Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kurikulum sangat penting dalam lembaga pendidikan, karena kurikulum
sendiri memiliki arti sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kurikulum 2013 yang dibuat untuk menggantikan KTSP bertujuan untuk
membuat siswa lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran. Siswa dituntut untuk
aktif dalam pembelajaran, dapat mengemukakan pendapatnya dan juga dapat
menunjukan kemampuannya yang bisa dilihat oleh guru agar dapat dikembangkan
dimana siswa diberikan kesempatan untuk membangun pengetahuan mereka
sendiri.
Disamping itu peran guru dinilai sangat penting dalam mensukseskan
tujuan Kurikulum 2013. Guru dituntut kreatif untuk melakukan inovasi-inovasi
dalam proses pembelajaran. Salah satu inovasi yang harus dilakukan oleh guru
yaitu inovasi dalam model pembelajaran. Guru perlu merancang tahap-tahap
pembelajaran yang mengacu pada model pembelajaran inovatif. James M. Cooper
(1990) mengatakan bahwa “a teacher is person charged with the responbility of
helping others to learn and to behave in new different ways” maksudnya adalah
seorang guru perlu memiliki kemampuan khusus, kemampuan yang tidak
mungkin dimiliki oleh orang yang bukan guru. Jadi menjadi seorang guru bukan
hanya sekedar mengajar dengan hanya menjiplak contoh yang bisa dilakukan
semua orang tetapi harus memiliki kemampuan khusus yang hanya dimiliki
seorang guru dan berfikir secara inovatif dan kreatif. Dengan adanya
pembelajaran yang inovatif dapat menciptakan suasana yang asyik dan
menyenangkan serta membuat siswa menjadi lebih aktif dan termotivasi dalam
belajar ketika pembelajaran berlangsung di kelas yang nantinya akan berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa.
2

Salah satu model pembelajaran yang dapat dijadikan alternatif untuk


mengaktifkan siswa dengan proses pembelajaran yang menyenangkan sehingga
tidak adanya kejenuhan siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran adalah
model kooperatif. Model pembelajaran kooperatif dapat menghilangkan sifat
individualitas dan kompetitif siswa yang kurang sehat karena model kooperatif
merupakan pembelajaran yang menitikberatkan pada gotong royong dan kerja
sama dalam kelompok untuk mencapai hasil belajar yang maksimal dalam
suasana yang menyenangkan.
Meskipun model pembelajaran kooperatif yang diidentikan dengan kerja
sama dalam kelompok, tetapi tidak berarti semua tipe dari model pembelajaran
kooperatif pada saat pengimplementasian seluruh anggota kelompok
berkontribusi dan ikut andil dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dan
pemecahan masalah yang diberikan oleh guru karena ada beberapa anggota dari
kelompok lebih memilih merampungkan tugas itu kepada beberapa anggota
kelompok saja dan sebagian lagi tidak ikut berperan aktif. Akibatnya siswa tidak
disiplin dalam melaksanakan kegiatan diskusi karena ada beberapa kelompok
yang tidak dapat menyelesaikan persoalan yang diberikan sesuai waktu yang
diberikan oleh guru. Hal ini juga menyebakan beberapa anggota dari bagian
kelompok yang tidak aktif dalam diskusi kelompok tersebut kurang bahkan tidak
mampu untuk mengembangkan kemampuan berpikir dengan cepat dan berpikir
secara kritis sehingga hasil belajarnya rendah.
Guna meningkatkan partisipasi dan keaktifan siswa dalam kelompok serta
untuk meningkatkan hasil belajar siswa dengan suasana yang menyenangkan,
guru dapat menerapkan model kooperatif tipe make a match. Model ini sangat
cocok diterapkan untuk materi berupa konsep yang harus dipahami oleh siswa
karena dalam pembelajaran biologi, kemampuan pemahaman konsep merupakan
syarat mutlak dalam mencapai keberhasilan belajar biologi. Hanya dalam
penguasaan konsep seluruh permasalahan biologi dapat terpecahkan, baik
permasalahan biologi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, maupun
permasalahan dalam bentuk soal-soal di sekolah.
3

Penerapan model ini dimulai dari teknik yaitu siswa disuruh mencari
pasangan kartu yang merupakan jawaban/soal sebelum batas waktunya, siswa
yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin. Salah satu keunggulan model ini
adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik
dalam suasana yang menyenangkan. Siswa akan lebih aktif mencari pasangan
kartu antara jawaban dan soal. Dengan pencarian kartu pasangan ini siswa dapat
mengidentifikasi permasalahan yang terdapat di dalam kartu yang ditemukannya
dan berusaha menemukan pasangan dari kartu secara benar selanjutnya secara
berpasangan bersama-sama mendiskusikan untuk mencocokkan antara soal dan
jawaban yang telah diidentifikasi tersebut.
Pada penerapan model kooperatif tipe make a match, diperoleh beberapa
temuan bahwa model ini dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab
pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang ada di tangan mereka, proses
pembelajaran lebih menarik dan siswa lebih antusias mengikuti proses
pembelajaran.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka akan dibahas
tentang peranan model kooperatif tipe make a match dalam meningkatkan hasil
belajar siswa pada pembelajaran Biologi SMA.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditemukan suatu rumusan
masalah yaitu: Bagaimanakah peranan model kooperatif tipe make a match dalam
meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran Biologi SMA?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah untuk
mendeskripsikan dan mengetahui peranan model kooperatif tipe make a match
dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran Biologi SMA.
1.4 Manfaat Penulisan Makalah
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah dapat
memberikan informasi dan wawasan bagi pembaca dan pihak yang membutuhkan
4

tentang peranan model kooperatif tipe make a match dalam meningkatkan hasil
belajar siswa pada pembelajaran Biologi SMA.
5

