Anda di halaman 1dari 22

1

ANESTESI PADA PARKINSON DISEASE

I. PENDAHULUAN

Penyakit Parkinson merupakan penyakit yang meningkat


pada orang berusia lanjut, yang memberikan tantangan
tertentu untuk dokter anestesi. Pada referat ini akan dibahas
tentang epidemiologi, etiologi, patogenesis dan patofisiologi
Parkinson disease. Problem-problem pada Parkinson disease
yang akan dilakukan anestesi meliputi problem di sistem
respirasi, cardiovascular dan neurologi. Juga akan dijelaskan
tentang potensi terjadinya interaksi obat dan beberapa
rekomendasi dibuat tentang tehnik anestesi yang cocok untuk
anestesi pada Parkinson disease.

Parkinson disease telah dikenal sejak lama dan baru di


deskripsikan pada abad ke 19 oleh James Parkinson dan
dikenal sebagai “ the shaking palsy “. Pada tahun 1879,
Charcot memberikan catatan tambahan tentang Parkinson
disease berupa disfungsi otonom. Hubungan antara substansia
nigra dengan Parkinson disease ditemukan pada tahun 1893,
akan tetapi gambaran lengkap tentang karakteristik
neuropatologis dan neurokimia, serta tatalaksana yang logis,
baru diperkenalkan pertengahan abad ke 20 ( Nicholson,
2002 )

Meskipun etiologi Parkinson disease tidak diketahui


( Stoelting, 2002 ), namun proses penuaan ( aging ) telah
dikenal sebagai faktor resiko yang terbanyak ( Stoelting,
2002 ). Parkinson disease mempengaruhi kira-kira 3 % dari
populasi yang berusia lebih dari 66 tahun. Parkinson disease
merupakan penyebab terpenting morbiditas perioperatif. Obat-
2

obatan yang digunakan pada tindakan anestesi akan


berinteraksi dengan obat-obatan anti Parkinson. Dan terdapat
kontroversi tentang tehnik anestesi yang optimal pada
anestesi dengan Parkinson disease.

II. EPIDEMIOLOGY

Parkinson disease terjadi di seluruh belahan bumi yang


mempengaruhi semua kelompok etnik, dengan lebih banyak
dijumpai pada populasi berjenis kelamin laki-laki. Prevalensi
meningkat pada populasi berumur antara 65 – 90 tahun.
Penulis lain menyatakan Parkinson disease mempengaruhi
individu yang berusia antara 50 – 70 tahun ( Morgan, 2006 ).
Sekitar 0,3 % dari populasi umum dan sekitar 3 % dari populasi
yang berumur 65 tahun, mempunyai kelainan Parkinson
disease. Di AS dan Kanada, prevalensi Parkinson disease
sekitar 3 % ( Morgan, 2006 ). Terdapat suatu penelitian dari
14.636 partisipan yang berusia lebih dari 65 tahun di 5 negara
Eropa dengan hasil 2,3 % ditemukan parkinsonism dan 1,6 %
ditemukan Parkinson disease. Dari 14.636 sebanyak 24 %
terdiagnosa sebagai penderita baru Parkinson disease.
Sebanyak 5 – 10 % dari pasien mempunyai gejala-gejala
sebelum berusia 40 tahun ( dikenal sebagai Parkinson disease
onset muda ). Insidensi terendah dijumpai pada orang Asia dan
orang Afrika berkulit hitam. Dan insidensi tertinggi dijumpai
pada orang kulit putih. Awalnya diduga Parkinson disease
karena adanya Revolusi Industri yang menyebabkan
banyaknya terlepasnya toksin eksogen, namun dijumpai fakta
3

bahwa Parkinson disease telah dijumpai ribuan tahun SM


( Nicholson, 2002 )

III. ETIOLOGY

Gejala parkinsonisme mempunyai beberapa penyebab


yang berbeda seperti arteriosclerosis, penyakit degenerasi SSP
yang difuse, trauma kepala berulang, tumor, defek metabolik
seperti penyakit Wilson, logam berat, atau keracunan carbon
monoxide. Parkinsonisme yang di induce oleh obat, terjadi
karena adanya blokade reseptor dopamine oleh obat-obatan
berikut seperti : phenothiazine, butyrophenone dan
metoclopramide. Pada tahun 1920 terjadi wabah encephalitis
lethargica, yang bertanggung jawab atas mulai dini nya
terjadinya parkinsonism, yang berhubungan dengan rigiditas
berat dan komplikasi respirasi ( Nicholson, 2002 ).

