Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Psikologi Indonesia Himpunan Psikologi Indonesia

2008, No. 1, 73-79, ISSN. 0853-3098

MENCAPAI KEBAHAGIAAN BERSAMA


DALAM MASYARAKAT MAJEMUK

(SHARING HAPPINESS IN A PLURAL SOCIETY)

Nanik Prihartanti
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, terdiri atas suku-suku


bangsa. Dalam masyarakat majemuk, adanya batas-batas sukubangsa yang
didasari oleh stereotype dan prasangka menghasilkan penjenjangan sosial secara
primodial yang subjektif. Konflik-konflik antar etnik dan antar agama yang terjadi, pada
dasarnya berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik asli setempat dengan
pendatang. Konflik-konflik itu terjadi karena adanya pengaktifan jati diri etnik untuk
solidaritas memperebutkan sumberdaya yang ada. Dengan adanya stereotipe dan
prasangka serta ideologi keetnikan, masyarakat menjadi lebih mudah saling cakar
daripada berangkulan, lebih mudah saling curiga daripada saling mempercayai, lebih
mudah bertengkar daripada bersahabat, lebih mudah menerjang daripada memberi
jalan dan seterusnya. Berkaitan dengan masalah ini, ada baiknya kita terus mencoba
berbagai macam pengetahuan untuk mewujudkan perdamaian masyarakat. Salah
satu sumber pengetahuan yang bersifat natural, halus, dan mengajarkan rasa damai,
persaudaraan, serta kebahagiaan, adalah ”kawruh jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram.
Konsep pendekatan ukuran keempat dikenalkan oleh Ki Ageng Suryomentaram
sebagai pendekatan yang mampu mempromosikan kebahagiaan bagi umat dalam
hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat majemuk. Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa dengan ukuran keempat (dimensi IV) itu seseorang yang ada
pada tahapan tersebut selain mengerti diri sendiri, mengerti hukum-hukum alam, juga
mengerti rasa (raos) orang atau pihak lain. Ukuran keempat adalah salah satu alat
dalam rasa seseorang yang dapat dipergunakan untuk merasakan rasa orang lain.
Bergaul dengan orang lain, berarti kita berhadapan dengan rasa atau perasaaan orang
lain. Seseorang yang mulai menginjak dewasa semestinya mulai meninggalkan sifat-
sifat egoistik dan memasuki keinginan-keinginan untuk berbuat baik bagi orang lain.
Individu dan masyarakat bukan dua badan terpisah, melainkan satu keutuhan. Untuk
dapat hidup berdampingan secara damai dan bahagia di tengah masyarakat majemuk,
hal yang pertama kali harus diusahakan adalah mendewasakan individu-individunya
terlebih dahulu. Dewasa dalam arti mampu bertumbuh sampai pada identitas manusia
tanpa ciri. Konsep hidup bahagia yang dimaksud Ki Ageng adalah hidup bahagia
bersama. Bukan bahagia sendiri lalu orang lain tidak bahagia. Seseorang mustahil
dapat hidup bahagia tanpa berusaha mendukung kebahagiaan orang lain. Dengan
pendekatan ukuran keempat itu diharapkan tata kehidupan masyarakat menjadi lebih
sehat dan bahagia. Pengembangan ukuran keempat diharapkan menyebabkan tata
pergaulan menjadi lebih halus, penuh kasih sayang, sehat, dan indah.
Kata kunci: stereotype, kawruh jiwa, ukuran keempat, Kramadangsa, juru catat.

Indonesia is a plural society with various ethnic groups. In such a society,


cultural boundaries based on stereotypes and prejudices create a kind of subjective
and primordial social stratifications. The source of ethnic and religious conflicts stems
from communication problems between the local ethnic inhabitants and the outsiders.
Those conflicts result from the activation of the ethnic identity as solidarity means to fight
for the available resources. Due to the existence of ethnic stereotypes, prejudices, and
ideologies, various groups in the society are more prone to fighting than cooperating
with each other, to suspicion than trust, to quarrels than friendship, to attacking than
giving ways to others, and the like. Hence it is desirable for us to constantly examine
various knowledge to build peace in our society. One of the sources of natural and
refined knowledge that promote peace, brotherhood, and happiness is the concept of
kawruh jiwa of Ki Ageng Suryamentaram. Ki Ageng Suryomentaram’s fourth dimension
approach would promote a peaceful coexistence among people who live in a plural
74 NANIK PRIHARTANTI

