Anda di halaman 1dari 21

Penulis :

HARSONO, SKM

(Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia/IAKMI Kabupaten


Indramayu

dan Mahasiswa Pascasarjana Prodi Magister Promosi Kesehatan Universitas


Diponegoro )

Latar belakang masalah

Indeks Pembangunan Manusia Indonesia dari tahun ke tahun meningkat, walaupun saat
ini Indonesia masih berada pada ranking 108 dari 187 negara di dunia. Pembangunan
manusia pada dasarnya adalah upaya untuk memanusiakan manusia kembali. Adapun
upaya yang dapat ditempuh harus dipusatkan pada seluruh proses kehidupan manusia
itu sendiri, mulai di dalam kandungan, bayi dengan pemberian ASI dan imunisasi, anak-
anak, remaja, hingga lanjut usia, dengan memberikan jaminan sosial. Kebutuhan-
kebutuhan pada setiap tahap kehidupan harus terpenuhi agar dapat mencapai
kehidupan yang lebih bermartabat.

Dalam rangka mendorong pembangunan manusia secara menyeluruh, perlu perhatian


pada kesehatan sejak dini atau sejak Balita. Kita lihat bahwa sangat penting untuk
melakukan investasi yang tepat waktu agar pertumbuhan otak anak sampai usia 5 tahun
dapat berjalan dengan baik, untuk menghindari loss generation. Salah satu ancaman
serius terhadap pembangunan kesehatan, khususnya pada kualitas generasi
mendatang, adalah stunting, dimana rata-rata angka stunting di Indonesia sebesar
37.2%. Menurut standar WHO, persentase ini termasuk kategori berat; kerentanan
remaja pada perilaku seks berisiko serta HIV/AIDS khususnya pada kelompok usia
produktif dan narkoba..

Kematian ibu juga menjadi tantangan dari waktu ke waktu. Ada berbagai penyebab
kematian ini baik penyebab langsung maupun tidak langsung, maupun faktor penyebab
yang sebenarnya berada di luar bidang kesehatan itu sendiri, seperti infrastruktur,
ketersedian air bersih, transportasi, dan nilai-nilai budaya. Faktor-faktor non-kesehatan
inilah yang justru memberikan pengaruh besar karena dapat menentukan berhasil
tidaknya upaya penurunan angka kematian ibu.

Seluruh proses ini harus ditunjang dengan ketersediaan pangan, air bersih, sanitasi,
energi dan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan

Guna mengurangi dampak kesehatan seperti contoh di atas, Kemenkes


menyelenggarakan Program Indonesia Sehat sebagai upaya mewujudkan masyarakat
Indonesia yang berperilaku sehat, hidup dalam lingkungan sehat, serta mampu
menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu untuk mencapai derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya. (Prof. Dr. dr. Nila F. Moeleok, Sp.MK, Februari 2016)
Motto “Prevention is better than cure”, sudah ada sejak jaman awal kemerdekaan
Republik Indonesia (Dr. J.L. Hydrick, 1952). Mengapa mencegah lebih baik daripada
mengobati ? Ini faktanya :

1. Terjadi kekurangan dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2014
dan 2015; Dana APBN untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) menjadi penutup
kekurangan BPJS
2. Klaim Rasio PBI di bawah 100% sedangkan Klaim rasio Non-PBI mandiri diduga
masih di atas 100%. (November 2014 1300%, di tahun 2015 disebutkan sekitar
600%). (JKKI, 2015)
3. Klaim pembiayaan operasi Caesar, Tahun 2014 : 297.781 kasus, unit cost Rp
4.775.711, jumlah biaya Rp 1.422.116.110.798. Tahun 2015 : 242.995 kasus,
unit cost Rp 4.761.561, jumlah biaya Rp 1.157.057.364.478. Sedangkan
persalinan Caesar sebanyak 59% dari total Persalinan (DR. Fachmi Idris: FIT,
2015)
4. Tahun 2015, peningkatan biaya pada kasus kardiovaskuler dengan UC Rp 54
juta. Perlu optimalisasi fungsi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
seperti optimalisasi peran promotif dan preventif pada Upaya Kesehatan
Perorangan (UKP) dan Upaya kesehatan Masyarakat (UKM) (DR. Fachmi Idris:
FIT, 2015)
5. Empat dari Lima penyebab kematian tertinggi 2014 adalah Penyakit Tidak
Menular (PTM) : stroke, kardivaskular, Diabetes Melitus, Hipertensi (Sample
Registration Survey/SRS, 2014, Balitbangkes)
6. Penykit Tidak Menular (PTM) menyebabkan beban ekonomi sebesar 4,47 trilyun
dollar AS atau 17.863 dollar AS per kapita 2012 – 2030. (World Economic Forum
& Harvard School of Public Health 2015)
7. Karena Mencegah itu lebih baik daripada mengobati hanya merupakan semangat
yang tidak tercermin dalam prioritas program dan pembiayaan kesehatan baik di
pusat maupun di daerah (JKKI, 2015).
8. Biaya belanja obat menyedot porsi signifikan (>40 persen dari total biaya
kesehatan). Angka ini sangat tinggi dibandingkan angka serupa di sejumlah
negara maju yang hanya 10-20 persen. Tingginya porsi belanja obat disebabkan
oleh pola peresepan obat tidak rasional dan permintaan pasien (AIPHSS, 2
Februari 2016)
9. Investasi Kesmas menyelamatkan keluarga, meningkatkan kualitas hidup, serta
memperoleh manfaat ekonomi dalam bentuk pengurangan biaya perawatan dan
peningkatan produktivitas.Investasi Kesmas meningkatkan efektivitas intervensi
kesehatan lain. Contoh program kesmas ini pada 1000 hari pertama kehidupan,
dan Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah (UKS/M), dll. Intervensi Kesmas
menyelamatkan 90 persen (dan 140 persen) lebih banyak nyawa dalam sepuluh
tahun (dalam 25 tahun), daripada program dan pendekatan kuratif. (AIPHSS, 2
Februari 2016)
10. Dan masih banyak lainnya.

