KEMENTERIAN PERTANIAN
INDEKS
KETAHANAN
PANGAN
INDONESIA 2018
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
PENDAHULUAN 1
KESIMPULAN 19
REFERENSI 20
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Ketersediaan informasi ketahanan pangan yang akurat, komprehensif, dan tertata dengan
baik dapat mendukung upaya pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi.
Informasi ketahanan pangan sebagaimana tertuang dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang
Pangan dan PP No. 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi mengamanatkan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk membangun,
menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi.
Informasi ini sangat penting untuk memberikan arah dan rekomendasi bagi para pembuat
keputusan dalam penyusunanprogram, kebijakan, serta pelaksanaan intervensi di tingkat
pusat dan daerah.
IKP telah dikembangkan pada tataran global untuk menilai dan membandingkan situasi
ketahanan pangan antar negara. Global Food Security Index (GFSI) yang dikembangkan
oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) membandingkan situasi ketahanan pangan antar
negara berdasarkan aspek ketersediaan, keterjangkauan, serta kualitas dan keamanan
pangan. Hasil analisis GFSI ini menunjukkan bahwa posisi ketahanan pangan Indonesia
mengalami perbaikan dari peringkat 71 pada tahun 2016 menjadi peringkat 69 dari 113
negara pada tahun 2017 (EIU 2016 dan 2017). Sementara itu, Global Hunger Index (GHI)
yang disusun oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) menggunakan empat
aspek untuk menilai ketahanan pangan suatu negara, yaitu: proporsi undernourishment,
balita wasting, balita stunting, dan angka kematian bayi. Indeks GHI sebesar 22
menempatkan Indonesia pada peringkat ke-72 dari 119 negara (IFPRI 2017). Indeks
ketahanan pangan lainnya adalah Rice Bowl Index (RBI) yang dikembangkan untuk menilai
sejauh mana kapasitas suatu negara dalam mengatasi tantangan ketahanan pangan
danmenempatkan Indonesia pada peringkat 10 dari 15 negara di Asia Pasifik (Syngenta dan
FSG 2016).
Pada level nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyusun IKP berdasarkan tiga
aspek ketersediaan, akses, dan konsumi pangan. Namun demikian, IKP tersebut disusun
hanya sampai dengan level provinsi sehingga tidak bisa secara langsung diadopsi untuk
intervensi kegiatan ketahanan pangan pada wilayah administrasi yang lebih kecil, yaitu
kabupaten/kota. Oleh karena itu, Badan Ketahanan Pangan memandang perlu untuk
menyusun IKP Nasional dengan unit analisis yang lebih rendah, yaitu tingkat kabupaten/kota
dengan mengadopsi pengukuran indeks global dengan berbagai penyesuaian metodologi
Indeks Ketahanan Pangan (IKP) yang disusun oleh Badan Ketahanan Pangan, Kementerian
Pertanian merupakan penyesuaian dari indeks yang telah ada berdasarkan ketersediaan
data tingkat kabupaten/kota. Sembilan Indikator yang digunakan dalam penyusunan IKP
merupakan turunan dari tiga aspek ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan
dan pemanfaatan pangan. Pemilihan indikator yang digunakan dalam IKP didasarkan pada:
(i) hasil review terhadap indeks ketahanan pangan global; (ii) tingkat sensitifitasdalam
mengukur situasi ketahanan pangan dan gizi; (iii) keterwakilan 3 pilar ketahanan pangan;
dan (iv) ketersediaan data tersedia secara rutin untuk periode tertentu (bulanan/tahunan)
serta mencakup seluruh kabupaten/kota.
Sembilan indikator yang dipilih sebagai dasar penentuan IKP adalah sebagai berikut:
1. Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih. Rasio konsumsi
normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar.
Ketersediaan bersih didekati dari angka produksi setelah dikurangi susut, tercecer,
penggunaan untuk benih, pakan dan industri non pangan, sedangkan konsumsi normatif
ditentukan sebesar 300 gram/kapita/hari. Data produksi padi, jagung, ubi kayu, dan ubi
jalar menggunakan angka tetap 2014-2016 dari BPS dan Kementerian Pertanian.
