SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Farmasi
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan ridho-Nya, saya
dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Program Studi Farmasi pada
Fakultas Farmasi Institut Sains Dan Teknologi Nasional. Penulis menyadari
bahwa skripsi ini tidak terwujud tanpa adanya bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini,
penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Dra. Lili Musnelina, M.si., Apt., selaku rektor Institut Sains Dan
Teknologi Nasional;
2. Dr. Refdanita, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Institut Sains
Dan Teknologi Nasional.
3. Jenny Pontoan, M.Farm., Apt., selaku Kaprodi Farmasi Institut Sains Dan
Teknologi Nasional.
4. dr. Allin Hendalin Mahdaniar, selaku Direktur RSU Kota Tangerang Selatan
beserta pihak terkait yang telah banyak membantu dalam memperoleh data
yang saya perlukan;
5. Fathin Hamida, M.Si., selaku Pembimbing Akademik penulis selama proses
perkuliahan di Institut Sains Dan Teknologi Nasional;
6. Fransisca Dhani Kurniasih. M. Farm., Apt., dan Okpri Meila, M. Farm.,
Apt., selaku Pembimbing Tugas Akhir penulis, yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan
skripsi ini;
7. Orang tua saya (Drs. Arsudin dan Dra. Dedeh Setiamanah) dan keluarga
saya atas kasih sayangnya yang tak pernah berhenti mendoakan dan
memberikan support; dan
8. Sahabat TIM KBS serta keluarga besar Farmasi RSU Tangsel atas segala
kebersamaan, bantuan, dorongan serta doa yang dicurahkan kepada saya
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis,
Laelatul Fitriani
iii
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
ABSTRAK
Interaksi obat yang terjadi dapat mempengaruhi outcome klinis pasien, dan
dianggap penting secara klinik bila meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi
efektivitas obat yang berinteraksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran interaksi obat yang terjadi pada pasien stroke iskemik di rawat inap
RSU Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini menggunakan rancangan analisis
deskriptif dengan metode retrospektif.
Identifikasi dilakukan terhadap 835 terapi obat dari 102 pasien stroke iskemik.
Berdasarkan hasil penelitian jenis interaksi obat berdasarkan mekanismenya
menunjukkan interaksi farmakokinetik (36,80%), interaksi farmakodinamik
(57,57%), belum diketahui (5,34%), dan tidak ditemukan interaksi farmasetika.
Berdasarkan tingkat keparahannya, interaksi Mayor (10,09%), interaksi Moderate
(70,03%), dan interaksi Minor (19,88%). Potensi interaksi obat berdasarkan
literatur paling banyak ditemukan antara diltiazem dengan aspirin sebanyak 32
kasus (9,5%) dengan kategori moderat.
Kata kunci: Stroke Iskemik, Interaksi obat, Mekanisme Interaksi obat, Tingkat
Keparahan Interaksi obat.
iv
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
ABSTRACT
Drug interactions that occur can affect a patient's clinical outcome, and are
considered clinically important if they increase toxicity and or reduce the
effectiveness of interacting drugs. This study aims to describe the drug
interactions that occur in ischemic stroke patients hospitalized in the South
Tangerang City Hospital. This study used a descriptive analysis design with a
retrospective method.
Identification was carried out on 835 drug therapies from 102 ischemic stroke
patients. Based on the results of the research the type of drug interaction based on
the mechanism showed pharmacokinetic interactions (36.80%), pharmacodynamic
interactions (57.57%), unknown (5.34%), and no pharmaceutical interactions were
found. Based on the severity, interaction of Major (10.09%), interaction of
Moderate (70.03%), and Minor interaction (19.88%). The most potential drug
interaction based on literature is found between diltiazem and aspirin in 32 cases
(9.5%) with moderate categories.
v
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
DAFTAR ISI
vii
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
DAFTAR TABEL
viii
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
DAFTAR GAMBAR
ix
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
DAFTAR SINGKATAN
x
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
DAFTAR LAMPIRAN
xi
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
2
munculnya hal-hal yang tidak dapat dielakkan yaitu kemungkinan terjadinya hasil
pengobatan yang tidak sesuai dengan harapan (Nurhaini et all., 2017).
Ketidaksesuaian ini dapat dikarenakan munculnya Drug Related Problems
(DRPs) pada terapi yang diberikan (Pharmaceutical Care Network Europe, 2018).
Berdasarkan Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) (2018),
klasifikasi DRPs dibagi menjadi 3 pokok masalah yaitu efektifitas pengobatan,
keamanan pengobatan dan lainnya seperti biaya dan obat yang tidak dibutuhkan.
Kategori DRPs terbagi menjadi beberapa sub domain, beberapa diantaranya
meliputi terapi tanpa indikasi yang sesuai, ada indikasi tidak diterapi, obat salah,
interaksi obat, over dosis, dosis kurang, muncul efek samping obat dan kegagalan
dalam menerima obat. Dari hasil penelitian di RS X Yogyakarta, frekuensi
kejadian DRPs adalah 99 kasus (93,4%) dan tidak terjadi DRPs 7 kasus (6,6%)
meliputi: kejadian DRPs yang muncul pada ketidaktepaan dosis sebesar 13,2%,
indikasi tanpa terapi 75,5%, obat tanpa indikasi 66%, ketidaktepatan obat sebesar
66% dan ketidakpatuhan tenaga professional 93,4% (Nurhaini et all., 2017).
Selain itu juga, pada penelitian yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan,
terdapat 21 pasien (84%) mengalami DRPs dan jenis DRP yang paling banyak
terjadi adalah interaksi obat yaitu sebanyak 39 kasus (75%) (Ulfa, 2017).
Banyaknya obat yang dikonsumsi oleh pasien penderita stroke akan meningkatkan
probabilitas terjadinya interaksi obat (Nurhaini, et all., 2017).
Studi serupa yang dilakukan di Stroke Care unit (SCU) Rumah Sakit Pusat
Otak Nasional Jakarta menunjukan pasien dengan stroke hemoragik sebanyak
52.5% dan stroke iskemik 47.5%, serta angka kejadian potensi interaksi pada
pasien stroke di SCU masih sangat tinggi, yaitu 86.25%. Berdasarkan tingkat
keparahannya potensi interaksi obat yang muncul adalah interaksi Mayor (21.9%),
interaksi Moderate (57.9%), dan interaksi Minor (20.2%) (Safira, 2019).
Identifikasi DRPs terkait interaksi obat pada pengobatan pasien stroke penting
dalam rangka mengurangi morbiditas, mortalitas, dan biaya terapi obat. Untuk itu,
perlu dilakukan studi penelitian untuk mengetahui gambaran potensi interaksi obat
pada pasien stroke rawat inap yang dapat memberikan petunjuk kemungkinan
terjadinya Drug Related Problems, sehingga kejadian Drug Related Problems
terkait interaksi obat dapat dicegah dan kerugiannya dapat dielakkan oleh pihak
Rumah Sakit maupun Pasien.
Di Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan, pasien dengan diagnosa
stroke masuk dalam daftar 10 penyakit terbanyak yang diderita pasien, serta terapi
obat yang diberikan terhadap pasien-pun banyak karena banyaknya komplikasi
penyakit yang diderita. Berdasarkan keputusan Kemenkes RI No.
