Anda di halaman 1dari 420

1 Kementerian Keuangan

2 Karena Kita Garda


3
“Jangan pernah
lelah mencintai

Kementerian Keuangan
negeri ini”

— Sri Mulyani Indrawati


Tim Penyusun

Tim Pengarah
Hadiyanto

Tim Pelaksana
Karena Kita Garda

Ketua/Penanggung Jawab: Dini Kusumawati


Wakil Ketua: Arief Wibisono
Sekretaris: Didit Hidayat

Kontributor:
Sarwa Edi, Paulus Hatigoran Pangaribuan, Untung Setyo Margono,
Hiras Nomensen Pangaribuan, Teguh Iman Subagyo, Yanuar Calliandra,
M. Mutfi Arkan, Puguh Hermawan, Hadi Nursahid, Hisyam Haikal,
4

Diana Rulita, Muhith Afif Syam Harahap, Eva Maulina Aritonang, Yelly
Metasari, Syahrial Saputra, Dina Amalia, Lenni Ika Wahyudiasti, Gustin
Tjindarwasih, Pandu Rizky Fauzi, Muhammad Ulil Albab, Anggun
Wibowo, Boru Sion, Niko Prastiya, Tang Dewi Sumawati, Casman, RM.
Agus Ekawidjaja, Nurul Aini, Herliana W., Muslikhudin, Joko Susanto,
Kawas Rolant Tarigan, Galih Shaha Dewa, Amalia Hanif, Hendy S.
Yudhiyanto, Raymond Jackson Effendy, Rini Ariviani, Ferdha Hermanto,
Dody Dharma Hutabarat, Sujarwo Adi, Fajar Sidik, Vina Eriyandi, Sigid
Mulyadi, Ar Rizqiyatul Barokah, Margono Dwi Susilo

Editor:
Arief Wibisono, Wardjianto, Didit Hidayat, Endi Hazar, Candra Riasari,
Agus Darmawan, Wisnandari Dwijowati, Alda Horison, Esti Dwi
Apriliana, Alek Setiyawan, Sri Putri Siregar, Sofi Dinda Permata Sari,
Dwi Retno, Eva Maulina Aritonang, Ogi Boi S. Sitohang, Sigid Mulyadi,
Novri H.S. Tanjung, Aditya Rahmat, Indriani Natasya, Dhani Kurniawan,
Hantony Muharman, Dwi Koriyanto, Noer Anggraeni, Hisyam Haikal,
Rudy Novianto, Prama Wiratama, Cucu Pujasetia, Alijon Adit, Diniafini
Saputri Siregar, Arif Musafa

Desain Cover dan Layout:


Wardah Adina, Alek Setiyawan

ISBN 978-602-71971-6-9
5
Karena Kita Garda

Kementerian Keuangan
Kisah Inspiratif Gerakan Nasional
Revolusi Mental & Budaya Kerja
Kementerian Keuangan RI
Sambutan Menteri Keuangan

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Salam sejahtera untuk kita semua.

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang


senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
Kementerian Keuangan sehingga dapat terus menjalankan
Karena Kita Garda

amanah membantu Presiden dalam menyelenggarakan


tugas pemerintahan di bidang pengelolaan dan menjaga
keuangan negara.

Dengan posisi strategis dalam rangka ikut mewujudkan


cita-cita bangsa dan menjadi penggerak ekonomi yang
menjadi tulang punggung pembangunan bangsa,
diperlukan komitmen para pejabat/pegawai di lingkungan
6

Kementerian Keuangan dalam memegang dan menjaga


nilai, memiliki integritas dengan iktikad menjaga
profesionalisme, mampu bekerja secara sinergis, memiliki
jiwa pelayan, dan selalu berikhtiar menuju kesempurnaan.
Oleh karena itu, Gerakan Nasional Revolusi Mental
(GNRM) yang diinstruksikan oleh Presiden Republik
Indonesia serta budaya kerja menjadi sesuatu yang esensial.

Buku “Karena Kita Garda: Kisah Inspiratif Gerakan


Nasional Revolusi Mental dan Budaya Kerja
Kementerian Keuangan Republik Indonesia” ini
disusun dari cerita dan contoh nyata perilaku jajaran
Kementerian Keuangan dalam menjalankan tugasnya yang
selalu dihadapkan pada berbagai tantangan, godaan, dan
kesempatan. Petikan-petikan cerita ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai inspirasi bersikap dan berperilaku bagi
seluruh pejabat/pegawai Kementerian Keuangan dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari di unit kerja
masing-masing, sehingga pada akhirnya akan tertanam
dan menjadi perilaku khas pejabat/pegawai Kementerian
Keuangan dalam rangka mendukung pencapaian visi
Kementerian Keuangan, menjadi penggerak utama
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang inklusif di abad
ke-21.

Saya mengharapkan seluruh pejabat/pegawai Kementerian

7
Keuangan membaca, memahami, menumbuhkan, dan
mempraktikkan GNRM dan budaya kerja Kementerian
Keuangan dengan sungguh-sungguh. Sebuah organisasi

Kementerian Keuangan
hanya dapat mencapai tujuannya sesuai visinya apabila
ada kerja sama yang solid dan kontribusi yang penuh
dari seluruh anggota organisasi. Demikian pula bagi
Kementerian Keuangan. Setiap pejabat/pegawai
Kementerian Keuangan merupakan aset berharga
organisasi yang memberikan value added dan kontribusi
yang berdampak pada pencapaian tujuan organisasi sesuai
visinya.

Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan


kepada seluruh penulis, editor, dan tim kerja yang telah
berhasil menyusun buku ini. Diharapkan dengan adanya
buku ini akan menjadi energi positif untuk terus berkarya
bagi seluruh pejabat/pegawai di lingkungan Kementerian
Keuangan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Daftar Isi

12 Gerakan Nasional
Revolusi Mental
Menanam Nilai,
Menyemai Budaya
Karena Kita Garda

16
Nilai-Nilai Kementerian
Keuangan

26
Good Governance Aparatur Sipil
Negara

28 Budaya Organisasi Budaya Kerja


8

30 Visi dan Misi Kementerian


Keuangan
32 Integritas Tanpa Batas 142 Profesional Is Me

Kami Adalah Fiskus, Bukan


40 148 Antara Kasihan, Empati, dan
Gayus Tugas Negara

46 Pilihan Hidup Berintegritas 150 Yes, I Do


Adalah Jalan Kebahagiaan
166 Tapal Batas Profesionalisme
53 Bukan Suatu Kebetulan
172
Tantangan, Pengalaman, dan
64 Terminal Tas Keikhlasan

78 ...... 179 Karena Bukan Sekadar Pintar

9
84 Almost Dead Seorang PNS 188
Gelombang Laut Selatan, Siapa
(Diselamatkan Balok Kayu Takut?!
Utusan Tuhan)
194
Melancarkan Kembali Arus

Kementerian Keuangan
115 Amplop Cokelat
Kontainer Ekspor
122
Catatan Kecil Reformasi di Pelabuhan Tanjung Priok
Birokrasi dengan IT Knowledge

127
Maka Berutanglah Kita kepada 200 Mencari Nilai dari Tumpukan
Rakyat Sampah Musim Dingin 2016

133 Bakti Seorang Pramubakti 212 Hikmah Sebuah Pengorbanan

137 Snack Mas Herjuno 216 Pengabdian yang Indah

224
Ayahku Auditor, Ayahku
Pahlawan

228 BekerDJA dalam Senyap

236 Success Story

240 ...............

244 Konsultasi dan Rasionalisasi


250 Sinergi Itu Memuda(h)kan

254 Indahnya Kebersamaan

259 Belajar pada Pemeriksa Pajak


Karena Kita Garda

273 Belajar Menjadi Pemenang

282
Yes, Sir, I’m Casman, Member of
Cast

290 Sepenggal Mozaik Pangkalan


Sarana Operasi Pantoloan
10

296 Kebanggaan Jadi Bagian dari


Kementerian Keuangan

299 Senyum Pengobat Lelah

302 Ledakan “Bom Atom” di


Penghujung Tahun

319 Perkenalkan… Namaku Alika

322 1 + 1 = 27
326 Nafasku Melayani 376 Sempurnakan dengan Inovasi

330 Ditagih Malah Berterima Kasih 380 Lahirnya Digital Signature

334 Bapak Loket 3 384 Perjuangan Jurusita Pajak Negara

339 Sebuah Hati yang Sabar untuk 390


Gaungnya Berhenti di Pagar
Desa Mirit Kantor

347 Mari Tersenyum 394


Telah Kusampaikan Pesanmu,
Fakhri
349
Senyum dan Sapa dalam Dunia
Kerja 400 Sejarah Layanan Setoran
Penerimaan Negara

11
353 Idealisme dalam Sebuah Kamera
410 Ada Awan yang Lebih Tinggi
358 Pengabdian di Ujung Peluru
414 Hidup Terhormat Tidak Harus

Kementerian Keuangan
364
Di Pintu Masuk Kubawa
Menjadi Pemenang
Harapanku

367
Hal Kecil untuk Mimpi yang
Besar

370 Bapak Berseragam Biru


Gerakan Nasional Revolusi Mental
Menanam Nilai, Menyemai Budaya

Dalam konteks Indonesia, istilah Revolusi Mental


pertama kali dicetuskan oleh Presiden RI yang pertama
yaitu Soekarno dalam pidato kenegaraan memperingati
proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1957. Gagasan
Karena Kita Garda

Revolusi Mental ini kemudian pada tahun 2014 digaungkan


kembali oleh Presiden RI yang ketujuh, Joko Widodo.
Presiden Joko Widodo menyerukan untuk memulai sebuah
Gerakan Nasional Revolusi Mental untuk mengubah
kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru demi mewujudkan
Indonesia yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian.
12

Kita sudah terlalu lama membiarkan praktik-praktik dalam


berbangsa dan bernegara dilakukan dengan cara-cara tidak
jujur, tidak memegang etika dan moral, tidak bertanggung
jawab, tidak dapat diandalkan, dan tidak bisa dipercaya.
Dengan kata lain sebagai bangsa kita kehilangan nilai-nilai
integritas.

Dalam bidang perekonomian kita tertinggal jauh


dari negara-negara lain karena kita kehilangan etos
kerja keras, daya juang, daya saing, semangat mandiri,
kreativitas, dan semangat inovatif. Sebagai bangsa, kita
krisis identitas. Karakter kuat bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang mempunyai semangat gotong-royong, saling
bekerjasama demi kemajuan bangsa, meluntur. Kita harus
mengembalikan karakter Bangsa Indonesia ke watak
luhurnya, yaitu Gotong Royong.

Gerakan Nasional Revolusi Mental merupakan aksi


nyata seluruh komponen bangsa dengan bersendikan tiga
pilar sebagai tiga nilai utama, yaitu integritas, etos kerja,
dan gotong royong. Integritas dapat diartikan sebagai
kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan apa yang
diperbuat, berkata dan berlaku jujur, dapat dipercaya,
berpegang teguh dengan prinsip-prinsip kebenaran, moral,
dan etika. Etos kerja dapat diartikan sebagai sebuah sikap
yang berorientasi pada hasil yang terbaik, semangat tinggi
dalam bersaing, optimis, dan selalu mencari cara-cara yang
produktif dan inovatif. Gotong-royong dapat diartikan
sebagai sebuah keyakinan mengenai pentingnya melakukan
kegiatan secara bersama-sama dan bersifat sukarela supaya
kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan cepat,
efektif, dan efisien.

13
Kementerian Keuangan sebagai jajaran birokrasi yang
melayani, memiliki values yang diluncurkan pada tanggal
29 Juli 2011 oleh Menteri Keuangan pada saat Rapat Kerja

Kementerian Keuangan
Kemenkeu yang dihadiri oleh seluruh pejabat eselon I
dan II yang selaras dengan nilai utama Gerakan Nasional
Revolusi Mental, yaitu Integritas, Profesionalisme, Sinergi,
Pelayanan, dan Kesempurnaan.

Integritas memiliki makna berpikir, berkata, berperilaku


dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang
teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral, dengan perilaku
utama meliputi bersikap jujur, tulus, dan dapat dipercaya,
serta menjaga martabat dan tidak melakukan hal-hal
tercela. Profesionalisme memiliki makna bekerja tuntas
dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh
tanggung jawab dan komitmen yang tinggi. Perilaku utama
dari nilai profesionalisme adalah mempunyai keahlian dan
pengetahuan yang luas serta bekerja dengan hati. Sinergi
memiliki makna membangun dan memastikan hubungan
kerja sama internal yang produktif serta kemitraan yang
harmonis dengan para pemangku kepentingan untuk
menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas,
dengan perilaku utama yaitu memiliki sangka baik,
saling percaya, dan menghormati, serta menemukan dan
melaksanakan solusi terbaik. Adapun pelayanan memiliki
Karena Kita Garda

makna memberikan pelayanan yang memenuhi kepuasan


pemangku kepentingan yang dilakukan dengan sepenuh
hati, transparan, cepat, akurat, dan aman, dengan perilaku
utama yaitu melayani dengan berorientasi pada kepuasan
pemangku kepentingan dan bersikap proaktif dan cepat
tanggap. Kesempurnaan memiliki makna senantiasa
melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk
14

menjadi dan memberikan yang terbaik, dengan perilaku


utama yaitu melakukan perbaikan terus-menerus serta
mengembangkan inovasi dan kreativitas.

Setelah mencanangkan nilai-nilai Kementerian Keuangan,


ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 127/
KMK.01/2013 tentang Pencanganan Program Budaya di
Lingkungan Kementerian Keuangan, yang meliputi:
a. satu informasi setiap hari;
b. dua menit sebelum jadual;
c. tiga salam setiap hari;
d. rencanakan, kerjakan, monitor, dan tindaklanjuti; dan
e. ringkas, rapi, resik, rawat, rajin.
Aksi nyata etos kerja Kementerian Keuangan pada Revolusi
Mental diaplikasikan dalam lima program yaitu sebagai
berikut.
1. Indonesia melayani, melalui peningkatan layanan
kepada stakeholders melalui layanan berbasis elektronik,
pelaksanaan penilaian kinerja dan inovasi Kantor
Wilayah/Kantor Pelayanan yang dilaksanakan rutin
setiap tahun.
2. Indonesia bersih, melalui perilaku hidup bersih dan
sehat di lingkungan Kementerian Keuangan, program
penghijauan dan penanaman pohon di lingkungan

15
Kementerian Keuangan.
3. Indonesia tertib, melalui peningkatan perilaku tertib
penggunaan ruang publik, peningkatan sinergi

Kementerian Keuangan
penyediaan sarana dan prasarana penunjang perilaku
tertib (mesin absen, mesin antrean pada Kantor
Pelayanan), penerbitan laporan bulanan ketertiban
pegawai.
4. Indonesia mandiri, melalui peningkatan peran koperasi
yang dikelola oleh pejabat/pegawai Kementerian
Keuangan, gerakan efisiensi, penyusunan buku budaya
kerja Kementerian Keuangan;
5. Indonesia bersatu, melalui program Kemenkeu
Mengajar, penguatan values, dan perilaku utama
Kementerian Keuangan.
Nilai-Nilai Kementerian Keuangan

Menurut G. Everest, nilai-nilai manusia digolongkan


menjadi 8 kelompok yang meliputi nilai-nilai ekonomis,
nilai-nilai kejasmanian, nilai-nilai hiburan, nilai-nilai
sosial, nilai-nilai watak, nilai-nilai estetika, nilai-nilai
Karena Kita Garda

intelektual, dan nilai-nilai keagamaan. Manusia hidup


dikelilingi oleh nilai dan akan selalu menemui penggunaan
nilai dalam seumur hidupnya. Nilai-nilai ini pada akhirnya
menjadi sebuah norma yang harus diikuti manusia agar
dapat diterima oleh masyarakat.

Perjalanan Perubahan Budaya Kemenkeu


16

28-29 Juli 2011 2011 – 2012

• Merumuskan • Sosialisasi dan


Nilai-Nilai & Internalisasi
Perilaku Utama Nilai-Nilai &
Develop to Kementerian Perilaku Utama
Change Attitude Keuangan Kementerian
— Hearts & Minds Keuangan
• Membangun
Komitmen • Membangun
Guiding Team
(Change Leader /
Change Champion/
Change Agent)

Penyelarasan &
• implementasi
sistem organisasi
& SDM
17
2013 - 2016

Kementerian Keuangan
• Internalisasi, • Kontinuitas
Implementasi & penyelarasan &
Eksternalisasi implementasi
sistem organisasi Inspire
• Efektivitas peran & SDM to Affect
jajaran pimpinan Behavior
& Guiding Team • Implementasi
melalui program
• Perumusan dan learning &
Implementasi development
Program Budaya
(KMK 127/
KMK.01/2013)

• Implementasi
program
monitoring &
evaluasi
Perumusan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan pada
tanggal 27 s.d. 28 Juli 2011 dihadiri oleh Menteri Keuangan,
Pejabat Eselon I, dan Pejabat Eselon II terpilih sejumlah 74
orang, dengan dibantu oleh Konsultan Independen.
Karena Kita Garda

Proses perumusan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan


didasarkan pada praktik nyata yang ada di lapangan melalui
proses penggalian, identifikasi, dan formulasi.

Kementerian Keuangan mengembangkan nilai-nilai


Kementerian Keuangan dari hasil peleburan dan
18

kontemplasi nilai-nilai yang sebelumnya telah diterapkan


secara berbeda pada masing-masing eselon I. Peleburan ini
penting untuk membangun kembali sinergi seluruh jajaran
Kementerian Keuangan serta untuk menunjukkan kepada
masyarakat perubahan yang diwujudkan oleh Kementerian
Keuangan secara jelas dan menyeluruh.

Penerapan nilai-nilai utama Kementerian Keuangan ini


menunjukkan warna spesifik bagi PNS di lingkungan
Kementerian Keuangan berbeda dengan PNS lainnya
terutama dalam hal karakter dan budaya kerja. Penerapan
nilai-nilai ini juga merupakan bagian dari langkah
Kementerian Keuangan sebagai penggerak reformasi
birokrasi di Indonesia.

Unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan telah


memiliki nilai-nilai budaya yang diterapkan pada
lingkungan kerjanya masing-masing. Tingginya ego
sektoral (silo) yang tumbuh dan berkembang pada masing-
masing unit kerja. Transformasi Budaya Kementerian
Keuangan perlu dilakukan karena sikap, cara pandang, dan
perilaku-perilaku saat ini dinilai kurang kondusif dalam
menunjang pencapaian kinerja terbaik sesuai dengan visi
Kementerian Keuangan. Di samping itu, faktor-faktor
eksternal juga menjadi pendorong Kementerian Keuangan
harus berubah serta kondisi-kondisi organisasi dan
perilaku-perilaku yang saat ini dinilai sudah baik perlu
untuk terus dijaga konsistensinya bahkan diperkuat.

Menteri Keuangan memberikan arahan kepada jajaran


pejabat eselon I dan II untuk menggali nilai-nilai
yang diyakini menjadi pendorong dalam bersikap dan
berperilaku. Nilai (value) adalah prinsip-prinsip yang

19
diyakini baik dan benar dalam menjalankan organisasi,
yang mengarahkan perilaku anggota organisasi dan
menjadi landasan dalam penetapan aturan, kebijakan dan

Kementerian Keuangan
sistem organisasi.
Hasil perumusan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan
sebagai berikut.
Karena Kita Garda

Nilai-Nilai Makna Perilaku Utama

Integritas Berpikir, berkata, berperilaku dan 1. Bersikap jujur, tulus dan dapat
(Integrity) bertindak dengan baik dan benar dipercaya
serta memegang teguh kode etik 2. Menjaga martabat dan tidak
dan prinsip-prinsip moral. melakukan hal-hal tercela
20

Profesionalisme Bekerja tuntas dan akurat atas 3. Mempunyai keahlian dan


(Professionalism) dasar kompetensi terbaik dengan pengetahuan yang luas
penuh tanggung jawab dan 4. Bekerja dengan hati
komitmen yang tinggi.

Sinergi Membangun dan memastikan 5. Memiliki sangka baik, saling


(Synergy) hubungan kerjasama internal percaya dan menghormati
yang produktif serta kemitraan 6. Menemukan dan
yang harmonis dengan para melaksanakan solusi terbaik
pemangku kepentingan, untuk
menghasilkan karya yang ber-
manfaat dan berkualitas.

Pelayanan Memberikan pelayanan yang 7. Melayani dengan berorientasi


(Service) memenuhi kepuasan pemangku pada kepuasan pemangku
kepentingan yang dilakukan kepentingan
dengan sepenuh hati, transparan, 8. Bersikap proaktif dan cepat
cepat, akurat dan aman. tanggap

Kesempurnaan Senantiasa melakukan upaya 9. Melakukan perbaikan terus


(Continuous Improvement/ perbaikan disegala bidang untuk menerus
Excellence) menjadi dan memberikan yang 10. Mengembangkan inovasi dan
terbaik. kreativitas
Nilai-Nilai Kementerian Keuangan diluncurkan pada
tanggal 29 Juli 2011 oleh Menteri Keuangan pada saat
Rapat Kerja Kemenkeu yang dihadiri oleh seluruh pejabat
eselon I dan II. Acara peluncuran Nilai-Nilai Kementerian
Keuangan diadakan secara interaktif untuk menumbuhkan
semangat dan kesadaran baru. Peluncuran Nilai-Nilai
Kementerian Keuangan juga dilakukan dalam acara yang
lebih formal, masif, dan berkelanjutan.

Menindaklanjuti peluncuran nilai-nilai Kementerian


Keuangan, diselenggarakan Workshop Change Leader pada

21
tahun 2011 dilaksanakan di Hotel Borobudur Jakarta pada
tanggal 28 dan 29 November 2011 yang diikuti oleh 60
pejabat eselon II. Workshop Change Leader diselenggarakan

Kementerian Keuangan
kembali pada tahun 2012 di Hotel Borobudur Jakarta pada
tanggal 10, 11, dan 12 April 2012 yang diikuti oleh 91
pejabat Eselon II. Dengan demikian total Pejabat Eselon
II sebagai Change Leader yang telah mengikuti workshop
sejumlah 151 orang. Kegiatan ini menghasilkan contoh-
contoh perilaku yang tertuang dalam Buku Panduan
Perilaku Nilai-Nilai Kementerian Keuangan.

Sosialisasi tahun 2013 merupakan kegiatan lanjutan dari


kick-off oleh Menteri Keuangan. Kegiatan sosialisasi tahun
2013 telah dilaksanakan di 4 kota yaitu:
1. Medan, pada tanggal 9 Februari 2013. Dihadiri oleh
500 peserta yang merupakan Pejabat dan Pegawai di
lingkungan instansi vertikal yang ada di Provinsi Aceh
dan Provinsi Sumatera Utara dan dilaksanakan di
Medan International Convention Center.
2. Jakarta I, pada tanggal 23 Februari 2013 dengan
dihadiri oleh 700 peserta meliputi Pejabat dan Pegawai
di lingkungan instansi vertikal yang ada di Provinsi
Kalimantan dan sebagian provinsi DKI Jakarta
bertempat di Auditorum Kantor Pusat Direktorat
Jenderal Pajak.
Karena Kita Garda

3. Makassar, pada tanggal 9 Maret 2013 dengan dihadiri


oleh 700 peserta meliputi Pejabat dan Pegawai di
lingkungan instansi vertikal yang ada di Sulawesi,
Ambon, dan Papua bertempat di Clerion Hotel
Makassar.
4. Surabaya, pada tanggal 6 April 2013 dihadiri oleh 700
peserta meliputi Pejabat dan Pegawai di lingkungan
22

instansi vertikal yang ada di Provinsi Jawa Timur


bertempat di Grand City Surabaya.

Training of Trainer (ToT) bagi Change Agent bertujuan untuk


membentuk Internal Trainers yang nantinya akan memberi
pembekalan kepada Change Agent baru dan melaksanakan
program-program dalam rangka internalisasi nilai-nilai
Kementerian Keuangan. Sampai dengan saat ini sudah
terdapat 2.027 Change Agent di lingkungan Kementerian
Keuangan.

Peran Sebagai Change Agent:


1) Berkomitmen tinggi untuk secara konsisten
menjalankan nilai-nilai budaya dan mendukung
keberhasilan transformasi budaya Kemenkeu.
2) Menjadi panutan (Role Model).
a) Menjalankan perilaku utama Kemenkeu.
b) Memberikan dan menjadi contoh bagi seluruh
jajaran pegawai di unit kerja.
c) Melakukan pembinaan (coaching) & tindakan
korektif segera setiap saat diperlukan.
3) Mengajak & ikut terlibat dalam menyusun &
menerapkan program sosialisasi & internalisasi nilai-
nilai budaya di unit kerja.
a) Proaktif dan ikut terlibat dalam mengemas
program-program budaya di unit kerja.
b) Melakukan sharing session di unit kerja.
c) Mendorong dan memotivasi pegawai.
d) Memfasilitasi proses sosialisasi/ internalisasi nilai-
nilai Kemenkeu.
e) Memonitor perkembangan & ikut mencari solusi
terbaik untuk perbaikan.

23
Change Agent Sharing Session adalah kegiatan setiap tahun
yang dilaksanakan oleh para change agent dan bertujuan

Kementerian Keuangan
untuk menginformasikan hal-hal berupa kiat-kiat baru
dalam rangka implementasi nilai-nilai; menyelesaikan
permasalahan dan kendala yang dihadapi change agent
dalam menginternalisasi nilai-nilai; dan monitoring dan
evaluasi kepada unit eselon I yang dipilih secara random.

Monitoring dan evaluasi telah dilaksanakan pada


tanggal 19 s.d. 22 November 2012 yang bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana insan Kemenkeu pada umumnya
telah mengetahui dan mampu menyebutkan nilai-nilai
Kemenkeu, tahu dan paham makna nilai atau bahkan telah
menjalankannya secara konsisten dalam bentuk perilaku;
Komitmen serta peran jajaran pimpinan dan Change Agent
dalam melakukan sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai
Kemenkeu; efektivitas pelaksanaan kegiatan sosialisasi dan
internalisasi nilai-nilai Kemenkeu di unit-unit kerja yang
dikunjungi; dan iklim kerja di unit kerja.
Hasil monitoring dan evaluasi menunjukkan bahwa 51 %
pegawai memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai dan
perilaku utama dan 82 % pegawai memahami makna nilai-
nilai Kementerian Keuangan.
Karena Kita Garda

Selanjutnya, program budaya di lingkungan Kementerian


Keuangan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan nomor 127/KMK.01/2013 tahun 2013. Program
Budaya 2013 adalah sebagai berikut.
24

Mendorong seluruh pegawai mencari informasi positif


Satu Informasi Setiap
1 dan membaginya dengan pegawai lain untuk pengetahuan
Hari bersama

Melatih, membiasakan dan menumbuhkan kedisiplinan


Dua Menit Sebelum
2 seluruh pegawai hadir di ruang/rapat kerja 2 menit sebelum
Jadual rapat di mulai

Mendorong seluruh Pegawai terbiasa memberikan


Tiga Salam Setiap
3 pelayanan terbaik dan bersikap sopan serta santun, dengan
Hari memberikan salam sesuai dengan waktunya

Mendorong seluruh pegawai untuk melaksanakan


Rencanakan, tugas sehari-hari menerapkan etos kerja dan prisnsip
manajemen/organisasi yang baik dengan senantiasa
4 Kerjakan, Monitor, membuat perencanaan, mengerjakan dengan tuntas,
dan Tindaklanjuti memantau dan mengevaluasi dan menindaklanjuti hasil
untuk perbaikan

Mendorong tumbuhnya kesadaran dan kepedulian pegawai


Ringkas, Rapi, Resik,
5 akan pentingnya penataan ruang kantor dan dokumen kerja
Rawat, Rajin yang ringkas dan rapi

Adapun Struktur Tim Budaya di Lingkungan Kementerian


Keuangan adalah sebagai berikut:
Segenap Jajaran Kementerian Keuangan Memiliki Peran

Change Leader

Menteri / Jajaran Eselon 1 LEAD


Change Leaders
• Menetapkan arahan strategik
• Memutuskan Nilai-Nilai Budaya Kerja & Perilaku Utama
Insan Kementerian Keuangan
• Menyetujui program transformasi budaya
• Menyelesaikan isu-isu strategis
• Menjadi figur panutan (role model)

25
MONITOR & FACILITATE
Change Management Change Management Team
Team • Memfasilitasi perumusan program
• Memonitor dan mengevaluasi implementasi program-program &

Kementerian Keuangan
Tim Budaya budaya
Kementerian Keuangan • Memfasilitasi, memastikan efektivitas kelangsungan program-
program transformasi budaya
• Menjadi figur panutan (role model)

Change Agent

FACILITATE & DELIVER


Change Agents
Jajaran Pimpinan, • Secara aktif menyosialisasikan, mempengaruhi lingkungan
Pegawai Terpilih/ kerjanya untuk berperilaku sebagaimana diharapkan
Pemimpin Informal • Secara proaktif mengidentifikasi dan menyelesaikan isu-isu
implementasi
• Menjadi figur panutan (role model)

Change Target

DELIVER
Seluruh Jajaran Insan Change Targets
Kementerian Keuangan • Menjadikan nilai-nilai Kementerian Keuangan sebagai pegangan
dalam bertindak & berperilaku
Good Governance
Aparatur Sipil Negara

Buku budaya kerja ini menggambarkan wujud komitmen


Kementerian Keuangan dalam menerapkan prinsip-prinsip
Good Governance sebagai instansi pemerintah.
Karena Kita Garda

Asas Kepastian Hukum


Bahwa dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.
26

Asas Tertib Penyelenggaraan Negara


Asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan
keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan
negara.

Asas Kepentingan Umum


Asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
Asas Keterbukaan
Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, bersikap jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan
tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan, dan rahasia negara.

Asas Proporsionalitas
Asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara.

27
Asas Profesionalitas
Asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

Kementerian Keuangan
berlaku.

Asas Akuntabilitas
Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggaaraan Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (rakyat)
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Budaya Organisasi
Budaya Kerja

Budaya Organisasi merupakan sistem nilai bersama


dalam suatu organisasi yang menjadi acuan bagaimana
para pegawai melakukan kegiatan untuk mencapai suatu
tujuan atau cita-cita organisasi. Budaya organisasi memberi
Karena Kita Garda

manfaat: i) menerjemahkan peran yang membedakan


satu organisasi dengan organisasi yang lain karena setiap
organisasi mempunyai peran yang berbeda, sehingga
perlu memiliki akar budaya yang kuat dalam sistem dan
kegiatan yang ada di dalamnya; ii) menjadi identitas bagi
anggota organisasi, budaya yang kuat membuat anggota
28

organisasi merasa memiliki identitas yang merupakan ciri


khas anggotanya; iii) mendorong setiap anggota organisasi
merasa untuk lebih mementingkan tujuan bersama di atas
kepentingan individu; dan iv) menjaga stabilitas organisasi,
komponen-komponen organisasi yang direkatkan oleh
pemahaman budaya yang sama akan membuat kondisi
internal organisasi menjadi stabil.
Budaya Kerja merupakan sikap dan perilaku individu
dan kelompok yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Aktualisasi
budaya kerja dapat dilihat pada hal-hal: i) pemahaman
terhadap makna bekerja; ii) sikap terhadap pekerjaan
atau apa yang dikerjakan; iii) sikap terhadap lingkungan
pekerjaan; iv) sikap terhadap waktu; v) sikap terhadap
alat yang digunakan untuk bekerja; vi) etos kerja; dan vii)
perilaku ketika bekerja atau mengambil keputusan.

29
Budaya kerja akan memberikan manfaat dan kesempatan
bagi seluruh pegawai untuk berperan, berprestasi,
aktualisasi diri, mendapat pengakuan, penghargaan,

Kementerian Keuangan
kebanggaan bekerja, rasa ikut memiliki, dan bertanggung
jawab, memperluas wawasan, serta meningkatkan
kemampuan memimpin dan memecahkan masalah.

Manfaat budaya kerja bagi organisasi: i) meningkatkan


kerja sama antarindividu, antarkelompok, dan antarunit
kerja; ii) meningkatkan koordinasi antarindividu,
antarkelompok, dan antarunit kerja; iii) mengefektifkan
integrasi, sinkronisasi, keselarasan, dan dinamika yang
terjadi dalam organisasi; iv) memperlancar komunikasi
dan hubungan kerja; v) menumbuhkan kepemimpinan
yang partisipatif; vi) mengeliminasi hambatan-hambatan
psikologis dan kultural; dan vii) menciptakan suasana kerja
yang menyenangkan sehingga dapat mendorong kreativitas
pegawai.
Visi dan Misi
Kementerian Keuangan

Visi suatu organisasi menggambarkan posisi penting


atau peluang besar yang mungkin diraih di masa depan
dengan bekerja keras, sungguh-sungguh, dan konsisten
dalam jangka panjang. Visi organisasi dapat memusatkan,
Karena Kita Garda

mengarahkan, memotivasi, menyatukan, dan bahkan


memberikan inspirasi suatu organisasi dalam mewujudkan
tujuannya.

Misi adalah pernyataan tujuan jangka panjang yang


membedakan satu organisasi dengan organisasi lainnya.
Pernyataan misi mengidentifikasi cakupan operasional
30

organisasi yang menggambarkan nilai dan prioritas suatu


organisasi, sifat dan cakupan operasi saat ini, evaluasi
potensi dan aktivitas masa depan yang menggambarkan
arah dan masa depan organisasi.

Demikian halnya Kementerian Keuangan, sebagai instansi


pemerintah juga memiliki Visi dan Misi sebagai berikut.
Visi:
“Menjadi Penggerak Utama Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia yang Inklusif di Abad ke-21”
Misi:
a) Mencapai tingkat kepatuhan pajak, bea dan cukai yang
tinggi melalui pelayanan prima dan penegakan hukum
yang ketat.
b) Menerapkan kebijakan fiskal yang prudent.
c) Mengelola neraca keuangan pusat dengan risiko

31
minimum.
d) Memastikan dana pendapatan didistribusikan secara
efisien dan efektif.
e) Menarik dan mempertahankan talent terbaik di

Kementerian Keuangan
kelasnya dengan menawarkan proposisi nilai pegawai
yang kompetitif.
Integritas
Tanpa Batas
Karena Kita Garda
32

Makna dari Integritas yaitu


berpikir, berkata, berperilaku, dan
Dari hati, bertindak dengan baik dan benar
serta memegang teguh kode etik
terdengar dan prinsip-prinsip moral.
melalui lisan, Perilaku utama dari nilai ini yaitu:
terlihat melalui 1. Bersikap jujur, tulus, dan dapat
dipercaya.
perbuatan. 2. Menjaga martabat dan tidak
melakukan hal-hal tercela.
Seberapa pentingkah integritas itu? Jika pertanyaan
tersebut ditujukan kepada pegawai Kementerian Keuangan,
maka sebagian besar pegawai akan menjawab “sangat sangat
penting”. Sebagian yang lain? Mereka akan menjawab
“sangat penting”.

Lantas mengapa masih ada pegawai dari Kementerian


Keuangan yang tertangkap karena kasus suap/penggelapan
atau malahan tuduhan terorisme? Memang, adanya
oknum-oknum tersebut merupakan sebuah pukulan bagi
Kementerian Keuangan. Hal ini menandakan bahwa

33
masih banyak hal yang harus diperbaiki dalam sistem/
manajemen di Kementerian Keuangan. Namun demikian,
Kementerian Keuangan tidak patah semangat dalam usaha

Kementerian Keuangan
untuk memerangi segala bentuk kecurangan. Sehingga
jawaban untuk pertanyaan di awal paragraf adalah mereka
merupakan orang-orang yang perlu dikasihani karena
mereka telah dibutakan mata hatinya dengan gemerlap
dunia ini. Mereka terlena dengan itu semua, sehingga rela
menggadaikan prinsip integritas yang telah dijaga selama
ini.

Ibu Sri Mulyani Indrawati pernah menuliskan, “...kita akan


tetap berdiri tegar, menatap dengan percaya diri, bahwa
kita mampu membangun Kementerian Keuangan yang
dapat dipercaya dan dibanggakan oleh rakyat dan bangsa
Indonesia”. Dengan demikian, seberat apa pun tantangan
untuk menerapkan prinsip integritas ini, setiap insan di
Kementerian Keuangan akan berusaha sekuat tenaga untuk
menaklukkan tantangan tersebut.
PNS Kementerian Keuangan tidak akan berkompromi
dalam urusan integritas. Reputasi Kementerian Keuangan
tergantung pada tindakan dan perilaku para pegawainya.
Itu sebabnya kita semua perlu bertindak dan berperilaku
yang benar secara moral, hukum, dan etika dalam setiap
situasi. Perilaku yang demikian secara berkelanjutan dan
seiring perjalanan organisasi akan membentuk budaya
integritas di Kementerian Keuangan.

Integritas dalam bekerja adalah bertindak dan berperilaku


menghindari situasi apa pun yang mungkin menciptakan
Karena Kita Garda

konflik antara kepentingan pribadi PNS Kementerian


Keuangan dengan kepentingan organisasi. Dengan
berintegritas kita menciptakan iklim rasa saling percaya
yang menjadi perisai terhadap praktik-praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme. PNS Kemenkeu mematuhi hukum,
peraturan, dan undang-undang di mana pun mereka
berada.
34

PNS Kementerian Keuangan bertanggung jawab untuk


memastikan bahwa kepentingan pribadi di luar pekerjaan
tidak mengganggu kewajibannya terhadap organisasi
Kementerian Keuangan. Semua pegawai di level apa pun
menghindari situasi di mana kepentingan pribadi (langsung
maupun tidak langsung), aktivitas di luar, atau kepentingan
keuangan, bertentangan/tampak bertentangan/berpotensi
bertentangan dengan kepentingan organisasi. PNS
Kemenkeu harus dapat mengungkapkan semua keadaan
yang mungkin dapat menyebabkan munculnya benturan
kepentingan dimaksud.

Terkadang, PNS Kemenkeu dapat tergoda untuk memberi


suap karena sepertinya ini adalah jalan termudah untuk
menyelesaikan pekerjaan. Namun bagi PNS Kemenkeu,
kelancaran pekerjaan atau yang dikenal dengan istilah
“uang pelicin” tidak dapat dijadikan pembenaran untuk
melakukan suap atau terlibat dalam bentuk perbuatan
korupsi lainnya. PNS Kemenkeu tidak akan terlibat dalam
tindakan suap dan/atau korupsi, baik sebagai pihak yang
memberi maupun sebagai pihak yang menerima karena
suap (penyuapan) adalah tindakan melanggar hukum.

Segala bentuk korupsi tidak dapat ditoleransi dengan


alasan apa pun. Korupsi merupakan perbuatan melanggar
hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang
lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan
keuangan atau perekonomian negara. Korupsi dapat berupa
penyuapan, penggelapan, pemerasan, perbuatan curang,
benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

Perubahan mungkin tidak nyaman bagi sebagian orang


yang tak ingin berubah. Rambut di kepala sama hitam, isi
otak tak akan tertebak. Dalam laut dapat diduga, dalam
hati siapa tahu. Biarlah mereka yang tak ingin berubah
anggap saja bukan bagian dari kami. Lebih baik berpisah
dari institusi ini. Hanya akan menjadi duri dalam daging,
menjadi setitik nila dalam susu yang sebelanga. Melawan

35
arus perubahan hanya akan merepotkan diri sendiri.
Kembalikan saja semua pada hati nurani.

Masuknya era reformasi birokrasi yang menumbangkan

Kementerian Keuangan
pondasi-pondasi korupsi, kolusi, dan nepotisme membawa
pengaruh pada dua kutub yang pro perubahan dan kontra
perubahan. Perbedaan budaya organisasi yang berbeda
awalnya membuat komunikasi dan hubungan personal
di antara anggotanya terhambat. Masing-masing pihak
merasakan adanya garis tak kasat mata yang selalu
ada. Modernisasi yang gaungnya terasa besar harus
mampu mengubah budaya-budaya yang kurang etis di
masa lampau. Perlu ada dorongan motivasi dari seluruh
pegawai yang masuk dalam alam reformasi birokrasi itu
dengan kesadaran penuh. Perilaku PNS Kemenkeu yang
berintegritas harus menunjukkan sikap jujur, tulus, dapat
dipercaya, bertindak transparan, konsisten, menjaga
martabat, tidak melakukan hal-hal tercela, bertanggung
jawab atas hasil kerja, dan bersikap objektif.

Dalam upaya membangun budaya integritas dan semangat


reformasi birokrasi, Kemenkeu memiliki peniup peluit dan
berakibat pada sanksi, bahkan sampai dibawa ke proses
hukum dalam rangka membangun budaya integritas
dimaksud. Kemenkeu telah meluncurkan ‘whistleblowing
system’ yang diberi nama WiSe pada tanggal 5 Oktober
2011. WiSe merupakan sistem berbasis internet yang
diharapkan memudahkan masyarakat, pegawai maupun
pejabat pemerintahan untuk melaporkan perbuatan-
perbuatan yang berindikasi pelanggaran disiplin PNS di
lingkungan Kemenkeu. Sistem ini merupakan komitmen
Kemenkeu memerangi tindak korupsi, kolusi, dan
nepotisme karena sampai saat ini masih saja ada oknum
Karena Kita Garda

pegawai Kemenkeu yang belum meninggalkan tindakan


KKN tersebut. Dengan adanya WiSe ini diharapkan
masyarakat dapat berperan memantau kinerja PNS
Kemenkeu.

Sikap integritas dalam bekerja pada prinsipnya adalah


muncul dari dalam diri setiap pegawai itu sendiri.
36

Meskipun demikian, organisasi dapat mendesain


lingkungan kerja sedemikian rupa sehingga dapat
mendorong para pegawai untuk bekerja dengan penuh
integritas.

Selain berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor


53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
pedoman untuk menjujung tinggi integritas dalam bekerja
juga tercantum dalam perangkat kode etik pegawai pada
masing-masing Unit Eselon I. Sebagai contoh, untuk Unit
Ditjen Kekayaan Negara telah ditetapkan PMK Nomor 01/
PM.06/2010 tentang Kode Etik Pegawai di Lingkungan
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan dalam kedua peraturan
tersebut akan mendatangkan sanksi bagi pegawai yang
bersangkutan. Dalam Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional
Revolusi Mental, integritas juga menjadi salah satu nilai
acuan untuk membangun budaya bangsa yang bermartabat,
modern, maju, makmur, dan sejahtera berdasarkan
Pancasila.
Di samping adanya perangkat peraturan yang mengatur
disiplin pegawai dan kode etik pegawai, keberadaan
Unit Kepatuhan Internal (UKI) pada masing-masing
Unit Eselon I juga menjadi bentuk komitmen organisasi
untuk mendorong terjaganya integritas pegawai dalam
menjalankan pekerjaannya.

Secara umum, peran UKI adalah dalam rangka


meminimalkan penyimpangan yang mungkin terjadi dan
secara umum dibagi menjadi lima tugas, yaitu pemantauan
pengendalian intern, tindak lanjut pengaduan masyarakat,
pemantauan tindak lanjut rekomendasi laporan hasil
pemeriksaan, pengendalian gratifikasi, dan penegakan
disiplin dan/atau kode etik.

Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih


dan bebas KKN serta peningkatan kualitas pelayanan
publik, Kemenkeu mendorong pencanangan pembangunan

37
Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas dari Korupsi
(WBK)/Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM)
pada seluruh unit di lingkungan Kemenkeu. Sasaran

Kementerian Keuangan
utama pembangunan ZI menuju WBK/WBBM adalah
peningkatan kapasitas dan akuntabilitas organisasi,
pemerintah yang bersih dan bebas KKN, serta peningkatan
pelayanan publik. Predikat ZI diberikan kepada instansi
pemerintah yang berkomitmen mewujudkan WBK/
WBBM. Sedangkan, predikat WBK diberikan kepada
unit kerja yang memenuhi sebagian besar manajemen
perubahan, penataan tata laksana, penataan sistem
manajemen SDM, penguatan pengawasan, dan penguatan
akuntabilitas kinerja. Predikat WBBM diberikan kepada
unit kerja yang memenuhi sebagaian besar manajemen
perubahan, penataan tata laksana, penataan sistem
manajemen SDM, penguatan pengawasan, penguatan
akuntabilitas kinerja, dan penguatan kualitas pelayanan
publik. Sampai dengan tahun 2016, unit-unit di Kemenkeu
yang telah berpredikat ZI menuju WBK/WBBM sebanyak
19 unit. Kemenkeu merupakan instansi pemerintah dengan
jumlah unit berpredikat ZI menuju WBK/WBBM terbesar
dari total instansi pemerintah berpredikat ZI menuju
WBK/WBBM sebanyak 52 unit.

“Integritas tanpa batas” hanya akan akan menjadi sebuah


retorika ketika kita tidak menemukannya dalam keseharian
PNS Kemenkeu. Banyak hal yang dapat dilakukan dalam
menerapkan integritas, misalnya budaya malu terlambat.
Pembangunan sistem untuk menumbuhkan prinsip
integritas telah dimulai sejak lama. Perlu kita segarkan
kembali ingatan kita, presensi menggunakan sidik jari
(fingerprint) baru dilaksanakan pada pertengahan tahun
Karena Kita Garda

2007. Sebelum itu, presensi dilakukan secara manual


dengan menuliskan jam masuk dan jam pulang kantor pada
buku presensi yang disediakan. Saat masih menggunakan
presensi manual, integritas pegawai Kementerian Keuangan
telah diuji. Dalam hal ini, tidak ada sistem yang mampu
mendeteksi bahwa pegawai melakukan kecurangan terkait
jam masuk dan jam pulang kantor. Sehingga pegawai
38

benar-benar harus mengisi jam masuk dan jam pulang


sesuai dengan kenyataan dan suara hatinya. Namun
ternyata kecurangan terkait penulisan jam masuk dan jam
kerja masih sering ditemui.

Lalu dimulailah era presensi menggunakan mesin


pemindai sidik jari. Dengan adanya mesin ini, pegawai
yang melakukan kecurangan tidak dapat lagi melakukan
manipulasi terhadap jam masuk dan jam pulang kantor.
Seperti lazimnya sebuah perubahan, tentunya muncul
ketidaknyamanan bagi sebagian pegawai Kementerian
Keuangan. Namun seiring berjalannya waktu, seluruh
pegawai Kementerian Keuangan telah terbiasa dengan
sistem tersebut.

Budaya malu terlambat ini menjadi bagian dari program


internalisasi pada beberapa Unit Eselon I, misalnya pada
Ditjen Pajak yang telah menerapkan kepada seluruh
pegawai sejak tahun 2016. Budaya malu terlambat bertujuan
untuk menumbuhkan rasa malu pada diri pribadi pegawai,
tidak hanya ketika pegawai terlambat datang bekerja, tetapi
juga ketika pegawai terlambat menghadiri agenda yang
telah ditentukan seperti rapat. Budaya malu terlambat ini
di antaranya diwujudkan dengan pegawai yang terlambat
hadir menuliskan alasan keterlambatan pada media
yang disebut papan kejujuran. Meskipun terlihat sepele,
kejujuran pegawai dalam mengungkapkan keterlambatan
merupakan salah satu realitas kesatuan pikiran, perkataan,
perilaku, dan tindakan yang dilakukan oleh pegawai dalam
koridor kode etik dan prinsip moral.

39
Kementerian Keuangan
Kami Adalah Fiskus,
Bukan Gayus

Oleh:
Sarwa Edi,
Pegawai DJP
Karena Kita Garda

Kebahagiaan kami adalah saat Allah berikan kesempatan kepada


40

kami untuk menjelaskan dan membuktikan kepada Wajib Pajak,


bahwa kami adalah pegawai pajak yang profesional.

Pagi itu udara Kota Bogor sangat dingin setelah semalaman


diguyur hujan. Puluhan angkot kosong warna hijau saling
serobot di jalan yang melingkari Kebun Raya. Bergegas aku
menuju kantorku, KPP Pratama Bogor.

Setelah memarkir kendaraan, absen dengan sidik jari, masih


ada waktu 30 menit sebelum pukul 07.30. Aku manfaatkan
waktu untuk melaksanakan salat Dhuha, lalu ke kantin
Bu Tinem di belakang kantor untuk sarapan. Selanjutnya,
bismillah aku siap bekerja.

Briefing dengan seluruh karyawan, menerima dan membuat


laporan, adalah rutinitas kami sehari-hari setiap akan mulai
bekerja. Pada saat briefing ada telepon dari sekretaris kepala
kantor. Ada Wajib Pajak yang datang dan complain masalah
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Dia ingin bertemu dengan
kepala kantor. Menjadi kesepakatan di kantor kami jika ada
Wajib Pajak yang mau bertemu kepala kantor akan ditangani
oleh kepala seksi terlebih dahulu, untuk mengetahui detail
permasalahan yang diajukan.

Aku mengambil buku dan pena untuk membuat catatan,


memeriksa name tag, dasi, semua sudah lengkap. Bergegas
aku menuju lantai atas. Gedung KPP Pratama Bogor
memang terkotak-kotak, ada beberapa gedung yang saling
terpisah. Maklum, gedung KPP Pratama Bogor termasuk
cagar budaya. Gedung depan yang dipakai untuk Tempat
Pelayanan Terpadu, Seksi Pelayanan, Seksi Pengolahan
Data dan Informasi, Subbagian Umum dan Kepala Kantor
letaknya agak naik, di bawahnya ada basement yang dulu
konon dipakai sebagai penjara dan tempat penyiksaan
tawanan di zaman Jepang. Masih terlihat ruangan bawah
tanah yang sempit dan hanya bisa dimasuki dengan cara
membungkuk, dengan jeruji besi yang masih kokoh.
Terbayang bagaimana beratnya nenek moyang kita dulu
yang harus dipenjarakan di sana.

41
Sesampainya aku di ruang tunggu, aku melihat sosok laki-
laki dengan setelan jas dan tas kulit yang terlihat mahal.

Kementerian Keuangan
Otakku langsung berpikir acak dengan analisis flowchart,
“Ini paling orang penting atau pejabat.” Deretan kata
arogansi yang sudah sering aku dengar langsung terbayang
dalam benakku. Luapan kemarahan dan makian seperti:
“Kalian orang pajak dibayar dengan uang rakyat”, “Kalian
kerjanya ngapain, ngurus pajak gak pernah becus”, “You
tahu siapa saya?” “Saya bisa memindahkan you besok pagi ke
Papua sana”, “You tahu gak, saya sering ketemu Darmin.”

Hanya ucapan bismillah yang aku ulang-ulang dalam hati.


Apa pun, siapa pun harus aku hadapi. Aku adalah pelayan
masyarakat.

“Bapak siapa?” tanya salah seorang di antara mereka


kepadaku.

“Saya Sarwa Edi, Kepala Seksi Ekstensifikasi Perpajakan.


Bapak dari mana? Ada yang bisa kami bantu, Pak?” tanyaku
basa-basi untuk membuka komunikasi.
Mereka menyebutkan nama lalu meminta penjelasan
beberapa hal yang terkait dengan PBB.

Dari nada dan gaya bicara mereka, jelas mereka bukan


orang-orang yang arogan. Alhamdulillah, dengan begini
tidak akan menguras emosiku dalam memberikan
penjelasan.

“Baik Pak, yang perlu kami jelaskan yang mana?”

Setelah memilah berkas asli dan fotokopi salah satu dari


mereka menyerahkan beberapa salinan SPPT (Surat
Karena Kita Garda

Pemberitahuan Pajak Terhutang).

“Begini Pak Sarwa, tanah saya terdaftar PBB-nya dari tahun


2001. Selama itu saya selalu membayar. Ini bukti bayarnya,”
sambil menyodorkan asli STTS (Surat Tanda Terima
Sementara). “Tapi kemarin waktu saya membayar sesuai
NOP ini, nama Wajib Pajaknya sudah berubah,” ungkapnya
42

menjelaskan.

“Pernah terjadi pemindahan hak atas tanah ke orang lain,


Pak?”

“Justru karena saya merasa tidak memindahkan hak atas


tanah, saya jadi bingung, kok tiba-tiba berubah. Dasar
perubahannya apa?”

“Baik Pak, saya coba analisis dulu untuk menjelaskan kenapa


terjadi perubahan data Wajib Pajak. Untuk memudahkan
analisis kita pindah ke ruang tamu seksi ekstensifikasi ya,
Pak, agar bisa kita lihat data dan petanya.”

Setelah dilakukan analisis dengan melihat catatan pelayanan


yang pernah diajukan dan Berita Acara Penelitian Lapangan
yang dibuat tahun sebelumnya, ketemulah benang
merah permasalahannya. Objek Pajak pernah dilakukan
pembetulan yang diajukan tahun sebelumnya dengan dasar
beberapa data surat pernyataan. Ini agak rumit. Harus ada
penelitian yang mendalam untuk menjelaskan masalah ini,
tapi inti permasalahannya cukup jelas.
“Baik Bapak-Bapak, secara garis besar objek ini telah
dibaliknamakan tahun lalu dengan dasar pembetulan. Bapak
kenal dengan Wajib Pajak yang tercatat sekarang?”

Mengalirlah cerita panjang lebar tentang orang yang


membaliknamakan Objek Pajak. Kesimpulan sementara
objek ini potensi sengketa.

“Baik Bapak, sementara hanya itu yang bisa kami jelaskan.


Kami minta waktu sepekan untuk menjelaskan secara
lebih detail tentang permasalahan tersebut. Bapak nanti
bisa telepon ke nomor kantor ini.” Mereka mencatat nomor
telepon kantor kami dan ekstensinya.

Hari berikutnya, giliran pihak “lawan” yang datang, empat


orang langsung masuk ke ruangan kepala seksi. Salam
“selamat siang” menggema di ruangan kami. Beberapa orang
dari mereka menunjukkan wajah sangar.

43
Aku mencoba menenangkan diri dan menanyakan kepada
mereka apa keperluannya.

Kementerian Keuangan
“Saya mau ketemu kepala seksi yang mengurus PBB. PBB
atas nama ini (menyebut nama Wajib Pajak) jangan dikutak-
katik. Alamat saya di kompleks pejabat.”

“Kami di sini tidak ditugaskan mengutak-ngatik data, Pak.


Kami ditugaskan untuk memperbaiki data; yang sudah
benar kita pertahankan, yang belum pas kita sesuaikan
dengan kondisi di lapangan dan sesuai dengan dokumen
pendukungnya,” jawabku, mencoba berdiplomasi.

“Tolong ya, kita itu saling membutuhkan, kalau ada apa-


apa telepon saya saja,” tuturnya sambil menyebut beberapa
pejabat di Bogor yang katanya semua adalah temannya.
Sementara tiga tamu yang lainnya tidak mau duduk, hanya
berdiri sambil melotot.

Agar tidak menimbulkan masalah berkepanjangan, aku


melaporkan semua kejadian tersebut kepada kepala kantor.
Beberapa orang yang berhubungan dengan permasalahan itu
dikumpulkan, lalu berkas dan objek pajak diteliti bersama-
sama.

Diam-diam kami melakukan pengecekan di lapangan,


mengecek ke kelurahan, mencari info ke kecamatan dan
tetangga sekitar.

Ketika semua data sudah cukup kuat, termasuk konfirmasi


data ke kedua belah pihak, kami buatkan berita acara.
Pembetulan data pun kami lakukan sesuai dengan dokumen
yang paling valid. Butuh waktu tiga bulan lebih untuk
Karena Kita Garda

menyelesaikan satu kasus ini.

Setelah itu kami buat Surat Pemberitahuan kepada kedua


belah pihak bahwa proses balik nama atas Objek Pajak tidak
sah, sesuai dengan dokumen-dokumen asli dan analisis
lapangan. Awalnya keputusan itu masih belum bisa diterima
oleh orang-orang yang membalik nama Objek Pajak.
44

Namun, dokumen dan saksi justru mengalahkan mereka.


Akhirnya Objek Pajak kembali kepada Wajib Pajak pertama.

Pada saat pengambilan SPPT, Wajib Pajak datang langsung


ke kantor, tanpa pendamping seperti pada awal kedatangan.
Sambil bercerita tentang kasus tanahnya, berkali-kali dia
mengucapkan terima kasih.

“Pak Sarwa, sebagai tanda terima kasih kami, karena Bapak


dan teman-teman Bapak sudah membantu saya, mohon
diterima ungkapan terima kasih dari kami,” desaknya sambil
menyodorkan satu amplop putih. Tebal.

“Bapak, kami menghargai ucapan terima kasih dari Bapak.


Tetapi tidak usah memberikan apa pun kepada kami. Ini
semua tugas kami, Bapak bisa melihat dan membaca di
media bahwa DJP sedang berbenah. Kami semua sedang
belajar bekerja profesional. Semua ini memang tugas kami.
Cukuplah Bapak dengan kami sebagai saudara. Bahkan
kami membutuhkan masukan dari Bapak untuk kebaikan
institusi kami.”
Sambil merajuk dan minta nomor ponsel, dia masih
mencoba mengangsurkan amplop tersebut. “Pak, tolong
diterima, saya ikhlas bukan untuk mempengaruhi Bapak,
tapi ungkapan terima kasih saya.”

“Mohon maaf, Pak, terima kasih sekali lagi. Kami sedang


berusaha menegakkan etika dalam bekerja, jadi tolong
dukung kami dengan tidak memberikan apa pun kepada
kami.” Aku melihat Bapak itu kecewa. Dia benar-benar
tulus. Tapi kami juga tulus melayani masyarakat. Karena
kami memang dibayar pemerintah untuk itu.

Hari ini ada perasaan yang membuncah, Allah memberikan


kesempatan untuk menjelaskan kepada Wajib Pajak yang
diyakini bukan sekadar Wajib Pajak, seorang manajer dari
perusahaan IT, bahwa kami adalah pegawai pajak yang
profesional.

45
Biarlah semua orang bicara tentang Gayus, karena Gayus
memang ada. Namun, kami ingin menunjukkan, bahwa
tidak semua pegawai DJP seperti Gayus, masih banyak
pegawai yang baik dan ingin hidup berkah, sama dengan

Kementerian Keuangan
yang lain. Kami adalah fiskus, bukan Gayus.

Biarlah semua orang bicara tentang Gayus,


karena Gayus memang ada. Namun, kami
ingin menunjukkan, bahwa tidak semua
pegawai DJP seperti Gayus, masih banyak
pegawai yang baik dan ingin hidup berkah,
sama dengan yang lain. Kami adalah fiskus,
bukan Gayus.
Pilihan Hidup Berintegritas
Adalah Jalan Kebahagiaan

Oleh:
Paulus Hatigoran Pangaribuan,
Pegawai DJBC
Karena Kita Garda

Tulisan ini berkisah tentang seorang pegawai DJBC yang


sedang bergumul dalam pilihan antara memutuskan
46

totalitas atau tidak sama sekali untuk bekerja dengan


integritas. Sebenarnya kejadiannya sudah cukup lama
dan menurut saya, kisah ini masih layak atau relevan untuk
diangkat sebagai cerita inspiratif, khususnya bagi mereka
atau teman-teman di DJBC yang sampai saat ini masih
ragu-ragu untuk mengambil keputusan jalan hidup atau
“way of life” menyatakan tidak sama sekali terhadap korupsi.
Saya juga memberanikan diri untuk mengungkapkan true
story ini karena saya tahu betul bahwa sampai pada saat
ini pun si pegawai masih tetap berkomitmen untuk tetap
menjalankan hidup yang telah dipilihnya itu.

Memang harus diakui, bahwa untuk menjadi jujur atau


istilah sekarang berintegritas, tidaklah mudah. Terlebih
lagi kalau kondisinya tidak memungkinkan untuk menjadi
orang jujur atau berintegritas lantaran penghasilan yang
diterima masih belum bisa mencukupi kebutuhan hidup
yang wajar, lingkungan kerja yang tidak mendukung di
mana semua orang atau mayoritas masih berbuat hal yang
sama, pemimpin yang tidak memberikan teladan yang
sepatutnya serta beragam dalih lainnya.
Alasan-alasan di atas seringkali dijadikan pembenaran
bagi seseorang untuk menyerah atau terpaksa memilih
hidup yang sama dengan kebanyakan orang. Namun
demikian, kisah di tengah-tengah bangsa ini membuktikan
bahwa alasan terbesar sebenarnya ada di dalam diri orang
itu sendiri. Sebagai contoh, bagaimana mungkin seorang
Kepala SKK Migas yang penghasilannya kurang lebih 300
juta per bulan masih terkena virus korupsi? Saya tidak
percaya penghasilan sebesar itu masih kurang.

Lantas apa permasalahannya? Apakah karena ada di


jajaran birokrasi maka seseorang mau tidak mau akan
terinfeksi virus korupsi? Bisa jadi hal ini senada dengan
pernyataan mantan ketua BKPM, Theo Toemion, “Saya
tersesat di birokrasi.” Maka, muncul anggapan bahwa
wajarlah atau jangan heran kalau suatu saat orang yang
baik-baik pada waktu masuk di birokrasi, lambat atau cepat
ia akan terkena serangan virus “ganas” ini.

47
Baiklah, apa yang saya sampaikan di atas hanya sebagai
prolog sebelum masuk ke dalam kisah inspiratif ini. Kisah

Kementerian Keuangan
ini berawal dari uang tips atau uang “terima kasih” yang
diberikan oleh pengguna jasa kepada si pegawai (sebut saja
Bang Polan) yang pada zaman itu dianggap wajar-wajar
saja karena kebanyakan orang juga melakukan hal yang
sama. Selanjutnya, lebih dari sekadar uang tips atau terima
kasih karena Bang Polan pada waktu bertugas di
Bidang Audit Kanwil DJBC Jakarta tahun 1999 sudah mulai
berani bernegosiasi dengan auditee untuk mendapatkan
“rezeki” tambahan. Sebenarnya apa yang dilakukan Bang
Polan adalah hal yang biasa karena hal yang sama pun
dilakukan oleh teman-teman sejawatnya. Di samping
itu, apa yang dilakukannya mungkin bisa dikategorikan
menjadi “hal yang baik” karena ia bisa memberikan
penghasilan tambahan buat anggota tim yang lain. Hal ini
dikuatkan dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga
dari anggota timnya karena “rezeki” yang ia berikan dapat
digunakan oleh si anggota tim untuk membiayai kuliah
anaknya.
Seandainya apa yang dilakukan oleh Bang Polan adalah
hal yang benar, tentunya Bang Polan tak perlu merasa
bersalah. Namun nyatanya, Bang Polan justru merasa
semakin tertekan atau tidak bahagia karena di dalam
dirinya berkecamuk sebuah perasaaan bahwa meski di
hadapan manusia ia dianggap sebagai pahlawan, namun di
hadapan yang Maha Kuasa sesungguhnya ia adalah seorang
pecundang yang tak berani mengatakan kebenaran atau
kejujuran. Rasa bersalah ini terus saja menyelimuti Bang
Polan, terlebih bila ia membandingkan dirinya dengan
teman sejawatnya yang ternyata bisa hidup jujur dan tidak
Karena Kita Garda

takut untuk melawan arus.