3. Persentase rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan lebih dari 65
persen terhadap total pengeluaran. Distribusi pengeluaran untuk pangan dari total
pengeluaran merupakan indikator proksi dari ketahanan pangan rumah tangga. Teori
Engel menyatakan semakin tinggi tingkat pendapatan maka persentase pengeluaran
rumah tangga untuk konsumsi pangan akan mengalami penurunan. Pengeluaran pangan
4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik. Tersedianya fasilitas listrik di suatu
wilayah akan membuka peluang yang lebih besar untuk akses pekerjaan. Hal ini
merupakan indikasi kesejahteraan suatu wilayah atau rumah tangga yang pada akhirnya
berdampak pada kondisi ketahanan pangan (DKP dan WFP 2013; Wiranthi et al. 2014;
Sabarella 2005; dan Sofiati 2009). Rasio rumah tangga tanpa akses listrik diduga akan
berpengaruh positif terhadap kerentanan pangan dan gizi. Data persentase rumah
tangga yang tidak memiliki akses listrik berasal dari Susenas 2017, BPS.
6. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih. Persentase rumah tangga tanpa
akses ke air bersih yaitu persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air
minum yang berasal dari air leding/PAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung
dan air hujan (tidak termasuk air kemasan) dengan memperhatikan jarak ke jamban
minimal 10 m.Akses terhadap air bersih memegang peranan yang sangat penting untuk
pencapaian ketahanan pangan karena di daerah yang akses terhadap air bersihnya
rendah ditemukan kejadian malnutrisi yang tinggi (DKP dan WFP 2009; Sofiati 2009).
Akses terhadap fasilitas sanitasi dan air layak minum sangat penting dalam mengurangi
masalah penyakit secara khusus diare, sehingga memperbaiki status gizi melalui
peningkatan penyerapan zat-zat gizi oleh tubuh (DKP dan WFP 2015; Pemprov NTT et
al. 2015; Kavosi et al. 2014; Khan danGill 2009; Burger and Esrey 1995; dan Thomas
dan Strauss 1992). Sumber data berasal dari data Susenas 2017, BPS.
9. Angka harapan hidup pada saat lahir. Perkiraan lama hidup rata-rata bayi baru lahir
dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. Angka harapan
hidup merupakan salah satu indikator tingkat kesehatan masyarakat.Angka harapan
hidup saat lahir berasal dari Data Susenas 2017, BPS.
No Indikator Bobot
ASPEK KETERSEDIAAN PANGAN
1. Rasio kosumsi normatif terhadap ketersediaan bersih per kapita per hari 0.30
Sub Total 0.30
ASPEK KETERJANGKAUAN PANGAN
2. Persentase penduduk dibawah Garis Kemiskinan 0.15
3. Persentase rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan 0.075
lebih dari 65% terhadap total pengeluaran
4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik 0.075
Sub Total 0.30
ASPEK PEMANFAATAN PANGAN
5. Rata-rata lama sekolah perempuan di atas 15 tahun 0.05
6. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih 0.15
7. Rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap tingkat 0.05
kepadatan penduduk
8. Prevalence Balita Stunting 0.05
9. Angka harapan hidup pada saat lahir 0.10
Sub Total 0.40
No Indikator Bobot
ASPEK KETERSEDIAAN PANGAN
1. Rasio kosumsi normatif terhadap keteresediaan bersih per kapita per hari -
Sub Total -
ASPEK KETERJANGKAUAN PANGAN
2. Persentase penduduk dibawah Garis Kemiskinan 0.20
3. Persentase rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan 0.125
lebih dari 65% terhadap total pengeluaran
4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik 0.125
Sub Total 0.45
ASPEK PEMANFAATAN PANGAN
5. Rata-rata lama sekolah perempuan di atas 15 tahun 0.08
6. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih 0.18
7. Rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap tingkat 0.08
kepadatan penduduk
8. Prevalence Balita Stunting 0.08
9. Angka harapan hidup pada saat lahir 0.13
Sub Total 0.55
1. Standarisasi nilai indikator dengan menggunakan z-score dan distance to scale (0 – 100)
Wilayah yang memiliki nilai IKP paling besar merupakan wilayah yang paling tahan
pangan, sebaliknya nilai IKP paling kecil menunjukan wilayah yang rentan terhadap
kerawanan pangan.