Bagaimana Kemampuan Biaya Kesehatan di


Indonesia ?
Total belanja kesehatan Indonesia sangat kecil. Belanja kesehatan (publik dan
swasta jika digabung) tidak pernah menembus angka diatas 3.1 persen dari PDB.
Rerata total belanja kesehatan selama 7 tahun (2005 s/d 2011) hanya 2.9 persen PDB.
Belanja kesehatan per kapita per tahun 2011 Indonesia (US$ 95) jauh lebih kecil
dibandingkan Malaysia dan Thailand yang pada tahun yang sama mengeluarkan US$
346 dan US$ 201 per kapita. Alhasil, dalam hal belanja kesehatan, Indonesia
menempati urutan ke-14 dari 15 negara Asia Tenggara yang dipotret. Indonesia hanya
bersyukur bisa menduduki satu posisi lebih tinggi dibandingkan Myanmar, meski kalah
telak dibandingkan Timor Leste dan Nepal yang belanja kesehatannya lebih dari 5
persen PDB. (AIPHSS, 2 Februari 2016)

Di Propinsi NTT, Kesmas menerima 13 persen dana APBD Kesehatan, sementara


kegiatan pendukung dan kuratif menerima 58 dan 30 persen

Analisis data DHA 8 propinsi menunjukkan hasil lebih memprihatinkan. Porsi terbesar
(52 persen dana kesehatan lari untuk capacity building dan pendukungnya, 42 persen
kuratif, dan hanya 6 persen Kesmas. Temuan ini mereflesksikan program Kesmas yang
meliputi 19 item (KIA, Gizi, Malaria, dll) masing-masing menerima alokasi kurang dari 1
persen. (AIPHSS, 2 Februari 2016)

Beberapa hal berikut diduga menjadi penyebab kecilnya alokasi pendanaan


kesehatan di Indonesia:

 Pertama, terbatasnya fiskal. Pajak merupakan penopang utama (78 persen)


Namun rasio pajak Indonesia hanya 12 persen, jauh dibawah Malaysia (30
persen) dan China (22 persen). Akibatnya ruang fiskal untuk mendanai program
hajat hidup orang banyak menjadi terbatas. Ini PR Pemerintahan Jokowi-JK
untuk meningkatkan rasio pajak di Indonesia.
 Kedua, komitmen pemerintah pada sektor kesehatan harus ditingkatkan.
Dibandingkan negara dengan pendapatan hampir sama, Indonesia menjadi
pencilan dalam alokasi belanja kesehatan. Indonesia masuk 10 persen desil
terendah Negara dunia yang memberikan prioritas terendah dalam alokasi dana
publik untuk kesehatan.
 Kesehatan belum menjadi prioritas pemerintah daerah. Alokasi dana APBD
kesehatan belum sepenuhnya sesuai ketentuan minimal sebagaimana amanat
UU Kesehatan No 36/2009, Pasal 171 Ayat (2) yang menyebutkan “Besar
anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan
minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di
luar gaji”. “BOK turun dari APBN melalui Kementerian Kesehatan untuk
dialokasikan kepada Pemda, Kota/Kabupaten. Selanjutnya Pemda meneruskan
ke Dinas Kesehatan Kab/Kota selaku Kuasa Pengguna Anggran untuk kemudian
diteruskan ke Puskesmas “. Jalur birokrasi (Pemda ke Dinkes dan selanjutnya ke
Puskesmas) seringkali dinilai sebagai sumber keterlambatan.

 Peningkatan alokasi dana butuh advokasi. Tanpa advokasi, dana yang


seharusnya masuk pos kesehatan melesat ke tempat lain. “Penambahan alokasi
dana dianggap pembebasan PAD untuk kesehatan“. Akibatnya daerah
mengalokasikannya ke pos-pos diluar kesehatan karena menganggap sudah ada
alokasi dana BOK. Contoh kasus, alokasi dana APBD kesehatan di NTT turun
pada 2010. Komitmen muncul setelah berbagai advokasi dilakukan sehingga
pada tahun 2011, lebih dari dua pertiga kabupaten di NTT sudah
mengalokasikan APBD lebih dari 10 persen untuk kesehatan. (AIPHSS, 2
Februari 2016)
Situasi Kesehatan Masyarakat Saat Ini
Di negara kita, jumlah orang sakit diperkirakan 15% sedangkan yang sehat atau tidak
sakit adalah 85%. Selama ini nampak bahwa perhatian yang lebih besar ditujukan
kepada mereka yang sakit. Sedangkan mereka yang berada di antara sehat dan sakit
tidak banyak mendapat upaya promosi. Untuk itu, dalam penyusunan prioritas
anggaran, peletakan perhatian dan biaya sebesar 85 % seharusnya diberikan kepada
85% masyarakat sehat yang perlu mendapatkan upaya promosi kesehatan.

Dengan adanya tantangan seperti tersebut di atas maka diperlukan suatu perubahan
paradigma dan konsep pembangunan kesehatan.

Paradigma berkembang sebagai hasil pemikiran dalam kesadaran manusia terhadap


informasi-informasi yang diperoleh baik dari pengalaman ataupun dari penelitian.
Memasuki era reformasi untuk Indonesia baru telah terjadi perubahan pola pikir dan
konsep dasar strategis pembangunan kesehatan dalam bentuk paradigma sehat.
Sebelumnya pembangunan kesehatan cenderung menggunakan paradigma sakit
dengan menekankan upaya-upaya pengobatan (kuratif) terhadap masyarakat Indonesia.

Perubahan paradigma kesehatan dan pengalaman kita dalam menangani masalah


kesehatan di waktu yang lalu, membuat kita melihat kembali prioritas dan penekanan
program dalam upaya meningkatkan kesehatan penduduk yang akan menjadi pelaku
utama dan mempertahankan kesinambungan pembangunan. Indonesia yang menjadi
sumber daya manusia sehat dan produktif harus berpikir dan agak berbeda dengan apa
yang kita lakukan sekarang. Pembangunan penduduk yang sehat tidak bisa dilakukan
melalui pengobatan. Perubahan paradigma perlu dilakukan adalah paradigma atau
konsep yang semula menekankan pada penyembuhan penyakit berupa pengobatan dan
meringankan beban penyakit diubah ke arah upaya peningkatan kesehatan dari
sebagian besar masyarakat yang belum jatuh sakit agar bisa lebih berkontribusi dalam
pembangunan. Paradigma sehat mempunyai orientasi dimana upaya peningkatan
kesehatan masyarakat dititik beratkan 85% Upaya promotif preventif yang meliputi : 1)
Promosi kesehatan, peningkatan produktifitas keluarga sehat ; 2) Pencegahan penyakit
melalui imunisasi pada ibu hamil, bayi dan anak; 3) Pencegahan pengendalian
penanggulangan, pencemaran lingkungan serta perlindungan masyarakat terhadap
pengaruh buruk (melalui perubahan perilaku); Memberi pengobatan bagi penduduk
yang sakit, (15%) melalui pelayanan medis.