society. In the fourth dimension one will be aware of oneself, of the natural laws, as well
as of the raos or sense of other people. The fourth dimension is a tool in one’s sense
that may be used to empathize with other people. An adult should get rid of her or his
egotism and replace it with concerns for others. The individual and the society are one.
In order to create a peaceful and happy coexistence in a plural society, the first thing
one has to undertake is developing the individuals into mature adults in the sense of
ones who can reach the identity of manusia tanpa ciri or featureless human beings.
Ki Ageng Suryomentaram’s concept of happy life is a happy life in a togetherness with
other people, and not happiness for one’s life and unhappiness for the life of others.
It would be impossible for one to live happily without giving support for the happiness
of others. Using the fourth dimension approach we may render our social life healthier
and happier. The development of the fourth dimension would make our social relations
more refined, more lovingly, healthier, and more beautiful.
Keywords: stereotype, kawruh jiwa, the fourth dimension, Kramadangsa, juru catat.

Indonesia adalah sebuah masyarakat daripada bersahabat, lebih mudah menerjang


majemuk, terdiri atas suku-suku bangsa. daripada memberi jalan dan seterusnya.
Yang mencolok dari ciri kemajemukan Barangkali memang bangsa ini membutuhkan
masyarakat Indonesia adalah penekanan modal sosial yang dapat mendorong saling
pada pentingnya kesukubangsaan yang pengertian bersama dalam berbagai sendi
terwujud dalam komunitas-komunitas suku kehidupan
bangsa dan digunakannya kesukubangsaan Masyarakat majemuk yang menekankan
sebagai acuan utama bagi jati diri individu. keanekargaman etnik sepatutnya dikaji
Ada sentimen-sentimen kesukubangsaan untuk digeser pada pluralisme budaya
yang memiliki potensi pemecahbelah dan (multikulturalisme) yang mencakup tidak
penghancuran di antara sesama bangsa hanya kebudayaaan etnik, tetapi juga
Indonesia. Hal ini disebabkan, antara lain berbagai kebudayaan lokal yang ada di
karena masyarakat majemuk menghasilkan Indonesia, harus dibarengi dengan kebijakan
batas-batas sukubangsa yang didasari oleh politik nasional yang meletakkan berbagai
stereotype dan prasangka yang menghasilkan budaya itu dalam kesetaraan. Dengan
penjenjangan sosial secara primodial yang demikian, tidak ada lagi etnik yang merasa
subjektif. lebih tinggi atau yang merasa terpuruk
Konflik-konflik antar etnik dan antar dan tak berguna, sebab tiada lagi jenjang
agama yang terjadi seringkali berintikan pada sosial karena asal etnik. Berkaitan dengan
permasalahan hubungan antara etnik asli masalah ini, ada baiknya kita terus mencoba
setempat dengan pendatang. Konflik-konflik berbagai pengetahuan untuk mewujudkan
itu terjadi karena adanya pengaktifan jati perdamaian masyarakat. Salah satu sumber
diri etnik untuk solidaritas memperebutkan pengetahuan yang bersifat natural, halus,
sumberdaya yang ada. Hasil penelitian dan mengajarkan rasa damai, persaudaraan,
Suparlan (2003) di Kalimantan dan Maluku serta kebahagiaan adalah “kawruh jiwa” dari
menemukan, karena ideologi keetnikan dan Ki Ageng Suryomentaram. Inti ajaran kawruh
pengaktifan jati diri etnik, maka preman jiwa adalah belajar dan berusaha menemukan
Madura yang mengawali konflik di Sambas “rasa damai,” “rasa bahagia,” serta “rasa
dianggap mewakili suku Madura, sehingga persaudaraan,” dan menular-nularkan rasa
konflik berkembang menjadi konflik antar damai-bahagia tersebut ke pihak lain.
etnik. Demikian pula yang terjadi di Ambon, Tulisan ini akan memberikan sumbangan
di mana bentrokan antara penduduk Ambon pemikiran dari perspektif psikologi
dengan penduduk Buton Bugis Makasar indigenous khususnya dari kawruh jiwa Ki
menjadi konflik antaragama. Dengan Ageng Suryomentaram untuk menjelaskan
adanya stereotype dan prasangka serta bagaimana konflik antar etnik, antar
ideologi keetnikan, masyarakat menjadi lebih agama, antar golongan bisa terjadi dan
mudah saling cakar daripada berangkulan, bagaimana usaha preventif agar ke depan
lebih mudah saling curiga daripada saling di masa yang akan datang tidak ada lagi
mempercayai, lebih mudah bertengkar konflik yang menghambat pencapaian
NANIK PRIHARTANTI 75