IKP yang dihasilkan pada masing-masing wilayah dikelompokkan kedalam enam kelompok
berdasarkan cut off point IKP. Wilayah yang masuk ke dalam kelompok 1 adalah
kabupaten/kota yang cenderung memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi daripada
kabupaten/kota dengan kelompok diatasnya, sebaliknya wilayah pada kelompok 6
merupakan kabupaten/kota yang memiliki ketahanan pangan paling baik. Sebaran IKP
Kabupaten dan Kota berdasarkan hasil pengelompokan disajikan dalam Gambar 2.
Sebanyak 81 kabupaten atau 19,5% dari 416 kabupaten memiliki skor IKP yang rendah
dengan sebaran sebagai berikut: 26 kabupaten (6,3%) masuk kelompok 1, 21 kabupaten
(5%) masuk kelompok 2 dan 34 kabupaten (8,2%) masuk kelompok 3. Dari 26 kabupaten
kelompok 1, sebanyak 17 kabupaten berada di Provinsi Papua, 6 kabupaten di Provinsi
Papua Barat, 2 kabupaten di Provinsi Maluku dan 1 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara
Timur.
Rata-rata persentase balita stunting pada daerah rentan pangan adalah sebesar 33,72
persen. Namun demikian, angka tersebut tidak berbeda jauh dengan angka stunting di
kabupaten tahan pangan yaitu 32,21. WHO mengklasifikasikan wilayah dengan persentase
balita stunting 30-40 persen dikategorikan sebagai wilayah dengan kategori buruk (WHO
2000). Melihat kondisi tersebut, maka penanganan stunting harus menjadi fokus tidak hanya
di kabupaten rentan pangan tetapi juga di kabupaten tahan pangan. Rata-rata angka
kemiskinan di kabupaten rentan pangan adalah sebesar 23,19 persen. Angka ini jauh diatas
rata-rata angka kemiskinan nasional yang sebesar 10,64 persen (Susenas Maret 2017).
Intervensi Kebijakan
Identifikasi terhadap indikator utama pada wilayah yang rentan terhadap kerawanan pangan
di suatu wilayah akan memudahkan pemerintah dan pemerintah daerah dalam menetapkan
intervensi program yang akan dilaksanakan serta target kelompok masyarakat/lokasi
pelaksanaan program. Ketepatan dalam pelaksanaan intervensi program berdampak positif
terhadap efisiensi dalam penggunaan sumberdaya (manusia dan alam), anggaran, serta
waktu yang digunakan dalam mencapai sasaran pembangunan. Alternatif intervensi yang
dapat dilakukan di wilayah kabupaten adalah sebagai berikut (Tabel 6).
Indeks Ketahanan Pangan Nasional (IKP) disusun berdasarkan tiga aspek ketahanan
pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan dengan
mempertimbangkan ketersediaan data sampai dengan tingkat kabupaten/. IKP
dikelompokkan lebih lanjut ke dalam 6 kelompok ketahanan pangan dengan kelompok 1
sebagai wilayah yang paling rentan pangan. IKP yang disusun merupakan bagian dari Peta
Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA), sehingga hasil IKP sejalan dengan hasil peta
FSVA. IKP dapat digunakan sebagai bahan perumusan kebijakan dan penyusunan program
dan intervensi kegiatan oleh para pemangku kepentingan baik di level nasional maupun
daerah.
Berdasarkan skor IKP, 81 kabupaten (19,5%) dan 7 (7,14%) perlu mendapatkan prioritas
penanganan kerentanan pangan yang komprehensif. Namun demikian, skor IKP bersifat
dinamis sehingga pembaharuan akan dilakukan setiap tahun untuk mengetahui kemajuan
yang telah dicapai oleh suatu wilayah sebagai hasil dari intervensi program dan kegiatan
yang dijalankan oleh pemerintah.
Anisa P. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita 25-60
Bulan Di Kelurahan Kalibaru Depok Tahun 2012 [Internet]. Depok: Universitas ndonesia.
2012 [diakses 20 Agustus 2014]. Available from: http://lontar.ui.ac.id
Azwar A. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. DalamProsiding
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi
Daerah dan Globalisasi. Jakarta: BPS, Departemen Kesehatan, Badan POM, Bappenas,
Departemen Pertanian dan Ristek.
Arif M. 2005. Agriculture and food security in Pakistan. Thematic Paper. 1-26.
Bilas V, Franc S, dan Bosnjak. 2014. Determinant Factors of Life Expectancy at Birth in the
Europian Union Countries.