Index Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2014, dengan nilai ideal
1,000 dari 30 Indikator. Capaian dari 30 Indikator tersebut, dikelompokan menjadi 7
variabel antaralain : Kesehatan Balita 0,6114; Kesehakan Reproduksi 0,4756; Perilaku
Kesehatan 0,3652; Penyakit Tidak Menular (PTM) 0,6267; Penyakit Menular 0,7507;
Kesehatan Lingkungan 0,5430 (balitbangkes, 2014); Sementara Proporsi kematian
akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) di Indonesia meningkat dari 50,7% di 2004
menjadi 71% di 2014 Empat dari Lima penyebab kematian tertinggi 2014 adalah PTM:
stroke, kardivaskular, DM, Hipertensi.12 faktor risiko timbulnya PTM antara lain karena
gaya hidup seperti merokok, obesitas, inaktivitas, peminum alcohol dan narkoba (FIT
IAKMI & APACPH, Oktober 2015)

Desa/kelurahan Siaga merupakan salah satu strategi pemberdayaan masyarakat,


dengan harapan masyarakat memiliki kesiapan sumber daya potensial dan kemampuan
untuk mengatasi masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara
mandiri. Sehingga Desa Siaga merupakan tahapan menuju Desa Sehat. Inti dari Desa
Sehat adalah penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di setiap tatanan.
Persentase rumah tangga di Indonesia yang mempraktikkan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) pada tahun 2015, baru mencapai 55%. juga terdapat 5 (lima) indikator
capaian yang masih berada dibawah angka 75%. Indikator yang menempati posisinya
terendah secara berurutan yaitu konsumsi buah dan sayur tiap hari (10,7%), memberi
ASI eksklusif (38%), cuci tangan dengan benar (47,2%), aktivitas fisik setiap hari
(52,8%), serta menimbang balita (68%). Sedangkan jika dilihat dari karakteristiknya,
proporsi rumah tangga sehat di perkotaan sebesar 42,3% dan di pedesaan sebesar
22,9%. Proporsi rumah tangga sehat menurut tingkat sosial ekonomi dibedakan atas :
tingkat sosial ekonomi teratas 48,3%, menengah atas 41,3%, menengah 35,2%,
menengah bawah 24,5% serta terbawah 9,2% (Laporan tahunan Pusat promosi
Kesehatan Kemenkes RI tahun 2015).

Di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini, lemahnya upaya preventif dan promotif
dalam Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) ditengarai menjadi salah satu penyebab
tingginya angka kesakitan yang berdampak pada tingginya biaya klaim di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL), meningkatnya factor-faktor risiko kesehatan, dan
kerusakan lingkungan.

Dalam konteks demikian, desakan untuk memprioritaskan upaya promotif preventif


tersebut terus mengemuka. Akhirnya, perubahan terjadi pada tahun 2016 dimana upaya
promotif preventif mendapat prioritas yang tinggi.

Beberapa indikator adanya komitmen pemerintah pada upaya promotif dan preventif,
antara lain :

1. Terjadinya perubahan struktur organisasi di Kementerian Kesehatan RI

Susunan organisasi Kementerian Kesehatan sesuai Perpres No. 35 Tahun 2015 adalah:
a. Sekretariat Jenderal; b. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat; c. Direktorat
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit; d. Direktorat Jenderal Pelayanan
Kesehatan; e. Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan; f. Inspektorat
Jenderal. Selanjutnya, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; h. Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan; i. Staf Ahli
Bidang Ekonomi Kesehatan; j. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi;
Staf Ahli Bidang Desentralisasi Kesehatan; dan l. Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan.
Dibandingkan dengan struktur sebelumnya, terjadi perubahan nama-nama Direktorat
Jenderal dan Staf Ahli.

Pada struktur periode sebelumnya Direktorat Jenderal di Kementerian Kesehatan


adalah: a. Direktorat Jenderal Bina Usaha Kesehatan; b. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; c. Direktorat Jenderal Bina Gizi
Kesehatan Ibu dan Anak; dan d. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan.

Sedangkan jumlah Staf Ahli pada periode sebelumnya ada 5 (lima), yaitu: a. Staf Ahli
Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; b. Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan
Pemberdayaan Masyarakat; c. Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan;
d. Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi; dan e. Staf
Ahli Bidang Mediko Legal.

Dengan demikian Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) di Indonesia, secara manajerial


telah dan diharapkan eksis keberadaannya.

2. Adanya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang


Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta
Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran
2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan
(BOK), penekanan untuk kegiatan promotif dan preventif di puskesmas
tergambar jelas. Dana BOK ini diarahkan untuk meningkatkan kinerja Puskesmas
melalui upaya kesehatan promotif dan preventif dalam mendukung pelayanan
kesehatan di luar gedung. Untuk itu, dana BOK dapat digunakan untuk
membayar 1 (satu) orang per puskesmas tenaga kontrak Promosi Kesehatan
yang kontraknya ditetapkan melalui SK Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
yang mengacu pada peraturan yang berlaku. Adapun Ketentuan Khusus terkait
dengan tenaga kontrak promoter kesehatan dan rincian kegiatan yang harus
dilakukan juga tertera dalam Petunjuk Teknis tersebut (JKKI, 2015)

Dengan dikeluarkannya Permenkes tersebut, Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) di


wilayah kerja Puskesmas, tersedia SDM dan terkawal keberlangsungan program
promotif preventifnya.

3. Amanat UU tentang 5% anggaran sektor kesehatan di APBN, pemerintah


menaikkan anggaran kesehatan di tahun 2016, untuk mendorong kegiatan
kesehatan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan Dana
Alokasi Khusus (DAK) Kesehatan & Keluarga Berencana tahun 2016 menjadi
Rp. 19.600.000.000.000,- (Catatan: tahun 2015 hanya Rp. 6.800.000.000.000,-).
Dana DAK Kesehatan tersebut dapat digunakan untuk kegiatan non fisik. Dalam
BOK misalnya dapat dipergunakan untuk kegiatan outreach (ANC, KB, Neonatal,
Bayi, Program penanggulangan Penyakit Tidak Menular (PTM), Penanggulangan
Gizi Buruk, Penyediaan Air Bersih, dll).
4. Amanat Kepmenkes terhadap Kebutuhan Tenaga Kesehatan Masyarakat.

Kebutuhan tenaga kesehatan masyarakat sangat signifikan dalam upaya promotif dan
preventif di setiap level dan daerah (Kepmenkes: Nomor 1114/MENKES/SK/VIII/2005,
ttg Pedoman Pelaksanaan Promkes di Daerah) , antara lain :

1. Puskesmas

Saat ini ada sekitar 9700 Puskesmas di Indonesia, minimal setiap Puskesmas
membutuhkan 1 orang tenaga kontrak berasal dari minimal D3 Kes atau S1 Kesmas (1
org x 9700 Puskesmas = 9.700 tenaga D3/S1 Kesmas). (Permenkes no. 82 Tahun
2015)

1. Rumah Sakit
Saat ini ada sekitar 1721 Rumah Sakit di Indonesia. Minimal setiap RS membutuhkan: 2
org D3 Kesmas ( 2 org x 1721 RS = 3.442 tenaga D3 Kes), 1 org S1 Kesmas (1 org x
1721 RS = 1.721 tenaga S1 Kesmas)

1. Dinas Kesehatan kab/kota

Saat ini ada sekitar 497 kab/kota di Indonesia. Minimal setiap Dinas kab/kota
membutuhkan: 3 org D3 Kesmas ( 3 org x 497 kab/kota = 1491 tenaga D3 Kes), 2 org
S1 Kesmas (2 org x 497 kab/kota = 994 tenaga S1Kesmas), dan 1 org S2 Kesmas (1
org x 497 kab/kota = 497 tenaga S2 Kesmas).