HK.02.03/I/1319/2015, RSU Kota Tangerang Selatan ditetapkan sebagai Rumah
Sakit tipe C, yang merupakan Rumah Sakit pilihan utama sebagai rujukan pertama
dari Puskesmas/Klinik di wilayah Tangerang Selatan. Hal ini melatarbelakangi
peneliti untuk melakukan penelitian dalam analisis potensi interaksi obat pada
pasien stroke yang menjalani rawat inap di RSU Kota Tangerang Selatan.
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian bagi pihak rumah sakit, khususnya
profesional kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada
masyarakat.
2.1 Stroke
Stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda
klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak
fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi
bedah atau membawa kematian), yang tidak disebabkan oleh sebab lain selain
penyebab vaskuler. Pengertian lain menyatakan bahwa stroke merupakan
“serangan otak” yang tidak memberi peringatan terlebih dahulu, dengan gejala
yang mengejutkan dan mengkhawatirkan, baik bagi penderita maupun
lingkungannya (Depkes RI, 2014).
Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak)
dikarenakan terputusnya aliran darah ke otak, umumnya akibat pecahnya
pembuluh darah ke otak atau karena tersumbatnya pembuluh darah ke otak
sehingga pasokan nutrisi dan oksigen ke otak berkurang (WHO, 2014).
5
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
6
tersebut mengalami iskemik. Hal ini sangat berbeda dengan stroke hemoragik
yang terjadi akibat adanya mycroaneurisme yang pecah (Guyton, et all., 2007).
Pada stroke iskemik, yang disebut juga sebagai stroke non-hemoragik,
aliran darah ke sebagian jaringan otak berkurang atau terhenti. Hal ini disebabkan
misalnya oleh trombus, umumnya terjadi karena berkembangnya atherosklerosis
pada dinding darah, sehingga arteri menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi
pada jaringan otak. Selain trombus, iskemik juga dapat disebabkan emboli.
Embolis disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui
arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang
tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologis fokal. Perdarahan
otak dapat disebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
Pada stroke hemoragik pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan
darah mengalir ke substansi atau ruangan subarakhnoid yang menimbulkan
perubahan komponen intrakranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan
komponen intrakranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan
peningkatan TIK yang berkelanjutan akan menyebabkan herniasi otak sehingga
timbul kematian. Disamping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang
subarakhnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan
penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak
ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak (Affandi, 2016).
Perlu diingat bahwa keadaan hemoragik dan iskemik dapat terjadi
bersamaan hemoragik dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan menyebabkan
iskemia, dan didaerah yang mengalami iskemia dapat terjadi perdarahan.
Perdarahan dapat pula diklasifikasikan atas perdarahan di parenkim (hemoragik
intraserebral) atau di rongga subaraknoid yang meliputi otak (perdarahan
subaraknoid). Aliran darah otak (CBF=Cerebral Blood Flow) yang normal ialah
sekitar 50-55 ml/100g otak/menit. Ambang bagi gagal transmisi di sinaps ialah
kira-kira 18 ml/100g otak/menit. Bila sel neuron terpapar pada tingkat CBF yang
kurang, ia tidak dapat berfungsi secara normal, namun masih mempunyai potensi
untuk pulih sempurna. Ambang bagi gagalnya pompa membran terjadi bila CBF
berkurang sampai sekitar 8 ml/100g otak/menit. Pada tingkat ini kematian sel
neuron dapat terjadi. Daerah di otak dengan tingkat CBF antara 8-18 ml/100g
otak/menit merupakan daerah yang dapat kembali normal atau dapat melanjut ke
kematian neuronal. Daerah ini dinamai penumbra iskemik. Walaupun signal
elektroensefalografik sudah menghilang dan potensial cetusan absen di penumbra
iskemik, tingkat adenosine-trifosfat dan ion K ekstraseluler hamper normal. Jika
daerah ini ingin diselamatkan, penting pemulihan CBF dalam beberapa jam
(Dipiro, 2015).
darah semakin cepat. Jika serangan stroke terjadi berkali-kali, maka kemungkinan
untuk sembuh dan bertahan hidup akan semakin kecil (Junaidi, 2011).
c. Merokok
Meskipun mengetahui merokok tidak baik untuk kesehatan, kebiasaan
merokok masih saja dilakukan oleh banyak orang dengan berbagai alasan.
Perokok sebenarnya membuka dirinya terhadap risiko penyakit jantung dan stroke
iskemik. Bagi perokok diperlukan waktu yang lama yaitu sekitar setahun untuk
mengurangi risiko secara optimal setelah berhenti merokok. Peranan rokok pada
proses aterosklerosis adalah:
Meningkatkan kecenderungan sel-sel darah menggumpal pada dinding
arteri. Hal ini meningkatkan risiko pembentukan trombus/plak.
Merokok dapat menurunkan jumlah HDL dan menurunkan kemampuan
HDL dalam menyingkirkan kolesterol LDL yang berlebihan.
Merokok meningkatkan oksidasi lemak yang berperan pada perkembangan
aterosklerosis.
Merokok juga dapat mengurangi kemampuan seseorang dalam
menanggulangi stres karena zat kimia dalam rokok terutama karbon monoksida
akan mengikat oksigen dalam darah sehingga kadar oksigen dalam darah
berkurang. Akibatnya metabolisme tidak berjalan dengan semestinya (Junaidi,
2011).
d. Minum Alkohol
Mengkonsumsi alkohol mempunyai dua sisi yang saling bertolak
belakang, yaitu efek yang menguntungkan dan yang merugikan. Apabila minum
sedikit alkohol secara merata setiap hari akan mengurangi kejadian stroke iskemik
dengan jalan meningkatkan kadar HDL dalam darah. Akan tetapi jika minum
banyak alkohol yaitu lebih dari 60 gram sehari maka akan meningkatkan risiko
stroke. Alkohol merupakan racun pada otak dan pada tingkatan yang tinggi dapat
mengakibatkan otak berhenti berfungsi. Alkohol oleh tubuh dipersepsi sebagai
racun. Oleh karenanya tubuh dalam hal ini hati akan memfokuskan kerjanya untuk
menyingkirkan racun (alkohol) tersebut. Akibatnya bahan lain yang masuk ke
dalam tubuh seperti karbohidrat dan lemak yang bersirkulasi dalam darah harus
menunggu giliran sampai proses pembuangan alkohol pada kadar yang normal
selesai dilakukan, alhasil dapat menyebabkan timbulnya penyakit
kardioserebrovaskuler seperti jantung dan stroke pun meningkat (Junaidi, 2011).
e. Aktivitas Fisik Rendah
Aktivitas fisik secara teratur dapat menurunkan tekanan darah dan gula
darah, meningkatkan kadar kolesterol HDL, dan menurunkan kolesterol LDL,
menurunkan berat badan, mendorong berhenti merokok. Olahraga rutin tidak
hanya membentuk kemampuan sistem kardiovaskular namun juga membangun
kemampuan untuk mengatasi stres baik fisik maupun psikis/emosional. Olahraga
rutin mampu menghilangkan produk sampingan biokimiawi dari stres, lemak
darah, gula darah, kolesterol, membakar habis produk sampingan hormon, dapat
menurunkan tekanan darah tinggi (Junaidi, 2011).