Selanjutnya, pada bulan April 2003 Bang Polan dimutasikan


ke Kanwil DJBC Sumut. Masih sebagai auditor. Di
tempat yang baru ini, tepatnya di tahun 2004, Bang Polan
sudah tidak tahan lagi dengan perasaan bersalah yang
menghantuinya. Pelan tapi pasti, di dalam dirinya mulai
48

ada keberanian untuk bekerja dengan penuh kejujuran


atau integritas. Namun, di saat timbul keberanian dan
ada keinginan yang kuat untuk berubah, Bang Polan
dihadapkan pada masalah lain. Anaknya yang pertama
ternyata divonis autis sehingga harus menjalani terapi
dan perlu penanganan khusus. Tentunya diperlukan biaya
yang tidak sedikit untuk itu. Setelah dihitung-hitung,
penghasilan yang diterimanya bakal terkuras untuk
membiayai pengobatan si buah hati. Dalam kondisi seperti
ini, sebagian besar orang mengatakan bahwa wajarlah kalau
Bang Polan harusnya menerima atau mencari “rezeki” yang
lain.

Luar biasa, ternyata dalam kesulitan dan ujian hidup yang


dialaminya ini, Bang Polan tetap memutuskan untuk
bekerja tanpa mendapatkan ‘uang sabetan’ lagi. Keputusan
ini disikapi Bang Polan dengan cara benar-benar
menolak “rezeki” mingguan, bulanan atau ucapan terima
kasih dalam bentuk apapun dari auditee setiap kali selesai
mengaudit. Sudah barang tentu, keputusan ini membuat
teman-temannya merasa heran. Bahkan ketua timnya,
sebut saja Bang Poltak, dengan rasa penasaran bertanya
kepadanya, “Mengapa kalau dulu mau duit, sekarang tidak
mau? Bukankah duit ini bisa dipakai untuk membantu
orang yang susah?”

Bang Polan pun menjawab bahwa ia ingin berubah. “Kalau


kita mau melakukan sesuatu yang benar caranya pun harus
benar, Bang Poltak,” tambahnya lagi.

“Saya kasih kamu duit karena saya melihat kamu


membutuhkannya untuk biaya pengobatan anak kamu!”.
tukas Bang Poltak dengan argumennya.

Bang Polan pun dengan mantap menjawab “Saya yakin


kalau saya melakukan yang benar maka ada jalan keluar
buat anak saya, Bang.”

Luar biasa! Ini artinya Bang Polan menyakini bahwa untuk


menolong si buah hati, ia tidak boleh mencarinya dari uang

49
yang tidak ‘jelas’.

Masih penasaran dengan sikap pegawai yang satu ini, suatu

Kementerian Keuangan
saat Bang Poltak menelpon Bang Polan dan meminta nomor
rekeningnya untuk mentransfer jatah atau bagian Bang
Polan. Entah bagaimana memang pada saat itu Bang Polan
sebenarnya juga membutuhkan uang karena istrinya baru
saja mengalami keguguran dan rahimnya harus dikuret.
Apakah ini sebuah kebetulan atau sebuah jawaban?

Ternyata buat Bang Polan itu bukanlah kebetulan dan


juga bukanlah jawaban. Keputusan untuk memilih gaya
hidup sebagai pribadi yang berintegritas sudah bulat dan
final sehingga dengan berteguh hati ia tetap menolak
rayuan atau godaan tersebut. Keputusan ini kelihatannya
konyol karena bagaimana bila suatu saat nanti Bang Polan
ternyata membutuhkan uang tambahan, apakah ia harus
kembali menerima uang sabetan? Tidakkah ini akan lebih
memalukan? Hal inilah yang pernah disampaikan oleh
sahabat karibnya, “Jangan sampai nanti kamu ternyata
mau duit lagi lho!”
Seiring dengan berjalannya waktu, di bulan Juni 2008
Bang Polan ditempatkan sebagai Pejabat Fungsional
Pemeriksa Dokumen (PFPD) di KPU Tanjung Priok.
Mungkin ada yang beranggapan bahwa ketika berdinas di
Bidang Audit ‘rezekinya’ tidak seberapa sehingga lebih baik
ditolak daripada bikin malu menerimanya. Namun, kini
dengan ‘rezeki’ yang lebih besar sebagai PFPD, Bang Polan
sebenarnya bisa saja mewujudkan impian untuk mengobati
anaknya yang berkebutuhan khusus tersebut. Dalam
perkembangannya, ternyata si anak bukanlah penyandang
autis, melainkan tuna rungu. Dengan “rezeki” tambahan
Karena Kita Garda

itu, semestinya Bang Polan dapat membeli alat bantu dengar


yang lebih canggih sehingga akan menolong proses tumbuh
kembang si buah hati. Bang Polan sekali lagi diuji dengan
kisah seorang temannya yang memiliki anak bermasalah
sama dan setelah dibelikan alat bantu dengar yang canggih,
perkembangannya pun membaik. Luar biasa, kali ini
50

pun Bang Polan tetap bersikukuh tak mau berpaling dari


keputusannya untuk hidup berintegritas.

Kebahagiaan terbesar bukan


karena kita memiliki materi yang
cukup dan melimpah, jabatan
tertentu yang tinggi, maupun
apresiasi yang didapatkan. Namun
ia datang dari pilihan-pilihan
tepat yang sesuai dengan hati
nurani kita, yaitu pilihan hidup
berintegritas kendati ada harga
yang harus dibayar untuk itu.
Selama berkarier sebagai PFPD, Bang Polan sama sekali tak
pernah luluh dengan rayuan untuk mendapatkan ‘rezeki’
tambahan yang dapat mengubah nasibnya. Selain itu, Bang
Polan pun dikenal tegas karena tidak bersedia berkompromi
dengan pengguna jasa. Hal ini terlihat dari SPTNP/
Notul yang diterbitkannya. Bahkan dalam bekerja, Bang
Polan mencoba mengajak teman- teman sejawatnya
untuk bekerja profesional dan memilih jalan tidak
berkompromi dengan tawaran dari si penggun jasa. Atas
ketegasannya ini, pernah suatu saat Bang Polan ditunggu
sejumlah preman di kendaraannya dan hampir- hampir
hendak dikeroyok oleh para preman tersebut karena mereka
merasa terganggu akan sikap dan kebijakan yang diambil
oleh Bang Polan.

Sikap dari Bang Polan ini berbuah aneka pertanyaan dari


teman-temannya sesama PFPD, “Aku kasihan lihat kamu,
Polan. Kamu sudah bekerja dengan tulus. Bagaimana

51
seandainya nanti kamu dipindah jauh?” Atau komentar
lainnya, “Aku nggak tega kalau kamu yang sudah bekerja
seperti ini ternyata malahan dipindah jauh, Polan. Coba deh

Kementerian Keuangan
kamu cari orang yang bisa membela atau menolong kamu.”

Bukan tanpa alasan bila teman-teman Bang Polan berkata


begitu karena cerita yang berkembang amat berbeda
dari fakta sebenarnya. Kabar yang terdengar justru Bang
Polanlah yang dituding sebagai biang kerok di kantornya.
Sungguh ironis, bukan?

Menghadapi kondisi ini, Bang Polan hanya berserah kepada


Tuhan dan ia tetap meyakini bahwa apabila institusi tidak
mengapresiasi apa yang sudah dilakukannya, maka Bang
Polan tetap mendapati sisi baik bahwa untuk membawa
perubahan atau kebaikan, memang ada harga yang harus
dibayar. Sebuah perubahan memang membutuhkan
pengorbanan.

Hingga pada suatu hari di bulan Nopember 2011, Bang


Polan dipanggil Sekretaris DJBC untuk di-interview tentang
visi, misi dan harapannya bagi DJBC. Dalam banyak hal
Bang Polan bercerita tentang harapan dan mimpinya
bahwa perubahan menjadi DJBC yang lebih baik adalah
suatu harga mati yang tak dapat ditawar lagi. Dan
akhirnya, tanpa terduga sebuah apresiasi diberikan oleh
institusi tercinta ini melalui Sekretaris bahwa Bang Polan
ditempatkan di bagian yang sesuai dengan karakter dan
visinya. Hebatnya lagi, ia dimutasikan ke kantor yang masih
memungkinkannya bisa melihat Monas setiap hari!

Sebagai penutup dari kisah ini, bahwa walaupun


Karena Kita Garda

terkabulnya keinginan Bang Polan untuk ditugaskan di


kantor yang dekat dengan domisili keluarganya merupakan
kebahagiaan tersendiri baginya, namun kebahagiaan
terbesar yang Bang Polan rasakan justru terbebasnya ia
dari perasaan bersalah yang selama ini menghantui dan
menderanya karena pilihan hidupnya sendiri. Kebahagiaan
terbesar bukan karena kita memiliki materi yang cukup dan
52

melimpah, jabatan tertentu yang tinggi, maupun apresiasi


yang didapatkan. Namun ia datang dari pilihan-pilihan
tepat yang sesuai dengan hati nurani kita, yaitu pilihan
hidup berintegritas kendati ada harga yang harus dibayar
untuk itu.
Bukan Suatu
Kebetulan

Oleh:
Untung Setyo Margono,
Pegawai DJBC

Kontan berita itu dengan cepat menyebar ke seluruh


pelosok tanah air. Berbagai media elektronik menjadikan

53
peristiwa itu sebagai breaking news. Wajah-wajah
tegang, penuh kekhawatiran serasa tak percaya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang biasa ditonton di

Kementerian Keuangan
televisi nun jauh di sana kini sedang beraksi di depan mata.
Satu per satu dengan tertunduk dan penuh penyesalan
para pejabat dikawal dari lantai empat ke lantai tiga Ruang
Kepatuhan Internal Kantor Pelayanan Utama (KPU)
Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok Jakarta. Setumpuk
ponsel berbagai merek yang disita KPK teronggok di
sudut ruangan, berdering bersahutan tiada henti seakan
menanyakan bagaimana nasib ayah, ibu, suami, istri,
anak, atau saudara mereka yang belum pulang. Tak sedikit
ponsel-ponsel itu berhenti berdering karena low batt namun
kebanyakan sengaja dimatikan tim IT KPK untuk di-
download semua informasi di dalamnya.

Pasca penggerebekan itu, Unit Kepatuhan Internal


menjadi salah satu pihak yang dipersalahkan oleh berbagai
kalangan. Mengapa tidak melakukan pencegahan?
Mengapa tidak diselesaikan internal saja? Mengapa…?
Mengapa…? Seakan seluruh telunjuk mengarah ke hidung
Unit Kepatuhan Internal sebagai biang keladi. Kegiatanku
mengawasi ruangan PFPD kala itu turut menjadi sasaran
pelampiasan kekesalan beberapa pejabat termasuk
intimidasi kekerasan fisik. Ah, inikah risiko dari sebuah
tugas yang dulu tidak pernah aku minta? Aku yakin pasti
ini semua bukan suatu kebetulan.

Aku bersyukur bisa bergabung dengan generasi pertama


Unit Kepatuhan Internal yang memang dirancang untuk
mereduksi berbagai penyimpangan. Generasi ini kumpulan
dari orang-orang yang memiliki keberanian dan integritas
Karena Kita Garda

yang patut ditiru, setidaknya kemauannya untuk berubah


mengawal reformasi birokrasi. Sosok setengah baya, Pak
Wahid misalnya, keberaniannya telah menginspirasi kami
semua. Suatu saat, karena sepak terjangnya dianggap
mengusik pihak tertentu dan ada intimidasi terhadap
keselamatan jiwanya, maka dengan tegar ia sampaikan di
hadapan para kepala bidang, ”Kalau saya nanti dibunuh,
54

saya minta dicari siapa pembunuh saya. Kalau tidak, ruh


saya akan menghantui Bapak-Ibu sekalian.”

Entah karena sabotase atau kecelakaan murni, beberapa


waktu sebelumnya Pak Wahid pernah menunjukkan sebuah
koran dengan gambar mobilnya yang terbakar habis di jalan
tol.

Kelugasan pegawai kepatuhan internal yang bekerja tanpa


canggung ini dilatarbelakangi oleh kehidupan mereka yang
sederhana. Jauh sebelum reformasi, aku sering memergoki
Mas Widodo di area parkir motor Gedung B Kantor Pusat.
Di jok motor bebek bututnya terlihat sebuah kardus besar
yang diikat dengan potongan karet dari ban bekas. Aku
baru tahu ternyata lelaki sederhana ini menjajakan belut
goreng ke teman-teman kantor dan sebagian dititipkannya
di koperasi.

Lebih fenomenal lagi kisah Mas Raharjo yang empat tahun


lebih senior dariku. Mas Raharjo pernah mengumpulkan
botol plastik dan kaleng untuk ditimbang secara kiloan.
Bahkan selama bertahun-tahun, sepulang kantor Mas
Raharjo tanpa malu memarkirkan motornya di ujung
jalan kampung untuk mengumpulkan setiap rupiah yang
halal dari para penumpang ojek yang ia lakukan. Memang
pengalaman ini mungkin tidak sedahsyat kisah seorang
kepala sekolah yang diliput TV swasta tengah bergelut
dengan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) untuk
mengais rezeki halal. Namun, buat seorang pegawai duane,
pengalaman ini sungguh luar biasa. Sangat kontras dengan
penuturan orang tua kita tentang kehebatan DJBC masa
lalu itu. Bagi seorang Mas Raharjo menjaga anak istri dari
uang haram merupakan prinsip yang tidak bisa ditawar.
Memang gaji DJBC kala itu tak sebanding dengan besarnya
godaan dan nama besar DJBC.

Aku jadi malu. Mungkin mertuaku dulu juga terpesona


karena statusku sebagai pegawai DJBC. Bisa jadi, mertuaku
yang seorang dokter di RSUD, membayangkan kehidupan
istriku bakalan makmur seperti dua orang kerabatnya yang

55
dulu pegawai DJBC. Beberapa bulan berlalu, istriku dan
mertuaku baru menyadari bahwa penghasilanku ternyata
pas-pasan. Lebih heran lagi rumah mertuaku kupenuhi

Kementerian Keuangan
dengan komputer dan laptop milik teman-teman kantor
yang kuperbaiki untuk mencari tambahan penghasilan.
Pernah di tengah malam, Yamaha Force One-ku hampir saja
terperosok ke selokan di sekitar Ciledug karena aku sangat
mengantuk. Malam itu aku baru saja mengantar pesanan
tiga buah Toshiba Tecra 8000 dari teman kantor yang
tinggal di kawasan Mugeni, Rawamangun.

Kadang terpikir di benakku mengapa aku harus sesusah-


payah ini? Sementara tanpa sengaja, suatu hari pernah
kutemukan buku tabungan bank di dalam tas laptop yang
akan kuperbaiki. Buku itu milik teman seruanganku.
Luar biasa, kulihat deretan mutasi kredit bernilai puluhan
bahkan ratusan juta rupiah di sana! Ah… mengapa aku
ber-su’udzon kepadanya? Mungkin ia punya usaha lain.
Aku tak boleh iri, karena setiap jiwa kelak akan dimintai
pertanggungjawaban dari mana hartanya diperoleh.
Bukankah setiap tetesan keringat dari jerih payah usaha
yang halal akan menggugurkan dosa-dosa? Aku juga selalu
ingat nasihat seniorku, ”Ketika kita menghindari yang
haram, Allah akan ganti dengan yang lebih baik dari yang
halal.”

Ah… itu semua masa lalu, aku sangat bersyukur dengan


adanya reformasi birokrasi yang dibarengi remunerasi.
Apalagi di Tanjung Priok masih ada tambahan tunjangan
kantor modern yang diirikan oleh teman-teman yang
belum menerima. Sungguh amat zalim bagi mereka yang
tidak bersyukur atas perubahan ini. Penghasilan yang
Karena Kita Garda

cukup pantas dibandingkan dengan jutaan rakyat Indonesia


yang bergelut dengan besaran bernama Upah Minimum
Regional (UMR).

Sayangnya, kejadian Jumat kelabu itu telah melukai hati


rakyat. DJBC yang digaji untuk menjaga penerimaan negara
justru menyelewengkannya. Ini merupakan beban berat
56

yang harus diemban Unit Kepatuhan Internal. Sikap tegas


Pak Wahid, Mas Raharjo, diriku, dan kawan-kawan bukan
tanpa risiko. Pak Wahid diancam pihak eksternal. Mas
Raharjo, karena sikap kritisnya terhadap pola penanganan
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sempat bersitegang
dengan kepala kantor. Aku sendiri harus berhadapan
dengan puluhan pejabat yang merasa terusik dengan
pelaksanaan tugasku. Uh… terkadang kami merasa putus
asa dengan kenyataan ini. Ingin rasanya aku ber-uzlah,
meninggalkan Tanjung Priok untuk mencari kehidupan
yang lebih baik.

***

Suara burung gagak hitam yang asing di telingaku


membangunkanku dari tidurku. Hawa dingin yang tidak
biasa kurasakan menyelimuti sekujur tubuh. Kubuka mata,
kubuka jendela…

Alhamdulillah aku sadar, aku telah berada ribuan kilometer


dari Tanjung Priok, dari tempat yang membelenggu
para pegawainya dengan bermacam godaan yang
membutuhkan kekuatan iman. Itulah tidur pertamaku
di Higashimurayama-shi Tokyo. Tekadku untuk bisa
melanjutkan S2 di luar negeri ternyata dikabulkan oleh
Yang Maha Kuasa. Kutancapkan dalam relung hatiku yang
terdalam bahwa ini bukan suatu kebetulan. Aku harus
berhasil. Aku harus berhasil! Menjadi yang terbaik! Aku
berjanji tidak akan menyia-nyiakan amanah dari uang
rakyat yang menyekolahkanku melalui program PPSDM.
Aku berjanji tidak akan melewatkan waktuku di negara
matahari terbit ini hanya untuk sight seeing. Aku harus
belajar banyak dari negara matahari terbit ini untuk
membangun institusiku.

Lokasi kampusku cukup unik, terletak di sekitar Roppongi


Hills Minato-ku Tokyo, salah satu kawasan elite di Jepang.
Persis di sebelah kampus terdapat landasan helikopter
milik militer AS hingga pada saat tertentu aku dapat
menyaksikan helikopter mendarat. Di lokasi ini pulalah

57
aku berlindung ketika gempa berkekuatan 8,9 skala richter
menghantam jepang pada tanggal 11 Maret 2011. Di sebelah
kiri kampusku berbatasan dengan The National Art Center

Kementerian Keuangan
Tokyo. Di kala musim dingin atau panas yang ekstrem aku
dan teman-teman sering melewati terowongan menuju
museum ini dari Stasiun Nogizaka.

Berkumpul dengan pelajar dari mancanegara membuat


semangat belajarku terpacu. Perpustakaan yang bersih
dan tenang menjadi tempat favoritku untuk belajar. Setiap
waktu salat tiba, aku dan teman-teman dari Indonesia,
Malaysia, Bangladesh, Pakistan, dan Benua Afrika segera
ke student lounge di mana pihak kampus menyediakan
musala. Tak jarang setiap Jumat aku menjadi imam dan
khatib di kampus. Karena asyiknya membaca buku atau
menyelesaikan tugas, seringkali aku pulang larut malam.
Aku harus menuju stasiun dengan segera karena butuh
satu setengah jam untuk mencapai asrama. Kesalahan
perhitungan bisa berakibat fatal karena terpaksa harus
menginap di stasiun kalau kehabisan kereta.
Sungguh pelajaran penting kuperoleh dari perjalananku ini.
Mengapa kota ini begitu aman? Puluhan kali aku pulang
sendirian larut malam dari Roppongi melalui Nogizaka
ke Harajuku, Sinjuku, Takadanobaba hingga Hagiyama
Eki (stasiun) tak pernah seorang pun menggangguku.
Kuperhatikan sekililingku. Aku tertarik dengan sebuah
tulisan berbahasa Inggris ”Surveillance Camera in Operation”.
Mataku refleks menatap ke berbagai sudut ruangan dan
ternyata puluhan kamera terpasang di tempat-tempat
strategis. Karena inikah kota ini aman? Aku jadi teringat
bahwa di Tanjung Priok pun ada kamera semacam ini.
Karena Kita Garda

Namun, mengapa efeknya tak seperti di sini?

Suatu ketika handphone temanku terjatuh entah di mana.


Atas nasihat senpai (kakak kelas), ia diminta melaporkannya
ke koban (kantor polisi). Seminggu kemudian sebuah
panggilan dari koban mengabarkan bahwa handphone-nya
telah ditemukan. Sungguh luar biasa. Sebuah tas yang
58

ketinggalan di kereta pun seringkali bisa ditemukan di lost


and found di stasiun kereta.

Pengalaman teman sebelah kamarku cukup membuatku


berdecak kagum. Ketika pulang dari sebuah taman, ia
ingin segera mandi dan istirahat. Betapa kagetnya ketika ia
merogoh saku celana, kunci kamarnya tidak ditemukan. Ia
hubungi pengelola Takasago Student House untuk meminjam
kunci cadangan, ternyata petugas tersebut tidak ada di
tempat. Ia lemas dan putus asa. Kepada siapa hendak
meminta tolong? Bayangan mandi air hangat dan tidur di
kasur empuk pun sirna sudah. Lengketnya keringat yang
membasahi pakaian menjadi pelengkap penderitaannya.
Satu-satunya solusi, ia kembali ke taman yang jaraknya
cukup jauh terus menyisiri tempat-tempat yang pernah
ia lalui. Hatinya diselimuti keraguan, mungkinkah bisa
menemukan sebatang kunci di tengah-tengah taman
rumput yang begitu luas?

Di tengah keputusasaan ia pun langsung menuju ke


pengelola taman. Subhanallah setelah menjelaskan sana-
sini, petugas menunjukkan sebuah kunci miliknya.
Makoto-ni Arigatou GozaiMashita, berkali-kali temanku
mengucapkan terima kasih kepada petugas taman sebagai
tanda rasa syukur. Ternyata terhadap hal-hal yang sepele
orang Jepang sangat menaruh perhatian.

Aku tak habis pikir bagaimana masyarakat yang dikenal


sebagai penyembah matahari ini bisa sebegitu tertib?
Jangankan mencuri atau korupsi, barang temuan
yang bukan haknya saja mereka kembalikan ke pihak
yang berwajib. Sangat kontras dengan negaraku yang
penduduknya beragama. Korupsi merajalela, jangankan
mengembalikan barang temuan, barang yang hati-hati
dijaga seringkali hilang dicopet orang. Sayang aku lupa
menanyakan ke sensei (guru) apakah ketertiban bangsa
Jepang ini bawaan sejak lahir atau melalui proses yang
panjang. Artinya, kalau melalui proses, aku berharap suatu
saat negaraku akan mencapai kondisi ini.

59
Tak terasa waktu berlalu. Keseriusanku belajar tak
sia sia. Dari 8 mata kuliah yang harus kuambil semua

Kementerian Keuangan
memperoleh grade A. Hanya satu mata kuliah tambahan
yang memperoleh B. Profesor Hirono Ryokichi yang
mengajar mata kuliah Development Assistance By International
Organization sangat terkesan dengan presentasiku. Profesor
senior ini mantan praktisi yang sudah melanglang buana
ke berbagai negara. Beberapa kali menjadi chairman dalam
pertemuan internasional. Ketika menanyakan asal usulku
ternyata ia sudah pernah juga ke Semarang.

Awal mulanya aku sudah mengira bahwa mata kuliah


ini pro paham globalisasi yang dimotori oleh badan-
badan internasional. Aku jadi teringat dengan kritik-
kritik Pak Syaiful (widyaiswara) yang selalu mengatakan
paham globalisasi dengan gombalisasi. Dengan lantang
kusampaikan di depan forum bahwa globalisasi dan free
trade lebih menguntungkan negara-negara maju dengan
multinational cooperation-nya. Mereka mendikte berbagai
kebijakan yang menguntungkan negara mereka, sementara
kami, developing and underdevelopping countries harus
meratifikasi. Aku secara khusus juga mengkritik kebijakan
negara Jepang. ”Japanese is very smart. You produce a lot of
cars. But I don’t find a lot of cars here as in my country. I don’t
find traffic jam here as in my country.” Profesor termanggut-
manggut menyetujui kritikku lalu meminta izin menyalin
materi presentasiku.

Impianku untuk memperoleh gelar Master of Public Policy


tinggal satu langkah lagi. Aku harus mempertahankan
tesisku. Dengan mengadopsi metodologi Fisman and Wei
Karena Kita Garda

(2004), aku mengambil judul ”Import Tax, Non-Tariff Barrier,


Customs Reform and Evasion: Evidence from Indonesia Singapore
Billateral Trade.” Beberapa peneliti berusaha membuat
parameter yang bisa mewakili tingkat penghindaran Bea
Masuk (BM) dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) atau
tax evasion. Salah satu dependent variable yang digunakan
adalah menghitung level discrepancy antara pemberitahuan
60

ekspor di negara pengekspor dengan pemberitahuan


impor di negara pengimpor sebagai proxy tax evasion.
Dalam tesisku ini aku menganalisis data ekspor dan impor
antara Indonesia dengan Singapura. Hasilnya cukup
mengejutkan. Hasil regresi sebelum dan sesudah reformasi
ternyata tidak menunjukkan adanya penurunan tax evasion
yang signifikan. Namun, untuk Non-Tariff Barrier terjadi
penurunan yang signifikan yang barangkali dipicu oleh
kepastian janji layanan, transparansi sistem dan prosedur
perizinan, serta peluncuran INSW.

Berdasarkan simpulan ini salah satu saran yang kuajukan


untuk mengurangi tax evasion adalah ”Deepening and
enhancing customs integrity”. Perlu tindakan-tindakan yang
serius (kalau perlu radikal) untuk mengatasi masalah ini.
Hongkong pada tahun 1974 mengganti seluruh polisi
dan jaksa karena diduga terlibat korupsi. Tiongkok pada
tahun 2007 telah mengeksekusi sekitar 4.800 orang
karena terbukti korupsi. Memang extraordinary crime perlu
disadarkan melalui extraordinary punishment yang extra
judicial. Tuhan sendiri mengajarkan dalam batas-batas
dan alasan tertentu seseorang patut mendapat hukuman
potong tangan. Terkadang kita melihat pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) dari sisi pelaku tetapi tidak melihat
pelanggaran HAM yang ditimbulkan dari tindakan pelaku
yang jauh lebih masif.

Berbagai pertanyaan, sanggahan, dan komentar dari


profesor dalam final defense telah kuselesaikan dengan baik.
Sampai akhirnya sebuah email kuterima dari Academic
Support Team yang berisi:

Dear Students,

We are pleased to inform you that you are receiving Dean’s Award
on the graduation ceremony. To give you some instructions on the
procedures for receiving the Award, we would like to ask you to be
in front of Sokairou Hall at 14:15 on Friday, September 16.

Should you have any questions, please do not hesitate to contact us.

61
Best regards,
Academic Support Team

Kementerian Keuangan
National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS)

Subhanallah! Alhamdulillah! Ku bersujud seketika setelah


membaca kata demi kata dalam email itu. Bibirku tak
henti-hentinya mengucapkan syukur atas kemudahan
yang Allah berikan selama studi. Sementara aku tak kuasa
menahan derasnya air mata yang terus mengalir membasahi
sajadahku. Aku masih tak percaya bisa mencapai ini semua.

Dean Awards yang diimpikan oleh setiap student, tahun


ini menjadi miliku. Aku terpilih menjadi salah satu dari
delapan orang terbaik dari masing-masing jurusan. Aku
juga berkesempatan berdiri di Sokairou Hall tempat di
mana Pak Susilo Bambang Yudoyono menyampaikan
ceramah ilmiah pada tanggal 31 Mei 2012. Disaksikan
para profesor dan perwakilan dari berbagai negara kami
bersalaman dengan President GRIPS, Takeshi Siraishi, dan
berfoto bersama Dean Tatsuo Oyama. Selama setahun ini,
foto kami berdelapan terpampang di portal GRIPS alumni.
Terimakasih ya Allah, atas segala karunia-Mu. Kembali
kuyakini bahwa semua ini bukan suatu kebetulan.

***

Sekembalinya ke Indonesia, tak kusangka aku ditempatkan


sebagai Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) di
KPU Tipe A Tanjung Priok Jakarta. Tempat di mana aku
dulu mengawasi para pejabat. Kini aku merasakan betapa
berat godaan sebagai PFPD. Batinku selalu bergolak antara
menjunjung tinggi amanah dengan godaan materi yang
Karena Kita Garda

merayu-rayu menjanjikan kenikmatan dunia. Kubayangkan


hampir seratus orang PFPD mendapatkan godaan yang
sama. Terjadi pertarungan sengit di setiap batin PFPD,
pertarungan antara harimau baik dan jahat. Dan dapat
dipastikan pemenangnya adalah harimau mana yang
lebih banyak diberi makan tiap hari. Dari sini pula aku
memperoleh jawaban mengapa tidak terjadi penurunan tax
62

evasion yang signifikan setelah reformasi. Semoga semua


ini segera berlalu dengan upaya-upaya perbaikan yang terus
dilakukan.

Aku sangat sedih mendengar kabar teman baikku yang


selalu kujadikan teladan telah secara resmi meninggalkan
DJBC untuk selamanya. Jabatan dan penghasilan yang
besar sebagai kepala seksi di Tanjung Priok ternyata tak
mampu menghalangi kecintaannya terhadap akhirat. Ia rela
mejadi kasir di sebuah warung makan dengan penghasilan
yang seadanya tetapi dipastikan halal. Sekarang kudengar
ia menjadi guru SD di sebuah sekolah Islam dengan gaji
sepersepuluh dari pendapatannya sebagai pejabat DJBC.

Ah, aku belum mampu mengikuti langkahnya. Sebagai


pilihan, aku harus berbuat yang terbaik di DJBC untuk
kelak ku pertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sungguh,
seandainya aku paham, sangat berat menjadi abdi negara
karena ”Barang siapa ditunjuk sebagai pemimpin, kemudian
ia meninggal dalam keadaan membohongi rakyatnya,
maka ia tidak akan mencium bau surga”. Namun apa daya,
sekarang aku berada di sini.
Aku yakin, mengapa Allah menggerakkan tangan-tangan
di Bagian Kepegawaian sehingga aku ditempatkan di sini.
Aku yakin ini bukan suatu kebetulan. Aku yakin siapa pun
kita, apa pun posisinya sekarang, bukanlah suatu kebetulan
menduduki jabatan itu, karena kelak semua akan dimintai
pertanggungjawaban tentang apa yang telah dilakukan.
Wallahu a’lam.

63
Kementerian Keuangan

Barang siapa ditunjuk sebagai


pemimpin, kemudian ia meninggal
dalam keadaan membohongi
rakyatnya, maka ia tidak akan
mencium bau surga.
Terminal Tas

Oleh:
Hiras Nomensen Pangaribuan,
Pegawai DJBC
Karena Kita Garda

Semua nama tokoh dalam cerita ini adalah samaran, namun


64

cerita yang disampaikan adalah yang sebenarnya.

Petugas yang satu ini sedang duduk di meja cokelat terbuat


dari kayu sambil mengerjakan tumpukan dokumen yang
harus segera diselesaikan. Ia akrab dipanggil Goby oleh
teman-teman seruangannya. Kali ini ia begitu bersemangat
menyelesaikan enam dokumen dengan permasalahan yang
sama, semuanya menyangkut kesalahan uraian barang. ”Pak
Goby, PNBP-nya sudah saya bayar!” teriak salah seorang
pengurus yang biasa dipanggil dengan sebutan PPJK.

Posisi loket yang berjeruji dan letak lantai yang agak


tinggi memang sedikit menyulitkan para pengguna jasa
yang berurusan dengan administrasi manifest. Sementara
itu pembangunan gedung yang belum selesai membuat
lapangan parkir motor menjadi lokasi yang paling nyaman
untuk minum kopi, merokok, makan gorengan sambil
menunggu dokumen yang mereka urus akan diselesaikan
hari itu juga.

Membayar PNBP sebesar 50 ribu rupiah adalah kewajiban


sebelum dilakukan perbaikan data dalam aplikasi manifest.
Setelah memastikan kembali bahwa telah dilakukan
perubahan pada aplikasi, pegawai PPJK yang berteriak tadi
akan berlari dengan cepat ke arah gudang tempat barangnya
tertahan.

Goby sedang membolak-balik halaman Majalah Warta


Bea Cukai edisi April 2010 ketika mendadak dari arah
belakang muncul seorang pelajar SMK yang sedang magang
membawa nota dinas dan buku ekspedisi.

“Pak Goby, mau ngantar dokumen,” ujar si pelajar SMK


pelan namun jelas terdengar. Keringat sedikit bercucuran
dari dahinya.

“Oh, iya, Dek. Tanda tangan di sini ‘kan?”

”Iya Pak, sama tanggalnya juga ya, Pak.” Goby pun


membubuhkan tanda tangannya.

65
“Terima kasih, Pak Goby,” ucap si pembawa nota dinas
sambil berlalu meninggalkan ruangan dengan membawa

Kementerian Keuangan
kertas yang sama untuk diantarkan ke unit seksi yang lain.

Nota dinas yang diterima Goby perihal pemindahan


pegawai. Ada enam orang yang dipindahkan. Namanya
berada di urutan kedua setelah teman seruangannya yang
juga ikut di-rolling. Tempat tugas yang baru bagi Goby
adalah Pelayanan di Terminal yang berada di bawah
pengawasan Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai.
Tepat tanggal hari itu sudah setahun enam bulan Goby
mengabdikan dirinya di Seksi Administrasi Manifest.
Setelah sekian banyak isu rolling pegawai (istilah yang
sering dibicarakan di kalangan pegawai), Goby harus
meninggalkan tempat kerja yang sehari-harinya ia habiskan
dengan duduk, mengetik, dan bergumul dengan dokumen
setiap jamnya.

Tertulis dengan cetak tebal di bagian akhir nota dinas,


Goby diwajibkan untuk melapor dan bertugas di unit kerja
yang baru tiga hari terhitung dari tanggal yang ada di sudut
kanan atas nota dinas. Tanpa menunggu waktu, segera
ia melapor kepada kepala seksinya untuk meminta izin
meninggalkan unitnya yang lama.

***

“Hari yang baru, tempat kerja yang baru.” Goby berkata


dalam hatinya. Ia memutar kunci motor matic dan
membiarkannya menyala agar mesin motornya panas.
Sambil menunggu motornya selesai ia panasi, Goby
pun bersiap-siap dengan seragam yang selama menjadi
Karena Kita Garda

pegawai belum pernah dipakainya. Setelan khas khusus


untuk bertugas di lapangan berupa kemeja lengan panjang
berwarna biru tua gelap. Sebelumnya sudah ada yang
mengingatkannya bahwa untuk pegawai khusus di terminal
penumpang menggunakan Pakaian Dinas Lapangan (PDL).
Perlahan dihirupnya harum seragam barunya ini. Tercium
bau khas pakaian yang cukup lama tersimpan di lemari.
66

Bahkan Goby pun masih ingat kalau seragam itu pertama


kali ia dapatkan 4 tahun yang lalu saat masih menjadi CPNS.

Diperiksanya lagi kelengkapan seragam yang ia kenakan.


Sepatu dinas yang tersemir hingga mengilat, ikat pinggang
baru, bivak yang telah disetrika malam sebelumnya,
pin bertuliskan slogan ”Menjadi Lebih Baik” berwarna
keemasan melekat di seragam baru, kartu identitas pegawai
Kementerian Keuangan dan terakhir kartu pas khusus
bandara yang diterbitkan oleh Administrator Bandara.
Hmm… hari ini benar-benar penampilan istimewa Goby.

Goby juga mendapatkan informasi bahwa pintu masuk


khusus petugas di terminal adalah melalui pintu ”Meeting
Point”. Pintu ini letaknya di lantai dasar dan berada di
tengah-tengah terminal. Goby pun mengikuti panduan yang
tertera pada papan kuning dan masuk melalui pintu khusus
yang dijaga oleh beberapa petugas keamanan bandara. “Sepi
sekali,” pikirnya.

Goby pun melihat sekelilingnya. Jam menunjukkan


tepat pukul tujuh pagi dan belum terlihat seorang pun
di Terminal 2D. Terminal Kedatangan Internasional
di Bandara Soekarno-Hatta terbagi atas dua terminal,
terminal 2D dan 2E. Terminal 2E khusus penerbangan
Garuda Indonesia dan Lion Air, sedangkan penerbangan
selebihnya mendarat di terminal 2D. Begitu informasi yang
didapatkan dari temannya di Seksi Administrasi Manifest
yang sebelumnya pernah bertugas di terminal. ”Hmm…
udaranya dingin banget,” gumam Goby sambil melipat
kedua tangannya ke dalam jaket hitam yang dipakainya
sejak berkendara dari rumah.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Jaket yang dipakai saja


tidak cukup untuk menahan udara dingin yang menusuk
tulangnya. Dari kejauhan hanya terlihat dua orang petugas
kebersihan yang telah terbiasa dengan udara dingin, sibuk
menyapu dan mengepel lantai. Memang ada perbedaan yang
mencolok antara lantai yang sudah dibersihkan dengan
alat khusus berbentuk bundar dan pengoperasiannya

67
menggunakan mesin itu. Bayangan pantulan sinar lampu
pada lantai yang telah dibersihkan terlihat dengan jelas.
Sebaliknya, bagian lantai yang belum dibersihkan berwarna

Kementerian Keuangan
buram dan kasar.

Tok, tok, tok. Goby mengetuk pintu ruangan kepala


seksinya.

“Iya, masuk,” terdengar sahutan dari dalam ruangan. Goby


pun masuk.

“Selamat pagi, Pak. Nama saya Goby.”

“Oh iya, Goby, selamat pagi. Silakan duduk. Selamat datang


di terminal.” “Siap, Pak,” jawab Goby dengan bersemangat.

Ada nama ‘Reynald’ tertera di sudut atas kantong seragam


sang kepala seksi. “Nama saya Reynald,” ujar kepala seksi
tersebut. Kalimatnya membuyarkan pandangan Goby yang
terlihat jelas amat fokus ke arah badge nama pada seragam
atasan barunya itu. ”Tapi, panggilan akrab saya Ray. Jadi,
tidak usah sungkan-sungkan memanggil saya dengan nama
Ray,” tegas Pak Reynald penuh wibawa.

“Baik, Pak.”

“Hari ini kebetulan ada petugas kita yang sedang


berhalangan, jadi saya minta bantuan Goby untuk cepat
menyesuaikan diri dengan teman-teman yang lain ya. Jika
ada yang perlu ditanyakan mengenai cara kerja di sini, bisa
bertanya pada saya,” jelas Pak Ray. ”Nah, sekarang Goby
bisa sarapan dulu di ruang sebelah, kita sudah menyediakan
sarapan untuk semua pegawai yang dipotong setiap
Karena Kita Garda

bulannya dari uang makan,” tambahnya lagi.

Pak Ray tampaknya mudah akrab dengan siapa saja. Sesaat


setelah keluar dari ruangan Pak Ray, Goby pun masuk
ke ruang makan yang posisinya tepat berada di sebelah
ruangan Pak Ray. Ruang makan berisi dua buah kursi
panjang dengan meja makan kecil di tengah. Di sudut
68

ruangan ada sebuah televisi dan di sampingnya terdapat


lemari kayu dengan enam belas nomor berurut pada setiap
pintunya. Tampaknya lemari ini berfungsi sebagai semacam
locker yang digunakan untuk menyimpan barang-barang
pegawai.

“Dek, ayo sarapan dulu,” sapa ramah seorang pegawai


berusia empat puluhan yang ada di sana. ”Kalau yang
karetnya satu isinya telur, terus kalau karetnya dua isinya
rendang tuh, Dek”.

“Iya, Pak, terima kasih. Tadi sebelum berangkat saya sudah


sarapan di rumah,” jawab Goby.

“Oh, kalau gitu minum teh manis dululah di sini. Yang


kemarin kena rolling-an ya, Dek?”

“Goby, nanti bantu teman-teman yang di E ya! Tadi saya


lupa bilangin kamu.” Tiba-tiba Pak Ray telah berdiri di
pintu ruang makan.

“Siap, Pak. Jadi, saya di E ya, Pak?” tanya Goby memastikan


kembali.
“Pak, saya izin ke E dulu,” pamitnya pada Bapak yang tadi
menawarinya sarapan.

Sambil berjalan ke arah terminal 2E, diperhatikannya


conveyor belt yang berbentuk seperti huruf U di Terminal
2D. Ada lima buah conveyor belt di sana. Conveyor belt nomor
lima dan enam dipisahkan oleh antrean imigrasi yang
tepat berada di depan ‘Meeting Point’. Terminal Kedatangan
2E dimulai dari conveyor belt nomor enam sampai nomor
delapan. Salah satu alasan mengapa di terminal 2D lebih
banyak conveyor belt-nya adalah karena jumlah penerbangan
yang mendarat di terminal 2D lebih banyak dari terminal
2E.

Sesampainya di terminal 2E, Goby mendapati lima ruangan


khusus untuk Bea Cukai di sana. Ada ruang kasir, ruang
makan/dapur, ruang administrasi, ruang kasubsi dan
gudang untuk barang-barang penumpang yang belum

69
diselesaikan kewajiban pabeannya. Di depan conveyor belt
nomor delapan, terdapat pemeriksaan Bea Cukai yang
menggunakan tiga buah mesin X-ray. Dua buah mesin

Kementerian Keuangan
X-ray model lama dan satu buah mesin X-ray model baru
(sepertinya sudah lama tidak digunakan karena bentuknya
yang terlalu besar dan menyulitkan untuk memasukkan
barang/bagasi).

Setelah meletakkan jaket yang dipakainya di ruang


administrasi, Goby pun menemui seorang petugas yang
berdiri tepat di belakang mesin X-ray yang letaknya
berdekatan dengan ruang kasir. ”Pagi, Pak,” sapanya pada
pegawai yang berseragam lengan panjang juga itu.

”Pagi, Goby. Tadi udah ketemu sama Pak Ray?”

“Sudah, Pak”

“Bagus. Saya Otto. Kita sama-sama pemeriksa barang


di sini. Tugas kita di sini ada dua, memeriksa barang
penumpang dan menerima CD. Tahu CD ‘kan?” Petugas
bernama Otto itu memandangnya dengan sedikit ragu.
”Tahu, Pak. Sebelumnya saya sudah baca aturan tentang
penumpang kok,” sahut Goby meyakinkan.

“Baguslah,” ujar Otto lega.

”Karena hari ini hanya ada Goby dan saya yang jaga, kita
ganti-gantian memeriksa barang dan menerima CD-nya ya?
Nanti Goby bisa memperhatikan saya waktu menerima CD
dan memeriksa barang,” tuturnya lagi.

“Baik, Pak.”
Karena Kita Garda

“Nah, teman kita yang di P2 yang nanti menentukan


barang-barang mana saja yang akan kita periksa. Pokoknya
lihatin saya dulu aja deh,” jelas Otto menambahkan.

Tak berapa lama kemudian, terdengar pengumuman bahwa


pesawat Garuda Indonesia dari Amsterdam mendarat.
Setengah jam setelah pengumuman barulah terlihat
70

penumpang keluar dari imigrasi dan menunggu bagasi di


conveyor belt nomor tujuh. Seluruh penumpangnya adalah
orang asing (istilah yang cocok dipanggil bule). Tampaknya
para penumpang ini tergabung dalam rombongan sebuah
tur perjalanan. Sekalipun beberapa penumpang sudah
memperoleh barang bagasinya, mereka masih menunggu
temannya yang lain yang belum mendapatkan bagasi. Baru
setelah conveyor belt berhenti dan semua barang bagasi
berada di troli, seorang pemandu tur berjalan ke arah Otto.

“Pagi, Pak Otto,” Sapa pemandu tur dengan akrab. Agaknya


ia mengenali nama Otto dari seragam dinas yang dikenakan
Otto.

“Pagi. Ada rombongan tur ke mana nih?” Tanya Otto.

“Mau ke Bali semua, Pak.”

“Okey, Sir and Mam, please your Customs Form,” Teriak Otto
dengan bangganya karena bisa menggunakan bahasa Inggris
dengan fasih.

“Good Morning, Sir. Please your hand carry, please.” “Good


“Morning, Mam. Please your hand bag, please.” “No baggage, hand
carry only.”

“Thank you, Sir.” “Thank you, Mam.”

Berulang-ulang Otto mengulangi kalimat tersebut dan


terlihat senyum ramah para penumpang menanggapinya.
Seluruhnya mengikuti panduan Otto dan dengan senang
hati memasukkan barang bagasi mereka ke dalam mesin
X-ray. Seluruh penumpang membalas keramahan Otto
dengan senyuman. Agaknya mereka benar-benar merasakan
kehangatan dan keramahan orang-orang Indonesia--
termasuk Otto, dalam perjalanan wisata beberapa hari
mereka di tanah air.

Petugas dari P2 memperhatikan dengan teliti warna-warna


yang berjalan di layar mesin X-ray. Mengamati warna hijau,
jingga, dan biru, sambil sesekali menekan tombol-tombol

71
tertentu yang bermaksud untuk memperjelas benda yang
mungkin terlihat samar-samar. Namun, pada penerbangan
kali ini tidak ada seorang penumpang pun yang diperiksa.
Umumnya penumpang yang mengikuti tur perjalanan

Kementerian Keuangan
sudah terlebih dahulu mendapat arahan dari pemandu
tur tentang aturan mengenai barang-barang apa saja yang
dilarang dibawa ke Indonesia.

Biasanya mereka hanya membawa barang-barang keperluan


pribadi seadanya saja dan paling tidak suka membawa
barang-barang yang berisiko membuat masalah selama
dalam perjalanan.

Setelah penumpang yang terakhir memasukkan tas


tangannya ke mesin X- ray, terdengar kembali pengumuman
tentang pemberitahuan pendaratan Garuda Indonesia dari
Singapura.

“Goby, CD yang dikumpulkan ini nanti diserahkan


ke teman kita yang di administrasi untuk diarsipkan.
Penumpang dari tur biasanya baik-baik semua. Mereka
nggak suka bawa yang aneh-aneh.” Tutur Otto. ”Nah,
sebentar lagi penumpang yang dari Singapore biasanya
banyak orang kita. Orang-orang kita sendiri ini yang
biasanya suka bawa yang aneh-aneh. Diminta untuk
memasukkan barangnya ke mesin X-ray saja banyak yang
marah-marah, padahal kalau mereka di Singapore nggak
ada juga yang berani macam-macam tuh!”

“Sewaktu saya nanti menerima CD, kalau ada barang yang


mau diperiksa, diperiksa aja. Nanti membongkar barangnya
hati-hati dan kalau bisa mintakan sama penumpangnya saja
untuk membongkar barangnya sendiri. Nah, nanti tanyakan
Karena Kita Garda

sama teman kita yang di P2, bagian di bagasinya yang mana


yang perlu diperiksa. Jangan dibongkar semua karena
terkadang penumpang tidak suka kalau kita mengacak-
acak barangnya tanpa sebab yang tidak jelas,” tambah Otto
panjang lebar plus wanti-wanti agar Goby berhati-hati saat
memeriksa barang penumpang nanti.
72

“Siap, Pak Otto.”

Dan memang, terjadi pemandangan yang berbeda sekali


dengan pemandangan yang sebelumnya. Dengan langkah
terburu-buru seperti mengejar janji yang sudah terlambat,
seorang eksekutif muda dengan setelan jas dan tas laptop
memberikan Customs Form-nya kepada Otto.

“Selamat Pagi, Pak.” Sapa Otto. Tidak ada balasan kata atau
bahkan senyum pun tidak dari si penumpang. Dengan
cueknya penumpang ini memasukkan barang bawaannya ke
mesin X-ray.

Beberapa penumpang yang kedatangannya ke Jakarta


untuk kepentingan bisnis juga terlihat kurang ramah.
Hanya sedikit penumpang yang membalas sapaan Otto.
Namun, agaknya Otto tidak terlalu mempersoalkan apakah
sapaannya dibalas atau tidak.

“Maaf, Bu, tentengannya tolong dimasukkan ke X-ray ya.


Koper yang ini juga,” sapa Goby pada seorang penumpang.

Tidak ada responss. Sambil asyik bertelepon, seorang


perempuan setengah baya berjalan saja dengan santainya
melewati Goby.

“Bu, tolong tentengan dan kopernya dimasukkan ke mesin


X-ray dulu!”

Si ibu yang sedang asyik bertelepon-ria itu tetap tak peduli


pada permintaan Goby.

“Bu! Tolong HP-nya dimatikan dulu. Tentengan sama


kopernya dimasukkan ke X-ray ya,” kejar Goby sambil
berlari memanggil si ibu yang hampir mendekati pintu
keluar itu.

“Bentar ya, Mbak Yuli. Bapak ini dari tadi ngeganggu terus.
Yang mana, Pak?!” tanyanya gusar.

“Tentengan sama kopernya, Bu.” Sahut Goby agak terengah-


engah.

73
“’Kan tadi di Singapore sudah diperiksa, kenapa di sini
diperiksa lagi sih, Pak?” protes si ibu. “Lagian pulang ke
negeri sendiri, kok di scan-scan segala. Kan saya nggak ada

Kementerian Keuangan
bawa narkoba. Bapak udah lihat Customs Form saya belum?
Ini green channel ‘kan? Ngga ada yang saya declare Pak, jadi
untuk apa lagi tas sama koper saya diperiksa-periksa?”

“Bukan begitu, Bu. Kami hanya memastikan saja. Semua


barang tentengan memang harus masuk mesin X-ray,
sedangkan barang bagasi Ibu kita periksa secara random.
Semua penumpang kami perlakukan sama, jadi mohon kerja
samanya ya, Bu. Kalau memang tidak ada barang yang aneh-
aneh, pasti ibu tidak berkeberatan bagasinya di-scan ‘kan,
Bu?” Jelas Goby.

“Kopernya berat, Pak!” tukas si ibu cepat.

“Sini saya bantu, Bu.”

Untuk barang bagasi, petugas dari P2 yang melakukan


pemeriksaan bagasi berada di belakang conveyor belt. Jika ada
bagasi yang dicurigai dan memerlukan perhatian khusus,
petugas akan memberikan tanda khusus di bagasi tersebut.
Tanda khusus inilah yang menjadi panduan bagi petugas
pemeriksa barang untuk memastikan kembali bahwa
barang tersebut perlu dilakukan pemeriksaan fisik atau
tidak.

Petugas P2 melihat di mesin X-ray bahwa di tentengan


terdapat tas dalam kondisi baru. Di dalam koper juga
terlihat ada dua buah tas lagi seperti dalam keadaan baru.
Petugas P2 meminta Goby untuk melakukan pemeriksaan
fisik atas barang-barang yang dibawa penumpang paruh
Karena Kita Garda

baya tersebut.

“Ibu, maaf, tentengan sama kopernya diperiksa dulu”

“Aduuhhh, Pak, kok saya dipersulit-sulit gini sih! Tadi


disuruh masukkan ke mesin scan, sekarang mau dibongkar-
bongkar lagi,” sahut si ibu kesal.
74

“Iya, Bu. Mohon maaf, kami melihat di mesin scan ada


barang yang mencurigakan. Jadi kami perlu memeriksa
secara detail barang yang Ibu bawa.”

“Terserah Bapaklah! Pokoknya saya nggak mau barang saya


diacak-acak apalagi sampai rusak. Kalau ada apa-apa sama
barang saya, Bapak yang tanggung jawab. Saya nggak mau
tahu!”

“Iya, Bu. Saya pastikan barang Ibu aman selama dalam


pemeriksaan saya.” Goby membantu ibu tersebut
mengangkat kopernya ke meja tumbang. Sambil menunggu
ibu tersebut membuka kunci koper, Goby membuka dan
melihat isi dalam tas tentengan si penumpang.

“Tas ini baru ya, Bu?” tanyanya.

“Iyalah, Pak! Bapak nggak lihat labelnya? Bapak ini gimana


sih? Emangnya Bapak nggak bisa bedain tas yang baru sama
yang lama apa?”

Setelah membuka kopernya, ibu tersebut menunjukkan ada


dua tas lagi dalam kopernya dengan merek yang berbeda.
Ketiga tas tersebut merupakan merek-merek yang ternama
yang harganya selangit.

“Tas ini juga baru kok, Pak! Baru saya beli dari Singapore,”
jelas si ibu bangga.

“Oh, harganya berapaan, Bu?”

“Beda-beda Pak. Kalau yang ini harganya kurang lebih


delapan ribuan dollar gitulah. Tas ini saya pakai sendiri.
Nah, kalau yang ini buat oleh-oleh keluarga saya di
sini. Yang dua ini harganya kira-kira empat ribu dollar.
Memangnya kenapa, Pak?”

“Hmm, boleh saya lihat paspor Ibu?” Meski enggan, si ibu


itu pun menyerahkan paspornya pada Goby. Terlihat nama
yang tertera di paspor tersebut, Angelica Riyani.

75
“Tadi Ibu Angelica sudah mengisi customs form-nya?”

“Sudah, Pak. Tadi saya kasih sama Bapak yang cerewet itu di
sana.”

Kementerian Keuangan
Goby pun menghampiri Otto dan meminta customs form atas
nama Angelica Riyani. Dilihatnya pengisian customs form
tersebut, satu pun tidak ada yang dicentang pada pilihan
”Ya”. Seluruhnya dicentang pada pilihan ”Tidak”.

“Sebelum Ibu mengisi customs form ini, apakah Ibu sudah


membaca terlebih dahulu?”

“Sudah Pak, barang ini ‘kan barang pribadi saya semua.”

“Ibu Angel membeli dan membawa barang melebihi batas


yang ditetapkan yaitu 250 dollar per orang.”

“Terus?”

“Untuk kelebihan tersebut, Ibu Angel harus membayar bea


masuk dan pajak dalam rangka impor ke negara.”

“Pajak apaan, Pak? ‘Kan di situ nggak ada diberitahukan


kalau saya harus bayar pajak? Tadi pas di Singapore saya
juga nggak ditanya-tanyain seperti ini. Selain saya, tadi
banyak juga kok yang bawa tas seperti ini, nggak ada yang
diperiksa, kenapa hanya saya saja yang diperiksa? Bapak
diskriminasi dong namanya kalau begitu!”

“Bukan begitu, Bu ….”

“Bukan begitu bagaimana, Pak? Kalau batasannya 250


dollar, semua orang yang satu pesawat sama saya pasti juga
belanja di Singapore. Pasti lebih, nggak mungkin nggak.
Karena Kita Garda

Bapak periksa aja tuh semua barang bagasi mereka! Jadi


Bapak jangan hanya nyuruh saya bayar pajak, mereka suruh
bayar pajak juga. Itu baru adil namanya!”

“Iya ibu Angel, ibu bisa ikut saya ke ruang kasir sekarang.
Nanti mengenai berapa jumlah pajak yang ibu harus bayar,
kita hitung sama-sama di sana ya.”
76

“Ah, sudahlah, Pak. Saya buru-buru ini, saya ada janji sama
anggota DPR siang ini.”

“Proses pembayarannya tidak lama, Bu. Setelah Ibu


membayar pajaknya, Ibu nanti akan menerima bukti
pembayaran dan Ibu dapat memastikan di kantor pajak
bahwa pajak yang Ibu setorkan seluruhnya masuk ke kas
negara.”

“Saya nggak percaya, Pak! Bapak satu intansi sama pegawai


pajak yang baru tertangkap itu ‘kan? Kita baik-baik bayar
pajak, eh bapak-bapak sekalian enak-enak makan uang kita.”

Sembari mengeluarkan dompet dari tas tangannya,


beberapa lembar uang pecahan 100 dollar disodorkan
kepada Goby.

“Udahlah, Pak, saya nggak mau lama-lama. Di sini aja.”

“ Maaf, Ibu, tidak bisa!”

“Pak Bea Cukai, saya kenal dekat dengan anggota DPR.


Sudah baik saya mau ngasih uang ini sama Bapak. Udah,
Pak, terima saja, lumayan buat tambah- tambah penghasilan
Bapak”.

“Mohon maaf, Bu. Gaji yang negara berikan kepada saya


sudah lebih dari cukup.”

“Bapak jangan sok sucilah, semua orang juga tahu kok, Pak.
Lagian ‘kan cuman ada Bapak dan saya di sini. Nggak ada
yang lihat, Pak!”

“Sekali lagi mohon maaf, Bu.”

Sampai berulang kali, Bu Angelica terus menyodorkan


uang kepada Goby dan berulang kali pula Goby berkukuh
menolak. Bu Angelica pun mencoba menghubungi beberapa
kenalan yang menurut pengakuannya anggota DPR.

Akhirnya setelah dilakukan perhitungan atas tas yang


dibawa Bu Angelica, berdasarkan bahan baku pembuatnya,

77
tas tersebut terkena pajak pertambahan nilai barang mewah
yang menyebabkan nilai pajaknya semakin tinggi.

Setelah beberapa lama terjadi perdebatan, Bu Angelica

Kementerian Keuangan
memutuskan untuk tidak membayar pajak tersebut dan
menerima selembar kertas yang menerangkan bahwa
tas tersebut dititipkan kepada Bea Cukai dengan batas
waktu pengambilan dan pembayaran adalah 30 hari.
Tas-tas tersebut pun masuk ke dalam suatu ruang khusus
penyimpanan milik Bea Cukai yang berisi barang-barang
yang belum diselesaikan kewajiban pabeaannya.

Goby dan Otto terus saja bergantian memeriksa barang


penumpang dan menerima CD. Mereka berdua tetap
melaksanakan tugas dengan penuh senyum sekalipun setiap
harinya banyak menghadapi perlakuan yang tidak sopan
dari penumpang. Mereka sadar bahwa kesempatan terbuka
begitu luas untuk dapat memperkaya diri, tapi mereka tidak
lakukan karena mereka punya harga diri yang tidak bisa
dibeli.
......

Oleh:
Teguh Iman Subagyo,
Pegawai DJBC
Karena Kita Garda

Klender , Rawamangun 1994


78

Malam semakin menua, tertatih pelan menuju hari yang


baru. Hening. Tiada lagi hiruk-pikuk keributan dari
tetangga sebelah. Gang sempit berdebu di depan rumah
tampak lengang setelah seharian menggeliat dalam terik
matahari, bercampur keringat orang-orang yang sibuk
mencari nafkah. Rumah-rumah petak di seputaran
rumah seakan tertidur pulas, menyembuhkan lelah dalam
getirnya hidup para penghuninya. Tukang minyak, sopir
angkot, teman seprofesiku –tukang ojek, barangkali sudah
terlempar dalam pusaran mimpi. Mimpi tentang hidup yang
lebih baik. Mimpi memiliki rumah sendiri walau sekadar
rumah sederhana tipe 21 berdinding batako, beratap asbes,
bukan rumah petak kontrakan di gang sempit. Rumah
yang ada halamannya, tempat istrinya akan menanam
sayur-sayuran dan barangkali, bunga bakung. Maka ia akan
memandanginya dari teras setelah lelah bekerja, sambil
menghirup secangkir kopi pahit. Gambaran hidup yang
begitu sempurna.

Kalau aku sendiri jarang bermimpi, tapi kalau mau disebut


sebuah impian aku berharap punya motor yang sehat,
tidak suka mogok. Motorku sekarang, bebek keluaran
tahun ‘74 memang paling hobi mogok. Bayangkan setelah
lama antre, nangkring stand by menunggu penumpang
dengan pose bak “The Doctor” Valentino Rossi, begitu
dapat dan naik di boncengan, eh, malah motornya mogok.
”Gua kepret juga nih motor.“ Rutukku dalam hati, macam
menteri kalau lagi dongkol. ”Astaghfirullahaladzim,” bisik
malaikat mengingatkan. Sebenarnya aku juga maklum,
dia sudah terlalu uzur. Boro-boro ngebut, jalan pelan-
pelan saja sudah ngos-ngosan. Ibarat kakek tua bongkok
disuruh menggendong dua cucunya yang sudah mulai
besar-besar. Tersengal, batuk-batuk, nanjak dikit langsung
loyo, menyerah minta ampun. Tapi bagaimanapun juga aku
sayang banget sama dia, karena setelah bertahun-tahun
meng-onthel sepeda butut, akhirnya kebeli juga sepeda
motor. Sebuah lompatan kesejahteraan yang signifikan,
sebuah quantum leap. Ini terjadi berkat sebuah ST (Surat

79
tugas) audit ke luar kota, tepatnya ke Purwakarta. Sisa uang
SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) kusisihkan untuk
membeli motor seharga enam ratus ribu rupiah. Sebuah
kemewahan, setelah kemana-mana nggowes sepeda onthel.

Kementerian Keuangan
Tentu bukan karena mengikuti lifestyle hidup sehat, Mas
Bro. Tapi karena tuntutan hidup yang memaksa harus super
ngirit. Bahkan Klender – Blok M seminggu sekali kulibas,
demi sebuah pengajian istimewa seorang ustaz. Walaupun
risikonya adalah dengkul serasa mau copot, hampir pingsan,
tapi tetap kujalani dengan mencoba tetap tersenyum karena
memang tidak ada pilihan.

Kupandangi wajah istriku yang tertidur pulas. Wajahnya


cantiknya menampakkan gurat-gurat lelah. Mungkin tidak
pernah terbayang harus mengarungi hidup yang sekeras ini
ketika menerima pinanganku. Seorang anak muda dengan
bekal gejolak semangat, lulusan sekolah ikatan dinas yang
bergengsi –STAN/Prodip Keuangan dan bekerja di instansi
yang juga tak kalah mentereng, Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai. Bagi kebanyakan orang mungkin yang terbayang
adalah kehidupan yang mudah dan berkecukupan,
mengiringi karier yang meroket. Mungkin tak pernah
terlintas dalam benak istriku untuk sekadar menjaga asap
dapur, suami yang dicintai dan dibanggakan harus mencari
tambahan penghasilan dengan menjadi tukang ojek. Lima
ribu sampai sepuluh ribu hasil ngojek sehari. Dengan
kecerdasan finansial sekelas trader di bursa saham Wall
Street, istriku melakukan akrobat finansial, mengonversikan
selembar sepuluh ribuan menjadi sayur sup, tahu tempe,
dan kadang beberapa kerat ikan. Agar hidangan sederhana
ini tersaji mulus, tentu saja perlu tambahan skill negosiasi
tingkat tinggi, agar tukang sayur merelakan ikannya dibeli
Karena Kita Garda

setengah bungkus saja.

Kuambil air wudu sebelum berbaring di kasur tipis di


lantai, di samping istriku. Sebait doa kupanjatkan, semoga
doaku melesat naik dari sumpeknya kamar sempit rumah
petak ini, menaiki tangga langit, melewati bintang,
menembus galaksi, melintasi ruang dan waktu menuju
80

arasy-Nya. Sebuah doa sederhana. “Ya Allah, kuatkan jiwa


kami dalam menjalani hidup, mohon penjagaan-Mu agar
jangan sampai ada makanan yang tak halal masuk dalam
mulut kami. Sungguh kami lebih memilih mengunyah
tanah daripada makan makanan yang tidak berkah.”

