Anda di halaman 1dari 28

BADAN KETAHANAN PANGAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

INDEKS
KETAHANAN
PANGAN
INDONESIA 2018
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

PENDAHULUAN 1

KONSEPSI INDEKS KETAHANAN PANGAN 2

HASIL INDEKS KETAHANAN PANGAN 8

KESIMPULAN 19

REFERENSI 20

Indeks Ketahanan Pangan ii


DAFTAR TABEL

1 Bobot Indikator Kabupaten Berdasarkan Expert Judgement 5


2 Bobot Indikator Kota Berdasarkan Expert Judgement 6
3 Cut off point Indeks Ketahanan Pangan 7
4 Peringkat dan Skor Indeks Ketahanan Pangan Kabupaten 2018 8
5 Peringkat dan Skor Indeks Ketahanan Pangan Kota 2018 14
6 Alternatif Intervensi di Wilayah Kabupaten 17
7 Alternatif Intervensi di Wilayah Kota 18

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Konsep Ketahanan Pangan 3


2 Peta Indeks Ketahanan Pangan Kabupaten dan Kota 2018 15
3 Distribusi IKP Kabupaten dan Kota 16

Indeks Ketahanan Pangan iii


INDEKS KETAHANAN PANGAN

PENDAHULUAN
Ketersediaan informasi ketahanan pangan yang akurat, komprehensif, dan tertata dengan
baik dapat mendukung upaya pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi.
Informasi ketahanan pangan sebagaimana tertuang dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang
Pangan dan PP No. 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi mengamanatkan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk membangun,
menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi.
Informasi ini sangat penting untuk memberikan arah dan rekomendasi bagi para pembuat
keputusan dalam penyusunanprogram, kebijakan, serta pelaksanaan intervensi di tingkat
pusat dan daerah.

Ketahanan pangan bersifat multidimensi, sehingga penilaian terhadap situasi ketahanan


pangan membutuhkan ukuran yang komprehensif dengan melibatkan serangkaian indikator.
Indikator-indikator tersebut digabungkan untuk menghasilkan nilai komposit ketahanan
pangan, yang selanjutnya dijadikan sebagai Indeks Ketahanan Pangan (IKP).

IKP telah dikembangkan pada tataran global untuk menilai dan membandingkan situasi
ketahanan pangan antar negara. Global Food Security Index (GFSI) yang dikembangkan
oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) membandingkan situasi ketahanan pangan antar
negara berdasarkan aspek ketersediaan, keterjangkauan, serta kualitas dan keamanan
pangan. Hasil analisis GFSI ini menunjukkan bahwa posisi ketahanan pangan Indonesia
mengalami perbaikan dari peringkat 71 pada tahun 2016 menjadi peringkat 69 dari 113
negara pada tahun 2017 (EIU 2016 dan 2017). Sementara itu, Global Hunger Index (GHI)
yang disusun oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) menggunakan empat
aspek untuk menilai ketahanan pangan suatu negara, yaitu: proporsi undernourishment,
balita wasting, balita stunting, dan angka kematian bayi. Indeks GHI sebesar 22
menempatkan Indonesia pada peringkat ke-72 dari 119 negara (IFPRI 2017). Indeks
ketahanan pangan lainnya adalah Rice Bowl Index (RBI) yang dikembangkan untuk menilai
sejauh mana kapasitas suatu negara dalam mengatasi tantangan ketahanan pangan
danmenempatkan Indonesia pada peringkat 10 dari 15 negara di Asia Pasifik (Syngenta dan
FSG 2016).

Pada level nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyusun IKP berdasarkan tiga
aspek ketersediaan, akses, dan konsumi pangan. Namun demikian, IKP tersebut disusun
hanya sampai dengan level provinsi sehingga tidak bisa secara langsung diadopsi untuk
intervensi kegiatan ketahanan pangan pada wilayah administrasi yang lebih kecil, yaitu
kabupaten/kota. Oleh karena itu, Badan Ketahanan Pangan memandang perlu untuk
menyusun IKP Nasional dengan unit analisis yang lebih rendah, yaitu tingkat kabupaten/kota
dengan mengadopsi pengukuran indeks global dengan berbagai penyesuaian metodologi

Indeks Ketahanan Pangan 1


sesuai dengan ketersediaan data dan informasi di tingkat kabupaten/kota. IKP ini juga
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peta Ketahanan dan Kerentanan (Food
Security and Vulnerability Atlas - FSVA), karena indikator yang digunakan dalam IKP
merupakan indikator yang juga digunakan dalam penyusunan FSVA Nasional. Hal ini
dilakukan agar hasil IKP sejalan dengan hasil FSVA Nasional. IKP Nasional memiliki peran
yang sangat strategis dalam mengukur capaian pembangunan ketahanan pangan di suatu
wilayah, mengukur kinerja daerah dalam memenuhi urusan wajib pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, dan merupakan salah satu alat dalam menentukan prioritas daerah dan
prioritas intervensi program. Secara khusus, penyusunan IKP Nasional dilakukan dengan
tujuan mengevaluasi capaian ketahanan pangan dan gizi wilayah kabupaten/kota), dan
memberikan gambaran peringkat (rangking) pencapaian ketahanan pangan wilayah
kabupaten/kota dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kotalain. IKP yang disusun
diharapkan dapat digunakan sebagai dasar saat melakukan intervensi program sehingga
lebih fokus dan tepat sasaran.

KONSEPSI INDEKS KETAHANAN PANGAN


Ketahanan Pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan
produktif secara berkelanjutan. Untuk mengetahui tingkat ketahanan pangan suatu wilayah
beserta faktor-faktor pendukungnya, telah dikembangkan suatu sistem penilaian dalam
bentuk IKP yang mengacu pada definisi ketahanan pangan dan subsistem yang membentuk
sistem ketahanan pangan.

Indeks Ketahanan Pangan (IKP) yang disusun oleh Badan Ketahanan Pangan, Kementerian
Pertanian merupakan penyesuaian dari indeks yang telah ada berdasarkan ketersediaan
data tingkat kabupaten/kota. Sembilan Indikator yang digunakan dalam penyusunan IKP
merupakan turunan dari tiga aspek ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan
dan pemanfaatan pangan. Pemilihan indikator yang digunakan dalam IKP didasarkan pada:
(i) hasil review terhadap indeks ketahanan pangan global; (ii) tingkat sensitifitasdalam
mengukur situasi ketahanan pangan dan gizi; (iii) keterwakilan 3 pilar ketahanan pangan;
dan (iv) ketersediaan data tersedia secara rutin untuk periode tertentu (bulanan/tahunan)
serta mencakup seluruh kabupaten/kota.