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Metabolit Sekunder


2.1.1 Pengertian Metabolit Sekunder
Senyawa metabolit sekunder adalah senyawa-senyawa organik yang
berasal dari tanaman dan secara umum memiliki kemampuan bioaktif.
Metabolit sekunder disebut juga sebagai alelokimia yang didefinisikan sebagai
senyawa kimia non nutrisional yang diproduksi oleh spesies yang dapat
mempengaruhi atau menghambat pertumbuhan, perilaku, dan biologi spesies
lain.
Tanaman metabolit sekunder merupakan kelompok senyawa alami
tanaman yang memiliki perbedaan dalam jalur biosintesa biokimia, sehingga
sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan dan potensi predator herbal,
seperti faktor abiotik dan biotik mungkin secara khusus diinduksi melalui
berbagai mekanisme, yang membuat variasi dalam akumulasi atau biogenesis
metabolit sekunder.

2.1.2 Fungsi Metabolit Sekunder


Pada tanaman, senyawa metabolit sekunder memiliki beberapa fungsi,
diantaranya sebagai atraktan (menarik organisme lain), pertahanan terhadap
hama dan patogen, perlindungan dan adaptasi terhadap stress lingkungan,
pelindung terhadap sinar ultra violet, sebagai zat pengatur tumbuh dan untuk
bersaing dengan tanaman lain (alelopati). Metabolit sekunder juga diduga
sebagai limbah atau produk detoksifikasi tanaman, namun sebagian besar
fungsi metabolit sekunder masih belum diketahui (Dewick, 2009; Kabera,
2014).
Senyawa ini hanya diproduksi dalam jumlah sedikit, tidak terus-
menerus, dan tidak terlalu penting seperti metabolit primer dalam
kelangsungan hidup tanaman. Penggunaan metabolit sekunder diantaranya
adalah sebagai bahan obat, bahan kimia pertanian, makanan tambahan serta
6

bahan kosmetik. Beberapa contoh metabolit sekunder yang telah komersial dan
banyak dikenal adalah penisilin, morfin (Dewick, 2009), shikonin (anti
bakteri), ginsenoida (penambah vitalitas), vinblastin vincristine (obat leukimia)
dan ajmalisin (anti hipertensi) (Mariska, 2013).

2.1.3 Karakteristik Metabolit Sekunder


Metabolit sekunder sering dijumpai dalam bentuk yang bermacam-
macam dan berbeda antara satu dengan lainnya, sesuai dengan jenis tanaman
tersebut. Berikut ini merupakan karakteristik dari metabolit sekunder :
1. Metabolisme sekunder mempunyai jalur dan produk yang spesifik dan
unik untuk setiap organisme. karena kemampuan tanaman untuk
melakukan fotosintesis menyebabkan produk metabolit sekunder yang
dihasilkan tanaman sangat berbeda dari metabolit sekunder yang
dihasilkan organisme lainnya.
2. Metabolisme sekunder tidak terlibat dalam aktivitas pertumbuhan
3. Metabolisme sekunder menghasilkan metabolit sekunder dengan
ukuran relatif kecil, umumnya dengan bobot molekul kurang dari 3000
Da (Dewick, 2009)
4. Tersebar tidak merata dalam tiap organism.
5. Keaktifan fisiologi berkaitan dengan struktur kimia dan hubungan
antara struktur.
6. Perbedaan penyusun kimia tergantung pada pengembangan kimia
organik dan hubungan antara struktur dan keaktivan.
7. Sebagian besar dari metabolik sekunder adalah turunan dari lemak.

2.1.4 Struktur Penghasil Metabolit Sekunder pada Tanaman


Struktur penghasil metabolit sekunder terdiri dari beberapa jenis, antara
lain :
1. Jaringan Rekresi
7

Jaringan ini merupakan jaringan yang menghasilkan senyawa dan belum


melalui proses metabolisme. Jaringan rekresi tersusun atas kelenjar garam
dan hidatoda. Kelenjar garam merupakan struktur yang mengeluarkan
garam yang terserap, sedangkan Hidatoda berfungsi untuk mengeluarkan
air dari mesofil ke permukaan daun.
2. Jaringan Ekskresi
Jaringan ekskresi adalah jaringan yang terletak di permukaan tanaman.
 Rambut kelenjar dan kelenjar : Terdapat di bagian trikoma, fungsi
utamanya untuk menyaring zat-zat ekskresi dan mengatur
pengeluaran ekskresi. Sedangkan kelenjar bertugas untuk penghasil
lendir.
 Kelenjar madu : Pada umumnya, terletak di bagian bunga dan
memiliki bentuk mirip tonjolan yang tersusun dari banyak sel
diatasnya.
 Osmofora : Osmofora ialah kelenjar yang memproduksi minyak
menguap pada bagian bunga.
3. Jaringan Sekresi
Pada tanaman, terdapat struktur khusus berupa sel tunggal atau
sekelompok sel dan mensekresikan senyawa yang tidak dikeluarkan dari
tubuh tanaman.