Dalam lelap, seakan aku melihat sahabat Rasulullah


yang mulia sedang bersusah payah memasukan jari ke
kerongkongannya, berusaha mengeluarkan sejumput
makanan yang terlanjur tertelan, karena Beliau khawatir
kehalalannya. Dalam gelap, dalam lelap, air mataku menitik
pelan.

Dumai, 2013

Wajah-wajah beringas merangak, berteriak, berorasi


menyampaikan tuntutan. Ratusan buruh pelabuhan
memblokir jalan menuju Kantor Pengawasan dan Pelayanan
Bea dan Cukai Dumai. Asap hitam membumbung
dari ban bekas yang dibakar pendemo. Terik matahari
semakin menambah panas suasana. Dalam kantor, dalam
suasana mencekam, dengan naluri mempertahankan
diri, kunci gudang senjata telah dibuka. Pegawai siap
siaga mengantisipasi kondisi tak terduga. Senjata laras
panjang, pistol, siap digunakan apabila situasi menjadi tidak
terkendali.

Kapal-kapal pengangkut kebutuhan pokok dari Malaysia


memang rutin masuk Pelabuhan Dumai untuk memenuhi
kebutuhan penduduk yang memang lebih dekat dengan
Malaysia daripada ke Pulau Jawa. Ironi yang biasa terjadi di
daerah-daerah perbatasan, hajat hidupnya lebih tergantung
kepada negara tetangga daripada negeri sendiri. Kondisi
yang melahirkan dilema bagi institusi DJBC. Karena
bagaimanapun barang-barang dari luar negeri yang
diimpor, masuk ke dalam negara Republik Indonesia harus
memenuhi ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang
jumlahnya tidak sedikit. Hal yang sulit diterima pedagang
maupun penduduk perbatasan.

81
Memang sejak kedatanganku sebagai kepala kantor,
konsolidasi internal menjadi agenda prioritas. Untuk
masalah teknis pekerjaan, para kepala seksi kuberi

Kementerian Keuangan
keleluasaan untuk memutuskan, sepanjang sesuai aturan.
Aku lebih menekankan pada dua hal dalam menjalankan
tugas. Jangan pernah merendahkan orang dan jangan
pernah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Tidak ada
toleransi untuk kongkalikong, zero tolerance. Dan mungkin
imbasnya adalah kapal-kapal yang mengangkut barang
impor menjadi takut untuk merapat di pelabuhan, takut
ditindak aparat Bea dan Cukai. Bongkar muat menjadi
sepi, buruh dan kuli angkut bergejolak. Berita demo buruh
menghiasi media. Dari koran lokal, koran nasional, bahkan
TV nasional.

Soekarno-Hatta 2016

Bangunan Terminal 3 Ultimate Bandara Sokarno-Hatta


terlihat begitu besar dan megah. Kalau semua berjalan
sesuai rencana maka bulan Mei nanti akan diresmikan.
Sebagai kepala kantor, harus kupastikan sarana dan fasilitas
yang diperlukan petugas Bea dan Cukai sudah dimasukkan
dalam perencanaan dan dikerjakan dengan benar.
Sebagai penjaga gerbang pintu masuk utama Indonesia,
Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Soekarno-Hatta,
mempunyai tanggung jawab yang berat, dari sisi pelayanan
maupun pengawasan terhadap penumpang dan barang
bawaannya. Para penyelundup narkoba menggunakan
seribu satu muslihat untuk melewati pemeriksaan di
bandara, sementara tuntutan pelayanan yang cepat dan
profesional juga tak kalah gencarnya.

Ketiadaan aturan di tingkat pusat yang mensyaratkan


Karena Kita Garda

operator bandara menyediakan hal-hal yang harus


disiapkan untuk menunjang pelaksanaan tugas petugas Bea
dan Cukai di bandara Internasional, semacam minimum
requirement, memaksa kantor pelayanan untuk berusaha
merumuskan sendiri kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Epilog
82

Kucium tangan suamiku, kubisikkan pesan yang selalu


disampaikan istri salafush shalih kepada suaminya ketika
berangkat bekerja. ”Carilah rezeki yang halal karena kami
akan sabar menghadapi kelaparan, tapi kami pasti tak ‘kan
mampu bersabar menghadapi siksa api neraka”.

Dari teras rumah dinas, kutatap punggung suamiku yang


menghilang masuk ke dalam mobil dinas. Mobil baru yang
keren, elegan dan berkelas, sebuah mobil sport utility vehicle
keluaran terbaru. Tiba-tiba darahku berdesir mengingat
perjalanan panjang bersamanya. Laki-laki terbaik di muka
bumi ini yang Allah kirimkan untukku, laki-laki yang
selalu berkata apa adanya, berwatak tegas, yang kadang
ketegasannya membuatku berurai air mata. Namun
sungguh aku juga tahu sikap tegasnya adalah semata-mata
untuk mendidikku, untuk tetap tegar menapaki jalan hidup
yang kadang terasa sangat tidak mudah. Masih kuingat jelas
episode yang sempat menguras air mataku, mengguncang
ketegaranku dalam hari-hari mendampinginya. Kala itu,
karena terlalu sering naik motor, dan mungkin juga karena
kurang gizi, stamina suamiku akhirnya jebol juga. Terkapar,
tersengal, terbatuk muntah darah. Tergopoh kuantar ke
rumah sakit, dan segores kenyataan menorehkan luka di
hati. Rumah sakit menolak untuk merawat karena harus
ada uang jaminan atau deposit –bahasa kerennya. Sesuatu
yang tidak kami punyai. Ini adalah satu hal yang sulit
kupahami. Suamiku, seorang PNS yang bekerja di tempat
bergengsi, banyak duit kata orang, terkapar tidak berdaya di
depan pintu rumah sakit yang tidak sudi merawatnya hanya
karena kami terlalu miskin. Padahal paru-parunya bolong,
muntah darah.

“Ya Allah, terima kasih atas segala yang Kau anugerahkan


untuk keluarga kami. Jadikan kami hamba-Mu yang selalu
bersyukur. Jadikan dunia di tangan kami, bukan di hati
kami.”

83
Kementerian Keuangan

”Carilah rezeki yang halal karena


kami akan sabar menghadapi
kelaparan, tapi kami pasti tak ‘kan
mampu bersabar menghadapi
siksa api neraka”.
Almost Dead Seorang PNS
(Diselamatkan Balok Kayu
Utusan Tuhan)
Oleh:
Yanuar Calliandra dan M. Mufti Arkan,
Pegawai DJBC
Karena Kita Garda

Berita dahsyatnya tsunami Aceh demikian mengharu biru.


Bulan Desember 2004, seakan memberi tanda, bahwa
84

akhir tahun Indonesia harus ditutup dengan duka yang


teramat dalam. Masih segar dalam ingatan ketika Sherina
Munaf menyanyikan lagu Indonesia Menangis karya
Chossy Pratama yang diputar berulang-ulang di televisi,
memberitakan kondisi di Serambi Mekkah, Banda Aceh,
dengan syair dan gambar yang menyayat-nyayat hati:

Tuhan marahkah Kau padaku

Inikah akhir duniaku?

Kau hempaskan jari-Mu di ujung banda

Tercenganglah seluruh dunia


Dilanjutkan dengan syair introspeksi yang juga
menghunjamkan perasaan:
Tuhan mungkin Kau kuabaikan
Tak ku dengarkan peringatan
Kusakiti Engkau sampai perut bumi

Maafkan kami ya Robbi


Lagu sedih itu ditutup dengan sebuah kalimat permohonan
ampunan dengan irama yang seakan merintih, bersimpuh,
dan menangis:

Oh… Tuhan ampuni kami

Ou… oh… Tuhan tolonglah kami

Tuhan ampuni kami

Tuhan tolonglah kami

Orang yang memiliki hati keras sekalipun akan meneteskan


air mata, melihat peristiwa itu di televisi. Tak hanya
Indonesia, dunia pun menangis pilu.

Beberapa pegawai DJBC ikut menjadi korban. Kantor


Bea dan Cukai Aceh yang megah, hancur lebur hanya
menyisakan gambar Ka’bah yang berada pada bagian depan

85
pengimaman musala kantor.

Salah seorang pegawai Bea dan Cukai yang mengalami


peristiwa dahsyat itu adalah Yanuar Calliandra. Yanuar

Kementerian Keuangan
seorang yang sangat ramah, selalu gembira, mudah
tertawa, dan murah dalam menebar senyum. Teman-teman
lebih sering memanggil dengan nama julukan daripada
nama aslinya, karena tahu persis Beliau pasti tidak akan
marah. Peristiwa tsunami membuat banyak perubahan
pada diri Beliau menjadi semakin arif dan bijaksana
menjalani episode hidupnya. Pada sebuah pertemuan yang
mengharukan, cerita deras mengalir dari Beliau:

Sabtu malam, 25 Desember 2004

Malam minggu biasanya, di mess biru, mess karyawan Bea


dan Cukai selalu ramai. Mess itu letaknya ± 15 m dari tepi
laut. Di depan mess ada jalan aspal, kalau ke kiri menuju
kota Banda Aceh, ke kanan menuju pantai Ulee Lheue yang
jaraknya ± 500 m dari mess. Kantor Bea dan Cukai Aceh
jaraknya ± 300 m dari mess. Di sebelah kanan mess terdapat
lapangan bola, di depan mess ada 5 rumah dinas Pelindo
(PT Pelabuhan Indonesia), dan di belakang rumah dinas
Pelindo tersebut adalah hamparan laut luas. Dari sana kita
dapat melihat Pulau Beras, Pulau Nasi, hingga Pulau We
yang letaknya di ujung barat NKRI.

Malam minggu ini, berbeda dengan malam minggu


biasanya. Biasanya aneka permainan (PS, catur, dan gaple)
seru dimainkan, untuk menghibur diri karena pegawai Bea
dan Cukai ditempatkan jauh dari keluarga. Namun, entah
kenapa malam minggu kali ini terasa sangat berbeda. Sepi,
lengang, dan seperti tiada gairah. Akhirnya berdelapan
Karena Kita Garda

orang kami berkeliling kota, menjelajahi Lheue – Blang Oi –


Punge – Blang Padang – Pasar Aceh – Merduati – Lamprit.
Di tengah jalan hujan turun, kami berteduh di depan
asrama Brimob (brigade mobil) Lingkih. Setelah hujan reda
kami melanjutkan perjalanan melalui Pante Pirak (pusat
perbelanjaan) – rumah gubernur – Asrama Kodim Neusu –
Setui – Lampaseh–lamjameh – sampai balik ke Ulee Lheue.
86

Sekembalinya ke mess, perutku keroncongan aku dan


temanku, Lily, mencari roti bakar di lapangan bola samping
mess. Aku bertemu Pak Dahlan, atau sering dipanggil Pak
Abu, yang rumahnya terletak di depan tukang roti bakar.
Pak Abu jarang sekali pulang ke rumah, dia tinggal di
kantor karena selain membuka kantin kantor, Pak Abu
juga tercatat sebagai penjaga malam di kantor. Namun
malam itu, karena istrinya tinggal sendirian, anak-anaknya
sedang main ke rumah saudara-saudaranya, Pak Abu pun
menginap di rumah. Roti bakar selesai dibuat, kami pun
langsung pulang ke mess. Roti bakar dimakan bersama-
sama, setelah itu kami ngobrol sebentar dan masuk kamar
masing-masing untuk istirahat. Aku sekamar dengan
Tarwi, kami berdua tak langsung tidur, aku menceritakan
hatiku yang sedang risau, tak tenang entah kenapa. Jam
menunjukkan pukul 02.00 akhirnya kami berdua terlelap
dalam tidur.

Minggu, 26 Desember 2004

Pagi itu aku masih tertidur lelap, tiba-tiba guncangan hebat


membangunkanku, terdengar teriakan dari luar kamar,
“Gempa, gempa, gempa…” Saat itu aku memakai kaos bola
warna hitam kesayanganku (AC Milan) dan celana pendek
cokelat.

Semua penghuni mess juga penghuni rumah-rumah lainnya


berhamburan keluar menuju jalan aspal, gempa begitu
kuat hingga kami pun berusaha menghindari daerah yang
berbahaya, khawatir pohon tumbang, tiang listrik/telepon
roboh, ataupun bangunan mess kami yang roboh.Aku
berusaha tetap berdiri namun kuatnya gempa membuatku
tak kuasa berdiri, dan aku pun terpaksa duduk seperti yang
lain.

Setelah gempa yang berlangsung ± 3 menit selesai, aku


ambil air minum di sebuah kamar mess yang berubah fungi
menjadi dapur, kemudian masuk kamar dan kuambil HP,
waktu masih menunjukkan jam 08.15 WIB. Aku kirim

87
SMS buat istriku tercinta, mengabarkan gempa yang baru
saja aku alami.

Tiba-tiba gempa kembali terjadi, goncangannya lebih

Kementerian Keuangan
kecil dibanding gempa yang pertama. Kami pun kembali
berkumpul di aspal. Marhan, rekan kami menenangkan
hati kami, ”Biasanya gempa susulan tidak lebih besar dari
gempa pertama”. Alip yang masih memegang secangkir
kopi tersenyum sambil berkata, ”Mudah-mudahan ya, Pak.”

Aku dan Pak Edi mengambil sebatang rokok yang


ditawarkan Rio, Pak Edi juga mengingatkan, ”Mudah-
mudahan gempa tidak berasal dari laut, karena
dikhawatirkan gempa tersebut disusul dengan gelombang
dari arah laut.”

Bu Yono (ibu yang menyediakan katering kantor dan


makan malam kami di mess) tinggal di rumah dinas Pelindo
depan mess kami, mencemaskan suaminya, Ragil anak
bungsunya dan Cipto anak sulungnya. ”Bapak lagi main
tenis di kota ama anak-anak, kok gak ngasih kabar ya?”
Setelah kami lihat HP ternyata sinyal sudah hilang.
Kulihat Pak Husin (kebetulan istri dan anaknya yang
berumur 7 tahun baru datang 2 hari yang lalu dari Medan,
anaknya libur sekolah dan ingin berakhir tahun di Aceh)
beserta anak dan istrinya baru datang dari laut dengan
mobil kantor (Kijang tahun ‘90-an) dan memarkir mobil
tersebut di depan mess. Ternyata mereka baru saja mandi
pagi di pantai (setiap minggu pagi, pantai Ulee Lheue selalu
dipenuhi ratusan orang yang ingin rekreasi dan mandi di
laut). Dengan senyum khasnya dan wajah yang bahagia
karena ditemani keluarga, Pak Husin melewati kami menuju
rumahnya untuk membilas anaknya yang baru mandi di
Karena Kita Garda

laut.

Dari arah lapangan bola, Mashudi berjalan kaki bersama


Erwan. Mereka baru saja olahraga pagi dengan jalan
santai berdua. Erwan langsung pulang menuju rumahnya,
sedangkan Mashudi bergabung dengan kami. Menurut
Mashudi, ketika gempa terjadi Erwan sempat menitikkan
88

air mata, teringat anak dan istri di rumah, “Mudah-


mudahan gak terjadi apa-apa ya, Pak”, katanya.

Alip kemudian pergi ke kedai dekat mess membeli rokok.


Dia mengabarkan bahwa tanah di sebelah kedai retak akibat
gempa, kulihat kabel telepon bergelantungan di jalan lepas
dari tiangnya.

Aku, Soleh, dan Tarwi melihat tanah retak tersebut,


kemudian kami bertiga kembali ke mess, sebelumnya kami
sempat menutup jalan dengan kayu, agar orang tidak lewat
jalan tersebut karena banyak kabel yang bergelantungan di
jalan.

Tsunami datang!

Tiba-tiba terdengar suara ribut dari arah pantai. Segera


kami tahu, orang-orang yang lagi mandi di pantai Ulee
Lheue berlarian meninggalkan pantai, membentuk
rombongan (tampak seperti lomba lari marathon yang
baru saja berangkat –start). Kudengar mereka serempak
meneriakkan, ”Air… air… air!”
Tanpa dikomando, kami menuju motor yang diparkir di
halaman mess. Tarwi dengan Pak Edi; Agung dengan Ari;
Janu dengan Imam; Alip dengan Soleh; Marhan dengan
mobil, meluncur sendirian.

Kunci motorku dibawa Bangbang, dan kulihat Bangbang


dan Rio berlari menuju lapangan bola di samping mess.

Ilham mengingatkanku, ”Mas tengok Aan, kayaknya Masih


di rumahnya”, aku pun segera ke belakang. Kulihat Aan
mengunci pintu rumah dengan tas di tangan kirinya.

Di saat aku mau lari ke depan mess, kulihat Ilham lari ke


belakang, nampaknya air sudah dekat dan tak mungkin
melarikan diri ke tempat lain. Ilham, Aan, Ambang, dan
aku, lari memanjat pagar tembok belakang mess yang
tingginya 2 meter. Aku melihat beberapa orang. Pak Husin
yang masih menggendong anaknya, istri Pak Husin, Heri,

89
Bu Yono (dan beberapa orang lain yang tidak kulihat
dengan jelas), menyelamatkan diri lari ke lantai dua yang
ada di bagian belakang kamarku.

Kementerian Keuangan
Tiba-tiba air datang begitu cepat, tingginya ± 2 meter, air
menerjang pagar tembok tempat kami menyelamatkan diri.

Byurrrrrrrrrr! Robohlah pagar tembok itu, kami berempat


jatuh bersama robohnya tembok. Kami tenggelam, tergilas
air laut yang asin dan keruh karena bercampur dengan
pasir dan tanah. Aku berusaha mencapai permukaan
air, karena pagar tembok itu terhalang oleh mess yang
masih berdiri kokoh, jadi arus dari laut tak begitu kuat
menerjangku. Aku berusaha menggapai pohon yang ada di
dekatku, aku berhasil memegang salah satu cabang pohon
tersebut. Sementara waktu aku selamat, tapi air begitu cepat
meninggi, menenggelamkan pohon tempatku bergantung.

Sabar, Nak…

Karena arus tidak begitu kuat, aku segera berinisiatif


berenang ± 5 meter mendekati teman-teman yang ada di
lantai dua. Aku sudah dekat dengan mereka, berusaha
meminta tolong kepada Pak Husin. Namun, itu tak
mungkin dilakukan karena tangan Pak Husin yang kiri
menggendong anaknya dan yang kanan memegang pagar
besi yang ada di lantai dua. Akhirnya dengan sekuat tenaga
aku berusaha, alhamdulillah aku berhasil memegang
pagar besi di lantai dua tersebut. Namun air begitu cepat
meninggi, dalam sekejap lantai dua pun terendam.

Aku sempat mendengar Pak Husin yang masih


menggendong anaknya dengan keteguhan dan kasih sayang
seorang ayah kepada anak perempuan semata wayangnya,
Karena Kita Garda

suaranya dengan lembut menenangkan buah hatinya,


”Sabar, Nak ya, ‘kan ada Bapak. Sabar nak ya…” Seiring
dengan tingginya air dan tenggelamnya lantai dua mess
kami, suara lembut Pak Husin pun sayup-sayup hilang
terendam air.

Balok kayu utusan Tuhan.


90

Kulihat balok atap mess sudah mulai lepas, aku berusaha


menggapainya. Sekali lagi berkat pertolongan Allah, balok
itu berhasil kugapai. Aku pegang kuat-kuat dengan tangan
kiriku. Balok ini adalah modalku mengambang di atas air.

Subhanallah… Tak akan ada yang mampu melawan


kehendak-Mu ya Allah. Kami sungguh kecil di hadapan-
Mu. Tak ada yang mampu melawan kekuatan-Mu, tak akan
ada yang bisa melawan takdir-Mu. Pohon itu, kesempatan
untuk menggapai pagar besi di lantai dua dan balok kayu
itu, aku yakin semua itu adalah berkat pertolongan-Mu ya
Allah.

Ternyata keganasan air tak berhenti sampai di situ.


Beberapa saat kemudian ombak setinggi ± 7 meter datang
menghempas dan menenggelamkan diriku ke dalam
air. Berkat kayu yang masih kupeluk dengan erat, aku
tenggelam dalam air hanya 5-6 detik dan muncul lagi ke
permukaan. Kalau tidak ada kayu, mungkin aku sudah
tidak akan muncul ke permukaan air. Tenggelam dan
terseret arus laut.
Allahhuakbar! Satu detik di permukaan, kembali ombak
setinggi 7 meter menghantamku. Aku kembali tenggelam.
Aku pasrah. Aku mulai susah bernafas karena terlalu lama
tenggelam di dalam air. Aku mulai pasrah. Kuserahkan
segalanya kepada Sang Pencipta. Mungkin saatnya aku
harus menghadap panggilan-Mu ya Allah. Aku tak sanggup
lagi bernafas melalui hidung.

Alhamdulillah ya Allah, Engkau memberi kelebihan


kepada manusia berupa akal pikiran, dan Engkau beri
aku ketenangan dalam keadaan seperti ini. Tiada daya
upaya kami melainkan atas pertolongan-Mu ya Allah.
Aku cepat berinisiatif untuk bernafas (menghirup udara
ketika berada di permukaan air) dengan menggunakan
mulut (seperti yang biasa aku lakukan ketika snorkeling
di Sabang). Selanjutnya, ketika 1 detik di permukaan air
aku mulai bernafas dengan mulut, alhamdulillah ketika
tenggelam kembali ke dalam air selama 5-6 detik aku sudah

91
menguasai pernafasanku. Ombak itu datang menghantam
dan menenggelamkanku selama ± 10 kali.

Kementerian Keuangan
Akhirnya ombak pun berhenti. Aku masih mengapung
dengan balok kayu di tangan kiriku, terbawa arus menuju
daratan (kota). Tak jauh dari tempatku mengapung, kulihat
arus balik dari kota kembali ke laut begitu deras.

Tiba-tiba aku terhenti. Tenyata kayu dalam pelukanku


tersangkut tumpukan kayu-kayu lain (puing-puing rumah
yang hancur). Tanpa kusadari kayu-kayu yang ada di
belakangku ikut tersangkut, mendorong dan menjepit
tubuhku ke dalam tumpukan kayu di depannya. Aku segera
berusaha melepaskan diri dari jepitan kayu-kayu itu. Tubuh
dan kaki kananku sudah lepas dari jepitan, tetapi kaki
kiriku susah sekali melepasnya. Aku terus berusaha dengan
sisa tenaga yang ada. Alhamdulillah usahaku tak sia-sia, aku
berhasil melepaskan seluruh tubuhku dari jepitan kayu.

Kucari kayu lain agar aku tetap bisa mengapung. Setelah


kudapat, kupeluk erat kayu itu dengan tangan kiriku.
Kuikuti arus menuju kota dan sedapat mungkin kuhindari
arus balik ke laut. Akhirnya aku merapat di atas seng (atap
rumah) dan beristirahat di atas seng tersebut.

Matahari mulai menunjukkan sinarnya, hingga seng


tempatku pun mulai terasa panas. Menyengat. Kuambil
daun pintu yang terapung didekatku. Aku tarik ke atas seng
dan aku duduk di atasnya. Ikan mulai bergelimpangan di
atas air. Ular dan biawak pun berusaha keluar dari air, tak
mampu bertahan di dalam air yang sangat keruh berwarna
cokelat pekat karena bercampur dengan pasir dan lumpur.
Karena Kita Garda

Rokok dari mana?

Saat aku beristirahat di atas seng, kulihat sekelilingku.


Kulihat sejauh mata memandang adalah hamparan air,
atap penduduk (berupa seng), tumpukan kayu puing-puing
rumah yang hanyut terbawa air dan lantai dua beberapa
rumah yang masih berdiri kokoh. Aku memandang jauh ke
92

arah pantai Ulee, tak nampak kantor tempat aku bekerja,


tak nampak mess biru tempat aku berteduh dari panas dan
hujan. Entah bagaimana nasib kedua gedung tersebut.

Sepuluh meter di depanku (arah utara), seorang nenek


mengapung di atas kayu, kulihat sedikit luka di kepalanya,
teriakan minta tolong keluar dari mulutnya. Semakin
lama semakin lirih, akhirnya nenek itu terlihat pasrah.
Kepalanya ditutup penggorengan menahan panas matahari.

Seratus meter arah barat (pantai Ulee Lheue), terdapat dua


orang di atas kayu terbawa arus balik ke laut, akhirnya
mereka tersangkut di sebuah pagar besi rumah berlantai
dua. Air sudah menenggelamkan lantai 1 rumah tersebut.
Mereka berusaha naik ke lantai dua dengan meniti pagar
besi dan naik melalui tiang telepon yang roboh ke arah
rumah tersebut. Tak lama kemudian tiga orang yang
terdampar di atas pohon, ± 5 meter di depan rumah
tersebut, berusaha naik ke lantai dua mengikuti jejak dua
orang yang sudah berhasil menyelamatkan diri ke lantai
dua. Dan mereka bertiga berhasil melakukannya.
Lima meter arah timur (arah kota), seorang kakek tua
dengan sepatu boat setinggi lutut duduk di atas puing-puing
kayu. Pandangannya kosong ke arah laut. Si kakek sempat
mengingatkanku, kita sekarang berada di daerah Punge (±
3 km dari Ulee), masih mungkin ada bencana susulan dan
kita pun belum tentu selamat dari bencana ini. Kulihat si
kakek menyedot dalam-dalam rokok di mulutnya. Aku tak
tahu bagaimana dan dari mana si kakek mendapat rokok
dan korek yang masih bisa menyala dalam keadaan begini.

Arah selatan ± 10 orang masing-masing memegang jeriken


20 liter, duduk di atas rumah penduduk berlantai dua,
mereka semua menghadap laut, khawatir akan datangnya
gelombang air susulan.

Di beberapa tempat yang lain, kulihat dua sampai empat


orang duduk di atas atap-atap rumah penduduk, semuanya
memandang laut, dalam hati mereka dipenuhi dengan

93
kehawatiran yang sama, yaitu datangnya gelombang air
susulan.

Harus bergerak!

Kementerian Keuangan
Aku mulai berharap, mudah-mudahan segera datang
pertolongan/bantuan/evakuasi dari udara. Tempatku
beristirahat sangat terbuka, sehingga mudah dilihat dari
udara jika bantuan tiba. Selama 20 menit di atas seng, aku
mulai tak tahan. Matahari mulai menyengat tubuhku.
Aku pun ingat pesan si kakek, bahwa jika terus bertahan
seperti ini, kita belum tentu selamat dari bencana. Aku tak
mungkin lagi mengharapkan bantuan. Jika ingin selamat,
aku harus berusaha sendiri.

Aku berhasil meyakinkan diriku sendiri, aku harus


berusaha sendiri semaksimal mungkin. Tak boleh
mengharapkan bantuan karena belum tahu kapan bantuan
akan tiba, sementara kulihat seluruh kota sudah porak
poranda. Semangatku untuk menyelamatkan diri begitu
besar, aku tak akan menyerah dengan hamparan air, puing-
puing kayu yang menggunung, seng yang sudah karatan,
serta tembok yang roboh. Kuputuskan untuk melanjutkan
perjalananku dengan satu tujuan yaitu mencapai ujung air
(daratan yang tidak terkena tsunami).

Aku mulai menceburkan diri ke air, aku melihat tak jauh


dari tempatku ada sebuah jeriken. Aku berenang dan
kugapai jeriken tersebut. Ternyata jeriken itu bekas tempat
bensin jadi sangatlah licin. Namun, tidak ada pilihan lain.
Hanya jeriken itu yang layak untuk dijadikan alat bantu
terapung dan berenang.Aku berenang di pinggir puing-
puing kayu, menghindari arus balik air ke laut. Setelah lima
Karena Kita Garda

puluh meter berenang, aku putuskan untuk beristirahat


di atas pohon mangga yang masih berdiri kokoh. Aku tak
dapat melanjutkan berenanganku karena arus balik ke
laut begitu deras. Tak mungkin aku berenang melawan
arus tersebut. Aku beristirahat di atas pohon mangga,
memandang ke laut, khawatir akan datangnya air susulan.
Kudengar suara azan pertanda sudah waktunya salat Zuhur.
94

Berarti sekarang sudah jam 12.30 WIB. Sudah empat jam


aku terapung. Namun, harapanku untuk mencapai ujung
air semakin besar karena dengan terdengarnya suara azan,
berarti daratan tidak terlalu jauh.

Aku melanjutkan perjalananku dengan berjalan di


atas tumpukan puing-puing kayu dan seng yang sudah
membentuk gunung setinggi ± 4-5 meter. Aku bertemu si
kakek. Dia berusaha mengingatkan seorang wanita berusia
35 tahun beserta seorang laki-laki berusia 15 tahun untuk
tidak hanya duduk, tapi juga berusaha menyelamatkan diri.

Kemudian aku berjumpa dengan seorang laki-laki sedang


membantu seseorang yang sedang terjepit tumpukan kayu.
Aku pun berusaha membantunya, tetapi himpitan kayu
begitu kuat, sementara tanganku penuh luka dan tenagaku
sudah banyak terkuras. Tak sanggup aku menyelamatkan
orang tersebut dari jepitan kayu. Dengan berat hati
kutinggalkan orang itu. Terdengar di telingaku suaranya
penuh iba, ”Tolong, tolong, jangan tinggalkan saya, Bang.
Saya bisa mati, jangan bunuh saya, Bang.” Suaranya sungguh
menusuk hati, tetapi aku tak dapat menolongnya. Di tempat
lain nampak seorang lelaki duduk lemas di atas kayu
dengan kepala tertunduk. Ternyata kakinya juga terimpit
kayu. Sekali lagi aku tak sanggup menolongnya.

Aku terus berjalan di atas tumpukan seng dan kayu yang


penuh dengan paku karat. Kulewati dua keluarga (suami,
istri, dan anaknya yang berusia 3 tahun) masing-masing
memegang es batu di tangannya. Kulihat seorang ibu terus
menangis melihat anaknya yang susah untuk bernafas,
dadanya terasa sesak sekali terlalu banyak kemasukan air.
Mereka hanya duduk pasrah, sesekali mereka menyedot
es batu menghilangkan rasa kering di tenggorokan. Tak
ada tanda-tanda orang itu akan beranjak dari tempatnya,
menyelamatkan diri mencapai ujung air. Mungkin anak
dan istrinya merasa tak sanggup untuk melewati tumpukan
seng dan kayu. Mereka pun pasrah.

95
Kulanjutkan perjalananku, aku bertemu dengan seorang
bapak dengan badan tegap berjalan menggandeng anaknya
yang berusia 6 tahun dan kulihat sebuah kamera di pundak

Kementerian Keuangan
kirinya. Sesekali dia memotret anaknya dengan latar
belakang tumpukan kayu dan seng. Ternyata Bapak itu
adalah anggota kepolisian sektor Ulee Lheue. Pada saat
kejadian, bapak itu bersama istri dan anak-anaknya sedang
berada di rumahnya (± 3 km dari Ulee). Namun, badai
telah memisahkan istri dan anaknya yang lain. Kami pun
berjalan beriringan, aku di depan memandu jalan buat
anaknya, dan bapak itu menjaga di belakang. Sampai di satu
tempat aku bertemu dengan sekumpulan orang-orang, kira-
kira ada dua puluh orang.

Sekelompok orang terdiri dari enam orang laki-laki duduk


sambil ngobrol. Sebuah es batu ada di tengah-tengahnya.
Seorang wanita yang masih menggendong anaknya yang
berusia 2 tahun terus menangis karena terpisah dengan
sang suami. Namu,n tak lama kemudian terjadi keajaiban.
Suaminya muncul dan segera menghampiri anak dan
istrinya. Mereka berpelukan dan menangis bahagia.
Sekelompok yang lain terdiri dari ibu-ibu, nenek-nenek,
anak-anak, dan beberapa pria dewasa. Sebagian berada di
atap rumah penduduk, sebagian lagi duduk di atas puing
kayu. Mereka makan kacang goreng dan cemilan yang
masih terbungkus plastik untuk pengganjal perut.

Di ujung kulihat anak-anak dan ibu-ibu sedang antre


ingin menyeberang ke puing kayu lainnya, dipandu oleh
beberapa anak muda. Aku pun ikut membantu menyusun
kayu-kayu, membuat jalan agar anak-anak dan ibu-ibu
bisa menyeberang. Kami terhenti sejenak ketika di dekat
Karena Kita Garda

kami mengambang jenazah seorang wanita tanpa busana


berumur ±35 tahun. Kami angkat jenazah itu ke atas
tumpukan kayu (agar mudah diketahui jika tim evakuasi
tiba). Kami tutupi tubuhnya dengan tikar yang kami
temukan di dekat jenazah.

Setelah berhasil membuat jalan untuk menyeberang,


96

aku pun ikut meneruskan perjalananku bersama dengan


mereka. Di antara anak-anak, kutemukan seorang
anak laki-laki berusia 10 tahun berdiri dengan wajah
kebingungan. Kudekati anak itu, ”Pak, saya terpisah dengan
Bapak dan Ibu, dan sekarang saya sendirian tak punya
siapa-siapa lagi”, ucapnya sedih. Aku iba melihatnya dan
mencoba menenangkannya.

Beberapa saat kami berjalan sampailah di suatu tempat.


Banyak sekali orang berkumpul di atas puing dan atap
rumah penduduk. Di bawah kulihat sekelompok orang
mengais di air yang tingginya sepinggang orang dewasa,
mencari sesuatu yang masih bisa dimakan atau diminum
oleh dia dan keluarganya yang menunggu di atas rumah
dan di atas puing-puing kayu. Ternyata di tempat itu adalah
ujung puing kayu yang tingginya 3 meter dari permukaan
air. Terlalu tinggi untuk dapat dilewati anak-anak, ibu-ibu,
dan orang yang sudah tua.

Aku terus berusaha untuk dapat menuruni puing kayu


dan seng itu. Satu-satunya jalan adalah merayap dan turun
melalui daun pohon kelapa yang sudah miring. Aku pun
berhasil menuruni puing kayu itu, tetapi yang lain tak
sanggup melakukannya. Ada beberapa orang dewasa yang
menurutku sanggup menuruni puing-puing kayu itu, tetapi
mereka tak tega meninggalkan anak, istri, dan keluarga
yang lain, sehingga mereka memilih untuk tetap bersama,
walau apapun yang terjadi. Aku bersyukur, di Banda Aceh
aku sendirian. Istri dan anakku tinggal di Bekasi, orang
tuaku tinggal di Situbondo. Seandainya aku berkumpul
bersama keluargaku, pasti aku akan melakukan hal yang
sama seperti orang-orang itu.

Kulanjutkan kembali perjuanganku untuk mencapai


ujung air. Aku tak pernah putus asa. Tak kuhiraukan
luka di sekujur tubuhku, tak kuhiraukan keringnya
kerongkonganku, dan tak kuhiraukan tenagaku yang
mulai habis. Matahari mulai tinggi, jam mungkin sudah
menunjukkan pukul 13.30 WIB, sudah 5 jam aku masih
belum keluar dari hamparan air dan puing-puing. Aku

97
yakin semua stasiun televisi pasti sudah memberitakan
dahsyatnya Tsunami di Banda Aceh. Aku ingin segera
memberi kabar kepada orang-orang yang mencintaiku dan

Kementerian Keuangan
yang kucintai. Aku tidak mau membuat mereka khawatir
karena terlalu lama menunggu kabar tentang keadaanku.

Aku terus melangkah, air masih setinggi pinggangku.


Sesekali kulihat sekeliling mencari sesuatu yang bisa
dimakan atau diminum (tenggorokanku sudah terlalu
kering, setetes air tawar sudah cukup untuk membasahi
tenggorokanku). Kulihat tempat air (termos) yang
mengapung di dekat tembok sebuah rumah. Aku berusaha
mengambilnya. Begitu senang aku melihat termos itu
masih tertutup rapat, kuangkat termos itu, ternyata termos
itu begitu ringan dan tak ada setetes air tawar pun di
dalamnya. Kuhampiri dapur sebuah rumah yang sedikit
terbuka, di dalamnya amat berantakan. Aku intip melalui
celah pintu, kulihat ada galon air mineral, tetapi galon
itu berisi air yang berwarna hitam kecoklatan. Setetes air
tawar pun tak berhasil kutemukan, tetapi aku tak pernah
putus asa.
Dalam perjalananku selanjutnya, aku bertemu dengan
seorang ibu muda dengan anak di pundaknya digandeng
oleh sang suami. Sama sepertiku, mereka berusaha terus
berjalan menuju daratan tempat air laut berujung.

Suara sirene ambulans semakin jelas terdengar. Kulihat


beberapa orang yang nampak segar dengan pakaian
yang rapi berjalan dari arah berlawanan. Berarti daratan
semakin dekat dan orang-orang tersebut mungkin hendak
berusaha membantu korban bencana tsunami.
Karena Kita Garda

Semangatku semakin bertambah, langkahku semakin tegar,


air yang menggenang tinggal selututku. Aku berpapasan
dengan seorang pemuda yang kulihat baru saja mengangkat
jenazah seorang wanita yang ternyata wanita itu adalah
tetangganya dan tak tahu di mana sang suami berada. Aku
mencoba meminta air kepadanya dan ditunjukkannya
sebuah warung, tak jauh di depanku. Aku bergegas menuju
98

warung yang juga terendam air selututku. Isi warung


berantakan hampir roboh. Aku mencoba memanggil
pemiliknya, tapi tak ada jawaban. Mungkin warung ini
sudah ditinggalkan pemiliknya. Karena tenggorokanku
terasa kering sekali, aku pun memaksakan diri untuk
mencari sesuatu yang bisa membasahi tenggorokanku.
Sambil waspada, khawatir warung itu akan roboh, aku
mengambil 5 buah jelly yang biasa dimakan anak-anak.
Kumakan sebungkus. Alhamdulillah tenggorokanku sudah
basah saat ini.

Ujung air 7 km dari mess!

Ternyata di belakang kedai tersebut adalah daratan.


Yeah, air sudah berujung. Perjuanganku tak sia-sia.
Dalam perjalanan mencapai daratan yang sudah nampak
di depan mata, kubagikan empat buah jelly yang masih
ada di tanganku kepada anak-anak. Aku bersyukur bisa
keluar dari air dan menginjak daratan. Ketika pertama
kali menginjak daratan, aku tak sanggup melangkah.
Perih sekali. Kedua kaki terluka mulai dari telapak hingga
atas mata kaki. Kedua tangan dan kepalaku pun penuh
dengan luka.

Aku melangkah dengan terpincang-pincang menahan


rasa sakit, orang nampak berlalu-lalang. Sebagian searah
denganku (para korban yang baru saja menyelamatkan diri),
sebagian yang lain berlawanan arah denganku. Mereka
berusaha melakukan pertolongan kepada korban yang
selamat dan melakukan evakuasi jenazah.

Setelah sampai di jalan raya, aku baru sadar ternyata aku


berada di samping Terminal Setui, berarti aku sudah
terdampar sejauh ± 7 kilometer dari Ulee Lheue tempatku
pertama kali terkena bencana tsunami. Semua pengungsi
berjalan menuju arah yang sama yaitu Masjid Setui. Di
jalan aku menemukan sandal yang beda kiri dan kanan,
aku tanya tidak ada orang yang memiliki dan mereka
menganjurkanku untuk memakai sandal itu, mengurangi
rasa sakit di telapak kakiku.

99
Aku terus berjalan menuju masjid, kutemui seseorang
dengan sebotol air mineral di tangannya. Aku mencoba
meminta, alhamdulillah dengan senang hati disodorkannya

Kementerian Keuangan
air mineral tersebut kepadaku. Basah sudah tenggorokanku
yang sudah kering sejak tadi.

Sampai di masjid, terlihat para pengungsi mulai dari anak-


anak hingga orang tua. Mereka berkumpul berkelompok.
Aku duduk di pagar majid, di depanku pengungsi warga
Tionghoa-Indonesia (pedagang di ruko sepanjang jalan
Setui). Mereka tidak terkena dampak langsung dari
tsunami, tetapi mereka tetap waspada akan terjadinya
tsunami susulan yang mungkin lebih dahsyat.

Bertemu keluarga calon istri teman…

Kemudian seseorang berusaha mendekatiku (dia iba melihat


bajuku yang basah kuyup dan robek-robek, serta seluruh
tubuhku yang penuh dengan luka). ”Bapak dari mana?”
Kuceritakan semua kejadian yang aku alami. Bapak itu
kaget, tercengang tak percaya atas apa yang aku alami.
”Di tempat kami yang jaraknya cukup jauh dari pantai,
air begitu hebat dan dahsyat, apalagi di Ulee Lheue yang
jaraknya sangat dekat dengan laut”. Kemudian aku minta
tolong untuk diantar ke tempat Sherly (calon istri Firman,
temanku di kantor). Aku tahu tempatnya tapi lupa nama
jalannya. Dengan senang hati aku diantar ke tempat Sherly.
Sesampai di rumah yang berpagar dan berdinding putih,
aku turun. Kuyakin inilah rumah yang kumaksud. Tak lupa
kuucapkan terima kasih atas bantuan Bapak tersebut.

Ternyata rumah tersebut tak sedikit pun tersentuh oleh air.


Karena Kita Garda

Kulihat Ibu Sherly sedang menyapu di teras.

“Alhamdulillah, Bu, saya selamat dari bencana.”

”Oh, iya Nak,” Ibu Sherly terbengong melihat saya.

“Ibu Masih ingat saya?” tanyaku kembali.


100

Ternyata Ibu Sherly tak ingat siapa aku. Beruntung Sherly


segera keluar rumah.

“Ma, itu ‘kan teman Bang Firman.”

Dengan tangis tersedu-sedu (tak tahu bagaimana nasib


Firman), Sherly mempersilakan aku masuk. Kuceritakan
semua kejadian yang kualami. Aku tak tahu bagaimana
keadaan Firman (Firman tinggal bersama orang tuanya
di daerah Peukan Bada yang letaknya ± 300 meter dari
pantai). Menurut Sherly, pada saat gempa pertama, Firman
menelepon dari rumahnya (seharusnya Firman bertugas
sebagai pemeriksa haji). Namun, karena masih pagi, Firman
belum berangkat. Setelah itu tak ada komunikasi dan tak
tahu bagaimana keadaanya sekarang.

Kemudian Ibu Sherly mempersiapkan kaos, celana pendek,


handuk, dan cairan pembunuh kuman untuk menghindari
infeksi. Aku dipersilakan mandi. Ternyata dalam celana
panjangku, masih terdapat dompet yang berisi KTP Merah
Putih, dua kartu debit, dan dua lembar uang pecahan
Rp50.000,00. Setelah mandi, Bobi (adik Sherly) memberiku
Betadine, kapas, dan gunting. Kubersihkan luka dengan
kapas, kugunting kulitku yang terkelupas, dan kuolesi
dengan Betadine.

Sepiring mie dan segelas air putih sudah disiapkan


untukku. Terima kasih ya Allah, Engkau telah membantuku
melalui hati mulia keluarga Sherly. Kemudian aku duduk
berdua dengan Bapak Sherly. Hati kecilku ingin kembali ke
masjid, barangkali aku bisa bertemu teman-teman mess-ku
di sana. Aku mencoba minta izin untuk kembali ke masjid,
tetapi Ibu Sherly melarangku, ”Gak usah kemana-mana,
Nak Yanuar. Apapun yang terjadi, kita kumpul aja di sini.”
Untuk sementara kuterima nasihat Ibu Sherly.

Gempa kecil kembali terjadi sebanyak 3 kali. Semua


berhamburan keluar rumah. Akhirnya kami semua
berkumpul di halaman rumah, dalam diam dan tatapan
mata kosong. Kami tak tahu apa yang akan terjadi setelah

101
ini.

Trauma air…

Kementerian Keuangan
Tak lama kemudian aku tersadar dari lamunanku, tampak
di depan rumah, orang-orang berlarian panik sambil
meneriakkan, “Air… air… air…” Aku trauma, teringat
kejadian pagi tadi di mess-ku. Aku kurang sigap mendengar
peringatan orang-orang dari pantai, aku tak mau
mengulangi kesalahanku yang pertama.

Tak kuhiraukan lagi saran Ibu Sherly, aku segera lari dari
rumah itu. Bahkan aku sampai lupa mengucapkan terima
kasih. Aku lupa kakiku yang masih perih akibat luka di
telapak kakiku. Yang ada di otakku hanyalah air yang
begitu cepat, begitu tinggi, begitu dahsyat. Aku harus lari
secepat mungkin. Lari, lari, dan terus berlari.

Aku sampai kembali ke Masjid Setui. Ternyata itu tadi


hanya teriakan-teriakan orang yang sedang panik. Aku
bingung tak tahu entah ke mana tujuanku selanjutnya.
Kulihat sebagian orang masih bertahan di teras masjid,
sebagian berkumpul di halaman dan di pagar masjid. Tak
ada yang kukenal dan tak ada yang mengenalku.

Aku duduk di pagar masjid. Sebagian orang berkelompok


berjalan meninggalkan masjid menuju ke utara, menuju ke
daerah yang lebih tinggi, menghindari datangnya air yang
mungkin datang sewaktu-waktu.

Sekelompok pria memperhatikan aku, melihat luka-luka


di sekujur tubuhku. “Ke pinggir jalan raya aja, Bang, setiap
saat ambulans lewat mengangkut korban yang terluka
Karena Kita Garda

seperti abang.” Salah seorang mencoba memberitahuku.

Namun, aku masih trauma. Aku tak mau kembali ke dalam


kota. Aku tak sanggup membayangkan jika air datang
kembali meluluhlantakkan kota ini. Tergulung ombak,
terdampar tak tahu di mana, dikelilingi puing-puing,
jenazah-jenazah, tangisan anak manusia yang kehilangan
102

sanak saudara, jeritan minta tolong orang yang terjepit


puing kayu. Oh, tidak. Tidak. Aku ingin segera berlari
meninggalkan kota ini.

Melewati daerah GAM

Kemudian aku bertanya pada orang tersebut untuk


menghindari air, sebaiknya aku mengungsi ke mana.
Mereka menganjurkanku untuk mengikuti arus pengungsi
yang lain. Mereka beriringan menuju Mata Ie atau Bukit
Seulawah yang jaraknya 10 – 15 km. Dengan tekad bulat,
walau kaki susah untuk berjalan, aku melangkah mengikuti
rombongan pengungsi.

Setelah berjalan sejauh 200 meter, aku mulai ragu. Tak


ada satu pun orang yang kukenal. Di benakku muncul
ingatan bahwa di daerah Bukit Seulawah adalah sarang
GAM. Baru saja aku lolos dari bencana tsunami, apakah
aku harus berhadapan dengan mereka? Hatiku mulai ciut.
Aku tak mau mati sia-sia. Akhirnya aku kembali ke masjid.
Aku berkeliling masjid, mencari orang yang kukenal, tetapi
usahaku sia-sia. Tak ada satu pun yang kukenal. Ya Allah,
mungkin ini semua adalah cobaan-Mu. Terima kasih ya
Allah, Engkau masih mau mengingatkanku dengan semua
peringatan dan cobaan yang Engkau turunkan. Akhirnya
aku pasrah, aku tetap pada pendirianku semula, aku harus
lari dari kota ini apapun yang akan terjadi.

Aku berjalan mengikuti rombongan pengungsi, kami


beriringan, kebanyakan berjalan berkelompok bersama
sanak saudara yang masih tersisa akibat bencana. Setelah
berjalan ± 500 m, dua buah Bus Sahabat berhenti, para
pengungsi berebut naik. Secara spontan aku pun ikut
berebut naik bus. Aku belum tahu ke mana tujuan
bus tersebut. Aku berdiri di pintu depan. Mereka
berkomunikasi dengan bahasa Aceh. Aku diam saja. Aku
tetap yakin tujuan awak bus dan para pengungsi sama
dengan tujuanku. Mencari tempat yang lebih tinggi.

Bus tersebut (kalau tidak salah Bus Sahabat tersebut

103
mempunyai rute Aceh - Meulaboh - Tapak Tuan -
Medan) sedang berada di Terminal Setui dan berusaha
diselamatkan oleh awak bus ke tempat yang lebih tinggi.

Kementerian Keuangan
Pada saat bencana datang, air sudah menggenangi Terminal
Bus Setui hingga 1 meter (setinggi ban bus). Bus tersebut
terisi 20 orang pengungsi yang ternyata adalah 2 buah
keluarga dan aku tak kenal siapapun. Bus berhenti di depan
Stadion Harapan Bangsa (± 4km dari Terminal Setui).

Para pengungsi yang ada di bus bertanya kepada awak bus,


kenapa berhenti di tempat ini, kenapa tidak langsung saja
ke arah Mata Ie atau ke daerah Bukit Seulawah (tempat
yang jelas tinggi dan aman dari air). Awak bus beralasan
bahwa tempat ini sudah cukup aman dan mereka sedang
menunggu perintah lebih lanjut dari perwakilan bus di
Banda Aceh. Kami pun turun dan beristirahat. Beberapa
orang berusaha mengajakku ngobrol, aku bersyukur
mendapat teman baru. Mereka prihatin dengan keadaanku
yang penuh luka dan sendiri. Tak ada siapapun saat ini.

Keinginan untuk segera menuju Bandara Iskandar Muda


dan meneruskan perjalanan menuju Polonia, besar sekali.
Mereka semua berusaha membantuku, tetapi mereka
mengkhawatirkan jalan menuju bandara yang harus melalui
beberapa titik rawan GAM. Ada seseorang yang mereka
kenal dan bersedia membantuku dengan motornya, tetapi
bensinnya tinggal sedikit dan tak ada yang menjual bensin
saat itu.

Aku mencoba mengalihkan perhatianku ke dalam Stadion


Harapan Bangsa. Di sana beberapa anggota Brimob yang
di BKO-kan dari Pekanbaru bertugas menjaga stadion.
Aku menghampiri anggota Brimob, berjalan sejauh ±
Karena Kita Garda

100 meter ke arah stadion. Kutunjukkan identitas yang


masih ada di dompetku dan kuceritakan kejadian yang
baru kualami. Aku juga mengutarakan keinginanku untuk
menuju bandara, tetapi merekapun tak bisa menolongku.
Komandan Brimob tersebut beserta 4 anak buahnya pada
saat kejadian sedang berada di pos pantai Lampu’u dan
104

tak tahu bagaimana nasibnya saat ini. Mereka hanya bisa


menawarkan makanan dan tempat istirahat kepadaku,
tanpa bisa mengantarku ke Bandara.

Tiba-tiba di jalan raya, mobil bergerak beriringan dengan


lampu menyala dan klakson dibunyikan panik sekali.
Ternyata tersebar isu bahwa air laut naik kembali. Bus
Sahabat yang ada di depan stadion bersiap-siap mengikuti
rombongan. Aku pun segera lari menuju bus. Aku tak mau
mati konyol di sini. Aku terus berlari dengan pikiran jangan
sampai ditinggal bus. Ternyata aku terjebak dalam pagar
kawat, satu-satunya jalan aku harus melompati pagar kawat
setinggi 1 meter. Aku melompat dengan pijakan balok
kecil, terus berlari menuju bus yang mulai berjalan pelan.
Alhamdulillah aku berhasil menggapai bus tersebut.

Hiruk pikuk, kacau balau, suasana saat itu. Semua panik


ingin segera mencapai tempat yang lebih tinggi. Sesampai
di perempatan menuju Mata Ie, jalan lebih kacau. Macet.
Karena jalan yang kecil tak sanggup menampung
jumlah kendaraan para pengungsi. Akhirnya perjalanan
dilanjutkan menuju Perempatan Ketapang. Di tempat itulah
jenazah korban tsunami dikumpulkan. Banyak orang yang
mencari sanak saudaranya di tempat itu. Namun, mereka
langsung membubarkan diri begitu mendengar iring-
iringan mobil yang akan menyelamatkan diri ke atas bukit.
Mereka kocar-kacir meninggalkan tumpukan jenazah,
berebut mencari tumpangan. Suasana di perempatan itu
tambah kacau-balau. Jalanan macet, suara klakson mobil
menambah hiruk pikuk suasana. Namun, lambat laun bus
mulai berjalan merayap.

Menjelang magrib, sampailah bus yang kami tumpangi di


pom bensin daerah Sileumeum di Bukit Selawah, terpisah
dengan Bus Sahabat lain yang masih ada di belakang kami.
Bahan bakar bus mulai menipis, sementara sepanjang
jalan yang kami lalui tak satu pun yang menjual bahan
bakar, demikian juga di pom bensin tempat kami berhenti.
Aku cukup was-was, pom bensin tempat kami berhenti
letaknya di tengah ladang dan dikelilingi bukit. Daerah ini

105
masih termasuk daerah rawan, masih ada anggota GAM
yang berkeliaran di daerah ini. Aku hanya bisa pasrah,
kuserahkan semuanya kepada Sang Pencipta.

Kementerian Keuangan
Tiba-tiba di jalan raya, mobil
bergerak beriringan dengan
lampu menyala dan klakson
dibunyikan panik sekali. Ternyata
tersebar isu bahwa air laut naik
kembali. Bus Sahabat yang ada
di depan stadion bersiap-siap
mengikuti rombongan. Aku pun
segera lari menuju bus.
Di saat-saat begini, kembali Allah menolongku melalui para
pengungsi yang ada dalam bus beserta para awak busnya.
Mereka sangat memperhatikan segala keperluanku, mulai
dari makan, minum, rokok, dan tempat istirahat buatku.
Bahkan seorang bapak memaksaku untuk menerima uang
Rp20.000,00.

Kira-kira 2 jam kemudian awak bus memutuskan untuk


bergabung dengan Bus Sahabat yang lain. Berarti kami
harus kembali ke arah Banda Aceh. Mereka harus
bergabung untuk memudahkan koordinasi menunggu
Karena Kita Garda

petunjuk lebih lanjut dari perwakilan bus di Banda


Aceh. Akhirnya bus berbalik arah dan meluncur menuju
arah Banda Aceh. Bus berhenti di daerah Indrapuri dan
bergabung dengan bus yang lain. Sebagian penumpang
memutuskan untuk turun dan beristirahat di emperan toko.
Aku sendiri tetap tinggal dan beristirahat di dalam bus.
106

Dalam lelap tidurku, beberapa kali gempa cukup besar


mengguncang. Semua berhamburan berebut turun dari
bus. Setelah tenang, sebagian pengungsi kembali lagi ke
dalam bus. Tidur pun jadi tak nyenyak lagi, was-was akan
gempa yang terjadi beberapa kali. Tiba-tiba terdengar
bunyi sirene mobil pengawal DLLAJR (Dinas Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan Raya) diikuti rombongan bus yang
mengangkut jemaah haji asal Banda Aceh menuju Medan.
Dalam benakku terpikir, berarti Bandara Iskandar Muda
tidak dapat difungsikan karena jemaah haji yang biasanya
harus berangkat melalui jalur udara, kali ini melalui jalur
darat. Berarti untuk menuju kota Medan aku pun harus
melalui jalur darat.

Senin, 27 Desember 2004

Menuju Medan…

Fajar menyingsing. Beberapa kendaraan yang mengangkut


pengungsi lalu lalang. Sebagian menuju arah Medan,
sebagian lagi kembali ke arah Banda Aceh. Mungkin
mereka hanya menghawatirkan bencana tsunami di malam
itu dan mereka harus kembali mencari sanak saudara yang
tak tahu entah dimana.

Beberapa pengungsi yang satu bus denganku, menuju kedai


untuk menghangatkan tubuh dengan secangkir teh panas
dan sepotong roti bakar. Mereka juga mengajakku untuk
ikut bergabung, tetapi aku masih enggan. Pikiranku hanya
tertuju kepada bagaimana secepatnya sampai di Medan.
Aku meringis kesakitan menahan sakit akibat luka di
sekujur tubuhku. Mudah-mudahan lukaku tidak infeksi
atau terkena tetanus.

Perutku sudah mulai bernyanyi, aku segera menuju kedai


dengan jalan terpincang-pincang. Kupesan segelas teh
panas dan sepotong roti bakar. Hangatnya teh dan roti
bakar mengakhiri nyanyian di perutku. Kemudian aku
membersihkan tubuh seadanya di kamar mandi kedai
tersebut. Aku kembali ke kedai untuk membayar. Ternyata

107
sarapanku sudah dibayar oleh seorang pengungsi yang
satu bus denganku. Walaupun cuma Rp1.500,00, tapi niat
baik untuk membantuku sangat aku hargai dan hormati.

Kementerian Keuangan
Sementara aku masih duduk di kedai menghabiskan sisa
teh. Tiba-tiba sebuah bus PM Toh berhenti di depan kedai,
di-stop oleh 2 orang pemuda. Setahuku, bus PM Toh adalah
bus jurusan Banda Aceh - Medan. Pikirku mungkin bus
ini yang bisa segera membawaku ke Medan. Aku segera
berlari menuju bus (aku lupa berterima kasih kepada
awak bus Sahabat yang telah membawaku selama dalam
pengungsian dan para pengungsi lain yang juga telah
banyak membantuku). Aku mendapat tempat duduk paling
belakang. Kutanyakan pada kondektur bus, ternyata tujuan
bus ini hanya sampai Sigli.

Di sepanjang jalan banyak penumpang yang naik turun.


Bus pun terisi sangat penuh, hingga tempat untuk berdiri
pun susah didapat. Pagi itu hanya bus ini yang beroperasi,
angkutan umum jarak dekat pun tak ada yang beroperasi.
Hampir seluruh penumpang adalah penduduk asli Aceh.
Kulihat seorang pemuda dengan tubuh dan potongan
rambut mirip anggota TNI/POLRI. Hal ini membuatku
tenang karena merasa ada teman dan aku pun bisa
menanyakan kepadanya bagaimana melanjutkan perjalanan
dari Sigli ke Medan (aku masih menghawatirkan status
darurat sipil yang berlaku di Provinsi NAD).

Pukul 11.00 sampailah kami di Sigli. Ternyata bus tidak


bisa masuk terminal. Bus berhenti di pertigaan menuju
arah Medan. Semua penumpang turun. Allahu akbar! Di
pertigaan arah terminal banyak orang berkerumun, air
masih menggenang. Baru kutahu, kota Sigli pun terkena
Karena Kita Garda

bencana tsunami dan di pertigaan inilah air berujung.


Banyak korban yang meninggal, hingga Bupati Sigli pun
belum diketahui nasibnya saat itu, sementara istri bupati
sudah ditemukan dalam keadaan meninggal.

Pikiranku untuk segera kembali ke rumah bertemu anak


istriku semakin besar, aku berusaha mendekati orang yang
108

mirip anggota TNI.

”Mas kalau mau ke Medan naik apa ya dari sini?” Tapi aku
dibuat kaget mendengar jawabannya.

”Wah, Mas, saya baru kali ini menempuh perjalanan darat


ke Medan dan saya juga sendirian, Mas”. Dari sanalah
kami mengobrol, hingga aku tahu bahwa dia adalah korban
tsunami yang juga akan mengungsi ke Medan. Namanya
Rafli, umurnya 19 tahun, kuliah semester I di Universitas
Syah Kuala, Fakultas Teknik Kimia. Di Banda Aceh
dia tinggal bersama pamannya yang telah lebih dahulu
meninggalkan Banda Aceh menuju Medan dengan mobil
pribadinya. Akhirnya kami pun menjadi teman, bahkan
seperti sahabat yang sudah lama saling mengenal.

Aku mencoba bertanya kepada kernet bus PMTOH yang


kami tumpangi tadi. Ternyata bus itu pun berencana
menuju Medan, setelah mereka mengganti tali kipas
terlebih dahulu. Tak ada alternatif lain, hanya bus ini
satu-satunya harapan untuk segera sampai di Medan.
Para penumpang berebut naik kembali. Bus berangkat
menuju terminal bayangan (4 km dari pertigaan tadi), awak
bus mengganti tali kipas di sana. Tak satu pun penumpang
yang turun, padahal matahari panas menyegat. Aku dan
Rafli duduk di pojok paling belakang. Kulihat ada wartel
buka, letaknya di terminal bersebelahan dengan pos polisi.
Aku pun memaksakan diri untuk keluar bus menuju
wartel, mencoba menghubungi istriku. Kakiku sakit sekali,
luka di sekujur tubuhku sudah membengkak, tetapi aku
harus segera memberi kabar. Tak tega aku membiarkan
istri, anakku, dan kedua orang tuaku kebingungan karena
tak tahu apakah aku selamat dari bencana atau tidak.
Sungguh mengecewakan, ternyata wartel hanya bisa
untuk komunikasi lokal (Sigli dan sekitarnya). Kemudian
aku mampir ke sebuah kedai membeli 2 botol air mineral
dan permen sebagai bekal di perjalanan. Aku kembali ke
dalam bus, Rafli bertanya kepadaku, ”Dari mana, Mas?
Kok lama sekali.” Ternyata Rafli membawa HP dengan sisa

109
baterai yang hampir habis. Sinyal pun tak ada. ”Kalau ada
sinyal, Mas bisa pakai HP ini untuk mengirim SMS kepada
keluarga”. Alhamdulillah senang sekali aku mendapat
tawaran dari Rafli.

Kementerian Keuangan
Setelah 1 jam mengganti tali kipas, bus langsung berangkat.
Sepanjang perjalanan kulihat banyak rombongan hilir
mudik. Mereka adalah warga di pesisir pantai yang akan
mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, khawatir akan
terjadinya tsunami susulan.

Jam 13.00 kami sampai di Matang-Bieureun, bus berhenti


untuk makan siang. Matang terkenal dengan satainya,
aku ingin sekali mencoba. Namun, mengingat persediaan
uang yang terbatas, sementara perjalanan masih panjang,
aku pun makan ala kadarnya. Kemudian perjalanan kami
lanjutkan. Sekitar 2 km dari tempat kami makan, tanah di
kiri kanan aspal sepanjang 3 km retak selebar 10-30 cm,
beberapa tiang listrik roboh.

Perjalanan kami selanjutnya melalui pantai yang jaraknya


± 100 meter dari jalan raya. Permukaan laut tampak tenang,
tetapi di sepanjang jalan nampak pohon, rumah, tiang
listrik, dan telepon luluh lantah, hancur berantakan, akibat
terjangan badai tsunami.

Saya merasa was-was melalui jalan yang letaknya sangat


dekat dengan laut. Trauma tergulung ombak masih
membayang. Namun apa mau dikata, hanya inilah satu-
satunya jalan yang harus dilalui untuk melanjutkan
perjalanan ke Medan.

Selanjutnya, jalan menanjak menuju perbukitan. Di atas


Karena Kita Garda

bukit terdapat komplek TNI yang nampak baru dibangun.


Hampir seluruh bangunan kompleks terisi oleh para
pengungsi. Sekitar jam 14.00 WIB sampailah kami di
Terminal Bus Lhoukseumawe. Rafli menyalakan HP-nya,
ternyata sudah ada sinyal dan Rafli-pun memberikan HP-
nya untuk memberikan kesempatan kepadaku, mengirim
SMS kepada istri dan orangtuaku. Kusampaikan bahwa
110

aku lolos dari bencana tsunami, saat ini sedang dalam


perjalanan darat menuju Medan. Kemudian Rafli pun
segera mengirim SMS kepada orangtuanya, ternyata
orang tua Rafli sedang berada di Medan dan akan segera
berangkat ke Banda Aceh menjemput Rafli. Setelah
tahu bahwa Rafli selamat dan sedang menuju ke Medan,
orang tuanya tampak senang, bahagia, dan haru. Rencana
menjemput ke Aceh pun dibatalkan.