kebahagiaan bersama dalam masyarakat disimpan, dan bukannya dibuang atau hilang
majemuk. Kebijakan-kebijakan apa yang (Suparlan, 2003).
harus dipromosikan agar masing-masing Lebih lanjut dijelaskan, sebagai golongan
etnik mampu hidup berdampingan secara sosial, sukubangsa mewujudkan dirinya
damai. Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. dalam kolektiva-kolektiva atau masyarakat-
Pertama, dipaparkan sukubangsa dan masyarakat sukubangsa yang didalam
kebudayaan dalam masyarakat majemuk. wilayah-wilayah yang diakui sebagai wilayah
Kedua, penjelasan konseptual ”kawruh tempat hidupnya dan merupakan sumber-
jiwa” Ki Ageng Suryomentaram tentang sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya.
pendekatan ukuran keempat. Ketiga, paparan Sementara, kebudayaan dapat dilihat sebagai
tentang pendewasaan masyarakat yang pedoman bagi kehidupan yang diyakini
merupakan usaha untuk meraih masyarakat kebenarannya oleh para pemiliknya dalam
yang bahagia sejahtera. menghadapi dan memanfaatkan lingkungan
beserta isinya untuk pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan hidupnya. Kebudayaan diacu
Sukubangsa dan Kebudayaan dalam oleh para pemeluknya untuk pemenuhan
Masyarakat Majemuk kebutuhan-kebutuhan biologis, sosial, dan
adab. Nilai-nilai budaya adalah acuan bagi
Dari berbagai macam kerusuhan pemenuhan untuk mengetahui yang benar
dan konflik, yang paling mengerikan dan dan yang salah, yang suci dan yang kotor,
merugikan adalah konflik antar sukubangsa. yang indah dan yang buruk, dan sebagainya.
Upaya-upaya negosiasi perdamaian yang Penggunaan kebudayaan dalam pemenuhan
mengandalkan pihak ketiga - polisi, penegak sesuatu kebutuhan dilakukan secara sistemik
hukum - yang dianggap mempunyai kekuatan dengan nilai-nilai budaya sebagai inti atau
dan kewenangan oleh yang berkonflik, sering pusatnya, yang diacu untuk mengintegrasikan
mengundang ketidakpercayaan “apakah ada pemenuhan kebutuhan tersebut dan untuk
penegak hukum yang dapat berlaku adil pembenaran dan keabsahannya. Dalam
dan beradab dan mempunyai visi serta misi kehidupan manusia, nilai-nilai budaya
perdamaian, wawasan dan pengetahuan ini diperkuat fungsinya oleh keyakinan
multikultural?” Ketidakpercayaan ini dapat keagamaan pemiliknya; di situ dipertegas
dimaklumi mengingat bahwa perbuatan KKN batas-batas antara yang baik dari yang tidak
sudah merasuk ke segala penjuru dan bidang baik, antara yangg halal dari yang haram,
kehidupan. antara yang sah dari yang tidak sah dan
Seandainya sebuah konflik telah sebagainya.
terselesaikan atas campur tangan pihak Bagi banyak orang keyakinan keagamaan
ketiga, pertanyaan berikutnya adalah berapa bisa menjadi corak yang primodial karena
lamakah hidup berdampingan secara damai manusia belajar agama sejak masa kanak-
tersebut dapat dipertahankan mengingat kanak. Sementara, kebudayaan dipunyai
bahwa segala sesuatu dalam kehidupan oleh seseorang atau kolektiva melalui proses
manusia itu berubah, termasuk prinsip- belajar dan bukan melalui proses pewarisan
prinsip hidup berdampingan secara damai yang askriptif, maka hakikat kebudayaan
yang merupakan variabel tergantung dari berbeda dengan hakikat kesukubangsaan.
berbagai variabel yang ada dalam konteks- Bila hakikat kesukubangsaan adalah konstan,
konteks kehidupan bersama tersebut. hakikat kebudayaan adalah kumulatif.
Sukubangsa adalah golongan sosial Seseorang sebagai anggota kolektiva suatu
yang askriptif berdasarkan atas keturunan sukubangsa tertentu dapat mempunyai
dan tempat asalnya. Dengan demikian, kebudayaan yang mencakup berbagai unsur
jati diri sukubangsa atau kesukubangsaan dari satu atau sejumlah kebudayaan lainnya,
adalah jati diri yang askriptif yang didapat atau hanya kebudayaan sukubangsa tempat
bersamaan dengan kelahiran seseorang dia menjadi warganya.
atau tempat asalnya. Bila jati diri sukubangsa Apakah konflik antar sukubangsa
tidak digunakan dalam interaksi, jati diri disebabkan oleh perbedaan kebudayaan?
sukubangsa atau kesukubangsaan tersebut Menurut Parsudi Suparlan (2003) konflik
76 NANIK PRIHARTANTI