Meskipun etiologi Parkinson disease masih tidak


diketahui, telah lama dihipotesiskan bahwa terjadinya
neurodegenerasi ( Stoelting, 2002 ; Cole, 2004 ; Roizen, 2005 ;
Morgan, 2006 ), karena pengaruh genetik, lingkungan atau
kelainan infeksi. Usia merupakan satu-satunya faktor resiko
yang konsisten untuk menyebabkan Parkisnson disease dan
usia 40 tahun merupakan usia yang mulai riskan untuk
seseorang mengalami Parkinson disease. Hilangnya sel-sel
berpigmen di substansia nigra adalah temuan yang paling
sering dijumpai pada Parkinson disease, dan berkurangnya
jumlah kuantitas sel-sel nigra yang bervariasi dari 200.000 –
425.000 pada saat seseorang berusia 80 tahun. Pada Parkinson
disease, substansia nigra tampak mengalami penurunan nyata
sel-sel nigra ( < 100.000 ) dan sel-sel nigra ini akan digantikan
gliosis. Sebagai tambahan, terjadi juga pengurangan enzyme
4

tyrosine beta hydroxylase yang berperan dalam sintesis


dopamine. Sel-sel nigra yang tersisa mengandung banyak
eosinofil dengan Lewy bodies. Akan tetapi, pola hilangnya sel-
sel nigra pada penderita Parkinson disease, berbeda dengan
proses penuaan normal. Pada Parkinson disease, hilangnya sel-
sel nigra dominant ditemukan dibagian ventrolateral dari
substansia nigra ( Nicholson, 2002 ).

Selain faktor penuaan, riwayat keluarga juga menjadi


faktor resiko terkuat lainnya untuk terjadinya Parkinson
disease, meskipun faktor lingkungan harus juga
diperhitungkan. Pada kembar monozygot, terdapat dugaan
hubungan erat untuk terjadinya Parkinson disease antar
kembar tersebut. Namun ada pendapat yang menyatakan
bahwa faktor gen mempunyai penetrasi yang rendah untuk
terjadinya Parkinson disease ( Nicholson, 2002 ).

Parkinson disease pertama kali ditemukan pada Revolusi


Industri sehingga muncul pendapat Parkinson terjadi karena
adanya toksin-toksin pada lingkungan. Pada daerah pinggiran (
rural ), kemungkinan menderita Parkinson disease meningkat ,
sehingga hal tadi meyakinkan bahwa agen-agen toksin seperti
herbisida atau pestisida menjadi salahsatu penyebab Parkinson
disease, meskipun hal ini terjadi hanya di 10 % pasien
Parkinson disease. Faktor merokok telah mengalami
pengurangan untuk menyebabkan Parkinson disease.
Hubungan antara makanan dengan Parkinson disease juga
belum terbukti meskipun ada penelitian antara rendahnya
intake vitamin E dengan Parkinson disease ( Nicholson, 2002 ).

Kebanyakan kasus Parkinson disease dihasilkan dari


kombinasi genetik dan faktor lingkungan dan berbeda antar
5

individu. Mutasi gen menjadi predisposisi untuk


berkembangnya Parkinson disease jika dikombinasikan dengan
mutasi gen lain atau faktor lingkungan.

IV. PATOGENESIS

Parkinson disease mempunyai karakteristik berupa


terjadinya kematian populasi sel-sel syaraf terpilih, termasuk
sel-sel syaraf dopaminergik pars compakta di substansia nigra
( Stoelting, 2002 ; Cole, 2004 ; Morgan, 2006 ). Mekanisme
yang tepat mengenai penyebab kematian sel-sel syaraf tidak
diketahui dan diduga disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya disfungsi mitokondria, stress oksidatif, eksitotoksin
dengan pembentukkan yang berlebihan nitrit oksida, defisiensi
dukungan neurotropik atau mekanisme imun. Meskipun masih
bersifat kontroversi, jalur terakhir untuk menjelaskan
patogenesis yaitu terjadinya apoptosis sel-sel syaraf
dopaminergik di substansia nigra ( Nicholson, 2002 ).

Terjadinya disfungsi mitokondria dan metabolisme


oksidatif masih merupakan komponen utama mengenai teori-
teori penyebab Parkinson disease. Toksisitas 1-methyl-4-
phenyl-1,2,5,6-tetrahydropyridine ( MPTP ) oleh karena
penghambatan rantai transport electron mitokondria kompleks
1, menyebabkan berkurangnya ATP dan menyebabkan
kematian sel. Pada Parkinson disease terdapat sekitar 30 – 40
% penurunan dalam hal aktifitas kompleks 1 di substansia
nigra pars compakta, yang akan berkontribusi atas kegagalan
menghasilkan energi sehingga menjadi predisposisi terjadinya
toksisitas pada pars kompakta dan meningkatkan potensi
kematian sel. Stres oksidatif dapat disebabkan oleh suatu
peningkatan dalam hal jumlah benda-benda bersifat reaktif
6

berupa ion hydrogen, superoksida, radikal peroksil, nitrit oksida


dan radical hidroksil. Benda-benda reaktif ini akan berreaksi
dengan protein, lipid dan asam nukleat yang akan mengubah
struktur sel dan fungsi sel sehingga menyebabkan kerusakkan
sel. Selain itu, metabolisme dopamine eksogen juga akan
menghasilkan berbagai produk toksik dan kenyataan ini
menjadi bahan pertimbangan dalam hal pengobatan Parkinson
disease dengan menggunakan L-DOPA yang mempercepat
terjadinya kematian sel-sel syaraf di pars kompakta di
substansia nigra. Namun data-data tentang toksisitas L-DOPA
masih kontroversi dan tidak didukung oleh bukti-bukti klinis
( Nicholson, 2002 )

Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan Parkinson


disease termasuk terjadinya aktifasi yang persisten pada
reseptor-reseptor NMDA yang menghasilkan konsentrasi ion
kalsium intrasel. Peningkatan ion ini menyebabkan aktifasi
enzim ( protease, endonuklease, phospolipase dan sintase
nitrit oksida ). Aktifasi enzyme ini akan melepaskan radical
bebas nitrat oksida, terlepasnya besi yang ada di ferritin dan
peroksidasi lemak. Faktor-faktor neurotropik penting dalam hal
memperlancar fungsi sel dan jika konsentrasi neurotropik ini
berkurang akan menyebabkan kematian sel apoptosis.
Terdapat 2 agen yaitu glial-derived neurotrophic factor
( GDNF ) dan brain-derived neurotrophic factor ( BDNF ) yang
bersifat protektif sel syaraf dan dapat meregenerasi sel syaraf,
dan kedua agen ini pada binatang percobaan tadi mengalami
defisiensi pada Parkinson disease dan menyebabkan
degenerasi sel-sel dopaminergik. Terakhir, faktor-faktor
imunitas akan menyebabkan hilangnya sel-sel syaraf. Terjadi
peningkatan sitokin di substansi nigra saat penyakit sedang
7

berlangsung, akan tetapi mekanisme masih belum jelas


( Nicholson, 2002 ).

V. PATOFISIOLOGY

Ganglia basalis mengacu pada suatu daerah basal


forebrain dan midbrain yang dikenal mengatur pergerakan.
Ganglia basalis termasuk didalamnya striatum ( caudatum dan
putamen, globus palidus, nucleus subthalamus ) dan
komponen berpigmen dari substansia nigra, yang dikenal
sebagai pars kompakta ( Nicholson, 2002 ). Sirkuit motorik
yang penting secara klinis berasal dari cortex sensorimotor
dan berakhir di area motorik suplementer. Bagian tengah dari
loop dibagi menjadi dua jalur dari striatum ke thalamus.. Ada
satu station jalur langsung lewat bagian internal palidum dan
tiga station jalur tidak langsung lewat globus palidus eksternal,
nucleus subthalamik dan internal globus palidus. Jalur
nigrostriatal memproyeksikan dari substansia nigra pars
kompakta ke striatum, dimana jalur ini membuat dua macam
sinap pada sel-sel syaraf proyeksi. Jalur langsung sel-sel syaraf
ke atas difasilitasi lewat reseptor-reseptor dopaminergik tipe 1
( D 1 ) pada dendrite, dan jalur tidak langsung sel-sel syaraf
dihambat lewat reseptor-reseptor D 2. sel-sel syaraf internucial
kolinergik bersifat eksitasi terhadap sel-sel syaraf proyeksi dan
dihambat oleh dopamine. Pada Parkinson disease, jumlah
asetilkolin di striatum dalam batas normal. Defisiensi dopamine
menyebabkan ketidak seimbangan rasio dopamine : asetilkolin,
dan keadaan ini memunculkan gejala-gejala Parkinson disease
( Stoelting, 2002 )

Parkinson disease mempunyai karakteristik berupa


hilangnya sel-sel syaraf dopaminergik yang ada di substansia
8

nigra ganglia basalis ( Stoelting, 2002 ) ; Cole, 2004 ; Morgan,


2006 ). Hilangnya dopamine ini bisa mencapai 70 – 80 %
( Roizen, 2005 ). Defisiensi dopamine berhubungan dengan
meningkatnya aktifitas inhibitor nucleus-nukleus di ganglia
basalis ( menggunakan neurotransmitter GABA ), yang
menyebabkan inhibisi yang berlebihan dan secara efektif
menutup nucleus di thalamus dan nucleus batang otak
( Morgan, 2006 ). Inhibisi yang berlebihan pada thalamus
menyebabkan supresi pada system motorik kortikal yang
timbul gejala berupa akinesia, rigiditas dan tremor ( Morgan,
2006 ), sementara inhibisi pada area lokomotor batang otak
memberikan kontribusi berupa abnormalitas pada posture dan
cara berjalan.