Perjalanan dilanjutkan melewati daerah Idi, banyak


penumpang yang turun. Sepanjang perjalanan
Lhoukseumawe – Idi – Peureulak tampak tenda-tenda
pengungsi berjejer di jalan raya. Masjid pun dipenuhi para
pengungsi. Aku baru menyadari, bahwa bencana tsunami
menerjang hampir seluruh daerah di Provinsi NAD.

Daerah Idi – Peureulak adalah daerah yang paling


aku khawatirkan. Di daerah ini beberapa kali terjadi
pembajakan dan penembakan terhadap bus umum yang
lewat. Menjelang magrib, kami sudah melewati daerah
Peureulak, hatiku merasa tenang. Daerah paling rawan
sudah aku lewati.
Jam 20.00 bus berhenti di Langsa untuk makan malam.
Aku dan Rafli turun dari bus dan segera mencari wartel.
Aku menghubungi istriku di Bekasi dan orang tuaku di
Situbondo. Betapa senang dan haru mereka mendengar
suaraku, semakin yakin bahwa aku benar-benar telah
selamat. Namun, aku tak bisa bicara banyak, uangku
terbatas, istriku mengabarkan bahwa semua teman-teman
mengkhawatirkan diriku, beberapa teman meninggalkan
nomor HP untuk memudahkan aku menghubungi mereka
jika ada kesulitan pada saat menyelamatkan diri dari
bencana. Aku mencoba menghubungi seorang teman
yang kebetulan sedang tugas di Medan, dia menginap di
sebuah hotel. Betapa senang dan haru mereka mendengar
suaraku, mereka menungguku dan tak sabar ingin melihat
keadaanku.

Jam 22.30 sampailah kami di Medan. Kami turun di Jalan


Gatot Subroto. Di tempat itu sudah menunggu orang tua

111
dan keluarga Rafli. Kemudian mereka mengantarku ke
hotel tempat teman aku menginap. Aku ragu memasuki
hotel, dengan memakai kaos lusuh (2 hari belum ganti dan

Kementerian Keuangan
tidak mandi), sarung, sandal jepit, dan dihiasi dengan luka
di seluruh tubuhku. Khawatir tidak diperbolehkan masuk
hotel.

Kehawatiranku tak terbukti, teman-temanku –Nugroho


(Jureng) dan Alromon (Ace) sudah menungguku di pintu
lobi hotel. Aku disambut dengan rasa senang, gembira, dan
haru. Namun, mereka tampak terkejut ketika melihat aku
turun sendirian. Ternyata beredar isu bahwa aku selamat
bersama dengan Tarwi, teman sekamarku di mess Banda
Aceh.

Aku merasa sangat senang, gembira bertemu dengan


teman-temanku, terasa lepas beban di hati ini. Aku yang
tadinya tak tahu harus bagaimana dan ke mana di kota
Medan dengan sisa uang di kantong Rp20.000,00. Aku
tak tahu dan lupa nomor telepon dan alamat teman-teman
di Medan (semua tersimpan di HP yang sudah tak ada lagi).
Tak lupa kuucapkan terima kasih kepada Rafli yang telah
bersamaku dan mengantarku hingga bertemu dengan
teman-temanku. Berkat bantuannya, aku dapat segera
menghubungi istri dan orang tuaku dengan HP-nya. Rafli
juga mengucapkan terima kasih karena merasa tenang
selama dalam perjalanan bersamaku.

Kemudian aku langsung diantar ke kamar yang ada di


lantai 6. Di sana sudah disiapkan 2 set pakaian baru (untuk
aku dan Tarwi) beserta obat luka. Aku pun membersihkan
diri dengan berendam air panas. Luka di tubuhku terasa
Karena Kita Garda

perih sekali. Kemudian aku dibawa ke rumah sakit,


mengobati luka di sekujur tubuhku. Kami pun menuju RS
Gleneagles, semua luka dibersihkan dan tak lupa diinjeksi
anti-tetanus.

Ternyata 5 orang teman dari Banda Aceh sudah tiba terlebih


dahulu di Medan sore tadi dengan menggunakan pesawat.
112

Dan malam itu juga terdapat kabar bahwa kepala kantorku


juga selamat. Alhamdulillah.

Selasa, 28 Desember 2004

Pukul 06.30 aku sudah berada di Bandara Polonia, satu


jam lagi aku diantar Jureng berangkat ke Jakarta dengan
pesawat Garuda. Pukul 09.30 mendaratlah kami di Bandara
Soekarno-Hatta, kami langsung disambut dengan sebuah
Kijang yang sudah menunggu di tangga pesawat. Ya Rabb
syukur pada-Mu, aku masih diberikan kesempatan bertemu
istri dan anak-anakku. Pujian bagi-Mu aku masih diberi
kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang yang
aku cintai. Hanya dengan izin-Mu aku dapat melewati
ujian dahsyat yang nyaris merenggut nyawaku… Beliau
mengakhiri kisahnya.

Tiap Beliau menceritakan kisah ini di hadapan teman-


teman juga para pegawai Bea dan Cukai, selalu membuat
kita yang mendengarkan terbawa suasana haru yang
menghunjam hati. Tersadar betapa kecilnya kita. Tersadar
betapa ringkihnya kekuatan kita. Tiada yang bisa menjamin
kita bisa menyaksikan terbitnya matahari esok pagi. Tak ada
yang bisa memberikan garansi kita masih bisa menghirup
nafas esok hari.

Semua orang meyakini bahwa dirinya pasti mati. Semua


berjalan menuju kematian. Dan semua juga sadar kematian
bisa datang kapan saja, bahkan juga sering tiba-tiba.
Namun, terkadang kita menjumpai para manusia ternyata
banyak juga yang tidak benar-benar mempersiapkannya.
Banyak dari kita lalai akan kematian, padahal kematian
adalah pasti. Dan ketika kiamat (kematian) sudah di depan
mata, buku suci menggambarkan bahwa mereka (para
manusia) melihat hidup itu sebentar sekali, sekitar hanya
dua jam saja. “…mereka merasa seakan-akan tidak tinggal
(di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi
hari.” (An Nazi’at 79: 46).

Bahkan saking menyesalnya mereka (karena kurang

113
amal baiknya), sampai mereka ingin menjadi debu saja.
“…Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah”
(An Naba’ 78: 40).

Kementerian Keuangan
Marilah kita bersama isi setiap episode hidup kita yang
sangat sebentar ini dengan kebajikan penuh makna. Nikmat
kesempatan hidup yang diberikan Tuhan, semaksimal
mungkin digunakan seluruh detiknya untuk mendatangkan
kemanfaatan dan kebaikan untuk alam semesta.

Teriring lantunan doa tulus, sepenuh hati, semoga para


korban tsunami, (termasuk keluarga besar Bea dan Cukai*)
diberikan kekuatan, kesabaran, dan kehidupan yang lebih
baik. Para syuhada yang meninggal semoga ditempatkan di
salah satu taman dari taman-taman di surga-Nya.

*Hingga tanggal 23 Januari 2005, dari 141 karyawan, 90 selamat, 30


dinyatakan meninggal, dan 21 tidak diketahui nasibnya.
Terima kasih khusus aku ucapkan kepada:
1. Allah SWT yang telah memberikan kesempatan hidup
untuk yang kedua kali dan memberikan kesempatan
untuk lebih bisa mensyukuri nikmat yang telah
diberikan oleh-Nya.
2. Keluarga Sherly, keluarga (yang aku lupa namanya)
yang membantuku selama pengungsian, awak Bus
Sahabat, awak Bus PMTOH, Rafli dan semua pihak
yang telah membantuku di Banda Aceh.
3. Bapak Dirjen Bea dan Cukai beserta seluruh jajarannya.
4. Jureng, Ace, Sad, Encep, Blake, Wondo, Gembung,
Karena Kita Garda

Budi, dan semua rekan beserta para tetangga yang telah


banyak memberikan dukungan, baik moril maupun
materiil.
114
Amplop Cokelat

Oleh:
Puguh Hermawan,
Pegawai DJPb

“Hati-hati di sana Le, gak usah neko-neko, manut wae


sama atasan. Apapun yang kamu kerjakan di tempat orang,

115
lakukan yang terbaik demi agama, nusa, dan bangsa yo, Le!
Yang penting satu: jangan korupsi! Bu’e di rumah baik-baik
saja. Mangkato, Le, nanti terlambat!”

Kementerian Keuangan
Kalimat itu terngiang-ngiang di telingaku, seperti baru
kemarin Bu’e mengatakan itu, ketika aku berangkat untuk
pertama kalinya meninggalkan Tanah Jawa. Tak kulihat
wajah Bu’e yang sembap menahan perasaannya. Bukan tidak
mau, hanya tak tega rasanya meninggalkan sosok yang telah
merawatku sejak kecil itu seorang diri. Tak tega melihat
matanya yang basah mulai menitikkan kristal-kristal
cintanya. Aku tahu Beliau pun tak ingin aku melihatnya,
sehingga cepat-cepat dihapus seolah-olah takut kupergoki
Bu’e menangis. Aku sangat mengerti betapa berat dirinya
melepas keberangkatanku, tapi aku juga tahu betapa besar
pula rasa bangganya melihatku berangkat menuju tempat
asing untuk mengabdi demi nusa, bangsa, dan agama,
seperti yang selalu Beliau tanamkan dengan sederhana
kepadaku sejak kecil.

Segera kulangkahkan kaki ini dengan sedikit tergesa.


Biarlah, biar semua orang mengira ketergesaanku
karena takut ketinggalan kereta menuju kota pelabuhan
keberangkatanku nanti. Biar aku dan Yang Maha Memiliki
Hati saja yang tahu, bahwa ketergesaan ini karena ingin
segera kulewati momen sendu ini. Dan tentunya aku tak
ingin larut dalam kesedihan yang menyakitkan, sehingga
Bu’e tahu bahwa aku pun amat berat meninggalkannya
seorang diri.

Ingin rasanya ku berbalik dan memeluknya sekali lagi,


menunjukkan perasaanku sesungguhnya. Inginku
Karena Kita Garda

ungkapkan betapa kumencintainya dengan tulus, meski


aku tahu cintaku kepada Bu’e tak mungkin cukup besar
dibandingkan cintanya padaku.

***

“Tidak usah sok deh, kamu ‘kan masih pelaksana. Jangan


116

mentang-mentang usia kamu masih muda ya!” dengan


kumis melintang, muka meradang menahan amarah, bapak
itu membanting kacamatanya di meja dengan keras.

“Sungguh, Pak, saya tidak berani.”

“Kamu ‘kan tidak perlu ngapa-ngapain, cukup ketik saja


sesuai kesepakatan!”

“Tapi, Pak ...“

“Tidak usah tapi-tapian, habis waktu saya jika hanya


berdebat dengan anak kemarin sore!”

Tanpa basa-basi Beliau meninggalkanku di ruangan itu


sendiri. Tidak! Betapa pun Beliau adalah pemimpin di
kantor ini, aku tidak ingin memenuhi permintaannya
yang mungkin lebih tepat disebut perintah. Aku bimbang
sejenak, meskipun akhirnya dengan berat kutinggalkan juga
ruangan itu, kembali ke meja kerjaku.

Demi memikirkan kembali posisiku sebagai “anak kemarin


sore” di kantor ini, aku pun memenuhi permintaan Beliau,
tentunya setelah melalui proses debat yang panjang
dengan beberapa pegawai lain yang entah mengapa merasa
terancam dengan gaya protesku. Sehingga angka-angka ajaib
itu pun tercipta, entah dari mana aku sendiri tak mampu
menjelaskan. Tugasku hanyalah memindahkan coretan
tangan itu dalam format yang telah ditentukan. Paraf, tanda
tangan, stempel, dan selesai sudah tugasku yang satu itu.

Alangkah terkejutnya aku, ketika seminggu kemudian


si Bapak dengan kumis melintang mendatangiku dan
memberikanku amplop cokelat yang tak perlu ditanyakan
lagi isinya apa.

“Maaf, ini apa, Pak?” tanyaku curiga.

“Jatah kamu,” jawabnya polos.

“Maksudnya, Pak?” tanyaku lagi.

117
“Tidak usah basa-basi lah, ambil saja!” ujarnya enteng sambil
meninggalkan ruanganku begitu saja.

Segera kuintip isi amplop cokelat yang memang tidak disegel

Kementerian Keuangan
itu. Segepok uang yang tidak sedikit!

Tidak, hal inilah yang paling kutakutkan dari kemarin.


Menerima uang yang bukan hakku. Apalagi kutahu ini
adalah uang kotor. Aku harus menolak uang ini, tapi
bagaimana caranya? Apakah aku harus mengembalikannya
kepada pimpinanku itu? Lalu mengatakan bahwa aku tidak
bisa menerima hal ini?

Ah, itu sama saja aku bunuh diri. Bukankah baru kemarin
aku berdebat dengannya tentang masalah integritas?
Tentang arti sebuah loyalitas terhadap pekerjaan dan atasan?
Dan hasilnya aku terancam masuk blacklist? Atau memang
ini saatnya aku menegaskan teoriku tentang istilah “loyalitas
buta”? Ah, begitu banyak pertanyaan yang dengan riang
menari-nari di atas kebimbangan pikiranku.

Di satu sisi, hatiku ingin mempertahankan idealismeku,


tetapi di sisi lain otakku berpikir tentang masa depan
yang bakal terancam jika aku menentang atasanku, secara
terang-terangan pula. Sekarang uang dalam amplop ini pun
menambah bebanku, bukan hanya beban pikiranku, tetapi
juga kekalutan atas masa depanku.

Satu hal yang membuatku berani berpikir, bahwa idealisme


ini harus tetap kupertahankan, yaitu keyakinan bahwa
masih banyak orang baik di dunia ini. Masih banyak orang
yang berharap kebusukan ini segera berakhir, sehingga
pekerjaan dapat diselesaikan tanpa kepentingan neko-neko
Karena Kita Garda

seperti yang terjadi saat ini. Kuyakinkan diri untuk tetap


memegang prinsip, bila tak dimulai dari sekarang, tak akan
terjadi perubahan apa-apa. Kupaksakan pikiranku tertuju
pada harapan akan perubahan besar pada instansi ini ke
arah yang jauh lebih baik.

Tinggalkan kebusukan, pertahankan budaya lama yang


118

santun, kembangkan budaya baru yang lebih beradab,


temukan cara perubahan yang terbaik, fokuslah pada cita
-cita, maka akan kaugapai masa depan yang engkau cita-
citakan. Kata-kata dalam buku pengembangan diri yang
pertama kali kubeli dengan honor magangku dulu, begitu
jelas melekat di otakku. Bagai tersengat arus listrik yang
mengejutkan, aku pun bersemangat menuju ke ruangan
atasanku.

“Saya percaya Mas Wawan orang baik. Makanya uang itu


saya serahkan ke Mas Wawan. Kalau saya serahkan ke
orang lain, pasti akan diarahkan ke hal yang semakin tidak
jelas. Memangnya Mas mau uang yang Mas bilang ‘kotor’
itu digunakan untuk berfoya-foya oleh orang yang tidak
bertanggung jawab? Apakah tidak lebih berdosa nantinya
kalau kita memberikan daging domba yang tak berdosa
kepada buaya lapar yang malas mencari mangsa? Kalau
Mas merasa uang itu bukan hak Mas, Mas bisa salurkan
ke tempat yang menurut Mas tepat, karena Mas orang
baik, maka Mas Wawan pasti tahu mana tempat-tempat
yang dimaksud. Dan yang jelas, karena toh selama ini Mas
Wawan adalah tulang punggung kantor ini. Hampir semua
seksi membutuhkan tenaga Mas, jadi bisa dikatakan ini
adalah uang hasil keringat Mas Wawan juga.” ujar Si Bapak
Kumis suatu hari.

Bagaikan disengat listrik kedua kalinya, aku pun lemas


tak berkutik mendengar perkataan ‘enteng’ Beliau.
Sehingga tulang belulangku seolah dicabuti dari tubuhku.
Persendianku rasanya tak berdaya kugerakkan untuk
kembali ke mejaku.

Ya Allah, benarkah yang kudengar tadi? Bapak-bapak


berbaju cokelat yang selama ini kutentang memercayakan
kepada diriku untuk menyalurkan uang ini ke tempat yang
layak, tapi kemana?

Duhai Yang Maha Membolak-balikkan Hati, mengapa


ujian ini begitu berat? Ini adalah uang pertama yang

119
tak kuketahui asal-usulnya. Yang kutahu hanyalah dari
pemahamanku yang sempit, bahwa ini di luar hak rutinku,
di luar penghasilan normalku. Yang kupahami hanyalah
ini bukan hakku. Namun mengapa atasanku tadi berkata

Kementerian Keuangan
bahwa ini hasil keringatku sendiri? Bukankah tanpa uang
ini pun aku tetap harus menyelesaikan pekerjaanku, karena
memang sudah kewajibanku?

Berhari-hari tak juga kunjung reda aku memikirkan


nasib uang itu. Dengan takut-takut ada orang lain yang
melihatnya, aku hanya meletakkan uang itu di laci dan
menguncinya sembari menunggu kemantapan hatiku
tentang keberadaan uang itu.

Ah, biarlah Allah yang akan menunjukkan kepada hatiku


akan kuapakan uang dalam amplop cokelat itu.

Doaku hanya satu, “Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah yang


Maha Mengetahui yang benar dan yang salah. Jika memang
uang ini adalah hakku, maka tunjukkanlah dengan cara-
Mu bahwa uang ini memang berhak kupakai. Namun jika
uang ini bukan hakku, maka tunjukkanlah dengan cara-Mu
bahwa uang ini tidak layak untuk kupergunakan.”

***

“Pulanglah Wan, Bu’e sakit keras, Pak Dhe-mu ndhak punya


uang banyak untuk biaya operasi ibumu.”

Bagiku berita itu seperti petir di siang bolong. Sesaat aku


tidak memberikan reaksi apa pun. Hanya bengong. Mengapa
selama ini aku tak pernah dikabari bahwa penyakit Bu’e
sudah terlalu parah? Kalau memang butuh operasi, mengapa
tidak bilang dari dulu? Setidaknya aku bisa meminjam
Karena Kita Garda

sana-sini untuk sekadar meringankan biaya operasi yang


dibutuhkan. Ah, begitulah Bu’e, tak ingin merepotkan orang
lain, bahkan kepada anaknya sendiri.

Ya Allah, ini semua kehendak-Mu. Aku hanya mampu


meneteskan air mata dalam sujudku yang panjang di malam
itu.
120

***

Dan kini aku telah berada di kamarku yang dulu. Lebih


tepatnya kini menjadi kamar di mana Bu’e berbaring
menanti mobil yang Pak Dhe pinjam dari tetangga untuk
membawa Bu’e ke rumah sakit untuk dioperasi. Karena
ternyata selama ini Bu’e bersikukuh untuk tetap dirawat
di rumah, dengan alasan biaya penginapan di rumah sakit
akan sangat mahal.

“Pulanglah Wan, Bu’e sakit keras,


Pak Dhe-mu ndhak punya uang
banyak untuk biaya operasi
ibumu.”
Ampuni aku ya Allah, karena selama ini aku begitu
lalai berbakti kepada orang tuaku sendiri. Aku telah
meninggalkan Bu’e sendiri bersama Pak Dhe yang ternyata
juga sedang kesulitan memenuhi kebutuhan keluarganya
sendiri, apalagi ditambah kondisi Bu’e yang sakit-sakitan.

Baru kutahu bahwa uang yang kukirimkan setiap bulan itu


sangat tidak mencukupi biaya rawat jalan Bu’e, karena biaya
obat-obatan yang membumbung tinggi. Bu’e belum cerita
detailnya, tapi dari sedikit penjelasan Pak Dhe, aku pun
semakin terenyuh melihat kondisi Bu’e.

Lagi-lagi gerimis membasahi hatiku ketika Bu’e sempat


menolak dibawa ke rumah sakit.

“Memangnya gajimu sudah cukup banyak untuk membawa


Bu’e ke rumah sakit, Le?”

Lidahku mendadak kelu. Tak satu pun kata keluar menjawab

121
pertanyaan Bu’e. Hanya ada satu dalam pikiranku. Bu’e
harus sembuh. Bu’e harus segera dirawat di rumah sakit.
Aku yakin, pasti akan ada jalan untuk mendapatkan biaya

Kementerian Keuangan
perawatan Bu’e. “Duh Gusti, paringi pitulungan.” desahku.

Mendadak terlintas olehku sebuah amplop cokelat yang


sudah kumasukkan ke dalam ranselku. Berada di bawah
tumpukan baju-baju yang sedianya aku bawa pulang. Dan
tas itu, kini masih teronggok di kamar kosku. Namun,
pergolakan di hati terjadi. Tak sudi kucelakai Bu’e dengan
uang itu. Bu’e pasti juga tidak akan rela jika tahu asal-usul
biaya pengobatannya.

Kubuang bayangan amplop cokelat yang memutari


kepalaku. Hidup mati manusia sudah diatur oleh Yang
Mahakuasa.

***

Sayup-sayup terngiang kalimat penuh cinta dari Bu’e, “Yang


penting satu, jangan korupsi!”
Catatan Kecil
Reformasi Birokrasi

Oleh:
Hadi Nursahid,
Pegawai DJPb
Karena Kita Garda

Anak itu terlihat menyedihkan. Matanya cekung,


pandangannya nanar, bajunya lusuh, duduk di kursi reyot di
122

pojok sebuah ruangan pengap. Tangannya menggenggam


tali rafia kuning agar kipas angin noraknya bisa selalu
diarahkan kepadanya. Dari mulutnya terdengar ocehan
bait-bait lagu keikhlasan, igauan senandung zikir-zikir
kesabaran. Seolah mencoba menghibur hatinya yang
gundah.

Pekerjaan telah mengantarkannya untuk berkeliling


Indonesia, dari satu pulau ke pulau lain, dari satu daerah
ke daerah lain, suatu petualangan yang mengharu biru
perasaan. Bertemu dengan bermacam budaya, bersua
dengan berbagai adat, berkomunikasi dengan beragam
bahasa.

Petualangan yang menggairahkan sebenarnya, tetapi


perasaanya bergemuruh. Dia tidak menemukan
lingkungan kerja yang sesuai dengan jiwanya. Dia tidak
bisa mengekspresikan keyakinannya. Kreativitasnya
terkungkung, idealismenya terpenjara, keyakinannya
tertawan.
Sebenarnya dia adalah anak yang brilian, cerdas luar
biasa. Dia tidak pernah beranjak dari peringkat tiga besar
sejak dari SD sampai dengan kuliah. Dia dari keluarga
yang sederhana di kampung yang jauh dari kota, tetapi
cita-citanya menggelora. Penyakitnya hanya satu, dia
terlalu fanatik dengan agamanya, terlalu memegang teguh
keyakinanya, tidak mau kompromi dengan prin­sipnya. Ya,
dia terlalu keras, terlalu radikal, ‘tidak bisa bekerja sama’.

Ya, ‘tidak bisa bekerja sama’. ltulah istilah yang diberikan


kepadanya atas sikapnya yang norak, tidak mau menerima
pemberian dengan ikhlas dari bendahara yang dilayani.
Alasannya mungkin sangat bodoh, “Ini sudah pekerjaan
saya”, atau alasan yang ‘fundamentalis’ persis seperti ucapan
calon teroris, “Agama saya mengharamkannya.” Padahal
teman-temannya mau menerima dengan alasan yang lebih
masuk akal, “Kita tidak meminta. Ini adalah bentuk ucapan
terima kasih dari mereka yang sudah kita bantu.”

123
Padahal semua tahu dia selalu kena migrain berat setiap
akhir bulan karena pusing mengatur gajinya yang tidak

Kementerian Keuangan
cukup. Selalu beralasan sok alim puasa Senin - Kamis untuk
menghemat jatah makan. Selalu mabuk laut berat setiap
pulang kampung karena harus naik kapal tua yang hanya
ada jadwal seminggu sekali.

Yang lebih menyebalkan, ketika dia sudah berkeluarga,


dia ikut menelantarkan keluarganya dengan alasan yang
sulit diterima nalar, “Saya tidak mau ngasih makan bara
api kepada keluarga saya’’. Dan yang lebih aneh, istrinya
satu suara, seperti paduan suara ibu-ibu PKK dengan
mengatakan “Suarniku, saya siap lapar, namun saya tidak
siap masuk neraka’’. Keluarga yang aneh, keluarga yang
tidak bisa bekerja sama.

Tapi itu dulu. Duluuu sekali. Dan kini sudah terkubur


dalam-dalam. Pemuda itu sekarang kelihatan gagah.
Rambutnya tertata, bajunya serasi dengan celana dan
sepatunya, kelihatan rapi walaupun tidak mahal. Dan yang
lebih mengherankan lagi, sekarang dia berdasi!
Ruangan kerjanya tidak kalah mentereng. Hebat luar biasa,
selalu dingin seperti di pegunungan, berhiaskan bunga-
bunga cantik yang tertata rapi. Tidak mahal memang, tapi
kelihatan terawat, dan dipadu dengan pot-pot mungil yang
estetis dengan warna sepadan. Alunan musik lembut yang
menenangkan suasana, tidak ada suara keras, tidak ada
keributan kecuali suara panggilan nomor antrean, selalu
setia menemani hari-hari pengabdiannya.

Di teras depan dan belakang, tidak kalah rindang.


Walaupun hanya berhiaskan bunga alang-alang liar yang
Karena Kita Garda

ditanam di pot-pot besar dan dipadu dengan piper crocatum


ruiz, anthurium wave of love, dan aloe vera liin, tetapi karena
ditata dengan apik, maka kelihatan sangat memikat laksana
hotel-hotel berbintang.

Teman-temannya tidak kalah gagah. Senyuman selalu


tersungging, semua kelihatan cerah. Langkahnya
124

selalu penuh kemantapan, menandakan semangat yang


membuncah. Kata-katanya tertata, emosinya terkontrol,
semua kelihatan kompak. Jelas menunjukkan tim yang
solid.

Ya, dia sekarang berada di lingkungan kerja yang berbeda


180 derajat. Gelombang reformasi birokrasi telah
meluluhlantakkan peradaban jahiliah di Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, menghancurleburkan jaring-jaring
koncoisme, merobohkan keangkuhan korupsi, mencabut
akar-akar kesombongan KKN.

Aneh, bahkan sangat-sangat aneh, orang-orang seperti


dia yang dulu dianggap tidak bisa bekerja sama, yang
selalu ditempatkan di pojok-pojok kekuasaan yang tidak
punya peran yang signifikan, sekarang justru dicari,
dikejar, diburu, untuk menjalankan apa yang disebut
roda reformasi birokrasi. Bahkan untuk memburu dan
menangkap para spesies langka ini, cara yang dilakukan
tidak kalah aneh, mereka harus mengikuti tes yang mereka
sendiri tidak paham. Namun, sungguh ajaib, mereka yang
lulus ternyata memang memiliki jenis gen kepribadian yang
sama, memiliki kromosom perilaku yang mirip, memiliki
adrenalin semangat yang seragam. Sungguh tes yang
sangat-sangat aneh.

Sekarang dia sudah mendapatkan apa yang dia cari,


lingkungan kerja yang diidamkan, tidak ada lagi hiruk
pikuk perebutan posisi. Di seksi manapun ditempatkan,
tidak ada lagi istilah basah dan kering. Prestasi dihargai,
kerja keras terbalas, inovasi diakui, kejujuran dibenarkan.
Ya, nyaris sempurna.

Namun ada satu hal yang meresahkannya. Sudah berjam-


jam dia merenung, melamunkan sesosok wanita yang
sudah sepuluh tahun lebih setia mendampinginya. Dia tetap
anggun seperti dulu, tetap santun dalam berkata, tetap
tidak pernah mengeluh dengan seabrek pekerjaannya.

Dia wanita tercantik yang pernah dikenal, yang selalu setia

125
menjaga kehormatannya, yang telah memberinya hadiah
terindah berupa pahlawan-pahlawan kecil yang selama ini
selalu mengalirkan semangat kepadanya, yang mengobati
kelelahannya, yang meredam emosinya, yang selalu

Kementerian Keuangan
mendorongnya untuk segera pulang selepas bekerja.

Ya, dia memang wanita yang luar biasa. Kecantikannya


tidak pernah pudar walaupun usianya sudah mendekati
empat puluh. Dan sebelas tahun yang lalu, dia mengejutkan
semua orang karena menikah secara tiba-tiba dengan pria
yang hanya dia kenal lewat surat, yang berada jauh di pulau
lain.

Sekarang dia harus berpisah dengan wanita luar biasa ini


dan dengan pejuang-pejuang kecilnya. Hanya kontak via
suara yang sering dilakukan. Memang tidak seharusnya
mereka berpisah, tapi segala sesuatu ada risikonya, dan
dia memilih memberikan pendidikan yang terbaik untuk
pahlawan-pahlawan kecilnya, walaupun itu menuntut
mereka dipisahkan lautan.

Namun, bukan perpisahan itu yang membikinnya


termenung karena itu sudah didiskusikan, diputuskan,
dan disepakati, tinggal bertawakal kepada Allah. Yang
membuatnya termenung adalah pesan dari istrinya saat
kepulangan terakhirnya sekitar dua bulan yang lalu.

“Suamiku, kita sudah berhasil melewati masa-masa sulit,


ketika kita terhimpit ekonomi, ketika kita tidak dipandang
oleh orang lain. Sekarang keadaan sudah berubah, pintu-
pintu rezeki sudah dibuka, jalan-jalan kemudahan sudah
terbentang. Satu pertanyaanku suamiku, apakah kita
bisa melewatinya, apakah kita sanggup lolos dari godaan
Karena Kita Garda

kemewahan, apakah kita masih bisa istikamah dengan


keyakinan kita?”

Semburat kuning muncul di balik pegunungan Donggala.


Samar-samar tertutup dedaunan kayu hitam khas Sulawesi,
ebenaceae . Suara azan Magrib terdengar sayup-sayup dari
masjid kantor, menorehkan perasaan kerinduan pada Sang
126

Khalik. Segera dia menghentikan lamunannya dan segera


membasuh wajahnya untuk bersimpuh di hadapan-Nya
untuk memohon kekuatan, baik untuk dirinya maupun
untuk keluarganya, untuk teman-temannya, dan untuk
Direktorat Jenderal Perbendaharaan –tempatnya bernaung,
“Semoga tetap istikamah dengan jalan yang sudah dipilh,
semoga Allah memudahkannya. Amin.”

Memang tidak seharusnya


mereka berpisah, tapi segala
sesuatu ada risikonya, dan dia
memilih memberikan pendidikan
yang terbaik untuk pahlawan-
pahlawan kecilnya.
Maka Berutanglah
Kita kepada Rakyat

Oleh:
Hisyam Haikal,
Pegawai Itjen

Suatu hari di tahun 1993, seorang satpam Departemen


Keuangan tergopoh-gopoh “menghalau” sebuah Datsun

127
tua dari tempat parkir khusus pejabat eselon II. Mungkin
terpikir dalam benak sang satpam, sungguh tak layak mobil
bobrok begitu nangkring di sana. Hampir tak mungkin pula

Kementerian Keuangan
seorang pejabat eselon II punya mobil “seelok” itu. Maka
ketika sesosok tubuh tinggi, berkulit putih, lengkap dengan
kumis tebalnya, keluar dari Datsun itu, terkejutlah sang
satpam. Beliau memang pejabat eselon II, tempat parkir
itu memang jatahnya, dan “mobil bobrok” itu memang
mobilnya.

Soleiman Abdullah nama lengkapnya. Kepala BAKUN,


jabatan terakhirnya. Itulah Beliau, sang pemilik Datsun tua,
yang masih ada sampai sekarang. Paling tidak, sampai saat
saya bertemu kembali dengannya, sebulan lalu, pada suatu
siang di atas gerbong kereta menuju Bandung. Perhatikan
bagaimana kata “Soleiman” ditulis, bukan “Sulaiman” atau
“Suleiman”. Seorang senior bilang, cara menulis nama
Beliau adalah salah satu indikasi kedekatan seseorang
dengan Beliau.

Cerita yang saya jadikan pembukaan tulisan ini, sungguh,


tak saya lebih-lebihkan sedikit pun. Memang begitulah
adanya. Kesederhanaan memang sangat lekat dengan
Beliau. Buat kami yang pernah jadi anak buahnya,
kesederhanaan itu nyata, bukan gosip di dunia maya, atau
khayalan kaum idealis utopis.

Pak Soleiman Abdullah, siapa yang tak kenal sosoknya?


Buat para pegawai Itjen Kemenkeu tahun ‘70-an, ‘80-an,
dan ‘90-an, nama itu tentu tak asing lagi, tapi mungkin
berbeda buat generasi millennial Itjen, 2000-an. Mengenang
Beliau, sungguh nostalgia terindah para perindu integritas,
Karena Kita Garda

sekaligus pesona buat generasi muda yang merindukan


sosok hidup bernama integritas.

Seorang kawan menyebutnya legenda. Legenda pada


zamannya. Jauh sebelum hiruk pikuk tentang kode
etik, Beliau sudah menjalankannya. Jauh sebelum orang
berteriak-teriak tentang integritas, Beliau sudah patrikan
128

kata itu di jantungnya. Jauh sebelum keluh kesah finger


print, kami sudah mengalaminya (secara manual).
Jauh sebelum Standar Audit digalakkan, Beliau sudah
menerapkan standar audit versi Pak Leman yang amatlah
ketatnya.

Waktu itu, untuk sampai pada tahap melakukan audit


bukanlah sesuatu yang mudah (sekarang pun mungkin
masih begitu ya?). Kita harus meyakinkan betul bahwa
audit memang benar-benar diperlukan dan menghasilkan
sesuatu yang signifikan. Kalau Beliau tak bisa diyakinkan
dengan itu, jangan harap kita bisa dinas luar. Dan ketika
audit selesai, penyusunan laporan bagaikan ujian skripsi.
Beliau bagaikan dosen penguji jenis killer dan kami
bagaikan mahasiswa S1 yang bermandi peluh, gemetar
berjuang mewujudkan cita-cita.

Hari-hari bersama Pak Leman adalah hari-hari yang


menegangkan, sekaligus menyenangkan. Wibawa bagaikan
melekat di dahinya. Gelegar suaranya menggetarkan
setiap penghuni ruangan. Dialek khas Ambon-nya masih
terngiang sampai sekarang. Sosoknya yang tinggi dengan
kulit putih dan kumis tebal, membuat para pegawai wanita
tak ragu memasukkannya dalam kategori tampan. Bersaing
dengan Tom Selleck atau Burt Reynolds pun Beliau
sanggup.

Bukan itu saja. Perhatiannya kepada anak buah, sampai


sekarang belum ada duanya. Beliau tahu betul siapa duduk
di mana. Beliau paham betul siapa berasal dari mana. Beliau
habiskan banyak waktu buat ngobrol dengan kami. Tentang
daerah asal, tentang keluarga, tentang agama, tentang
apapun. Lengkap dengan canda tawa. Kawan saya bilang,
ini jenis pejabat langka yang patut dilestarikan.

Seorang kawan menyebutnya anugerah ketika saya bertemu


dengan sosok Pak Leman. Sebulan lalu, dalam sebuah
perjalanan penugasan ke Bandung dengan kereta, seorang
kawan berbisik, “Ssst, itu Pak Leman …” Kami masih sibuk
mencari nomor kursi ketika Beliau malah menyapa saya dan

129
menyebut nama saya dengan jelas. Saya tak terkejut, Beliau
memang hafal nama anak buahnya satu per satu. Tapi
setelah hampir lima belas tahun tak bertemu, tentu hanya

Kementerian Keuangan
pria luar biasa yang hafal nama anak buahnya. Pak Leman
mengajak saya duduk di kursi sebelah Beliau yang kebetulan
kosong.

“Kita semua berutang


kepada publik… semua yang
kita terima sebagai pegawai,
apalagi pejabat, pada
saatnya nanti harus kita
lunasi.”
Maka berlalulah tiga setengah jam dalam dialog yang begitu
indah. Saya terpana mendengar suaranya yang sedikit
pun tak berubah. Saya terharu, Beliau tak kehilangan
ingatan tentang seluruh bekas anak buahnya. Saya kagum
pada integritasnya yang tak juga luntur. Saya tersenyum,
kebiasaan Beliau memvonis orang lain tak juga hilang. Ah,
tentu Beliau juga manusia biasa, tak semua yang ada pada
diri manusia kebaikan melulu. Ada juga satu dua hal yang
menunjukkan sifat kemanusiaannya.

Satu kalimat dari Beliau –dalam perbincangan itu- yang


Karena Kita Garda

begitu lekat di telinga saya dan tergores lekat dalam benak


saya, “Kita semua berutang kepada publik… semua yang kita
terima sebagai pegawai, apalagi pejabat, pada saatnya nanti
harus kita lunasi.”

Saya tertegun, menelusuri seluruh yang melekat pada diri


saya, semua yang saya miliki, dan semua yang saya terima
130

dari negara, seumur karier saya. Berdasarkan teori Pak


Leman, jelas saya berutang kepada publik.

Gaji dan tunjangan yang kita terima setiap bulan, yang


jumlahnya bervariasi untuk setiap kita, itulah utang pokok
kita kepada publik. Semakin besar gaji dan tunjangan kita,
semakin besar yang dituntut publik dari kita, semakin
menumpuk utang kita kepada publik, dari bulan ke bulan,
dari tahun ke tahun. Sejak kita jadi CPNS hingga pensiun
kelak.

Fasilitas negara yang kita nikmati hari demi hari, itu pun
utang yang mesti kita bayar. Itu bukan “makan siang gratis”.
Pendingin udara yang kita nikmati, jernihnya air toilet,
laptop kantor yang kita jinjing ke mana-mana, dan tak lupa
kendaraan dinas yang membawa kita ke mana hendak pergi,
semua itu dibayar dan dipinjamkan publik kepada kita.
Semakin banyak yang kita nikmati, semakin menumpuk
utang kita. Semua itu harus kita bayar, sekarang atau kelak,
senyampang kita masih mampu, dan tahu cara melunasinya.
Publik tak membayar kita mahal, hanya untuk membuat
kita tertawa. Publik menuntut kerja keras, pemikiran, ide,
gagasan untuk perbaikan negeri. Publik menuntut keringat
kita. Paling tidak, begitulah menurut teori Pak Leman.

Perjalanan dinas yang kita lakukan, publiklah yang


membiayainya. Semakin sering kita melakukan perjalanan
dinas, semakin besar utang kita kepada publik. Semakin
mudah kita bolak-balik ke luar negeri dengan biaya negara,
semakin besar yang dituntut publik dari kita. Harus selalu
ada hasil dari setiap rupiah yang kita terima. Harus ada
oleh-oleh dari setiap langkah perjalanan dinas kita. Publik
tidak membelikan tiket kita hanya agar kita bisa melihat
dunia lain. Publik tidak membayar biaya penginapan kita
hanya agar kita bisa menikmati hotel mahal. Publik tidak
menyelipkan lembaran rupiah (atau US$) di saku kita hanya
agar kita bisa bersenang-senang di negeri orang. Semua itu
harus kita bayar dengan apa yang publik butuhkan. Paling
tidak, begitulah menurut teori Pak Leman.

131
Entah kita menyadarinya atau tidak, atau tidak peduli.
Setiap hari, kerja kita hanya menumpuk utang. Utang
kepada publik. Semakin tinggi jabatan yang kita duduki,

Kementerian Keuangan
semakin besar utang yang harus kita lunasi. Semakin
banyak fasilitas yang kita nikmati, semakin menumpuk
utang kita berpundi-pundi. Semakin antre tanda terima
honorarium yang harus kita tanda tangani, semakin
berderet utang kita menanti.

Maka kita harus membayarnya, sekarang atau segalanya


akan terlambat. Melaksanakan setiap pekerjaan yang
menjadi beban kita sesegera mungkin. Mencoba
berkontribusi –sesuai kapasitas masing-masing- dalam
setiap upaya pembangunan public trust. Mempertahankan
benteng integritas dari setiap upaya pengkhianatan.
Menjadikan kode etik sebagai pedoman dalam laku
langkah. Itu hanya sebagian yang bisa kita lakukan dalam
melunasi utang kita kepada publik.

Tapi seperti saya katakan, itu semua bila kita merujuk


kepada teori Pak Leman. Lain halnya tentu kalau kita
menganggap semua yang kita terima adalah hak kita, bukan
utang yang menuntut segera dilunasi.

Seperti kata Pak Leman, kita harus melunasinya, semua


utang-utang itu. Sekaranglah saatnya, sebelum terlambat,
sebelum kita dinyatakan gagal bayar, karena kita tak punya
lagi daya, dana, waktu, dan kemampuan untuk melunasi
utang.

Dengarlah senandung Chrisye melagukan lirik Taufik


Ismail:

“Akan datang hari


Karena Kita Garda

mulut dikunci
kata tak ada lagi…”

Ketika hari itu datang, Tuhan pun menagih semua utang


kita. Mungkin dengan cara yang tak terbayangkan oleh
kita, yang merasa tak punya utang.
132
Bakti Seorang
Pramubakti

Oleh:
Diana Rulita,
Pegawai DJA

Hari masih gelap ketika aku bergegas pergi. Selepas


salat Subuh tadi, aku sudah siap memakai sepatuku dan

133
mengikatnya dengan kencang. Aku tak ingin kejadian
tempo hari terulang kembali ketika sebelah sepatuku
terjatuh ke sisi rel kereta, sehingga aku terpaksa harus

Kementerian Keuangan
pulang kembali dengan hanya sebelah kaki yang memakai
sepatu. Dengan sigap aku menerobos kerumunan orang-
orang, agar bisa masuk ke dalam gerbong kereta yang akan
mengangkutku. Kereta melaju kencang meninggalkan Kota
Depok, menuju tempat kerjaku, DJA harapan.

Kupandangi rumah-rumah lewat jendela kereta, mungkin


di dalam sana penghuninya masih bertabur mimpi atau
masih melayani orang-orang terkasih. Namun, aku sudah
di sini, berpacu dengan waktu, berharap agar kereta ini
sampai dengan tepat waktu di kantor.

Pukul 06.30 kuhembuskan nafas dengan lega. Sampai di


kantor lebih pagi membuatku lebih nyaman. Aku masih
punya waktu untuk menunaikan kebiasaanku dengan lebih
lapang. Kulipat mukena di musala, lalu menuju ke lantai
atas, membuka pintunya, menyalakan lampu dan komputer,
dan membereskan koran dan majalah yang datang setiap
hari.

Lantai tempatku bekerja masih sepi. Sambil sejenak


membaca berita hari ini, lamunanku pun melayang…

Aku adalah seorang pramubakti pada unit kerjaku,


dan ini sudah kujalani selama lebih kurang 18 tahun.
Setiap ada rumor pengangkatan pegawai menjadi
PNS berhembus, kunanti dengan harap-harap cemas,
berharap namaku akan tercantum di selembar kertas
itu. Selembar kertas yang akan mengubah nasibku
Karena Kita Garda

menjadi lebih baik. Beberapa kali rumor itu ada, tetapi


tak juga terealisasi sampai saat ini. Aku tak paham apa
kendalanya. Meskipun demikian, aku tak pernah patah
harapan, kujalani pekerjaanku tanpa turun semangat,
berharap suatu hari nanti, Tuhan akan menjawab semua
doa-doaku. Bila hal itu terjadi, aku akan mengenakan
nametag yang akan kusematkan di dadaku, meskipun
134

banyak pegawai yang sudah tak menjadikan hal itu


sebagai kebiasaan. Namun aku berjanji, aku akan selalu
memakainya dengan bangga, tahu ‘kan betapa ingin dan
lamanya aku menantikan hal itu.

Lamunanku terhenti ketika seseorang menyapaku,

Dan semua ini kukerjakan dengan


senang hati, bahagia rasanya
jika bisa membantu mereka
mendapatkan kebutuhannya
akan ilmu pengetahuan dan
keterampilan.
“Pagi, Mbak, ada buku Akuntansi terbitan Ikatan Akuntan
Indonesia, tidak?”

Perempuan manis berjilbab berdiri di depan mejaku. Sambil


tersenyum aku menjawabnya,

“Eh, Mbak Riwa, sebentar ya Mbak, saya cari dulu.”

Jariku tangkas mengetik huruf demi huruf pada keyboard


komputer, menghafal kode buku lalu mencarinya dalam
deretan rak buku satu demi satu.

“Oh, ini ada, Mbak, mau pinjem ya?”

“Iya saya mau pinjem, Mbak, tapi agak lama, soalnya buat
kuliah. Boleh tidak, Mbak?” ucapnya sedikit memohon.

“Oh, mau minjam agak lama? Boleh kok, Mbak, silakan


diisi formulir ini dulu ya,” aku berkata sambil memberikan

135
selembar formulir kepadanya.

“Oke, Mbak, terima kasih ya,” serunya senang.

Kementerian Keuangan
Setelah dia mengembalikan formulir yang telah diisinya
kepadaku, segera kutukar dengan buku yang dimintanya.

“Baik, Mbak, semoga sukses yaa,” kataku yang disambutnya


dengan senyuman.

Melihat mbak itu tersenyum, perasaanku ikut senang,


melihat dia mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Selepas
dia pergi, aku kembali lagi pada kesibukan rutinku,
merekam, melabel, dan menata buku-buku lagi.

Bersama rekan kerjaku yang sudah PNS, kami mengelola


sebuah perpustakaan di organisasi tempat kami bekerja.
Kami saling membantu dan bekerja sama dengan baik.
Melayani permintaan peminjaman, perpanjangan, dan
pemulangan buku-buku dari para pegawai, menjadi tugas
rutin sehari-hari. Dan semua ini kukerjakan dengan
senang hati, bahagia rasanya jika bisa membantu mereka
mendapatkan kebutuhannya akan ilmu pengetahuan dan
keterampilan.

Tak terasa waktu cepat berlalu, kulihat jam dinding, sudah


menunjukkan pukul 16.45 WIB. Segera kubereskan segala
peralatan pribadiku dan bersiap untuk pulang. Berpacu
kembali dengan waktu dan kerumunan orang-orang, agar
tidak ketinggalan kereta yang biasa kunaiki pada sore
hari. Karena tugas yang lain sudah menantiku, yaitu tugas
sebagai seorang istri dan juga seorang ibu.

Aku berbisik dalam hati ketika melangkah keluar menuju


Karena Kita Garda

pintu gerbang Gedung Sutikno Slamet,

“DJA harapanku, esok pagi kita akan kembali bertemu.”


136
Snack Mas Herjuno

Oleh:
Liilzam Nuur,
Pegawai DJPK

Mendung hari ini cukup menggelapkan pagi. Perasaaan


was-was menyelimuti saat tetesan air turun dari langit

137
dan banyak kereta listrik masih menunggu antrean sinyal
di Stasiun Tanah Abang. Hujan kali ini cukup membuat
penumpang panik, terutama jika sampai terlambat hadir,

Kementerian Keuangan
tidak seperti biasa, saya pun tiba di kantor pukul 07.50,
rekor terlambat flexi yang pertama setelah bekerja 169 hari
sebagai CPNS di Kementerian Keuangan, kementerian
yang kata kebanyakan orang merupakan kementerian yang
prestige.

Bekerja di bagian pengadaan memang sesuatu yang tak


terduga, tempat di mana kata beberapa orang merupakan
lahan basah dan tempat lalu lalang uang syubhat, ingat kata
paman dulu untuk berhati-hati di tempat yang melakukan
pengadaan barang dan jasa, “Din, kalau besok kamu kerja
jadi PNS, kalau bisa jangan milih tempat yang ngurusi
pengadaaan, cari yang lain saja, jangan pilih yang banyak
uang syubhat berseliweran, kalau uang itu kemakan nggak
berkah untuk keluarga.” Dan mungkin sudah takdir Tuhan,
penempatan awal di Bagian Pengadaan tak terelakkan,
mau tak mau harus dituruti sebagai konsekuensi lulusan
sekolah ikatan dinas, maka saya berusaha untuk menikmati
pekerjaan ini karena banyak yang masih belum saya
ketahui, dan akhirnya saya bertemu beberapa orang yang
hebat, salah satunya adalah Mas Herjuno, pria kalem
dengan muka agak kejawa-jawaan sedikit Arab dan
berbadan tinggi. Dari Beliau saya mendapatkan banyak
pelajaran, terutama tentang integritas.

Saat itu, Rabu pagi saya melihat ada kardus besar dibalut
dengan kertas apik berada di atas meja Beliau, padahal
saat itu Beliau sedang Diklat Penatausahaan BMN. Karena
penasaran, saya lihat kardus itu. Tertulis pengirim: Bapak
Karena Kita Garda

Makmun Metro Jaya Abadi. Mungkin dengan adanya


kardus semacam hadiah ini merupakan kabar gembira bagi
Mas Herjuno, tanpa berpikir panjang saya kirim pesan
singkat ke Beliau.

Tak lama kemudian Mas Herjuno menelepon, “Halo, Din,


lagi di mana? Bisa minta tolong buka kardus tadi, isinya apa
138

ya?” pinta Mas Herjuno agar saya membuka kardus hadiah.

“Iya, Mas, sebentar aku buka ini, isinya snack dan camilan,
Mas, ada kerupuk rambak, keripik paru, kerupuk teripang,
dan masih banyak lagi, Mas,” jawab saya tanpa ada yang
aneh dari isi kardus tersebut.

“Minta tolong kardus tadi dikirim ke lantai 10 ya, ke Unit


Layanan Gratifikasi dan Suap, langsung saja ke Mas Faisal,
bilang dapat gratifikasi dari rekanan, soalnya kemarin
Pak Makmun, PT Metro Jaya Abadi, itu menawarkan
komputer dan nanti kalau sudah tanda tangan kontrak
akan dapat fee 1% dari kontrak. Mas nggak suka cara-cara
seperti itu. Ini juga pelajaran buat kamu, selanjutnya jangan
mau menerima apapun dari rekanan, itu termasuk barang
syubhat, panas kalau dimakan,” pesan Mas Herjuno kepada
saya.

“Iya, Mas, segera saya antar ke Mas Faisal lantai 10,” jawab
saya untuk segera mengantar kardus tersebut. Saya begitu
salut dengan Mas Herjuno, sikap berintegritasnya patut
ditiru, meski harga snack dan camilan tidak seberapa yang
namanya gratifikasi tetap gratifikasi, yang harus ditolak,
dan sejak itu saya tahu ternyata di kantor saya terdapat
Unit Layanan Gratifikasi dan Suap, unit yang menangani
barang gratifikasi dan suap yang selanjutnya barang-barang
tersebut akan dilaporkan ke KPK.

Sikap Mas Herjuno ini mengingatkan saya pada cerita


dalam hadis nabi Muhammad SAW, ketika itu Rasulullah
SAW menugaskan kepada seorang laki-laki untuk
memungut zakat. Dalam menjalankan tugasnya, ternyata
utusan itu menerima hadiah dari penyetor zakat. Seusai
dari tugasnya, lelaki tersebut berkata, “Ya Rasulullah,
harta ini adalah hasil kerjaku dan aku serahkan kepadamu.
Sedangkan harta ini adalah hadiah yang aku dapatkan.”
Menanggapi sikap utusan tersebut, Rasulullah SAW
bersabda, “Mengapa engkau tidak duduk-duduk saja
di rumah ayah dan ibumu, lalu lihat, adakah engkau
mendapatkan hadiah atau tidak?” Selanjutnya Rasulullah

139
SAW naik mimbar dan berkhotbah, Amma Ba’du,

Kementerian Keuangan

“Din, kalau besok kamu kerja


jadi PNS, kalau bisa jangan
milih tempat yang ngurusi
pengadaaan, cari yang lain saja,
jangan pilih yang banyak uang
subhat berseliweran, kalau uang
itu kemakan nggak berkah untuk
keluarga”.
“Mengapa seseorang utusan yang aku beri tugas, lalu ketika
pulang ia berkata, ‘Ini hasil tugasku, sedangkan ini adalah
hadiah milikku?’ Tidakkah ia duduk saja di rumah ayah
dan ibunya, lalu dia lihat, adakah ia mendapatkan hadiah
atau tidak. Sungguh demi Allah yang jiwa Muhammad ada
dalam genggaman-Nya, tidaklah ada seseorang dari kalian
yang mengambil sesuatu tanpa haknya (korupsi), melainkan
kelak pada hari kiamat akan memikul harta korupsinya.
Bila dia mengambil seekor unta maka dia membawa
untanya dalam keadaan bersuara. Bila ia mengambil
sapi, maka ia membawa sapinya itu yang terus mengeluh
Karena Kita Garda

(bersuara). Dan bila yang dia ambil adalah seekor kambing,


maka dia membawa kambingnya itu yang terus mengembik.
Sungguh aku telah menyampaikan peringatan ini.”

Cerita dalam hadis ini menjelaskan kepada kita, bahwa


terdapat standar yang jelas dalam hal hadiah yang diterima
140

karena peran atau jabatan, hakikatnya adalah gratifikasi


dan hukumnya haram.

Berawal dari kisah Mas Herjuno yang saya lihat dengan


mata kepala saya sendiri ini merupakan bukti bahwa masih
banyak pegawai yang baik di institusi ini, pegawai yang
siap untuk mengabdi kepada negeri, pegawai yang takkan
mengkhianati negaranya dan bekerja sepenuh hati, serta
tetap menjaga integritas.
141 Kementerian Keuangan
Profesional
Is Me
Karena Kita Garda
142

Makna dari Profesionalisme


yaitu bekerja tuntas dan akurat
do the right atas dasar kompetensi terbaik
dengan penuh tanggung jawab dan
thing right komitmen yang tinggi.

Perilaku utama dari nilai ini yaitu:


1. Mempunyai keahlian dan
pengetahuan yang luas.
2. Bekerja dengan hati.
Jika mendengar kata profesionalisme, sebagian besar
dari kita akan berpikir tentang “the right man on the
right place”. Pendapat tersebut tidaklah salah, mengingat
profesionalisme erat kaitannya dengan keahlian,
keterampilan, dan kompetensi seseorang. Di dalam
kehidupan Kementerian Keuangan, profesionalisme setiap
pegawai adalah sebuah keharusan.

Kementerian Keuangan menyadari bahwa pencapaian


tujuan organisasi bergantung pada profesionalisme PNS
Kemenkeu dalam melakukan pekerjaannya. Oleh karena
itu, dalam berinteraksi dengan sesama rekan kerja, PNS

143
Kemenkeu dituntut untuk bersikap saling percaya, tulus,
ikhlas, saling mengingatkan dan memberikan masukan,
solid, dan bersinergi untuk mencapai visi dan misi

Kementerian Keuangan
Kemenkeu.

PNS Kemenkeu melakukan setiap pekerjaan dengan


iktikad baik dan tanggungjawab. Masing-masing individu
merupakan bagian dari organisasi yang harus saling
mendukung dan berkepentingan terhadap kemajuan
organisasi. PNS Kemenkeu senantiasa berupaya untuk
meningkatkan profesionalisme dan kompetensi (keahlian,
pengetahuan/knowledge, sikap/attitude) dengan bekerja
memenuhi sasaran kerja yang ditentukan.

Salah satu upaya untuk mendukung agar setiap pegawai


memiliki profesionalisme dalam bekerja, Kementerian
Keuangan mengharuskan setiap pegawai untuk memiliki
kontrak kinerja dalam satu tahun anggaran. Dengan
demikian, setiap pegawai memiliki tujuan yang jelas dalam
penyelesaian pekerjaannya. Penyelesaian kontrak kinerja
pun dipantau dan dilaporkan secara rutin setiap tiga bulan
agar setiap masalah yang muncul dalam penyelesaian
pekerjaan dapat dideteksi dan ditangani dengan cepat.
Setiap kontrak kinerja menjadi tanggung jawab pegawai
tersebut.

Untuk menumbuhkan sikap profesional, Kemenkeu


melakukan analisis kompetensi dalam rangka identifikasi
kompetensi yang dibutuhkan organisasi untuk memastikan
kesesuaian standar kompetensi jabatan dengan tuntutan
dan kebutuhan organisasi saat ini maupun ke depan.
Kompetensi dikelompokkan dalam 4 (empat) cluster, yaitu:
kemampuan berpikir (thinking), kemampuan bekerja
(working), kemampuan berelasi (relating), dan kemampuan
manajemen diri (self managing).
Karena Kita Garda

Profesionalisme PNS Kemenkeu juga dilakukan melalui


pengembangan manajemen SDM berbasis kompetensi
melalui Assessment Center untuk memperoleh informasi
profil kompetensi PNS Kemenkeu. Hasil dari assessment
center dapat digunakan sebagai career and succession plan,
training and development, manajemen talenta dan performance
144

management. Pada akhirnya, Kemenkeu berharap bahwa


penempatan pegawai sesuai dengan kapasitas dan
kemampuannya (right man on the right place).

Kemenkeu menjunjung tinggi kesempatan yang setara dan


keanekaragaman, yang merupakan aspek penting dalam
kesuksesan organisasi. Setiap pegawai memiliki kesempatan
yang setara untuk mengembangkan keterampilan
dan bakatnya. Kemenkeu menyediakan pelatihan dan
pendidikan keterampilan khusus untuk semua pegawai
yang didukung oleh standar, prosedur, dan ketentuan
internal organisasi.

Sebagaimana konsep manajemen ASN yang digagas oleh


LAN, (salah satu fungsi LAN berdasarkan Pasal 44 UU
Nomor 5/2014 adalah membina dan menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan Pegawai ASN berbasis
kompetensi dan merencanakan dan mengawasi kebutuhan
penididikan dan pelatihan pegawai ASN secara nasional),
Pengembangan Aparatur Sipil Negara menurut UU ASN
merupakan hak ASN. SDM Aparatur sebagai aset, sehingga
perlu pengembangan (diklat, seminar, kursus, bahkan
dimungkinkan pemagangan dan pertukaran ASN dengan
swasta). UU ASN juga mengamanatkan instansi Pemerintah
wajib menyusun rencana pengembangan kompetensi yang
tertuang dalam Rencana Kerja Tahunan Instansi.

Strategi pengembangan pegawai di Kementerian Keuangan


terhadap kompetensi maupun potensi pegawai sebagaimana
diatur dalam KMK Nomor 130/KMK.01/2013 tentang
Penataan Pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan,
terdiri dari: i) promosi yang ditujukan bagi pegawai yang
memiliki kompetensi atau potensi dan kinerja tinggi;
ii) capacity building yang terdiri dari special assignment,
leadership development, pengkayaan pekerjaan, on the job
development, dan training; iii) freeze strategy yaitu program
untuk mempertahankan pegawai pada jabatannya apabila
pegawai tersebut berdasarkan hasil pemetaan kompetensi
atau potensinya rendah/terbatas, tetapi berkinerja tinggi;
iv) coaching adalah pemberian saran, bimbingan, bantuan,
dan umpan balik kepada pegawai dalam mengatasi masalah
kinerja karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan.

145
Coaching dilaksanakan oleh atasan langsung; v) counseling
merupakan proses pemberian saran, bimbingan, bantuan,
dan umpan balik kepada pegawai agar mampu mengatasi
masalah pribadi yang mengganggu kinerja dari counselor

Kementerian Keuangan
kepada counselee. Counseling merupakan proses bimbingan
yang dilakukan oleh atasan atau senior kepada pegawai
untuk memahami dirinya sendiri dan lingkungannya,
sehingga mampu mengambil langkah-langkah yang
tepat, guna memecahkan masalah yang dihadapinya; vi)
mentoring merupakan aktivitas supporting dan bimbingan
yang menyediakan dukungan, petunjuk, persahabatan, dan
penghargaan yang dilakukan mentor untuk mentee dalam
rangka membantu mentee melakukan pekerjaannya lebih
efektif, efisien, dan/atau untuk kemajuan dalam kariernya
pada Kementerian Keuangan.

Sesama PNS Kemenkeu tidak melakukan penekanan atau


intimidasi, penghinaan, pelecehan ataupun provokasi, dan
tidak menimbulkan persaingan tidak sehat.

Sesuai dengan salah satu nilai utama Gerakan Nasional


Revolusi Mental, PNS Kemenkeu memiliki etos kerja yang
tinggi. Berdaya saing, optimis, inovatif, dan produktif.
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya dalam pekerjaan,
mereka berperilaku disiplin, tidak meninggalkan aktivitas
kerja sebelum waktunya tanpa izin dari atasan, dan/atau
tidak melakukan aktivitas lain untuk kepentingan pribadi
atau pihak di luar organisasi tanpa izin selama jam kerja.
PNS Kemenkeu wajib menjaga kerahasiaan dokumen dan
informasi sesuai peraturan perundang-undangan.

Sikap profesional dalam keseharian dilakukan oleh atasan


maupun bawahan. Atasan menjadi panutan yang baik
dalam tindakan dan tutur kata, bersikap adil dan terbuka
dengan bawahannya. Dalam mengambil kebijakan selalu
Karena Kita Garda

berusaha melaksanakan koordinasi dan hubungan kerja


sama yang harmonis. Memberikan kesempatan kepada
bawahan untuk mengembangkan diri. Menilai kinerja
bawahan secara objektif berdasarkan kriteria yang jelas.
Tidak memanfaatkan posisi atau jabatan untuk kepentingan
pribadi, kelompok, atau pihak lain. Sedangkan sebagai
bawahan, bersikap hormat dan santun kepada atasan dan
146

loyal kepada organisasi dalam setiap pelaksanaan tugas


yang diberikan. Patuh dan konsekuen terhadap hukum,
kebijakan, dan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang
sudah ditetapkan. Tidak melakukan tindakan di luar
kewenangannya. Selalu disiplin dalam melaksanakan setiap
tugasnya. Mematuhi dan menghormati tugas dan petunjuk
atasan yang tidak bertentangan dengan peraturan dan
ketentuan yang berlaku.

PNS Kemenkeu harus berani menyampaikan tentang


bagaimana perilaku yang tepat atau menanyakan jika
mengetahui perilaku yang meragukan. Mengungkapkan
masalah akan memberi organisasi kesempatan untuk
menangani dan memperbaikinya.

PNS Kemenkeu memiliki sikap terbuka terhadap


kemungkinan adanya perbedaan pendapat di dalam
merumuskan suatu keputusan dan semua harus
menghormati serta melaksanakan apa yang telah menjadi
keputusan organisasi.

Kemenkeu berkomitmen untuk menjaga lingkungan kerja


yang bebas dari diskriminasi dan pelecehan. Organisasi
tidak akan membiarkan terjadinya diskriminasi terhadap
seseorang karena etnik, ras, kebangsaan, agama, jenis
kelamin, usia, keadaan cacat, atau alasan-alasan lainnya.

PNS Kemenkeu bebas dari penyalahgunaan narkoba


dan minuman keras. PNS Kemenkeu dilarang
menyalahgunakan pemakaian, kepemilikan,
pendistribusian dan perdagangan narkotika dan obat-
obatan terlarang (psikotropika) serta penyalahgunaan
minuman keras.

Kemenkeu menghormati hak berpolitik PNS Kemenkeu.