antar sukubangsa bukan disebabkan oleh amat penting untuk hidup bergaul sehat dan
perbedaan kebudayaan. Dalam sejarah bahagia adalah yang disebutnya sebagai
kemanusiaan tidak pernah ada bukti bahwa pendekatan ukuran keempat. Pertumbuhan
sesama manusia itu konflik atau saling manusia sampai pada ukuran keempat
berbunuhan karena perbedaan kebudayaan. digambarkan oleh Suryomentaram sebagai
Yang terjadi adalah mereka itu dapat saling Gambar Jiwa Kramadangsa seperti disajikan
bermusuhan karena memperebutkan pada Gambar 1.
sumber-sumber daya, termasuk harga diri dan Dimensi I disebut sebagai juru catat.
kehormatan dalam struktur sosial kehidupan Di sini fungsi fisik yang berperan dalam
mereka, dengan menggunakan kebudayaan merespon lingkungan melalui panca indera,
yang mereka punyai masing-masing akan mencatat (mempersepsi) segala hal
sebagai acuan stereotype dan prasangka yang berhubungan dengan dirinya. Hasil
bagi landasan penciptaan batas-batas mencatat adalah berupa serangkaian catatan
sosial dan budaya di antara mereka, dan yang berada pada dimensi II. Dalam dimensi
dalam mengorganisir diri untuk bermusuhan. II ini sudah mulai tumbuh fungsi perasaan
Penghancuran terhadap setiap harta benda (emosi) yang akan melandasai atau mewarnai
yang bercirikan kebudayaaan sukubangsa sekumpulan catatan-catatan yang telah
pihak lawannya tidaklah dapat diartikan terserap melalui dimensi I sebelumnya. Dalam
sebagai konflik sukubangsa yang disebabkan konteks masyarakat majemuk, disinilah
oleh adanya perbedaan kebudayaan. munculnya perasaan sentimen-sentimen
Hakikat konflik antarsukubangsa adalah kesukubangsaan, kehormatan, kekuasaan,
konflik penghancuran kategori sukubangsa. golongan, dan muncul juga berbagai rasa
Segala sesuatu yang mempunyai ciri-ciri hidup seperti iri (meri), sombong (pambegan),
yang tergolong sebagai sukubangsa pihak rasa unggul, dan lain sebagainya.
lawan akan dihancurkan. Begitulah yang Selanjutnya dalam dimensi III muncul
sebenarnya terjadi. identitas kramadangsa yang sering disebut
juga sebagai ”si tukang pikir,” di sini fungsi
kognisi mulai berperan, terutama selalu
Konsep Pendekatan Ukuran Keempat dari memikirkan catatan-catatannya yang telah
Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram terakumulasi selama rentang kehidupannya.
Dapat dikatakan semua manusia akan
Konsep-konsep Ki Ageng Suryomentaram mampu dengan mudah bertumbuh sampai
sudah banyak diteliti dan dikaji oleh para pada dimensi ketiga ini, bertumbuh dalam
ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu seperti dimensi fisik, emosi, dan kognisi. Namun,
filsafat, psikologi dan antropologi budaya, tidak demikian halnya untuk dapat sampai ke
baik dari dalam maupun luar negeri. Someya dimensi IV (ukuran keempat) yang disebut
Yoshimichi (2001), seorang guru besar identitas manusia tanpa ciri (istilah asli dari
Antropologi dari Jepang, menyimpulkan Ki Ageng Suryomentaram adalah menungso
dari hasil penelitiannya bahwa kawruh tanpo tenger). Ciri (tenger) di sini adalah ciri
jiwa bersifat universal, dapat diterapkan yang digambarkan sesuai dengan catatan-
pada orang Jepang dan berpotensi untuk catatan yang hidup pada dimensi II. Kalau
membuka jalan baru bagi manusia yang dalam identitas kramadangsa, manusia selalu
sedang menderita. Jalan yang ditawarkan terikat oleh ciri-ciri yang dimilikinya sebagai
adalah melalui cara berpikir untuk menjadi pengaktifan jati diri (misalnya ‘aku Jawa’, ‘aku
bahagia. Memperjelas temuan Yoshimichi ini, Sunda’, ‘aku kaya’, ‘aku miskin’, ‘aku Islam’,
penelitian Soegito (2000) menjelaskan bahwa ‘aku Kristen’, ‘aku dendam’, ‘aku berkuasa’ dan
gagasan-gagasan Ki Ageng Suryomentaram seterusnya), maka dalam identitas manusia
(hidup pada tahun 1892 -1962) muncul tanpa ciri segala macam catatan tadi tidak
dan berkembang dari refleksi pengalaman lagi mengikat erat menjadi identitas jati diri
hidupnya serta fenomena konkret yang yang eksklusif. Sebaliknya, yang ada adalah
ditemui dalam masyarakat zamannya. rasa sama, manusia dengan rasa bebas, rasa
Salah satu penggalan pelajaran kawruh damai. Untuk dapat sampai pada dimensi IV
jiwa dari Ki Ageng Suryomentaram yang ini tidak berlangsung secara otomatis, tetapi
NANIK PRIHARTANTI 77