Indeks Ketahanan Pangan 2


Kerangka Konsep Ketahanan Pangan

Gambar 1. Kerangka Konsep Ketahanan Pangan

Sembilan indikator yang dipilih sebagai dasar penentuan IKP adalah sebagai berikut:
1. Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih. Rasio konsumsi
normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar.
Ketersediaan bersih didekati dari angka produksi setelah dikurangi susut, tercecer,
penggunaan untuk benih, pakan dan industri non pangan, sedangkan konsumsi normatif
ditentukan sebesar 300 gram/kapita/hari. Data produksi padi, jagung, ubi kayu, dan ubi
jalar menggunakan angka tetap 2014-2016 dari BPS dan Kementerian Pertanian.

2. Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Indikator ini


menunjukkan nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar
minimum kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan yang dibutuhkan oleh seorang
individu untuk hidup secara layak. Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan tidak
memiliki daya beli yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sehingga
akan mempengaruhi ketahanan pangan (DKP dan WFP 2013; FAO 2015; Kavosi et al.
2014; Riyadi et al. 2011; Ramli et al. 2009; Lubis 2010; Sofiati 2009; dan Misselhorn
2005). Data persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan bersumber dari
Susenas 2017, BPS.

3. Persentase rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan lebih dari 65
persen terhadap total pengeluaran. Distribusi pengeluaran untuk pangan dari total
pengeluaran merupakan indikator proksi dari ketahanan pangan rumah tangga. Teori
Engel menyatakan semakin tinggi tingkat pendapatan maka persentase pengeluaran
rumah tangga untuk konsumsi pangan akan mengalami penurunan. Pengeluaran pangan

Indeks Ketahanan Pangan 3


merupakan proksi yang baik untuk mengukur kesejahteraan dan ketahanan pangan
(Suhardjo 1996; Azwar 2004). Makin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu negara,
maka pangsa pengeluaran pangan penduduknya semakin kecil (Deaton dan Muellbauer
1980). Data yang digunakan bersumber dari Susenas 2017, BPS.

4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik. Tersedianya fasilitas listrik di suatu
wilayah akan membuka peluang yang lebih besar untuk akses pekerjaan. Hal ini
merupakan indikasi kesejahteraan suatu wilayah atau rumah tangga yang pada akhirnya
berdampak pada kondisi ketahanan pangan (DKP dan WFP 2013; Wiranthi et al. 2014;
Sabarella 2005; dan Sofiati 2009). Rasio rumah tangga tanpa akses listrik diduga akan
berpengaruh positif terhadap kerentanan pangan dan gizi. Data persentase rumah
tangga yang tidak memiliki akses listrik berasal dari Susenas 2017, BPS.

5. Rata-rata lama sekolah perempuan diatas 15 tahun. Rata-rata lama sekolah


perempuan adalah jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk perempuan berusia 15
tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Tingkat pendidikan perempuan
terutama ibu dan pengasuh anak sangat berpengaruh terhadap status kesehatan dan
gizi, dan menjadi hal yang sangat penting dalam pemanfaatan pangan. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan pendidikan berhubungan erat dengan
penyerapan pangan dan ketahanan pangan (Khan dan Gill 2009; Arif 2005; Molnar 1999;
dan Mahmood et al. 1991). Sumber data yang digunakan berasal dari Data Susenas
2017, BPS.

6. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih. Persentase rumah tangga tanpa
akses ke air bersih yaitu persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air
minum yang berasal dari air leding/PAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung
dan air hujan (tidak termasuk air kemasan) dengan memperhatikan jarak ke jamban
minimal 10 m.Akses terhadap air bersih memegang peranan yang sangat penting untuk
pencapaian ketahanan pangan karena di daerah yang akses terhadap air bersihnya
rendah ditemukan kejadian malnutrisi yang tinggi (DKP dan WFP 2009; Sofiati 2009).
Akses terhadap fasilitas sanitasi dan air layak minum sangat penting dalam mengurangi
masalah penyakit secara khusus diare, sehingga memperbaiki status gizi melalui
peningkatan penyerapan zat-zat gizi oleh tubuh (DKP dan WFP 2015; Pemprov NTT et
al. 2015; Kavosi et al. 2014; Khan danGill 2009; Burger and Esrey 1995; dan Thomas
dan Strauss 1992). Sumber data berasal dari data Susenas 2017, BPS.

7. Rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap tingkat kepadatan


penduduk. Total jumlah penduduk per jumlah tenaga kesehatan (dokter umum, dokter
spesialis, dokter gigi, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga
keterapian fisik, dan tenaga keteknisian medis) dibandingkan dengan tingkat kepadatan
penduduk. Rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk
akan mempengaruhi tingkat kerentanan pangan suatu wilayah (Lubis 2010 dan Sofiati
2009). Data tenaga kesehatan bersumber dari Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan SDM Kesehatan Tahun 2016, Kementerian Kesehatan.

Indeks Ketahanan Pangan 4


8. Persentase balita dengan tinggi badan di bawah standar (stunting). Balita stunting
adalah anak dibawah lima tahun yang tinggi badannya kurang dari -2 Standar Deviasi (-2
SD) dengan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dari referensi khusus untuk tinggi
badan terhadap usia dan jenis kelamin (Standar WHO, 2005). Status gizi balita
merupakan salah satu indikator yang sangat baik digunakan pada kelompok penyerapan
pangan (Pemprov NTT et al. 2015; DKP dan WFP 2009; Sabarella 2005). Data stunting
diperoleh dari hasil Pemantauan Situasi Pangan dan Gizi (PSG) tahun 2017,
Kementerian Kesehatan.

9. Angka harapan hidup pada saat lahir. Perkiraan lama hidup rata-rata bayi baru lahir
dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. Angka harapan
hidup merupakan salah satu indikator tingkat kesehatan masyarakat.Angka harapan
hidup saat lahir berasal dari Data Susenas 2017, BPS.

Metode pembobotan selanjutnya digunakan untuk menentukan tingkat kepentingan relatif


indikator terhadap masing-masing aspek ketahanan pangan. Metode pembobotan dalam
penyusunan IKP mengacu pada metode yang dikembangkan oleh EIU dalam penyusunan
GFSI (EIU 2016 dan 2017) dan GHI (IFPRI 2017). Goodridge (2007) menyatakan jika
variabel yang digunakan dalam perhitungan indeks berbeda, maka perlu dilakukan secara
tertimbang (pembobotan) untuk membentuk indeks agregat yang disesuaikan dengan
tujuannya. Penentuan besaran bobot yang digunakan diperoleh melalui expert judgement
(Tabel 1). Bobot untuk setiap indikator mencerminkan signifikansi atau pentingnya indikator
tersebut dalam IKP Kabupaten.