2.1.5 Macam-Macam Metabolit Sekunder


Metabolit Sekunder dibedakan menjadi 3 kelompok utama antara lain
fenolik, terpenoid, dan yang mengandung nitrogen.
1. Fenolik : Senyawa ini tersusun dari gula sederhana dan memiliki
hidrogen, cincin benzene, dan oksigen dalam bentuk kimianya.
2. Terpenoid : Senyawa mengandung karbon, hidrogen, dan disintesis
melewati jalur metabolisme asam mevalonat.
3. Kelompok metabolit sekunder yang lain yaitu senyawa yang memiliki
kandungan nitrogen.

2.1.6 Jalur Pembentukan Metabolit Sekunder


8

Bahan dasar penyusun senyawa metabolit sekunder berasal dari


metabolisme primer, dan secara garis besar terbagi menjadi empat yaitu asetil
koenzim A, asam sikimat, asam mevalonat dan metileritritol fosfat (Dewick,
2009; Kabera et al., 2014). Berdasarkan bahan dasar tersebut kemudian dikenal
adanya jalur asetat malonat, jalur sikimat, jalur mevalonat dan jalur
metileritritol fosfat. Aneka jenis senyawa metabolit sekunder disintesis dari
salah satu atau kombinasi dari bahan dasar penyusun tersebut.
1. Jalur Asetat Malonat
Jalur asetat malonat dibentuk dari bahan dasar asetil koenzim
A, yang tersusun dari 2 atom karbon. Asetil koenzim A bereaksi
melalui reaksi kondensasi membentuk unitunit yang lebih besar
dengan jumlah atom karbon kelipatan 2, yang disebut poli-betaketo
atau poliketida (Dewick, 2009). Metabolit sekunder yang termasuk
dalam jalur ini adalah asam lemak (laurat, miristat, palmitat, stearat,
oleat, linoleat, linolenic), poliasetilen, prostaglandin, macrolide dan
senyawa-senyawa aromatik (antraquinon dan tetrasiklin). Tanaman
yang menghasilkan senyawa ini antara lain: Jarak pagar, kelapa
sawit, kelapa, jagung, kacang tanah, zaitun, bunga matahari, kedelai,
wijen, kapas, coklat, dan alpukat (Mariska, 2013). Berikut ini
merupakan skema jalur pembentukan asetat malonat:

Gambar 2.1 Jalur pembentukan asetat malonat (Dewick, 2009)

2. Jalur Shikimat
Senyawa intermediat utama dari jalur ini adalah asam shikimat,
suatu senyawa yang pertama kali diisolasi dari tanaman Illicium sp.
Jalur shikimat merupakan jalur alternatif pembentukan senyawa
9

aromatik khususnya asam amino. Aromatik L-fenilalanin, L-tirosin


dan Ltriptofan (Gleason and Chollet, 2012). L-fenilalanin dan L-
tirosin merupakan unit pembangun dari senyawa-senyawa kelompok
fenilpropan dan poliketida aromatik (termasuk flavonoid). Bersama
Ltriptofan, kedua asam amino tersebut juga merupakan unit
pembangun dari kelompok senyawa alkaloid.
Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan
antara lain biji, daun, ranting dan kulit kayu. Hampir semua alkaloid
yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan fisiologis tertentu.Ada
yang bersifat racun tetapi ada juga yang sangat berguna sebagai obat
(Ting et al., 2014; Lee et al., 2014).
Kuinin, morfin dan striknin adalah alkaloid yang terkenal dan
mempunyai efek fisiologis dan psikologis. Semua alkaloid
mengandung paling sedikit sebuah atom nitrogen yang biasanya
bersifat basa. Alkaloid berasal dari beberapa asam amino yang
dibedakan atas alkaloid alilsiklik berasal dari asam amino ornitin dan
lisin, alkaloid aromatik berasal dari fenilalanin dan tiroksin, dan
alkaloid aromatik jenis indol berasal dari triptofan.
Flavanoid adalah kelompok senyawa polifenolik dalam
tanaman yang biasa ditemukan pada sayuran, buah, bunga, biji,
mapun madu dan propolis (Ahmad et al., 2015). Kelompok ini
merupakan jenis fenolik terbesar yang ditemukan di alam, yang
terbentuk melalui jalur shikimat. Flavonoid Senyawa-senyawa ini
merupakan zat warna merah, ungu, dan biru, dan sebagian zat warna
kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavanoid
mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon.
Di mana dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai propan
(C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3- C6. Susunan ini
dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yakni 1,3-diarilpropan atau
flavonoid, 1,2-diarilpropan atau isoflavonoid, dan 1,1-diarilpropan
atau neoflavonoid (Dewick, 2009). Senyawa-senyawa flavonoid
10

yang biasanya ditemukan di alam yaitu flavon, flavanol dan


antosianidin. Senyawa isoflavonoid yaitu isoflavon, rotenoid dan
kumestan, sedangkan neoflavonoid meliputi jenis-jenis 4-
arilkumarin dan berbagai dalbergoin. Berikut ini merupakangambar
jalur pembentukan asam shikimat:

Gambar 2.2 Jalur pembentukan asam shikimat dari eritrosa


(Gleason & Chollet, 2012)

3. Jalur Mevalonat dan Metileritritol Fosfat


Jalur mevalonat dan metileritritol fosfat (non-mevalonat)
merupakan jalur pembentuk kelompok senyawa terpenoid dan
steroid (Dewick, 2009). Jalur mevalonat terjadi di sitosol dan
mitokondria, sedangkan jalur metileritritol fosfat terjadi di plastida.
Pada jalur mevalonat, prekursol awalnya adalah asetil Co-A,
sedangkan pada jalur metileritritol fosfat, prekursor awal berupa
piruvat dan gliseraldehid-3-fosfat (Nes & Zhou, 2001). Kedua jalur
tersebut akan membentuk isopentenil pirofosfat (IPP) dan dimetilalil
11

pirofosfat (DMAPP) yang merupakan prekursor universal


pembentukan rantai lima karbon, C5.
Terpenoid merupakan kelompok terbesar dari semua metabolit
(Bohlmann & Keeling, 2008). Terpenoid tersusun dari rangkaian unit
isopren (rantai lima karbon) yang terhubung melalui ikatan kepala ke
ekor. Terpenoid diklasifikasikan menjadi hemiterpen (C5),
monoterpen (C10), sesquiterpen (C15), diterpen (C20), sesterterpen
(C25), triterpen (C30), dan tetraterpen (C40). Terpenoid biasanya
terdapat pada daun dan buah tanaman tingkat tinggi misalnya pada
tanaman pinus dan sitrus.

2.2. Biopestisida Nabati


2.2.1 Pengertian Biopestisida Nabati
Pestisida nabati merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang
berasal dari tumbuhan yang bisa digunakan untuk mengendalikan organisme
pengganggu tumbuhan (OPT). Disebut pestisida nabati jika bahan aktifnya
berasal dari tumbuhan (Supriadi, 2013). Biopestisida nabati menghasilkan
senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga (hama) maupun
nematoda (penyebab penyakit tanaman).

2.2.2 Bahan Baku Biopestisida Nabati

Bahan aktif biopestisida adalah produk alam yang berasal dari tanaman
yang mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung beribu –
ribu senyawa bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, fenolik, dan zat – zat kimia
sekunder lainnya. Senyawa bioaktif tersebut apabila diaplikasikan ke tanaman
yang terinfeksi hama, tidak berpengaruh terhadap fotosintesis pertumbuhan
ataupun aspek fisiologis tanaman lainnya, namun berpengaruh terhadap sistem
saraf otot, keseimbangan hormone, reproduksi, perilaku berupa penarik, anti
makan dan sistem pernafasan hama (Setiawati dkk., 2008).
12

2.2.2 Kegunaan Biopestisida Nabati


Pestisida nabati merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang
berasal dari tumbuhan yang bisa digunakan untuk mengendalikan organisme
pengganggu tumbuhan. Pestisida nabati ini bisa berfungsi sebagai penolak,
penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh, dan bentuk lainnya (Cici Indriani
Dalimunthe dan Arief Rachmawan, 2017). Pestisida nabati pada umumnya
digunakan untuk mengendalikan hama bersifat insektisida maupun penyakit
bersifat bakterisida.
Karena terbuat dari bahan alami atau nabati, maka jenis pestisida ini
bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam, sehingga tidak mencemari
lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan (Syakir,
2011). Pemakaian biopestisida nabati ini juga tidak menimbulkan resisten pada
hama seperti yang biasa terjadi pada pestisida sintetis.
Di Indonesia terdapat banyak jenis tumbuhan dan plasma nutfah
penghasil metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan sebagai pestisida
nabati. Beberapa contoh tanaman yang telah diteliti sebagai pestisida nabati
adalah serai, sirsak, kemangi, selasih, gadung, daun sembung, pinang, cengkeh
dan nimba (Cici Indriani Dalimunthe dan Arief Rachmawan, 2017). Beberapa
contoh produk pestisida nabati hasil riset yang telah diformulasi menjadi
produk komersial di Indonesia dapat dilihat pada tabel:
No Nama Produk Bahan Aktif OPT Target
1 Bio Protektor 1 Eugenol, Sitronelal, Keong mas pada padi; Wereng coklat
Geraniol, pada padi; Croccidolomia sp pada
Xanthorrhizol kubis; kutu A. hartii pada rimpang
jahe; penggerek buah kakao (C.
cramerella)
2 Bio Protektor 2 Eugenol Keong Mas pada padi; Croccidolomia
sp. pada kubis; kutu A. hartii pada
rimpang jahe; Helopeltis sp &
penggerek buah kakao
3 CEES Eugenol, Sitronelal Bercak daun jahe (Phyllosticta sp.);
layu bakteri jahe (R. solanacearum);
Nematoda (Meloidogyne sp.); Rayap
kayu kering (C. cynocephalus); kutu
daun tungau Tetranychus sp. pada
tanaman hias; kutu A. hartii pada
13