Juru Catat Dimensi I

Catatan-catatan Dimensi II

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

H K K K G K J K K I R
A E E E O E E E E L A
R H K L L B N P B M S
T O U U O A I A E U A
A R A A N N S N R
M S R G G D A P H
B A A G A S A N E I
E T A A N A I I N D
N A N A A A G U
D N N N N E P
A T
A
H
U
A
N

Kramadangsa Dimensi III

Membela diri
Manusia Tanpa Ciri Dimensi IV

gambar jiwa sehat

Gambar 1. Gambar Jiwa sehat Kramadangsa

perlu perjuangan mengalahkan “pembelaan lain (salah satunggaling pirantos wonten ing
diri,” perlu menumbuhkembangkan fungsi raosing tiyang ingkang kangge ngaraosaken
intuitif sehingga memiliki kepekaan untuk raosing sanes). Menurut Ki Ageng, bergaul
dapat menghayati rasa orang lain (empati). dengan orang lain berarti kita berhadapan
Dinamika pergeseran identitas kramadangsa dengan rasa atau perasaaan orang lain.
menuju identitas manusia tanpa ciri dapat Hal ini tidak jauh berbeda dengan maksud
penulis gambarkan sebagaimana disajikan Comte dengan sifat altruistik. Seseorang
dalam Gambar 2 (Prihartanti, 2004). yang mulai menginjak dewasa mestinya
Secara sederhana dapat dikatakan mulai meninggalkan sifat-sifat egoistik dan
bahwa dengan ukuran keempat (dimensi memasuki keinginan-keinginan untuk berbuat
IV) itu seseorang yang ada pada tahapan baik bagi orang lain.
tersebut selain mengerti diri sendiri, mengerti Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
hukum-hukum alam, juga mengerti rasa untuk dapat hidup berdampaingan secara
(raos) orang atau pihak lain. Menurut Ki damai dan bahagia ditengah masyarakat
Ageng ukuran keempat adalah salah satu majemuk, hal yang pertama kali harus
alat dalam rasa seseorang yang dapat diusahakan adalah mendewasakan individu-
dipergunakan untuk merasakan rasa orang individunya terlebih dahulu. Dewasa dalam
78 NANIK PRIHARTANTI