Pembentukan dopamine merupakan langkah awal sintesis


epinephrine. Dopamin kemudian memasuki vesikel-vesikel di
sinap, yang selanjutnya diubah menjadi nor-epinephrin oleh
suatu enzyme ( Stoelting, 2006 ).
9

Sumber : Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice,


2006

VI. DIAGNOSIS dan GAMBARAN KLINIS

Parkinson disease mempunyai trias klasik berupa tremor


yang terjadi saat istirahat, rigiditas otot dan bradikinesia, dan
dengan tambahan berupa hilangnya refleks-refleks postural
( Stoelting, 2002 ; Cole, 2004 ; Roizen, 2005 ; Morgan, 2006 ).
Gejala-gejala ini pada awalnya bersifat unilateral. Rigiditas otot
skelet pada awalnya terjadi pada otot –otot leher ( Stoelting,
2002 ). Tanda-tanda klinis yang tampak pada Parkinson disease
mencerminkan pengaruh sel-sel syaraf kolinergik ( Cole,
2004 ). Kesulitan dalam mendiagnosis terjadi terutama pada
kondisi awal penyakit ini dan terdapat diagnosis yang
menyerupai / mensamarkan berupa arthritis atau depresi.
Gambaran klinis berupa trias klasik, tidak hanya menjadi
diagnosis Parkinson disease, akan tetapi juga muncul pada
kondisi lain yang dikenal sebagai syndrome parkinsonian.
Proses primer yang ada pada syndrome parkinsonian berupa
depigmentasi di pars kompakta substansia nigra dan hilangnya
sel-sel syaraf dopaminergik, yang mana berakhir di ganglia
basalis. Tidak ada tes yang spesifik untuk mendiagnosa
Parkinson disease, diagnosis dibuat terutama dari gambaran
klinis. MRI biasanya normal pada Parkinson disease, tetapi MRI
berguna untuk mendeteksi ada tidaknya penyakit
cerebrovascular atau mendeteksi atropi batang otak yang
meluas pada kelainan neurodegenerative lainnya ( Nicholson,
2002 ).

Disotonom merupakan gambaran klinis yang sering


dijumpai pada Parkinson disease dan syndrome parkinsonian.
10

Pasien dengan Parkinson disease sering mengalami hipotensi


ortostatik, disfungsi miksi dan gangguan tidur. Penilaian klinis
hipotensi ortostatik harus berupa pengukuran tekanan darah
dalam posisi berbaring dan duduk, yang menandakan adanya
fluktuasi postural ( Nicholson, 2002 ).

Terdapat pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk


menilai fungsi system syaraf otonom ( dalam hal ini system
syaraf simpatis ) yaitu dengan mengamati kondisi klinis respon
tekanan darah pada berdiri. Metode pengukuran : saat
berbaring diukur tekanan darah, kemudian berubah posisi
menjadi berdiri dan diukur tekanan darahnya. Tekanan darah
sistolik berdiri dikurangi tekanan darah sistolik berbaring.
Dengan nilai normal perbedaannya < 10 mmHg ( Stoelting,
2006 )

VII. PENGOBATAN PARKINSON DISEASE

1. TERAPI OBAT

Tujuan pengobatan Parkinson disease adalah agar


penderita dapat menjalani kehidupan normal secara aktif.
Pengobatan diarahkan pada pengendalian gejala ( Morgan,
2006 ). Pengobatan Parkinson disease dirancang untuk
meningkatkan konsentrasi dopamine di ganglia basalis atau
menurunkan pengaruh asetil kolin ( Stoelting, 2002 ; Roizen,
2005 ). Obat antikolinergik merupakan obat inisial Parkinson
disease ( Cole, 2004 ; Roizen, 2005 ). Obat yang biasa
digunakan adalah L-DOPA atau agonist reseptor dopamine.
Dopamine tidak dapat melewati barrier darah-otak sehingga
digunakan prekursornya ( L-DOPA ). Sayangnya perubahan L-
DOPA menjadi dopamine terjadi di perifer dan dapat
11

menyebabkan mual, muntah dan aritmia ( Roizen, 2005 ).


Faktor krusial adalah bagaimana mengedukasi pasien tentang
penyakit yang dideritanya dan bagaimana obat yang mereka
minum akan mempengaruhi mereka. Dengan dibantu, pasien
biasanya dapat menyesuaikan diri dengan gaya hidupnya.
Penting untuk mencatat kapan tepatnya obat pasien akan
habis dan coba untuk diperbanyak sebelum waktunya habis
( Nicholson, 2002 ).

2. L-DOPA DAN DOPAMINE AGONIST

Defisit utama Parkinsondisease adalah kurangnya


ketersediaan dopamine di ganglia basalis, oleh karena itu
pengobatan yang logis adalah dengan memberikan dopamine
eksogen atau menstimulasi reseptor yang kerjanya sama
seperti dopamine endogen. Pengobatan terbaik untuk
Parkinson disease dan telah dipergunakan secara luas adalah
L-DOPA, suatu prodrug, yang mana akan diubah menjadi
dopamine didalam otak. L-DOPA diberikan jika gejala
menunjukkan tingkat sedang sampai berat ( Morgan, 2006 ).
Efek samping L-DOPA berupa mual, muntah, diskinesia,
fluktuasi motorik, iritabilita jantung dan hipotensi ortostatik
( Stoelting, 2002 ; Morgan, 2006 ). Diskinesia merupakan efek
samping yang paling serius dan terjadi pada hampir 80 %
pasien yang mendapatkan pengobatan L-DOPA selama 1 tahun
pertama pengobatan ( Stoelting, 2002 ). Peningkatan
konsentrasi dopamin yang berasal dari L-DOPA akan
meningkatkan kontraktilitas myocardium dan meningkatkan
denyut jantung ( Stoelting, 2002 ). Mual muntah yang terjadi
mencerminkan adanya stimulasi chemoreseptor trigger zone
oleh dopamin ( Stoelting, 2002 ).
12