rimpang jahe; Helopeltis sp pada


kakao; penggerek buah kakao (C.
cramerella)
4 CEKAM Eugenol, Bercak daun jahe (Phyllosticta sp.);
Sinamaldehid layu bakteri jahe (R. solanacearum);
nematoda (Meloidogyne sp.); kutu A.
hartii pada rimpang; tungau
Tetranychus sp. pada tanaman hias;
nyamuk demam berdarah (A. aegypti)
5 ASIMBO Sitronelal Asam Helopeltis sp pada kakao Penggerek
Salisilat buah kakao (C. cramerella)
6 NEEM Plus Azadirachtin, Wereng coklat pada padi
Sitronelal
Sumber: Syakir, 2011

2.2.3 Cara Kerja Biopestisida Nabati


Sudarmo (2005) menyatakan bahwa pestisida nabati dapat membunuh
atau menganggu serangga hama dan penyakit melalui cara kerja yang unik
yaitu dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara tunggal. Cara kerja
pestisida nabati sangat spesifik yaitu :
1. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa
2. Menghambat pergantian kulit
3. Menganggu komunikasi serangga
4. Menyebabkan serangga menolak makan
5. Menghambat reproduksi serangga betina
6. Mengurangi nafsu makan
7. Memblokir kemampuan makan serangga
8. Mengusir serangga (Repellent)
9. Menghambat perkembangan patogen penyakit

2.2.4 Sumber Tumbuhan sebagai Biopestisida Nabati


Grainge et al., 1984 dalam Sastrosiswojo (2002), melaporkan ada
1800 jenis tanaman yang mengandung pestisida nabati yang dapat digunakan
untuk pengendalian hama. Di Indonesia, sebenarnya sangat banyak jenis
tumbuhan penghasil pestisida nabati, dan diperkirakan ada sekitar 2400
14

jenis tanaman yang termasuk ke dalam 235 famili (Kardinan, 1999).


Menurut Morallo-Rijesus (1986) dalam Sastrosiswojo (2002), jenis tanaman
dari famili Asteraceae, Fabaceae dan Euphorbiaceae, dilaporkan paling
banyak mengandung bahan insektisida nabati. Adapun beberapa tumbuhan
sumber pestisida nabati yaitu:
1. Kapasan (Abelmoschus moschatus [L.] Medic.)
Daun, bunga, dan biji bisa digunakan sebagai insektisida (membasmi
serangga). Minyak atsiri yang terdapat di dalam akar kapasan berfungsi
sebagai insektisida dan larvasida (Dalimartha, 1999).
2. Kemangi (Ocimum sanctum L.)
Daun kemangi mengandung minyak atsiri dengan bahan aktif eugenol
dan sineol yang mempunyai potensi sebagai larvasida dan hormon
juvenil yang menghambat perkembangan larva nyamuk (Anopheles
aconitus). Abu kemangi bisa digunakan untuk menghalau serangan
nyamuk (Fatimah, 1997). Selain nyamuk, daun kemangi juga dapat
digunakan untuk membasmi lalat buah, kutu daun, laba-laba merah, dan
tungau (Simon et al., 1990; Panhwar, 2005).
3. Mimba (Azadirachta indica A. Juss)
Zat azadirachtin yang terkandung di dalam biji dan daun mimba efektif
sebagai insektisida. Azadirachtin tidak langsung mematikan serangga
tetapi memodifikasi cara hidupnya sehingga serangga tidak aktif lagi
(Agus dan Rahayu, 2004).
4. Widuri (Calotropis gigantea R.Br.)
Akar dan daun widuri berfungsi sebagai insektisida. Penelitian
Siswanto (2000) membuktikan bahwa ekstrak daun widuri dapat
digunakan sebagai insektisida nabati untuk membasmi nyamuk Aedes
aegypti. Penelitian Pujihastuti (2000) membuktikan bahwa getah
batang widuri dapat digunakan untuk membunuh lalat rumah (Musca
domestica).
5. Babadotan (Ageratum conyzoides Linn.)
15