1. Dinas Kesehatan Provinsi

Saat ini ada 34 provinsi di Indonesia. Minimal setiap Dinas Kesehatan Provinsi
membutuhkan: 5 org D3 Kes (5 org x 34 kab/kota = 170 tenaga D3 Kes), 3 org S1
Kesmas (3 org x 34 kab/kota = 102 tenaga S1 Kesmas), 2 org S2 Kesmas (2 org x 34
kab/kota = 64 tenaga S2 Kesmas).

Bagaimana grand desain dalam mengelola kegiatan promotif preventif yang telah
di amanatkan pemerintah tersebut ?

Pengertian Promosi kesehatan dalam ilmu kesehatan masyarakat adalah sebagai


bagian dari tingkat pencegahan penyakit. Menurut Mee Lian Notoatmodjo (2007),
promkes adalah suatu proses membantu individu dan masyarakat meningkatkan
kemamapuan dan keterampilannya gunamengontrol berbagai factor yang berpengaruh
pada kesehatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya.

Konsep Promosi Kesehatan, Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik
faktor internal maupun faktor eksternal. Secara garis besar faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan, baik individu, kelompok, maupun masyarakat dikelompokkan
menjadi 4 berdasarkan urutan besarnya (pengaruh) terhadap kesehatan tersebut yaitu
lingkungan yang mencakup fisik, social, budaya, politik, ekonomi; Perilaku, pelayanan
kesehatan; dan hereditas (keturunan).

Salah satu contoh masalah Klaim Rasio PBI di bawah 100% atau dengan kata lain
kelompok masyarakat miskin dalam menjaga kesehatannya, tidak banyak yang
memanfaatkan pelayanan kesehatan . Pada fenomena ini, factor yang mempengaruhi
aksesibilitas sangat banyak, salah satu diantaranya karena kurangnya minat
masyarakat miskin menggunakan pembiayaan dari JKN.

Menurut Sampeluna (2013) faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan


kesehatan adalah keluarga dan kelompok acuan. Pemasaran sosial merupakan
rekomendasi upaya yang efektif untuk mendukung masyarakat memanfaatkan layanan
kesehatan. Sedangkan menurut Bashir (2006) minat masyarakat dalam pemanfaatan
layanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu adanya dukungan kelompok
acuan (keluarga, teman, tetangga) serta adanya kegiatan promosi kesehatan
menggunakan strategi pemasaran sosial program.
Grand Design promosi kesehatan diharapkan memiliki bentuk lebih aplikatif , dan bisa
menjadi kebijakan nasional yang bersifat lokal specifik (Bentuk Grand Design Promosi
Kesehatan di Puskesmas, PKMK FK UGM pada Kamis 18 Februari 2016.) Oleh
karena itu, promotif harus ada disetiap program-program preventif dan dilakukan oleh
tenaga ahli.

“Grand Design disusun disetiap level, ada yang ditingkat nasional, provinsi, ada yang
ditingkat kabupaten”. (Yayi Suryo Purbandari, Departemen Perilaku
Kesehatan,Lingkungan dan Kedokteran Sosial sebagai narasumber)

“Grand Design minimal harus menyinggung 5 program utama dalam promosi kesehatan
(Gerakan 1000 hari pertama kehidupan, STBM, Posbindu, PTM, AIDS, TB, DBD, UKS),
dan tetap harus menyambung program generiknya BOK. Grand Design harus cukup
efisien, dan fleksibel serta jelas. Fleksibel artinya dapat disesuaikan dengan keadaan
daerah masing-masing.” (Rita Damayanti, Ketum Perkumpulan Promotor dan Pendidik
Kesehatan Masyarakat Indonesia/PPKMI)

1. Dasar pemikiran dibutuhkan Grand Design Promosi Kesehatan dibutuhkan


sebagai acuan kegiatan promosi kesehatan mulai dari level provinsi,
kabupaten/kota, hingga ke puskesmas. antara lain :
 Jangka Waktu 5 Tahun. Seperti halnya RPJMD dan Rencana Strategis,
Grand Design Promosi Kesehatan memiliki jangka waktu 5 tahun. Hal ini
menguntungkan karena kegiatan promosi kesehatan yang bertujuan
mengubah perilaku sulit dilihat hasilnya dalam satu tahun atau jangka
pendek. Dengan adanya Grand Design, ada acuan (dan diharapkan jaminan)
untuk mengimplementasikan strategi promosi kesehatan secara
berkesinambungan (minimal 5 tahun) agar perubahan perilaku dapat terjadi.
 Fokus Perubahan Perilaku terkait Masalah Kesehatan Prioritas. Grand
Design Promosi Kesehatan sejalan dengan Rencana Strategis Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota karena harus mengacu pada
masalah kesehatan prioritas yang ada dan dirumuskan dalam Renstra.
Dengan demikian, posisi Grand Design Promosi Kesehatan adalah
“penjabaran” Renstra di bidang promosi kesehatan dengan focus perubahan
perilaku terkait masalah kesehatan prioritas. Catatan: Masalah Kesehatan
Prioritas adalah 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK), Sanitasi Terpadu
Berbasis Masyarakat (STBM), Posbindu, PTM, AIDS, TB, DBD, dan Upaya
Kesehatan Sekolah (UKS).
 Integrasi Kegiatan di Semua Level. Grand Design di daerah dikembangkan di
level provinsi kemudian dijabarkan di level kabupaten/kota sebagai acuan
penyusunan rencana kerja kegiatan promosi kesehatan di puskesmas.
Dengan prinsip integrasi seperti ini, kegiatan promosi kesehatan dapat lebih
fokus untuk mendukung upaya mengatasi masalah kesehatan prioritas di
suatu wilayah khususnya terkait perubahan perilakunya.
 Pendekatan Akademis dan Praktis. Grand Design disusun dengan mengacu
pada sistematika yang dianjurkan dalam teori. Meskipun demikian,
penyusunan Grand Design tidak terlalu teoritis. Untuk itu kombinasi dengan
pendekatan praktis juga dilakukan agar Grand Design yang dihasilkan lebih
membumi.
 Fokus pada Program Nyata. Kegiatan promosi kesehatan selama ini
seringkali dianggap “abstrak.” Salah satu penyebabnya adalah upaya
tersebut tidak dijabarkan dalam “bahasa program” yang jelas indikatornya dan
dapat dihitung biayanya. Grand Design Promosi Kesehatan ini berfokus pada
program nyata untuk menghindari ketidakjelasan (abstrak) tersebut.
 Dimensi Upaya Promosi Kesehatan Terintegrasi dengan BOK. Secara
operasional, Grand Design dijabarkan ke dalam program yang mencakup
empat dimensi yaitu KIE, Pemberdayaan Masyarakat, Advokasi, dan
Kemitraan dengan sasaran Rumah Tangga, Pelayanan Kesehatan, Sekolah,
Tempat Kerja, dan Tempat Umum. Keempat dimensi tersebut sudah tersedia
“menunya” dalam Juknis BOK dari Kementerian Kesehatan. Dengan
demikian, penganggaran implementasi Grand Design ini di level puskesmas
tidak menjadi masalah.
 Terbuka Inovasi dalam Implementasi di Level Lokal. Posisi Grand Design ini
berada di level “meso” (antara makro dengan mikro). Dalam penjabarannya di
level mikro (puskesmas) sangat terbuka peluang untuk melakukan inovasi
baik teknologi maupun pendekatannya sesuai kebutuhan setempat. Adanya
Grand Design untuk memastikan agar semua kegiatan promosi kesehatan
dapat terfokus dan terintegrasi di semua level.
2. Dari aspek kebutuhan SDM, dalam penyusunan Grand Design Promosi
Kesehatan dibutuhkan Tim Tenaga Ahli (minimal S2 Promosi Kesehatan) di
tingkat Dinkes Prov dan Dinkes Kab/kota. Di sisi lain, untuk implementasi di level
puskesmas, dibutuhkan tenaga promoter kesehatan. Contoh Di Kabupaten
Indramayu Jawa Barat, Jika jumlah Puskesmas 49 maka dapat diserap 49
tenaga Promoter Kesehatan.