f. Diabetes Melitus
Diabetes melitus menyebabkan kadar lemak darah meningkat karena
konversi lemak tubuh yang terganggu. Bagi penderita diabetes melitus
peningkatan kadar lemak darah akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan
stroke iskemik. Diabetes melitus mempercepat terjadinya aterosklerosis baik pada
pembuluh darah kecil (mikroangiopati) maupun pembuluh darah besar
(makroangiopati) di seluruh pembuluh darah termasuk pembuluh darah otak dan
jantung. Kadar glukosa darah yang tinggi pada penderita stroke iskemik akan
memperbesar meluasnya area infark (sel mati) karena terbentuknya asam laktat
akibat metabolisme glukosa yang dilakukan secara anaerob yang merusak jaringan
otak. Peningkatan risiko stroke pada pasien diabetes diduga karena peningkatan
kadar trigliserida total, kolesterol HDL turun, hipertensi dan gangguan toleransi
glukosa, serta berkurangnya fungsi vasodilatasi arteriol serebral. Hiperglikemia
dapat menurunkan sintesis prostasiklin yang berfungsi melebarkan saluran arteri,
meningkatkan pembentukan thrombosis, dan menyebabkan glikolisis protein pada
dinding arteri (Junaidi, 2011).
g. Kegemukan (Obesitas)
Obesitas atau kegemukan dapat meningkatkan kejadian stroke iskemik
terutama bila disertai dengan dislipidemia dan atau hipertensi, melalui proses
1) Infeksi Thorax
Infeksi adalah peristiwa masuk dan penggandaan mikroorganisme pada
penjamu rentan yang terjadi melalui kode transmisi kuman yang tertentu, cara
transmisi mikroorganisme dapat terjadi melalui darah, udara baik droplet maupun
airbone, dan dengan kontak langsung yang terjadi di thorax. Central Periodic
Breathing (CPB), termasuk pernapasan Cheyne-Stokes dan Central Sleep Apnea
(CSA) ditemukan pada penderita stroke. Pernapasan Cheyne-Stokes adalah suatu
pola pernapasan yang amplitudonya mula-mula naik kemudian turun bergantian
dengan periode apnea. Pola pernapasan ini sering dijumpai pada pasien stroke,
akan tetapi tidak memiliki korelasi anatomis yang spesifik. Salah satu penelitian
melaporkan CPB terjadi pada kurang lebih 53% pasien penderita stroke.
Selain menimbulkan gangguan kontrol respirasi sentral, hemiplegi akut
pada stroke berhubungan dengan risiko kematian akibat infeksi paru.
Kemungkinan infeksi paru cukup besar pada pasien dengan aspirasi dan
hipoventilasi. Kontraksi otot diafragma pada sisi yang lumpuh akibat stroke akan
berkurang pada pernapasan volunter, tidak berpengaruh pada pernapasan
involunter. Emboli paru juga pernah dilaporkan terjadi pada 9% kasus stroke
(Rohmah, 2015).
2) Pneumonia
Pneumonia dalam arti umum adalah peradangan parenkim paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme bakteri, virus, jamur, parasit. Namun pneumonia
juga dapat disebabkan oleh bahan kimia ataupun karena paparan fisik seperti suhu
atau radiasi. Peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh penyebab lain
selain mikroorganisme (fisik, kimiawi, alergi) sering disebut sebagai pneumonitis.
Menurut gejala kliniknya, pneumonia dibedakan menjadi pneumonia klasik dan
pneumonia atipik. Adanya batuk yang produktif adalah ciri pneumonia klasik,
sedangkan pneumonia atipik mempunyai ciri berupa batuk nonproduktif.
Peradangan paru pada pneumonia atipik terjadi pada jaringan interstitial sehingga
tidak menimbulkan eksudat.
Menurut lingkungan kejadiannya, pneumonia dibedakan menjadi
community acquired pneumonia, hospital acquired, serta pneumonia pada pasien
fungsi normal otak. Namun, kejang juga terjadi dari jaringan otak normal di
bawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam-basa
atau elektrolit. Kejang dapat terjadi sekali atau berulang. Kejang rekuren, spontan
dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun tahun
disebut epilepsi. Kejang pasca stroke dan epilepsi merupakan penyebab tersering
dari sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai gejala klinis
ataupun sebagai komplikasi pasca stroke. Faktor usia menjadi faktor risiko
independen untuk stroke, dengan kecenderungan terjadinya peningkatan kejadian
dan prevalensi kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke.
23
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
24
orang, namun bisa juga sangat berbahaya pada orang lain. Namun, hal yang paling
penting untuk diawasi yakni kemungkinan terjadinya interaksi obat (Harkness,
1984).
Suatu interaksi obat terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran
obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam
lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat
bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir
bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2010). Obat yang mengalami
perubahan efek akibat interaksi disebut object drug (obat 1) dan obat lain yang
menyebabkan interaksi tersebut terjadi disebut precipitant drug (obat 2) (Anonim,
2019).
2.3.1 Mekanisme Interaksi Obat
Menurut Anonim (2015) dan Maindoka (2017), mekanisme interaksi obat
secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga mekanisme, yaitu interaksi
farmasetika atau inkompabilitas, interaksi farmakokinetika, dan interaksi
farmakodinamika
1. Interaksi Farmasetika
Interaksi farmasetika terjadi karena adanya perubahan atau reaksi kimia
dan fisika antara dua obat atau lebih yang dapat dikenal atau dilihat serta terjadi
diluar tubuh (sebelum obat diberikan) dan dapat mengakibatkan aktivitas
farmakologik obat tersebut hilang atau berubah. Tanda-tanda interaksi farmasetika
yaitu endapan, kekeruhan, perubahan warna, dan pengeluaran gas, namun
terkadang tanda-tanda tersebut belum tentu ada interaksi farmasetika. Hal ini
sering terjadi antara obat-obat yang dicampur dalam cairan secara bersamaan,
misalnya dalam infus atau suntikan.
Contoh kejadian interaksi farmasetik yaitu gentamisin mengalami
inaktivasi jika dicampur dengan karbenisilin, demikian juga penisilin G jika
dicampur dengan vitamin C, sedangkan amfoterisin B mengendap dalam larutan
garam fisiologis atau larutan Ringer, dan juga phenitoin mengendap dalam larutan
dextrosa 5%.
2. Interaksi Farmakokinetika
Interaksi obat dengan mekanisme farmakokinetika adalah interaksi yang
mempengaruhi disposisi obat di dalam tubuh dimana object drug (obat 1)
mengalami perubahan dalam proses absorpsi, distribusi, metabolisme atau
ekskresi akibat adanya precipitant drug (obat 2) sehingga kadar plasma object
drug (obat 1) meningkat atau menurun. Akibatnya akan terjadi peningkatan
toksisitas atau penurunan efektivitas obat tersebut.
Interaksi dalam proses absorbsi
Interaksi dapat dengan berbagai cara yaitu adanya perubahan atau
penurunan motilitas gastrointestinal sehingga mengubah absorbsi obat,
perubahan pH cairan saluran pencernaan, perubahan flora usus, pengikatan
molekul obat dengan senyawa logam sehingga absorbsi akan dikurangi
karena terbentuk senyawa kompleks yang tidak diabsorbsi, dan adanya
makanan juga dapat mengubah absorbsi obat. Semua itu dapat
mengganggu absorbsi obat sehingga kadar obat dalam darah terganggu,
akibatnya dapat menyebabkan penurunan dan peningkatan efektivitas obat
bahkan menyebabkan toksisitas.