Pendekatan pengobatan yang lain adalah menggunakan


dopamine agonist. Yang termasuk dopamine agonist adalah
turunan ergot ( bromokriltin, cabergoline, lisuride, dan
apomorfin ) dan turunan non ergot ( pramimexole dan
ropinirole ) ( Morgan, 2006 ). Meskipun obat-obat ini berguna
pada awal-awal proses penyakit, dan pasien sering
membutuhkan terapi kombinasi dengan L-DOPA saat penyakit
berkembang. Tiap-tiap agonist dopamine efektif untuk
memperbaiki fungsi motorik pada Parkinson disease. Terdapat
suatu kontoversi mengenai jenis obat mana yang akan
dipergunakan terlebih dahulu apakah L-DOPA atau agonist
dopamine ( Nicholson, 2002 ).

3. MONOAMINE OXIDE INHIBITOR

Monoamine oksidase inhibitor tipe B yaitu selegiline,


mempunyai mekanisme kerja memperpanjang kerja dopamine
di striatum. Selegiline memperbaiki gejala-gejala Parkinson
disease, selain itu selegiline juga bersifat neuroprotektif.

4. TERAPI ALTERNATIF

Dalam waktu 5 tahun sejak memulai terapi Parkinson,


sekitar setengah sampai 2/3 pasien akan mengalami fluktuasi
gejala-gejala motorik mereka. Dengan terapi yang
berkelanjutan, terjadinya fluktuasi ini menjadi bergantung
pada konsentrasi levodopa didalam darah. Untuk mencegah
fluktuasi, konsentrasi dopamine di sirkulasi harus distabilkan.
Untuk menstabilkan ini dicapai dengan cara mengubah dosis
obat atau dengan preparat L-DOPA lepas terkendali. Sebagai
alternative, suatu kombinasi L-DOPA dan agonist dopamine
dapat digunakan ( Nicholson, 2002 ).
13

VIII. PERTIMBANGAN ANESTESI

Pasien-pasien dengan Parkinson disease kebanyakan


datang untuk dilakukan pembedahan prosedur untuk kelainan
urologi, ophtalmologi atau ortopedik, dan juga pada pasien-
pasien tua yang tidak terdiagnosa sebagai Parkinson disease.
Pengelolaan anestesi juga dibutuhkan untuk tindakan
pallidotomy, thalamotomy atau neuroaugmentive ( Morgan,
2006 ).

1. SISTEM RESPIRASI

Abnormalitas pada system respirasi dijumpai pada pasien


Parkinson disease sejak penyakit ini dideskripsikan pada 1817
dan komplikasi respirasi berupa aspirasi pneumonia
merupakan penyebab tersering kematian pada Parkinosn
disease. Terdapat suatu pola ventilasi obstruktif yang diamati
pada 1/3 penderita Parkinson disease, akan tetapi hal ini juga
berkaitan dengan adanya penyakit paru obstruktif menahun
yang menyertainya. Pada pasien dengan kelainan
ekstrapiramidal telah ditemukan bukti adanya abnormalitas
pengendalian dan abnormalitas fungsi jalan nafas bagian atas
yang membatasi aliran udara. Ini disebabkan adanya gerakan-
gerakan involunter pada otot-otot intrinsic laryng dan otot-otot
disekitar jalan nafas. Berkurangnya fungsi jalan nafas bagian
atas ini akan menyebabkan tertahannya secret dijalan nafas,
yang berlanjut menjadi atelektasis, aspirasi dan infeksi
respirasi, dan hal tadi sering dijumpai pada pasien dengan
Parkinson disease. Komplikasi potensial yang lain berupa
terjadinya laryngospasme post ekstubasi dan gagal nafas post
operasi ( Nicholson, 2002 ).
14

2. SISTEM SYARAF OTONOM

Manifestasi otonom pada pasien Parkinson disease


biasanya jarang spesifik. Terjadinya perubahan-perubahan
diberbagai fungsi sistemik misalnya pada system
gastrointestinal biasanya sering dijumpai pada geriatri dan
pada Parkinson disease. Perubahan-perubahan fungsi sistemik
juga bisa bersifat iatrogenic dari efek samping obat-obatan
untuk Parkinson disease. Terdapat suatu pertanyaan yang
belum terjawab, apakah terjadinya perubahan-perubahan
fungsi sistemik ini berasal dari usia, penyakit atau terapi atau
kombinasi dari berbagai faktor. Pasien dengan Parkinson
disease sering mengeluh tentang kesulitan dalam hal miksi,
saliva dan fungsi gastrointestinal. Juga dijumpai suatu kelainan
dalam hal pengendalian fungsi kardiovaskular dan pengaturan
suhu. Terjadinya seborea merupakan gambaran klasik pada
Parkinson disease, yang mengambarkan manifestasi otonom
( Nicholson, 2002 ).