Setiap PNS Kemenkeu tidak diperkenankan berpartisipasi
secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas
politik kepartaian dan secara organisasi, Kemenkeu
bersikap netral.

Kemenkeu memandang media massa sebagai partner dalam


mengembangkan reputasi organisasi dan memelihara

147
relasi dengan media massa untuk menjangkau publik,
meningkatkan citra, kepercayaan, dan tercapainya tujuan-
tujuan organisasi. Untuk itu Kemenkeu berusaha untuk
selalu memberikan informasi yang akurat dan dapat

Kementerian Keuangan
dipertanggungjawabkan kepada publik. Hanya PNS
Kemenkeu yang sifat pekerjaannya berkaitan dengan
media saja yang diperbolehkan untuk menjalin hubungan
atau menanggapi pertanyaan dari media massa atas nama
Kemenkeu.

Sikap profesional PNS Kemenkeu senantiasa hadir dan


tercermin dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Berikut
ini adalah penggalan kisah PNS Kemenkeu yang senantiasa
bersikap profesional dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.
Dalam kisah-kisah ini, ingin disampaikan bahwa kami
adalah orang-orang yang semangat bekerja dan senantiasa
hadir pada saat yang dibutuhkan untuk memberikan
pelayanan terbaik kepada masyarakat. Semoga.
Antara Kasihan, Empati,
dan Tugas Negara

Oleh:
Muhith Afif Syam Harahap,
Pegawai DJP
Karena Kita Garda

Perlu keteguhan hati Jurusita Pajak pada saat melakukan


148

penyitaan. Karena itu adalah tugas besar dan tidak sepele.

Hari ini adalah perjumpaan kami yang ke sekian kali


dengan Wajib Pajak penjual telepon seluler yang sudah
dikenal luas di Kota Semarang. Mereka punya tunggakan
pajak lumayan besar. Karena sering bertemu, aku sampai
lupa menghitung entah perjumpaan ke berapa hari ini.
Yang jelas, perjumpaan ini perjumpaan yang tak mudah
buat mereka dan buat kami. Perjumpaan kami sudah
berganti-ganti tempat, pernah di kantor kami atau di kantor
mereka.

Saat itu, aku adalah pegawai yang baru diterima sebagai


Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan
ditugaskan magang di salah satu KPP Pratama di Semarang
untuk menunggu penempatan definitif. Aku sedang
menemani Kepala Seksi Penagihan dan seorang jurusita
senior di kantor kami.

Salah satu dari mereka adalah Pak Budi –sebut saja namanya
demikian. Seperti hari-hari biasa, Pak Budi menyambut
kami dengan penuh kehangatan saat kami datang, meski
kami sudah menyita sebuah mobil sedan miliknya. Tak
terlihat raut mukanya seperti penunggak pajak lainnya. Ia
tetap santun dan tak memperlihatkan sikap sinis maupun
dendam. Menurutku hal itu bukan sandiwara. Aku merasa
itu memang sifat kesehariannya yang asli. Para pegawainya
juga bersikap sama.

Setelah berbasi-basi sebentar, Pak Budi lalu memulai


pembicaraan tentang tunggakan pajaknya. “Saya mohon
maaf, Pak, belum bisa melunasi utang pajak kami. Setahun
ini kondisi perusahaan kami sedang tidak baik, tapi saya
berkomitmen akan melunasinya,” ujarnya.

Pak Budi lalu melanjutkan cerita tentang kondisi


perusahaan yang menyebabkannya tak bisa melunasi
tunggakan meski sudah dilakukan tindakan penagihan
aktif. Kalau tak salah, waktu itu ia juga menyampaikan

149
kondisi keluarga yang sedang sakit dan butuh pengobatan
intensif. Dia harus membuat prioritas, para pegawai,
keluarga yang sedang sakit, atau tunggakan pajak.

Kementerian Keuangan
Kemudian, setelah lebih kurang 60 menit bercakap-cakap,
kami meninggalkan kantor Pak Budi. Aku lupa-lupa ingat
apa saja poin yang menjadi kesepakatan dalam pertemuan
itu. Aku hanya ingat satu poin. Beliau mempersilakan kami
melelang mobil sedannya meski mengaku berat untuk
melepaskannya. Entah karena mobil itu punya kenangan
dan sejarah panjang buatnya atau hal lainnya. Hanya Pak
Budi dan Tuhan yang tahu.

Kepala Seksi Penagihan yang kutemani di dalam mobil


membagi pengalamannya kepadaku. Ia berkisah, “Saya
sudah pernah dihadang puluhan preman ketika akan
menyita harta penunggak pajak. Pernah minta bantuan
polisi ketika mengeksekusi rumah pengusaha. Pernah
dipandang sinis dan dihadapkan pada perbuatan tak
mengenakkan lainnya. Namun, menghadapi orang seperti
Pak Budi ini menurut saya lebih rumit dan tak mudah.
Dihadang preman, kamu bisa minta bantuan polisi.
Diancam lewat telepon atau SMS, matikan HP, urusan
beres. Tapi menyita harta orang yang sedang sulit, tetapi
baik perilakunya dan menunjukkan kerendahan hati, itu
susah.” Aku terdiam sejenak merenungkan perkataannya
itu.

Setelah suasana hening beberapa saat, Kepala Seksi


Penagihan melanjutkan, “Cuma satu hal yang selalu
kuingat-ingat ketika akan bertemu Pak Budi. Bahwa
perbuatanku adalah tugas negara dan penyitaan yang
kulakukan adalah untuk kepentingan yang lebih besar.
Karena Kita Garda

Kepentingan masyarakat Indonesia,” lanjutnya.

Memikirkan perkataannya membuatku tersadar. Bahwa


akan selalu ada dilema pada saat penagihan aktif yang
dilakukan. Antara kasihan, empati, dan tugas negara.
Tetapi aku harus memilih. Dan pilihan itu harus diambil.
Aku sudah bertekad, kalau suatu saat nanti berada
150

pada posisi yang sama pada hari ini, aku akan berusaha
untuk memperjuangkan sebuah pilihan. Untuk sebuah
kepentingan. Kepentingan yang lebih besar.

“Cuma satu hal yang selalu


kuingat-ingat ketika akan
bertemu Pak Budi. Bahwa
perbuatanku adalah tugas negara
dan penyitaan yang kulakukan
adalah untuk kepentingan
yang lebih besar. Kepentingan
masyarakat Indonesia.”
Yes, I Do

Oleh:
DJP

Jelas ini bukan sengsara membawa nikmat. Namun


dikatakan nikmat membawa sengsara pun rasanya terlalu

151
kejam. Balige itu rumahku. Setidaknya dulu. Kota kecil di
pinggiran Danau Toba yang menjadi latar belakang kenang-
kenangan masa kecilku. Kali ini aku pulang. Bukan sekadar

Kementerian Keuangan
kunjungan beberapa hari yang beberapa tahun terakhir
kulakukan, melainkan untuk menapaki jejak karier yang
baru saja mulai kurintis.

Sebuah surat mengantarkanku pulang. Begitu kalau kata


teman-teman sejawat yang juga ikut hijrah karena surat itu.

“Kamu asyik banget ya lokasinya. Pulang kampung.”

“Ciee, homebase nih yee...”

“Duh, andai aku seberuntung kamu bisa promosi ke


kampung halaman.”

Komentar-komentar ini tidak bisa kumentahkan begitu


saja dengan ungkapan ketidakpuasan yang nyata-nyata
kurasakan. Balige dulu memang rumahku. Namun saat
ini posisinya sudah digeser oleh kota lain. Kota di mana
kekasihku tinggal. Kota di mana masa depan yang sudah
kami rencanakan bersama akan dirajut. Jakarta dengan
segala keriuhannya yang dicaci, tapi gemerlapnya tetap
dinanti. Klise. Aku tahu. Tapi hari ini hatiku memilih
untuk mengesampingkannya dan menghabiskan bagian
terpilu, berharap karenanya esok jadi lebih ringan untuk
ditapaki.

***

“Para penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan


mendarat di Bandar Udara Internasional Kualanamu
Karena Kita Garda

Medan. Tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dengan


Medan. Kami persilakan...” suara pramugari terdengar
melalui speaker di atas tempat duduk.

Aku melirik jam tangan, sudah hampir tengah hari. Masih


ada enam jam perjalanan lagi yang harus dilalui dengan
minibus. “Setidaknya aku berada di tempat yang tidak asing
152

bagiku,” batinku.

Perjalanan darat ini tak lepas dari iringan pepohonan tinggi


di kiri dan kanan jalan. Daun-daun hijaunya melambai
seakan mengucapkan selamat datang. Tebing curam di kiri
dan di kanan jalan pun silih berganti menjadi tontonan
yang membangkitkan rasa takjub. Melintasi Kota Parapat
terhampar pemandangan birunya Danau Toba yang damai.
Menebarkan rasa tenang yang mampu menghipnotis siapa
pun yang memandang.

Aku terkenang hari-hariku sebelum berangkat. Sekali


waktu aku dan kekasihku hanya duduk diam menonton
kepulan asap bubur Cikini yang terhidang di hadapan kami.
Entah hendak merayakan apa, asap panas bubur ini menari-
nari di hadapan kami. Asap yang dulu tak kami hiraukan
karena canda tawa berdua. Asap yang dulu dilirik saja pun
tidak karena nikmatnya bersantap berdua. Malam ini, tak
satu jemari pun meraih sendok dan menghalau asapnya.
Kami hanya membisu menyaksikannya berlenggak-lenggok
hingga sang asap lenyap entah ke mana. Digenggamnya
tanganku erat dan dibisikkannya di telingaku, “Kita pasti
bisa melewatinya.”

Di kali lain ada seremonial informal dari rekan-rekan


sekantor. Mereka beramai-ramai mengucapkan selamat
untukku. Mengulang komentar rekan-rekan seangkatan
yang menyatakan betapa beruntungnya diriku. Dukungan
mereka mau tak mau kubalas dengan senyum lebar dan
ucapan terima kasih waktu itu, meskipun hati menjerit tak
ikhlas.

Roda kendaraan ini masih belum berhenti. Memasuki


Lumban Julu, terbentang petak demi petak sawah yang
menghijau. Di tengah persawahan tampak beberapa anak
melompat-lompat mencoba naik ke atas punggung kerbau.
Pemandangan singkat itu menggoreskan secuil senyum di
wajahku.

Perjalanan masih berlanjut melewati jalanan Porsea yang

153
semakin sempit karena dipadati para pedagang di sisi kiri
dan kanan jalan. Mendekati Laguboti, alunan gondang
dan lagu Batak menyambut. Lirik lagu yang sendu kembali
menghanyutkanku dalam kegalauan. Bagaimana dengan

Kementerian Keuangan
kelanjutan kuliahku nanti? Mengapa aku harus terpisah
jauh dengan kekasihku, Jakarta-Balige? Bagaimana dengan
waktu-waktu kebersamaan kami, rencana pernikahan
kami, keluarga yang akan kami bina, rumah idaman kami,
masa depan kami?

Semakin mendekati akhir perjalanan, rasanya semakin


berat. Sekilas terkenang ucapan kekasihku waktu itu, “Kita
pasti bisa melewatinya. Ini rencana terbaik dari Tuhan.
Kamu percaya ‘kan, kalau kita bisa bertahan?” Setetes air
mata yang jatuh kuusap mantap. “Yes, I do!” batinku. Inilah
tugas dan janji pengabdian bagi NKRI. Dengan sejumput
semangat yang tersisa, kuayun langkah untuk berangkat
melaksanakan tugas.

***

“Itu apa?” aku menunjuk tumpukan map kuning di atas


mejaku.

“Itu SP2 sama rencana pemeriksaannya,” jawab Rian, ketua


timku.

“SP2 untuk Tim 1 sama Tim 2?” tanyaku lagi.

“Bukan. Tim 2 aja,” jawabnya.

“Tim 2 itu kan kita. Kita sama-sama baru diangkat jadi


fungsional pemeriksa, masa segitu banyak?” ucapku dengan
nada setengah protes, tetapi Rian hanya tersenyum.
Karena Kita Garda

Tumpukan SP2-nya saja sudah membuat keringat dingin.


Getar-getir rasanya di hati, pesimis bisa menyelesaikannya
dalam tenggat waktu yang diberikan.

***

Wilayah kerja KPP Pratama Balige sangat luas, meliputi


154

empat kabupaten: Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang


Hasundutan, dan Samosir. Sampai-sampai perlu dua
buah KP2KP di wilayah Tapanuli Utara dan Humbang
Hasundutan untuk membantu memberikan pelayanan
terbaik yang menjangkau setiap wajib pajak. Bahkan
rencana untuk menambah satu buah KP2KP lagi di Samosir
sudah bergulir sejak beberapa tahun belakangan demi
optimalisasi pelayanan.

Topografi hampir keseluruhan wilayahnya berbukit.


Perjalanan ke tempat wajib pajak seluruhnya dapat
ditempuh melalui jalur darat. Namun ada beberapa tempat
yang akan lebih cepat dicapai apabila menyeberangi Danau
Toba. Tak jarang tim pemeriksa harus menelusuri lembah
dan perbukitan dengan kontur jalanan yang berbatu sampai
ke pelosok-pelosok. Pernah saat mengunjungi satu daerah
yang sangat jauh, salah satu anggota tim berkelakar, ”Wah,
bayar seribu lagi udah bisa sampe surga kita ini.” Candaan
itu dibalas oleh semua yang mendengar dengan tawa yang
sangat riuh.
Tak peduli cuaca sedang panas terik atau hujan, tugas
tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Kabut dan dingin
menjadi sahabat setiap perjalanan. Satu perjalanan bisa
menghabiskan waktu satu hari. Sebagai satu-satunya
anggota wanita dalam tim pemeriksa, bukan perkara
mudah bagiku melakukan perjalanan darat yang panjang
dengan frekuensi yang sangat tinggi. Jam demi jam dalam
perjalanan panjang ini selalu menyiksa mata dan kepalaku.
Belum lagi harus berhadapan dengan orang-orang yang
kesukaannya mengepulkan asap rokok. Jadilah sakit kepala
yang luar biasa menyerang dan melemahkan tubuh ini.

Perjalanan panjang itu terkadang membuahkan senyum bila


kami menjumpai wajib pajak yang kooperatif. Namun tak
jarang perjalanan panjang itu hanya menyisakan penat bila
kami tidak menjumpai siapapun di lokasi tujuan atau wajib
pajak malah menolak kedatangan kami.

155
Satu waktu kehadiran kami hanya disambut oleh anjing
besar berbulu lebat dengan gonggongan yang memekakkan
telinga padahal wajib pajak ada di dalam rumah tapi tidak

Kementerian Keuangan
mau keluar walau hanya sebentar. Di lain waktu kami
harus berhadapan dengan ibu-ibu rumah tangga dengan
rentetan kata-katanya yang berkecepatan sejuta kilometer
per jam. Kata “pemeriksaan” terlalu berkonotasi negatif di
benak mereka sehingga mereka tak rela jika suaminya harus
diperiksa apalagi terkait pajak.

Selain itu banyak wajib pajak di wilayah kerja kami


yang mengaku belum tahu kalau mereka harus membuat
pembukuan, atau setidaknya pencatatan. Bahkan mereka
mengaku tidak tahu bagaimana cara membuatnya.
Bagaimana mau peduli pada pajak kalau pencatatan untung
rugi saja tidak benar-benar rapi. Kondisi ini menjadi
kendala bagi tim pemeriksa. Apa yang akan diperiksa?
Tidak ada buku, catatan, juga dokumen bukti transaksi
yang lengkap. Di sinilah setiap pemeriksa dituntut
menggali potensi diri lebih dalam dan memaksimalkan
kemampuannya. Terkadang manuver yang dilakukan
mendapat responss yang kurang mengenakkan.

“Salah kantor pajak dong. Kok nggak ngajari kami


pembukuan.”

“Orang pajak ini nggak pernah kasih sosialisasi, tiba-tiba


datang mau meriksa. Apa pulaknya ini?”

“Kami ini cuma tamatan SMA. Udah tua juga. Manalah


ngerti-ngerti kami pajak itu.”

“Nggak tau kami ada aturan kayak gitu. Kantor pajak


Karena Kita Garda

kenapa nggak ngasih tau? Aturannya setiap ada aturan yang


baru ya kami dikasih taulah.”

“Lho, saya ‘kan udah bayar pajak. Kenapa harus diperiksa?


Itu toko yang di sana, orang itu nggak pernah bayar pajak
malah nggak kalian periksa. Kok kami aja yang kena?”
156

“Orang pajak inilah! Asyik merepotkan aja tiap hari.


Kenapalah tahun-tahun yang udah lewat kalian periksa
sekarang. Nggak tau lagi kami di mana kuitansi-
kuitansinya. Dah hilanglah pasti itu. Tiap akhir tahun
biasanya kami buang.”

Beragam alasan dan tanggapan diungkapkan wajib pajak


dalam setiap kunjungan kami. Pada awalnya aku sempat
heran. Bagaimana mungkin wajib pajak beranggapan bahwa
pegawai DJP-lah yang bertanggung jawab untuk mengajari
mereka cara membuat pembukuan dari A sampai dengan
Z. Begitu juga tentang pihak yang menentukan tahun
pajak mana yang akan diperiksa adalah mereka sendiri.
Tantangan berat ini mau tak mau harus kuhadapi. “Yes, I do.”
Ini adalah pengabdianku.

***

“Arrrgghhh...”

Semua pegawai geram tak terkecuali aku. Lagi-lagi


pemadaman listrik. Tak hanya listrik yang padam,
semangat pun ikut meredup. Keseriusanku mengerjakan
KKP terhenti. Layar hitam di depanku mengingatkanku
akan sesuatu. Aku belum menyimpan dokumennya. Astaga.
Tiba-tiba listrik menyala lagi. Cepat-cepat kunyalakan
komputer. Setengah berharap kecanggihan teknologi
menyelamatkan hasil kerjaku hari ini. Namun yang terlihat
hanya layar biru. Berkali-kali kutekan tombol power, tapi
tak ada yg berubah. Bahkan setelah mencabut semua kabel
dan memasang ulang dengan teliti, tetap tak ada yang
berubah. Masih biru.

“Data yang di dalamnya udah di-back up ‘kan, Kak?”


tanya Valerie, Operator Console, sambil mengutak-atik
komputerku.

“Belum,” jawabku singkat.

“Gimana ya...” raut wajah Valerie terlihat cemas.

“Maksudnya?” tanyaku dengan bola mata hampir lepas.

157
“Udah kucoba dari tadi, Kak, tapi datanya nggak bisa
diselamatkan.”

Kementerian Keuangan
Berita duka itu pun datang. Perjuangan selama berbulan-
bulan ada di sana. Musnahnya empat KKP membuatku
terduduk lemas. Sekarang sudah bulan Agustus. Tahun ini
hanya tersisa empat bulan lagi.

Terbayang kembali hari Rabu, 22 Januari 2014, saat pertama


kali aku memasuki kantor ini. Memulai argo pemeriksaan
dari nol. Sebagai pemula, aku belum cukup cepat dalam
menganalisis data dan menuangkannya ke dalam KKP.
Dan sekarang di pertengahan Agustus ini, aku harus
kembali memulai dari nol. Meratapi nasib tak ada gunanya
sekarang. Kutegakkan kepalaku, kulipat rasa pesimisku,
dan kukencangkan sabuk semangatku, “Yes, I do! Aku pasti
bisa menyelesaikan tantangan ini!”

Jam baru menunjukkan pukul 07.30 tetapi aku sudah


sibuk dengan keyboard, mouse, dan layar monitorku. Jarum
jam sudah di angka 12, aku tetap mematung di kursi ini
mengadu jemari dan otak. Bahkan saat jingganya senja
menyapa dari balik jendela di ujung ruangan, aku masih
tegar di depan monitor berusaha merakit satu per satu
bagian KKP dengan teliti. Adu kuat dengan lelah dan penat.
Awalnya aku menang, tetapi saat kaki mulai melangkah
pulang, hatiku langsung lemas.

“Yang, rasanya capek kali…” teriakku tertahan. Wajah


kekasih hatiku yang kelihatan cemas terpampang di layar
ponselku.
Karena Kita Garda

“Kenapa, Sayang?”

“Nggak siap-siap macamnya kerjaan ini...” sahutku


mengadukan tentang kepenatan yang sudah tak bisa lagi
kutampung sendiri.

“Sayang...” serunya lirih. Pertahananku runtuh. Air mata


yang mulai menetes satu-satu menggambarkan kegundahan
158

hatiku.

“Sayangku, semua orang pasti dapat porsi yang tepat.


Nggak lebih, nggak kurang. Kalau sekarang Sayang
mesti ngejalanin situasi yang kayak gini, ini bagian dari
ketepatan porsinya itu. Sayang harus kuat.” Kata-katanya
selalu bijaksana. Mataku makin basah. Aku ingin sekali
memeluknya, tapi sekarang yang ada di depanku hanya
wajahnya yang terpampang di layar ponsel. Aku tahu aku
harus sabar.

“Semua indah pada waktunya,” seruku tertahan sambil


mengusap mata yang masih basah. Mencoba tersenyum
pada kekasihku agar dia tidak ikut-ikutan galau sepertiku.
Atau mungkin sebenarnya akulah yang lebih butuh
senyuman ini.

“Nah! Gitu dong, Sayang! Sabar ya. Semua indah pada


waktunya.” Senyumnya menyemangatiku untuk tidak larut
dalam keluh-kesah.

“Makasih, Yang, udah dengerin semuanya.”


“Iya,” kekasihku tersenyum lagi.

“Bobok yuk...” Aku mengangguk dan memberi ucapan


selamat malam padanya. Ponsel kuletakkan di atas meja
kecil di samping tempat tidur. Hampir setiap malam aku
berbagi kisah dengannya melalui pembicaraan-pembicaraan
panjang di telepon. Tawa, tangis, haru, rindu, semuanya
pernah ada. Aku membaringkan badanku yang lelah di atas
tempat tidur lalu memejamkan mata. Mengucap syukur
dalam hatiku akan rahmat luar biasa dari-Nya. Seorang
kekasih yang sempurna.

***

“Ini berkasnya, Sus. Tadi dari bawah saya disuruh naik ke


sini,” kataku sambil menyerahkan beberapa lembar kertas
yang kuperoleh dari bagian pendaftaran di lantai dasar.

Seorang suster jaga berpakaian putih hijau menerima

159
dokumen yang kusodorkan. Setelah menelitinya sebentar,
aku disuruh duduk di barisan kursi tunggu di dekat situ.

Kementerian Keuangan
Belakangan ini sakit di bagian kepalaku semakin menjadi-
jadi. Padahal biasanya hanya kumat sehabis perjalanan yang
cukup panjang dan penuh asap rokok. Namun, seminggu
terakhir rasanya tak sekalipun nyerinya hilang tuntas.
Sesekali memang mereda sedikit, tetapi masih terasa sakit
juga. Bahkan dalam perjalanan dari Balige menuju rumah
sakit yang berlokasi di Kota Medan ini aku harus berjuang
menahan pusing yang luar biasa. Namun tak ada pilihan
lain. Aku harus bertemu dokter spesialis agar tindakan
yang kudapatkan nanti tepat sasaran.

“Ibu Vanny Pardede!” Seorang suster memanggil namaku


dengan cukup keras. Aku segera menuju ke arah pintu
ruangan tempatnya berdiri.

“Silakan, Bu Vanny!” Aku memasuki ruangan periksa yang


terkesan bersih dan terawat. Di balik meja, seorang dokter
tersenyum hangat menatapku sembari mengulurkan tangan
mengajak bersalaman.
“Pagi, Bu! Silakan duduk!”

“Pagi, Dok!”

“Keluhannya apa, Bu?”

“Gini, Dok. Seminggu ini kepala saya rasanya sakit terus. Di


ubun-ubun, di muka, daerah pelipis, kening, sama pipi, sakit
semua, Dok. Apalagi di pipi sama kening.”

“Di ubun-ubun sakitnya terasa kayak gimana? Kayak diikat,


ditimpa sesuatu yang berat, atau gimana?”
Karena Kita Garda

“Kayak denyut-denyut gitu, Dok. Sakit kali.”

“Baik.” Dokter mencatat keterangan yang kuberikan di


salah satu kolom yang ada pada kertas yang tadi kuserahkan
ke suster jaga. “Keluhan lainnya, Bu?” tanyanya lagi.

“Hidung saya sering tersumbat, Dok. Kayak pilek gitu. Tapi


160

seringnya pagi-pagi pas baru bangun aja. Sering kedinginan


juga sekarang sampai kadang-kadang bikin badan lemas,”
jawabku.

“Baru seminggu ini aja atau sudah lama?”

“Udah dari awal tahun, Dok. Sekitaran Januari atau


Februari. Waktu itu udah mulai pusing-pusing juga. Cuma
karena masih sesekali aja, saya kira sakit kepala biasa. Tapi
kok belakangan ini gejalanya makin berat. Jadinya saya
mutusin buat cek ke dokter.”

“Hmm, gitu ya...” dokter cantik itu menuliskan lebih banyak


catatan.

“Baik, Bu. Kalau dari keluhan yang Ibu sampaikan, saya


perkirakan ini sinusitis. Untuk melihat seberapa parah bisa
pake CT Head Scan. Kalau hasilnya udah keluar nanti bisa
kita lihat tindakannya mesti gimana.”

Tanpa pikir panjang aku mengiyakan. Suster menggiringku


ke lantai dasar, bagian radiologi. Setelah mengisi beberapa
formulir, petugas menyuruhku berganti pakaian dan mulai
melakukan pemeriksaan.

***

“Kak, jeruk panasnya satu!” Aku menyerahkan uang lima


puluh ribuan ke penjaga counter, seorang gadis berbadan
mungil dengan senyum khas ala kasir.

“Oke. Ditunggu ya, Kak! Terima kasih!” katanya sambil


menyerahkan sebuah nomor pesanan dan uang kembalian.

Aku memilih tempat duduk di sisi kafetaria rumah sakit


yang berbatasan dengan area lobi, meletakkan nomor
pesanan di meja dan menunggu pesanan jeruk panasku
datang sambil memperhatikan sekeliling. Suhu di sini
rasanya terlalu dingin untuk ditantang dengan aksi
diam. Hidungku sudah mulai tersumbat sejak keluar dari
ruangan radiologi tadi. Suhu yang terlalu rendah serta kain

161
tipis yang membalut badanku ketika diperiksa menjadi
penyebabnya. Kuperhatikan lobi yang cukup ramai. Banyak
yang sedang sakit rupanya.

Kementerian Keuangan
Pikiranku teralihkan ke Jakarta begitu melihat seorang ibu
di kursi roda yang didorong masuk diiringi beberapa orang
yang sepertinya adalah anggota keluarganya. Keramaian
lobi malah membangkitkan rasa sepi di hatiku. “Seandainya
dia ada di sini menemaniku, rasanya mungkin tak akan
sesepi ini,” batinku.

“Silakan, Kak. Jeruk panasnya.” Suara pramusaji


membuatku tersentak. Merasa malu karena kedapatan
melamun, aku tersenyum.

“Terima kasih.”

Namun tetap saja, setelah seruputan pertama, lamunan


tentang segala hal meluncur dalam pikiranku.

***

“Daerah gelap yang dominan ini artinya tingkat sinusitis


Ibu sudah parah.” Dokter menunjuk satu bagian di
lembaran hasil CT Scan. “Ibu harus dioperasi sebelum semua
makin parah.”

Aku menatap hasil pemeriksaan tadi pagi dengan perasaan


campur aduk. Terkejut dengan diagnosis dokter dan solusi
yang ditawarkannya, sedih karena harus mendengarnya
saat sedang sendirian seperti ini, membuatku gelisah sekali.

“Ini harus segera dioperasi, Bu!” tegas Dokter Spesialis THT


itu.
Karena Kita Garda

“Dok, saya baru tau kalau saya kena sinusitis. Kasihanlah


sama saya, Dok. Apa iya operasi itu satu-satunya jalan buat
ngobatin ini? Saya datang sendiri ke sini dan saya masih
terkejut sama hasil check-up ini. Masa’ Dokter langsung
nodong saya mau dioperasi atau nggak.” Aku berhenti
sebentar untuk menarik nafas. Rasanya emosiku semakin
162

tidak stabil. Dokter Mela memasang raut wajah simpati.

“Nggak ada cara lain, Dok?” tanyaku setelah agak tenang.

“Sinusitis ini bisa kambuh kapan aja kalau ada faktor


pemicunya. Cuaca dingin, misalnya. Minum es, asap
kendaraan, asap rokok, debu dan alergen lainnya juga bisa
memicu. Apalagi kalau imun tubuh Ibu lagi lemah.”

Aku mendengarkan sambil menatap desk tag bernuansa


hijau di depanku. Nama dan gelar dokter cantik ini tertera
di sana.

“Ya udah, kalau gitu kita coba obat dulu seminggu. Saya
kasih resepnya untuk ditebus. Pas obatnya habis, kita cek
lagi kondisi Ibu. Kalau nggak ada perubahan atau malah
makin parah, operasi pilihan terbaiknya. Namun keputusan
tetap di tangan Ibu.” Mataku beralih ke wajah Dokter Mela
yang sedang berusaha memasang raut wajah menenangkan.

“Minggu depan bisa datang lagi kan, Bu?” tanyanya.

“Saya nggak bisa janji, Dok. Saya jauh di Balige,” sahutku


ringkas.

“Kalau gitu saya kasih resep obat untuk dua minggu.


Siapa tahu Ibu nggak bisa datang minggu depan, jadi
bisa datang minggu depannya lagi aja.” Tanpa menunggu
persetujuanku, Dokter Mela menggoreskan tinta pulpennya
di selembar kertas putih kecil lalu menyerahkannya
padaku. Tiba-tiba aku teringat tumpukan KKP yang harus
kukerjakan ulang karena insiden mati listrik minggu lalu.
Rasanya badanku makin lemas saja.

Dua minggu berlalu. Rasa sakit masih ada, walaupun tidak


separah sebelumnya. Tumpukan KKP dan jauhnya jarak
bersinergi mengendurkan semangatku untuk kembali
memeriksakan diri. Penghujung Oktober pun berbuah
manis. Delapan KKP telah selesai.

Memasuki bulan November sembilan Laporan Hasil

163
Pemeriksaan berhasil di-gol-kan. Aku dan ketua tim
berkeliling mengembalikan dokumen-dokumen yang kami
pinjam dari wajib pajak.

Kementerian Keuangan
“Bisa ketemu Kabag Keuangan?” tanya ketua timku pada
seorang wanita muda yang duduk di balik meja informasi di
kantor wajib pajak yang kami kunjungi.

“Bapak dari mana, Pak? Ada keperluan apa ya?” tanyanya


balik dengan tatapan menyelidik.

“Dari kantor pajak, Bu. Mau ngembaliin berkas,” jawabku


sambil tersenyum sopan.

Kami dipersilakan masuk ke ruangan Kepala Bagian


Keuangan diantar petugas satpam. Setelah mengecek
kelengkapan dan menandatangani bukti pengembalian
dokumen, kami pun pamit dan menyalami Kabag Keuangan
dan Kasubbag Akuntansi yang juga hadir di sana.

“Ini apa?” Tanganku refleks mendorong kembali tangan


bapak kasubbag. Ada amplop putih tebal yang ditempelkan
ke tanganku.
“Ucapan terima kasih aja, Bu. ‘Kan kami sudah dibantu
urusan perpajakannya.” Kasubbag Akuntansi menjawab
sambil menyodorkan amplop itu lagi ke tanganku.

Senyumku yang sempat hilang karena rasa terkejut berubah


menjadi seringai lebar yang sangat tidak tulus.

“Nggak usah, Pak! Kami udah dibayar cukup sama negara


untuk semua layanan kami ke wajib pajak.” Dengan suara
yang meninggi, kuserahkan kembali amplop itu kepadanya.

“Kami nggak bisa nerima apapun dari wajib pajak, Pak!”


Karena Kita Garda

tegas ketua timku.

Keduanya sempat terdiam. Kerutan di dahi mereka jelas


menggambarkan keheranan. Tapi sorotan matanya seolah
memancarkan sebuah harapan dan kebanggaan. Harapan
akan negeri yang lebih baik.
164

“Terima kasih.” Kabag Keuangan tersenyum tulus


mengakhiri pertemuan itu.

***

“Boru, cantik kali kau nakku.” Mama memegang kedua


bahuku dari belakang saat aku sedang mematut-matut
diri di depan cermin. Aku membalas pujian mama dengan

“Nggak usah, Pak! Kami udah


dibayar cukup sama negara
untuk semua layanan kami ke
wajib pajak.” Dengan suara yang
meninggi, kuserahkan kembali
amplop itu kepadanya.
senyum dan pelukan hangat.

Aku memang cantik hari ini. Dengan kebaya mewah


bernuansa emas, songket merah, dan benda-benda berkilau
lain yang sedang menempel di tubuhku aku merasa bak
dewi. Belum lagi pulasan make up yang aduhai glamornya.
Mungkin sebenarnya bukan cuma benda-benda menawan
ini yang membuatku cantik, tetapi juga rasa bahagia dan
syukur yang teramat sangat pada Tuhan karena meskipun
sempat tertunda hampir setahun lamanya, hari bahagia ini
datang juga.

Ini adalah hari spesialku. Hari di mana aku akan mengikat


janji sehidup semati dengan kekasih jiwaku. Kegalauan awal
tahun lalu yang menggodaku untuk meragukan rencana
Tuhan akan diriku, larut tak bersisa. Semua yang kudapat
adalah yang kubutuhkan.

165
Siang kuabdikan diri demi janji pada NKRI. Namun malam
selalu menjadi ajang uji ketegaran. Rindu teramat dalam
sering terlukiskan dalam tetes-tetes air yang mengalir
hangat di pipi. Menghitung tiap detik menuju perjumpaan

Kementerian Keuangan
berikutnya. Belum lagi sinusitis yang masih menghantuiku
setiap kali aku lengah menjaga kesehatan.

Sekarang kami berdiri berdampingan di depan altar-Nya.


Pendeta menggenggam dan mempertemukan tangan
kananku dan kekasihku. Dengan penuh ketegasan namun
tetap lembut, Pendeta bertanya. “Bersediakah Saudara
saling menerima dalam pernikahan kudus? Bersediakah
Saudara berjanji untuk setia dan saling mengasihi, baik
pada waktu suka maupun pada waktu duka, baik pada
waktu berkelimpahan maupun pada waktu kekurangan,
sampai maut memisahkan?”

Tak ada jawaban lain yang lebih tepat. Ucapku mantap,


“Yes, I do!”
Tapal Batas
Profesionalisme

Oleh:
Eva Maulina Aritonang,
Pegawai DJBC
Karena Kita Garda

“Kita semua berdiri di tapal batas, di garda terdepan lalu lintas


166

ekspor dan impor! Kita memiliki tugas dan fungsi yang vital!
Nyawa taruhannya! Don’t ever think that you’ll be safe here! Kita
bukan PNS kebanyakan, kita Bea Cukai!”

Kalimat tersebut masih terngiang jelas ketika seorang


perwakilan dari Direktorat Kepabeanan Internasional
memberikan materi pada kegiatan On The Job Training
CCPNS tahun 2013. Saat itu, semua CCPNS terlihat
bersemangat, khas anak muda yang masih idealis. Hingga
kabar mengenai mutasi ke daerah terpencil, tindakan
penyelewengan dengan alasan perekonomian keluarga yang
sering sekali ditemukan, mulai mematahkan semangat
para calon pegawai Bea Cukai ini. Berangkat dari harapan
orang tua yang mulai renta dan bermimpi anaknya menjadi
PNS jujur yang menjadi tulang punggung keluarga, seakan
musnah. Ditambah kabar mengenai gaji yang akan dirapel
setelah enam bulan mengabdi sebagai CCPNS menambah
kemelut, “Apakah pilihan untuk bergabung dengan bea
dan cukai adalah jalan yang benar dan sudah digariskan
Tuhan?”
Keagungan Bea dan Cukai mulai digaungkan kembali,
fungsi utamanya mulai dibeberkan. ”Sebagai Bea Cukai,
kita siap mengembangkan tugas sebagai Trade Facilitator,
Industrial Assistance, Revenue Collector, dan Community
Protector” tambah perwakilan Kepabeanan Internasional
tersebut.

Penjelasan itu terdengar begitu ‘keren’ di telinga dengan


penggunaan bahasa Inggris di dalamnya. Semangat para
CCPNS kembali membara, ”Sepertinya takdir Tuhan kali
ini tidak meleset, saya berada di tempat yang membawa saya
ke kasta yang lebih elegan”.

Bekerja beberapa bulan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal


Bea dan Cukai di bawah Kementerian Keuangan, menjadi
kabar yang menjanjikan bagi keluarga di kampung halaman.
Banyak saudara yang tadinya menghilang, tiba-tiba datang
mendekatkan anak perempuannya untuk dijadikan calon

167
istri dengan bayangan tinggal di Jakarta dengan gaji suami
yang tinggi. Kasta benar-benar meningkat. Namun, dari
hati kecil terdalam kewajiban membuat orangtua bahagia

Kementerian Keuangan
belumlah teratasi. Gaji yang tak seberapa sebagai uang
tunggu hidup di Jakarta, masih membuahkan utang di
mana-mana.

Satu demi satu para sahabat yang berjuang bersama, mulai


menghilang bermutasi ke daerah-daerah yang tidak pernah
dibayangkan. Semangat makin menurun justru pada tahap
yang hampir mendekati pengurangan huruf ‘C’ yang hanya
tinggal sendiri di depan huruf P-N-S. Semua perasaan yang
bercampur, mengaduk-aduk tapal batas pertahanan. Nyaris
tak tertahankan hingga tiba hari pertemuan saya dengan
seorang pegawai di Bandara Husein Sastranegara yang
mengubah segalanya.

“Saya mah kerja baru dua tahun,” jelasnya malu-malu.

Semua yang duduk di hadapannya tak percaya. Perawakan


Bu Ami memang masih terlihat seperti seorang gadis. Jika
melihat postur tubuhnya yang langsing dan ideal, memang
tidak akan ada yang percaya bahwa ibu dari dua orang anak
ini telah berumur 56 tahun.

“Maksudnya dua tahun lagi saya pensiun,” tambahnya malu-


malu di sela-sela perbincangan kami.

Pertemuan kami terjadi kala saya bergabung dalam tim


yang melakukan sosialisasi sistem Billing-Online dalam
membantu pembayaran barang impor berdasarkan Custom
Declaration. Ibu Ami dengan cekatan mengambil posisi
di depan monitor CRT (Cathode Ray Tube) gendut dengan
Karena Kita Garda

model ‘jadul’ yang cuma satu-satunya di ruang kantor seluas


kurang lebih 3 x 3 meter itu. Jauh dari monitor zaman
terbaru dengan model LCD (Liquid Crystal Display) yang
banyak beredar di kantor pusat bahkan di depan meja kerja
kita sekarang.

Ibu Ami yang bertugas sebagai pemeriksa barang, dengan


168

cepat menghidupkan komputer, membuka link http://ceisa.


customs.go.id/SSOService/, login dan langsung memilih
menu BillingOnline. Beliau cukup kritis dan banyak bertanya
dibandingkan dengan pegawai lainnya yang bahkan masih
agak takut menggunakan komputer.

“Saya mah ‘kan nggak ngerti teknologi, jadi mumpung ada


yang ngajarin, boleh yah bantuin saya sekalian saya belajar,”
pinta Bu Ami setelah sebelumnya mengantarkan kami
melakukan survei mesin ATM yang terkoneksi dengan
sistem MPN (Modul Penerimaan Negara).

Ibu Ami yang berdandan sangat sederhana ini mengikuti


setiap instruksi dan menghafalkannya dengan baik. Tak
peduli internet yang hanya ditopang dengan sebuah modem
pinjaman, tetikus yang sudah tidak terlalu sinkron, dan
loading komputer yang mulai lemot, Bu Ami tetap tersenyum
dan terus mendesak minta diajari banyak hal. Lagi, lagi, dan
lagi.

Untuk sebuah keterbatasan, mungkin kita semua tidak


akan kuat dan segera rihat di ruang makan untuk sekadar
minum kopi menenangkan diri, tetapi Bu Ami berbeda. Ia
dengan profesionalnya tetap teguh belajar di umurnya yang
sudah hampir renta ini. Tanpa sadar, semangatnya seolah
menunjukkan bahwa tidak ada kata terlambat baginya
untuk belajar, bahkan sampai ke liang lahat.

Kisah bu Ami, tidak sampai di situ. Di sela-sela training


terdapat pesawat yang landing dari Malaysia. Bu Ami
langsung sigap berdiri di depan mesin pemeriksa barang
bawaan penumpang (X-Ray) dan bersiap melakukan
pembongkaran koper. Travel bag berjenis Polo Classic besar
yang terisi penuh tiba-tiba diangkat dan dibongkarnya
hanya dengan menggunakan kedua tangannya yang mungil.
Mungkin kita yang berumur lebih muda dibanding bu Ami,
belum tentu bisa melakukan hal yang sama dengan Beliau.
Tak terbayangkan bagaimana Bu Ami bekerja sehari-hari
dengan jumlah jadwal pesawat setiap harinya.

169
Di sela-sela training, Bu Ami pun sempat berkisah mengenai
keluarganya. Bu Ami adalah tulang punggung keluarga
dengan anak-anak yang sedang menempuh pendidikan

Kementerian Keuangan
di perguruan tinggi, sementara suaminya telah pensiun.
Suami Bu Ami adalah seorang pensiunan dari PT
Dirgantara Indonesia yang lokasi kantornya hanya berjarak
beberapa puluh meter dari bilik kecil di bandara tempat Bu
Ami bekerja.

Bu Ami tidak menjelaskan posisi pekerjaan suaminya di


perusahaan industri pesawat terbang yang pertama dan
satu-satunya di Indonesia itu. Namun, dari kisah hidupnya,
kita dapat menebak bagaimana perjuangan Bu Ami dalam
membesarkan anak-anak dan tetap teguh berdiri sebagai
istri serta sebagai pegawai DJBC sejatinya. Dengan gaji
sebagai pegawai bergolongan IIIb ditambah hasil pensiun
suaminya, entah bagaimana Bu Ami mengelola sistem
keuangannya.

Dari sana, semua yang hadir menyadari sesuatu bahwa


bekerja bukanlah melulu soal mencari uang, tetapi soal
passion, soal profesionalitas. Semua pegawai DJBC memiliki
permasalahan dengan tingkat kesulitan yang berbeda-
beda. Namun Bu Ami mengajarkan sesuatu yang lain.
Bu Ami mengajarkan bagaimana bekerja dengan ikhlas,
bekerja dengan profesional, bekerja dengan hati, kendati
ia telah berada di usia yang memintanya menikmati masa
tua bersama suami, anak, cucu, dan rumah yang nyaman
baginya. Dengan senyumnya yang tidak pernah berhenti
mengembang dalam melayani masyarakat dan negara,
Beliau mengajarkan kepada kita satu hal, bahwa dalam
profesionalisme tidak pernah ada tapal batas!
Karena Kita Garda

Dari sana, kalimat dari perwakilan Direktorat Kepabeanan


Internasional hampir setahun yang lalu terdengar jelas
kembali. ”Kita semua berdiri di tapal batas, di garda
terdepan lalu lintas ekspor dan impor! Kita memiliki tugas
dan fungsi yang vital! Nyawa taruhannya! Don’t ever think
170

”Kita semua berdiri di tapal batas,


di garda terdepan lalu lintas
ekspor dan impor! Kita memiliki
tugas dan fungsi yang vital!
Nyawa taruhannya! Don’t ever
think that you’ll be safe here!
Kita bukan PNS kebanyakan,
kita Bea Cukai!”
that you’ll be safe here! Kita bukan PNS kebanyakan, kita Bea
Cukai!”

Safe di sana bukan berarti aman dari segala risiko kerja,


tapi juga mengingatkan kita bahwa menjadi pegawai DJBC
butuh sebuah perjuangan yang jauh dari rasa nyaman.
Kalimat Beliau tersebut bukan hanya menjadi doktrin
dan kenangan on the job training. Sudah saatnya kalimat
itu kita tanamkan dalam hati, bahwa peran kita tidaklah
ringan. Namun, apakah itu akan menjadi senjata kita untuk
mundur, melarikan diri dari profesionalitas diri yang setiap
saat akan diuji?

Atau, kita akan meneladani Bu Ami?

171
Kementerian Keuangan
Tantangan, Pengalaman,
dan Keikhlasan

Oleh:
Syahrial Saputra dan Dina Amalia,
Pegawai DJBC
Karena Kita Garda

Sinar matahari yang bersih memancar dengan jelas masuk


ke sela-sela jendela ruang kecil yang begitu sederhana,
172

pertanda hari baru akan segera dimulai. Hari ini adalah


hari ketiga Faridz (bukan nama sebenarnya) menjalankan
tugasnya yang jauh dari hiruk-pikuk kesibukan kota.
Dengan jarak 154 mil laut (atau sekitar 248 km) ke arah
selatan kota Padang, daerah ini amat jauh dari kata
kemajuan. Tak ada kegiatan hari ini, yang ada hanya
kicauan burung di atas birunya laut yang sesekali mampir
ke pepohonan di pinggir pantai yang bersih. Terkadang
tampak beberapa lelaki yang keluar masuk dari bilik
pondok yang sama dengan yang ditempati Faridz. Kapal
yang ditunggu pun belum kunjung datang.

***

Sejak tahun 2012 PT Injatama memulai kegiatan ekspor


batu bara yang lokasi pemuatannya di perairan Teluk
Tinopo, Sikakap, Kepulauan Mentawai. Asal batu bara yang
diekspor oleh PT Injatama adalah dari Kabupaten Bengkulu
Utara, Provinsi Bengkulu. Sebenarnya lokasinya tidak
begitu jauh dari provinsi tersebut, namun karena terkendala
beberapa hal, kegiatan ekspor batu bara dimaksud tidak
bisa dilaksanakan tepat di garis pantai Pulau Sumatera.
Salah satu penyebabnya adalah karena kapal yang akan
mengangkut batu bara tersebut tidak bisa sandar lantaran
kedalaman air lautnya tidak memadai untuk ukuran dan
muatan kapal yang besar.

Oleh karena itulah, batu bara yang akan diekspor, diangkut


melalui kapal tongkang dengan muatan ± 5000 MT ke kapal
yang lebih besar yang bermuatan ± 50.000 MT di perairan
Teluk Tinopo di mana kapal-kapal besar bisa melakukan
lego jangkar di sana. Kegiatan muat itu sendiri bisa
memakan waktu seminggu lebih.

Berdasarkan kondisi inilah Kantor Pengawasan dan


Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean B
Teluk Bayur melaksanakan perannya sebagai pengawas
keluarnya barang dari daerah pabean dan kewajiban
pabean yang harus dilaksanakan, baik itu sarana pengakut

173
atas ekspor tersebut maupun terkait barang dan proses
pemuatan itu sendiri.

Teluk Tinopo, Kepulauan Mentawai. Sebuah nama daerah

Kementerian Keuangan
yang mungkin masih sangat asing di telinga pegawai Bea
dan Cukai. Kawasan yang tidak mudah untuk diakses, baik
melalui darat, laut, dan udara. Namun, kendati merupakan
lokasi yang jauh dengan segala tantangan yang ada, di
sinilah salah satu dari fungsi Bea dan Cukai itu sendiri
berjalan dengan memaknai nilai-nilai dari Kementerian
Keuangan sebagai landasannya.

Penjaga garis pantai barat Sumatera harus selalu siap


melaksanakan tugas setiap kali datang surat perintah untuk
mengawasi jalannya ekspor batu bara di sana. Biasanya
dalam surat tugas tersebut ada dua orang pegawai yang
ditugaskan dengan durasi 10 hari kerja atau sama dengan
dua minggu untuk tiap surat tugas.

***

Semilir angin Samudera Hindia mengingatkan Faridz


kembali akan perjuangannya menuju ke lokasi pemuatan
ini. Dua kali gagal berangkat lantaran badai yang terjadi di
kota Padang itu belum cukup membuat perjalanan pertama
Faridz ini penuh tantangan. Sudah barang tentu hal ini
membuatnya merasa enggan untuk mengulanginya lagi.

Terjangan gelombang Samudera Hindia di akhir tahun


memang sangat jauh berbeda dengan gelombang ketika
pertengahan tahun yang biasanya lebih tenang. Jangan
samakan gelombangnya dengan pantai yang ada di timur
Pulau Sumatera atau utara Pulau Jawa! Jelas ini jauh dari
Karena Kita Garda

kata sama. Perjalanan selama 16 jam mengarungi lautan


luas bisa menjadi lebih melelahkan dengan memakan waktu
lebih lama 8 jam jika terjadi cuaca buruk. Pengalaman
buruk bahkan pernah terjadi beberapa tahun lalu ketika
kapal yang membawa petugas Bea dan Cukai terdampar di
daerah yang tidak dikenal yang memaksa pegawai berjalan
berhari-hari untuk menemukan penduduk yang kemudian
174

bisa mengantarkan ke lokasi untuk beristirahat.

Pengalaman-pengalaman orang sebelumnya terkadang


terdengar mengerikan, tetapi bukan menjadi alasan
untuk tidak melaksanakan tugas ini. Keterbatasan sarana
transportasi sangat dirasakan oleh pegawai yang menjalani
tugas di sana. Tidak ada jalan lain selain melalui laut itu
sendiri, jalur udara dengan menggunakan pesawat baling-
baling berpenumpang 12 orang hanya sampai ke ibu kota
Kabupaten Mentawai yang masih sangat jauh dari lokasi
pemuatan barang ekspor itu sendiri. Pesawat rute perintis
ini terbangnya juga tidak setiap hari, hanya pada hari-hari
tertentu saja.

MV Kirain Europe, kapal berbendera Malta, akhirnya


tiba di lokasi pukul 04.00, pertanda kegiatan panjang
akan segera dimulai. Pegawai Bea dan Cukai bersama
dengan pegawai dari beberapa instansi lainnya seperti
Petugas Karantina (yang berasal dari Sikakap, Kep.
Mentawai), Kesyahbandaran (yang berasal dari Sikakap,
Kep. Mentawai), dan Imigrasi (dari kota Padang) bersama-
sama menyelesaikan kewajiban awal dengan melakukan
pemeriksaan sarana pengangkut dan barang bawaannya
serta kru asing oleh pihak imigrasi. Tidak ada yang berbeda
dengan aktivitas kedatangan kapal pada umumnya.
Mungkin yang berbeda hanyalah ketika mereka menyadari
bahwa mereka tidak kembali ke kantor asal atau rumah,
melainkan tetap harus berada di sana sampai pemuatan
batu bara dari kapal tongkang ini ke dalam ‘perut besar’ MV
Kirain Europe selesai.

Hari demi hari harus dilalui pegawai Bea dan Cukai dalam
mengawasi pemuatan batu bara tersebut. Rasa bosan pasti
akan selalu datang, tetapi rasa tanggung jawab akan tugas
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan alasan pribadi.
Bagaimana tidak, jika dibandingkan dengan kehidupan
sehari-hari, akan terasa sangat berbeda. Bayangkan, lebih
dari dua minggu akan kehilangan komunikasi dengan
orang-orang yang kita cintai lantaran lokasi pemuatan tidak

175
memungkinkan untuk berkomunikasi dengan keluarga.

Kendala jaringan komunikasi masih terus terjadi. Hingga

Kementerian Keuangan
tulisan ini dibuat, belum ada satu pun jaringan operator
telepon seluler yang masuk ke sana. Bisa jadi, hanya
bermodalkan Wi-Fi dari perusahan yang sangat terbatas
kecepatannyalah satu satu cara untuk melihat dunia
luar dari sana. Itu pun lebih sering putusnya koneksi
dibandingkan dengan kondisi stabilnya.

Tantangan untuk menguji seberapa kuat pegawai Bea dan


Cukai dalam menjalankan tugasnya tidak berhenti sampai
di sini. Masih ada berbagai rintangan lainnya yang akan
selalu sama dan berulang. Untuk mendapatkan persediaan
makanan segar seperti sayuran, pegawai harus naik
kapal nelayan selama empat jam menyusuri bibir pantai
Kepulauan Mentawai sembari menatap luasnya paparan
Samudera Hindia. Persedian makanan ini sendiri didapat
dengan menunggu datangnya kapal dari Kota Padang.

Manusia adalah seorang pengemudi bagi dirinya sendiri,


maka sebagai seorang abdi negara di lapangan, pegawai
Bea dan Cukai harus bisa menciptakan suasana nyaman
selama menjalankan tugas di lokasi apapun. Ia harus
mampu berinteraksi dengan lingkungannya, kendati hanya
ada belasan kepala keluarga yang berada di Teluk Tinopo
dengan latar belakang budaya yang amat jauh berbeda
dari orang orang yang tinggal di daratan Pulau Sumatera
baik, dari segi bahasa, kepercayaan, pola hidup, maupun
makanannya.

Biasanya fase kebosanan akan segera dilalui bila kita


mampu beradaptasi dengan cepat selama berada di sana.
Karena Kita Garda

Para pegawai junior biasanya selalu membawa berbagai


perangkat elektronik untuk membunuh kebosanan dengan
memutar film kesukaan atau sekadar mendengarkan
musik. Listrik yang hanya menyala beberapa jam dalam
sehari bukan menjadi penghalang yang besar jika mampu
menghadapi semuanya dengan penuh rasa tanggung jawab
dan keikhlasan hati dalam melaksanakan tugas yang telah
176

diembankan demi terlaksananya kegiatan kepabeanan yang


baik.

Jumat, 17 Oktober 2014, tepat pukul 10.00 WIB pemuatan


terakhir batu bara ke MV Kirain Europe oleh kapal
tongkang yang kedelapan selesai dengan muatan akhir
sebanyak 46.321,000 MT. Berdasarkan hasil akhir
tersebutlah dibuatkan PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang)
dan diserahkan oleh pihak eksportir pada saat yang
bersamaan ke kantor pelayanan yang berjarak ratusan mil
laut. Jarak yang terbentang memang amat panjang, namun
dengan sinergi yang ada antar beberapa pihak terkait, hal
tersebut bukan menjadi masalah. Koordinasi antara petugas
yang berada di lapangan dengan pegawai yang bertugas di
kantor selalu terjaga.

Akhirnya dokumen PEB-nya pun berhasil didaftarkan di


KPPBC Teluk Bayur melalui Customs and Excise Information
System and Automation (CEISA) dengan nomor 003042
tanggal 17 Oktober 2014 pada pukul 19:31:21 WIB.
Jumlah muatan baik neto mapun bruto yang tertera di
sana sesuai dengan laporan hasil pemuatan barang curah
tersebut. Dengan negara tujuan India, melalui perusahan
pelayaran PT GPI Shipping dan kapal MV Kirain Europe
yang berbendera Malta, selanjutnya Outward Manifest-nya
dilaporkan dengan nomor 000351 pada tanggal 17 Oktober
2014 dan kapal direncanakan keluar pada hari yang sama,
pukul 23:50:00 WIB.

***

Tas ransel yang menemani tugas pertama Faridz sudah


siap untuk kembali bersamanya mengarungi bibir-bibir
Samudera Hindia ke tanah Minangkabau. Hari-hari
yang terasa berat tetapi berkesan, telah dilalui. Ada
banyak cerita baru yang telah menunggu yang mungkin
belum pernah dialaminya ketika ia berdinas di Kantor
Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai belasan tahun
sebelumnya. Amanah baru yang diembannya menjadi

177
seorang kasubsi pada salah satu seksi di KPPBC TMP B
Teluk Bayur tersebut akhirnya mengantarkannya bertemu
dengan pengalaman-pengalaman yang baru. Hal-hal yang

Kementerian Keuangan
sebelumnya tak terlihat ke permukaan tetapi nyata adanya,
akan selalu berjalan. Karenanya, ia meyakini bahwa tak
harus menunggu hal-hal besar dan sesuatu yang bersinar
untuk berkontribusi di instansi yang ia cintai ini. Namun,
dengan keikhlasan dalam menjalankan amanah inilah yang
nantinya membuat instansi ini bersinar.
Karena Kita Garda
178

Untuk mendapatkan persediaan


makanan segar seperti sayuran,
pegawai harus naik kapal nelayan
selama empat jam menyusuri
bibir pantai Kepulauan Mentawai
sembari menatap luasnya paparan
Samudera Hindia. Persedian
makanan ini sendiri didapat
dengan menunggu datangnya
kapal dari Kota Padang.
Karena Bukan
Sekadar Pintar

Oleh:
Lenni Ika Wahyudiasti,
Pegawai DJBC

Jarum jam baru bergeser sedikit dari pukul sembilan pagi


ketika telepon di ruang layanan informasi kantor saya

179
berdering. Segera saya angkat dengan sapaan khas kantor
kami, KPPBC Tipe Madya Pabean Juanda, ” Selamat pagi,
dengan Seksi PLI KPPBC Juanda di sini. Ada yang bisa kami

Kementerian Keuangan
bantu?”

Dari seberang, saya dengar suara seorang pria yang


mengaku dari Kantor Pos Surabaya Selatan. Pria yang
kemudian memperkenalkan diri sebagai manajer di kantor
pos di kawasan Kendangsari tersebut menanyakan prosedur
yang dilakukan Bea dan Cukai atas barang kiriman dari
luar negeri. “Wah, tumben,” pikir saya.

Usut punya usut, akhirnya saya tahu permasalahan yang


dihadapi si manajer tersebut. Rupanya ia baru saja mendapat
komplain dari seorang pelanggannya berkenaan dengan
kiriman pos si pelanggan ke luar negeri yang terpaksa
harus dikirim kembali ke Indonesia karena alamat di negara
tujuan tidak ditemukan. Karena PT Pos Indonesia bekerja
sama dengan perusahaan jasa titipan di negara tujuan, maka
barang kiriman tersebut ‘dipulangkan’ lagi ke Indonesia
melalui perusahaan jasa titipan dimaksud. Sesampai di
Indonesia, ternyata barang kiriman itu dipungut bea masuk
dan pajak dalam rangka impor oleh petugas Bea dan Cukai
di Indonesia. Maka, marahlah si pemilik barang itu, ”Ini
barang saya sendiri dan asalnya dari dalam negeri, kok saya
disuruh bayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor
sih?!”

Mendapat komplain keras seperti itu, si manajer menjadi


kelabakan dan serta-merta berinisiatif mencari informasi
ke KPPBC terdekat. Maka, jadilah telepon di ruang saya
berdering pagi itu. Bahkan, karena khawatir terjadi
Karena Kita Garda

misinformation melalui telepon, ia bermaksud datang


sendiri ke KPPBC Juanda untuk mendapatkan informasi
langsung mengenai penanganan barang kiriman pos yang
dipermasalahkan tersebut.

Keinginan itu terpaksa saya tolak dengan halus karena saya


tak ingin ‘customer’ saya pagi itu bakal menghabiskan waktu
180

sia-sia di KPPBC Juanda hanya untuk menunggu informasi


saya, sementara saya belum menemukan solusinya. Sebagai
upaya diplomasi, saya minta data barang kiriman yang
dipermasalahkan beserta nomor telepon Kantor Pos
Surabaya Selatan yang bisa saya hubungi. Selanjutnya, saya
berjanji akan menghubungi si Manajer Kantor Pos setelah
saya dapatkan informasi yang cukup mengenai barang
kiriman dimaksud.

Bertugas di Seksi PLI memang membutuhkan kesabaran


dan keterampilan berkomunikasi yang lebih. Menghadapi
beragam sifat dan karakter pengguna jasa yang datang tiap
hari dengan masalah mereka, benar-benar memerlukan
kecerdasan bersikap dan kepedulian tinggi, termasuk
kelihaian berdiplomasi ketika kita belum dapat memberikan
jawaban memuaskan atas pertanyaan maupun problema
yang mereka sodorkan. Selalu berupaya mencari kalimat
yang menenteramkan agar mereka tak terlalu kecewa dan
tak merasa dipersulit meski jawaban ‘pil pahit’ harus kami
sampaikan ketika sebuah penolakan terpaksa terlontar
dari mulut kami. Menjadi tugas kami yang berada di garda
terdepan pelayanan inilah, bagaimana menjadikan ‘pil pahit’
itu tak terlalu pahit ketika mereka terima.

“Berapa lama saya harus menunggu informasi tersebut,


Bu?” tanya si Manajer. “Insya Allah pada hari ini, Pak. Saya
usahakan secepatnya,” janji saya. “Mohon Bapak dapat
bersabar menunggu karena saya harus berkoordinasi
dengan beberapa unit terkait di kantor kami untuk itu.
Silakan Bapak tinggalkan nomor telepon yang bisa kami
hubungi, agar kami dapat segera menyampaikan informasi
yang Bapak perlukan,” tambah saya lagi.

Berdasarkan data dari si manajer, saya segera menghubungi


Kepala Seksi PKC untuk mendapatkan informasi mengenai
keberadaan barang kiriman yang dipermasalahkan dan
KPPBC mana yang menanganinya. Beberapa saat kemudian,
Kepala Seksi PKC terkait datang ke ruang saya. Rupanya
barang itu ‘pulang ke Indonesia’ melalui Bandara Soekarno-

181
Hatta dan telah dibuatkan Pemberitahuan Impor Barang
Khusus (PIBK) oleh rekan-rekan di KPPBC Soekarno-
Hatta.

Kementerian Keuangan
“Bukan kantor kita kok yang menangani. Masuknya
lewat Cengkareng, bukan Juanda. Suruh aja nanya ke
Cengkareng,” kata Kepala Seksi PKC.

“Iya, Pak, nanti saya sampaikan begitu. Bapak kenal nggak,


siapa Kasi PKC di sana yang menangani impor barang
kiriman melalui PJT?” tanya saya. ”Sudahlah nggak usah
repot-repot. Pokoknya suruh aja pihak Kantor Pos nelepon
ke Cengkareng, ‘kan beres,” tukas Kepala Seksi PKC tanpa
peduli. ”Lagipula ini ‘kan masalahnya Cengkareng, kenapa
kita ikutan repot?” sambungnya lagi.

“Wah, kok begitu sih,” pikir saya kecewa. Melempar


masalah ke lokasi kejadian sih boleh-boleh saja, tapi
seyogianya terarah. Kasihan juga pihak Kantor Pos
kalau mereka tidak diberitahu harus menghubungi siapa
di KPPBC Soekarno-Hatta. Bisa-bisa, mereka bakalan
‘dilempar’ ke sana-sini kalau tidak berbekal data yang
jelas, batin saya lagi. Namun, saya tak ingin berdebat dan
berbantahan. Akhirnya saya putuskan, “Baik, Pak, biar saya
saja nanti yang mencari informasi ke KPPBC Soekarno-
Hatta, supaya pihak Kantor Pos nggak merasa ‘di-pingpong’
karena tidak tahu harus menghubungi siapa ketika
menelepon kesana.”