Tabel 1. Bobot Indikator Kabupaten Berdasarkan Expert Judgement

No Indikator Bobot
ASPEK KETERSEDIAAN PANGAN
1. Rasio kosumsi normatif terhadap ketersediaan bersih per kapita per hari 0.30
Sub Total 0.30
ASPEK KETERJANGKAUAN PANGAN
2. Persentase penduduk dibawah Garis Kemiskinan 0.15
3. Persentase rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan 0.075
lebih dari 65% terhadap total pengeluaran
4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik 0.075
Sub Total 0.30
ASPEK PEMANFAATAN PANGAN
5. Rata-rata lama sekolah perempuan di atas 15 tahun 0.05
6. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih 0.15
7. Rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap tingkat 0.05
kepadatan penduduk
8. Prevalence Balita Stunting 0.05
9. Angka harapan hidup pada saat lahir 0.10
Sub Total 0.40

Indeks Ketahanan Pangan 5


Khusus untuk analisis wilayah perkotaan hanya digunakan delapan (8) indikator dari aspek
keterjangkauan dan pemanfaatan pangan, mengingat ketersediaan pangan di tingkat
perkotaan tidak dipengaruhi oleh produksi yang berasal dari wilayah sendiri tetapi berasal
dari perdagangan antar wilayah. Oleh karena itu, bobot rasio konsumsi normatif terhadap
ketersediaan bersih adalah nol karena IKP kota tidak menggunakan indikator dari aspek
ketersediaan pangan. Nilai bobot 0,30 dari indikator aspek ketersediaan pangan kemudian
dialihkan kepada 8 indikator lainnya secara proporsional berdasarkan masing-masing aspek.
Besaran bobot yang digunakan untuk setiap indikator mencerminkan signifikansi atau
pentingnya indikator tersebut dalam IKP Kota (Tabel 2).

Tabel 2. Bobot Indikator Kota Berdasarkan Expert Judgement

No Indikator Bobot
ASPEK KETERSEDIAAN PANGAN
1. Rasio kosumsi normatif terhadap keteresediaan bersih per kapita per hari -
Sub Total -
ASPEK KETERJANGKAUAN PANGAN
2. Persentase penduduk dibawah Garis Kemiskinan 0.20
3. Persentase rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan 0.125
lebih dari 65% terhadap total pengeluaran
4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik 0.125
Sub Total 0.45
ASPEK PEMANFAATAN PANGAN
5. Rata-rata lama sekolah perempuan di atas 15 tahun 0.08
6. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih 0.18
7. Rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap tingkat 0.08
kepadatan penduduk
8. Prevalence Balita Stunting 0.08
9. Angka harapan hidup pada saat lahir 0.13
Sub Total 0.55

Penghitungan Indeks Ketahanan Pangan:

1. Standarisasi nilai indikator dengan menggunakan z-score dan distance to scale (0 – 100)

2. Menjumlahkan hasil perkalian antara masing-masing nilai indikator yang sudah


distandarisasi dengan bobot indikator, dengan rumus:

Indeks Ketahanan Pangan 6


Dimana:

Yj : Indeks Ketahanan Pangan kabupaten/kota ke-j

ai : Bobot masing-masing indikator

Xij : Nilai standarisasi masing-masing indikator pada kabupaten/kota ke-j

Wilayah yang memiliki nilai IKP paling besar merupakan wilayah yang paling tahan
pangan, sebaliknya nilai IKP paling kecil menunjukan wilayah yang rentan terhadap
kerawanan pangan.

3. Mengelompokan wilayah ke dalam 6 kelompok berdasarkan cut off point IKP.

IKP yang dihasilkan pada masing-masing wilayah dikelompokkan kedalam enam


kelompok berdasarkan cut off point IKP (Tabel 3). Cut off point IKP merupakan hasil
penjumlahan dari masing-masing perkalian antara bobot indikator individu dengan cut off
point indikator individuhasil standarisasi z-score dan distance to scale (0-100). Cut off
point indikator individu disajikan dalam Tabel 4. Wilayah yang masuk ke dalam kelompok
1 adalah kabupaten/kota yang cenderung memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi
daripada kabupaten/kota dengan kelompok diatasnya, sebaliknya wilayah pada kelompok
6 merupakan kabupaten/kota yang memiliki ketahanan pangan paling baik.

Tabel 3. Cut off Point Indeks Ketahanan Pangan

Kelompok IKP Kabupaten* Kota*


1 <= 41,52 <= 28,84
2 > 41,52 – 51,42 > 28,84 – 41,44
3 > 51,42 – 59,58 > 41,44 – 51,29
4 > 59,58 – 67,75 > 51,29 – 61,13
5 > 67,75– 75,68 > 61,13 – 70,64
6 > 75,68 > 70,64

Indeks Ketahanan Pangan 7


HASIL INDEKS KETAHANAN PANGAN
Hasil perhitungan IKP 2018 berdasarkan 9 indikator untuk wilayah kabupaten dan 8 indikator
untuk wilayah kota yang mencerminkan 3 aspek ketahanan pangan memberikan gambaran
peringkat (rangking) pencapaian ketahanan pangan wilayah (kabupaten dan kota)
dibandingkan dengan wilayah lainnya. Secara umum wilayah Indonesia bagian barat
memiliki nilai IKP lebih baik dibandingkan dengan Indonesia bagian timur. Peringkat IKP
kabupaten dan kota secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4. Peringkat dan Skor Indeks Ketahanan Pangan Kabupaten 2018

Peringkat Nama Kabupaten Skor Peringkat Nama Kabupaten Skor


1 Tabanan 88.30 33 Wajo 81.24
2 Gianyar 87.16 34 Grobogan 81.19
3 Badung 86.45 35 Tabalong 81.11
4 Sukoharjo 85.21 36 Ponorogo 81.10
5 Gresik 84.70 37 Kolaka Timur 81.09
6 Lamongan 84.60 38 Pinrang 81.01
7 Demak 84.11 39 Kerinci 81.00
8 Magetan 84.10 40 Agam 81.00
9 Tanah Bumbu 84.06 41 Jepara 80.95
10 Pati 84.04 42 Pulang Pisau 80.91
11 Sleman 83.49 43 Kendal 80.84
12 Sidenreng Rappang 83.44 44 Mesuji 80.82
13 Tapin 83.00 45 Tulang Bawang Barat 80.70
14 Luwu Timur 83.00 46 Pesisir Selatan 80.66
15 Karawang 82.69 47 Bekasi 80.65
16 Semarang 82.66 48 Boyolali 80.36
17 Balangan 82.46 49 Klungkung 80.32
18 Bulungan 82.44 50 Tanah Datar 80.23
19 Karanganyar 82.40 51 Penajam Paser Utara 80.18
20 Deli Serdang 82.32 52 Takalar 80.15
21 Kudus 82.31 53 Jombang 80.13
22 Sragen 82.22 54 Mojokerto 80.09
23 Bantaeng 82.10 55 Nganjuk 80.07
24 Madiun 81.94 56 Kolaka 79.96
25 Tulungagung 81.88 57 Hulu Sungai Selatan 79.79
26 Wonogiri 81.83 58 Indramayu 79.79
27 Banjar 81.73 59 Tanah Laut 79.76
28 Barru 81.59 60 Aceh Tamiang 79.57
29 Gowa 81.54 61 Kutai 79.50
30 Bojonegoro 81.40 62 Berau 79.47
31 Maros 81.32 63 Minahasa Utara 79.41
32 Blora 81.30 64 Malinau 79.40

