
Furosemid Alprazolam 1 0,30
Bisoprolol 5 1,48
Warfarin 1 0,30
Alprazolam Captopril 1 0,30
Ramipril 2 0,59
HCT 2 0,59
Clopidogrel Omeprazole 2 0,59
Spironolakton Warfarin 1 0,30
Spironolakton Bisoprolol 1 0,30
Ketokonazole Atorvastatin 1 0,30
Ketokonazole Diltiazem 1 0,30
Haloperidol Risperidon 1 0,30
Diltiazem 1 0,30
Trihexifenidil 1 0,30
Ramipril 1 0,30
Lorazepam 1 0,30
Morfin Diltiazem 1 0,30
Risperidon Ramipril 1 0,30
Diltiazem 1 0,30
Trihexifenidil 1 0,30
Lorazepam Risperidon 1 0,30
Trihexifenidil 1 0,30
Diltiazem 1 0,30
CPZ Amiodaron 1 0,30
CPZ Nimodipin 1 0,30
Ketorolak Aspirin 1 0,30
Diltiazem 2 0,59
Cotrimoxazole Ondancentron 1 0,30
3. Belum diketahui
Moxifloxacin Metformin 1 0,30
Diltiazem Insulin 5
1,48
Glargine
Insulin aspart 5 1,48
Potasium Insulin 1
0,30
klorida glargine
Insulin aspart 1 0,30

Institut Sains Dan Teknologi Nasional


74

Furosemid Ceftizoxime 3 0,89


Ketokonazole Granicentron 1 0,30
Omeprazole Warfarin 1 0,30
Atorvastatin Warfarin 1 0,30
Ranitidin Paracetamol 2 0,59
Furosemide omeprazole 3 0,89
Total 337 100

Institut Sains Dan Teknologi Nasional

Anda mungkin juga menyukai