“Terserah aja kalau kamu mau capek dan repot,” komentar


Kasi PKC menanggapi. Duh, makin sedih saya mendengar
komentar apatis ini. Maka, saya hanya menimpali, “Saya
memang digaji untuk capek dan repot kok, Pak.”
Karena Kita Garda

Berbekal informasi bahwa barang kiriman tersebut ternyata


masuk melalui Bandara Soekarno-Hatta dan ditangani oleh
KPPBC Soekarno-Hatta, segera saya mencari tahu, siapa
Kasi PKC di sana yang menanganinya dan nomor telepon
pejabat tersebut. Begitu dapat, segera saja saya hubungi
pejabat dimaksud dan saya ceritakan permasalahannya.
182

Alhamdulillah, Kasi PKC yang menangani di KPPBC


Soekarno-Hatta bersedia membantu dan menyatakan siap
dikonfirmasi.

Setelah itu, saya hubungi si Manajer Kantor Pos dan saya


persilakan ia menghubungi langsung ke nomor ponsel
Kasi PKC di KPPBC Soekarno-Hatta berdasarkan data
PIBK yang ada. Singkat cerita, keesokan harinya saya
mendapatkan laporan dari staf saya, bahwa Manajer Kantor
Pos Surabaya Selatan menelepon untuk mengucapkan
terima kasih atas pelayanan yang cepat dan responsif dari
KPPBC Juanda dan KPPBC Soekarno-Hatta.

“Tahu nggak, Bu, apa yang disampaikan Manajer Kantor


Pos tadi?”

“Apa?”

“Manajer Kantor Pos tadi bilang, ‘Saya merasa surprise atas


pelayanan yang diberikan oleh Bea Cukai. Benar-benar
di luar perkiraan saya karena selama ini saya mengira
bahwa berurusan dengan Bea Cukai pasti ruwet ujungnya.
Kejadian kemarin menyadarkan saya bahwa Bea Cukai
benar-benar telah berubah. Pelayanannya sangat responsif,
santun, dan transparan sekarang. Salut dan angkat topi
untuk Bea Cukai yang terus berbenah diri dan berupaya
memperbaiki kinerjanya!” jelas bawahan saya menirukan
ucapan si Manajer Kantor Pos.” Wow, seneng banget denger
apresiasi begitu, Bu!” ujarnya lagi penuh ekspresi.

“Subhanallah. Alhamdulillah!” Hanya itu yang terucap dari


bibir saya. Senang dan lega menerima berita itu.

Lebih dari dua tahun lalu kejadian tersebut saya alami


ketika masih bertugas di Seksi PLI KPPBC Juanda. Hanya
peristiwa sederhana, tetapi dampaknya luar biasa buat saya
dan teman-teman di Seksi PLI saat itu. Darinya kami belajar
banyak hal.

Pelajaran pertama adalah betapa pentingnya melaksanakan

183
pekerjaan dengan hati, meskipun bentuk pelayanan
kita hanya sebatas memberikan layanan informasi
kepada masyarakat. Melaksanakan pekerjaan dengan
hati merupakan perwujudan nilai Profesionalisme

Kementerian Keuangan
yang dicanangkan sebagai nilai kedua dari Nilai-
Nilai Kementerian Keuangan yang tertuang dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 312/KMK.01/2011.
Profesionalisme diwujudkan dalam bentuk keahlian
dan memiliki pengetahuan yang luas serta mampu
melaksanakan pekerjaan dengan hati.

Implementasinya adalah bekerja tuntas dengan hasil


kualitas terbaik serta bekerja berorientasi pada outcome
(dampak), bukan hanya output (hasil). Dengan demikian,
sudah selayaknya kita tidak bekerja setengah-setengah
ketika berupaya mencari solusi atas permasalahan yang
disampaikan oleh pengguna jasa kepada kita. Bila kita tidak
dapat mengatasi sendiri, maka kita perlu berkoordinasi
dengan unit kerja yang lain sehingga pengguna jasa
mendapatkan solusi yang jelas dan terarah. Dengan bekerja
tuntas dalam memberikan informasi pada pengalaman saya
tadi, pada akhirnya bukan hanya hasil (output) yang kami
dapatkan, tetapi juga dampak (outcome) dari kualitas layanan
yang telah kami berikan. Output yang dihasilkan jelas
berupa informasi penanganan barang kiriman pos tersebut
melalui KPPBC Soekarno-Hatta, sedangkan outcome yang
tak terduga adalah apresiasi tinggi dari pihak Kantor Pos
atas kinerja pelayanan DJBC karena yang bersangkutan
merasa puas atas pelayanan yang diberikan oleh KPPBC
Juanda dan KPPBC Soekarno-Hatta.

Meski bertugas di Seksi PLI dituntut untuk banyak tahu,


yang sering terjadi, kami harus melakukan koordinasi
Karena Kita Garda

dengan unit terkait ketika menghadapi pertanyaan dari


masyarakat. Maka, pelajaran kedua yang saya petik dari
kejadian tersebut adalah betapa pentingnya Sinergi dalam
mencari solusi terbaik atas permasalahan yang disampaikan
masyarakat kepada kita. Sinergi adalah berkomitmen
untuk membangun dan memastikan hubungan kerja sama
184

internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis


dengan para pemangku kepentingan untuk menghasilkan
karya yang bermanfaat dan berkualitas.

Pengalaman sederhana menghadapi masalah Kantor Pos


tersebut berbuah hikmah bahwa ‘sinergi cantik’ antara Seksi
PLI dan Seksi PKC di KPPBC Juanda serta ‘sinergi manis’
dengan Seksi PKC di KPPBC Soekarno-Hatta menghasilkan
pelayanan terbaik DJBC bagi Kantor Pos Surabaya Selatan
berkaitan dengan ‘pemulangan kembali’ barang milik klien
mereka. Melalui pengamalan nilai Sinergi tersebut, ‘sinergi
indah’ yang terjalin telah menghasilkan solusi terbaik yang
memuaskan pemangku kepentingan sekaligus berdampak
pada citra institusi secara keseluruhan.

Pelajaran penting berikutnya adalah betapa pentingnya


empati kita miliki ketika melayani pengguna jasa. Menurut
Wikipedia, empati merupakan kemampuan untuk
merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpati
dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil
perspektif orang lain. Melalui empati, kita berupaya
menempatkan diri pada orang lain dan menciptakan
keinginan untuk menolong, mengalami emosi yang serupa
dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang
lain rasakan dan pikirkan, mengaburkan garis antara diri
dengan orang lain.

Dengan memiliki empati dalam melayani pengguna jasa,


kita bisa merasakan dan bersimpati atas kesulitan yang
mereka hadapi. Membayangkan diri andai berada pada
posisi mereka, menempatkan diri dalam situasi sulit yang
mereka alami. Saya bayangkan diri saya sendiri ketika
berkunjung ke sebuah kantor untuk suatu keperluan.
Sebut saja, kantor “A”. Ketika tiba di kantor tersebut, tentu
saya berharap urusan saya di kantor itu tuntas sesegera
mungkin. Maka, bila kemudian saya harus menunggu
berjam-jam dan ‘dilempar’ ke sana-sini tanpa ada kepastian,
saya pasti bakal marah dan kesal. Ujung-ujungnya, saya
akan melayangkan protes keras atas buruknya kinerja
kantor tersebut.

185
Hal yang sama tentu juga akan dilakukan oleh masyarakat
bila mereka mengalami kondisi yang tak menyenangkan

Kementerian Keuangan
ketika berurusan dengan petugas Bea dan Cukai di kantor
manapun. Kalaupun tak sampai melayangkan protes keras,
setidaknya mereka akan putus asa dan malas berurusan
lagi dengan institusi kita ini. ‘Kapok’ kata orang Jawa dan
‘hopeless’ menurut orang Inggris. Bila demikian anggapan
yang ada, masihkah kita berharap masyarakat akan percaya
bahwa kita telah melakukan reformasi birokrasi secara
besar-besaran dan pantas mendapatkan remunerasi yang
memuaskan? Masihkah kita boleh bermimpi mendapatkan
apresiasi tinggi atas meningkatnya kinerja dan prestasi
DJBC dari hari ke hari?

Berbekal empati, kita dapat memberikan Pelayanan


terbaik kepada masyarakat dan pengguna jasa yang
menjadi pemangku kepentingan dari institusi kita ini.
Pelayanan merupakan nilai keempat dari lima Nilai-nilai
Kementerian Keuangan yang seyogianya kita terapkan
dalam aktivitas kedinasan kita sehari-hari. Melayani
dengan berorientasi pada kepuasan pemangku kepentingan
merupakan implementasinya. Salah satu bentuknya adalah
‘mengarahkan kepada pihak yang lebih kompeten bila
diri sendiri tidak memahami permasalahan’. Oleh karena
itulah, ketika menghadapi kesulitan si Manajer Kantor Pos
tersebut, kami di Seksi PLI KPPBC Juanda saat itu berusaha
mendapatkan informasi lengkap mengenai keberadaan
barang kiriman yang dipermasalahkan untuk selanjutnya
mengarahkan yang bersangkutan kepada pejabat yang
menangani di KPPBC Soekarno-Hatta.
Karena Kita Garda

Untuk menjadi pegawai DJBC yang mampu memberikan


pelayanan terbaik kepada masyarakat, ternyata bukan
sekadar keahlian di bidang kepabeanan dan cukai yang
diperlukan. Bukan sekadar pintar yang menjadi bekal.
Bukan sekadar pengetahuan luas yang perlu dimiliki.
“Because smart is not enough,” kata orang Barat. Ada hal
186

penting lainnya yang juga harus kita punyai selain itu.


Kepedulian dan rasa tanggap, keramahan dan kesantunan
dalam bersikap, menjadi hal penting yang tak dapat
diabaikan. Oleh karena itu, saya sempat kecewa ketika
ada pejabat yang enggan untuk tuntas melayani. Berpikir
sempit bahwa karena masalah tersebut terjadi di kantor
lain, maka KPPBC Juanda tak perlu bersimbah peluh
menanganinya. Bahkan berprinsip dangkal, “Lempar saja
masalahnya ke Cengkareng, beres sudah!” Duuh…

Kisah yang saya ceritakan di awal tulisan ini memang


bukan kisah istimewa. Bukan kisah dramatis yang bakal
memukau banyak orang. Bukan pula kisah mengharu-biru
yang bisa menguras air mata dan emosi pembaca. Kisah ini
hanyalah pengalaman sederhana saya yang bisa saja terjadi
dan dialami pula oleh pegawai DJBC lainnya di belahan
Indonesia manapun. Boleh jadi tak menarik, tetapi saya
yakin, ada banyak hal yang bisa kita petik. Semoga kisah ini
menginspirasi kita untuk senantiasa berpikir dan berbuat
yang terbaik bagi DJBC dan sesama. Semoga pengalaman
sederhana ini memotivasi kita untuk selalu meningkatkan
integritas dan profesionalisme dalam bertugas.
Bila seluruh pegawai DJBC terinspirasi dan termotivasi
untuk memberikan kontribusi terbaik bagi institusi ini,
bukan mustahil DJBC akan menjadi salah satu institusi
terbaik di negeri ini maupun di dunia Internasional suatu
saat nanti. Mengapa tidak? Mari kita buktikan!

187
Kementerian Keuangan
“Because smart is not enough”
Gelombang Laut Selatan,
Siapa Takut?!

Oleh:
Gustin Tjindarwasih,
Pegawai DJBC
Karena Kita Garda

“Mbak, Pak Harto ke mana? Sesiang ini kok belum


188

muncul?” tanyaku kepada salah satu staf Urusan


Administrasi TU dan Kepegawaian pada suatu siang di awal
tahun 2012.

“Belum pulang, Bu,” jawabnya.

“Apa…?” Aku terkejut. “Maksudmu?”

“Iya, Bu… belum pulang dari SPM,” jawabnya lagi.

Sontak aku kaget, ada rasa khawatir menyergap.

Pak Harto, lengkapnya bernama Suharto, saat itu masih


menjabat sebagai pelaksana pemeriksa yang ditugaskan
sebagai penanggung jawab tugas Urusan Administrasi TU
dan Kepegawaian KPPBC Tipe A3 Cilacap (saat itu masih
Tipe A3), salah satu unit yang berada di bawah tanggung
jawabku ketika itu, merangkap sebagai pelaksana pemeriksa
di Seksi P2.

Keterbatasan sumber daya manusia di KPPBC Cilacap


membuat hampir semua pegawai pelaksana mendapatkan
tugas rangkap. Jabatan eselon V belum ada, sehingga
beberapa pelaksana pemeriksa mendapat tugas rangkap
sebagai penanggung jawab tugas eselon V, termasuk Pak
Harto. Dari NIP-nya aku tahu, Pak Harto dilahirkan pada
tanggal 31 Desember 1960. Usia yang cukup senior, lebih
dari 50 tahun.

Sehari sebelumnya, Pak Harto melapor kepadaku bahwa


hari itu dia bertugas ke SPM. SPM atau Single Point Mooring
adalah suatu tempat di lautan lepas Samudera Indonesia, di
sebelah selatan pantai Teluk Penyu Cilacap, dan termasuk
wilayah kerja KPPBC Cilacap. SPM merupakan tempat
berlabuh kapal-kapal besar yang membawa muatan minyak
milik Pertamina yang tidak bisa sandar di Pelabuhan
Tanjung Intan Cilacap atau dermaga milik Pertamina,
karena keterbatasan ukuran dan kedalaman dermaga.
Importasi minyak Pertamina rata- rata menggunakan kapal
besar yang mengharuskan kapal tersebut sandar di SPM.

189
Tugas boatzoeking yang harus dilaksanakan oleh Bea Cukai
mau tak mau harus dilakukan di SPM.

Menurut informasi teman-teman di Seksi P2, bukan

Kementerian Keuangan
hal mudah melakukan pemeriksaan kapal di SPM. SPM
mungkin banyak dijumpai di berbagai tempat selain di
wilayah kerja KPPBC Cilacap. Namun menurut informasi,
kondisi yang penuh tantangan terberat adalah SPM di laut
selatan ini. Butuh perjuangan untuk melaksanakannya.
Gelombang besar dan tinggi khas laut selatan serta jarak
yang jauh dari pantai sehingga tidak bisa ditempuh dengan
speedboat kecil milik KPPBC Cilacap mengingat ganasnya
gelombang, menjadi salah satu alasan.

Selama ini, apabila akan melakukan pemeriksaan kapal di


SPM, pegawai KPPBC Cilacap selalu naik rib atau tugboat
milik Pertamina yang cukup besar agar mampu dan aman
menembus gelombang, bersama petugas dari imigrasi dan
karantina. Perjalanan ditempuh selama minimal 2,5 jam
dalam kondisi normal. Bila gelombang tinggi, memakan
waktu yang lebih lama lagi.

Itu saja tantangannya? Ternyata tidak, untuk bisa naik ke


kapal, tangga monyet sudah menunggu untuk dipanjat
di antara gelombang besar yang acapkali mencapai 4
meter lebih dan ayunan gelombang yang sewaktu-waktu
dapat membenturkan rib atau tugboat dengan kapal yang
diperiksa, bisa menjungkirbalikkan semuanya. Lengah
sedikit saja bisa jatuh tersapu gelombang atau tergencet
antara tugboat dan badan kapal. Sudah pasti nyawa menjadi
taruhan. Semangat, keberanian, dan kondisi fisik prima
mutlak menjadi modal dasar yang harus ada.

Hal itulah yang memunculkan rasa khawatir di hatiku. Dan


Karena Kita Garda

hari itu sudah dua hari satu malam Pak Harto belum pulang
dari SPM. Usia Pak Harto sudah lebih dari 50 tahun. Bukan
usia yang tergolong muda untuk lincah meloncat ke tangga
monyet di antara gelombang besar dan kapal yang terus
bergoyang. Gerakan barangkali sudah tidak selincah dulu,
refleks juga mungkin berkurang karena faktor usia. Kalau
190

terjadi apa-apa? Aaah… Semoga saja tidak.

Sejak sekitar tahun 2010, bahkan sudah tidak ada lagi

Jiwa ikhlas berbaktilah yang


meletupkan semangat diri
seorang Suharto. Menurutnya,
ada kenikmatan tersendiri bila
mampu melaksanakan tugas di
tengah tantangan yang orang lain
tidak mau menghadapinya.
pegawai KPPBC Cilacap yang berani menentang ombak
untuk melakukan boatzoeking di SPM, kecuali Pak Harto.
Ya, hanya Pak Harto! Rata-rata usia dan kondisi fisik
menjadi alasan, karena lebih dari 50 persen pegawai KPPBC
Cilacap pada saat itu berusia 50 tahun ke atas, sehingga
setiap ada kedatangan kapal dari luar daerah pabean dan
sandar di SPM pasti hanya Pak Harto yang memeriksanya.
Dari Bea Cukai hanya Pak Harto seorang diri. Melihat
sisi prosedur pemeriksaan kapal, barangkali salah, tapi
memaksakan orang yang usianya ‘senior’ untuk menantang
ganasnya alam…?

Pernah soal keberanian itu kutanyakan padanya. Pak


Harto hanya menjawab bahwa masalah usia adalah rahasia
Yang Maha Esa. Bila ajal tiba, di manapun tidak akan
tertunda. Bagi Pak Harto, menjalankan tugas yang menjadi
kewajibannya saat ini adalah hal utama. Bukan materi yang
menjadi tujuan utama, karena dia tidak pernah mengharap

191
imbalan apapun. Ikhlas bertugas demi negeri, demi Bea
Cukai yang dicintai. Yang penting adalah kesiapan fisik dan
mental.

Kementerian Keuangan
Bila Pak Harto juga tidak berani melakukan pemeriksaan
kapal di SPM, lantas siapa yang akan melakukannya? Lalu,
bagaimana dengan tugas sebagai community protector? Jiwa
ikhlas berbaktilah yang meletupkan semangat diri seorang
Suharto. Menurutnya, ada kenikmatan tersendiri bila
mampu melaksanakan tugas di tengah tantangan yang
orang lain tidak mau menghadapinya.

Sampai sore masih terpikir di benakku masalah Pak Harto


yang belum juga kembali. Terbayang kesederhanaan
Pak Harto, semangat bekerjanya, semangat untuk maju,
semangat melayani, suara merdunya saat menyanyi
dangdut dalam berbagai acara kantor, dan juga bayangan
keluarganya. Apa yang sebenarnya terjadi, gelombang yang
terlalu tinggikah atau…

Dalam hati aku mendoakan keselamatannya. Hingga


akhirnya sebelum jam pulang aku dengar siulan khas Pak
Harto di sekitar ruangan kantor. Aku pun keluar dan
kutemui Pak Harto. Kutanyakan kondisinya dan apa yang
terjadi.

“Alhamdulillah, Bu, sudah bisa pulang dengan selamat.


Gelombang sangat tinggi saat saya dan teman-teman
imigrasi, serta karantina mulai menaiki tangga monyet.
Kapal bergoyang hebat, sehingga begitu kami naik, tugboat
segera meninggalkan lokasi. Kami tertahan, maka harus
bermalam di kapal sampai gelombang tinggi mereda
siang ini, dan kami dapat dijemput kembali oleh tugboat,”
Karena Kita Garda

demikian cerita Pak Harto.

“Tanpa bekal pakaian dan bekal apapun, Pak?” tukasku


dengan pertanyaan ‘khas wanita’.

Pak Harto hanya tertawa, lalu menjawab, ”Ya, Bu, tapi


untuk makanan kami dijamu pihak kapal.”
192

Puji syukur ke hadirat-Mu Ya Allah, salah satu rekan kerja


terbaikku bisa menjalankan tugas dan kembali dengan
selamat.

Jerakah Pak Harto setelah itu?

Ternyata tidak. Sampai awal tahun 2014 ini, di usia yang


makin bertambah, bahkan ketika Pak Harto telah mendapat
promosi menjadi Kasubsi Intelijen KPPBC Tipe Madya
Pabean C Cilacap pun tidak menyurutkan langkahnya
melakukan boatzoeking di SPM Laut Selatan. Dan mulai
pertengahan tahun 2013 lalu, sudah ada pegawai KPPBC
Cilacap selain Pak Harto yang sanggup melaksanakan
pemeriksaan kapal di SPM. Mereka adalah para pegawai
muda yang baru ditempatkan atau dimutasikan di KPPBC
Cilacap. Mudah-mudahan muncul semakin banyak lagi
Suharto-Suharto lain yang berani mengarungi gelombang
laut selatan, Samudera Indonesia, untuk menunaikan tugas
sebagai Bea Cukai sejati. Semangat dan motivasi yang
mengalir dalam diri Pak Harto semoga ditularkannya
kepada anak-anak muda yang baru menapak karier di
KPPBC Cilacap ini.

Masalah jaminan keselamatan petugas yang melakukan


pemeriksaan kapal sudah pernah dibicarakan dengan
pemilik barang dan agen pelayaran. Penyediaan sarana-
prasarana yang membantu menjamin keselamatan petugas
semoga saja mendapat perhatian lebih dari pihak terkait.
Upaya peningkatan semangat, motivasi, kesiapan fisik dan
mental yang dilakukan KPPBC Cilacap semoga berhasil.
Dengan demikian, akan semakin menambah keberanian
khususnya pegawai dan generasi muda KPPBC Cilacap
dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung
jawabnya. Seberat dan sebanyak apapun tugas itu!

Dan seperti Pak Harto, dengan lantang semua ‘kan mampu


berseru, “Gelombang Laut Selatan, siapa takut?!”

193
Kementerian Keuangan
Melancarkan Kembali Arus
Kontainer Ekspor di Pelabuhan
Tanjung Priok dengan IT Knowledge
Oleh:
DJBC
Karena Kita Garda

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah sebuah instansi


194

besar. Di dalamnya terdapat banyak divisi dan spesialisasi


disiplin ilmu yang diterapkan untuk mencapai visi dan
misinya. Auditor, Pemeriksa Barang dan Unit K9 (Anjing
Pelacak) adalah beberapa dari sekian banyak spesialisasi
yang terdapat di instansi ini. Direktorat Informasi
Kepabeanan dan Cukai (IKC), tempat saya menjalankan
tugas saat ini, juga merupakan salah satu unit eselon dua
di institusi tercinta ini yang memiliki spesialisasi khusus
dalam tugas pokok dan fungsinya di bidang teknologi
informasi dan komunikasi. Ada satu pengalaman yang
masih saya ingat dan akan saya kisahkan di sini. Sebuah
pengalaman tentang tugas yang pernah kami terima, serta
tentang dua senior saya yang sampai saat ini masih bertugas
di Direktorat IKC.

Saat itu saya baru sekitar satu tahun ditempatkan di


Direktorat IKC. Suatu siang di tahun 2008, sekitar
pukul 13.00, kami menerima telepon dari konsul KPU
Tanjung Priok yang mengabarkan bahwa aplikasi ekspor
berjalan lambat. Telepon dari KPU Tanjung Priok bagi
kami adalah suatu hal besar, karena itu sama artinya
dengan terhambatnya arus barang di pelabuhan terbesar
di Indonesia. Kami pun mulai melakukan pemeriksaan
dan penelitian terhadap faktor-faktor yang dapat
mempengaruhinya seperti tablespace, filesystem server serta
faktor-faktor lain, tetapi saat itu belum ada error report yang
muncul pada server KPU Tanjung Priok.

‘Bad Sector’, begitu istilah IT untuk kondisi di mana salah


satu komponen hardisk pada server tidak bisa berfungsi atau
rusak secara permanen. Akibatnya, data yang tersimpan
dalam satu sektor tersebut tidak dapat dibaca sehingga
membuat hang seluruh aplikasi. Error Message ini kami
peroleh sekitar pukul 16.00 sore hari. Sementara itu aplikasi
Ekspor di Tanjung Priok pun nyaris berhenti. Karena mesin
server KPU Tanjung Priok masih dalam lisensi maintenance
dari perusahaannya, kami dapat mengonfirmasi kepada
mereka untuk mendapatkan komponen penggantinya.
Segera saya hubungi mereka dan meminta agar mereka
bersiap untuk pemasangan komponen pengganti tersebut

195
malam itu juga.

Tim kami berangkat dari kantor pusat sekitar pukul 20.00

Kementerian Keuangan
WIB, saat pegawai lain mungkin sedang bercengkrama
dengan keluarga mereka masing-masing. Keberangkatan
kami ini berbekal surat tugas yang dibuat hari itu dan
langsung mendapatkan tanda tangan direktur pada hari
yang sama. Instruksi dari atasan kami saat itu sangat
sederhana, “Paling lambat besok pagi aplikasi ekspor harus
berjalan kembali!”

Tim yang berangkat terdiri dari satu orang administrator


database, satu orang admin OS, satu orang administrator
hardware serta seorang dari perusahaan yang memproduksi
server untuk mengganti komponen server yang rusak.
Ketika mobil yang kami tumpangi masih berada di luar
kawasan pelabuhan, mulai terlihatlah situasi yang sedang
kami hadapi. Puluhan kontainer mengular, semuanya
berhenti dari arah pintu pelabuhan sampai tempat di mana
mobil kami berada.

“Wah, kita tidak bisa melanjutkan perjalanan nih,” kata


pengemudi mobil yang kami tumpangi.

Akhirnya kami memutuskan berjalan kaki untuk mencapai


Gedung KPU Tanjung Priok. Menurut salah satu anggota
tim yang tinggal di Tanjung Priok, jarak yang kami tempuh
saat itu sekitar satu kilometer.

Saat mengamati barisan kontainer yang mengular


tersebut, saya lihat kebanyakan dari sopir kontainer-
kontainer tersebut terlelap. Mungkin karena lamanya
mereka menunggu. Ketika kami melewati kontainer demi
Karena Kita Garda

kontainer yang berhenti tersebut, salah satu senior yang


ikut berjalan kaki menuju KPU bahkan sempat menyeletuk,
“Kalau bapak-bapak sopir kontainer ini tahu kita yang
akan mengutak-atik server aplikasi ekspor di sini, bisa-bisa
dipukuli nih kita!”

Kami yang mendengarnya hanya tertawa kecil sambil


196

meneruskan langkah-langkah kami menuju gedung


kantor. Sesampainya di KPU, kami langsung menuju ruang
konsul dan disambut oleh rekan konsul KPU Tanjung
Priok. Di sini kami mendapatkan penjelasan mengenai
urutan kejadian dari awal aplikasi Masih dapat beroperasi
sampai dengan berhenti sama sekali. Setelah cukup
mendapatkan keterangan yang diperlukan, kami pun segera
menuju ruang server. Saya melakukan backup database dan
memindahkannya ke dalam PC setempat, untuk tindakan
preventif apabila nantinya database pada server tidak dapat
diakses ketika aplikasi dihidupkan kembali. Langkah
selanjutnya kami pun mulai melakukan shutdown aplikasi,
setelah sebelumnya memastikan terlebih dahulu tidak ada
user aplikasi yang terkoneksi.

Setelah pengambilan file backup database selesai, kami


melanjutkannya dengan shutdown aplikasi. Lantaran
perlu dilakukan pergantian hardware, maka server harus
dimatikan. Oleh karena itu, semua aplikasi di KPU
Tanjung Priok (aplikasi Impor, Ekspor, Manifes dan BC23)
harus dimatikan. Setelah semua aplikasi dimatikan, kami
mematikan database tiap-tiap aplikasi. Beban kerja server
yang berat membuat kami menunggu agak lama untuk
melakukan shutdown database. Maklumlah, ada sekitar
seribu lima ratus dokumen PIB dan dua ribu dokumen PEB
yang diproses tiap harinya di kantor ini.

Karena hingga setengah jam proses shutdown immediate


tidak kunjung selesai, kami pun memeriksa background
process apa saja yang masih menggantung pada server.
Setelah mendapatkan daftarnya, kami melakukan kill process
secara manual pada tiap-tiap proses yang mengganggu
shutdown database tersebut. Setelah kill proses selesai, mulai
terlihat perkembangan proses shutdown pada alert log
yang kami pantau. Tak lama kemudian database pun mati.
Kondisi ini terjadi sekitar pukul 23.30 tengah malam.

Setelah aplikasi dan database mati, langkah yang kami


lakukan selanjutnya adalah mematikan server secara
fisik. Satu per satu tiap partisi server kami matikan.

197
Selepas semua partisi server mati, kami melakukan
langkah pamungkas, yaitu mematikan mesin server
secara keseluruhan. Jujur, perasaan was-was senantiasa

Kementerian Keuangan
menghampiri setiap kali kami tiba di tahap ini. Dalam surat
tugas apapun dan di kantor manapun, setiap melakukan
langkah ini selalu terbayang risiko apabila mesin server
tidak dapat dinyalakan kembali secara normal. Apabila hal
tersebut terjadi, tentu saja aplikasi pelayanan tidak akan
dapat pulih kembali dan bisa dipastikan mungkin proses
pelayanan akan dilakukan secara manual. Sebuah risiko
tinggi untuk pelabuhan sebesar Tanjung Priok!

Mesin server telah dimatikan, sekarang tiba saatnya giliran


tim dari perusahaan mesin server tersebut untuk melakukan
pergantian hardware yang mengalami bad sector. Kami pun
memantau apa yang mereka lakukan. Beberapa orang dari
kami memanfaatkan waktu tersebut untuk beristirahat.
Setelah penggantian hardware selesai sekitar pukul 02.00
dini hari, mereka mengonfirmasikannya kepada kami.
Selepas itu, kami mulai melanjutkan tahapan-tahapan
selanjutnya, yaitu menghidupkan server satu per satu mulai
dari mesin server, partisi server, kemudian database kami
hidupkan kembali.

Saat itulah sebuah kekhawatiran kami terjadi. Ketika


melakukan startup database, muncul error message bahwa
database tidak dapat diakses. Namun setelah membaca error
message dan meneliti daftar filesystem pada server yang telah
startup kembali, kami mendapati ada beberapa filesystem
server yang tidak ter-mounting secara otomatis sehingga
menyebabkan database tidak dapat diakses. Akhirnya kami
pun terpaksa melakukan mounting secara manual pada
Karena Kita Garda

beberapa filesystem server tersebut.

Setelah error message pada database dapat kami hilangkan,


kami melakukan startup aplikasi. Syukurlah, prosedur
ini dapat kami lakukan dengan lancar. Selanjutnya,
setelah semua aplikasi hidup kembali, kami melakukan
tes pengiriman data dari mesin EDI ke mesin server yang
198

baru saja kami hidupkan kembali, untuk menguji apakah


pengiriman data dapat dilakukan. Setelah menunggu
beberapa saat, terlihat loader pada aplikasi menunjukkan ada
data PEB yang masuk ke aplikasi. Akhirnya kami pun dapat
menarik napas dengan lega, karena itu berarti aplikasi telah
berjalan kembali seperti semula.

Sekitar pukul setengah lima pagi, kami salat subuh di


musala KPU Tanjung Priok yang terletak di lantai empat.
Selesai salat, saya sempatkan untuk mengintip kehadiran
pagi dari jendela musala. Tampak fajar mulai menyingsing
di Pelabuhan Tanjung Priok. Banyaknya kapal di sekitar
dermaga pelabuhan menyadarkan saya betapa pelabuhan
ini mewakili lebih dari lima puluh persen volume aktivitas
impor dan ekspor di Indonesia.

Kami pun berpamitan pulang, dan kembali melewati


jalur saat kami berangkat. Alhamdulillah, tak tampak lagi
barisan truk kontainer yang malam sebelumnya berderet
mengular sepanjang jalur masuk pelabuhan. Mobil yang
kami tumpangi pun dapat melaju dengan lancar. Dalam hati
kecil saya terbesit sedikit rasa bangga lantaran pekerjaan
yang kami lakukan semalam dapat melancarkan kembali
arus ekspor barang di pelabuhan terbesar di Indonesia.
Bisa jadi para pegawai KPU Tanjung Priok sendiri tidak
mengetahui siapa yang ditugaskan untuk memulihkan
kondisi agar aplikasi ekspor dapat berjalan kembali seperti
semula. Kami tak peduli mereka tahu atau tidak. Yang
penting buat kami hanyalah kami dapat menjalankan tugas
yang dilimpahkan kepada kami dengan baik, apapun peran
dan fungsi kami.

Kami bukanlah ujung tombak seperti pemeriksa barang


yang bersentuhan langsung dengan arus impor ataupun
ekspor barang di lapangan. Kami juga bukan Unit K-9
yang bisa setiap saat mengendus keberadaan narkoba di
setiap bandara dan pelabuhan. Tapi kami yakin, peran
kami tidaklah kecil untuk instansi ini. Kami beraksi
saat jam pelayanan tidak aktif, saat arus barang di
pelabuhan ataupun bandara tidak sedang sibuk, ketika

199
weekend ataupun di malam hari. Dan itulah tantangan
profesionalitas kami.

Kementerian Keuangan

Kami tak peduli mereka tahu atau


tidak. Yang penting buat kami
hanyalah kami dapat menjalankan
tugas yang dilimpahkan kepada
kami dengan baik, apapun peran
dan fungsi kami.
Mencari Nilai dari Tumpukan
Sampah Musim Dingin 2016

Oleh:
Pandu Fauzi,
Pegawai Setjen
Karena Kita Garda

Minus 5 derajat celcius, demikian aplikasi cuaca di


200

smart-phone memberitahuku suhu udara di pagi buta itu.


Sementara jarum jam menunjukkan pukul 03.55, aku
bergegas menyusuri sepanjang jalan di antara Chifley
Library dan University Oval menuju gedung tempat ku
bekerja paruh waktu. Sudah hampir 2 pekan ini aku
menjalani rutinitas sebagai cleaner professional untuk
membersihkan salah satu gedung perkuliahan di kampus
tempatku menempuh program studi master di Australia.

Profesional? Yup, karena untuk diterima sebagai cleaner, aku


harus melalui serangkaian proses seleksi layaknya orang
bekerja kantoran di Jakarta. Pertama, aku harus membuat
police check (semacam SKCK) yang prosesnya dilakukan
secara online dan cepat. Hanya hitungan jam, “SKCK” ini
sudah jadi, dikirim melalui email dalam format PDF. Kedua,
aku harus membuat Tax File Number atau TFN (semacam
NPWP) yang juga prosesnya dilakukan secara online.
Bedanya, notifikasi TFN dikirim via pos sebagai bentuk
klarifikasi alamat pemohon.

Proses rekrutmen berlanjut dengan mengisi aplikasi online


sembari menyertakan CV dan 2 kontak referensi tempat
di mana aku sebelumnya bekerja. Berlanjut ke wawancara,
online training, dan diakhiri dengan induction dan on-
site training. Pada sesi online training, bahkan terdapat
komponen assessment yang harus dijawab dengan benar
minimal 90 persen.

Melewati Chifley Library, kulirik sebentar perpustakaan


yang memiliki jam operasional 24 jam tersebut. Tampak
beberapa mahasiswa sedang khusyuk di depan komputer.
“Astaga, mereka ini pada nggak tidur apa? Atau jangan-
jangan pada nge-kos di Chifley” batinku. Memang
begitulah sehari-harinya di perpustakaan ini, ada saja
mahasiswa yang lembur mengerjakan tugas kuliah sampai
pagi.

Selepas Chifley, pemandangan berganti menjadi jalan


setapak yang lebih kecil, di kiri-kanan tumbuh pohon-
pohon coolabah (pohon khas Australia), yang tidak terlalu

201
besar sebenarnya, tapi cukup tinggi untuk ukuran pohon
di Indonesia. Di sisi kanan, beberapa ekor kelinci sedang
berkeliaran di rerumputan yang tertata rapih. Sementara di

Kementerian Keuangan
sisi kiri jalan terlihat seekor rakun betina sedang mencari
makanan sambil menggendong anaknya dipunggung.

Akhirnya tiba juga di seberang jalan di mana gedung yang


harus kubersihkan terletak. Jangan bayangkan seperti di
Jakarta, dimana satu lantai dibersihkan oleh dua orang
petugas cleaner, pria dan wanita yang bekerja seharian. Di
sini kami harus membersihkan satu gedung, bukan satu
lantai sendirian.

Di bangunan 4 lantai ini, pekerjaanku meliputi mengambil


sampah dan mengganti kantong sampah dari setiap
ruangan para dosen, staf, dan mahasiswa PhD. Kemudian
membersihkan kamar mandi dan dapur beserta ruangan
seminar dan ruangan kelas. Dan hari ini aku berencana
untuk menghitung jumlah pasti ruangan kantor yang harus
kubersihkan di gedung ini. Karena rasanya biar semengebut
apapun dikerjakan, waktu 4 jam masih saja terasa kurang.
Tak peduli siapa kamu

“Rizky… Rizky…” Panggil seseorang mengagetkanku yang


sedang membersihkan toilet di lantai 3. Dari suaranya
pasti yang datang adalah Pak Haji Adang, supervisor di
perusahaan tempat kami bekerja. Kami memanggilnya Pak
Haji atau Bang Haji karena Beliau sudah berkesempatan
pergi haji di tahun keduanya di Australia. Tanpa antrean
panjang seperti di Indonesia katanya, tahun ini daftar,
tahun depan sudah bisa langsung berangkat ke tanah suci.
Karena Kita Garda

Mengikuti istrinya yang kuliah program S3, Pak Haji Adang


adalah tipikal pekerja keras dan suami yang tidak bisa
diam berpangku tangan hanya dengan mengandalkan uang
beasiswa istri. Setelah bekerja menjadi supervisor dari jam
empat sampai jam delapan pagi, Pak Haji lanjut lagi bekerja
sebagai day-time cleaner mulai jam delapan pagi sampai jam
tiga sore. Tidak heran, dari 4 orang supervisor, Pak Haji
202

adalah orang yang paling berpengaruh dan dikenal dekat


dengan on-site manager.

Aku bergegas keluar dari toilet menuju sumber suara. Di


depan pintu lift, sudah berdiri pria dengan perawakan
tinggi besar, berkulit putih, dan berusia sekitar 45 tahunan.
“Coba ikut saya ke dapur!” pintanya dengan intonasi suara
besar khas orang Palembang.

“Ini tolong tutup tempat sampah dilap dan dibersihkan


lagi!” katanya. “Astaga, sampai detail sekecil ini pun harus
dibersihkan,” pikirku dalam hati. “Saya ingin supaya kamu
diterima jadi pegawai tetap di sini, jangan cuma jadi pekerja
lepas, makanya kerjanya harus benar-benar bersih supaya
bos senang,” ujarnya seperti membaca pikiranku. “Apalagi
keluarga sudah datang menyusul dari Indonesia ‘kan, jangan
sampai posisimu diambil cleaner dari negara lain,” lanjutnya.

Begitulah Pak Haji, kadang teman-teman Indonesia yang


bekerja sebagai cleaner menganggapnya terlalu cerewet,
tapi maksud sebenarnya baik. Pak Haji pernah bercerita
awal mula dia mencari pekerjaan di kota Canberra tidaklah
mudah. Beberapa kali berganti pekerjaan, akhirnya
diterimalah ia di perusahaan ini dan dengan berbekal kerja
keras akhirnya diangkat sebagai supervisor.

Pak Haji pernah menuturkan, dulu orang Indonesia


yang bekerja di perusahaan ini sangat sedikit. Karyawan
didominasi oleh orang dari Mongolia yang banyak
merekomendasikan kawan-kawan senegaranya. Setelah Pak
Haji masuk, dia berusaha untuk membawa kawan-kawan
Indonesia untuk bisa bekerja di sini. Oleh karenanya, Pak
Haji sangat ketat terhadap kawan-kawan Indonesia karena
dia ingin menunjukkan kepada manajer bahwa orang
Indonesia jauh lebih profesional, pekerja keras, dan bisa
dipercaya.

Hasilnya memang luar biasa, dalam waktu satu tahun


jumlah kawan-kawan Indonesia, baik mahasiswa atau
pun yang sedang mendampingi pasangan studi yang

203
diterima bekerja di perusahaan meningkat tajam. Bahkan
dari 4 orang supervisor, dua diantaranya diisi oleh orang
Indonesia. Selain Pak Haji, supervisor lainnya adalah

Kementerian Keuangan
Bang Rahmat, mahasiswa Ph.D yang juga seniorku di
Kementerian Keuangan.

“Dengar Rizky, saya selalu katakan ke kawan-kawan kita,


pokoknya saya tidak peduli siapa kamu di Indonesia. Saya
hanya peduli bahwa kamu sekarang sedang membawa nama
Indonesia bekerja di sini. Makanya kerja yang bagus, kerja
dengan hati jangan asal-asalan,” demikian Pak Haji memulai
kuliah subuhnya di pagi itu. “Siap, Pak!” jawabku singkat.

Karyawan tetap

“Good morning, mate!”, sapa seseorang di depan ruangan


kebersihan tempatku menaruh berbagai peralatan. Jam
menunjukkan pukul 07.50 pagi, 10 menit lagi menuju
presensi jam kerja. Kali ini yang datang adalah Agi, wanita
Mongolia yang menjadi supervisorku langsung. “Hi Agi,
how is it going?” balasku.
“Did you see me last night on the class?” tanyanya. “Are you
taking financial report analysis class?” kataku kaget, karena
tadinya kukira Agi ini mahasiswa Ph.D. “Yes, I saw you on
the class last night,” jawabnya. “What is your program?” Kataku
lagi. “I am doing Master of Project Management, and you?”,
katanya lagi. “Oh, I am in MBA program”, jawabku.

Demikianlah di minggu ketiga, aku bekerja baru kutahu


kalau supervisorku adalah teman sekelas di salah satu mata
kuliah. Dari percakapan kami aku juga baru tahu bahwa
kami berada dalam satu program beasiswa yang sama,
Karena Kita Garda

yakni Australia Awards. Bedanya Agi masuk lebih dulu satu


semester ke kampus kami. Berbeda dengan Pak Haji, wanita
yang memiliki dua anak ini lebih santai dalam berinteraksi
dengan para cleaner, apalagi yang berstatus sesama
mahasiswa. Karena Agi cukup tahu beban studi di kampus
dan tuntutan profesionalisme untuk membagi waktu antara
204

bekerja dan studi.

Pernah satu waktu dia mengatakan kepadaku harus


memiliki strategi dalam membersihkan gedung ini. Dengan
jumlah ruangan staf yang mencapai 130 ruangan, ditambah
toilet, dapur, dan lain-lain maka waktu 4 jam tidak akan
cukup kecuali disiasati dengan baik. Dia juga mengatakan
kalau ada tugas kuliah, dia mengizinkan sekitar setengah
jam untuk membaca atau mencicil tugas selama pekerjaan
dapat dituntaskan dan tidak ada keluhan dari customers.

“I come with new contract, the manager has offered you a


permanent contract”, tutur Agi menjelaskan maksud
kedatangannya. Aku membaca surat tersebut dan segera
kutandatangani untuk keserahkan kembali kepadanya
karena aku harus bergegas untuk menyiapkan tugas
kuliah di hari itu. “Thank you Agi, here it is,” kataku sambil
menyerahkan kembali beberapa lembar dokumen kontrak
tersebut. Mulai hari ini aku resmi berstatus karyawan
tetap. Artinya aku akan mendapatkan benefit tambahan
superannuation (semacam BPJS ketenagakerjaan) dan hak
cuti selama 25 hari setahun.
Mencari nilai

Beberapa hari setelah menandatangani kontrak karyawan


tetap, aku sempat merefleksikan kembali apa sebenarnya
yang aku cari dan aku inginkan dari bekerja paruh waktu di
perusahaan ini. Kebiasaan merefleksikan banyak hal seperti
ini sudah kumulai sejak kelas satu SMP, saat kedua orang
tua kami memutuskan untuk bercerai setahun sebelumnya.

Tentu yang terlintas pertama kali adalah teori hierarki


kebutuhan Maslow, yakni untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Karena datang ke Australia membawa keluarga dan
anak, maka secara hukum diharuskan menyewa rumah
yang memiliki dua kamar. Oleh karenanya, biaya sewa
rumah sudah mengambil porsi 60 persen sendiri dari uang
beasiswa. Sebenarnya hal ini bisa disiasati dengan cara
melakukan sharing kamar dengan mahasiswa lain yang
belum berkeluarga atau tidak membawa keluarga. Namun

205
aku dan istri memilih untuk tidak mengorbankan privasi
hanya demi menghemat seratus sampai dua ratus dolar.

Kedua, teringat cerita mantan kepala biro kami tentang

Kementerian Keuangan
seorang Bapak tukang sapu di sebuah kampus. Alkisah,
Bapak yang selalu giat dan gembira dalam pekerjaannya
tersebut ditanya mengapa Bapak kelihatan senang sekali
bekerja sebagai tukang sapu. Jawaban Bapak tersebut
sungguh di luar dugaan penanyanya, “Oh, saya bukan
tukang sapu sembarangan. Saya tukang sapu perpustakaan,
Saudara tahu perpustakaan ini tempat belajar calon-calon
pemimpin masa depan. Kalau para calon pemimpin ini
merasa nyaman dan senang belajar di sini, maka saya sudah
membantu mereka untuk membuat perubahan besar di
masa yang akan datang.”

“Ah, betapa luar biasa sekali Bapak tukang sapu itu.


Mungkin pendidikannya rendah tapi ketulusan hatinya
mampu membuat dirinya menemukan sebuah value yang
luhur,” batinku. Aku jadi tersenyum simpul, “Mungkin saat
ini aku sedang membantu kawan-kawan penghuni gedung
ini menjadi pemimpin di masa depan”, kataku dalam hati.
Pernah dalam satu obrolan makan siang dengan anak-anak
muda penerima beasiswa LPDP mereka bertanya, “Mas
Rizky kerja di Kemenkeu masih mau kerja jadi cleaner?”
Aku hanya tersenyum, “Kemenkeu di Indonesia, Bro, di
sini cuma mahasiswa biasa yang harus menafkahi dan
mengajak jalan-jalan keluarga, ha..ha..,” jawabku. Belum lagi
pertanyaan bagaimana bagi waktu dan mengerjakan tugas-
tugas kuliah.

Sejak ada beasiswa LPDP, jumlah mahasiswa Indonesia yang


studi di Canberra bertambah pesat. Senang sekali melihat
Karena Kita Garda

banyak pelajar Indonesia yang mendapatkan kesempatan


lebih luas dari negara untuk melanjutkan pendidikan tinggi
di Ibu Kota Australia ini. Bedanya, para penerima beasiswa
Australia Awards hampir bisa dipastikan adalah para senior
yang sudah bekerja lebih dari 3 atau 4 tahun dan sudah
berkeluarga. Sementara banyak sekali penerima beasiswa
206

LPDP di Canberra adalah anak-anak muda fresh-graduate.


Tambah lagi, menurut mereka LPDP melarang untuk
bekerja paruh waktu yang tidak ada kaitannya dengan
pendidikan, sedangkan Australia Awards tidak melarang
penerima beasiswanya untuk bekerja.

Kuliah sambil bekerja bukan barang baru bagiku, dulu aku


pun menyelesaikan pendidikan sarjana di program ekstensi
UI sambil bekerja di siang hari. Tidak mudah memang,
tapi di situ kedewasaan dan profesionalisme diuji. Ah, jadi
teringat ucapan Begawan Ekonomi Indonesia, almarhum
Sumitro Djojohadikusumo ketika ditanya pendapatnya
tentang mahasiswa ekstensi UI, Beliau berkata, “Mahasiswa
terbaik di kelas malam (ekstensi maksudnya) akan bisa
mengalahkan mahasiswa terbaik di kelas pagi (reguler),
tetapi mahasiswa yang terburuk di kelas malam sudah pasti
jauh lebih buruk dari kelas pagi.”

Pernyataan yang masuk di akal, dengan tuntutan akademik


yang relatif sama, mahasiswa terbaik di kelas malam pasti
memiliki kerja keras dan manajemen waktu yang lebih baik
dari mahasiswa di kelas pagi yang sebagian besar waktunya
hanya dituntut untuk belajar. Sementara mahasiswa
terburuk di kelas malam hampir pasti tidak mendapatkan
ilmu apa-apa dari kelasnya.

Ujian Integritas

Pagi itu, kami hanya berangkat kerja berdua saja dari


kawasan rumah di Belconnen. Mas Herman yang
biasanya melengkapi kami sebagai “the three musketeers
from Belconnen” sedang cuti selama tiga hari untuk
mempersiapkan ujian tengah semester. Seperti biasanya,
selama belum memiliki kendaraan sendiri, aku menumpang
mobil yang dikemudikan oleh Mas Widiarso. Mas Widiarso
adalah salah seorang senior di Kemenkeu yang sedang
mengambil program Ph.D di University of Canberra. Aku
sendiri banyak belajar darinya, mulai dari masalah agama,
belajar menyetir mobil, sampai belajar tentang segudang
aktivitasnya di luar bangku kuliah. Eselon 4 adalah jabatan

207
terakhirnya sebelum melanjutkan studi di Canberra. “Luar
biasa, eselon 4 saja tidak malu menjadi cleaner apalagi aku
yang cuma pelaksana biasa,” pikirku waktu itu.

Kementerian Keuangan
Sepanjang perjalanan selama 10 menit itu, aku memikirkan
strategi untuk bisa men-submit tugas mata kuliah
foundation of management yang jatuh tempo jam 9 di pagi
itu. “Ah, seandainya saja cuti, tinggal butuh waktu sekitar
dua jam saja untuk merampungkannya,” batinku. Sebagai
karyawan tetap aku memang telah memiliki hak cuti,
namun dengan berat hati hak tersebut tidak kupakai di
masa ujian ini. Pada saat diwawancarai dulu, bagian SDM
perusahaan menanyakan apakah ada rencana cuti dalam 6
bulan ke depan dan bagaimana mengatur waktu jika ujian.
Saat itu aku menjawab tidak akan cuti selama 6 bulan ke
depan dan mengenai kuliah sambil bekerja, aku sudah
punya pengalaman sebelumnya ketika menyelesaikan
pendidikan sarjana.

Rasanya lebih berat menelan ludah sendiri dari pada


bergulat dengan deadline tugas dan belajar di tengah ujian.
Satunya kata dan perbuatan harus selalu dijunjung untuk
membangun kredibilitas dan reputasi sebagai orang yang
dapat dipercaya.

Pada mid-semester ini, ada dua mata kuliah yang


diujiankan. Sementara satu mata kuliah menugaskan
penulisan academic paper dan untuk mata kuliah foundation
of management ini tugasnya cukup unik, membuat story
telling video. Video semacam ini menurut dosen kami adalah
instrumen yang cukup efektif bagi top manajemen untuk
menyampaikan pesan yang dalam baik kepada internal dan
eksternal stakeholders. Tema video bebas seputar manajemen
Karena Kita Garda

dengan durasi sekitar lima menit plus-minus 30 detik.

Masalahnya adalah seumur-umur aku belum pernah


membuat video dan menggunakan software pengolah video.
Sekitar 2 minggu sebelum deadline pun, aku masih berkutat
mempelajari berbagai blog dan video tutorial bagaimana
menggunakan Windows Movie Maker. Tema yang terlintas
208

dalam benak adalah “managing public sector”.

Untuk menerjemahkan pesan yang ingin kusampaikan,


di bagian pendahuluan aku membuat semacam storyboard
kartun-kartun yang menceritakan buruknya layanan
sebuah birokrasi. Dibagian kedua aku mewawancarai tiga
orang teman dari berbagai negara menanyakan pendapat
mereka tentang birokrasi dan apakah mereka berkeinginan
untuk berkarier sebagai birokrat setelah menamatkan
program MBA-nya. Dan karena jawaban mereka semua
adalah tidak mau, maka di bagian ketiga aku melakukan
counter argument. Caranya dengan menampilkan foto
Donald Trump yang ketika itu masih sibuk-sibuknya
berkampanye, sambil menambahkan caption, “Jika Anda
tidak mau menjadi seorang public manager lalu mengapa
seorang business leader seperti orang ini mati-matian mau
menjadi seorang government leader, apakah untuk meraih
popularitas, untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih
besar, atau untuk membuat perubahan?”

Di bagian keempat, kutampilkan beberapa data hasil


reformasi birokrasi dan transformasi kelembagaan
Kemenkeu Indonesia sebagai contoh birokrasi yang sedang
menuju perubahan. Terakhir, kutampilkan slide-show foto-
foto krisis ekonomi, perang, dan krisis kemanusian yang
terjadi sebagai akibat para manajer publik yang mungkin
tidak sebijak para mahasiswa kami dalam mengambil
keputusan. Video ditutup dengan sebuah pernyataan
singkat tentang manajemen perubahan, bahwa seperti
telur perubahan indah hanya akan tercipta jika terjadi dari
dalam, perubahan telur menjadi anak ayam tidak akan
terjadi jika tekanan datang dari luar. Oleh karenanya, mari
ambil bagian menjadi perubah masa depan dengan menjadi
bagian dari pemimpin di sektor publik.

Setelah selesai bekerja, aku pun bergegas berlari menuju


Chifley library, segera kucari tempat yang paling sepi di
sana. Yang kurang adalah video editing untuk membuat
dubbing, background music, dan penggalan cerita mengalir

209
dengan smooth. Jam menunjukkan pukul 08.50, tanpa
membuang tempo segera saja ku-submit video tersebut
melalui situs Wattle yang diminta oleh dosen. Tepat
pukul 08.55 proses mengunggah video selesai dilakukan.

Kementerian Keuangan
“Fyuuh… Alhamdulillah…,” ujarku.

Akhir di Musim Gugur

Kurang lebih tiga pekan, tiba-tiba aku menerima email dari


Dr. Shari Read, dosen Foundation of Management, yang isinya
sungguh di luar dugaan:

“Hi Rizky

I just wanted to tell you how much I enjoyed your video - it was
very moving, I thought I might even cry at one point! A very
important message

Thank you.

Shari”

Tidak henti-hentinya aku bersyukur kepada Tuhan atas


apresiasi dosen tersebut, kemudian aku baru tahu bahwa
aku mendapat nilai High Distinction, video maker kedua
terbaik untuk kategori tugas video story-telling tersebut.

Bulan demi bulan berlalu sejak aku menerima email dari


Shari. Hari ini, musim gugur tahun 2017, manajemen
mengumpulkan kami untuk menerima briefing tentang
perubahan yang akan terjadi di semester depan. Sang
Manajer mengatakan bahwa pihak kampus menginginkan
adanya perubahan jam kerja, dari semula jam 04.00-08.00
menjadi jam 06.00-10.00 pagi. Sontak saja kegaduhan
terjadi di dalam aula tempat briefing tersebut. Walaupun
Karena Kita Garda

alasannya adalah untuk work-life balance dengan jam kerja


yang lebih manusiawi. Namun perubahan jadwal kerja
itu berarti banyak bagi para cleaners, ada yang bentrok
dengan jadwal kuliah, ada yang harus mengantar anak ke
sekolah, sampai ada pula yang terancam harus kehilangan
210

Saya tukang sapu perpustakaan,


Saudara tahu perpustakaan
ini tempat belajar calon-calon
pemimpin masa depan. Kalau
para calon pemimpin ini merasa
nyaman dan senang belajar di
sini, maka saya sudah membantu
mereka untuk membuat
perubahan besar di masa yang
akan datang.
pekerjaan day-time kalau harus memilih tetap sebagai
cleaner. Kemudian muncul pula tudingan-tudingan kalau
alasan sebenarnya dari perubahan jam kerja tersebut adalah
efisiensi. Jika dimulai dari jam 6 pagi, maka pihak kampus
sebagai pengguna jasa akan menghemat beberapa dolar
beban gaji karena selama ini mereka harus membayarkan
rate lembur untuk kami yang bekerja mulai jam 4 pagi.

Untukku sendiri, apapun alasan perubahan jadwal tersebut


kumaknai bahwa sudah rezekinya aku hanya akan bekerja
sebagai cleaner sampai akhir bulan Juni 2017 ini. Dengan
jam kerja seperti itu, pasti akan bentrok dengan jadwal
perkuliahan. Artinya aku punya kesempatan untuk belajar
lebih serius dan sungguh-sungguh di semester depan.
Masalah rezeki tidak akan kemana, saat ini istriku sedang
membangun reputasi sebagai koki andal yang menjual
katering makanan khas Minang dan beberapa jajanan
kuliner khas Indonesia lainnya. Hitung-hitung berlatih

211
wirausaha.

Banyak hikmah yang kuperoleh selama bekerja paruh

Kementerian Keuangan
waktu sebagai cleaner, dari mulai pelajaran bagaimana
perusahaan memotivasi sumber daya manusianya.
Pemberian penghargaan employee of the month, penyampaian
kartu ucapan selamat ulang tahun dari manajer, pesta
barbeque akhir tahun, dan lain-lain. Sampai kepada
mempelajari gaya kepimimpinan masing-masing
supervisor, dan juga tentunya proses pengembangan dan
pendewasaan diri.

Aku jadi lebih menghargai setiap profesi, apapun itu


yang dijalankan dengan sepenuh hati dan profesional di
bidangnya masing-masing. Kemampuan manajemen waktu
dan membuat skala prioritas yang berkembang dan juga
pertemanan dan persaudaraan yang semakin bertambah.
Hikmah Sebuah
Pengorbanan

Oleh:
Taufik,
Pegawai DJPb
Karena Kita Garda

Pada suatu Jumat sore di tahun 2005 aku mendapat telepon


yang mengabarkan bahwa pimpinan memerintahkan
212

tim di mana aku menjadi salah satu anggotanya untuk


menyampaikan laporan pelaksanaan pekerjaan kami pada
hari Senin berikutnya. Artinya, kami harus menyelesaikan
pekerjaan tersebut di akhir pekan. Segera aku telepon istri
untuk mengabarkan penugasan tersebut. Istriku yang juga
pegawai Ditjen Perbendaharaan memahami tugas penting
yang akan tim kami kerjakan malam itu.

Dengan penuh semangat kami mencoba untuk


menyelesaikan laporan tersebut malam itu, dengan harapan
hari Sabtu dan Minggu kami dapat menghabiskan akhir
pekan bersama keluarga. Kebetulan, pekan tersebut adalah
pekan yang sangat sibuk buat kami. Namun sampai dengan
pukul 02.00 Sabtu dini hari, kami belum menyelesaikan
pekerjaan tersebut. Kami semua sudah kehabisan tenaga
akibat beban kerja yang berat di pekan itu. Kami sepakat
untuk beristirahat dan berkumpul kembali pada pukul
10.00.

Tanpa menimbulkan suara, kubuka gembok pintu pagar


rumah kontrakan. Aku dorong dengan hati-hati pintu
tersebut, kemudian kututup dan kukunci kembali. Hal yang
sama kulakukan dengan pintu rumah. Aku tidak ingin
menggangu istirahat sang istri yang sedang mengandung
calon anak pertama kami. Masih membekas di ingatanku
tepat dua tahun sebelumnya istriku mengalami keguguran
di kehamilan pertamanya. Tentu saja aku tak ingin
peristiwa tersebut terulang kembali. Perlahan kubuka
pintu kamar, dan membaringkan diri di samping istri yang
terlelap.

Satu setengah jam kemudian kami terbangun karena


mendengar azan shubuh yang berkumandang dari masjid
sebelah rumah. Istriku mernandangku sambil tersenyum
dan berkata, “Alhamdulillah tidur nyenyak barusan, sampai
gak tahu Abang pulang.”

Aku pun tersenyum dan bergegas untuk mempersiapkan


diri agar tidak ketinggalan salat Subuh berjamaah di masjid

213
itu. Selepas salat Shubuh, karena masih mengantuk kami
kembali terlelap.

Sinar matahari yang menerobos jendela yang tertutup

Kementerian Keuangan
tirai membangunkan tidurku. Istriku sudah tak ada di
sampingku. Sayup-sayup terdengar kesibukan dari arah
dapur. “Pasti dia sedang sibuk menyiapkan sarapan,”
batinku.

Aku bergegas meninggalkan kamar, dan menghampiri


istriku yang sedang berdiri membelakangiku menghadap ke
kompor. “Masak apa, Say?” tanyaku berbisik di telinganya.
Rupanya istriku tidak menyadari kehadiranku sehingga
dia sedikit terkejut. “Abis sarapan kita ke rumah mama
yuk” ajak istriku dengan riang. Sebelumnya kami memang
telah merencanakan untuk berkunjung ke rumah mertuaku
yang masih satu kota dengan kami. Aku terdiam karena
tidak tahu harus berkata apa. “Jadi kan, Bang?” tanya
istriku dengan cemas.

Sambil meminta maaf aku sampaikan kepadanya bahwa aku


harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaan
yang tertunda dini hari tadi. Dengan mata berkaca-kaca
istri berkata “Coba Abang bilang dari kemarin, ‘kan Dian
bisa langsung ke rumah mama dari kantor.”

Beberapa saat kemudian aku masih terdiam, sementara


istri terlihat berusaha menahan tangisnya. Pikiranku
menerawang ke awal berdirinya Ditjen Perbendaharaan,
saat ketua timku meminta komitmen aku dan anggota tim
yang lain agar bersedia bekerja di luar jam kerja. Saat itu
tim kami dipercaya pimpinan untuk melakukan proses
pengadaan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara
Karena Kita Garda

(SPAN). SPAN sangat diharapkan untuk menjadi tulang


punggung dalam mewujudkan pengelolaan keuangan
negara yang transparan dan akuntabel. Kami sadar bahwa
amanah pimpinan ini has dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya,

“Iya deh, tapi jangan pulang malam ya. Dian ‘kan takut
214

sendirian,” istriku berusaha mencairkan suasana sambil


tersenyum, sedikit dipaksakan.

“Maaf ya, Say, harusnya pekerjaan itu selesai tadi malam,


tapi kami semua kecapaian, lembur terus dari Senin.
Daripada hasilnya berantakan, malu ‘kan sama Pak Dirjen,’’
sahutku.

Istriku kembali tersenyum. Namun kali ini senyum yang


tulus. Tidak terlihat lagi air mata di pipinya. Aku membalas
tersenyum dengan lega, dan kami pun melanjutkan sarapan
kami yang sempat tertunda.

Sejujurnya, saat itu aku ingin sekali menelepon ketua


tim untuk meminta izin tidak ikut bekerja di hari Sabtu
itu. Ketua tim dan semua anggota tim kenal baik dengan
istriku. Mereka semua mengetahui kondisi istriku yang
tengah hamil muda, dan dikategorikan dokter sebagai
kehamilan berisiko tinggi akibat antiphospholipid syndrome
yang dideritanya. Aku beruntung memiliki istri yang sangat
memahami pekerjaanku. Sehingga aku dapat melaksanakan
tugas dari pimpinan dengan penuh tanggung jawab. Tidak
bisa kubayangkan, apa jadinya jika istriku tidak mau tahu
dengan pekerjaanku, dan marah karena batalnya rencana
mengunjungi mertua hari itu.

Pekan-pekan selanjutnya beban kerja di kantor tidak


berkurang. Hampir setiap hari aku pulang larut malam,
dan mendapati istriku sudah tertidur. Meskipun menurut
pengakuannya dia takut tinggal sendirian di rumah,
kenyataannya dia adalah seorang wanita yang sangat tegar.

Kehamilan anak pertama kami ini praktis dia jalani tanpa


aku di sisinya. Setiap malam dia harus menyuntikkan
sendiri obat yang diresepkan dokter ke perutnya. Obat
suntik ini untuk meminimalisasi dampak negatif akibat
sindrom yang dideritanya.