Indeks Ketahanan Pangan 8


Peringkat Nama Kabupaten Skor Peringkat Nama Kabupaten Skor
65 Ngawi 79.37 108 Langkat 77.44
66 Lamandau 79.27 109 Dompu 77.43
67 Temanggung 79.27 110 Lampung Timur 77.43
68 Tebo 79.19 111 Mamuju 77.37
69 Cilacap 79.19 112 Pacitan 77.35
70 Sumedang 79.18 113 Bangli 77.33
71 Simalungun 79.10 114 Banyuasin 77.25
72 Soppeng 79.09 115 Pangandaran 77.18
73 Banyuwangi 78.93 116 Bone 77.17
74 Subang 78.85 117 Kapuas 77.14
75 Karo 78.78 118 Labuhan Batu 77.12
76 Hulu Sungai Tengah 78.69 119 Batang 77.10
77 Klaten 78.64 120 Labuhan Batu Utara 76.98
78 Blitar 78.64 121 Merangin 76.97
79 Purworejo 78.63 122 Solok Selatan 76.91
80 Tuban 78.61 123 Toba Samosir 76.89
81 Kota Baru 78.57 124 Karangasem 76.89
82 Merauke 78.53 125 Padang Pariaman 76.69
83 OKU Timur 78.49 126 Kulon Progo 76.59
84 Pringsewu 78.48 127 Musi Rawas 76.58
85 Hulu Sungai Utara 78.42 128 Sukamara 76.54
86 Jembrana 78.39 129 Mamuju Tengah 76.52
87 Bolaang Mongondow 78.36 130 Morowali 76.49
88 Serdang Bedegai 78.30 131 Bantul 76.48
89 Nunukan 78.26 132 Lampung Selatan 76.48
90 Tulang Bawang 78.24 133 Luwu Utara 76.45
91 Poso 78.12 134 Katingan 76.45
92 Buleleng 78.03 135 Sanggau 76.44
93 Barito Kuala 77.99 136 Trenggalek 76.35
94 Limapuluh Koto 77.98 137 Magelang 76.32
95 Banggai 77.96 138 Kediri 76.31
96 Bulukumba 77.88 139 Sumbawa 76.25
97 Barito Utara 77.78 140 Bengkayang 76.22
98 Batu Bara 77.77 141 Luwu 76.10
99 Bolmong Timur 77.77 142 Bombana 76.03
100 Aceh Besar 77.77 143 Pasuruan 75.97
101 Konawe Selatan 77.75 144 Majalengka 75.92
102 Sumbawa Barat 77.73 145 Sinjai 75.92
103 Gunung Kidul 77.73 146 Dairi 75.90
104 Rembang 77.71 147 Wonosobo 75.87
105 Halmahera Utara 77.61 148 Dharmas Raya 75.82
106 Minahasa 77.55 149 Sambas 75.77
107 Konawe/Kab Kendari 77.51 150 Konawe Utara 75.76

Indeks Ketahanan Pangan 9


Peringkat Nama Kabupaten Skor Peringkat Nama Kabupaten Skor
151 Malang 75.69 194 Morowali Utara 73.96
152 Serang 75.58 195 Bungo 73.89
153 Kubu Raya 75.56 196 OKU Selatan 73.87
154 Purwakarta 75.55 197 Halmahera Timur 73.86
155 Kotawaringin Timur 75.50 198 Ogan Komering Ulu 73.74
156 Ogan Komering Ilir 75.49 199 Way Kanan 73.63
157 Aceh Barat 75.45 200 Sidoarjo 73.55
158 Lampung Tengah 75.43 201 Gorontalo Utara 73.53
159 Pontianak/ Mempawah 75.43 202 Asahan 73.45
160 Solok 75.34 203 Kepahiang 73.44
161 Mamuju Utara 75.28 204 Cirebon 73.38
162 Toraja Utara 75.21 205 Sawah Lunto/Sijunjung 73.36
163 Pasaman Barat 75.20 206 Kebumen 73.32
164 Kuningan 75.17 207 Situbondo 73.32
165 Bolmongondow Utara 75.16 208 Padang Lawas Utara 73.26
166 Bima 75.15 209 Kayong Utara 73.16
167 Musi Banyuasin 75.13 210 Garut 73.09
168 Pemalang 74.96 211 Halmahera Selatan 72.93
169 Jeneponto 74.94 212 Bengkulu Utara 72.92
170 Tapanuli Utara 74.91 213 Nagan Raya 72.80
171 Minahasa Tenggara 74.89 214 Pulau Morotai 72.79
172 Ciamis 74.86 215 Gorontalo 72.79
173 Sigi 74.82 216 Pasir 72.76
174 Tegal 74.70 217 Toli-Toli 72.76
175 Aceh Jaya 74.67 218 Sarolangun 72.70
176 Mukomuko 74.60 219 Bengkulu Tengah 72.63
177 Tana Toraja 74.48 220 Kapuas Hulu 72.59
178 Nabire 74.41 221 Samosir 72.58
179 Bandung 74.37 222 Enrekang 72.57
180 Bireuen 74.35 223 Brebes 72.55
181 Sukabumi 74.32 224 Aceh Tenggara 72.54
182 Lumajang 74.28 225 Pesawaran 72.54
183 Humbang Hasundutan 74.27 226 Banjarnegara 72.35
184 Buton Utara 74.25 227 Tasikmalaya 72.28
185 Tanjung Jabung Timur 74.18 228 Barito Selatan 72.28
186 Barito Timur 74.14 229 Aceh Timur 72.26
187 Pasaman 74.12 230 Buru 72.24
188 Ngada 74.11 231 Wakatobi 72.23
189 Minahasa Selatan 74.06 232 Lampung Utara 72.18
190 Jember 74.02 233 Muara Enim (Liot) 72.12
191 Purbalingga 74.00 234 Pangkajene Kepulauan 72.11
192 Banyumas 73.99 235 Parigi Moutong 72.07
193 Ogan Ilir 73.96 236 Tanggamus 71.96