Biyase Mduduzi and Talent Zwane. 2017. An Empirical Analysis of the Determinants of
poverty and household welfare in South Africa. MPRA Paper No. 77085.
Burhanudin AY. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Air Bersih dari
Masyarakat Terhadap Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Karanganyar.
Paradigma, Vol 05, No 02.
Burger SE. and Esrey SA. 1995. Water and sanitation: health and nutrition benefits to
children. In Pinstrup-Andersen P, Pelletier D, and Alderman H, editor. Child Growth and
Nutrition in Developing Countries. Ithaca, NY: Cornell University Press.
[DKP dan WFP] Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programme. 2015. Peta
Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2015. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan
dan World Food Programme.
[EIU] The Economist Intelligence Unit. 2016. Global Food Security Index 2016 an Annual
Measure of The State of Global Food Security. Dupont (GB): London.
___________. 2017. Global Food Security Index 2017, Measuring Food Security and The
Impact of Resources Risks. Dupont (GB): London.
[FAO] Food Agriculture Organization. 2015. The causes of food insecurity in rural areas.
http://www.fao.org/docrep/003/x8406e/ X8406e02.htm.
[IFPRI] International Food Policy Research Institute. 2014. Global Hunger Index: The
Inequalities of Hunger. Washington DC (US): IFPRI.
Goodridge P. 2007. Method explained index number, economic and labour. Market Review.
1(3): 54-57.
Harahap YM, Bu'ulolo F, Sitepu HR. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan
Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Medan. Saintia
Matematika, Vol 1, No. 4, pp. 325–336.
Hassan F, Minato N, Ishida S, Nor NM. 2017. Social Evironment Determinants of Life
Expectancy in Devoloping Countries: A Panel Data Analysis. Global Journal of Health
Science, Vol 9, No 5, pp. 105-117
Khan REA and Gill AR. 2009. Determinants of food securityin ruralareas of Pakistan. MPRA
Paper No. 17146.
Kristianto, SI. 2015. Analisis Konsumsi Listrik Rumah Tangga di Kecamatan Tembalang.
Semarang: Universitas Diponegoro
Mahmood S., Sheikh KH, Mahmood T and Malik MH. 1991. Food poverty and its causes in
Pakistan. The Pakistan Development Review. 30(4):821-834.
Molnar J. 1999. Sound policies for food security: the role of culture and social organization.
Review of Agricultural Economics. 1(2):489-98.
Monsef A and Mehrjardi AS. 2015. Determinants of Life Expectancy: A Panel Data
Approach. Asian Economic and Financial Review, 2015, vol. 5, issue 11, 1251-125
Misselhorn AA. 2005. What drives food insecurity in Southern Africa? a meta-analysis of
household economy studies. Global Environmental Change. 15:33–43.
Nurdin Rahman, Muhammad Ryman Napirah, Devi Nadila and Bohari. 2017. Determinants
of Stunting among Children in Urban Families in Palu, Indonesia. Pakistan Journal of
Nutrition, 16: 750-756.
[Pemprov NTT, DKP, WFP] Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dewan Ketahanan
Pangan, dan World Food Programme. 2015. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
Provinsi Nusa Tenggara Timur 2015. Jakarta: Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Dewan Ketahanan Pangan, dan World Food Programme.
Ramli AKE, Inder KJ, Bowe SV, Jacobs J, Dibley MJ. 2009. Prevalence and risk factors for
stunting and severe stunting among under-fives in North Maluku Province of Indonesia.
BMC Pediatrics. 9:64.
Sabarella. 2005. Model persamaan struktural kerawanan pangan. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Suhardjo. 1996. Pengertian dan kerangka pikir ketahanan pangan rumah tangga. Makalah
disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga, 20 – 30 Mei 1996,
Yogyakarta.
Syngenta and Frontier Strategy Group. 2016. Rice Bowl Index 2016: Collective
Responsibility. Singapore: Syngenta Asia Pacific Pte Ltd and Frontier Strategy Group.
Thomas D and Strauss J. 1992. Prices, infrastructure, household characteristics and child
height. J Dev Econ. 39(2):301-331.
Wiranthi PE, Suwarsinah HK and Adhi AK. 2002. Determinants of household food security: a
comparativeanalysis of Eastern and Western Indonesia. Indones J Agric Sci. 15(1):17-28.