3. Mainstreaming Kesehatan Masyarakat

Kesehatan Masyarakat merupakan komponen esensial dalam Sistem Kesehatan


Nasional. Program Kesmas fokus pada promosi dan pencegahan penyakit. Targetnya
populasi (keluarga), bukan individu sebagaimana dalam program kuratif. Peningkatan
investasi Kesmas memberikan implikasi signifikan dalam mengurangi biaya kuratif dan
perbaikan status kesehatan penduduk. Karena dua alasan, investasi Kesmas berpotensi
menyelamatkan nyawa dan menghasilkan efisiensi makro. (AIPHSS, 2 Februari 2016)

4. Urgensi Peningkatan Investasi Program Kesehatan Masyarakat

Investasi Kesmas menyelamatkan keluarga, meningkatkan kualitas hidup, serta


memperoleh manfaat ekonomi dalam bentuk pengurangan biaya perawatan dan
peningkatan produktivitas.Investasi Kesmas meningkatkan efektivitas intervensi
kesehatan lain. Contoh program kesmas ini pada 1000 hari pertama kehidupan, dan
Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah (UKS/M), dll. Intervensi Kesmas menyelamatkan
90 persen (dan 140 persen) lebih banyak nyawa dalam sepuluh tahun (dalam 25 tahun),
daripada program dan pendekatan kuratif. (AIPHSS, 2 Februari 2016)

5. Menyelaraskan Alokasi Dana UKM dan UKP

Pemerintah wajib memperbaiki alokasi dana kesehatan agar tidak bias pada
pelayanan kuratif saja. Sebanyak 19 program Kesmas harus dilaksanakan. Untuk itu
penyelarasan alokasi dana kesehatan antara program kesehatan berbasis masyarakat
(UKM) dengan program kesehatan perorangan (UKP) serta upaya pendukung harus
menjadi agenda prioritas.
Selain itu, inefisiensi alokatif pada pelayanan kesehatan kuratif harus
diperbaiki. Fraud Sistem harus dijalankan di Faskes, Sistem rujukan dan dominasi
pelayanan spesialistik harus diperbaiki, salah satunya, dengan memberikan porsi
pendanaan memadai pada pelayanan kesehatan primer (Puskesmas) sehingga tidak
menjadi sebuah produk layanan inferior. Pemerintah juga harus membenahi sistem
rujukan.

Upaya kesehatan Perorangan (UKP) di Puskesmas (PERMENKES 75 TAHUN 2014),


antara lain :

1. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dasar secara komprehensif,


berkesinambungan dan bermutu;
2. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan upaya promotif
dan preventif;
3. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat;

Upaya kesehatan Masyarakat (UKM) di Puskesmas PERMENKES 75 TAHUN 2014,


antara lain :

1. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesmas dan


kebutuhan pelayanan ;
2. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;
3. Melaksanakan KIE dan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan;
4. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah
kesehatan dan bekerjasama dengan sektor lain terkait;
5. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya
kesehatan berbasis masyarakat;
6. Meningkatkan Upaya Promosi dan Pencegahan

Hingga 70 persen dari beban penyakit dapat dihindari melalui pencegahan dan
promosi kesehatan (WHO 2002). Oleh karena itu, upaya peningkatan dana dan
penyelarasan alokasi dana UKM dan UKP memberikan ruang gerak memadai untuk
mengembangkan program kesehatan yang berbasis populasi (UKM). Program promosi
kesehatan dan pencegahan penyakit harus menjadi agenda utama.

7. Meningkatkan Manajemen Pengelolaan Dana

Peningkatan alokasi dana kesehatan tidak serta merta memberikan garansi dalam
memperbaiki status kesehatan jika birokrasi dan pengelolaan dana masih
rapuh. Dengan demikian pemerintah harus meningkatkan manajemen dan tata kelola
pemanfaatan dana agar peningkatan alokasi dana menjadi efektif dan memberikan
implikasi signfikan dalam memenuhi tujuan pembangunan kesehatan. Misal, upaya
penguatan BOK harus dilakukan dengan membenahi jalur birokrasi penyaluran dana,
serta manajemen pemanfaatan dana.

8. Meningkatkan Keterampilan Teknis dan Manajemen Program Kesehatan

Pengelolaan kesehatan butuh dana cukup dan manajemen adekwat sejak tahap
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Oleh karenanya, seiring
dengan peningkatan alokasi dana, strategi meningkatkan keterampilan teknis SDM dan
manajemen pengelolaan program harus diwujudkan.

Contoh bentuk dan keberhasilan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) di saat ini :

“Pemerintah Desa Campaka, Kecamatan Campaka, Kab. Cianjur Jabar melengkapi diri
dengan fasilitas kendaraan untuk kepentingan warga. Mobil siaga tersebut nantinya
diperuntukkan bagi seluruh warga yang membutuhkan atau dalam kondisi mendesak
yang kaitan dengan kesehatan masyarakat. Jika ada yang sakit bisa langsung
memakainya untuk kendaraan pengantar ke rumah sakit,” kata Sekretaris Desa
Campaka, Nandang Hoerudin kepada “Berita Cianjur”, Senin (23/11/2015).

TRIBUNJOGJA.COM, KLATEN – Berawal dari pengalaman sulitnya mendapatkan


sekantong darah, warga Desa Pandes Kecamatan Wedi berinisiatif membuat “Bank
Darah”. Meskipun bukan hal yang baru, namun hal itu dinilai cukup membantu warga
saat membutuhkan pasokan darah dalam keadaan mendesak.

Kepala Desa Pandes Heru Purnomo mengatakan, cikal bakal terwujudnya “Bank Darah”
Desa Pandes dimulai sekitar tahun 2008, dengan instruksi Pemkab Klaten. Saat itu
seluruh desa di Klaten diwajibkan untuk membuat Forum Kesehatan Desa (FKD).