Indeks Ketahanan Pangan 10


Peringkat Nama Kabupaten Skor Peringkat Nama Kabupaten Skor
237 Simeulue 71.69 280 Sampang 68.69
238 Lebak 71.63 281 Sumenep 68.64
239 Pidie Jaya 71.62 282 Donggala 68.36
240 Bengkulu Selatan 71.55 283 Bone Bolango 68.24
241 Cianjur 71.47 284 Manggarai Barat 68.07
242 Tapanuli Tengah 71.36 285 Pesisir Barat 67.99
243 Rejang Lebong 71.35 286 Piddie 67.97
244 Aceh Barat Daya 71.29 287 PALI 67.97
245 Pohuwato 71.29 288 Kotawaringin Barat 67.91
246 Kutai Timur 71.27 289 Kaur 67.68
247 Seruyan 71.23 290 Bangkalan 67.65
248 Empat Lawang 71.18 291 Bogor 67.56
249 Pekalongan 71.17 292 Halmahera Tengah 67.48
250 Tangerang 71.10 293 Lombok Timur 67.40
251 Tanjung Jabung Barat 71.04 294 Mandailing Natal 67.37
252 Polewali Mamasa 70.87 295 Buton 67.35
253 Bandung Barat 70.84 296 Mamasa 67.32
254 Lahat 70.82 297 Aceh Selatan 67.24
255 Siak 70.78 298 Pelalawan 66.87
256 Lampung Barat 70.76 299 Buol 66.85
257 Kutai Barat 70.64 300 Maluku Tengah 66.68
258 Pakpak Barat 70.56 301 Belu 66.58
259 Tapanuli Selatan 70.47 302 Batanghari 66.56
260 Ketapang 70.42 303 Murung Raya 66.40
261 Pandeglang 70.42 304 Pamekasan 66.35
262 Lombok Barat 70.39 305 Indragiri Hilir 66.21
263 Selayar 70.18 306 Bangka Selatan 66.21
264 Gayo Lues 70.09 307 Muna 66.00
265 Kuantan Sengingi 70.08 308 Padang Lawas 65.77
266 Bondowoso 70.03 309 Aceh Tengah 65.51
267 Lombok Tengah 69.89 310 Bolmong Selatan 64.90
268 Tana Tidung 69.82 311 Konawe Kepulauan 64.77
269 Aceh Utara 69.77 312 Lembata 64.65
270 Sekadau 69.76 313 Kolaka Utara 64.33
271 Probolinggo 69.75 314 Majene 64.02
272 Seluma 69.74 315 Bangka Barat 63.99
273 Boalemo 69.24 316 Tojo Una-Una 63.73
274 Lebong 69.17 317 Kepulauan Talaud 63.62
275 Sintang 68.92 318 Melawai 63.47
276 Nageko 68.90 319 Nias 63.43
277 Mahakam Ulu 68.88 320 Manggarai 63.38
278 Sikka 68.76 321 Lombok Utara 63.34
279 Flores Timur 68.75 322 Nias Selatan 63.02

Indeks Ketahanan Pangan 11


Peringkat Nama Kabupaten Skor Peringkat Nama Kabupaten Skor
323 Rote Nda 62.43 366 Muna Barat 52.95
324 Halmahera Barat 62.13 367 Kampar 52.74
325 Timor Tengah Utara 62.09 368 Seram Bagian Timur 51.89
326 Musi Rawas Utara 62.03 369 Yapen Waropen/Yapen 51.60
327 Maluku Tenggara 61.85 370 Kepulauan Anambas 51.14
328 Kupang 61.50 371 Kep.Sangihe Talaud 50.96
329 Ende 61.44 372 Pulau Taliabu 50.90
330 Manokwari 61.41 373 Boven Digoel 50.69
331 Sumba Timur 61.28 374 Labuhan Batu Selatan 50.64
332 Muara Jambi 60.98 375 Waropen 50.18
333 Landak 60.58 376 Kepulauan Mentawai 49.92
334 Jayapura 60.04 377 Paniai 49.35
335 Rokan Hilir 59.73 378 Buton Tengah 49.11
336 Seram Bagian Barat 58.51 379 Kepulauan Meranti 48.94
337 Keerom 58.44 380 Siau Tagulandang Biaro 48.88
338 Bengkalis 58.18 381 Aceh Singkil 48.22
339 Manggarai Timur 58.06 382 Buton Selatan 48.07
340 Sumba Barat 57.92 383 Maluku Barat Daya 45.55
341 Kepulauan Sula 57.87 384 Kaimana 45.54
342 Rokan Hulu 57.76 385 Banggai Laut 45.42
343 Belitung 57.67 386 Lingga 45.06
344 Nias Barat 57.43 387 Banggai Kepulauan 44.84
345 Nias Utara 57.34 388 Bener Meriah 44.28
346 Belitung Timur 57.32 389 Sorong Selatan 44.02
347 Jayawijaya 57.05 390 Biak Namfor 42.87
348 Bangka 57.03 391 Sarmi 40.76
349 Buru Selatan 56.90 392 Fak-Fak 39.29
350 Bintan 56.60 393 Sabu Raijua 38.58
351 Alor 56.32 394 Teluk Bintuni 37.23
352 Bangka Tengah 55.81 395 Maluku Tenggara Barat 36.57
353 Mimika 55.78 396 Kepulauan Aru 35.76
354 Karimun 55.75 397 Supiori 35.55
355 Sorong 55.02 398 Teluk Wondama 33.22
356 Raja Ampat 54.99 399 Maybrat 32.55
357 Sumba Barat Daya 54.86 400 Yalimo 30.71
358 Natuna 54.75 401 Pegunungan Arfak 30.25
359 Gunung Mas 54.48 402 Tolikara 29.83
360 Malaka 54.45 403 Mappi 28.34
361 Sumba Tengah 54.35 404 Yahukimo 28.31
362 Manokwari Selatan 54.30 405 Asmat 27.91
363 Timor Tengah Selatan 53.86 406 Pegunungan Bintang 27.71
364 Indragiri Hulu 53.79 407 Tambrauw 26.03
365 Kep. Seribu 53.41 408 Puncak 24.21

Indeks Ketahanan Pangan 12


Peringkat Nama Kabupaten Skor Peringkat Nama Kabupaten Skor
409 Puncak Jaya 23.81 413 Dogiyai 20.33
410 Deiyai 23.29 414 Lanny Jaya 19.08
411 Membramo Raya 21.94 415 Intan Jaya 7.81
412 Mamberamo Tengah 21.63 416 Nduga 7.38