Babadotan memiliki senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai


insektisida dan nematisida. Kandungan senyawa bioaktif di antaranya
saponin, flavanoid, polifenol, dan minyak atsiri yang mampu mencegah
hama mendekati tanaman (penolak) dan menghambat pertumbuhan
larva menjadi pupa (Samsudin, 2008). Penelitian Rosida (2005)
membuktikan bahwa ekstrak daun babadotan berfungsi sebagai
larvasida yang dapat membasmi larva nyamuk A. aegypti. Penelitian
Darwiati (2005) membuktikan bahwa babadotan ternyata mampu
membasmi hama penggerek pucuk mahoni (Lepidoptera Pyralidae)
yang tentunya akan berdampak positif untuk suatu ekosistem hutan.
2.2.5 Kelebihan dan Kekurangan Biopestisida Nabati
Kelebihan-kelebihan biopestisida nabati dibandingkan dengan
biopestisida sintetis (kimiawi) (Tampubolon, Sihombing, Purba,Samosir dan
Karim, 2018) antara lain:
1. Murah dan mudah dibuat langsung oleh petani karena menggunakan
bahan-bahan alami
2. Dapat diterapkan dalam skala perorangan maupun kelompok tani
3. Berkontribusi dalam menjaga kesehatan lingkungan (udara, air, dan
tanah) dikarenakan metabolit sekunder gulma bersifat organik dan
tidak bersifat racun bagi biota tanah dan air, serta tidak mencemari
udara
4. Beberapa mekanisme metabolit sekunder biopestisida nabati tidak
ditemui dalam mekanisme kerja pestisida sintetis.
5. Memiliki lebih dari satu metabolit sekunder yang manfaatnya ganda
dalam mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT)
6. Tidak menyebabkan keracunan bagi tanaman
7. Tidak menimbulkan kekebalan hama
8. Kompatibel jika digabung dengan pengendalian lain misalnya
pengendalian hama terpadu (PHT)
9. Menghasilkan produk pertanian yang sehat karena tidak menimbulkan
residu beracun pada hasil pertanian
16

10. Mudah terurai


Adapun kelemahan yang ditemukan pada penggunaan biopestisida nabati
(Tampubolon, Sihombing, Purba,Samosir dan Karim, 2018) antara lain:
1. Mekanisme dalam mengendalikan OPT tergolong lambat sehinggan
pengaplikasian harus lebih sering dan intensif
2. Cepat mengalami oksidasi sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu
yang lama.
3. Efek metabolit sekunder dalam biopestisida nabati tidak bersifat
langsung mematikan OPT
4. Produksinya belum bisa dilakukan dalam jumlah besar karena
keterbatasan bahan baku. Sehingga perlu pembuatan secara intens.

2.3. Peranan Metabolit Sekunder pada Tanaman sebagai Biopestisida Nabati


Beberapa metabolit sekunder yang dihasilkan melalui metabolisme
sekunder oleh beberapa tanaman dapat berperan sebagai agen pengendali hayati
dari organisme pengganggu tanaman (OPT).
Tidak semua tumbuhan memiliki metabolit sekunder. Untuk mengetahui
ada tidaknya kandungan metabolit sekunder pada tanaman maka membutuhkan
proses pengujian. Prosedur pengujian metabolit sekunder ini antara lain:
1. Bagian tanaman segar yang akan diuji dicampur dan dihomogenkan dengan
blender pada suhu kamar.
2. Diambil 5 g yang homogen ditambahkan dengan 10 mL 70 % (v/v) etanol
dan dicampur dengan mixer vortex selama 5 menit. Ekstrak disentrifuse
pada 2000 r/menit selama 10 menit pada suhu kamar. Supernatan
disesuaikan dengan volume akhir untuk 10 mL.
3. Pengujian metabolit Alkaloid, dengan mengambil 1 ml ekstrak dicampur
dengan 1 % asam klorida dan direbus pada 95°C selama 10 menit.
Kemudian ditambahkan dengan dua tetes Wagner’s reagen (1.27 g yodium
dan 2.0 g ion kalium di 100 mL air aquades). Endapan coklat kemerahan
menunjukkan hasil positif.
17

4. Pengujian metabolit Saponin, dengan cara merebus 1 mL ekstrak untuk 10


menit dan kemudian dicampur dengan 5 % larutan natrium karbonat.
Kemudian campuran diguncang. Pembentukan busa menunjukkan
kandungan saponin.
5. Pengujian metabolit Tanin, dengan mencampur 0.5 mL dari ekstrak dengan
0.1 mL dari 1 % larutan besi klorida, dan endapan kuning menunjukkan
kandungan tanin.
6. Pengukuran metabolit Fenolik, dengan metode spektrometri (Sherikar and
Mehta, 2012). Diencerkan 200 μL dari ekstrak kemudian dicampur dengan 1
mL dari 0.1 mol/L Folin-Ciocalteu reagen. Setelah itu dibiarkan pada
kondisi gelap dengan suhu kamar selama 30 menit, 800 μL dari 7 % natrium
karbonat ditambahkan ke dalam larutan. Absorban warna biru yang
dihasilkan diukur pada 750 nm menggunakan asam galat (larutan standar).
7. Pengukuran metabolit Flavonoid, menggunakan aluminium klorida dengan
metode kolorimetri (Kiranmai, et al., 2011). Dicampurkan methanol (1.5
mL), 0.1 mL dari 10 % aluminium klorida, 0.1 mL dari 1 mol/L kalium
asetat dan 2.8 mL air aquades dengan 0.5 mL dari larutan ekstrak dan
kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit. Absorban diukur
pada 415 nm menggunakan quercetin sebagai standar.
8. Pengukuran metabolit sulfur. Pemeriksaan senyawa sulfur dilakukan
dengan cara menambahkan 1 mL NaOH 40 % dan larutan plumbum asetat
ke dalam 1 ml larutan ekstrak kental lalu diamati.
Contoh tumbuhan yang memiliki metabolit sekunder dan berpotensi
sebagai biopestisida berdasarkan hasil penelitian Pretty Nova, Elvei Yani, Shintya
Elystia (2017) antara lain daun pandan wangi dan umbi bawang putih.
Berdasarkan hasil penelitian Ifni Rimijuna, Elvi Yenie, Shintya Elystia (2017)
yaitu kulit jengkol dan umbi bawang putih. Metabolit sekunder yang dimiliki
oleh daun pandan wangi dan umbi kentang dapat dilihat pada tabel berikut:
No Metabolit Sekunder Daun Pandan Wangi Umbi Bawang Kulit Jengkol
Putih
1 Alkaloid √ √ √
2 Flavonoid √ √ √
18