3. SISTEM KARDIOVASKULER

Aritmia jantung dan udema dependen dapat muncul,


tetapi gejala yang sering muncul adalah hipotensi ortostatik.
Hipotensi postural dijumpai pada penderita Parkinson disease
sebelum memulai terapi dengan L-DOPA dan hipotensi postural
ini tidak berhubungan dengan abnormalitas kelainan respon
kardiovascular terhadap maneuver Valsava. Beberapa obat
Parkinson dapat menyebabkan hipotensi termasuk obat L-
DOPA melalui mekanisme pusat mirip dengan alpha-metyl
DOPA. Penggunaan obat lain seperti agonist dopamine yang
berkerja-langsung dan antidepresan, dapat menyebabkan
15

hipotensi ortostatik, yang salahsatu mekanismenya melalui


terjadinya vasodilatasi perifer ( Nicholson, 2002 ).

4. FUNGSI GASTROINTESTINAL

Gangguan pada fungsi gastrointestinal kemungkinan


merupakan gambaran kelainan otonom pada Parkinson
disease. Sialorea merupakan manifestasi lambat karena
berkurangnya fungsi penelanan dan berkurangnya pergerakan
motorik dibandingkan disfungsi otonom. Jumlah saliva yang
dihasilkan normal dan gejala berrespon terhadap pemberian L-
DOPA. Akan tetapi, penggunaan obat antimuscarinik akan
meningkatkan viscositas saliva dan gangguan menelan akan
semakin berat. Terjadinya disfagia dan abnormalitas fungsi
esofagus masih tidak jelas. Ditemukannya Lewy bodies pada
pleksus myetericus esofagus pada pasien-pasien yang
mempunyai akalasia dapat memberikan beberapa petunjuk.
Sering juga dijumpai konstipasi dan turunnya BB ( Nicholson,
2002 ).

IX. ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PARKINSON DISEASE

1. PERTIMBANGAN UMUM

Pengelolaan anestesi pada Parkinson disease


berdasarkan pada pemahaman tentang penyakit ini dan
potensi efek samping dari pengobatan ( Stoelting, 2002 ). Obat
yang biasa digunakan harus diberikan sedekat mungkin
dengan waktu akan dilakukannya anestesi. Penulis lain
menyatakan pengobatan harus dilanjutkan selama perioperatif
termasuk pagi hari sebelum pembedahan, oleh karena waktu
paru L-DOPA yang pendek ( Stoelting, 2002 ; Cole, 2004 ;
16

Roizen, 2005 ; Morgan, 2006 ). Penghentian pengobatan L-


DOPA yang mendadak akan menyebabkan rigiditas otot yang
berat dan akan memperburuk ventilasi ( Stoelting, 2002 ; Cole,
2004 ; Morgan, 2006 ). Obat L-DOPA hanya dapat dimasukkan
melalui enteral dan mempunyai waktu paruh yang pendek ( 1
-3 jam ). Untuk sedian L-DOPA dengan formulasi lepas sedang,
mempunyai durasi kerja antara 2 – 4 jam ( Morgan, 2006 ).
Obat L-DOPA diserap di usus halus bagian atas dan tidak dapat
diberikan sebagai suppositoria. Terkadang pasien meminum
sendiri obat L-DOPA sehingga kita perlu tahu berapa tepatnya
obat L-DOPA yang diminum pasien. Lebih lanjut lagi, pasien
tidak boleh terlewatkan dosis obat L-DOPA post operasi.
Pemberian L-DOPA biasa dengan menggunakan air dalam
sendok atau dengan melalui NGT.

Anestesi regional mempunyai keuntungan jika


dibandingkan dengan anestesi umum, karena obat-obatan
anestesi umum dan obat-obatan pelumpuh otot akan
mensamarkan terjadinya tremor pada pasien. Jika sedasi
dibutuhkan terutama pada prosedur pembedahan pada mata,
maka diphenhidramin dapat digunakan untuk sedasi ( Morgan,
2006 ). Aktifitas diphenhidramin yang berefek antikolinergik
sentral akan memberikan keuntungan pada Parkinson disease
yang dapat membuat operasi menjadi sulit. . Dengan anestesi
regional maka kejadian mual muntah akan berkurang sehingga
intake obat L-DOPA masih dapat dikonsumsi. Tetapi jika
memang anestesi umum dibutuhkan maka obat L-DOPA dapat
dimasukkan selama intraoperatif melalui NGT. Pasien Parkinson
disease yang pulih sadar dari pembiusan, sering terjadi
kondisi-kondisi yang menyerupai refleks-refleks neurologist
patologis, misalnya refleks-refleks peregangan yang hiperaktif,
17