Indeks Ketahanan Pangan 13


Tabel 5. Peringkat dan Skor Indeks Ketahanan Pangan Kota 2018

Peringkat Nama Kota Skor Peringkat Nama Kota Skor


1 Denpasar 92.81 42 Bogor 74.37
2 Jakarta Selatan 87.72 43 Jambi 74.26
3 Jakarta Barat 87.03 44 Palu 74.12
4 Semarang 85.93 45 Payakumbuh 74.05
5 Jakarta Utara 85.71 46 Cirebon 73.75
6 Jakarta Pusat 84.66 47 Palembang 73.26
7 Surabaya 84.44 48 Palangka Raya 72.24
8 Jakarta Timur 84.33 49 Pare Pare 71.91
9 Balikpapan 83.62 50 Tomohon 71.76
10 Bukit Tinggi 83.45 51 Ambon 70.46
11 Depok 83.39 52 Pontianak 70.31
12 Tangerang Selatan 83.33 53 Banjar Baru 70.21
13 Banda Aceh 82.95 54 Palopo 69.51
14 Madiun 82.59 55 mobago 69.36
15 Samarinda 82.56 56 Lhokseumawe 69.29
16 Bekasi 82.50 57 Kediri 69.15
17 Makasar 82.38 58 Bau-Bau 68.98
18 Bandung 81.86 59 Bandar Lampung 68.93
19 Malang 81.59 60 Cilegon 68.72
20 Bontang 81.42 61 Probolinggo 68.69
21 Medan 81.42 62 Tanjung Pinang 68.53
22 Pekan Baru 81.15 63 Binjai 68.46
23 Salatiga 81.09 64 Sungai Penuh 67.60
24 Ternate 80.87 65 Mataram 67.41
25 Batam 79.79 66 Sukabumi 67.32
26 Mojokerto 79.45 67 Tegal 67.18
27 Padang 79.41 68 Blitar 66.84
28 Kendari 79.03 69 Bitung 66.75
29 Solok 78.54 70 Langsa 66.68
30 Magelang 78.43 71 Metro 65.98
31 Pangkal Pinang 78.18 72 Pasuruan 64.91
32 Surakarta 77.65 73 Pariaman 64.77
33 Gorontalo 77.58 74 Bengkulu 64.58
34 Manado 77.25 75 Banjar 64.33
35 Tangerang 76.84 76 Sawah Lunto 64.17
36 Yogyakarta 76.82 77 Dumai 63.67
37 Cimahi 76.48 78 Pekalongan 62.42
38 Padang Panjang 76.19 79 Kupang 62.01
39 Banjarmasin 75.82 80 Sibolga 61.81
40 Pematang Siantar 74.56 81 Jayapura 61.47
41 Tarakan 74.44 82 Batu 61.21

Indeks Ketahanan Pangan 14


Peringkat Nama Kota Skor Peringkat Nama Kota Skor
83 Tebing Tinggi 60.73 91 Prabumulih 51.88
84 Bima 59.96 92 Tidore Kepulauan 51.15
85 Serang 59.16 93 Tanjung Balai 49.87
86 Sorong 58.40 94 Lubuk Linggau 48.90
87 Singkawang 57.97 95 Gunung Sitoli 36.77
88 Padang Sidempuan 57.48 96 Pagar Alam 36.41
89 Sabang 56.89 97 Tual 24.44
90 Tasikmalaya 56.09 98 Subulussalam 21.50

IKP yang dihasilkan pada masing-masing wilayah dikelompokkan kedalam enam kelompok
berdasarkan cut off point IKP. Wilayah yang masuk ke dalam kelompok 1 adalah
kabupaten/kota yang cenderung memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi daripada
kabupaten/kota dengan kelompok diatasnya, sebaliknya wilayah pada kelompok 6
merupakan kabupaten/kota yang memiliki ketahanan pangan paling baik. Sebaran IKP
Kabupaten dan Kota berdasarkan hasil pengelompokan disajikan dalam Gambar 2.

Peta Indeks Ketahanan Pangan 2018

Gambar 2. Peta Indeks Ketahanan Pangan Kabupaten dan Kota 2018

Sebanyak 81 kabupaten atau 19,5% dari 416 kabupaten memiliki skor IKP yang rendah
dengan sebaran sebagai berikut: 26 kabupaten (6,3%) masuk kelompok 1, 21 kabupaten
(5%) masuk kelompok 2 dan 34 kabupaten (8,2%) masuk kelompok 3. Dari 26 kabupaten
kelompok 1, sebanyak 17 kabupaten berada di Provinsi Papua, 6 kabupaten di Provinsi
Papua Barat, 2 kabupaten di Provinsi Maluku dan 1 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara
Timur.

Indeks Ketahanan Pangan 15


Sedangkan pada wilayah kota, terdapat 2 kota (2%) yang masuk kelompok 1, yaitu Kota
Subulussalam di Aceh dan Kota Tual di Maluku, 2 kota (2%) yang masuk kelompok 2, yaitu
Kota Gunung Sitoli di Sumatera Utara dan Kota Pagar Alam di Sumatera Selatan, dan 3
kota (3,1%) yang masuk kelompok 3, yaitu Kota Tanjung Balai di Sumatera Utara, Kota
Lubuk Linggau di Sumatera Selatan, dan Kota Tidore Kepulauan di Maluku Utara (Gambar
3).

Gambar 3. Distribusi IKP Kabupaten dan Kota

Kabupaten-kabupaten dalam kelompok rentan pangan kelompok 1-3 (81 kabupaten)


diindikasikan oleh: i) tingginya rasio konsumsi per kapita terhadap produksi bersih per
kapita, ii) tingginya angka balita stunting, iii) tingginya penduduk miskin. Rata-rata rasio
konsumsi terhadap produksi pangan di daerah rentan pangan kelompok 1-3 adalah 3,92.
Kabupaten-kabupaten tersebut sangat tergantung pada supply pangan dari wilayah lain
yang merupakan daerah sentra untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.

Rata-rata persentase balita stunting pada daerah rentan pangan adalah sebesar 33,72
persen. Namun demikian, angka tersebut tidak berbeda jauh dengan angka stunting di
kabupaten tahan pangan yaitu 32,21. WHO mengklasifikasikan wilayah dengan persentase
balita stunting 30-40 persen dikategorikan sebagai wilayah dengan kategori buruk (WHO
2000). Melihat kondisi tersebut, maka penanganan stunting harus menjadi fokus tidak hanya
di kabupaten rentan pangan tetapi juga di kabupaten tahan pangan. Rata-rata angka
kemiskinan di kabupaten rentan pangan adalah sebesar 23,19 persen. Angka ini jauh diatas
rata-rata angka kemiskinan nasional yang sebesar 10,64 persen (Susenas Maret 2017).