Interaksi dalam proses distribusi
Prinsip interaksi obat dalam proses distribusi ialah obat yang
memiliki ikatan protein lebih kuat menggeser obat yang memiliki ikatan
protein lemah, sehingga obat dengan ikatan protein yang tinggi akan lebih
banyak dalam keadaan bebas, akibatnya dapat meningkatkan efek
farmakologi atau juga terjadi efek toksik. Interaksi obat dengan ikatan
proteinnya yang dapat menimbulkan masalah dalam klinik hanyalah obat
yang memiliki sifat antara lain obat yang mempunyai ikatan protein
plasma yang kuat (minimal 85%) dan volume distribusi yang kecil
sehingga sedikit saja obat yang dibebaskan akan meningkatkan kadarnya
menjadi 2-3 kali lipat, obat yang memiliki batas keamanan yang sempit
sehingga peningkatan kadar obat bebas tersebut dapat mencapai kadar
toksik, dan obat yang eliminasinya mengalami kejenuhan, maksudnya
obat pada jalur ini terjadi karena adanya gangguan dalam ekskresi melalui
empedu akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat suatu system
transport (sekresi aktif ke dalam empedu) yang sama. Sedangkan sirkulasi
enterohepatik dapat diputuskan dengan mensupresi bakteri usus yang
menghidrolisis konjugat obat atau dengan mengikat obat yang dibebaskan
sehingga dapat direabsorpsi. Yang kedua sekresi tubuli ginjal, interaksi
obat pada jalur ini terjadi karena adanya penghambatan sekresi di tubuli
ginjal akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk system
transport aktif yang sama, terutama system transport untuk obat dan
metabolit yang bersifat asam. Dan yang ketiga perubahan pH urin,
interaksi obat pada jalur ini dapat menyebabkan perubahan bersihan ginjal
(klirens). Perubahan tersebut dapat menimbulkan masalah secara klinik
jika: (1) fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (lebih
dari 30%), dan (2) obat bersifat basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam
lemah dengan pKa 3,0-7,5.
3. Interaksi Farmakodinamik
Mekanisme farmakodinamika adalah interaksi yang menimbulkan
perubahan efek farmakologik suatu obat akibat kedua obat yang saling
berinteraksi. Interaksi ini terjadi bila obat yang bekerja pada sistem reseptor,
tempat kerja atau system fisiologik yang sama sehingga terjadi efek sinergistim
(saling memperkuat), aditif,atau efek antagonistik (saling meniadakan). Interaksi
farmakodinamik berbeda dengan interaksi farmakokinetik. Pada interaksi
farmakodinamik tidak terjadi perubahan kadar obat objek dalam darah tetapi
terjadi perubahan efek obat objek yang disebabkan oleh obat presipitan karena
pengaruhnya pada tempat kerja obat. Interaksi farmakodinamik dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
Interaksi Langsung
Apabila dua obat atau lebih bekerja pada tempat atau reseptor yang sama,
bekerja pada tempat yang berbeda tetapi dengan hasil efek akhir yang
sama atau hampir sama disebut interaksi langsung. Interaksi dua obat pada
tempat yang sama dapat tampil sebagai antagonisme atau sinergisme.
Tujuan Terapi:
Mengurangi morbiditas
dan mortalitas
36
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
37
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi yakni rekam medis pasien yang dirawat di RSU Kota
Tangerang Selatan pada periode Januari-Desember 2018 dengan diagnosis stroke
iskemik. Data rekam medis lengkap meliputi nama, umur, jenis kelamin, tanggal
masuk dan keluar rumah sakit, keterangan keluar rumah sakit, lembar penggunaan
obat pasien, dan ada atau tidaknya penyakit lain.
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi merupakan kriteria atau ciri-ciri anggota populasi studi
yang tidak bisa dijadikan sebagai sampel. Adapun yang menjadi kriteria ekslusi
adalah data rekam medis pasien yang dirawat di RSU Kota Tangerang Selatan
periode Januari – Desember 2018 dan tercatat menerima terapi kurang dari 2 jenis
obat.
Keterangan:
N: Jumlah populasi
n: Jumlah sampel
e: Batas toleransi kesalahan
Variabel Bebas:
1. Demografi pasien
Usia Variabel Terikat
Jenis Kelamin Interaksi Obat
Jenis Stroke
2. Jumlah kelas Terapi
Rekam medik pasien stroke berisi data tentang lembar pengobatan, waktu
pemberiannya, serta data laboratorium yang dilakukan terhadap pasien. Rekam
medik tersebut dianalisa mengenai adanya interaksi yang terjadi. Demografi
pasien yang meliputi usia, jenis stroke, dan jenis kelamin pasien stroke diruang
Instalasi Penyakit Dalam, serta banyaknya jumlah kelas obat terapi
memungkinkan terjadinya interaksi obat antara obat satu dengan obat lain.
Mekanisme interaksi obat yang terjadi bisa secara farmasetika, farmakokinetika,
dan farmakodinamika, dengan tingkat keparahan mayor, moderate, dan minor.
Gambar 4.1 Persentase jumlah pasien stroke iskemik berdasarkan jenis kelamin
di IRNA RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018.
42
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
43
Namun dalam sebuah penelitian lain yang dilakukan oleh Ulfa (2017) di
RSUP H. Adam Malik Medan, didapatkan penderita perempuan lebih banyak
dibandingkan laki-laki, yaitu 56% perempuan dan 44% penderita stroke yang
berjenis kelamin laki-laki. Pada penelitian yang dilakukan oleh Dinata dkk. (2012)
di RSUD Kabupaten Solok Selatan, dari total pasien stroke sebanyak 96 orang,
juga didapatkan penderita perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki, yaitu
54,17% perempuan dan 45,83% penderita stroke yang berjenis kelamin laki-laki.
Merujuk pada survey penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Kesehatan
RI dimana proporsi jumlah stroke di Indonesia sama antara perempuan dengan
laki-laki (Ghani, 2016). Namun, berdasarkan faktor risikonya, laki-laki lebih
tinggi mendapat serangan stroke dibanding perempuan pada usia yang lebih muda,
tetapi para perempuan akan menyusul setelah usia mereka mencapai menopause
(Ghani, 2016). Laki-laki tidak memiliki hormon esterogen sebanyak perempuan.
Hormon estrogen berfungsi menurunkan kolesterol jahat (LDL) dan sebaliknya
meningkatkan kadar HDL dalam darah sehingga mencegah terjadinya
atherosklerosis akibat terbentuknya plak-plak pada pembuluh darah. Selain itu,
dibandingkan dengan perempuan, laki-laki cenderung beresiko lebih besar
mengalami stroke terkait bahwa laki-laki cenderung merokok. Bahaya terbesar
dari rokok adalah merusak lapisan pembuluh darah pada tubuh (Arum, 2015).
Merokok menyebabkan peninggian koagulabilitas, viskositas darah, meninggikan
kadar fibrinogen, mendorong agregasi platelet, meninggikan tekanan darah,
meningkatkan hematokrit, menurunkan kolesterol HDL dan meningkatkan
kolesterol LDL (PERDOSSI, 2011).
Tabel 4.1 Jumlah pasien stroke iskemik berdasarkan usia di IRNA RSU Kota
Tangerang Selatan tahun 2018.