“Dari instruksi itu kami berkembang. Selain itu, ada peristiwa ketika warga kami
membutuhkan kantong darah dalam jumlah yang banyak.Namun Kami saat itu cukup
kesulitan untuk mencarinya,” ujarnya Sabtu (06/12/2014). Ia menjelaskan “Bank Darah”
di Desa Pandes bukanlah sebuah bentuk penyimpanan kantong-kantong darah seperti
pada rumah sakit. Namun, merupakan sebuah database pendonor darah. Dengan daftar
tersebut, jika ada warga yang membutuhkan tranfusi darah, pihak desa melalui FKD
akan segera menghubungi pendonor tersebut.

Dengan database tersebut, kedepan Desa Pandes berharap bisa meningkatkan


statusnya menjadi Desa Siaga.

PURBALINGGA, SATELITPOST – Sebanyak 10 desa mendeklarasikan diri bebas dari


buang air besar (BAB) sembarangan atau Open Defection Free (ODF). Pada 2011
lalu,“Deklarasi ini untuk memicu desa-desa lain meningkatkan akses sanitasi dan tidak
buang air besar di sembarang tempat.

Sekolah Pemenang Lomba Sekolah Sehat Tingkat Nasional 2014

 Pemenang kategori pencapaian terbaik di tingkat TK/RA adalah TK Negeri


Pembina Jaro, Kec. Jaro, Kab. Tabalong, Kalimantan Selatan. Secara berturut-
turut, pemenang II dan II untuk kategori ini diraih oleh TK Cor Yesu, Kec.
Temanggung, Kab. Temanggung, Jawa Tengah, dan TK Bhayangkari 29, Kec.
Jambi Selatan, Jambi.
 Pemenang kategori pencapaian terbaik di tingkat SD/MI adalah SD Kemala
Bhayangkari, Kec. Balikpapan Selatan, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.
Sementara pemenang II dan III berturut- turut diraih oleh SD Tarakanita Grogol,
Kec. Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, dan SDN 01 Seponti, Kec.
Seponti, Kab. Kayong Utara, Kalimantan Barat.
 Pemenang kategori pencapaian terbaik di tingkat SMP/MTs adalah SMPN 2
Bandung, Kec. Sumur Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat. Sedangkan
pemenang II dan III secara berturut-turut diraih oleh SMPN 20 Pekanbaru, Kec.
Tampan, Kota Pekanbaru, Riau, dan SMPN 3 Kepil, Kec. Kepil, Kab.
Wonososbo, Jawa Tengah.
 Pemenang kategori pencapaian terbaik di tingkat SMA/SMK/MA adalah SMAN 2
Unggul Sekayu, Kec.Sekayu, Kab. Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Sedangkan predikat pemenang II dan III berturut-turut diraih oleh SMAN 2
Cirebon, Kec. Kesambi, Kota Cirebon, Jawa Barat, dan SMA YPK Bontang, Kec.
Bontang Barat, Kota Bontang, Kalimantan Timur.

Sumber:http://www.depkes.go.id/article/view/201408280001/inilah-para pemenang-
lomba-sekolah-sehat-tingkat-nasional-tahun 2014.html#sthash.0zhe26hB.dpuf

Jika Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dilakukan, maka akan :

1. Meningkatkan keterpaduan pelaksanaan upaya promkes dengan Lintas Program


dan Lintas Sektor terkait, di puskemas yang mengacu kepada tugas, fungsi serta
azas puskemas, seperti integrasi Promkes dengan Penanggungan Penyakit
Menular dan Tidak menular, Integrasi Promkes dengan Kesehatan Ibu dan Anak,
dll.
2. Meningkatnya dukungan kebijakan publik berwawasan kesehatan dari penentu
kebijakan serta berbagai pihak yang ada di wilayah kerja puskemas. Seperti
dukungan Bupati/Camat dalam program kesehatan seperti Kawasan tanpa
Rokok (KTR), Go Green, Sepeda Santai, dll
3. Meningkatnya kerjasama, antara puskesmas dengan LS, Ormas, Toma, swasta
serta seluruh masyarakat yang ada di wilayah kerja puskesmas dalam upaya
pembangunan kesehatan. Contohnya adanya dukungan konkrit dari
Muhammadiyah dalam menanggulangi masalah rokok pada remaja, Pemuda NU
Cegah TB paru, Aisyah peduli penyelamatan ibu dan bayi, kampung siaga
(Kamsi), Desa Siaga, Kecamatan Sehat, Kabupaten Sehat, Indonesia Sehat dll
4. Meningkatnya peran masyarakat termasuk swasta sebagai subjek atau
penyelenggara pelayanan kesehatan. Contohnya jumlah konseling meningkat,
klinik sanitasi aktif, Konseling Kesehatan reproduksi remaja aktif, dll.
5. Meningkatnya upaya promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang
efektif dengan mempertimbangan kearifan lokal. Seperti Munculnya desa siaga
mandiri, desa dengan bebas buang air besar sembarangan, desa asri dengan
bank sampah,
6. Meningkatnya pengembangan berbagai jenis upaya kesehatan bersumberdaya
masyarakat (UKBM) di wilayah kerja puskemas, seperti Dasolin, Ambulan Desa,
Donor darah Desa, Kader Juru pemantau jentik (Jumantik), Kelompok Pemakai
air bersih (Pokmair), Arisan Jamban, Kelas Ibu hamil, Posbindu, Posyandu
lansia.
7. Menurunnya risiko-risiko perilaku dan lingkungan yang berdampak buruk bagi
kesehatan
8. Terjadinya penurunan kasus kesakitan dan kematian, baik akibat penyakit
menular dan tidak menular.
9. Tidak terjadi penurunan kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan, karena rasio
tenaga dan pasien tidak overload, sehingga pelayanan kesehatan di RS dapat
lebih cepat
10. Quality of live terjaga, generasi produktif tersedia, Indonesia Berjaya

Dari mana memulai pengembangan upaya kesehatan masyarakat (UKM) di


Desa/kelurahan ?

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan/ hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pengaturan desa bertujuan mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi
masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan
bersama (UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa).

Pembangunan kesehatan merupakan pilar penting dalam mewujudkan SDM berkualitas


di desa. Peranan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat sangat penting
dapat menekan angka kesakitan, efisien dan efektif (sumber dana kesehatan).

Tidak cukup pemerintah desa/kelurahan hanya menunggu atau mengandalkan tenaga


dari Puskesmas saja. Sedangkan kemampuan petugas promotif preventif Puskesmas,
masih terbatas. Gambaran Puskesmas di Indonesia yang memiliki 5 tenaga kesehatan
promotif preventif (Tenaga Farmasi, Tenaga Kesmas, Sanitarian, Nutrisionis, Pranata
Laboratorium kesehatan) Pada tahun 2016, yaitu terdapat 1.618 Puskesmas yang
memiliki lima jenis tenaga kesehatan promotif dan preventif atau baru 16,6% dari 9.756
Puskesmas yang melaporkan data8. Provinsi dengan persentase tertinggi Puskesmas
yang memiliki lima jenis tenaga kesehatan promotif dan preventif yaitu Provinsi
Kalimantan Utara (30,61%) dan Sumatera Barat (29,92%). Sedangkan provinsi terendah
yaitu Provinsi Sulawesi Utara (0,53%) dan Papua Barat (0,67%) (Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2015). Artinya sisi sumberdaya kesehatan promotif preventif di
Puskesmas, kuantitas dan kualitasnya belum memadai, sehingga berdampak pada
kurangnya upaya pemberdayaan masyarakat oleh provider Puskesmas untuk
memandirikan masyarakat di bidang kesehatan.