Sementara kota-kota di kelompok 1-3 diindikasikan oleh: i) tingginya pengeluaran pangan


>65% terhadap total pengeluaran, ii) tingginya rumah tangga tanpa akses ke air bersih, iii)
tingginya angka balita stunting. Kota rentan pangan memiliki rata-rata pengeluaran pangan

Indeks Ketahanan Pangan 16


>65% masih tinggi yaitu sebesar 56 persen; rata-rata 42,45 persen penduduknya memiliki
akses yang terbatas terhadap infrastruktur dasar air bersih dan rata-rata stunting pada balita
sebesar 29 persen.

Intervensi Kebijakan

Identifikasi terhadap indikator utama pada wilayah yang rentan terhadap kerawanan pangan
di suatu wilayah akan memudahkan pemerintah dan pemerintah daerah dalam menetapkan
intervensi program yang akan dilaksanakan serta target kelompok masyarakat/lokasi
pelaksanaan program. Ketepatan dalam pelaksanaan intervensi program berdampak positif
terhadap efisiensi dalam penggunaan sumberdaya (manusia dan alam), anggaran, serta
waktu yang digunakan dalam mencapai sasaran pembangunan. Alternatif intervensi yang
dapat dilakukan di wilayah kabupaten adalah sebagai berikut (Tabel 6).

Tabel 6. Alternatif Intervensi di Wilayah Kabupaten


Indikator Penyebab Intervensi

Rasio Konsumsi  Sebaran produksi tidak  Peningkatan produksi


Normatif merata  Penganekaragaman konsumsi
terhadap  Keterbatasan akses pangan
ketersediaan

Prevalensi  Rendahnya akses terhadap  Penyediaan fasilitas dan


Stunting air bersih layanan air bersih
 pola asuh  Sosialisasi dan penyuluhan
tentang gizi dan pola asuh
anak

Penduduk Miskin  Keterbatasan lapangan  Penyediaan lapangan kerja,


kerja padat karya
 Kepemilikan Aset  Redistribusi lahan
 Infrastruktur  Pembangunan infrastruktur
 Keterbatasan akses dasar
finansial  Pemberian bantuan sosial

Indeks Ketahanan Pangan 17


Sedangkan alternatif intervensi yang dapat dilakukan di wilayah kota adalah sebagai berikut
(Tabel 7).

Tabel 7. Alternatif Intervensi di Wilayah Kota


Indikator Penyebab Intervensi

Proporsi  Terbatasnya akses pangan  Pendekatan sumber pangan


pengeluaran rumah tangga rumah tangga
pangan  Tingginya harga pangan  Pengendalian harga pangan
 tingkat pendapatan peningkatan pendapatan rumah
tangga

Akses  Rendahnya infrastruktur air  Penyediaan fasilitas dan


terhadap Air bersih layanan air bersih
Bersih  rendahnya sanitasi  Sosialisasi dan penyuluhan
lingkungan

Prevalensi  Rendahnya akses terhadap  Penyediaan fasilitas dan


Stunting air bersih layanan air bersih
 pola asuh  Sosialisasi dan penyuluhan
tentang gizi dan pola asuh anak

Indeks Ketahanan Pangan 18


KESIMPULAN

Indeks Ketahanan Pangan Nasional (IKP) disusun berdasarkan tiga aspek ketahanan
pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan dengan
mempertimbangkan ketersediaan data sampai dengan tingkat kabupaten/. IKP
dikelompokkan lebih lanjut ke dalam 6 kelompok ketahanan pangan dengan kelompok 1
sebagai wilayah yang paling rentan pangan. IKP yang disusun merupakan bagian dari Peta
Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA), sehingga hasil IKP sejalan dengan hasil peta
FSVA. IKP dapat digunakan sebagai bahan perumusan kebijakan dan penyusunan program
dan intervensi kegiatan oleh para pemangku kepentingan baik di level nasional maupun
daerah.

Berdasarkan skor IKP, 81 kabupaten (19,5%) dan 7 (7,14%) perlu mendapatkan prioritas
penanganan kerentanan pangan yang komprehensif. Namun demikian, skor IKP bersifat
dinamis sehingga pembaharuan akan dilakukan setiap tahun untuk mengetahui kemajuan
yang telah dicapai oleh suatu wilayah sebagai hasil dari intervensi program dan kegiatan
yang dijalankan oleh pemerintah.

Indeks Ketahanan Pangan 19


REFERENSI

Anisa P. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita 25-60
Bulan Di Kelurahan Kalibaru Depok Tahun 2012 [Internet]. Depok: Universitas ndonesia.
2012 [diakses 20 Agustus 2014]. Available from: http://lontar.ui.ac.id

Azwar A. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. DalamProsiding
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi
Daerah dan Globalisasi. Jakarta: BPS, Departemen Kesehatan, Badan POM, Bappenas,
Departemen Pertanian dan Ristek.

Arif M. 2005. Agriculture and food security in Pakistan. Thematic Paper. 1-26.

Ardianti AV, Wibisono S, Jumiati A. 2015. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Angka


Harapan Hidup di Kabupaten Jember. Jember: Fakultas Ekonomi, Universitas Jember
(UNEJ)

Bachtiar M. 2013. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen terhadap


listrik pada rumah tangga di Desa Guntarano kecamatan Tanantovea Kabupaten
Donggala. e-Jurnal Katalogis, Volume I Nomor 3, Maret 2013 hlm. 1-14

Bilas V, Franc S, dan Bosnjak. 2014. Determinant Factors of Life Expectancy at Birth in the
Europian Union Countries.

Biyase Mduduzi and Talent Zwane. 2017. An Empirical Analysis of the Determinants of
poverty and household welfare in South Africa. MPRA Paper No. 77085.

Burhanudin AY. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Air Bersih dari
Masyarakat Terhadap Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Karanganyar.
Paradigma, Vol 05, No 02.

Burger SE. and Esrey SA. 1995. Water and sanitation: health and nutrition benefits to
children. In Pinstrup-Andersen P, Pelletier D, and Alderman H, editor. Child Growth and
Nutrition in Developing Countries. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Cahya DL dan Nursusanto I. 2010. Identifikasi Peranan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Kebutuhan Air Bersih Di Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang Banten. Jurnal
PLANESA (1) 2, pp. 160-164.