Jumlah
No. Usia (Tahun) Persentase (%)
Pasien
1. 19 – 28 2 1,96
2. 29 – 38 2 1,96
3. 39 – 48 22 21,57
4. 49 – 58 29 28,43
5. 59 – 68 27 26,47
6. 69 – 78 13 12,75
7. 79 – 88 7 6,86
Total 102 100
Umur merupakan salah satu faktor risiko stroke yang tidak dapat
dimodifikasi. Stroke dapat menyerang semua umur, tetapi lebih sering dijumpai
pada populasi usia tua. Setelah berumur 55 tahun, resikonya berlipat ganda setiap
kurun waktu sepuluh tahun (Ulfa, 2017). Semakin bertambahnya usia, semakin
besar pula resiko terjadinya stroke. Hal ini terkait dengan proses degenerasi
(penuaan) yang terjadi secara alamiah. Pada orang-orang yang lanjut usia,
pembuluh darah lebih kaku karena banyak penimbunan plak. Penimbunan plak
yang berlebih akan mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke tubuh termasuk
otak (Arum, 2015).
Gambar 4.2 Grafik lama rawat inap pasien stroke iskemik di IRNA RSU Kota
Tangerang Selatan tahun 2018.
15 13 15,00
Jumlah Pasien
10 8 10,00
6 Persentase
5 4 5,00
3 3
2
1 1 1
0 0,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12 13 21
Lama Rawat Inap (Hari)
keterangan keluar rumah sakit pasien stroke iskemik di RSU Kota Tangerang
Selatan tahun 2018 adalah sebagai berikut:
Gambar 4.3 Diagram keterangan keluar rumah sakit pasien stroke iskemik di
IRNA RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018.
88,24%
Tabel 4.2 Profil penggunaan obat pada pasien stroke iskemik di Instalasi Rawat
Inap RSU Kota Tangerang Selatan 2018.
No Golongan Jumlah Persentase
Kelas Terapi Nama Obat
. Obat Frekuensi (%)
1. Neuroprotektor Piracetam 69 8,25
Mecobalamin 90 10,77
Citicoline 84 10,05
2. Antiplatelet Aspirin 49 5,86
Clopidogrel 2 0,24
Cilostazol 17 2,03
3. Diuretik Diuretik Kuat Furosemide 6 0,72
Diuretik Spironolaktone 2 0,24
Hemat
Kalium
Thiazid HCT 13 1,56
Diuretik Manitol
8 0,96
Osmotik
4. Antihipertensi Calsium Amlodipin 11 1,32
Chanel Nimodipin 4 0,48
Blocker Diltiazem 56 6,70
(CCB) Nifedipin 5 0,60
ACE Kaptopril 1 0,12
Inhibitor Ramipril 16 1,91
Perindopril 1 0,12
Angiotensin Candesartan 5 0,60
II Receptor Valsartan 3 0,36
Blocker Telmisartan 1 0,12
(ARB)
Beta Blocker Bisoprolol 6 0,72
5. Antihiperlipidemia Statin Simvastatin 4 0,48
Atorvastatin 39 4,67
6. Antiaritmia Amiodaron 2 0,24
7. Antikoagulan Warfarin 1 0,12
Rivaroxaban 6 0,72
Fondaparinux 1 0,12
8. Obat gagal jantung Glikosida Digoxin
1 0,12
Jantung
Nitrat ISDN 1 0,12
9. Antivirus Acyclovir 1 0,12
10. Antibakteri Antibakteri Cotrimoxazole 1 0,12
lain Mupirocin 1 0,12
Antifungi Ketokonazole 1 0,12
Antituberkul OAT
1 0,12
osis
Polipeptida
Polymixin B
1 0,12
sulfate, Neomycin
Cefalosporin Ceftriaxone 5 0,60
Cefotaxime 1 0,12
Ceftizoxime 39 4,67
SNMC 2 0,24
Kunilon Levofloxacin 2 0,24
Moxifloxacin 1 0,12
11. Analgetik, Analgetik Paracetamol 6 0,72
Antipiretik, Non Narkotik Ketorolak 2 0,24
Antiinflamasi Non Analgetik Morfin 1 0,12
Steroid Narkotik
Antiinflamasi Dexketoprofen
40 4,78
Non Steroid
12. Obat Saluran Cerna Proton Pump Omeprazole 36 4,31
Inhibitor
Pantoprazole 4 0,48
(PPI)
Antiemetik Ondancentron 3 0,36
Granicentron 3 0,36
Antagonis Ranitidin
27 3,23
ReceptorH2
13. Obat Saluran Napas B2 Agonist/ Salbutamol
Bronchodilat 1 0,12
or
Adrenergic Oxymetazolin
Receptor 1 0,12
Agonist
14. Antidiabetik Biguanida Metformin 1 0,12
Insulin Aspart 5 0,60
Glargine 5 0,60
15. Hemostatik As. Traneksamat 7 0,84
Vitamin K 2 0,24
Carbazochrom 2 0,24
16. Kortikosteroid Dexamethason 6 0,72
17. Mukolitik Acetilcystein 2 0,24
18. Ekspektoran Erdostein 1 0,12
19. Pencahar Parafin Liq. 2 0,24
20. Antiparkinson Trihexifenidil 1 0,12
21. Antiskizoferenia Risperidone 1 0,12
22. Antiepilepsi Fenitoin 1 0,12
23. Antipsikotropik Psikotropik Haloperidol 1 0,12
Alprazolam 4 0,48
Lorazepam 1 0,12
24. Antikonvulsan Gabapentin 3 0,36
25. Antivertigo Betahistin 2 0,24
Flunarizin 1 0,12
26. Suplemen Hepatoprotek Curcuma 2 0,24
tor Eks. Echinaecea 2 0,24
Penambah Fe fumarat +
1 0,12
Darah vitamin
27. Vitamin dan Mineral Kalium klorida 3 0,36
Mineral
Vitamin larut Vit. B Komplek 1 0,12
air Vit. B Komplek +
D3 1 0,12
28. Asam amino Asam amino + 13 1,56
elektrolit
Emulsi lemak +
12 1,44
soybean oil
Asam amino +
3 0,36
sorbitol
Esensial ketoacid 3 0,36
Asam amino +
1 0,12
nitrogen
29. Elektorlit Otsu salin 1 0,12
KAEN 1B 1 0,12
KAEN 3B 1 0,12
Ringer Laktat 10 1,20
Natrium, Cl ,
Kalium, Ca,
Magnesium,
acetate, NaCl, 48 5,74
KCl, CaCl2,
Mg(OH)2, Na
acetate
30. Golongan lain Vitamin E
Ergocalciferol
1 0,12
Phytomenadione
Retinol Palmitate
Jumlah 835 100,00
Dari total 835 penggunaan obat pada tabel 4.2 gambaran penggunaan obat
pada pasien stroke iskemik rawat inap di RSU Kota Tangerang Selatan tahun
2018, didapatkan daftar 10 besar obat yang paling sering diresepkan yang
tercantum pada gambar 4.4.
Gambar 4.4 Daftar 10 besar obat yang paling sering diresepkan pada pasien
stroke iskemik RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018.
100 12
90
90 10
80
70
84
8
60 69
50 6
56
40 49 48 Penggunaan obat
40 39 39 36 4
30
Persentase
20
2
10
0 0
Pada gambar 4.4 terlihat bahwa obat yang paling sering diberikan adalah
obat golongan neuroprotektor. Selanjutnya terdapat obat golongan antihipertensi,
antiplatelet, antihiperlipidemia, dan antiinflamasi non steroid. Penatalaksanaan
pengobatan stroke iskemik terbagi dalam penatalaksanaan fase akut dan sekunder.