Sebagai contoh Di Kabupaten Indramayu, gambaran kemandirian masyarakat di bidang


kesehatan tercermin dalam kegiatan posyandu dan pengembangan desa siaga.
Posyandu Tahun 2014 stratanya Purnama Mandiri 25,1%, Mandiri 2,3%,
Purnama22,7%, Madya74%, Pratama1,1%. Sedangkan Strata Posyandu Tahun 2015,
Purnama Mandiri 25,9%, Mandiri 2,5%, Purnama 23,4%, Madya 71,9%, Pratama 2%.

Desa Siaga Tahun 2014 desa dengan strata Pratama 22,6%, Madya 64,5%, Punama
11%, Mandiri 1,7%. Poskesdes yang beroperasi 101 unit, kader yang aktif dan telah
dilatih sebanyak 3256. (Profil Promosi Kesehatan tahun 2015).

Dari data tersebut dapat diinterpretasikan bahwa kurang lebih 10 desa dari 317
desa/kelurahan yang mempunyai kemandirian kegiatan Posyandu dan desa siaga,
sedangkan sebagian besar desa masih sangat rendah partisipasinya/kesadarannya di
bidang kesehatan
Permasalahan pelayanan Promosi Kesehatan di Puskesmas antara lain : (1) Kegiatan
yang dilaksanakan Puskesmas kurang berorientasi pada masalah dan kebutuhan
masyarakat setempat tetapi lebih berorientasi pada pelayanan kuratif bagi pasien yang
datang ke puskesmas; (2) Keterlibatan masyarakat yang merupakan andalan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan tingkat pertama belum dikembangkan secara
optimal; (3) Upaya promosi kesehatan masih dianggap sebagai tugas sector kesehatan
semata sehingga advokasi dan koordinasi secara berkesinambungan perlu terus
dilakukan, bersama dengan lintas program/sektoral, pemerintah daerah, dunia usaha,
swasta serta organisasi kemasyarakatan; (4) Keterbatasan SDM promotif preventif,
termasuk adanya paradigma provider dan stakeholder masih terfokus pada aspek kuratif
dibanding dengan preventif dan promotif (Laporan tahunan Pusat Promkes Kemenkes
RI 2015)

Maka dari itu, mari kita perbaiki masalah kesehatan masyarakat desa dengan
mengangkat seorang promotor kesehatan masyarakat desa di Desa/kelurahan.
Mengapa ?

Karena peran Promotor kesehatan mampu :

1. Mendorong adanya kebijakan publik berwawasan kesehatan untuk mengatasi


masalah kelompok warga yang berisiko tinggi
2. Melakukan edukasi masyarakat agar sadar, mau dan mampu berperilaku sehat
melalui kunjungan rumah
3. Bermitra dengan berbagai pihak dalam upaya kesehatan
4. Bersinergi dan harmonisasi antara pemerintah dengan swasta dan masyarakat
untuk menumbuhkan potensi masyarakat.
5. 70% sumber daya pembangunan desa berasal dari partisipasi masyarakat.
(Permenkes No. 65 tahun 2013)
6. Perilaku Masyarakat 40% berpengaruh terhadap status kesehatan (HL.Bloom)
7. Potensi masyarakat yang besar, diantaranya Adanya Tokoh/panutan
Masyarakat, organisasi masyarakat, pengetahuan yang dimiliki masyarakat,
material yang dimiliki masyarakat, kemampuan finansial yang dimiliki masyarakat
8. Diantara alokasi dana 70% bersumber dari APBDesa, diperuntukan untuk
pemberdayaan Masyarakat

Caranya :

1. Rencanakan anggaran rekrutmen tenaga promotor kesehatan dan kegiatan


aktifasi Desa Siaga dalam Musrenbangdes pada bulan oktober disetiap tahunnya
agar desember sudah bisa ditetapkan
2. Diskusikan dengan tenaga promotor tersebut, dalam membuat pemetaan skala
prioritas masalah
3. Dibuat jadwal kunjungan keluarga berisiko tinggi, seperti ibu hamil berisiko, anak
dengan gizi buruk, keluarga penderita penyakit TBC, gangguan jiwa, dsb
4. Adakan study kasus untuk kasus yng berpotensi wabah
5. Buat kegiatan mobilisasi atau gerakan masyarakat untuk mencegah penyakit
yang berpotensi wabah tersebut
6. Bentuk komunitas-komunitas perilaku sehat, seperti club kebugaran, 1 jam
berantas nyamuk DBD, Remaja Paham Jatidiri, dsb
7. Perkuat eksistensi tenaga promotor kesehatan dengan jejaring keswadayaan
masyarakat yang telah ada di desa
8. Monitoring evaluasi

Dengan adanya tenaga khusus promotor kesehatan masyarakat di Desa yang tugas
pokoknya melakukan kunjungan rumah kepada keluarga yang menderita suatu penyakit
atau memiliki risiko penyakit, maka permasalahan kesehatan masyarakat didesa akan
lebih diperhatikan dan diselesaikan, akan terasa pelayanan yang lebih dekat dengan
warga.

Maka mari kita fasilitasi, kebutuhan kesehatan warga kita dengan kata kunci : Dampingi
keluarga sakit dengan promotor kesehatan, fasilitasi desa menjadi desa siaga aktif
karena 1 desa = 1 Promotor Kesehatan, 1 desa = 1 SKM.

Sumber Gambargizitinggi.org
Ada 10 indikator sekolah sehat, yaitu:
1. Kepadatan ruang kelas minimal 1,75 m2/anak, selain untuk kenyamanan dan
memberi ruang gerak yang cukup bagi anak, kondisi kelas yang tidak padat
juga memudahkan prosedur evakuasi saat keadaan darurat.
2. Tingkat kebisingan di lingkungan sekolah maksimal 45 desibel
(setara dengansuara orang mengobrol dengan suara normal) karena
kebisingan di atas 45 desibelakan mengganggu konsentrasi belajar.
3. Memiliki lapangan atau aula untuk olahraga.
4. Memiliki lingkungan sekolah yang bersih, rindang dan nyaman.
5. Memiliki sumber air bersih yang memadai dan septic tank dengan jarak minimal
10 meter dari sumber air bersih.
6. Ventilasi kelas yang memadai.
7. Pencahayaan kelas yang memadai (harus cukup terang).
8. Memiliki kantin sekolah yang memenuhi syarat kesehatan
9. Memiliki toilet dan kamar mandi bersih dengan rasio 1:40 untuk siswa laki-
lakidan 1:25 untuk siswa perempuan.
10. Menerapkan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah

Kesepuluh indikator itu masih harus dilengkapi dengan adanya ruang Unit Kesehatan
Sekolah (UKS) dan program UKS yang melaksanakan Trias UKS, yaitu pendidikan
kesehatan, pelayanan kesehatan, dan pembinaan lingkungan sehat.