clonus ankle, refleks Babinski. Menggigil merupakan kondisi


yang sering dijumpai post anestesi, baik itu anestesi umum
atau anestesi regional, dan kondisi menggigil ini harus
dibedakan dengan gejala-gejala Parkinsonism. Terjadinya
rigiditas setelah pemberian fentanyl baik itu dosis tinggi atau
dosis rendah. Pasien dengan Parkinson disases lebih nyata
untuk terjadi konfusi dan halusinasi ( Nicholson, 2002 ).

Obat-obatan yang dapat membangkitkan gejala-gejala


Parkinson harus dihindari, yaitu diantaranya : phenothiazine,
butyrophenone ( termasuk droperidol ) dan metoclopropamide
( Stoelting, 2002 ; Cole, 2004 ; Roizen, 2005 ; Morgan, 2006 ).
Droperidol mempunyai cara kerja yang menghambat pengaruh
dopamine di ganglia basalis ( Stoeling, 2002 ; Cole, 2004 ).
Penanganan hal ini sederhana, cukup dengan menarik obat-
obatan tadi. Obat-obatan yang berpotensi untuk berinteraksi
juga harus dipertimbangkan, yaitu selegiline dan MAOI
inhibitor. Terdapat laporan terjadinya agitasi, rigiditas dan
hipertermi pada pasien-pasien yang mendapatkan slelegiline
dan meperidine, oleh karena kombinasi ini harus dihindari.
Penggunaan obat NSAID poten akan menurunkan perlunya
analgesic narkotik ( seperti morfin ) untuk prosedur minor
( Nicholson, 2002 ).

2. ANESTESI INHALASI

Agen inhalasi mempunyai pengaruh kompleks pada


konsentrasi dopamine di otak, dengan cara menghambat
pengambilan kembali ( re-uptake ) dopamine di sinaps
( Maghrabi, 1993 ), dan mempengaruhi baik itu pelepasan
spontan dopamine dan pelepasan dopamine yang dibangkitkan
depolarisasi. Perubahan-perubahan ini secara klinis sesuai
18

dengan konsentrasi agen inhalasi. Untuk pasien-pasien yang


minum obat L-DOPA, agen halotane harus dihindari karena
akan mensensitisasi jantung melalui katekolamin. Halotane
dapat menyebabkan iritabilita jantung yang menimbulkan
aritmia ( Morgan, 2006 ). Agen-agen inhalasi terbaru seperti
isoflurane dan sevoflurane berefek kurang menyebabkan
aritmia namun tetap berpotensi menimbulkan hipotensi oleh
karena : hipovolemia, berkurangnya norepinefrin, disfungsi
otonom dan pemberian obat lain ( Nicholson, 2002 ).

3. AGEN INDUKSI INTRAVENA

Terdapat laporan kasus sebelumnya yang telah terjadi


episode-episode Parkinson pada pasien-pasien yang
mendapatkan thiopental, dan pada kajian binatang, thiopental
menurunkan pelepasan dopamine dari sinaps-sinaps striatum (
Manetz, 1994 ). Meskipun thiopental dapat menyebabkan
gejala Parkinson namun mekanismenya tidak jelas. Ketamin
secara teori menjadi kontraindikasi pada Parkinson disease
karena dapat membangkitkan respon simpatis, akan tetapi
ketamin sudah lama digunakan pada Parkinson disease tanpa
membahayakan pasien ( Stoelting, 2002 ). Ketamin
menyebabkan iritabilitas jantung yang akan menyebabkan
aritmia ( Morgan, 2006 ). Terdapat suatu hal yang menarik
mengenai penggunaan propofol pada Parkinson disease,
khususnya pasien Parkionson disease yang akan menjalani
prosedur palidotomy atau thalatotomy. Secara teori, propofol
menjadi pilihan yang ideal untuk prosedur stereostatic oleh
karena sifat propofol yang cepat dimetabolisme dan cepat
pulih sadar ( Nicholson, 2002 ).
19

Induksi pada pasien-pasien yang telah lama


mengkonsumsi terapi L-DOPA akan menyebabkan hipotensi
atau hipertensi yang nyata, sehingga tekanan darah arteri
harus diamati dengan cermat ( Morgan, 2006 ). Dan jika terjadi
hipotensi yang significan dapat diberikan dosis kecil vasopresor
kerja langsung seperti phenylephine ( Morgan, 2006 ).