Secara umum, terapi stroke iskemik bertujuan untuk mengurangi progresifitas
kerusakan neurologi dan mengurangi angka kematian serta mencegah terjadinya
stroke ulangan (Fagan dan Hess, 2008).
Terdapat dua tujuan spesifik untuk pengobatan stroke iskemik akut, yaitu
pemulihan aliran darah dan peningkatkan kelangsungan hidup sel-sel dari jaringan
saraf setelah cedera pada system saraf pusat (Misbach, 2011). Neuroprotektan
merupakan salah satu terapi yang ditujukan untuk mengurangi terjadinya
kerusakan sel karena terhambatnya aliran darah yang memasok oksigen. Obat
neuroprotektan yang sering dipakai dalam terapi stroke iskemik adalah citicoline
dan piracetam (Praja, 2013)
Golongan neuroprotektor yang digunakan di IRNA RSU Tangsel adalah
mecobalamin (10,77%), citicoline (10,05%) dan piracetam (8,25%). Tujuan
pemberian obat golongan neuroprotektor adalah sebagai perlindungan pada sistem
LDL ≥100 mg/dL, maka diperlukan pemberian terapi dengan menggunakan statin
untuk mengurangi terjadinya stroke berulang atau penyakit kardiovaskuler
lainnya. Pada studi SPARCL (Stroke Prevention by Aggresive Reduction in
Cholesterol Level), terapi statin dengan atorvastatin akan mengurangi kejadian stroke
berulang (HR 0,84; CI 0,71-0,99) (PERDOSSI, 2011).
Obat analgetik atau antiinflamasi yang paling sering diresepkan adalah
dexketoprofen intravena sebanyak 40 pasien (4,78%). Penggunaan obat ini
bertujuan untuk menangani rasa nyeri pada pasien. Penanganan nyeri termasuk
dalam penatalaksanaan dalam stroke, karena kemungkian penyebabnya yaitu
spastisitas akibat dari muskuloskletal dan neuropatik. Mekanisme kerja
dexketoprofen yaitu penghambatan terhadap aktivitas COX-1 dan COX-2 dan
memiliki aktivitas analgesik yang efektif. Efek analgesik dapat dicapai dalam
waktu 30 menit setelah pemberian dan puncaknya dapat dicapai dalam waktu 45
menit.
Tabel 4.3 Angka Kejadian Interaksi Obat yang Potensial di IRNA RSU Kota
Tangerang Selatan tahun 2018.
Jumlah Persentase
No. Potensi Interaksi
Pasien (%)
1. Terjadi Interkasi 78 76,47
2. Tidak Terjadi Interaksi 24 23,53
Total 102 100
Dari total 102 sampel, dijumpai 78 kasus yang memiliki potensi untuk
terjadinya interaksi antar obat. Total interaksi obat-obat yang terjadi pada pasien
stroke iskemik rawat inap di RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018
berdasarkan mekanisme terjadinya interaksi obat tercantum pada Tabel 4.4 dan
distribusi terjadinya masalah yang timbul karena interaksi antar obat berdasarkan
tingkat keparahannya tercantum pada Tabel 4.5.
Tabel 4.4 Potensi interaksi obat berdasarkan mekanismenya di IRNA RSU Kota
Tangerang Selatan tahun 2018.
No. Mekanisme Interaksi Jumlah kasus Persentase (%)
1. Farmakokinetik 119 35,31
Absorpsi 27 8,01
Distribusi 25 7,42
Metabolisme 33 9,79
Ekskresi 34 10,09
2. Farmakodinamik 194 57,57
3. Belum diketahui 24 7,12
Total 337 100
Selain itu, interaksi farmakokinetik yang sering terjadi juga terdapat pada
omeprazole dan atorvastatin sebanyak 21 kasus (6,23%). Berdasarkan tingkat
keparahannya interaksi omeprazole dengan atorvastatin termasuk dalam kategori
moderat. Laporan kasus menunjukkan bahwa pemberian bersama dengan
esomeprazole dan golongan obat inhibitor pompa proton lainnya (seperti:
omeprazole, lansoprazole, pantoprazole) dapat meningkatkan plasma konsentrasi
atorvastatin dan risiko terkait miopati. Mekanisme yang diusulkan yaitu
kompetitif penghambatan P-glikoprotein usus, mengakibatkan penurunan sekresi
obat ke dalam lumen usus dan peningkatan bioavailabilitas obat (Drug-
interactioncheck.com).
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang
mempunyai efek farmakologi yang serupa atau berlawanan. Jenis interaksi ini
dapat disebabkan karena kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi antara
obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang sama. Potensi interaksi
farmakodinamik yang sering terjadi pada terapi pasien stroke iskemik di IRNA
RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018 ialah diltiazem dengan aspirin sebanyak
32 kasus (9,5%). Berdasarkan tingkat keparahannya interaksi diltiazem dengan
aspirin masuk ke dalam kategori moderat. Diltiazem dapat mengubah efek terapi
dari aspirin sehingga perlu memonitoring efek antiplatelet dari aspirin berupa
pendarahan (Lexi-Comp, Inc).
Interaksi yang belum diketahui yaitu interaksi antara obat-obatan, namun
terjadinya perubahan efek terapi pada salah satu atau kedua obat tersebut belum
diketahui mekanismenya serta efek yang terjadi, hal ini dikarenakan kurangnya
penelitian lebih lanjut maupun laporan terhadap interaksi yang terjadi. Interaksi
yang belum diketahui mekanismenya yang sering terjadi pada terapi pasien stroke
iskemik di IRNA RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018 yaitu diltiazem dengan
insulin sc (Insulin glargine dan insulin aspart). Berdasarkan tingkat keparahannya
interaksi obat ini adalah kategori minor. Laporan kasus tunggal menunjukkan
bahwa diltiazem dapat menurunkan efek hipoglikemik insulin. Mekanisme
interaksi tidak diketahui. Beberapa penelitian juga tidak memiliki efek signifikan
pada kontrol glukosa pada 23 pasien hipertensi dengan diabetes tipe II. Sehingga
penting untuk pemantauan glukosa darah lebih dekat sampai kontrol glukosa
terjamin (Drug-interactioncheck.com).
Tabel 4.5 Potensi interaksi obat berdasarkan tingkat keparahannya di IRNA RSU
Kota Tangerang Selatan tahun 2018.