Lingkungan
(stimulus)

MAWAS DIRI
Integrasi fungsi :
kognisi dan emosi
menuju intuisi
Tidak berhasil Berhasil

KRAMADANGSA MANUSIA TANPA CIRI

Respon Respon
egoistik altruistik

Gambar 2. Dinamika pergeseran identitas kramadangsa menuju identitas manusia tanpa ciri.

arti mampu bertumbuh sampai pada identitas pengorbanan yang dianggapnya bukan
manusia tanpa ciri. berkorban namun sebagai suatu keharusan
Konsep hidup bahagia yang dimaksud yang menyenangkan. Pengembangan
Ki Ageng adalah hidup bahagia bersama. ukuran keempat diharapkan menyebabkan
Bukan bahagia sendiri lalu orang lain tata pergaulan menjadi lebih halus, penuh
tidak bahagia. Seseorang mustahil dapat kasih sayang, sehat, indah, nyaman, damai,
hidup bahagia tanpa berusaha mendukung dan bahagia. Begitupun dalam pergaulan
kebahagiaan orang lain. Sapa wonge golek antar etnis dan antaragama di Indonesia.
kepenak tanpa ngepenakke tanggane, iku
padha karo gawe dhadhung sing kanggo
njiret gulune dhewe. Maksudnya, kurang Pendewasaan Individu, Pendewasaan
lebih adalah jika seseorang mencari Masyarakat
keuntungan tanpa berusaha membuat orang
lain juga memperoleh keuntungan apalagi Pembangungan masyarakat seringklai
jika sampai merugikan orang lain, maka tidak berdasarkan atas hal-hal yang nyata,
sama saja ia menyiapkan tali untuk menjerat tetapi berdasarkan atas cita-cita yang tidak
lehernya sendiri. Kunci dari kemampuan nyata, sehingga menimbulkan bentrokan.
untuk memahami pihak lain adalah adanya Idealnya membangun masyarakat yang luas
pengertian tentang rasa sama, semua orang itu harus dimulai dari masyarakat lingkungan
itu punya rasa sama (raos sami, sadaya kecil, yaitu lingkungan keluarga. Sebuah
tiyang punika raosipun sami), jadi tidak layak pertanyaan yang dilontarkan oleh Ki Ageng
untuk dibeda-bedakan. Suryomentaram layak kita renungkan:
Dengan pendekatan ukuran keempat “Apakah seseorang itu diperuntukkan
itu diharapkan tata kehidupan masyarakat bagi masyarakat, atau masyarakat itu
menjadi lebih sehat dan bahagia. Antar diperuntukkan bagi seseorang?” Ada dua
individu dapat saling mengerti, antar kemungkinan jawaban dari pertanyaan ini.
kelompok dapat saling memahami, rakyat Yang pertama, bahwa seseorang itu untuk
mengerti pemimpinnya, dan yang lebih masyarakat, dan yang kedua masyarakat itu
penting lagi pemimpin memahami rakyatnya untuk seseorang.
sampai kepada rasa jiwanya yang paling Jawaban bahwa masyarakat itu untuk
dalam sehingga bersedia melakukan seseorang, ini berarti yang dipentingkan
NANIK PRIHARTANTI 79