4. AGEN PELUMPUH OTOT

Pemakaian agen pelumpuh otot non depolarisasi tidak


memperburuk gejala Parkinson disease. Pemilihan agen
pelumpuh otot tampaknya tidak dipengaruhi oleh Parkinson
disease ( Stoelting, 2002 ). Pemakaian suksinilkolin pada
Parkinson disease dapat menyebabkan hiperkalemia meskipun
dipengaruhi oleh berbagai factor ( Morgan, 2006 ). Namun
terdapat tujuh kasus penderita Parkinson disease yang
dianestesi dengan menggunakan suksinilkolin dan tidak
dijumpai tanda-tanda hiperkalemia yang di induce oleh
suksinilkolin ( Guedert, 1980 ). Sebelum dilakukan ekstubasi,
maka harus dilakukan penilaian yang cermat apakah ventilasi
sudah adekuat dan refleks-refleks jalan nafas sudah adekuat
( Morgan, 2006 ).

5. OPIOID

Terdapat banyak laporan terjadinya rigiditas otot setelah


pemakaian fentanyl pada pasien-pasien normal dan pada
pasien yang sudah tegak diagnosis Parkinsosn disease.
Terjadinya distonia akut setelah pemberian alfentanyl
mencerminkan adanya penghambatan transmisi dopamine
yang di induce oleh opioid ( Stoelting, 2002 ). Rigiditas otot
yang di induce oleh fentanyl, memberikan respon terhadap
20

pelumpuh otot dan secara teori dijelaskan sebagai


penghambatan di pra sinap saat pelepasan dopamine
( Klausner, 1988 ). Morfin pada dosis kecil dapat menyebabkan
dyskinesia dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan
akinesia pada Parkinson disease. Terjadinya dystonia akut juga
terjadi setelah pemberian alfentanyl dan interaksi yang berat
antara pemakaian meperidine dan selegiline juga telah
dilaporkan ( Nicholson, 2002 ).

X. KESIMPULAN

 Parkinson disease adalah penyakit akibat penuaan,


yang ditandai dengan berkurangnya dopamine di
substansi nigra.
 Berkurangnya dopamine akan menyebabkan
ketidakseimbangan dengan asetilkolin sehinnga
mengurangi pengaruh asetilkolin adalah salahsatu focus
pengelolaan anestesi pada Parkinson disease.

 Agen anestesi dapat menimbulkan interaksi dengan


obat-obatan Parkinson disease sehingga diperlukan
pengetahuan farmakologi yang menyeluruh dalam
pengelolaan anestesi pada Parkinson disease.

 Penilaian pre operatif yang adekuat, pemeliharaan


terapi sampai dengan akan dilakukannya anestesi dan
sesudahnya, menghindari agen-agen yang memicu dan
pemberian obat L-DOPA intraoperatif jika diperlukan,
kesemuanya merupakan factor-faktor kunci untuk
mengurangi morbiditas post operasi.

-oOo-
21

DAFTAR PUSTAKA

Cole, D.J. Preoperative Evaluation and Testing in Adult


Perioperative Anesthesia : The Requisites in Anesthesiology,
Elsevier Mosby, Philadelphia, 2004 : page 76

El Maghrabi, E.A., Eckenhoff, R.G. Inhibition of Dopamine


Transport in Rat Brain Synaptosome by Volatile Anesthetic.
Anesthesiology, 1993 ; 78 : 750 – 6

Goedert, G.P. Succinylcholine-induced Hyperkalemia in a


Patient with Parkinson Disease. Anesth. Analg., 1980 ; 59 : 444
–6

Klausner, J.M., Caspi, J., Lelcul, S. Delayed Muscle Rigidity and


Respiratory Depresion Following Fentanyl Anesthesia. Arch.
Surg., 1988 ; 123 : 66 - 7

Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. Anesthesia for Patient


with Neurologic & Psychiatric Disease in Clinical
Anesthesiology, Fourth Edition, Lange-McGraw-Hill Company,
New York, 2006 : page 650 – 651
22

Manetz, J., Varlet, C., Lecharny, J.B., Henzel, D., Lenot, P.,
Desmont, J.M. Effect of Volatile Anesthetic, Thiopental and
Ketamine on Spontaneus and Depolarization-evoked Dopamine
Release From Striatal Synaptosome in Rat. Anesthesiology,
1994 ; 80 : 352 – 63

Nicholson, G., Pereira, A.C., Hall, G.M. Parkinson’s Disease and


Anaesthesia in British Journal of Anaesthesia, 2002, Vol 89, No.
6 : page 904 – 916

Roizen, M.F. Anesthetic Implication of Concurent Diseases in


Miller’s Anesthesia, Sixth Edition, Elsevier Churchill
Livingstone, Philadelphia, 2005 : page 1093

Stoelting, K.R., Dierdorf, S.F. Disease of the Nervous System in


Anesthesia and Co-Existing Disease, Fourth Edition, Churchill
Livingstone, Philadephia, 2002 : page 258 - 259

Stoelting, K.R., Dierdorf, S.F. Autonomic Nervous System in


Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice, Fourth
Edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadephia, 2006 : page
700

-oOo-

Anda mungkin juga menyukai