Potensi Jumlah Persentase
No. Obat A Obat B
Interaksi Kasus (%)
1. Mayor Diltiazem Cilostazol 8 2,37
Simvastatin 2 0,59
Amiodaron 1 0,30
Bisoprolol 1 0,30
Ramipril Asam amino +
2 0,59
elektrolit
Potasium
1 0,30
klorida
Aspirin Rivaroxaban 3 0,89
Pantoprazole 1 0,30
Ketorolak 1 0,30
Cilostazol Omeprazole 3 0,89
Clopidogrel Omeprazole 2 0,59
Rivaroxaban 1 0,30
Atorvastatin Ketokonazole 1 0,30
Haloperidol Risperidone 1 0,30
Fenitoin Nimodipin 1 0,30
Amlodipin Simvastatin 2 0,59
Valsartan Asam amino +
1 0,30
elektrolit
Amiodaron CPZ 1 0,30
Dexamethason 1 0,30
2. Moderat Diltiazem Aspirin 32 9,50
Asam amino +
5 1,48
mmineral
Atorvastatin 24 7,12
Rivaroxaban 4 1,19
Dexamethason 2 0,59
Amlodipin 3 0,89
Granicentron 1 0,30
Haloperidol 1 0,30
Risperidone 1 0,30
Lorazepam 1 0,30
Morphin 1 0,30
Alprazolam 3 0,89
Ketokonazole 1 0,30
Nimodipin 1 0,30
Ketorolac 2 0,59
Aspirin Ramipril 10 2,97
Cilostazol 13 3,86
Candesartan 2 0,59
Nifedipin 2 0,59
Amlodipin 4 1,19
Dexamethason 3 0,89
Valsartan 2 0,59
Clopidogrel 1 0,30
Digoxin 1 0,30
Nimodipin 1 0,30
Insulin
2 0,59
glargine
Insulin aspart 3 0,89
Levofloxacin 1 0,30
Budesonide
160 mcg,
Formoterol 1 0,30
Fumarate 4.5
mcg
HCT Ramipril 12 3,56
Omeprazol 9 2,67
Salbutamol 1 0,30
Furosemid 1 0,30
Bisoprolol 1 0,30
Alprazolam 2 0,59
Atorvastatin Omeprazol 21 6,23
Nifedipin 3 0,89
Clopidogrel 2 0,59
Dexamethason 1 0,30
Pantoprazole 2 0,59
Digoxin 1 0,30
Digoxin Omeprazole 1 0,30
Bisoprolol Amlodipin 3 0,89
Furosemid 5 1,48
Nifedipin 2 0,59
Amiodaron 1 0,30
Spronolactone 1 0,30
Insulin
1 0,30
glargine
Insulin aspart 1 0,30
Furosemid Omeprazole 3 0,89
Alprazolam 1 0,30
Nifedipin Cilostazol 1 0,30
Rivaroxaban 1 0,30
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada 102 pasien stroke iskemik di ruang
IRNA RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018 terdapat beberapa kesimpulan
yang dapat ditarik sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu :
1. pasien dengan jenis jenis kelamin perempuan (52,94%) lebih banyak
dibandingkan laki-laki (47,06%). Didominasi oleh pasien yang mempunyai
kelompok usia 49 – 58 tahun sebanyak 29 pasien (28,43%) dengan waktu
lama rawat inap pasien rata-rata adalah 7,8 hari.
2. Obat yang paling sering diberikan adalah obat golongan neuroprotektor
yaitu mecobalamin (10,77%), citicoline (10,05%) dan piracetam (8,25%).
3. Angka kejadian terjadinya potensi interaksi obat berdasarkan literatur yaitu
sebanyak 78 pasien dengan persentase (76.47%). Jenis interaksi obat
berdasarkan mekanismenya menunjukkan interaksi farmakokinetik
(35,31%), interaksi farmakodinamik (57,57%), belum diketahui (7,12%),
dan tidak ditemukan interaksi farmasetika. Berdasarkan tingkat
keparahannya, interaksi Mayor (10,09%), interaksi Moderate (70,03%), dan
interaksi Minor (19,88%). Potensi interaksi obat berdasarkan literatur paling
banyak ditemukan antara diltiazem dengan aspirin sebanyak 32 kasus
(9,5%) dengan kategori moderat. Diltiazem dapat mengubah efek terapi dari
aspirin sehingga perlu memonitoring efek antiplatelet dari aspirin berupa
pendarahan.
5.2 Saran
Pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan pengambilang sampel lansung
secara observasional dengan variabel yang lebih banyak, sehingga dapat
diperhatikan interaksi obat yang terjadi. Serta perlu dibuat Stroke Center agar
dapat diteliti lebih lanjut mengenai drug related problem terapi pada pasien stroke
iskemik di IRNA RSU Kota Tangerang Selatan.
60
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
DAFTAR PUSTAKA
61
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
62
Ulfa, Mahya. 2017. Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Stroke Di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Fakultas Farmasi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
World Health Organization (WHO). (2014). Stroke, Cerebrovaskular accident.
https://www.who.int/topics/cerebrovascular_accident/. Diakses 23 April
2019.
65
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
66
67
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Lampiran 4: Surat Keterangan Selesai Penelitian
68
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Lampiran 5: Beberapa Sampel Data Pasien
Formulir Data Pasien Diagnosa Stroke di Rawat Inap di RSU TANGSEL Periode 2018
1 = Laki-Laki D.U = Diagnosa Utama
2 = Perempuan D.S = Diagnosa Sekuder
DIAGNOSA UTAMA OBAT YG HASIL LAB
NO JK UMUR TGL DIRAWAT RUTE DOSIS PENYAKIT PENYERTA PEMERIKSAAN FISIK2 HASIL LAB
DAN SEKUNDER DIBERIKAN (HEMATOLOGI)
HB : 11,8 g/dL
1 L 49 02/09/2018 D.U : SNH Citicoline iv 2 x 500 mg Hipertensi BB : kg GDS : 139 mg/dl
Hematokrit :35 %
07/09/2018 D.S : HCT po 1 x 25 mg TD : 170/118 mmHg Ureum :38 mg/dl eritrosit : juta/ µL
Hemiparesis Dextra Ramipril po 1 x 10 mg TB : cm Kreatinin : 3,08 mg/dL Leukosit : 8,2 /µL
Hipertensi Ramipril po 1 x 100 mg Nadi : x/menit K.Total : mg/dL Trombosit : 349 /µL
Alpentin po 1 x 100 mg P: x/menit K.HDL : mg/dL MCV : fL
Pletaal po 2 x 50 mg suhu : 36,3 °C Trigliserida : mg/dL MCH : pg
Miniaspi po 1 x 80 mg K.LDL : mg/dL MCHC : g/dL
HB 17,3 g/dL
2 L 56 01/09/2018 D.U : SNH Citicoline iv 2 x 500 mg Hipertensi BB : kg GDS : 112 mg/dl
Hematokrit : 50 %
03/09/2018 D.S : Mecobalamin iv 1x1 TD :130/100 mmHg Ureum : mg/dl eritrosit : juta/ µL