ialah perseorangan. Masyarakat harus atau hubungan itu ibarat asap, maka orang
memberi kemerdekaan kepada seseorang. ibarat apinya. Maka bila usaha kita hanya
Kemerdekaan yang diberikan kepada setiap menghilangkan asap tanpa memadamkan api,
orang itu dipergunakan oleh masing-masing usaha itu pasti akan sia-sia. Kalau kita hendak
orang untuk mencari kekayaan sebanyak- membangun negara Indonesia yang damai,
banyaknya, tidak kenal batas, sehingga haruslah dicari jawaban atas pertanyaan,
menimbulkan bentrokan dengan kepentingan ”bagaimanakah cara orang berkuasa, tetapi
masyarakat. Hal ini kemudian meletus tidak mabuk dan tidak bertindak sewenang-
menjadi pemberontakan atau peperangan. wenang.” Sampai sekarang belum ada suatu
Padahal perang bertentangan dengan jaminan bahwa orang yang berkuasa pasti
tujuan hidup. Kalau tujuan hidup adalah tidak mabuk dan tidak bertindak sewenang-
untuk melangsungkan kehidupan sedangkan wenang.
perang ialah bunuh membunuh, maka dengan
dalih apapun perang adalah jahat dan keliru.
Jawaban lainnya bahwa seseorang Penutup
untuk masyarakat, ini pun keliru. Kekeliruan
ini terdapat pada kedua pertanyaan, yang Jika kita sepakat bahwa individu
berupa pemisah seseorang dari masyarakat. adalah apinya dan masyarakat adalah
Keadaan yang sebenarnya adalah bahwa asapnya, maka pertanyaan selanjutnya
seseorang dan masyarakat bukan dua badan adalah bagaimana caranya kita dapat
terpisah, melainkan satu badan kesatuan. membuat api-api yang berkualitas prima
Masyarakat itu terjadi dari hubungan agar asapnya pun berkualitas handal?
seorang dengan seorang yang diatur dengan Menurut hemat penulis kuncinya adalah ada
peraturan-peraturan, perjanjian-perjanjian pada pendidikan sejak usia dini. Sudahkah
atau undang-undang. Jika ditulis undang- sistem pendidikan kita memberikan tempat
undang ini inamakan tata negara, jika tidak yang subur untuk menumbuhkembangkan
dituls dinamakan atauran masyarakat. Sifat seorang individu tumbuh dewasa secara utuh
undang-undang atau hubungan itu tergantung sebagai makhluk multidimensi? Tidak hanya
pada sikap jiwa orangnya. Bila jiwa orang cerdas secara intelektual, namun juga cerdas
yang berhubungan itu tenteram dan damai, emosi, cerdas sosial, dan cerdas spiritual?
maka hubungannya (masyarakat) pun Saatnyalah kebijakan di bidang pendidikan
tenteram dan damai. Tetapi bila orangnya mulai memperhatikan hal ini. Sebuah ”Pe Er”
gelisah, hubungannya (masyarakat) pun besar bagi institusi pendidikan di tanah air
menggelisahkan. Jadi kalau undang-undang tercinta.

DAFTAR PUSTAKA

Prihartanti, N. (2004). Kepribadian sehat Suryomentaram, G., Suastika, K.O, &


menurut konsep Suryomentaram. Atmosentono, K.M. (1985). Ajaran-ajaran
Surakarta: Muhammadiyah University Ki Ageng Suryomentaram. Jakarta: Inti
Press. Idayu Press.
Soegito, A. Y. (2000). Menuju kebahagiaan. Yoshimichi, S. (2001). Kawruh jiwa: Suatu
Suatu telaah tentang faham kebahagiaan cara untuk menyelamatkan manusia yang
menurut Ki Ageng Suryomentaram. sedang menghadapi kesusahan. Makalah
Thesis. Program Pascasarjana Sekolah laporan Penelitian. Dipresentasikan di
Tinggi Filsafat Drijarkara, Jakarta. Pusat Studi Jepang, Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.
Suparlan, P. (2003). Bhineka Tunggal Ika:
Keanekaragaman sukubangsa atau
kebudayaan? Indonesian Journal of
Alamat e-mail: naniprie@yahoo.com
Social and Cultural Anthropology, Th.
XXVII, No 72, 25- 37.

Anda mungkin juga menyukai