Seiring dengan kesibukan pekerjaanku saat itu, waktu


berlalu dengan cepat. Sampai akhirnya pada bulan Juni

215
2006, tujuh pekan lebih cepat dari­pada jadwal semula,
dokter memutuskan untuk melakukan bedah caesar karena
kehamilan istriku sudah memasuki masa kritis. Aku
meminta izin cuti agar dapat mendampingi istri saat proses

Kementerian Keuangan
operasi dan masa pemulihannya di rumah sakit.

Namun demikian, setelah istri dan bayiku pulang ke


rumah, aku kembali tenggelam dengan kesibukan di kantor.
Istri dengan tabah mengasuh sendiri anak kami yang lahir
prematur.

Waktu terus berlalu. Di awal tahun 2007 aku lulus seleksi


program beasiswa Australian Development Scholarships
(ADS), dan sejak saat itu aku tidak terlibat secara aktif lagi
dalam SPAN. Kuakui bahwa pengalamanku dalam SPAN
telah mengembangkan pengetahuan dan keahlian yang
menjadi kekuatanku dalam mendapatkan beasiswa. Tidak
banyak yang kuberi-kan bagi SPAN, tapi justru SPAN-lah
yang memberikan pengalaman yang sedemikian berharga.
Demikian pula dengan istriku. Ia akhirnya berkembang
menjadi seorang wanita yang tegar, juga karena SPAN.
Pengabdian
yang Indah

Oleh:
Muhammad Ulil Albab,
Pegawai DJPb
Karena Kita Garda

Sore yang indah di ujung Malioboro. Di depan Gedung


216

Agung yang berdiri anggun, kunikmati benar suasana


damai bersama Lani, istriku tercinta. Duduk di bangku
besi panjang ditemani para pedagang asongan yang sesekali
datang menawarkan barangnya, kulihat sekumpulan orang
berpakaian nyentrik, menjajarkan sepada onthel sambil
berbagi canda.

Aku dan istriku hanya duduk saja, diam tanpa sepatah kata
pun. Memang, sudah kebiasaan sejak menikah dua tahun
yang lalu, paling tidak sebulan sekali atau bila ada waktu
luang, kami sengaja datang ke tempat ini, tempat dimana
kami bertemu untuk yang pertama kali. Hanya untuk
sekadar duduk-duduk dan merenung tentang hidup, tentang
masa depan, atau tentang apa pun sembari mengenang saat
perjumpaan pertama dulu.

Dua tahun terasa begitu cepat. Perjumpaan kami waktu


itu diawali ketika aku pulang membeli sesuatu dari Pasar
Beringharjo. Saat itu aku mengalami sedikit musibah,
Dompetku beserta semua isinya raib dimangsa copet. Tapi
masih untung karena waktu itu isi dompetku hanya uang,
SIM, dan STNK, sedangkan kartu ATM dan surat-surat
penting lainnya memang sengaja aku tinggalkan di rumah.

Dengan perasaan sedih dan gundah, ternyata cobaan


bagiku masih ditambah lagi dengan ban sepeda motorku
yang kempes, entah sengaja dikempeskan orang, ataukah
kena paku atau benda tajam yang lain. Aku bingung harus
bagaimana, karena tidak ada lagi uang sepeser pun yang aku
bawa, bahkan untuk membayar parkir aku harus menahan
rasa malu untuk meminta belas kasihan petugas parkir
pasar agar aku bisa tidak membayar karcis parkirnya.

Aku keluar mendorong sepeda motorku menyusuri ruas


Jalan Malioboro. Aku berniat untuk mencari tempat tambal
ban. Namun ketika melewati ruas jalan di depan Gedung
Agung, aku berhenti untuk beristirahat dan duduk di
sebuah bangku besi panjang yang sebelumnya sudah ada
seorang wanita yang duduk di situ sambil membaca buku.
Wanita itu adalah Lani yang sekarang ini menjadi istriku.

217
Dialah yang akhirnya menolongku dengan merninjamkan
uangnya untuk menambal ban. Dari perjumpaan itulah aku
mengenal dan akrab dengan Lani, dan akhirnya kupilih dia

Kementerian Keuangan
untuk menjadi pendamping hidupku.

“Mas, Mas Aldi, Mas …” Tiba-tiba buyar semua lamunanku.


Istriku menyadarkanku.

“Eh, iya, Dik,” kataku sambil menengoknya.

“Tumben serius banget. Lagi nglamunin apa sih? Ayo mas


pulang, udah hampir magrib nih,” pintanya.

Kami bergegas menuju parkiran yang letaknya tak jauh dari


sudut Malioboro. Hampir satu jam kami singgah di sana,
sepulang dari dokter kandungan untuk memeriksakan
istriku dan janin yang dikandungnya, yang kini berusia
delapan bulan. Dan tak sampai setengah jam akhirnya kami
tiba di rumah mungil kami di seputaran Jalan Parangtritis.
Kami menempatinya semenjak menikah.

Seperti biasanya, pagi ini aku sarapan ditemani istriku


tercinta, dengan menu andalannya, nasi goreng lengkap
dengan bakso dan sosis yang rasanya sedikit keasinan.
Namun tidak seperti biasanya, hari ini aku tidak dibawakan
bekal oleh istriku. Aku sudah bilang padanya kalau nanti
siang aku ada janji makan siang dengan teman SMA dulu.

“Dik, mas berangkat dulu ya,” pamitku.

Iya Mas, hati-hati yah,” kata istriku sambil mencium


tanganku. Aku pun memakai jaket dan menggendong tas
punggung hitam kesayanganku, kemudian meluncur ke
kantor yang biasa aku tempuh selama sekitar lima belas
Karena Kita Garda

menit.

***

Siang ini terasa lebih panas daripada biasanya. Aku menuju


parkiran motor setelah beberapa menit yang lalu temanku
baru saja pergi dengan rnobilnya.
218

Aku memang sudah cukup lama tidak bertemu dengannya.


Setelah lulus SMA dia melanjutkan studinya ke ITB, dan
sudah hampir setahun ini dia bekerja di perusahaan minyak
asing yang berkantor di Amerika.

Setelah bertemu dengan temanku, aku sedikit teringat


kenangan masa-masa di saat menjelang kuliah. Waktu
itu aku lulus UMPTN dan diterima di Fakultas Teknik
UGM, jurusan yang cukup bergengsi dan favorit waktu
itu. Namun karena kondisi ekonomi keluarga kala itu yang
sedang mengalami goncangan, akhirnya aku mengikuti
kehendak orang tuaku untuk memilih melanjutkan studi
di Program Diploma I STAN. Walaupun dengan berat hati
akhirnya aku menuruti kemauan orang tuaku. Setahun
kemudian aku lulus dengan baik dari STAN, dan bekerja di
Direktorat Jenderal Perbendaharaan sampai saat ini.

Sudah hampir enam tahun aku mengabdi menjadi PNS


Kementerian Keuangan. Selama ini aku merasa nyaman
menjalaninya. Walaupun bayang­-bayang mutasi selalu
mengikuti, aku tidak terlalu mempedulikannya. Mungkin
saja karena selama ini aku belum pernah merasakan
terkena mutasi. Semenjak lulus kuliah hingga sekarang
aku berada di Yogyakarta, kota yang membesarkanku dan
memberikan banyak warna pada hidupku.

Sesampai di parkiran motor aku segera bergegas memakai


helmku. Tapi ketika aku hendak men-starter motorku tiba-
tiba saja ponselku berdering. Dan kulihat ada satu pesan
masuk dari Dodi, teman kantorku, “Al, ada SK mutasi,
kayaknya ada narnamu,” Begitu bunyi pesan singkat Dodi
yang sontak membuat darahku berdesir. Aku langsung
bergegas kembali ke kantor dengan pikiran yang sudah
melayang entah ke mana.

Keringat dinginku mengalir, napasku serasa terhenti di


tenggorokan. Aku menemukan namaku tertulis di SK.
“Benteng tempat macam apa itu?” pikiranku menerawang
mencoba membayangkan kondisi kota kabupaten yang ada
di SK itu.

219
“Gimana Al, si Fajar juga kena tuh, dia ke Tahuna,” ujar
Dodi dengan mimik muka yang tegang.

Kementerian Keuangan
“Gak tahu, Dod. Istriku sedang hamil tua dan skripsiku
belum selesai. Mana dua minggu lagi sudah harus melapor
di kantor baru.” Aku pun beranjak dari meja komputerku,
dan menelepon istriku di rumah. Istriku menyuruhku agar
sabar dan tetap tenang, meskipun dari suaranya aku tahu
kalau dia pun merasa kaget perihal SK mutasi itu.

***

Seminggu telah lewat, dan selama itu juga aku tak henti-
hentinya berdoa memohon petunjuk Allah. Aku juga
telah berpikir masak-masak dengan memperhatikan
pertimbangan istriku dan orang tua kami.

Tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di halaman


rumah. Tampak ayahku masuk bersama ibuku.

“Gimana Al, sudah kau putuskan, berangkat atau tidak?”


Tanya ayah dengan serius.
“Sudah, Yah,” jawabku setelah menoleh ke istriku. “Jadi
gimana, Al?” timpal ibuku dengan wajah serius. “Aku akan
berangkat, Bu,” jawabku tegas. “Terus istrimu bagaimana?”
Tanya ibuku sambil mengelus perut istriku.

“Nanti aku akan berangkat sendiri dulu, Bu, sedangkan


Lani biar di Yogya dulu sampai cucu ibu nanti lahir,”
jawabku mantap.

“Kamu yakin keputusanmu, Al?” tanya ayah. “Ayah


sebenarnya sudah menghubungi Om Faisal, kawan
Karena Kita Garda

baik ayah. Di salah satu perusahaannya ada satu posisi


manajer yang kosong, dan dia bilang kamu bisa mengisi
posisi itu. Tidak masalah baginya meskipun kamu belum
menyelesaikan S1-mu karena dia yakin kamu punya
kemampuan” Ayah memberiku sebuah pilihan.

“Maaf, Yah, aku kurang tertarik dengan tawaran itu,”


220

jawabku singkat.

“Atau kamu bisa bekerja di perusahaan ayah dulu untuk


sementara,” bujuk ayahku.

“Aldi sudah mantap, Yah. Aku akan berangkat, karena


inilah wujud pengabdianku kepada institusi dan negara
ini. Karena sejak awal aku sudah yakin, bahwa segala
sesuatu yang terjadi adalah kehendak Allah. Aku yakin,
itu merupakan jalan terbaik bagi kita. Apabila kita ikhlas
menjalaninya, Insya Allah kita selalu mendapatkan rida-
Nya,” tegasku, tanpa bermaksud mengabaikan pilihan
ayah.

“Amin ya Allah, semoga jalanmu dimudahkan, Nak,” ucap


ibu sambal menyeka matanya yang sembap.

***

Akhirnya hari itu tiba juga. Hari di mana aku akan pergi
untuk pertama kalinya ke luar Jawa. Untuk pertama
kalinya aku akan meninggalkan keluargaku dalam
waku yang relatif lama. Pagi itu sedikit mendung. Hujan
tadi malam menyisakan beceknya jalan dan basahnya
dedaunan.

Aku berangkat ke Bandara Adisutjipto diantar istriku dan


keluarga kami. Suasana haru menyelimuti. Namun bagiku,
itu lebih sebagai suasana yang membanggakan. Bagaimana
tidak, aku laksana prajurit yang akan dikirim ke medan
pertempuran, dan dilepas oleh seluruh rakyat negeri ini.

Kru pesawat sudah memanggil para penumpang. Aku


pun berpamitan kepada istriku dan orang tua kami.
Untuk sementara istriku aku titipkan di rumah mertuaku,
mengingat kondisinya yang sedang hamil tua. Tidak tega
rasanya apabila menyuruhnya tinggal sendirian di rumah
kami.

***

Hari ini Jumat, tanggal 26 Mei 2006. Kupandangi langit-

221
langit kamarku yang sedikit pengap karena ventilasi
udara yang kurang. Sudah dua minggu aku menginjakkan
kakiku di Pulau Selayar. Pulau kecil di sebelah selatan Pulau

Kementerian Keuangan
Sulawesi yang daratannya didominasi oleh bukit-bukit
dan bebatuan kapur. Benteng, ibu kota kabupaten, pun tak
lebih besar daripada kota kecamatan yang aku tinggali di
Yogyakarta. Listrik padam bak orang minum obat di sini,
minimal tiga kali sehari. Kantor harus disuplai listriknya
dari genset yang suaranya cukup memekakkan telinga.

Malam ini, suara gemerisik dahan pohon kelapa dan


lolongan anjing liar mengantar kerinduanku akan keluarga
dan kampung halamanku. Sampai akhirnya, suara jangkrik
membuatku terlelap ditelan heningnya malam.

***

Brak, brak, brak! “Al, Al, Aldi...!” Aku terhenyak dari


tempat tidurku setelah kudengar Bowo, teman kantorku,
memanggilku sambil menggedor pintu kamar.

“Heh..., ada apa Bos pagi-pagi dah bikin onar,” tanyaku


sambil mengucek mata.

“Eh…, anu AI!” Sahut Bowo sedikit terengah-engah.

“Anu apa?” sahutku.

“Anu….. Ada gempa besar barusan di Yogya, aku baru aja


lihat di TV.”

Bowo pelan-pelan menjelaskan.

“Apaa....!” Teriakku spontan. Jantungku seperti berhenti


Karena Kita Garda

berdetak beberapa detik setelah mendengar kabar itu.


Langsung kuraih ponselku, kuhubungi istriku. Tidak
tersambung. Begitu juga dengan bapak, ibu, mertuaku, dan
adik-adikku. Semuanya tidak bisa kuhubungi. Akhirnya
aku hanya pasrah dan berdoa, semoga keluargaku di Yogya
diberikan perlindungan Allah SWT.
222

***

Sudah dua hari satu malam aku tidak bisa menghubungi


keluargaku di Yogya, Aku hanya bisa melihat berita di
televisi sambil terus berdoa.

Saat tengah malam aku mengambil wudu dan melakukan


salat malam. Setelah salam, tiba-tiba ada satu pesan masuk
di HP-ku, dan setelah kubaca ternyata dari ibuku. “Nak,
semoga SMS ini sampai. Alhamdulillah, keluarga semua
selamat. Rumah kalian rata dengan tanah. Cucu pertama
ibu, lahir sehari setelah gempa.”

“Alhamdulillah, ya Allah, Engkau telah melindungi keluarga


kami,” Aku pun bersujud dan menangis. Badanku bergetar,
hingga akhirnya semuanya gelap. Aku tidak ingat apa-apa
lagi.

***

“Pa...pa...pa...!” Aku teperanjat mendengar suara


memanggilku.
“Papa ngelamun ya?” Ada suara yang mengagetkanku.
Ternyata itu anakku, Ardhi, yang baru berumur tiga tahun.

“Eh, enggak kok, Nak.”

“Papa emang suka ngelamun kalau lagi duduk di situ,” sahut


istriku sambil tersenyum kepadaku.

Kami bertiga kemudian pergi dari depan bangku besi


panjang di depan Gedung Agung itu. Tempat yang sungguh
berkesan dalam perjalanan hidupku. Kini aku sedang
menempuh beasiswa S2 di Magister Manajemen UGM. Dan
aku semakin percaya, bahwa segala sesuatu akan indah pada
waktunya.

223
Kementerian Keuangan

“Gak tahu, Dod. Istriku sedang


hamil tua dan skripsiku belum
selesai. Mana dua minggu lagi
sudah harus melapor di kantor
baru.”
Ayahku Auditor,
Ayahku Pahlawan

Oleh:
Hisyam Haikal,
Pegawai Itjen
Karena Kita Garda

Namaku Tangguh, ah... sungguh itu tak penting. Aku


224

sedang tak ingin bercerita tentang diriku. Ayahku, dia yang


hendak kuceritakan. Lelaki yang menorehkan karakternya
dalam namaku, Tangguh, sambil berharap aku bakal
tumbuh setangguh dirinya.

Tak seperti ayah-ayah lainnya, ayahku tak selalu ada di


rumah. Ketika kawan-kawanku –pada suatu sore yang
indah- duduk di teras rumah menunggu ayah mereka
pulang kerja, aku hanya bisa mengkhayalkannya. Hari
itu, seperti hari kemarin, aku mencoret satu tanggal
dalam kalender, ini hari ketujuh ayah tak pulang. Negara
menugaskannya jauh ke seberang pulau. Pulau yang hanya
bisa kutatap dalam peta nusantara di kamarku. Sejak bisa
memegang pena, dan mengerti apa itu hari, tanggal, bulan
dan tahun, aku selalu menghitung ketidakberadaan ayah di
antara kami, keluarganya. Tahun lalu, seratus tujuh puluh
enam hari ayah tak mengelus rambutku, tak mencium
kepalaku, dan tak bisa membacakan dongeng menjelang
tidurku. Tahun ini, ketika bulan delapan menjelang usai,
sembilan puluh delapan hari kucatat, ia tak bersama kami.

Dulu, aku menyangka ayahku tentara, karena kupikir hanya


tentara yang seringkali pergi meninggalkan keluarganya.
Tapi ternyata bukan, karena ia tak berseragam. Pada suatu
malam, sambil mengelus rambutku, dan menemaniku tidur,
ayah mengatakan padaku bahwa Beliau seorang auditor...
Ah, asing sekali istilah itu.

Bagaimana aku mengatakan istilah seasing itu kalau kawan-


kawan bertanya padaku. Ayah mereka tentara, dokter,
hakim, polisi, pegawai kelurahan, buruh pabrik, penjaga
toko, atau pedagang pasar. Tapi ayahku... seorang auditor,
mendengarnya saja sudah tak sampai otakku.

Tapi malam itu semuanya menjadi jelas, ayah bercerita


banyak padaku tentang pekerjaannya, tentang kawan-
kawannya, juga tentang betapa besar risiko yang mesti
dihadapinya. Tapi tahukah kawan, malam seperti itu adalah
malam yang paling kubenci. Aku tahu, kalau ayah berlama-
lama menemaniku menjelang tidur, berbicara ke sana ke

225
mari, berulangkali mengelus rambutku, pasti besok Beliau
pergi dan itu berarti akan lama sekali aku tak bersamanya.
Aku tak senang, aku sedih, aku marah pada negara,

Kementerian Keuangan
mengapa negara tega memisahkan kami berlama-lama,
membuatku bagai anak yatim, membuat cahaya di rumah
kami bagaikan redup, dan membuat mendung di wajah ibu
semakin tebal.

Tapi tidak, jangan sangka aku akan menangis. Ayah tak


suka anak lelakinya menangis. Pesan itu tak pernah kulupa,
aku harus jadi lelaki yang seutuhnya lelaki, tangis kubuang,
dada kubusungkan, duka dan derita kusembunyikan, begitu
katanya.

Sejak malam itu, aku mengerti, auditor itu pekerjaan


mulia, auditor itu pahlawan. Betapa tidak, auditor itu
menyelamatkan uang negara dari orang-orang jahat yang
menginginkan uang itu menjadi milik pribadi mereka.
Negara membutuhkan uang untuk membuat rakyatnya
sejahtera, membangun jembatan, memperbaiki jalan yang
rusak, membangun gedung sekolah, mengatasi bencana
alam, membayar gaji para guru, membangun rumah sakit,
dan sebagainya. Ayahku dan teman-temannya para auditor
berusaha menyelamatkan negara dari para penjahat, para
koruptor, seperti yang sering kulihat di televisi. Entah apa
jadinya kalau tak ada auditor. Aku tersenyum, kelak setelah
besar nanti, bolehlah aku berharap jadi auditor seperti
ayahku, pahlawanku.

Malam itu, ayah juga bercerita tentang betapa besar risiko


yang dihadapi auditor. Suatu ketika teman-teman ayah, para
auditor, harus menyeberangi sebuah pulau dengan kapal
kecil, karena tak ada pesawat yang terbang ke sana. Kapal
Karena Kita Garda

kayu yang ditumpangi tidaklah besar, tak sebanding dengan


ombak besar yang menghadangnya. Maka selama beberapa
jam, kapal itu dihajar ombak bergulung-gulung. Para
penumpang, termasuk teman-teman ayah, berpegangan
sebisanya pada tiang-tiang kapal, tak henti menyebut nama
Tuhan, sambil membayangkan istri dan anak-anak mereka
226

di rumah. Jantungku berdegup kencang, suatu saat ayahku


mungkin mengalaminya. Air mata kutahan sebisanya. Lega
hati kemudian karena cerita berakhir dengan indah, kapal
berlabuh dengan selamat. Ayah menegaskan, itu hanya

Suatu ketika teman-teman ayah,


para auditor, harus menyeberangi
sebuah pulau dengan kapal kecil,
karena tak ada pesawat yang
terbang ke sana. Kapal kayu yang
ditumpangi tidaklah besar, tak
sebanding dengan ombak besar
yang menghadangnya.
satu contoh, betapa dekat auditor dengan bahaya. Masih
banyak cerita lain yang membuat jantungku mungkin akan
berhenti mendengarnya.

Meskipun begitu, lanjut ayah, tidak sedikit orang yang


memandang pekerjaan auditor dengan sinis, bahkan
selalu memandangnya dengan negatif. Auditor tidak bisa
melakukan apa-apa kecuali mencari-cari kesalahan orang
lain, mengganggu pekerjaan orang lain dan sering berbuat
tidak baik dengan cara menyalahgunakan kekuasaan untuk
kepentingan pribadi. Aku tahu ayahku, dia tak mungkin
begitu, aku tahu itu. Aku akan marah sekali kalau ada yang
berani berkata begitu padaku. Malam itu aku memeluknya
erat, sampai aku terlelap, seolah itu adalah malam
terakhirku bersamanya.

Hari yang membahagiakan buatku adalah hari ketika


ayahku pulang dari puluhan hari dinasnya. Bukan, bukan

227
oleh-oleh yang kunantikan. Ibu sering mengingatkanku
tentang itu, jangan bebani ayah dengan kewajiban
membawa oleh-oleh. Sungguh, buatku oleh-oleh itu sangat

Kementerian Keuangan
tidak penting, memeluknya saja sudah cukup. Aku berdiri
di depan pagar rumah, menanti sosok pahlawanku itu.
Kujulurkan leherku panjang-panjang ke arah jalan raya.
Aku merindukanmu auditorku. Pahlawanku.
BekerDJA
dalam Senyap

Oleh:
Anggun Wibowo,
Pegawai DJA
Karena Kita Garda

Tumbuh Kembang dan Keluarga


228

Fajar itu tidak lah seperti pagi yang sama bagi keluarga Pak
Sumaji. Selasa pon, hari kedua puluh tujuh di bulan Agustus
tahun delapan puluh empat, seorang bayi mungil berjenis
kelamin pria dianugerahkan oleh Yang Mahakasih untuk
sebuah keluarga sederhana di tepi lintasan kali Bengawan
pinggiran kota Sukoharjo. Rasa syukur, tetes air mata, dan
rona bahagia memancar sempurna dari kedua wajah orang
tua. Meskipun si bocah kecil mungkin bukan anak pertama,
siapa yang menyangka kelak dia menjadi sumber inspirasi
bagi sesama.

Masa kecilnya bukanlah sesuatu yang istimewa. Selayaknya


anak yang lain, dia lebih suka bermain daripada belajar.
Boro-boro ndengerin omongan orang tua. Lambat laun, bak
bongkahan batu yang akhirnya bisa terkikis oleh tetesan
air hujan terus menerus, setiap nasihat dan tutur kata
orang tua akhirnya mampu diserap mewarnai kehidupan
kesehariannya.

Dia tumbuh menjadi sosok dewasa yang tidak pernah bisa


berkata tidak untuk keluarganya. Ikhlas, kerja keras, jujur,
entengan, dan santun adalah nilai-nilai wajib yang selalu
ditanamkan keluarga. Tak ayal, kepribadian inilah yang
mungkin menjadi modal suksesnya dalam merengkuh gelar
sarjana dan master hukum dari sebuah universitas ternama
di Yogyakarta.

Sukses kuliah, belum tentu mulus dalam karier.


Menyandang gelar master kenotariatan ternyata hanya
mampu menempatkannya sebagai karyawan sebuah
kantor notaris di bilangan Surakarta dengan gaji tak
seberapa. Dengan penghasilan pas-pasan, dia juga harus
memberanikan diri untuk menyunting kekasih pujaan hati
yang akhirnya menjadi istri setianya sampai dengan saat ini.

“Man jadda wa jadda.” Kersaning Gusti, setiap niat baik


pasti dimudahkan tak terkecuali untuk sebuah mimpi
berkeluarga di usia muda. Bahtera kecil bahagia sarat
kesederhanaan akhirnya terwujud di tanggal 3 April 2010.

229
Antara Cita dan Realita

Seumur jagung menikah, secercah harapan dan sekaligus

Kementerian Keuangan
tantangan itu pun muncul. “Mas, ada pengumuman
penerimaan PNS Keuangan nih, saya boleh ikut daftar
gak?” Pinta istrinya. Belum juga sempat menjawab, sang
istri pun menimpali lagi, “Sekalian mas daftar juga ya, aku
urusin syarat-syaratnya.” Berkecamuk perasaan di dadanya.
Tak terbayang olehnya jikapun nanti diterima, akan
ditempatkan di mana?” Andai saja berdua diterima, jangan-
jangan ngantornya berjauhan. Kalau salah satu saja yang
diterima, nanti bagaimana? Apakah hidup terpisah jarak
Solo dan Jakarta?

Tak terhenti di situ dilemanya. Mimpinya menjadi notaris


bekerja di kantor sendiri, dihadapkan dengan impian
bapak agar dia menjadi pegawai negeri. Di sela menimbang
dan memilih, akhirnya tiba waktu untuk mengiyakan
permintaan istrinya. Di benaknya, “Apa salahnya mencoba
mendaftar, biar Allah yang memutuskan.” Tak disangka dan
tak diduga, berawal dari keihlasan, si Mas dan istri lolos
dari semua tahapan yang dipersyaratkan Kemenkeu. Tepat
1 Desember 2010, mimpi bapak terwujud. Si Mas diangkat
menjadi calon PNS DJA. Si Mas ditempatkan di DJA dan
istri ditugaskan di DJP dengan lokasi masih sama-sama di
Jakarta. Ternyata, ketakutan hidup berjauhan yang semula
terbayang urung terbukti.

Satu setengah tahun berlalu, hidup bulan madu


berdampingan dengan penghasilan double gardan yang
lebih dari cukup harus berakhir. Selayaknya petir di
siang bolong, 18 September 2011 sang istri diberikan
Karena Kita Garda

amanah baru di Pangkalan Bun, pulau Kalimantan. Si


Mas dihadapkan pada kenyataan pahit, “Resign atau hidup
terpisah”. Di tengah bangunan fisik maupun spiritual
rumah tangga yang sedang dikayuh, si Mas dan istri
akhirnya bersepakat untuk jalanin aja dulu. Seperti kisah
kasih pacaran anak remaja yang tidak tahu kemana akan
230

berujung.

Sebulan sekali mereka bertemu. Kadang di Sukoharjo,


selang di Jakarta dan tak jarang di Pangkalan Bun. Tak
terhitung berapa tiket kereta dan tiket pesawat yang
sudah menguap. Tak berhenti disitu, April 2012 Tuhan
memanggil ayahanda tercinta. Ini membuat Si Mas harus
semakin banyak berkorban karena Ibunda sebatang kara
di kampung, sementara kakak dan adik perempuannya
harus berbakti kepada suami di kota yang berbeda. Si
Mas harus berpikir keras, meskipun ada kerapuhan
namun tetap harus menjadi sosok yang tegar, pelindung
bagi ibunya. Getir makin terasa. Tatkala hidup terpisah
ribuan kilometer, sampai tahun ketiga pernikahan, si Mas
yang sangat mendambakan kehadiran buah hati pun juga
belum dikaruniai putra. Kembali, ikhlas dan nilai yang
ditanamkan keluarga yang menguatkannya.

“Berprasangka baik kepada Allah itu menenangkan hati


Mas,” ujarnya. Di tengah rasa kehilangan separuh jiwa
dan keingininan untuk memiliki momongan yang harus
dikonversi dengan rasa syukur dan keikhlasan, Allah
menyajikan kuasa-Nya dengan menghadirkan putri cantik
yang lahir pada 23 Mei 2013. Laksana air hujan di tengah
kemarau, kehadiran buah hati melupakan segala keresahan
yang sebelumnya masih berkecamuk, meskipun jarak
kembali masih memisahkan dan tak tahu entah berapa
lama.

Sosok yang Berbeda

Perjumpaan saya dengan Si Mas dalam satu subbagian


bermula sejak saya ditempatkan sebagai staf pada Unit
Kepatuhan Internal pada tanggal 6 Agustus 2015 sepulang
saya dari tugas belajar. Di tempat baru saya berusaha
mengamati, mengenal dan menyesuaikan diri. Semua
tampak seperti semestinya, bekerja normal, canda tawa
riuh sampai ketegangan saat deadline sudah terasa di dua
minggu pertama bekerja. Tapi, ada satu yang tidak biasa.

231
Di mataku si Mas adalah sosok yang berbeda. “Wow!” Itu
impresi saya ketika mendapati informasi kalau dia hampir
selalu menang dalam setiap penganugerahan employee of
the month di bagian kami. Di tahun itu pula dia dinobatkan

Kementerian Keuangan
sebagai pegawai terbaik bagian kami tahun 2015. Sosoknya
sangat santun, kalem, bertutur seperlunya, tetapi bekerja
tanpa lelah bagai kuda. Tidak seperti saya yang suka
bicara dan bersendau gurau, si Mas sangat tenang dan irit
bersuara. Tak ada riuh, gaduh apalagi keluh, dia bekerja
keras setulus hati untuk semua pekerjaan yang ditugaskan
kepadanya. Seringkali dia mengerjakan tugas dari Subbag
lain yang kebetulan belum terselesaikan. Kadang kami
justru bercanda, “Kantor ini cuma butuh bos-bos dan si Mas
seorang”.

Tak jarang, ketika pekerjaannya sudah beres dan melihat


saya masih ada yang dikerjakan, dia tak sungkan bertanya,
“Mas, saya bisa bantu apa?”.

“What?!” Terbelalak dalam pikirku. “Kok ada ya, orang


sebaik itu?” Semua permasalahan pribadi dan keluarganya
yang selama ini menyelimuti seolah-olah tak menjadi beban
yang bisa memengaruhi kualitas caranya bekerja sebagai
abdi negara. Hampir semua pekerjaan dan IKU dalam
kontrak kinerja mampu dia selesaikan dengan baik bahkan
sebelum tenggat waktunya.

Di saat dia harus izin mengunjungi keluarga di luar


kota pun dengan baik dia mampu menggantikan waktu
bekerjanya. Jikalau harus lembur dan pulang malam, itu
bukanlah hambatan. Tampak benar, orang tuanya berhasil
menjadikan dia sosok yang bertanggung jawab. Tak cukup
kualitas kerjanya, pribadinya sungguh layak dijadikan
Karena Kita Garda

contoh. Ketika panggilan azan berkumandang tak pernah


terlihat berlama-lama, dia tinggalkan meja kerjanya
untuk melangkah ke masjid. Salat berjamaah dan puasa
senin-kamis pun seolah menjadi gaya hidup yang melekat
didirinya.

Hari ke-22 Ramadhan 1437 Hijriyah


232

Ada satu peristiwa yang sangat berkesan bagi saya selama


bekerja di DJA. Hari Rabu di bulan Juni 2016, tidak seperti
biasa saya meniatkan untuk berangkat lebih pagi dengan
harapan laporan pemantauan yang sudah saya kerjakan
selama dua bulan dapat segera saya kerjakan dan selesai hari
itu. Sudah terbayang saya bisa pulang kampung berlebaran
tanpa ada beban berat di pundak.

05.30 pagi saya berangkat dari rumah mengendarai sepeda


motor laki hadiah ulang tahun dari sang istri. Tas saya
pun terisi penuh dengan baju ganti untuk malam itu dan
baju kerja untuk esok harinya. Hari itu adalah hari ke-22
Ramadhan, dimana malamnya adalah malam ganjil ke-23.
Sudah saya niatkan setelah selesai kantor dan bertarawih,
saya akan lanjut iktikaf di masjid kantor.

Sesampainya di kantor, saya langsung menyalakan


komputer dan menancapkan flashdisk berisi hasil lemburan
saya di rumah.

“Ya Allah….astaghfirullahalazim,” ucapku tak percaya. File


pekerjaan pemantauan yang sudah hampir 80% selesai,
tidak bisa di buka, corrupt terkena virus. Berkali-kali
mencoba, berulang kali mencari file back up yang lain, yang
ada hanyalah draf laporan yang belum ter-update. Hasil
kerja lembur Sabtu-Minggu dan lemburan di rumah malam
sebelumnya lenyap begitu saja.

“Bodohnya aku,” ucapku sambil menangis.

Pagi dengan harapan indah langsung sirna dalam sekejap


mata. Selang beberapa waktu, rekan-rekan kantor mulai
masuk ke dalam ruangan. Melihat saya lemas dengan
mata yang sembap, mereka sibuk mencari tahu. “Kenapa
Mas?”, “Ada apa, Mas?”, “Kok bisa, tadi gimana?”, mungkin
itulah kalimat-kalimat yang mampu saya ingat. Semua
berusaha menenangkan dan membantu. Ada yang
langsung menghubungi Subdit TIP meminta bantuan
siapa tahu bisa di-recovery file-nya. Dan, meskipun setelah

233
dicoba pun ternyata tetap tidak bisa. Ada juga yang
membantu menguatkan, meyakinkan saya kalau pasti bisa
menyelesaiakan kembali secepatnya.

Kementerian Keuangan
Tak terkecuali si Mas. Terdengar kalimat yang sama, persis
seperti yang biasa saya dengar ketika dia menawarkan
bantuan. “Sabar ya, Mas, saya bisa bantu apa?”, lirihnya.
Saya pun menjawabnya, “Gak papa kok mas, saya coba
ketik ulang aja, toh konsepnya masih ada semoga bisa
kelar malam ini.” Melihat saya sibuk, dia terlihat tidak
nyaman karena tidak bisa membantu. Sampai akhirnya
dia menawarkan diri lagi, “Mas, nanti kalau lembur saya
temenin seselesainya”. “Ya Allah,” terhenyak hati ini. Saya
mencoba menolaknya dengan cara berterima kasih dan
mengatakan, “Gak usah mas, gak papa.”

Tak terasa, waktu asar pun sudah lewat. Rekan-rekan


kantor sudah bersiap untuk kembali ke rumah masing-
masing menantikan datangnya waktu berbuka. Si Mas
pun pamit untuk pulang duluan karena ada yang harus
dikerjakannya.
Sendiri…

Seorang diri saya bekerja di ruangan. Sampai akhirnya


terdengar suara azan menandakan waktu berbuka
telah tiba. Saya pun berbuka hanya dengan teh manis
dan kerupuk yang ada di toples pojok meja. Saya pun
melanjutkan tugas hingga tiba-tiba terdengar dering
telepon masuk sesaat menjelang isya datang.

“Hallo, Assalamu’alaikum, Mas masih ada di kantor?”,


sapanya.
Karena Kita Garda

“Wa’alaikumussalam, masih mas ini mau bersiap untuk


salat isya,” jawabku.

“Tungguin ya mas, saya sudah di parkiran. Ini saya bawain


nasi goreng dan gorengan untuk makan malam, sama ada
juga untuk nanti kita sahur,” sambungnya.
234

“Ya Allah, Mas… Terima kasih banyak,” timpalku.

Tak percaya rasanya. Sungguh mulia hati si Mas ini. Saya


iri, sungguh iri terbuat dari apa hatinya.

Sesampainya di ruangan, saya tak henti mengucapkan maaf


dan terima kasih karena telah merepotkannya. Azan Isya
pun berkumandang dan kami melangkah ke Al Amin untuk
menunaikan salat isya dan tarawih berjamaah.

Setelah tarawih kami bergegas kembali ke ruangan kantor.


Saya melanjutkan pekerjaan dan si Mas juga mengerjakan
tugas lain entah apa, saya tidak begitu memperhatikan.
Detik demi detik, menit demi menit terlewati. Tak terasa
waktu berlalu, jam 9 malam, 11 malam dan sampai tiba jam
12 malam. Saya pun persilakan si Mas untuk pulang saja,
kasihan. “Pulang aja mas, ini kayaknya masih lama. Soalnya,
saya tak akan tidur sampai ini selesai, Mas”. Dia menjawab,
“Gak papa, Mas, nanti sekalian iktikaf aja di masjid kalau
udah selesai,” jawabnya.

Alhamdulillah, lewat pukul 01.15 dini hari, laporan yang


ditunggu-tunggu akhirnya kelar. Bahagia, bebas dan enteng
rasanya. Melangkahkan kaki ke masjid untuk iktikaf
dan berharap atas turunnya Lailatul Qadar, kembali saya
sampaikan rasa terima kasih atas semua kebaikan dan
bantuan si Mas. Seraya berucap, “Mas, kalau sudah gak
puasa, sampeyan saya traktir ya dan gak boleh nolak loh.”
Dia hanya menjawab, “Boleh, Mas, hehehe.”

***

Peristiwa itu, sungguh membuat saya merasa bangga dan


bersyukur pernah kenal dan berteman dengan si Mas.
Menurut saya, Dia adalah salah satu orang terbaik secara
pribadi maupun sebagai rekan kerja sesama pegawai.
Sedikit bicara banyak bekerja, profesional, dan sepenuh hati
adalah kesehariannya yang patut kita teladani. Betapa berat
beban hidup dan masalah keluarga yang ada, memberikan
yang terbaik sebagai pegawai adalah suatu keharusan.

235
Mungkin sepi ing pamrih rame ing gawe (baca: bekerja
optimal tanpa pamrih) adalah falsafah Jawa yang tepat
menggambarkan sosok si Mas dalam mendarmabaktikan

Kementerian Keuangan
dirinya untuk DJA.

“Berprasangka baik kepada Allah


itu menenangkan hati Mas.”
Success
Story

Oleh:
Boru Sion,
Pegawai DJKN
Karena Kita Garda

Nama saya Boru Sion, saya lahir di Jakarta tetapi


236

dibesarkan di Kota Cirebon. Saya mengawali pendidikan


dengan berpindah-pindah kota dikarenakan profesi
ayah saya seorang Pegawai Negeri Sipil. Kemudian saya
menamatkan pendidikan SMA saya di Medan, saya lulus
dari SMA Negeri 1 Medan, kemudian melanjutkan kembali
pendidikan saya di Universitas Diponegoro, Semarang
mengambil pendidikan Strata-1 Ilmu Hukum dari tahun
2005 sampai dengan tahun 2009. Pada awal tahun 2010
saya melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil, kemudian
saya diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil pada
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara di Kementerian
Keuangan.

Awal pertama saya masuk Direktorat Jenderal Kekayaan


Negara saya diberi kesempatan untuk magang di Direktorat
Lelang yaitu Subdirektorat Bina Profesi dan Jasa Lelang
(BPJL). Pada saat itu saya merasa latar belakang pendidikan
yang saya tekuni cukup pas dengan tugas dan fungsi yang
saya lakukan. Latar belakang pendidikan saya adalah
Ilmu Hukum dengan jurusan Perdata Dagang dan tugas
dan fungsi pokok Direktorat Lelang menurut saya banyak
terkait dengan permasalahan hukum terutama terkait Hak
Tanggungan dan Fidusia.

Selain saya, terdapat pula pegawai magang yang berlatar


belakang pendidikan hukum sehingga kami diberikan
tugas untuk melakukan knowledge sharing terkait Hak
Tanggungan dan Fidusia. Kami diberikan waktu untuk
mempersiapkan bahan kemudian memaparkan ilmu
yang kami terima pada saat duduk di bangku kuliah
kepada kepala subdit, kasi serta pelaksana di Subdit BPL.
Pada saat pelaksanaan saya nervous sekali, karena saya
anak magang belum punya kemampuan apa-apa sudah
harus memaparkan di depan para pejabat. Untungnya,
pelaksanaan knowledge sharing terkait Hak Tanggungan
tersebut berjalan lancar dan kami bisa menjawab
pertanyaan dari para pejabat serta teman-teman magang
yang ikut memeriahkan acara knowledge sharing tersebut
dengan baik.

237
Setelah acara knowledge sharing, para kepala seksi seakan
ingin mengasah kemampuan kami para anak magang,
kami pun diminta untuk membuat paper ringkas mengenai

Kementerian Keuangan
lelang. Paper tersebut diwajibkan menggunakan jurnal-
jurnal resmi, dimana kita tahu bahwa jurnal resmi
yang di-publish di Indonesia sangat minim yang berarti
kami harus melihat jurnal-jurnal luar negeri. Kami
diberikan waktu sebulan untuk membuatnya kemudian
mempresentasikannya. Namun pada akhirnya saya tidak
sempat mempresentasikan dikarenakan saya mendapatkan
penugasan untuk diklat prajabatan.

Sebelum saya menyelesaikan diklat prajabatan, ternyata


Surat Keputusan Penetapan Calon Pegawai Negeri Sipil
di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
sudah ditetapkan dan saya diputuskan untuk bergabung
di Direktorat Penilaian. Pertama kali masuk Direktorat
Penilaian, saya kaget ternyata banyak sekali pegawai yang
memiliki latar belakang berbeda yang ditempatkan di
direktorat ini. Kemudian saya mulai berpikir apa yang
nantinya akan saya kerjakan dan apa yang dapat saya
perbuat untuk direktorat ini. Tak lama berselang, saya
mendapatkan penugasan untuk menyusun peraturan-
peraturan di bidang Penilaian. Saya berpikir, inilah
kesempatan saya untuk menerapkan apa yang sudah
saya ketahui sesuai dengan bidang keilmuan saya.
Proses penyusunan peraturan tentunya membutuhkan
pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan aspek
hukum, di sinilah saya bisa berperan aktif. Salah satu proses
penyusunan peraturan yang menjadi target penyelesaian
pada waktu itu adalah Revisi Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 179/PMK.06/2009 tentang Penilaian Barang
Karena Kita Garda

Milik Negara. Penyusunan revisi peraturan menteri ini


memerlukan waktu yang cukup relatif lama karena harus
dilakukan harmonisasi dengan peraturan-peraturan
lain yang terkait. Saya sangat berperan aktif dalam
proses penyusunan revisi peraturan ini, hingga akhirnya
pada tanggal 3 September 2015, akhirnya Peraturan
238

Menteri Keuangan Nomor 166/PMK.06/2015 tentang


Penilaian Barang Milik Negara, sebagai pengganti dari
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.06/2009,
ditandatangani oleh Menteri Keuangan.

Sebagai pelaksana pada Direktorat Penilaian terutama


pada Subdirektorat Standardisasi Penilaian Properti
Khusus II, dimana tugas dan fungsi pokok Subdirektorat
Standardisasi Penelaian Properti salah satunya adalah
penyusunan standardisasi di bidang penilaian, peran aktif
saya sampai saat ini sangat dibutuhkan dan akan selalu
saya tingkatkan, sesuai dengan bidang keilmuan yang saya
miliki. Harapan ini tentunya akan membantu organisasi
dalam penyempurnaan penyusunan peraturan-peraturan
di Bidang Penilaian, seperti Peraturan Menteri Keuangan
(PMK), Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen), Keputusan
Direktur Jenderal (Kepdirjen), Surat Edaran (SE), maupun
Buletin Teknis Penilaian (Bultek).

Selain berperan aktif penyusunan peraturan, sampai


saat ini saya juga berperan aktif dalam penyusunan ISO
9001:2008 yang telah diterima oleh Direktorat Penilaian
pada tahun 2013 serta ISO liked yang akan dikembangkan
pada kantor vertikal DJKN. Hal ini tentunya juga menjadi
tantangan tersendiri buat saya.

Selain itu saya juga melaksanakan tugas sebagai tim penilai


Direktorat Jenderal, untuk melakukan penilaian aset
Barang Milik Negara, baik itu dalam rangka Pemanfaatan
berupa Sewa, KSP, BGS, dan BSG, dan dalam rangka
Pemindahtanganan berupa Penjualan, Tukar Menukar,
Hibah, Pernyataan Modal Negara, serta dalam rangka
penyusunan Neraca Pemerintah Pusat.

Saya berharap, kiprah saya di Direktorat Penilaian akan


selalu membawa sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi
organisasi, dan tentunya sebagai generasi muda Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara, saya akan selalu siap membawa
perubahan dalam lingkungan kerja saya.

239
Kementerian Keuangan
...............

Oleh:
Niko Prastiya,
Pegawai DJKN
Karena Kita Garda

Lulus dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara pada akhir


240

tahun 2010 dan langsung menjalani masa pengenalan


dunia kerja melalui magang selama kurang lebih setahun
di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta
IV, saya bersyukur mendapat amanah untuk mengabdi di
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara bersama
ke lima orang lainnya yang juga mendapat penugasan
pada Direktorat Hukum dan Humas. Bekerja di unit yang
menangani kehumasan pada Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara tidak pernah terpikirkan sebelumnya dalam benak
saya, apalagi kesempatan tersebut saya dapatkan pada
kesempatan penempatan pertama saya pada akhir tahun
2011.

Sewaktu pertama bergabung dengan Subdit Hubungan


Masyarakat (Humas), saat itu jabatan eselon III belum terisi,
dan tiga dari jabatan eselon IV hanya terisi oleh seorang
pejabat eselon IV. Fungsi kehumasan saat itu belum berjalan
sepenuhnya seperti belakangan ini. Website, Media
Kekayaan Negara, dan layanan peliputan saat itu menjadi
layanan dan produk kehumasan unggulan. Seiring dengan
dinamika organisasi, jabatan-jabatan eselon mulai diisi
sehingga fungsi kehumasan mulai berjalan lebih optimal.
Humas memiliki peranan yang tidak kalah penting dalam
suatu organisasi dibandingkan dengan fungsi teknis.
Tidak hanya pada organisasi swasta, kehumasan pada
instansi pemerintah mulai berkembang seiring dengan era
keterbukaan informasi. Publikasi, sosialisasi, dan layanan
informasi menjadi penting seiring dengan kesadaran
masyarakat akan hak mereka untuk dapat mengakses
informasi pada instansi pemerintah selaku badan publik
yang dibiayai oleh “uang rakyat”.

Sejak bergabung dengan Subdit Humas, saya mendapat


amanah untuk mengabdi pada Seksi Penyuluhan dan
Layanan Informasi. Pada awal tahun 2012, saat itu saya
bersama rekan satu seksi saya yang juga baru dalam dunia
kehumasan, merintis pendirian Information Desk dan
Call Center (IDCC) dengan dikomando oleh Kepala Seksi
Penyuluhan dan Layanan Informasi selaku atasan langsung.
Saat itu, menjadi one stop service layanan pada Kantor Pusat

241
DJKN merupakan misi dicanangkan sewaktu pendirian
IDCC DJKN.

Kementerian Keuangan
Berbagai persiapan pendirian IDCC satu per satu
kami selesaikan saat itu, mulai dari penyusunan dan
penandatanganan Service Level Agreement antara Direktur
Hukum dan Humas sebagai penyedia layanan informasi
dengan Sekretaris DJKN dan para Direktur selaku pemiliki
informasi dihadapan Direktur Jenderal, koordinasi dalam
hal penyediaan infrastruktur layanan IDCC, hingga
penyelenggaraan pelatihan softskill bagi calon agent IDCC.
Pada Oktober 2012 akhirnya saya memperoleh tambahan
rekan satu seksi dari kantor vertikal sejumlah enam orang
sehingga saat itu kami berdelapan menjadi generasi pertama
agent IDCC.

IDCC DJKN yang diresmikan pada November 2012,


saat itu memberikan layanan satu tempat, baik call
center maupun walk in. Dengan karakteristik organisasi
DJKN yang memiliki tugas dan fungsi beraneka ragam,
memberikan tantangan berat bagi saya selaku agent
agar mampu memberikan solusi maupun jawabatan atas
setiap permasalahan pemohon informasi yang datang
langsung maupun melalui telepon. Saya yang sejak kuliah
lebih mendalami lelang dan piutang negara mengalami
sedikit permasalahan dalam hal menghadapi permohonan
informasi yang datang menanyakan permasalahan seputar
Pengelolaan Kekayaan Negara. Hal ini menjadikan motivasi
bagi diri saya untuk mampu menggali pengetahuan seputar
Pengelolaan Kekayaan Negara, baik itu update knowledge
dengan rekan sesama agent, maupun mengikuti sosialisasi
yang diselenggarakan unit teknis terkait yang sering saya
Karena Kita Garda

ikuti bersamaan dengan penugasan peliputan.

Keunikan pada Subdit Humas di sini terlihat dengan


penugasan bersilang antarseksi antar pelaksana. Para agent
IDCC juga mendapat penugasan peliputan, editing berita,
resensi buku untuk perpustakaan, upload berita portal
242

hingga penyusunan artikel untuk Media Kekayaan Negara.


Hal ini tentunya mampu memberikan penyegaran bagi
para agent yang sehari-harinya selain memberikan layanan
informasi, juga menghadapi keluhan pemohon informasi
melalui call center maupun walk in.

Tugas layanan informasi yang melekat pada Seksi


Penyuluhan dan Layanan Informasi, mejadikan
pelaksanaan amanat dari Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada
DJKN melalui Direktur Hukum dan Humas selaku Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), dilaksanakan
pada unit tersebut. Saya banyak membantu sebagai petugas
informasi terkait permohonan informasi yang disampaikan
kepada PPID DJKN. Kegiatan-kegiatan terkait layanan
informasi melalui PPID antara lain penyusuan Daftar
Informasi Publik dan Daftar Informasi Dikecualikan,
sosialisasi layanan PPID DJKN kepada unit vertikal,
pelaksanaan layanan informasi melalui PPID, hingga
penanganan sengketa informasi yang berkolaborasi dengan
Subdit Bantuan Hukum.
Penugasan saya sebagai petugas informasi ini memberikan
motivasi bagi saya untuk lebih mendalami ilmu hukum
oleh karena itu, sejak tahun lalu saya memutuskan untuk
melanjutkan pendidikan saya di fakultas hukum salah satu
universitas swasta di Jakarta. Saya menyadari pentingnya
pendidikan guna menunjang pelaksanaan pekerjaan.

243
Kementerian Keuangan
Konsultasi dan
Rasionalisasi

Oleh:
Pradita Agustina,
Pegawai DJPK
Karena Kita Garda

Telepon di cubical sebelah berdering hampir setiap lima


244

menit sekali, dan ini hari Senin. Sekilas tak tampak


korelasinya tapi bagaimanapun, ternyata ada. Senin
seringkali menjadi hari yang sibuk di sini. Pegawai mondar-
mandir, mesin fax—walaupun sudah jarang—masih ada
barang satu atau dua kali, bendelan surat diantar, mesin
fotokopi berdesis, termasuk telepon yang berdering di sana
sini: permintaan konsultasi dari berbagai daerah.

Sebagai institusi yang memiliki tugas untuk menciptakan


hubungan keuangan pusat dan daerah yang seimbang, wajar
rasanya jika kami memiliki stakeholder yang merupakan
wakil pemerintah daerah dalam hal keuangan. Mencari
kepastian akan apa, berapa, bagaimana dan kapan uang
yang menjadi hak mereka bisa didapatkan dan digunakan
demi keperluan daerahnya. Tak jarang keluh kesah,
kekhawatiran, kebingungan dan apapun itu namanya
dituangkan dalam suatu bentuk pertemuan bernama
konsultasi.

Kembali lagi, ini hari Senin, telepon berdering memanggil


pegawai yang bertugas menangani layanan konsultasi.
Termasuk telepon yang kuangkat di pagi menjelang siang
ini, panggilan dari ruang pelayanan untuk menyambut
kebingungan para perwakilan pemerintah salah satu
daerah.

“Mas, ini Mas yang mau temui?”

“Dari mana, Mbak?”

“Rombongan DPRD Kota, tidak ada Kepala Seksi hari ini,


Mas. Rapat semua.”

“Ya sudah. Ikut yuk, Mbak.”

Jadilah aku turut menemani Si Mas Konsultan ke ruang


pelayanan terpadu, tempat kegiatan bernama konsultasi
daerah dilakukan. ‘Tamu” kami bisa berasal dari berbagai
tingkatan institusi daerah mulai dari dinas di kabupaten/
kota, hingga DPRD Provinsi. Salah satu aturannya
adalah tamu daerah yang merupakan perwakilan DPRD

245
Kabupaten, Kota maupun Provinsi perlu didampingi oleh
Kepala Seksi—atasan kami—saat konsultasi dilakukan.
Sayangnya, kembali lagi, ini hari Senin dan seluruh Kepala

Kementerian Keuangan
Seksi di tempat kami sedang berjibaku dengan kesibukan
untuk menyelesaikan tugas lainnya.

Mereka sudah duduk rapi menunggu di meeting room.


Nampak wajah-wajah ramah namun meredam amarah—
jika aku tidak salah tangkap. Kami mulai memasuki
ruangan dan menebar senyum salam sapa di seluruh
ruangan. Si Mas Konsultan menarik kursi dan duduk di
ujung meja lonjong laiknya pemimpin rapat, dan aku duduk
di sampingnya sembari menyiapkan tablet untuk menulis
pokok rapat hari ini bak sekretaris.

“Silakan, Pak, bisa kita mulai saja,” Si Mas Konsultan


membuka, lalu dilanjutkan dengan perkenalan diri
pimpinan rombongan yang kemudian memperkenalkan
rekan-rekannya yang lain. Bapak Pemimpin Rombongan
itu mulai menjabarkan masalah yang dihadapi oleh
daerahnya, menjelaskan sebab kedatangannya jauh-
jauh dari pulau seberang ke gedung ini. Dibuka dengan
penjelasan keluh kesah yang disampaikan dengan ringkas
dan jelas. Aku mulai melihat perubahan mimiknya ketika
ia mulai berbicara tentang isu rasionalisasi anggaran yang
didapatnya, yang berarti daerahnya akan mendapatkan
‘jatah’ yang lebih sedikit.

“Tidak bisa seperti ini, Pak. Kami mohon penjelasan apakah


kabar yang kami terima benar bahwa akan ada rasionalisasi
anggaran?” Nada bicaranya mulai meninggi. Aku mulai
merasa tegang, berspekulasi tentang skenario apa yang akan
terjadi selanjutnya. Apakah akan ada kegiatan melempar
Karena Kita Garda

kertas, mengacungkan tangan atau gebrakan meja?

“Pemerintah di pusat tidak akan mengerti kesulitan


seperti apa yang kami temui di daerah. Salah sedikit saja
masyarakat di daerah kami bisa saling ribut, protes keras.
Seharusnya pemerintah pusat juga memikirkan hal seperti
itu, tidak bisa main potong saja! Kami tidak akan pulang
246

sebelum ada kepastian berapa sebenarnya alokasi untuk


daerah kami dan benar tidaknya masalah rasionalisasi
anggaran tersebut. Jika perlu menginap di sini, kami akan
menginap.” Si Mas Konsultan masih diam dan manggut-
manggut, mendengarkan setiap perkataan Pemimpin
Rombongan sementara aku mulai pasi mengetik tak karuan
pada layar tablet. Suasana dalam ruangan disela oleh sedetik
keheningan, sebelum akhirnya si Mas Konsultan mulai
angkat bicara dan aku mulai bisa merasa tenang. Setidaknya
tidak ada acara gebrak meja untuk menampakkan
kemarahannya.

“Sudah, Pak, itu saja? Apakah masih ada yang ingin


disampaikan sebelum mulai saya tanggapi?” Si Mas
Konsultan bertanya dengan tenang dan perlahan.

“Sudah, Pak. Itu saja dulu.” jawab Pemimpin Rombongan


setelah memastikan rekan-rekannya tak ada yang ingin
menambahkan keluhan.

“Baik, kalau begitu, Pak. Saya mohon izin untuk


menanggapi.” Si Mas Konsultan mulai menjelaskan ini
dan itu dengan hati-hati, berbicara dalam intonasi rendah,
lembut seperti sedang menjelaskan satu tambah satu kepada
anak kecil, sabar dan tanpa emosi.

“Dan terkait rasionaliasi anggaran, kami tidak mendengar


adanya isu tersebut. Jadi bisa dipastikan itu tidak benar
adanya. Untuk alokasi yang pasti bagi daerah Bapak, saya
mohon izin ke ruang kerja sebentar untuk mencetaknya.
Bagaimana, Pak?” suasana sudah mulai cair kembali
setelah penjelasan panjang tentang dana yang akan mereka
dapatkan serta konfirmasi tentang rasionalisasi anggaran
yang sebelumnya diributkan. Pemimpin rombongan dan
rekan-rekannya sudah mulai tenang, tak ada lagi mimik
tegang atau kemungkinan gebrakan meja.

“Mari, Mbak. Kita ambil datanya dahulu.”

Aku dan Si Mas Konsultan keluar dari ruangan dan pergi

247
menuju lift.

“Serem juga ya, Mas. Sampai tidak mau pulang.” Aku mulai
membahas kejadian tadi.

Kementerian Keuangan
“Ya begitulah, Mbak. Sudah sering terjadi hal-hal seperti
itu di sini. Amarah seperti itu tidak bisa dibalas dengan
amarah lagi. Harus dengan kepala yang dingin.” Sedari
di ruangan tadi aku tak bisa berhenti berpikir tentang
betapa beragamnya bangsa ini, betapa terkadang begitu
sederhananya pemikiran manusia. Haknya dikurangi
sementara yang lain tidak, itu berarti ‘tidak adil’. Aku
menyadari bahwa bangsa yang terdiri dari berbagai jenis
suku, adat, kebiasaan, agama, kepentingan hingga cara
berpikir yang berbeda-beda ini merupakan suatu tantangan
menarik untuk bisa dihadapi.

Sisi lain profesionalisme jelas dibutuhkan oleh institusi ini.


Tak hanya soal keakuratan dan kompetensi terbaik dalam
bekerja; tak hanya pengetahuan tentang apa, berapa, dan
bagaimana uang untuk daerah itu dihitung dan disalurkan,
namun juga bagaimana menjelaskannya kepada para
stakeholder dengan cara yang tepat. Satu daerah merasa
ini tak adil, daerah lainnya merasa terima saja yang ada—
narimo ing pandum.

Kami kembali ke bawah, menyerahkan kertas berisi besaran


alokasi dana untuk daerah yang bersangkutan. Berbincang
satu dua topik, termasuk tentang kenyataan bahwa
rombongan tersebut sudah pasti tidak jadi menginap karena
jawaban yang mereka dapat sudah cukup memuaskan.
Menutup perbincangan, saling berjabat tangan dan
menebar senyum, kemudian berpamitan.
Karena Kita Garda

Ah, kata itu, yang terpampang di dinding kantor, di standing


banner, di majalah internal atau di website profesionalisme,
ternyata memang benar penting eksistensinya. Aku bisa
merasakannya di sini. Betapa untuk memegang teguh
prinsip profesionalisme kita juga harus memahami apa yang
kita hadapi dan menanganinya dengan kompetensi terbaik
248

yang dimiliki.

Seharusnya pemerintah pusat


juga memikirkan hal seperti itu,
tidak bisa main potong saja! Kami
tidak akan pulang sebelum ada
kepastian berapa sebenarnya
alokasi untuk daerah kami
dan benar tidaknya masalah
rasionalisasi anggaran tersebut.
Jika perlu menginap di sini, kami
akan menginap.
249 Kementerian Keuangan
Sinergi Itu
Memuda(h)kan
Karena Kita Garda
250

Makna dari Sinergi yaitu


membangun dan memastikan
Synergy is hubungan kerjasama internal yang
produktif serta kemitraan yang
better than harmonis dengan para pemangku
my way or kepentingan, untuk menghasilkan
karya yang bermanfaat dan
your way. berkualitas.
It’s our way. Perilaku utama dari nilai ini yaitu:
1. Memiliki sangka baik, saling
percaya dan menghormati.
2. Menemukan dan melaksanakan
solusi terbaik.
Sinergi berasal dari bahasa Yunani, synergos, yang berarti
bekerja bersama-sama. Sinergi adalah suatu bentuk dari
sebuah proses atau interaksi yang menghasilkan suatu
keseimbangan yang harmonis sehingga bisa menghasilkan
sesuatu yang optimum. Syarat utama penciptaan sinergi
yakni kepercayaan, komunikasi yang efektif, feedback yang
cepat, dan kreativitas.

Saat kita membicarakan Kementerian Keuangan maka


kita tidak hanya sedang membicarakan satu institusi yang
berkantor pusat di sekitar Lapangan Banteng, lebih dari
itu kita sedang membicarakan puluhan ribu pegawai yang
ditempatkan di ribuan kantor dari ujung Barat hingga ujung
Timur Indonesia. Para pegawai Kemenkeu mempunyai latar
belakang yang beragam. Keberagaman tersebut terlihat dari
asal daerah, pendidikan, budaya, bahasa ibu, hingga hobi
pegawainya. Namun Kemenkeu memandang keberagaman
tersebut sebagai sumber daya dalam upaya pencapaian
tujuan.

251
Kemenkeu mencoba untuk mengolah keberagaman tersebut
melalui sinergi di antara para pegawai, kantor pelayanan,
kantor wilayah, hingga kantor pusat. Pembangunan sinergi

Kementerian Keuangan
bukanlah hal mudah karena dibutuhkan rasa percaya di
antara para pegawai. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa
terkadang mereka lebih mementingkan kepentingan
masing-masing daripada kepentingan bersama. Hal seperti
inilah yang menjadi tantangan di Kemenkeu. Namun setiap
tantangan yang muncul dapat dihadapi oleh Kemenkeu
sehingga sinergi di Kemenkeu semakin baik dari waktu ke
waktu.

Visi Kemenkeu untuk menjadi penggerak utama


pertumbuhan ekonomi Indonesia yang inklusif di abad
ke-21 tentu saja perlu kerja keras dari seluruh elemen.
Agar bisa menyatukan seluruh elemen untuk bahu-
membahu, perlu kepemimpinan dengan gaya manajemen
sinergi. Kepemimpinan jenis ini dapat membangkitkan
kepercayaan antarorang di dalam organisasi. Membangun
komunikasi yang tidak ditunda-tunda untuk mencegah
distorsi pesan serta membudayakan umpan balik yang
cepat sebagai pola hubungan yang erat, baik secara vertikal
maupun horizontal. Pemimpin mendorong pegawai untuk
mengenal satu sama lain melalui berbagai aktivitas sosial.
Mereka diajak berperilaku baik yang tidak menimbulkan
kecurigaan dan kekhawatiran pihak lain akan kehilangan
posisi atau kariernya.

Salah satu prinsip sinergi adalah membangun kepercayaan


dalam organisasi. Kondisi saling memercayai harus
dibangun walaupun memerlukan waktu. Ini penting
karena kepercayaan (trust) yang bijak dan cerdas adalah
hal yang dapat mengubah sesuatu atau mewujudkan
dinamika menuju perubahan yang diharapkan. Dalam
Karena Kita Garda

organisasi Kemenkeu, kemampuan untuk membangun,


menumbuhkan, menjaga dan mengembalikan semua
kepercayaan para pemangku kepentingan maupun rekan
kerja merupakan kunci sinergi.