Dartanto T and Otsubo S. 2013. Measurements and Determinants of Multifaceted Poverty:


Absolute, Relative, and Subjective Poverty in Indonesia. Jica-RI Working Paper No 54.

Darwanto, Dwidjono H. 2005. Ketahanan pangan berbasis produksi dan kesejahteraan


petani. Fakultas Pertanian UGM dan MMA-UGM, Yogyakarta. 12 (2) : 152-164

Deaton A. and J. Muellbauer. 1980. Economics and Consumer Behavior. London:


Cambridge University Press.

Indeks Ketahanan Pangan 20


de Silva, I. 2008. Micro-level determinants of poverty reduction in Sri Lanka: A multivariate
approach. International Journal of Social Economics 35 (3): 140-58

[DKP dan WFP] Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programme. 2015. Peta
Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2015. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan
dan World Food Programme.

__________. 2013. Panduan Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan


Indonesia. Jakarta (ID): Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programme.

[EIU] The Economist Intelligence Unit. 2016. Global Food Security Index 2016 an Annual
Measure of The State of Global Food Security. Dupont (GB): London.

___________. 2017. Global Food Security Index 2017, Measuring Food Security and The
Impact of Resources Risks. Dupont (GB): London.

[FAO] Food Agriculture Organization. 2015. The causes of food insecurity in rural areas.
http://www.fao.org/docrep/003/x8406e/ X8406e02.htm.

[IFPRI] International Food Policy Research Institute. 2014. Global Hunger Index: The
Inequalities of Hunger. Washington DC (US): IFPRI.

Goodridge P. 2007. Method explained index number, economic and labour. Market Review.
1(3): 54-57.

Handayani F, Siagian A, Aritonang EY. 2017. Mother’s Education as A Determinant of


Stunting among Children of Age 24 to 59 Months in North Sumatera Province of
Indonesia. IOSR Journal of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS) Volume 22,
Issue 6, Ver. 9, PP 58-64

Harahap YM, Bu'ulolo F, Sitepu HR. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan
Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Medan. Saintia
Matematika, Vol 1, No. 4, pp. 325–336.

Hassan F, Minato N, Ishida S, Nor NM. 2017. Social Evironment Determinants of Life
Expectancy in Devoloping Countries: A Panel Data Analysis. Global Journal of Health
Science, Vol 9, No 5, pp. 105-117

Kavosi E, Rostami ZH, Kavosi Z, Nasihatkon A, Moghadami M, Heidari M. 2014. Prevalence


and determinants of under-nutrition among children under six: a cross-sectional survey in
Fars province. Int J Health Policy Manag. 3(2):71-76.

Khan REA and Gill AR. 2009. Determinants of food securityin ruralareas of Pakistan. MPRA
Paper No. 17146.

Kristianto, SI. 2015. Analisis Konsumsi Listrik Rumah Tangga di Kecamatan Tembalang.
Semarang: Universitas Diponegoro

Indeks Ketahanan Pangan 21


Lubis R. 2010. Analisis wilayah rawan pangan dan gizi dalam perspektif perencanaan
wilayah (studi kasus Bogor). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Mahmood S., Sheikh KH, Mahmood T and Malik MH. 1991. Food poverty and its causes in
Pakistan. The Pakistan Development Review. 30(4):821-834.

Molnar J. 1999. Sound policies for food security: the role of culture and social organization.
Review of Agricultural Economics. 1(2):489-98.

Monsef A and Mehrjardi AS. 2015. Determinants of Life Expectancy: A Panel Data
Approach. Asian Economic and Financial Review, 2015, vol. 5, issue 11, 1251-125

Misselhorn AA. 2005. What drives food insecurity in Southern Africa? a meta-analysis of
household economy studies. Global Environmental Change. 15:33–43.

Nurdin Rahman, Muhammad Ryman Napirah, Devi Nadila and Bohari. 2017. Determinants
of Stunting among Children in Urban Families in Palu, Indonesia. Pakistan Journal of
Nutrition, 16: 750-756.

[Pemprov NTT, DKP, WFP] Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dewan Ketahanan
Pangan, dan World Food Programme. 2015. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
Provinsi Nusa Tenggara Timur 2015. Jakarta: Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Dewan Ketahanan Pangan, dan World Food Programme.

Rachmah M. A., Mukson, S. Marzuki. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pangsa


Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Petani Di Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang.
Universitas Diponegoro, Semarang.

Raharjo.2002.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Air Bersih di Rembang.


Semarang: Universitas Diponegoro.

Ramli AKE, Inder KJ, Bowe SV, Jacobs J, Dibley MJ. 2009. Prevalence and risk factors for
stunting and severe stunting among under-fives in North Maluku Province of Indonesia.
BMC Pediatrics. 9:64.

Riyadi H, Martianto D, Hastuti D, Damayanthi E, dan Murtilaksono K. 2011. Faktor-faktor


yang mempengaruhi status gizi anak balita di Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi
Nusa Tenggara Timur.Jurnal Gizi dan Pangan. 6(1):66-3.

Sánchez MV dan Sbrana G. 2010. Determinants of education attainment and development


goals in Yemen. UNDP/UN-DESA/World Bank project

Schultz P. 1999. Helath and schooling investments in Africa. Journal of Economic


Perspectives, 13 (3): 67-88

Sabarella. 2005. Model persamaan struktural kerawanan pangan. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.

Indeks Ketahanan Pangan 22


Sofiati EL. 2010. Analisis kerawanan pangan di tingkat kecamatan Bogor. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.

Suhardjo. 1996. Pengertian dan kerangka pikir ketahanan pangan rumah tangga. Makalah
disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga, 20 – 30 Mei 1996,
Yogyakarta.

Syngenta and Frontier Strategy Group. 2016. Rice Bowl Index 2016: Collective
Responsibility. Singapore: Syngenta Asia Pacific Pte Ltd and Frontier Strategy Group.

Thomas D and Strauss J. 1992. Prices, infrastructure, household characteristics and child
height. J Dev Econ. 39(2):301-331.

Torlesse H, Cronin AA,Sebayang SK,and Nandy R. 2016. . Determinants of stunting in


Indonesian children: evidence from a cross-sectional survey indicate a prominent role for
the water, sanitation and hygiene sector in stunting reduction. BMC Public 16:669

[WHO]World Health Organization. 2000. Classification of severity of malnutrition in a


community for children under 5 years of age from the management of nutrition in major
emergencies. Genewa: WHO.

Wiranthi PE, Suwarsinah HK and Adhi AK. 2002. Determinants of household food security: a
comparativeanalysis of Eastern and Western Indonesia. Indones J Agric Sci. 15(1):17-28.

Indeks Ketahanan Pangan 23


Indeks Ketahanan Pangan 24

Anda mungkin juga menyukai