Ada beberapa kriteria sekolah sehat dan aman untuk anak.


Kurikulum yang digunakan, lokasi, biaya, dan fasilitas adalah hal-hal utama yang
menjadi pertimbangan orang tua saat memilih sekolah untuk anak. Bagaimana pun
orang tua pasti berusaha agar anak mendapatkan pendidikan yang baik di
lingkungan yang sehat dan aman.
Berikut ini hal-hal yang sebaiknya juga orang tua perhatikan :

1. lalu lintas di sekitar sekolah dan akses ke lingkungan sekolah yang


aman. Anak-anak berhak mendapatkan tempat yang aman untuk berjalan kaki
dan mendapatkan pengawasan yang memadai saat berada di jalan.
2. Jika sekolah berada di pinggir jalan raya atau jalan dengan lalu lintas ramai,
pastikan tersedia trotoar.
Akses masuk dan keluar lingkungan sekolah juga merupakan salah satu faktor yang
patut menjadi pertimbangan.
UNIT KESEHATAN SEKOLAH (UKS) MENJADI TRANSFORMASI
DALAM UPAYA KESEHATAN DI LINGKUNGAN SEKOLAH
DIPUBLIKASIKAN PADA : SENIN, 27 FEBRUARI 2017 00:00:00, DIBACA : 15.731 KALI Jakarta, 27 Februari 2017

Data Riskesdas 2013 menunjukkan anak usia 10-14 tahun, usia SMP dan SMA pada
laki-laki dan perempuan menunjukan kurang makan sayur dan buah serta
mengonsumsi makanan yang tidak sehat seperti makanan yang berpenyedap,
junkfood atau serba instan. Hal ini menyebabkan tingginya penyakit hipertensi,
Diabetes Melitus dan Penyakit Tidak Menular (PTM) lainnya.

Data Global School Health Survey (GSHS) 2015 menunjukan bahwa anak usia sekolah
22,2 % pernah merokok, 11,6 % saat ini masih merokok, 4,4% pernah mengonsumsi
alkohol, hal tersebut menunjukan adanya tantangan kesehatan yaitu meningkatnya
kesenjangan dalam penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Demikian pernyataan yang disampaikan Direktur Kesehatan Keluarga dr. Eni Gustina,
MPH saat menghadiri acara Rakerkesnas 2017 dengan tema Sinergi Pusat dan Daerah
dalam Pelaksanaan Pendekatan Keluarga untuk mewujudkan Indonesia Sehat, di Hotel
Bidakara Jakarta (27/2).

Untuk meningkatkan kondisi kesehatan di lingkungan sekolah diharapkan


pelaksanaan Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah (UKS/M) dilakukan intenisf dan
berkualitas serta mampu menjangkau seluruh peserta didik di Indonesia. Data Dapodik
Kemendikbud tahun 2016 menunjukan tingginya jumlah peserta didik di Indonesia
yang mencapai 44.308.247 pada jenjang SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA. Dengan
tingginya jumlah peserta didik ini maka usaha kesehatan dapat menjadi efektif ketika
diterapkan di tingkat pendidikan dasar maupun menengah.

'Program UKS mencakup kegiatan aktivitas fisik (peregangan disekolah), sarapan


dengan menu sehat, menerapkan Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS), buku raport
kesehatanku untuk gerakan literasi, pembinaan kantin sekolah dengan menyediakan
menu sehat serta melakukan kegiatan PSN 3M Plus di lingkungan sekolah dan rumah',
ujar Direktur Kesehata Keluarga Kemenkes RI.

Implementasi Transformasi UKS di Dinas Kesehatan


Kegiatan UKS saat ini dikaitkan dengan belajar mengajar di sekolah, dengan intergrasi
kurikulum dan PHBS misalnya kegiatan literasi murid bersama dengan guru membaca
buku raport kesehatanku untuk sosialisasi dan edukasi mengenai PHBS, aktivitas fisik
dengan peregangan di kelas, serta pembinaan kader di sekolah seperti dokter cilik.

'Hal ini dimaksudkan untuk menjadi kebiasaan dari usia dini sampai dewasa sehingga
akan mengurangi Penyakit Tidak Menular (PTM)', terang Dirjen Kesga.

Untuk meningkatkan program UKS maka dilakukan transformasi yang dapat


diterapkan di Dinas Kesehatan Provinsi, Kab/Kota berupa: 1) Tim Pembina Kemkes dan
Dinas Kesehatan menjadi pemeran utama dalam melaksanakan pelayanan kesehatan
sekolah; 2) Pelaksanaan Trias UKS di Dinas Kesehatan untuk mereplikasikan model
sekolah sehat; 3) Pelayanan kesehatan sekolah satu pintu di bawah koordinasi petugas
UKS Puskesmas; 4) Menempatkan UKS pada SOTK baru sejalan SOTK Pusat; 5)
Melakukan penghargaan kepada Kab/Kota yang memiliki indeks sekolah sehat
tertinggi.

Dalam mengimplementasikan transformasi UKS Dinas Kesehatan dapat mendirikan


model indikator sekolah sehat seperti indikator fisik; 1) Jumlah murid dengan status
gizi normal; 2) Memiliki sarana air bersih yang memadai dan jamban yang saniter
mencukupi; 3) Memiliki sarana cuci tangan dan tempat sampah yang mencukupi; 4)
Melakukan CTPS; 5) Sarapan/makan siang dan sikat gigi bersama; 6) Melakukan
aktivitas fisik secara teratur; 7) Melakukan penjaringan kesehatan dan pemeriksaan
berkala. Indikator mental meliputi: 1) Memberikan pendidikan keterampilan hidup
sehat (kompetensi psikososial) di sekolah, dan Sosial; 1) Wilayah KTR (kawasan tanpa
rokok); 2) Wilayah KTN (kawasan tanpa narkoba); 3) Wilayah KTK (kawasan tanpa
kekerasan); 4) Mempunyai kader kesehatan sekolah/ dokter kecil yang jumlahnya
cukup dan 5) Angka ketidakhadiran karena sakit yang rendah.

Menutup paparannya Direktur Kesga berharap seluruh Dinkes Provinsi, Kab/Kota


dapat mereplikasikan model sekolah/ Madrasah Sehat yang dapat dilaksanakan
dengan menggunakan APBN Pusat untuk orientasi Tim Pembina (TP) UKS Provinsi,
APBN Dekon Kesmas untuk Orientasi TP UKS Kab/Kota, Kepala Sekolah dan
Puskesmas, APBD Provinsi untuk Implementasi 10 Model Sekolah Sehat/Provinsi dan
APBD Kb/Kota untuk Implementasi 10 Model Sekolah Sehat/Kab-Kota.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Sekretariat
Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi
Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567; SMS 081281562620, faksimili (021)
52921669, dan email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id

Anda mungkin juga menyukai