3 Saponin √ √ √
4 Tanin √ √ √
5 Sulfur √ √ √
Sumber: Pretty Nova, Elvei Yani, Shintya Elystia (2017) dan Ifni Rimijuna, Elvi
Yenie, Shintya Elystia (2017)

Daun pandan wangi, umbi bawang putih, dan kulit jengkol dapat dijadikan
sebagai biopestisida karena mengandung beberapa senyawa bioaktif berupa
metabolit sekunder. Adapun peranan metabolit sekunder yang terkandung pada
tanaman tersebut berpotensi sebagai pengendali hama antara lain:
1. Alkaloid
2. Flavonoid
Senyawa ini dapat menjadi racun bagi organisme lain, yang bekerja dengan
mengganggu fungsi protein sel dan fungsi seluler mendasar, seperti DNA dan
protein yang terlibat dalam pembelahan sel. Senyawa flavonoid dapat
menimbulkan kelayuan pada saraf serta kerusakan pada spirakel yang
mengakibatkan serangga tidak bisa bernafas dan akhirnya mati.
3. Saponin
Saponin bersifat sebagai racun pada kutu, larva, kumbang dan berbagai
serangga lain. Senyawa saponin dapat menimbulkan kelayuan pada saraf serta
kerusakan pada spirakel yang mengakibatkan serangga tidak bisa bernafas dan
akhirnya mati.
4. Tanin
5. Sulfur

Hal ini diduga dalam ekstrak daun bandotan mengandung metabolit


sekunder yaitu senyawa saponin, flavanoid, polifenol, dan minyak atsiri. Beberapa
senyawa fenol memilki fungsi sebagai penolak hama dan mengurangi adanya
reaksi untuk memakan daun timun yang sudah dicelupkan ekstrak bandotan.
Senyawa alkaloid dan terpenoid sangat berpotensi sebagai penghambat makan dan
bersifat toksik sehingga menyebabkan hama cenderung diam. Gangguan
19

metabolisme mungkin juga disebabkan karena terdapatnya senyawa tanin dalam


makanan yang dapat mengganggu aktivitas enzim pencernaan hama.
dikarenakan bahan aktif pestisida nabati mampu menyebabkan gangguan
aktivitas makan dengan mengurangi nafsu makan, memblokir kemampuan makan
serangga, sehingga hama menolak makan.
Zat metabolit yang berperan sangat aktif sehingga bandotan dapat
dijadikan sebagai salah satu alternatif pestisida nabati untuk menghambat hama
kutu kuya adalah senyawa saponin dan flavonoid. Senyawa ini mampu menekan
hama untuk makan dan bereaksi negatif.
senyawa alelokimia berupa fenol, flavonoid dan terpenoid yang dapat
menghambat pertumbuhan tumbuhan lain
senyawa alelokimia berupa fenol dan flavonoid lebih efektif menghambat
aktivitas enzim selama proses perkecambahan
senyawa terpenoid, flavonoid dan fenol adalah alelokimia yang bersifat
menghambat pembelahan sel
Barakat (2011) menyatakan bahwa senyawa α-pinene dapat menghambat
enzim asetilkolinesterase, yang memecah asetilkolin (zat kimia penghantar
rangsangan syaraf). Siramon et al., (2009) juga menyatakan bahwa terganggunya
fungsi enzim asetilkolinesterase pada rayap menyebabkan asetilkolin terakumulasi
sehingga terjadi inkoordinasi, paralisis dan kematian sel.
Gejala keracunan terlihat setelah larva tersebut memakan daun sawi yang
disemprot dengan insektisida nabati, gerakannya menjadi lambat dan aktivitas
makannya berkurang, kemudian warnanya berubah menjadi kehitaman. Sampai
hari ketiga sebagian besar larva mati. Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan
racun pada gulma Chromolaena odorata bersifat racun perut terhadap ulat grayak.
Gulma Chromolaena odorata juga dilaporkan memiliki senyawa
Pyrrolizidine alkaloids (Thoden et al., 2007) yang merupakan senyawa sekunder
yang diproduksi oleh tanaman dan berfungsi sebagai senyawa pertahanan tanaman
terhadap herbivora
Ekstrak tepung daun babadotan memiliki bahan aktif senyawa precocene
dan masuk ke dalam tubuh kepik hijau selanjutnya bekerja sebagai racun saraf,
20