Hemiparesis Sinistra Herbesser po 1 x 100 mg TB : cm Kreatinin : mg/dL Leukosit : 7,7 /µL
Hipertensi HCT po 1 x 25 mg Nadi : x/menit K.Total :188 mg/dL Trombosit :281 /µL
Ramipril po 1 x 10 mg P: x/menit K.HDL : mg/dL MCV : fL
Pletaal po 2 x 50 mg suhu : 36 °C Trigliserida : mg/dL MCH : pg
Miniaspi po 1 x 80 mg as. Urat: 5,9 K.LDL : mg/dL MCHC : g/dL
LED : 5 GDP : mg/dL
HB :14,2 g/dL
3 L 45 30/08/2018 D.U : SNH Citicoline iv 2x1g Hipertensi BB : kg GDS : 184 mg/dl
Hematokrit : 39 %
04/04/2018 D.S : Piracetam iv 4x3g Diabetes Melitus TD :200/120 mmHg Ureum : 24 mg/dl eritrosit : juta/ µL
Pneumonia
Hemiparesis Dextra omeprazole iv 2 x 40 mg TB : cm Kreatinin :1,27 mg/dL Leukosit :9,4 /µL
Respirasi
Hipertensi Mecobalamin iv 1x1 Nadi :92 x/menit K.Total : mg/dL Trombosit : 274 /µL
DM Herbesser iv 5 cc/jam P : 20 x/menit K.HDL : mg/dL MCV : fL
Clinimix iv 1x1 suhu : 37,4 °C Trigliserida : mg/dL MCH : pg
Clinoleic iv 1x1 K.LDL : mg/dL MCHC : g/dL
Levofloxacin iv 1 x 750 mg GDP : mg/dL
Paracetamol iv extra
HCT po 1 x 25 mg
Herbesser po 1 x 100 mg
Ramipril po 1 x 10 mg
69
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
HB :13,3 g/dL
4 L 66 28/08/2018 D.U : SNH Futrolit iv 20 tpm Diabetes Melitus 2 BB : kg GDS : 141 mg/dl 219
Hematokrit : 39 %
01/09/2018 D.S : Dexketoprofen iv 2x1 Hipertensi TD :130/80 mmHg Ureum :43 mg/dl eritrosit : juta/ µL
Hemiparesis Sinistra Citicoline iv 2x1g TB : cm Kreatinin :1,16 mg/dL Leukosit :10,2 /µL
Hipokalemia Piracetam iv 4x3g Nadi :110 x/menit K.Total : mg/dL Trombosit : 252 /µL
Affasia Broca omeprazole iv 2 x 40 mg P :26 x/menit K.HDL : mg/dL MCV : fL
Mecobalamin iv 2x1 suhu :36 °C Trigliserida : mg/dL MCH : pg
Ceftizoxime iv 2x1g Kalium: 2,5 -- 2,8 K.LDL : mg/dL MCHC : g/dL
NAC iv 2 x /hr
Herbesser po 1 x 100 mg
Atorvastatin po 1 x 20 mg
Miniaspi po 1 x 80 mg
HCT po 1 x 25 mg
Ramipril po 1 x 10 mg
Vectrin po 3 x 15 ml
Salbutamol po 3 x 2 mg GDP : mg/dL
HB : 12,2 g/dL
5 81 P 28/08/2018 D.U : SNH Luas Herbesser iv 5 mg/jam Jantung BB : kg GDS : 102 mg/dl
Hematokrit :37 %
29/08/2018 D.S : Edema cerebral Ceftizoxime iv 2x2g Hipertensi TD :120/70 mmHg Ureum :38 mg/dl eritrosit : 4,1 juta/ µL
Piracetam iv 4x3g TB : cm Kreatinin :1,05 mg/dL Leukosit : 9,7 /µL
Mecobalamin iv 1x1 Nadi : x/menit K.Total : mg/dL Trombosit : 229 /µL
Citicoline iv 2 x 250 mg P: x/menit K.HDL : mg/dL MCV :87 fL
Manitol iv 3 x 150 ml suhu : °C Trigliserida : mg/dL MCH : 30 pg
Futrolit iv 20 tpm K.LDL : mg/dL MCHC : 33 g/dL
Dexketoprofen iv 1x1
Clinimix iv 1x1
Clinoleic iv 1x1
Miniaspi po 1 x 80 mg
Xarelto po 1 x 10 mg
Atorvastatin po 1 x 20 mg
HB :15,6 g/dL 14,8
6 P 65 18/12/2018 D.U : SNH Ceftizoxime iv 2x2g BB : kg GlDS : mg/dl 114
Hematokrit : % 48
23/12/2018 D.S : Piracetam iv 4x3g TD : mmHg Ureum : 33 mg/dl eritrosit : juta/ µL
Mecobalamin iv 2x1 TB : cm Kreatinin : 0,67 mg/dL Leukosit :22,4 /µL 24
Trombosit : 511 /µl
omeprazole iv 2 x 40 mg Nadi : x/menit K.Total : mg/dL
585
Miniaspi po 1 x 80 mg P: x/menit K.HDL : mg/dL MCV : fL
Adalat Oros po 1x1 suhu : °C Trigliserida : mg/dL MCH : pg
Atorvastatin po 1 x 20 mg K.LDL : mg/dL MCHC : g/dL
70
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Lampiran 6: Potensi interaksi obat berdasarkan mekanismenya di IRNA
RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2018.
71
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
72
Amlodipin 4 1,19
Cilostazol 13 3,86
Insulin 2
0,59
Glargine
Insulin aspart 3 0,89
Rivaroxaban 3 0,89
Nimodipin 1 0,30
Valsartan 2 0,59
Levofloxacin 1 0,30
Budesonide Aspirin 1
160 mcg,
Formoterol 0,30
Fumarate 4.5
mcg
Ramipril Asam amino 2
0,59
+ mineral
Ramipril Potasium 1
0,30
klorida
Asam amino + Nimodipin 1
0,30
mineral
Asam amino + Valsartan 1
0,30
mineral
HCT Ramipril 12 3,56
Salbutamol 1 0,30
Amlodipin 1 0,30
Furosemid 1 0,30
Bisoprolol 1 0,30
Clopidogrel Rivaroxaban 1 0,30
Diltiazem Perindopril 1 0,30
Aspirin 32 9,50
Ramipril 16 4,75
Captopril 1 0,30
Amiodaron 1 0,30
Bisoprolol 1 0,30
Nimodipin 1 0,30
Rivaroxaban 4 1,19
Bisoprolol Insulin 1
0,30
Glargine
Insulin aspart 1 0,30
Nifedipin Rivaroxaban 1 0,30
Ceftizoxime Warfarin 1 0,30
Dexamethason Amlodipin 1 0,30
Candesartan 1 0,30
Ramipril 1 0,30
Aspirin 3 0,89
Diltiazem 2 0,59
Amiodaron 1 0,30
Omeprazole Cilostazol 3 0,89
HCT 9 2,67
Fe fumarat + 1
0,30
vitamin
Amlodipin Simvastatin 2 0,59
Bisoprolol 3 0,89
Ramipril 1 0,30
Furosemid Alprazolam 1 0,30
Bisoprolol 5 1,48
Warfarin 1 0,30
Alprazolam Captopril 1 0,30
Ramipril 2 0,59
HCT 2 0,59
Clopidogrel Omeprazole 2 0,59
Spironolakton Warfarin 1 0,30
Spironolakton Bisoprolol 1 0,30
Ketokonazole Atorvastatin 1 0,30
Ketokonazole Diltiazem 1 0,30
Haloperidol Risperidon 1 0,30
Diltiazem 1 0,30
Trihexifenidil 1 0,30
Ramipril 1 0,30
Lorazepam 1 0,30
Morfin Diltiazem 1 0,30
Risperidon Ramipril 1 0,30
Diltiazem 1 0,30
Trihexifenidil 1 0,30
Lorazepam Risperidon 1 0,30
Trihexifenidil 1 0,30
Diltiazem 1 0,30
CPZ Amiodaron 1 0,30
CPZ Nimodipin 1 0,30
Ketorolak Aspirin 1 0,30
Diltiazem 2 0,59
Cotrimoxazole Ondancentron 1 0,30
3. Belum diketahui
Moxifloxacin Metformin 1 0,30
Diltiazem Insulin 5
1,48
Glargine
Insulin aspart 5 1,48
Potasium Insulin 1
0,30
klorida glargine
Insulin aspart 1 0,30