yaitu dengan cara menghambat kerja enzim kholinesterase (Sembel, 2011). Enzim
kholinesterase terhambat kerjanya karena senyawa precocene mengikat enzim
kholinesterase yang berperan untuk menghidrolisis asetil kolin, sehingga asetil
kolin tidak dapat melakukan fungsinya untuk menghantarkan rangsangan ke
impuls saraf, sehingga mengakibatkan tergangunya aktifitas kepik. Terganggunya
aktifitas kepik secara perlahan-lahan mengakibatkan kematian.
mampu menekan populasi nematoda adalah karena adanya kandungan
senyawa tanin dalam masing-masing ekstrak tersebut. Lopez (2005) yang
menyatakan senyawa tanin mampu melarutkan protein dalam kulit telur nematoda
sehingga menyebabkan gagalnya pembentukan embrio, penetasan telur akibat
rusaknya protein selubung telur terutama pada telur fase awal yang belum
terbentuk larva nematoda. Senyawa tanin juga mampu mengendapkan protein.
Efek tanin terhadap dinding sel kulit larva adalah dapat memblokade respon otot
nematoda terhadap asetil kolin sehingga nematoda menjadi lumpuh dan mati.
Lopez (2005) juga mengatakan bahwa tanin dapat menghambat sistem enzimatik
nematoda dan bereaksi dengan protein penyusun sel–sel sehingga dapat
mengurangi kemampuan nematoda dalam menginfeksi akar.
Senyawa flavonoid mempunyai sifat lipophilic yang dapat meleburkan
membran sitoplasmik sel nematoda dan mengganggu fungsional struktur enzim
protein dari nematoda
Tannin bekerja sebagai zat astringent, menysutkan jaringan dan menutup
struktur protein pada kulitdan mukosa (Healtlink, 2000). Menurut Aminah dkk
(2001), saponin bekerja menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa
straktus digestivus larva sehingga dinsing traktus digestivus menjadi korosif
dan akhirnya rusak. Pada penelitian Agnetha (2005), menunjukkan bahwa
Allicin (Sulfur) akan merusak membrane sel larva sehingga terjadi lisis
yang berakibat larva maenjadi mati. Kandungan dari bahan alam yang
diduga berperan dalam kematian larva adalah flavonoid. Zat ini bekerja
sebagai inhibitor pernapasan. Flavonoid diduga mengganggu metabolism
energididalam mitikondria dengan menghambat system pengangkutan electron.
21

Senyawa lain yang terkandung dalam kemangi dan diduga memiliki


pengaruh terhadap mortalitas larva adalah saponin. Saponin dalam lerak
dapat merusak dinding traktus digestivus. Saponin merupakan surfaktan kuat,
konsentrasi rendah dapat bersifat toksik pada mamalia karena menyebabkan
hemolisis sel darah merah(Iffah, Gunandini, & Kardinan, 2008)
engan cara kerja sebagai racun kontak (contact poison) melalui
permukaan tubuh larva karena fenol (eugenol) mudah terserap melalui
kulit(Wilbraham & Matta, 1992). Menurut (Prasodjo, 1984), racun kontak
akan meresap ke dalam tubuh binatang akan mati bila tersentuh kulit
luarnya. Racun kontak akan masuk dalam tubuh larva melalui kutikula
sehingga apabila insektisida kontak langsung pada kulit maka sedikit demi
sedikit molekul insektisida akan masuk ke dalam tubuh larva. Seiring
bertambahnya waktu maka akumulasi dari insektisida yang masuk ke tubuh
larva dapat menyebabkan kematian (Wudianto, 1998). Fenol dapat menyebabkan
cacat bakar dan amat beracun (Wilbraham & Matta, 1992). Eugenol
menyebabkan alergi jika terpapar pada kulit. Eugenol dosis tinggi bahkan
dapat mengakibatkan efek seperti terbakar. Hal ini yang mengakibatkan kematian
larva dan bentuk fisik larva terlihat seperti terbakar. Eugenol juga bekeja pada
sistem syaraf. Eugenol merupakan senyawa fenol yang memiliki gugus
alkohol sehingga dapat melemahkan dan mengganggu sistem syaraf
22

Edi Tando. 2018. Potensi Senyawa Metabolit Sekunder dalam Sirsak (Annona
Murricata) dan Srikaya (Annona squamosa) sebagai Pestisida Nabati untuk
Pengendalian Hama dan Penyakit pada Tanaman. Jurnal Biotropika, 1(6).

M. Ridwan dan Isharyanto. 2016. Potensi Kemangi sebagai Pestisida Nabati.


Serambia Saintia, 1(4).

Anda mungkin juga menyukai