Salah satu nilai utama Gerakan Nasional Revolusi Mental


juga sejalan dengan semangat sinergi pegawai Kemenkeu,
252

yaitu gotong royong. Terdiri dari bekerja sama, solidaritas


tinggi, komunal, berorientasi kepada kemaslahatan, dan
kewargaan.

PNS kemenkeu memiliki sangka baik, saling percaya dan


menghormati, berkomunikasi dengan sikap terbuka, dan
menghargai perbedaan, menemukan dan melaksanakan
solusi terbaik, berorientasi pada hasil yang memberikan
nilai tambah. Sikap baik sangka ini diterapkan tidak hanya
dalam satu unit, tetapi dengan seluruh unit di lingkungan
Kemenkeu. Salah satu bentuk sinergi dalam pelaksanaan
tugas di lingkungan Kemenkeu adalah adanya SOP-Link
yang mengatur pelaksanaan tugas beberapa unit dalam
penyelesaian suatu pekerjaan agar tetap harmonis dan
sinergis.

Sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan kepada


stakeholders, beberapa Unit Eselon I melakukan sinergi
guna mengoptimalkan dan mengefisienkan kualitas
pelayanan. Sebagai contoh, adalah apa yang dilakukan
oleh Ditjen Kekayaan Negara bersama dengan Ditjen
Perbendaharaan, Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan
Risiko, dan Sekretariat Jenderal dalam menyediakan
layanan satu atap di bidang perbendaharaan, kekayaan
negara, dan keuangan negara lainnya. Layanan satu atap
atau yang kemudian dikenal dengan istilah co-location
ini merupakan bentuk sinergi yang dilakukan untuk
memberikan pelayanan terbaik kepada stakeholders
Kemenkeu. Saat dimulai pada tahun 2015, co-location
dilaksanakan pada 8 Kantor Wilayah (Kanwil) DJKN
dan 12 Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL). Layanan tersebut saat ini telah diperluas
menjadi 13 Kanwil dan 38 KPKNL. Program co-location ini
merupakan amanah dari Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 669/KMK.01/2015 Tentang Layanan Bersama
terkait Dengan Pelaksanaan Fungsi Perbendaharaan,
Kekayaan Negara, dan Keuangan Negara Lainnya Di
Daerah, yang kemudian diganti dengan KMK Nomor 834/
KMK.01/2016.

Intisari dari sinergi adalah rasa kebersamaan antarpegawai


dalam meraih tujuan yang sama. Banyak cara untuk

253
membangun kebersamaan, salah satu contohnya adalah apa
yang dilakukan unit Ditjen Pajak. Ditjen Pajak menciptakan
kegiatan rutin yang menjadi wadah bagi pegawai untuk
berbagi wawasan yang menunjang pekerjaan sekaligus

Kementerian Keuangan
untuk mengingatkan kembali tentang visi dan nilai
organisasi. Kegiatan ini menjadi bagian dari program
internalisasi yang dilaksanakan oleh seluruh pegawai
Ditjen Pajak yang disebut morning activity. Meskipun
formatnya terus mengalami penyempurnaan, fungsi
kegiatan ini tetap sama, yaitu sebagai wadah bagi pegawai
untuk saling bertatap muka dan mengemukakan pendapat.
“Tak kenal maka tak sayang”, ketika pegawai sering bertemu
dan saling berbagi cerita motivasi maupun succes story
dalam pelaksanaan tugasnya, maka dengan sendirinya rasa
kebersamaan terbangun sehingga sinergi akan kuat terjalin.

Berikut adalah potongan kisah bagaimana sinergi menjadi


energi utama para PNS Kemenkeu yang senantiasa
bersemangat untuk selalu memberikan pelayanan terbaik
kepada masyarakat.
Indahnya
Kebersamaan

Oleh:
Tang Dewi Sumawati,
Pegawai DJP
Karena Kita Garda

“Alhamdulillah...akhirnya selesai juga,” salah seorang


254

anggota tim melontarkan rasa leganya.

“Eiiit..., besok masih ada lagi,” sahut yang lain.

“Iya... tapi paling tidak separuh target sudah diselesaikan


dengan mulus,” kata sang Sekretaris Tim KPP.

Itulah ekspresi dari Tim KPP Pratama ketika sesi terakhir


di hari pertama pelaksanaan ICV “DJP Maju, PasTI!”
berakhir. Wajah-wajah yang kelihatan lelah dan mengantuk
namun tetap ceria terpancar dari para peserta yang sudah
mengikuti acara sejak pembukaan di sore hari setelah
istirahat dan salat asar hingga di akhir sesi ketika jam
dinding menunjukkan pukul 21.50 WIB.

“Wah hebat kawan-kawan kita, walaupun tidak ada kepala


kantor mereka tetap tertib, antusias dan semangat.” Kata
Sang Ketua Tim sambil berkemas-kemas.

“Iya... ya..., apalagi kalau ada bapak ya? Eh... lagipula kalau
dipikir-pikir... sebenarnya apalah kita ini ya Pak? Cuma
TOT seadanya, tapi justru mereka yang antusias dan
semangat sehingga diskusi dan permainannya menjadi
hidup,” sambut salah seorang instruktur sambil mengemasi
barang-barang panitia.

“Nah... ini yang luar biasa saat ini, bukan trainer-nya yang
bagus, tapi pesertanya yang memang hebat! Jadi trainer-nya
tinggal mengarahkan saja,” sahut sang Ketua Tim sambil
meluruskan kaki di kursi.

“Memang sih... selama ini ‘kan kita bisa ngerasain, kawan-


kawan di kantor kita itu luar biasa perubahannya. Sebagian
besar sudah komitmen modern beneran, jadi enak aja kalau
diajak kerja,” kata Sekretaris Tim sambil merapikan meja.

“Iya... iya... bener itu... Syukurlah kawan-kawan kita sudah


mulai menikmati indahnya modernisasi walaupun masih
ada beberapa yang masih belum modern dan masih kurang

255
silaturahminya, mungkin mereka perlu waktu ya?” Sahut
instruktur yang lain yang juga sedang berkemas-kemas.

“Yang penting kebersamaannya...,” itulah semangat Tim

Kementerian Keuangan
KPP yang diamanahi untuk melaksanakan ICV kali ini.
Dengan persiapan yang sangat singkat, materi ICV yang
harus disampaikan kepada peserta juga cukup banyak,
ditambah lagi tidak bersama kepala kantor, maka harapan
merasakan “kebersamaan” merupakan sesuatu yang realistis
dan wajar. Yang terpenting adalah implementasinya kelak
setelah balik ke kantor. Kalau “kebersamaannya” sudah
didapat, nilai-nilai “DJP Maju, PasTI!” yang terdiri dari
profesionalisme, integritas, teamwork, dan inovasi bukanlah
sesuatu yang asing lagi bagi para pegawai dan pastinya akan
lebih mudah dilaksanakan karena sudah menjadi karakter,
telah masuk ke dalam hati dan bukan hanya teori yang
mudah dilupakan.

Acara ini seolah menjadi “oase” bagi sebagian besar peserta


yang kala itu sehari-harinya harus menghadapi Wajib
Pajak dengan pertanyaan dan muka sinis tentang “GT”.
Bermacam-macam pertanyaan yang sering menyakitkan
hati dan tak kurang memicu kemarahan. Namun, kami
tetap mencoba menjelaskan dengan tegas bahwa kami tidak
seperti “GT”. Kami adalah orang-orang yang mencintai
negeri ini dan yang pasti kami hanya takut kepada Allah
SWT.

Beberapa pertanyaan yang sering terlontar dari wajib Pajak


seperti, “Oh... ini ya... kantornya Gayus?”

Kalau seperti ini kawan-kawan menjawabnya dengan


tegas, “Maaf, Pak, di sini Kantor Pelayanan Pajak, bukan
Karena Kita Garda

kantornya Gayus, kalau kantornya Gayus di Jakarta... Ada


yang bisa kami bantu, Pak?”

Ada lagi Wajib Pajak yang begitu masuk ruangan Seksi


Pengawasan dan Konsultasi dan bertemu dengan AR
dengan angkuhnya berkata,”Oh... ini ya kawan-kawannya
Gayus?”
256

Kalau yang seperti ini kawan-kawan menjawabnya dengan


sedikit sinis karena sudah sebal namun tetap harus menjaga
etika kesopanan, “Maaf, Pak... memangnya Bapak kenal
ya sama Gayus? Kalau kami nggak kenal tuh Pak... nggak
pernah kenalan sama dia dan maaf ya Pak... kami tidak
seperti dia...”

Di kesempatan lain sering Wajib Pajak datang dan


marah-marah, namun sebenarnya mereka marah karena
tidak paham. Pernah salah satu Wajib Pajak yang sedang
berkonsultasi dengan AR berucap,”’Kan kalian yang makan
uang pajak kami!” Untuk kasus yang semacam itu kami
harus menjelaskan secara detail tentang sistem pembayaran
pajak yang melalui bank, ATM, atau melalui kantor pos.
Kami biasanya menjelaskan dengan tanya jawab.

Bapak selama ini bayar pajaknya di mana pak? Di kantor


ini? Tidak ‘kan, Pak? Tadi bapak membayar di bank, kan?
Apa pernah selama ini Bapak membayar pajak di Kantor
Pajak? Tidak pernah ‘kan, Pak? Lalu coba Bapak jelaskan
bagaimana caranya kami makan uang pajak Bapak?”
Umumnya mereka tidak bisa menjawab dan terdiam.

Dengan dialog seperti ini biasanya Wajib Pajak menyadari


kekeliruannya selama ini, kadang ada yang diam saja
kemudian minta maaf. Tidak jarang banyak juga di antara
mereka yang berkilah macam-macam, membela diri, dan
yang pasti enggan untuk minta maaf. Kalau yang seperti itu
kami biarkan saja.

Hampir setiap hari di kala itu kami harus menghadapi


respons masyarakat yang luar biasa karena derasnya
pemberitaan media massa tentang “GT”. Di lapangan
kami harus menghadapi sendiri Wajib Pajak yang seolah
berada di atas awan dengan adanya kasus “GT” dan itu
kami rasakan sangat melelahkan dan sangat menghabiskan
energi. Rasa capek yang kami rasakan bukan hanya secara
fisik, namun yang terlebih lagi adalah capek secara psikis.

257
Pagi yang cerah di hari kedua ICV, acara berlangsung lancar
dan para peserta masih tetap antusias dan bersemangat.
Di akhir sesi terdapat penampilan dari masing-masing
kelompok berupa sandiwara, drama dan lainnya yang

Kementerian Keuangan
merupakan hasil inovasi dari para peserta yang sangat
menarik, menyegarkan suasana, dan pastinya memotivasi
para peserta untuk mengimplementasikan nilai-nilai “DJP
Maju, PasTI!”. Akhirnya acara ditutup oleh Kepala Kantor
yang akhirnya menyempatkan diri hadir ke lokasi selepas
Rapim dan peserta kembali ke kantor dengan semangat
baru.

Dari satu kegiatan ICV ini banyak sekali hal positif yang
bisa dirasakan. Sekat-sekat antar seksi atau bagian di kantor,
sedikit demi sedikit mulai terkikis, komunikasi antar seksi
terjalin lancar, hubungan interpersonal semakin solid, dan
para pegawai semakin kompak dalam menghadapi tugas
yang semakin banyak dan menantang. Di samping itu
tunas-tunas modernisasi mulai tumbuh subur dan semakin
mewarnai DJP. Modernisasi yang sudah bergulir bak bola
salju sudah tidak bisa dihalangi lagi lajunya, akan terus
bergulir, dan akan dirasakan manfaatnya oleh negeri ini.
Namun perjuangan tidak pernah mudah. Pasti akan banyak
halangan dan rintangan yang dihadapi. Namun dengan
“kebersamaan”, insya Allah semua rintangan dan halangan
tersebut akan lebih mudah diatasi dan diselesaikan. “Di
mana ada kemauan, di situ ada jalan.” Dan memang kita
harus yakin dengan janji-Nya bahwa bersama kesulitan itu
ada kemudahan.

Dalam menjalani proses modernisasi yang sudah memasuki


jilid II, yang terpenting kita tidak boleh terburu-buru
mau melihat hasilnya, tapi dijalankan dulu prosesnya
Karena Kita Garda

dengan benar pasti hasilnya akan maksimal. Teringat


pesan almarhumah ibunda yang slalu menyemangati
anak-anaknya agar tetap bersabar, istikamah menjalani
kehidupan yang kadang kala tidak adil. Beliau sealu
berpesan, “Wis tho, Nduk, mengko sing becik mesthi
ketitik, sing olo ketoro, Gusti Allah ora sare” (sudahlah,
258

Nak, nanti yang benar pasti kelihatan dan yang salah


akan nampak, Allah SWT tidak tidur). Untuk itu kita
harus merapatkan dan memperbaiki barisan dengan tetap
semangat dalam menghadapi tantangan yang semakin
kompleks dan tidak mudah.

Namun perjuangan tidak pernah


mudah. Pasti akan banyak halangan dan
rintangan yang dihadapi. Namun dengan
“kebersamaan”, insya Allah semua
rintangan dan halangan tersebut akan
lebih mudah diatasi dan diselesaikan. “Di
mana ada kemauan, di situ ada jalan.”
Dan memang kita harus yakin dengan
janji-Nya bahwa bersama kesulitan itu
ada kemudahan.
Belajar pada
Pemeriksa
Pajak
Oleh:
DJP

30 Oktober 2010

259
Teman-teman, jangan lupa cek realisasi penerimaan
masing-masing ya!” Instruksi atasan yang sudah biasa
didengar Bonari setiap pagi sejak dia diangkat menjadi

Kementerian Keuangan
Account Representative (AR) di Seksi Pengawasan dan
Konsultasi II KPP Pratama Pematang Siantar.

“Siap, Pak,” jawab Bonari. Segera dia membuka aplikasi


Modul Penerimaan Negara (MPN) untuk melihat realisasi
penerimaan pajak dari wajib pajak yang diawasinya. Tiba-
tiba dia mendekatkan wajahnya ke layar monitor. Kedua
matanya fokus mengamati angka demi angka dalam tabel.
Ada angka yang begitu mencolok di layar monitornya,
realisasi penerimaan pajak masuk sebesar satu milyar
rupiah. Diusapkannya kedua telapak tanggannya ke wajah
tanda syukur, dia terlihat begitu gembira pagi itu.

Beberapa bulan sebelumnya...

1 April 2010

Pagi itu Bonari bergegas memasuki ruang kerjanya dan


segera menyalakan komputer. Informasi yang disampaikan
temannya malam sebelumnya membuatnya datang lebih
pagi ke kantor untuk memeriksa kebenaran informasi
tersebut. Setelah komputer menyala, browser dibuka
dan dia segera memilih website kepegawaian DJP yang
sudah terdaftar di bookmark-nya. Di bagian atas sebelah
kanan website, terpampang informasi baru dengan judul
“Pengangkatan dan Pemindahan Account Representative
di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak”, dan segera
dibukanya file yang berisi informasi tersebut. Fitur
search segera diaktifkannya dan diketikkannya namanya.
Beberapa detik kemudian namanya ditemukan dalam
Karena Kita Garda

file tersebut. ‘Bonari Siagian, Account Representative KPP


Pratama Pematang Siantar’

Ketika melihat namanya dalam daftar tersebut, hal pertama


yang muncul dalam pikirannya adalah ‘Sanggup nggak
ya aku jadi AR?’. Sebuah kekhawatiran yang sama dari
260

beberapa temannya yang sudah lebih dahulu menjadi


Account Representative. Kekhawatiran ini biasanya timbul
karena para calon Account Representative merasa tidak yakin
dengan pengetahuan teknis perpajakan yang dimilikinya.
Walaupun sudah lebih dari 10 tahun bekerja di DJP,
pengalamannya lebih banyak terkait pengolahan data.
Teknis perpajakan jarang disentuhnya selama bekerja.

Meski terasa berat, penunjukan sebagai Account


Representative merupakan hal yang harus diterima oleh
Bonari. Sudah menjadi kewajiban seluruh pegawai
DJP untuk menaati perintah kedinasan dan bersedia
ditempatkan di seluruh Wilayah Indonesia. Walaupun
masih merasa kurang mahir dalam pengetahuan teknis
perpajakan, dia akan berusaha mempelajarinya sembari
menjalankan tugas sebagai Account Representative. Dia yakin
bahwa ada banyak pegawai di kantor barunya nanti yang
bisa menjadi teman diskusi dan konsultasi.

Dua minggu kemudian...

Bonari memandang ke sekeliling ruang kerja barunya, Seksi


Pengawasan dan Konsultasi II KPP Pratama Pematang
Siantar. Dia sudah melapor kepada Kepala Belajar Pada
Pemeriksa Pajak 252 Kantornya, dan segera diantarkan
ke ruangan kerja barunya. Setelah berkenalan dengan
rekan kerja barunya dan berdiskusi sejenak dengan
Kepala Seksinya, dia memutuskan untuk ke ruang seksi
lain untuk bersilaturahmi. Ketika berkeliling, matanya
melihat ke papan nama ruangan yang terletak di ujung.
Fungsional Pemeriksa, tulisan yang terpampang di papan
nama itu. Dia agak ragu untuk masuk ke ruangan itu
karena selama ini biasanya fungsional dikenal sebagai
orang-orang yang jarang bergaul di kantor. Walaupun
demikian, dia memutuskan untuk masuk ke ruangan
dan memperkenalkan diri kepada para fungsional.
Perkenalannya hanya sebentar saja, karena dia harus segera
kembali ke ruang kerjanya dan memulai pekerjaan barunya.

Satu minggu setelahnya, saat makan siang...

261
Bonari sedang menunggu makanannya datang ketika
seseorang yang berseragam sama dengannya memasuki
rumah makan tersebut. Bonari segera mengenalinya sebagai

Kementerian Keuangan
Pak Rizaldi, salah satu ketua tim fungsional yang ada di
kantornya. Ketika Pak Rizaldi selesai memesan makanan
dan melihat sekeliling untuk mencari tempat duduk, dia
melihat ke arah Bonari dan berjalan ke arahnya.

“Halo, Bon, makan di sini juga?” Tanya Rizaldi

“Iya, Pak,” balas Bonari.

“Udah dari tadi kau di sini?”

“Baru sepuluh menitanlah, Pak.”

“Udah mesan, kau?”

“Udah, Pak, lagi nunggu ini.”

“Duduk sinilah aku ya, biar sambil ngobrol kita.”

“Silakan, Pak.”
Tidak berapa lama kemudian, datanglah pesanan mereka.
Mereka berdua pun segera memulai makan siang mereka.
Sambil makan, mereka melanjutkan perbincangan.

“Jadi gimana, Bon, enaknya jadi AR?”

“Ya, gitulah, Pak, agak susah juga jadi AR ini, apalagi kalau
ngomong sama Wajib Pajak. Taulah bapak kan, macam-
macam karakter Wajib Pajak ini. Dari yang gampang
dikonseling sampai yang bikin kepala awak sakit kalau
udah datang ke kantor.”
Karena Kita Garda

“Hahaha, namanya juga manusia, Bon, macamlah


karakternya itu, yang penting tenang aja, jangan bawa
emosi, nggak bagus itu kalau kita ngadapinnya pakai emosi.
Awak kan udah lumayan lama jadi fungsional, jadi udah
biasa sama yang begitu. Dulu kau di seksi mana sebelum
jadi AR?”
262

“Seksi Pengolahan Data dan Informasi, Pak”

“Oh, pantaslah, jarang kau ketemu Wajib Pajak, jadi masih


belum biasa kau. Tenang aja, makin lama nanti biasa kok.”

“Iya, Pak, semoga aja bisa.”

“Kerjaan rutinmu gimana, udah bisa kau?”

“Ya lagi belajarlah, Pak, kalau soal administrasi sih aku


udah lumayan paham, tapi kalau soal teknis pajak ini masih
banyak aku bingungnya.”

“Ya tanyalah kawan-kawanmu seseksi kalau bingung, atau


tanya atasanmu buat membimbing.”

“Udah sih, Pak, cuma karena masih baru masih belum


terlalu paham aja.”

“Ingat, kalau kita ngadapin Wajib Pajak, jangan sampai kita


nggak ngerti teknis yang lagi dibicarakan, nanti dia anggap
remeh kau, susah nanti, gampang kau disetirnya waktu
pembicaraan.”
“Iya, Pak.”

Selagi mereka berbicara, sebuah pemikiran terlintas di


kepala Bonari. Bukankah fungsional itu orang-orang yang
notabene sudah ahli dalam teknis perpajakan, karena
bidang pekerjaan mereka sebagai fungsional memerlukan
pengetahuan teknis perpajakan yang baik untuk membuat
suatu ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan mereka, yang
tentu saja harus memiliki dalil kuat agar dapat bertahan
seandainya mendapat gugatan dari Wajib Pajak. Kenapa
tidak belajar dari mereka juga tentang teknis perpajakan?

“ Pak, boleh aku minta tolong?”

“Apa itu, Bon?”

“Boleh aku kalau lagi nggak sibuk atau kalau ada hal
yang aku nggak ngerti, aku bisa ke ruangan Bapak untuk
konsultasi?

263
“Ya boleh ajalah, Bon, kenapa rupanya?”

“Nggak, Pak, aku cuman agak segan aja kalau masuk ke

Kementerian Keuangan
ruangan fungsional, takutnya ganggu kerjaan.”

“Alah, yang Kau pikirnya ruangan kami itu sarang singa?


Masuk aja Kau, nggak ada yang keberatan.”

“Okelah, Pak, nanti aku main ke sana ya.”

Setelah perbincangan dan makan siang mereka selesai,


mereka pun segera kembali ke kantor karena waktu
menunjukkan sudah hampir pukul 13.00 siang. Dan sejak
hari itu, hampir setiap hari Bonari datang ke ruangan
fungsional untuk berbincang dengan Pak Rizaldi ataupun
dengan fungsional lain untuk belajar dan berkonsultasi.
Setelah sering berbincang dengan para fungsional, Bonari
menyadari bahwa para fungsional bukanlah orang-orang
yang sulit bergaul. Mereka hanya jarang berkomunikasi
dengan pegawai lain karena pekerjaan mereka yang
memang membutuhkan fokus dan konsentrasi. Malahan
dia melihat para fungsional ini sebagai orang-orang
yang ramah dan senang bergurau. Dari seringnya dia
berkonsutasi dengan para fungsional, pengetahuannya
semakin bertambah dan dia pun semakin percaya diri
dalam menjalankan pekerjaannya.

10 Oktober 2010

“Bon, ada Wajib Pajak-mu yang lagi diperiksa?” Pertanyaan


itu diajukan oleh atasan Bonari ketika sedang berbincang
dengan Bonari.
Karena Kita Garda

“Kayaknya ada, Pak, saya cek dulu sebentar ya.”

Bonari segera membuka file tempat dia menaruh catatan


tentang Wajib Pajak yang ditanganinya. Dia meneliti daftar
tersebut untuk beberapa saat.

“Ada beberapa, Pak, ada yang udah diusulin pemeriksaan


264

dari waktu sebelum saya di sini, dan pemeriksaannya lagi


berjalan.”

“Coba Kau cek lagi ya, mungkin masih ada potensi yang bisa
digali selain dari pemeriksaan”

“Siap, Pak.” Sebelum mulai meneliti, Bonari memutuskan


untuk bertanya dahulu kepada pelaksana di Seksi
Pemeriksaan, untuk mengetahui fungsional mana yang
memeriksa Wajib Pajak yang menjadi pengawasannya.
Setelah menerima daftarnya dari pelaksana Seksi
Pemeriksaan, diapun segera menelitinya. Setelah meneliti
beberapa saat, perhatiannya tertuju pada salah satu nama
Wajib Pajak, PT Gunung Sawita, ketua tim pemeriksanya
Bapak Rizaldi. Maka diapun memutuskan untuk meneliti
Wajib Pajak ini, berhubung dia sudah sering berkonsultasi
dengan Pak Rizaldi dan merasa sudah cukup dekat, tentu
lebih memudahkan untuk meminta pendapat dari Pak
Rizaldi terkait Wajib Pajak tersebut. Tapi sebelumnya, dia
memutuskan untuk meneliti Wajib Pajak tersebut lebih
dahulu. Dan diapun segera membuka Sistem Informasi
Perpajakan Modifikasi (SIPMOD) untuk melihat profilnya.
Dari profil tersebut dia mendapat info bahwa PT Gunung
Sawita adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri
perkebunan, mereka mempunyai pabrik kelapa sawit,
tapi tidak memiliki kebun sawit sendiri, statusnya di KPP
Pratama Pematang Siantar adalah cabang perusahaan, tapi
kantor pusatnya yang berada di Medan hanya mengurusi
masalah administrasi perusahaan saja. Setelah melihat
profil tersebut, dia pun mulai bertanya-tanya potensi apa
yang bisa digali dari sini, mengingat pengetahuannya
tentang industri kelapa sawit masih minim. Setelah
berpikir beberapa saat, dia pun memutuskan untuk datang
ke Pak Rizaldi, dengan asumsi bahwa Pak Rizaldi mungkin
bisa memeberikan ide tentang potensi apa yang bisa digali.
Maka dia pun bergegas ke ruangan fungsional.

“Siang, Pak, lagi sibuk?” sapa Bonari ketika sampai di meja


Pak Rizaldi.

265
“Biasalah Bon, lagi bikin kertas kerja pemeriksaan.
Duduklah kau, ada apa?”

“Gini, Pak, PT Gunung Sawita Bapak yang meriksa kan?”

Kementerian Keuangan
“Oh iya, kenapa?”

“Aku mau nanya, kalau industri kayak gini potensinya apa


ya?”

“Oh, mungkin kau bisa tanya ke mereka tentang TBS kelapa


sawit yang mereka beli. Kalau perusahaan kayak begini
yang punya pabrik tapi nggak punya kebun, ‘kan mereka
belinya dari luar. Nah, nggak semua yang mereka beli
itu asalnya dari petani, tapi ada juga yang dari pedagang
pengumpul. Di situ ada potensi pajak sebab perusahaan
wajib memotong PPh Pasal 22 dari pedagang pengumpul
itu. Kalau PT Gunung Sawita ini, dari info yang kudapat,
salah satu pemasoknya itu koperasi. Nah, coba kau cek dulu
itu.”

“Oke, Pak, saya cek dulu ya, nanti aku ke sini lagi.”
Bonari pun kembali ke ruangannya dan membuka
kembali SIPMOD, membuka profil PT Gunung Sawita
dan mengecek data pembayaran dan pelaporan pajak
perusahaan tersebut, terutama PPh Pasal 22. Setelah
meneliti, ia menyadari bahwa perusahaan itu belum pernah
melakukan penyetoran PPh Pasal 22. Ketika dia sedang
berpikir untuk menghubungi perusahaan tersebut, tiba-tiba
telepon di ruang kerjanya berbunyi. Segera diangkatnya
telepon itu.

“Selamat siang, dengan Seksi Waskon Satu, bisa dibantu?”


Karena Kita Garda

“Selamat siang, Pak. Bisa bicara dengan Pak Bonari?”

“Iya saya sendiri, ini dengan siapa?” “Saya Herry, Pak, dari
PT Gunung Sawita.”

“Oh iya, ada apa, Pak?”


266

“Besok Bapak ada di kantor? Saya ingin ketemu dengan


Bapak, ada yang mau saya konsultasikan.”

“Oh, silakan, Pak. Mau datang jam berapa besok?”

“Mungkin habis makan siang, Pak”

“Baik, Pak, saya tunggu besok.”

“Terimakasih, Pak.” ‘Kebetulan sekali’ kata Bonari dalam


hati sambil menutup telepon.

11 Oktober 2010

Herry, pegawai PT Multi Agung yang ditunggu Bonari


tiba pada pukul 13.10, sedikit terlambat dari waktu yang
dijanjikan. Setelah memasuki ruangan dan menyapa
Bonari, dia mengeluarkan beberapa dokumen dari tas, dan
menyerahkannya kepada Bonari.

“Ini, Pak, SPT Masa PPh Pasal 21 , Pasal 23 dan Pasal 4 ayat
(2) perusahaan kami bulan September 2010, mohon dicek
dulu.”
“Oh, kenapa nggak langsung dilapor di TPT aja, Pak?”

“Udah biasa kok, Pak, dulu waktu sama AR yang lama, kami
selalu minta diteliti dulu sebelum dilapor di TPT.”

“Oh begitu. Ya sudah, saya lihat sebentar ya.”

Bonari meneliti dokumen-dokumen itu selama beberapa


menit, setelah itu menyerahkannya kembali kepada Herry.

“Oke, Pak, sudah lengkap semua.”

“Terima kasih, Pak. Saya langsung laporkan di TPT.”


“Sebentar, Pak. Sebelumnya saya mau tanya, apakah
perusahaan pernah memotong PPh Pasal 22?”

“Nggak pernah, Pak, kenapa ya?”

“Yang saya tahu, PT Multi Agung nggak punya kebun


sendiri, Biasanya perusahaan seperti itu beli TBS kelapa

267
sawitnya dari pedagang pengumpul atau sejenisnya. Kalau
perusahaan Bapak seperti itu juga, seharusnya perusahaan
memungut PPh Pasal 22 dari pedagang pengumpul.”

Kementerian Keuangan
“Oh, nggak, Pak. Kalau perusahaan kami belinya langsung
dari petani, nggak lewat pedagang, Pak.”

“Kalau memang beli dari petani langsung, bisa nggak


Bapak minta ke petaninya copy SPPT 105 kebun punya
mereka. Kalau memang mereka petani kelapa sawit, pasti
mereka punya copy SPPT-nya.”

“Wah, nggak bisa, Pak, susah mintanya ke mereka kalau


yang itu, pada nggak mau ngasih biasanya.”

“Oh, ya sudah kalau begitu. Terima kasih ya, Pak,


informasinya”

“Sama-sama, Pak. Saya permisi dulu ya, Pak, mau lapor ke


TPT dulu.”

“Silakan, Pak.”
Setelah pegawai itu berlalu, Bonari kembali berpikir kalau
PPh Pasal 22 tadi nggak bisa dijadiin potensi, apakah
masih memungkinkan ada potensi lain yang bisa digali.
Ia pun memutuskan untuk kembali ke Pak Rizaldi untuk
berkonsultasi lagi, dan bergegas ke ruangan fungsional.

“Cemana Bon, dapat dari PT Multi Agung?”

“Nggak, Pak, mereka bilang TBS-nya dibeli dari petani


langsung, jadi nggak mungut PPh Pasal 22.”

“Udah kau tanya tentang SPPT petani kelapa sawit tempat


Karena Kita Garda

mereka beli?”

“Udah, Pak. Mereka bilang nggak bisa minta SPPT ke


petani.”

“Oh, ya udah, nanti biar kita periksa aja itu.”


268

“Kira-kira ada potensi yang lain nggak ya, Pak?”

“Kalau PPN mungkin ada.”

“PPN apa, Pak?”

“Coba kauhitung lagi PPN Masukannya. Berapa yang sudah


mereka kreditkan?”

“Kayak gimana itu, Pak? Baru dengar aku.”

“Cobalah kaubaca KMK 575 tahun 2000. Di situ diatur


Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan
Terutang Pajak dan Penyerahan Tidak Terutang Pajak.
Intinya gini, Bon. Biasanya perusahaan sawit itu ada
penyerahan yang dibebaskan dari PPN. Kalau benar
ada, perusahaan nggak bisa dong ngreditin semua PPN
Masukkannya, makanya harus dihitung ulang. Coba kau
pelajari KMK itu.”

“Gitu ya, Pak. Oke deh, aku cari dulu KMK-nya.”

“Nggak usah, ini aku ada, kukirim aja ke email-mu ya.”


“Oh iya, makasih, Pak.” Bonari pun bergegas kembali ke
ruangannya dan membuka email untuk mengunduh KMK
yang dikirim oleh Pak Rizaldi.

Keesokan harinya, Bonari mulai melakukan analisis PPN


PT Gunung Sawita. Dibukanya aplikasi SIPMOD untuk
mengambil data Laporan SPT Masa PPN sejak tahun 2004.
Dia mulai membuat rekapitulasi semua Pajak Keluaran PT
Gunung Sawita. Ternyata memang benar, ada penyerahan
yang dibebaskan dari PPN. Sementara, Pajak Masukan
seluruhnya dikreditkan.

15 Oktober 2010

“Pak, ini ada surat imbauan pembetulan PT Gunung Sawita,


mohon diparaf!” Kata Bonari sembari menyerahkan Surat
Imbauan kepada Kepala Seksinya.

“Oh iya, Bon, untuk masa kapan aja imbauannya?”

269
“Januari sampai dengan Desember 2008, kecuali April, Pak.
Soalnya lagi diperiksa.”

Kementerian Keuangan
“Oh iya, berapa kira-kira potensinya?”

“Menurut hitungan saya sekitar 1 milyar, Pak.”

“Hmmm, bagus.”

Sore harinya surat imbauan tersebut sudah diantarkan


kembali ke meja Bonari dan sudah ditandatangani oleh
kepala Kantor. Bonari pun segera menelepon ke PT Gunung
Sawita.

“Selamat sore, dengan PT Gunung Sawita, bisa dibantu?”

“Selamat pagi Mbak, saya Bonari dari KPP Pratama


Pematang Siantar. Apakah saya bisa disambungkan dengan
pegawai yang mengurusi pajak di PT Multi Agung?”

“Ditunggu sebentar ya, Pak.”

Tak lama kemudian, suara seorang laki-laki menyapanya di


telepon.

“Halo, selamat pagi.”

“Selamat pagi, Pak. Saya bicara dengan Bapak siapa?”

“Saya Rudi, Pak.”

“Apakah Pak Rudi yang mengurusi pajak PT Gunung


Sawita?”

“Benar, Pak, ada apa?”


Karena Kita Garda

“Saya Bonari, AR KPP Pratama Pematang Siantar. Saya


yang bertanggung jawab mengawasi pajak perusahaan
Bapak. Saya mau menginformasikan imbauan terkait PPN?”

“Oh, masalahnya apa ya, Pak?”

“Terkait pengkreditan Pajak Masukan, Pak. Ada Pajak


270

Masukan yang seharusnya tidak boleh dikreditkan karena


terkait dengan penyerahan yang dibebaskan dari PPN.”

“Masa sih, Pak? Selama ini nggak pernah ada masalah


dengan PPN.”

“Ketentuannya sudah kami sebutkan di surat


pemberitahuannya, Pak. Hari ini akan kami kirim.”

“Lho, tapi selama ini itu nggak pernah dipermasalahkan,


Pak, kok sekarang jadi dipersoalkan?”

“Mungkin selama ini, AR sebelumnya belum sempat


meneliti PPN-nya, Pak, jadi belum diimbau.”

“Ya sudah deh, Pak, saya pelajari surat imbauan dari Bapak
dan saya diskusikan dulu dengan pimpinan saya.”

“Baik, Pak, silakan. Kalau begitu saya tunggu kabarnya ya,


Pak. Selamat pagi.”

“Iya, selamat pagi.”

Setelah menutup telepon, Bonari pun kembali ke mejanya


untuk mengirimkan surat imbauan melalui faksimile dan
ekspedisi pos.

30 Oktober 2010

Setelah meneliti daftar realisasi penerimaan, dia melihat


bahwa Wajib Pajak yang melakukan pembayaran itu
ternyata PT Gunung Sawita yang diimbaunya tempo
hari. Perasaan gembiranya bertambah karena Wajib
Pajaknya menepati janji dan usahanya menjadi tidak sia-
sia. Segera dia mendatangi ruang kepala seksinya untuk
memberitahukan kabar tersebut.

“Pak, di saya ada penerimaan masuk dari PT Gunung


Sawita yang kita imbau kemarin. Nilainya sekitar satu
milyar.”

“Oh, yang kemarin kau bikin itu ya? Kooperatif banget


Wajib Pajak-nya. Bagus juga caramu berkomunikasi dengan

271
WP.”

“Terima kasih, Pak. Mudah-mudahan bisa membantu

Kementerian Keuangan
realisasi penerimaan kantor. Apalagi sekarang sudah dekat
akhir tahun dan realisasi kita masih lumayan jauh dari
target. Ya sudah, Pak, saya balik ke meja dulu ya.”

“Oke, Bon, makasih ya.”

Sembari berjalan ke mejanya, Bonari berpikir dia juga harus


berterima kasih kepada Pak Rizaldi atas informasi yang
diberikannya. Setelah dia menyelesaikan pekerjaannya,
sebelum istirahat dia segera datang ke ruangan fungsional.

“Siang, Pak Rizaldi.”

“Kenapa, Bon. Kayaknya senang kali kau?”

“Ini, Pak, Wajib Pajak yang kemarin aku konsultasikan ke


Bapak masalah potensi PPN-nya itu, akhirnya dia bayar satu
milyar dari pembetulan SPT.”

“Oh baguslah, itu dari pembetulan masa kapan aja?”


“Januari sampai dengan Desember 2008, Pak. Kecuali April,
karena lagi diperiksa.”

“Apa kaubilang juga ke dia untuk betulin SPT tahun-tahun


sebelumnya?”

“Sudah, Pak. Kemarin aku memang bikin imbauannya


untuk tahun 2008 dulu. Yang lain masih mau kuteliti
ulang.”

“Baguslah kalau begitu.”


Karena Kita Garda

“Iya, Pak. Ngomong-ngomong, makasih ya, Pak, atas


konsultasi dan tambahan ilmunya. Kalau bukan karena
bapak mungkin nggak bakal ketahuan kalau ada potensi
kayak begini.”

“Nggak masalah, Bon, namanya juga kita rekan kerja, saling


bantu ‘kan biasa. Lagipula kau ‘kan memang mau belajar,
272

pasti adalah hasilnya kalau kita mau belajar.”

“Iya, Pak. Kalau gitu nggak masalah ‘kan kalau saya tetap
sering konsultasi ke sini?”

“Ya nggak masalahlah, macam betul aja kau pakai nanya


begitu.”

“Hahaha, makasih, Pak.”

“Sama-sama, Bon.”

Bonari berpikir bahwa dia begitu beruntung bisa belajar


dari seorang fungsional pemeriksa. Pengalaman mereka
melakukan pemeriksaan telah memperkaya pengetahuan
mereka. Tidak tepat rasanya jika dia masih berpikir bahwa
pemeriksa pajak itu orang-orang yang jarang bergaul. Kini
pikirannya terbuka dan suasana hatinya menjadi lebih baik.
Belajar Menjadi
Pemenang

Oleh:
Lenni Ika Wahyudiasti,
Pegawai DJBC

“Ada yang tahu perbedaan antara seorang winner dan loser?”

273
Suara pengajar Workshop Service Level Agreement (SLA) yang
saya ikuti di Pusdiklat Bea dan Cukai siang ini mengejutkan
kami, para peserta yang tengah berusaha melawan serangan

Kementerian Keuangan
kantuk di ‘jam-jam rawan’ begini. Hening. Tak seorang pun
berkomentar. Serbuan sang kantuk yang tadi menggila pun
mendadak buyar.

Lantaran tak ada yang menjawab, akhirnya sang pengajar


kembali berujar, “Perbedaannya adalah ketika menghadapi
suatu kesalahan, seorang winner siap mengakui kesalahan
atau bersedia menanggung kesalahan, sedangkan
seorang loser akan selalu mencari orang lain yang bisa
dipersalahkan.”

Uuups, begitukah?

Mendadak saya teringat peristiwa beberapa bulan


sebelumnya. Sebuah momen saat saya terlibat dalam ‘insiden
kecil’ menjelang penilaian Lomba Kantor Pelayanan
Percontohan Tingkat Kementerian Keuangan Tahun 2011
di KPPBC TMP Juanda.
Adakah saya telah memilih menjadi seorang ‘winner’ saat
itu?

***

Hari itu adalah momen mendebarkan buat kami, para


pegawai KPPBC TMP Juanda. Ya, kantor kami menjadi
wakil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)
dalam Lomba Kantor Pelayanan Percontohan Tingkat
Kementerian Keuangan Tahun 2011. Sedari pagi seluruh
pegawai telah berbenah dan siap menantikan kehadiran tim
Karena Kita Garda

penilai yang dijadwalkan tiba pada pukul sembilan pagi.

Berminggu-minggu kami mempersiapkan diri menyambut


momen penting ini. Pembentukan tim kerja, pembenahan
sarana dan prasarana kantor, internalisasi ke seluruh
pegawai hingga penyiapan presentasi kepala kantor pada
acara puncak penilaian yang akan dihadiri oleh perwakilan
274

pengguna jasa serta instansi terkait di sekitar KPPBC


TMP Juanda telah kami lakukan berdasarkan arahan Tim
Asistensi dari Bagian Organisasi dan Tatalaksana (OTL)
Kantor Pusat DJBC.

Seorang rekan tergopoh-gopoh mendatangi saya yang


tengah memeriksa persiapan rekan-rekan di sisi kanan
gedung kantor pagi itu.

“Ada apa, Cha?”

“Itu, Mbak,” sahut Icha panik. “Pak Santoso (nama samaran)


kok dateng? Dia ‘kan nggak kita undang? Gimana kalau dia
bikin heboh pas acara penilaian nanti dengan testimoni
miringnya?”

What?!

Belum habis keterkejutan saya atas berita yang dibawa Icha,


mendadak sebuah pesan masuk ke ponsel saya. Dari kepala
kantor.

“Mbak, barusan Pak Santoso SMS marah-marah ke saya.


Protes karena merasa nggak diundang untuk hadir di acara
penting hari ini. Dia juga pingin kasih testimoni katanya.
Tolong ditangani ya.”

Waduh!

Buru-buru saya menuju aula kantor, tempat puncak acara


penilaian akan diadakan. Dari ujung lorong terlihat Pak
Santoso, salah seorang pengurus asosiasi pengguna jasa
yang sering berurusan dengan kami, tengah berdebat serius
dengan panitia penerima tamu.

“Mbak Ika, gimana nih? Pak Santoso marah nggak kita


undang,” bisik Bu Wayan yang bertugas menerima tamu.

“Biar saya coba redakan kemarahannya, Bu. Tolong siapkan


aja goody bag untuk Beliau,” jawab saya tak kalah pelan.

Sejurus kemudian saya hampiri dan sapa lelaki separuh baya

275
itu, “Selamat pagi, Pak San. Apa kabar?”

“Pagi, Mbak,” tukasnya cepat. “Iki piye to? KPPBC Juanda


nggelar acara sepenting ini, kok bisa-bisanya saya nggak

Kementerian Keuangan
diundang?” Lanjutnya dengan nada tinggi. “Apa saya nggak
dianggep ada, sehingga nggak dikasih kesempatan untuk
ngasih testimoni di acara penilaian nanti?”

Saya tetap berusaha tenang ketika menanggapi protes


kerasnya, “Maafkan saya, Pak. Memang saya yang salah.
Saya kelupaan mengundang Bapak.”

“Saya udah SMS kepala kantor tadi, Mbak. Beliau saya


protes karena nggak mengundang saya di acara ini,”
murkanya lagi.

“Bukan kepala kantor yang salah, Pak. Saya yang khilaf.


Saking banyaknya agenda yang harus saya tangani, nama
Pak San jadi terlewat nggak dikirimi undangan,” dalih saya
mencoba menenangkannya. Seram juga melihatnya marah-
marah pagi-pagi begini. But, the show must go on! Saya harus
bisa menenangkannya. “Kalau Pak San mau marah, sayalah
orang yang paling pantas Bapak marahi. Bukan yang
lain. Sebab, sayalah yang mendapat amanah membagikan
undangan. Monggo, kalau njenengan mau protes berat ke
saya sekarang,” lanjut saya lagi.

“Wis-wis, Mbak. Saya maafkan kejadian ini,” ujar Pak


Santoso akhirnya. “Tapi, lain kali jangan sampai terulang
lagi kejadian kayak gini ya?” Pintanya lagi.

“Siap, Pak,” sahut saya cepat. ”Sekali lagi, maafkan kami ya?”

Sekilas saya lihat Pak Santoso mengangguk dan segera


Karena Kita Garda

memasuki aula sambil menenteng goody bag cantik berisi


suvenir cantik, buku profil kantor, janji layanan, kode etik,
serta dua buku saku tanya-jawab masalah kepabeanan dan
cukai dari kami. Alhamdulillaah, semoga kemarahannya
segera menguap, batin saya sambil merapal doa.

Saya tak lagi memperhatikannya karena setelah itu kami


276

segera bersiap menyambut kedatangan tim juri. Sesuatu


yang tak terduga terjadi saat tiba sesi testimoni untuk
kantor kami dari para pengguna jasa yang hadir.

“Para juri yang terhormat, izinkan saya memberikan


testimoni pertama untuk kantor ini….”

Deg. Itu suara Pak Santoso!

Saya tercekat. Jantung saya berdebar tak keruan menantikan


kelanjutan kalimatnya. Adakah ia akan memberikan
testimoni yang menjatuhkan kami?

“Semula saya sempat pesimis, Kantor Bea Cukai Juanda


akan berubah dan mutu pelayanannya membaik ketika
ditetapkan menjadi kantor madya tahun lalu. Saya sempat
ragu, benarkah Bea Cukai bisa berubah menjadi lebih
baik? Namun, seiring dengan perjalanan waktu, ternyata
apa yang dilakukan oleh kepala kantor dan segenap
jajarannya benar-benar mengubah persepsi saya tentang
kantor ini dan DJBC pada umumnya. Dengan kerja keras
serta sejumlah kreativitas dan inovasi yang dilakukan,
KPPBC Juanda ternyata sanggup membuktikan, mampu
berubah menjadi lebih baik dan memberikan pelayanan
yang memuaskan pengguna jasa dan masyarakat. Saya
setuju sekali bila kantor ini memilih motto SMART (Siap
Melayani Anda dengan Responsif dan Transparan), sebab
memang demikian yang diupayakan oleh seluruh pegawai.
Untuk itulah, pada kesempatan ini saya sampaikan apresiasi
setinggi-tingginya untuk seluruh pejabat dan pegawai
KPPBC Juanda yang telah memberikan pelayanan luar biasa
kepada kami. Semoga kualitas pelayanan yang diberikan
dapat terus dipertahankan dan ditingkatkan. Bravo Bea
Cukai Juanda!”

Hati saya meleleh mendengarnya. Tak pernah terlintas


sedikit pun di benak saya bahwa Pak Santoso—orang yang
selama ini kami anggap amat vokal dan kami prediksi bakal
memberikan testimoni miring lantaran hobi protesnya
dalam setiap kesempatan berinteraksi dengan kami—akan

277
memberikan testimoni luar biasa untuk kami. Orang yang
selama ini kami khawatirkan akan ‘merusak’ acara kami,
justru ‘menolong’ kami dengan testimoni terbaiknya!

Kementerian Keuangan
Jangan Menilai Buku dari Sampulnya!

Rasa-rasanya benar pepatah Barat yang berujar ‘Don’t judge a


book by its cover!’. Jangan menilai buku dari sampulnya! Kita
tak boleh menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya.
Ada banyak hal yang harus kita ketahui dan kenali dari
seseorang sebelum kita memberikan penilaian tentangnya.

Kuncinya adalah ‘berprasangka baik’. Saya yakin, apapun


agama yang kita anut, pasti mengajarkan kepada kita agar
senantiasa berprasangka baik kepada siapapun. Tak heran
bila dalam ilmu hukum pun dikenal asas praduga tak
bersalah sebagai perwujudan dari ajaran ‘berprasangka
baik’ kepada orang lain, bahkan kepada seorang yang
didakwa melanggar hukum sekalipun!

Lalu, bagaimana dengan nilai moral ‘berprasangka baik’ di


institusi kita?
Nilai moral yang satu ini ternyata dijabarkan pula dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 312/KMK.01/2011
tentang Nilai-Nilai Kementerian Keuangan. Dalam
keputusan tanggal 12 September 2011 tersebut disebutkan
bahwa memiliki sangka baik, saling percaya, dan
menghormati merupakan perilaku utama nilai SINERGI,
nilai ketiga dari lima nilai moral yang dijunjung tinggi
Kementerian Keuangan.

Hal ini menunjukkan bahwa perilaku ‘berprasangka


baik’ memang ‘wajib ada’ di setiap sendi kehidupan. Tak
Karena Kita Garda

terkecuali di Kementerian Keuangan. Sebagai pegawai


DJBC yang notabene bagian dari Kementerian Keuangan,
kita dituntut untuk senantiasa berprasangka baik kepada
semua pihak, tanpa mengabaikan pengawasan dan
kewaspadaan. Dengan memiliki persangkaan baik, kita
tidak akan menilai seseorang hanya dari penampilan
278

luarnya. Artinya, siapapun yang datang dan membutuhkan


pelayanan kita—tidak peduli apakah dia rapi ataupun belum
mandi—akan kita layani dengan pelayanan terbaik yang bisa
kita berikan.

Namun, hal sebaliknya berlaku ketika kita melayani


masyarakat. Kita tak boleh memberlakukan prinsip
‘Don’t judge a book by its cover!’ kepada mereka yang tengah
berinteraksi dengan kita. Artinya, kita tidak bisa memaksa
orang lain untuk mengabaikan penampilan kita ketika
mereka berhadapan dengan kita. Oleh karena itu, kita
wajib menciptakan kesan baik saat mereka berinteraksi
dengan kita untuk pertama kalinya. Kita harus benar-
benar memperhatikan penampilan saat melayani pengguna
jasa. Perhatikan kebersihan diri dan pakaian, kerapian
meja dan ruang kerja, pun cara berkomunikasi kita saat
menyampaikan penjelasan!

Mengapa?

Sebab, penampilan yang bersih dan rapi akan mengundang


persepsi baik dari pengguna jasa. Berkomunikasi dengan
sikap assertive akan membuat nyaman pemangku
kepentingan yang menemui kita. Sikap hangat dan responsif
akan memberikan nilai plus pelayanan kita yang berdampak
pada perbaikan citra institusi secara keseluruhan.

Demikian halnya dengan insiden ‘tak diundangnya Pak


Santoso yang terkenal vokal’ dalam momen penting KPPBC
Juanda tadi. Bisa jadi keputusan tak mengundangnya
tersebut adalah langkah keliru. Sebuah keputusan yang
berawal dari ketakutan kami menerima ‘kritikan pedas’
yang dikhawatirkan menjatuhkan perolehan nilai kami dari
tim juri. Sebuah kebijakan yang bermula dari keengganan
untuk menerima ‘masukan’ dari orang yang kami vonis
sebagai orang yang amat vokal dan acapkali mengundang
perdebatan.

Adalah keliru bila kita tak berani menerima kritik dan


saran. Adalah hal merugikan bila kita tak mau berbesar
hati menampung masukan. Kita butuh bersinergi

279
dengan siapapun menuju kesempurnaan kinerja. Segala
bentuk saran dan kritikan amat dibutuhkan DJBC untuk
menjadikan institusi ini terkemuka sebagaimana visi

Kementerian Keuangan
yang telah digadang-gadang. Karenanya, selain integritas
dan profesionalisme, SINERGI menjadi salah satu kunci
pencapaian visi. Bagi saya, bersinergi sama artinya
dengan suatu ‘border management’ yang bukan hanya bisa
diterjemahkan sebagai pengelolaan perbatasan, tetapi juga
sebagai seni mengelola segala bentuk batas/sekat yang ada,
termasuk friksi dengan para pengguna jasa. Bukankah
selain dijabarkan sebagai membangun dan memastikan
hubungan kerja sama internal yang produktif, SINERGI
juga diartikan sebagai membangun dan memastikan
kemitraan yang harmonis dengan para pemangku
kepentingan?

Menjadi Pemenang atau Pecundang?

Di awal tulisan ini, telah saya sampaikan bahwa seorang


pemenang (winner) adalah orang yang siap mengakui
kesalahan yang terjadi, sedangkan seorang pecundang (loser)
akan selalu mencari ‘kambing hitam’. Dalam insiden kecil di
atas, saya memang berupaya menyelesaikan masalah dengan
‘pasang badan’ sebagai orang yang patut dipersalahkan.
Saya sodorkan diri sebagai sasaran kemarahan Pak
Santoso dengan mengakui bahwa sayalah penyebab
ketidaknyamanan yang ia terima. Padahal bila diusut-usut,
sejatinya saya tak salah bila tak mengundang Pak Santoso,
karena hasil rapat panitia memang memutuskan ia tak
diundang pada hari ‘H’. Pak Santoso pun tak bisa dibilang
keliru, karena kenekatannya hadir justru bermula dari niat
tulusnya untuk memberikan testimoni terbaik bagi KPPBC
Juanda yang sayangnya tak terpikir oleh kami lantaran
Karena Kita Garda

kami terlanjur ‘tak berbaik sangka’ kepadanya. Barangkali


satu-satunya ‘hal keliru’ hanyalah panitia sama sekali tak
memperhitungkan kenekatan Pak Santoso hadir di hari ‘H’.
Cuma itu.

Maka, bila kemudian saya berinisiatif ‘mengaku salah’,


280

niat saya hanyalah mencari solusi agar Pak Santoso tak


‘mengamuk’ lagi. Mencari jawab agar kekecewaan pria
berkacamata itu terobati sekaligus memperbaiki hubungan
kami—KPPBC TMP Juanda—dengan pihak asosiasi yang
digawanginya. Bagaimanapun caranya!

Alhamdulillah, ternyata langkah solutif itu bisa pula


disebut sebagai implementasi nilai PELAYANAN yang
tercermin dalam dua perilaku utamanya, yaitu ‘melayani
dengan berorientasi pada kepuasan pemangku kepentingan’
serta ‘bersikap proaktif dan cepat tanggap’. Sikap ‘pasang
badan’ yang saya lakukan ternyata dapat dikategorikan
sebagai sikap proaktif dan cepat tanggap menghadapi
komplain pengguna jasa. Pun tergolong sebagai bentuk
respons yang berorientasi pada kepuasan pemangku
kepentingan. Bukankah dengan ‘mengakui kesalahan tak
mengundang’ Pak Santoso kemudian mempersilakannya
hadir dan bertestimoni sesuai harapannya, sama artinya
dengan melayani Pak Santoso hingga terpuaskan keinginan
bertestimoninya?

Belajar bersikap menjadi seorang pemenang melalui respons


cepat tanggap tadi ternyata berbuah manis. Tanpa diduga,
lelaki separuh baya itu kemudian memberikan apresiasi luar
biasa untuk kinerja KPPBC Juanda. Adakah yang pernah
mengira testimoni melegakan itu bakal terlontar dari
pengurus asosiasi nan vokal sepertinya?

***

Kenangan tentang ‘insiden kecil’ itu plus materi workshop


SLA yang saya terima siang ini menyadarkan saya bahwa
peran sebagai pemenang atau pecundang adalah pilihan.
Dan bersikap kstaria mengakui kesalahan —termasuk
kelalaian yang tak diperbuat— hanyalah sebagian kecil
dari kriteria seorang pemenang. Masih banyak kriteria
pemenang yang dijabarkan oleh pengajar workshop siang ini.

Kantuk saya sudah sedari tadi pergi tanpa permisi. Kembali


saya seriusi ulasan sang pemateri. Seorang pemenang

281
bisa melihat jawaban di setiap masalah yang dihadapi,
sedangkan pecundang hanya melihat masalah dalam
setiap jawaban yang tersaji. Seorang pemenang akan
melihat manfaat dari sebuah proses perubahan, sementara

Kementerian Keuangan
si pecundang hanya akan melihat sisi yang sakit dan
melelahkan!

Waktu terus melaju dan sejarah pun siap mencatat para


pembaharu. Akan ada ketidaknyamanan ketika kita
menjatuhkan pilihan menjadi seorang pemenang, bukan
pecundang. Namun, bila kita enggan keluar dari zona
nyaman, akankah kita tetap bersikukuh tak melakukan
perubahan? Takkan ada kenyamanan di zona tumbuh dan
tak ada pertumbuhan di zona nyaman. Karenanya, mari
belajar menjadi seorang pemenang dalam proses perubahan
kebaikan institusi kita dan jangan pernah izinkan sejarah
mencatat kita sebagai seorang pecundang!

Selamat berjuang menjadi seorang pemenang! Kita bisa!


Yes, Sir, I’m Casman ,
Member of Cast

Oleh:
Casman,
Pegawai DJBC
Karena Kita Garda

Mutasi dan promosi adalah kata ajaib yang selalu mampu


282

menggoncangkan stabilitas hati setiap pegawai Bea


dan Cukai, menghancurkan setiap rencana yang sudah
tersusun, menguras setiap rupiah yang sudah dikumpulkan
sedikit demi sedikit, dan tentunya memisahkan jarak
dengan orang-orang yang kita cintai. Minimal itulah
yang terlintas dalam pikiran sebagian besar pegawai Bea
dan Cukai termasuk aku, seorang pegawai Bea dan Cukai
yang harus meninggalkan kantor lamaku di Jakarta,
KPU Bea dan Cukai Tanjung Priok, menuju ke KPPBC
TMP B Tanjungpinang. KPPBC yang menjadi kantor
baruku, tempat di mana aku harus mengabdikan diriku
sebagai seorang Kepala Subseksi Kepatuhan Pelaksanaan
Tugas Pelayanan dan Administrasi. Hmm. Nama jabatan
terpanjang yang pernah kutemui.

Di Tanjungpinang aku hidup sendiri. Hidup sebagai


Bulok alias Bujangan Lokal harus kujalani karena proses
perpindahan sekolah ketiga anakku yang masih duduk di
bangku SD mengalami sedikit masalah sehingga akhirnya
mereka bertiga harus tetap bersekolah di Jakarta bersama
sang bunda. Di sini aku mencoba bersinergi dengan para
‘buloker’ lainnya dengan mengembangkan bermacam hobi
dan beraneka kegiatan. Kami pun mencoba mengisi waktu
yang terus bergulir tanpa henti. Tetapi hal itu tak bisa
membuatku mengisi kekosongan hari-hariku dan hatiku.
Semua kegiatan yang dilakukan teman-teman ‘buloker’
lain menurutku hanya membuang waktu tanpa manfaat
yang jelas, kegiatan yang menurutku dilakukan hanya
untuk mengusir kegundahan yang terjadi sambil menunggu
hadirnya UP.9 selanjutnya.

Terjun bebas. Itulah yang terjadi pada semangatku yang


setiap waktu semakin berkurang seperti berkurangnya
trombosit pada penderita demam berdarah. Drop, drop,
and drop. Kekecewaan dan amarah yang tumbuh dalam
kondisi itu menjadikan diriku sebagai seorang reaktor yang
setiap langkah dan kinerjanya sangat diperngaruhi oleh
lingkungan. Pada saat lingkungan bergerak lamban dan
tidak mau memperbaiki dirinya maka begitulah aku adanya.

283
Eits tunggu… Itu dulu!

Dimulai dengan menjalankan tugas pendataan kompetensi


pegawai secara menyeluruh ke setiap sudut wilayah di pulau

Kementerian Keuangan
Bintan ini dan bertemu dengan semua pegawai Bea dan
Cukai di Kantor Tanjungpinang ini, kutemukan titik terang
bahwa aku bisa melakukan sesuatu yang baik di sini. Aku
bisa bermanfaat, dan yang pasti aku pun mulai merasakan
bahwa kepergianku ke Tanjungpinang ini adalah karena
aku orang yang terpilih, bukan terbuang. Jadi, aku harus
memiliki semangat dan kinerja tinggi seperti harapan
instansiku.

Aku melihat bahwa di tempat baruku ini, yang sebagian


besar didominasi para senior, banyak kompetensi dan
pengetahuan yang bisa aku sharing. Sesuatu yang dianggap
biasa saja di kantor lamaku, menjadi lebih berguna di sini
karena aku berbagi dengan teman-teman yang memang
membutuhkannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Aku bertekad akan menerapkan semangat, pengetahuan,
cara kerja, dan semua kebaikan yang pernah kudapatkan
dari ‘Pesantren KPU Tanjung Priok’ di tempat ini. Dengan
nada bergurau, sambil tersenyum aku pun berkata, “Kalau
aku tidak bisa pindah ke Priok, maka Priok yang akan aku
pindahkan ke sini.” Dan secara riil banyak kegiatanku
nantinya adalah hasil copy-paste dari kegiatan-kegiatan yang
pernah kuikuti di KPU Tanjung Priok, tetapi belum pernah
diadakan di sini.

Alhamdulillah. Semangatku telah kembali. Kembali


berusaha menjadi lebih baik seperti motto yang selalu
kuucapkan, “Trying to be better. Always.” Aku mulai
memfokuskan diri pada dua hal yaitu peningkatan
Karena Kita Garda

kompetensi para pegawai di kantor ini dan membantu


hal-hal yang diperlukan dalam rangka perubahan
menjadi kantor madya. Atau, dengan kata lain membantu
memantaskan kantor ini menjadi kantor madya dengan
segala tuntutan dan perubahannya.

Aku sadar bahwa kemampuanku sangat terbatas, tetapi


284

aku berusaha agar semangatku tidak terbatas. Kemampuan


dan pengalaman yang kumiliki pun sedikit, tidak
sehebat teman-teman dan seniorku yang lain, tetapi aku
bertekad untuk berbagi ilmu yang sedikit ini dengan
yang lain, agar sesuatu yang sedikit bisa menjadi lebih
bermakna. Bukankah air dan makanan yang sedikit itu
lebih terasa nikmatnya bila kita berbagi dengan orang
yang membutuhkan, dibandingkan dengan makanan dan
minuman yang hanya terdiam di sebuah lemari etalase yang
indah?

Alhamdulillah aku memiliki atasan dan kepala kantor yang


memberi dukungan penuh atas implementasi ide-ide yang
ada di otakku. Bahkan, mereka akan memberi bantuan yang
dibutuhkan dalam pelaksanaannya agar setiap kegiatan
dapat berjalan lancar dan efektif. Satu pesan penuh makna
yang selalu kuingat dari kepala kantorku adalah kalimat
”Bekerjalah di atas rata-rata!”. Tak pelak, pesan inilah yang
terus kubawa dalam setiap langkahku untuk selalu menjadi
lebih baik dan bekerja di atas rata-rata. Aku pun mulai
mencoba tampil dalam kegiatan-kegiatan internal dari
posisi sebagai MC sampai menjadi presenter.

Dalam setiap kegiatan yang akan kulaksanakan, otomatis


selalu terbersit dalam pikirku sebelumnya, apa yang
membuat kegiatan ini bisa menjadi suatu kegiatan yang di
atas rata-rata atau spesial dari yang biasa ada di sini. Sebagai
contoh, dalam presentasi yang umum digunakan di kantor
ini adalah presentasi dengan powerpoint. Aku mulai berpikir
apa yang digunakan untuk presentasi selain powerpoint?
Setelah beberapa waktu aku mencari dan mempelajarinya,
aku memperkenalkan suatu program presentasi yang lain
yaitu PREZI dengan multimedia berupa video dan foto
sebagai bumbunya. Video dan foto yang juga diusahakan
belum pernah diperlihatkan di sini, biasanya video dan
foto motivasi yang lucu dan bagus. Mungkin program ini
sesuatu yang sudah biasa di kantor-kantor besar lain, tapi di
sini hal itu cukup unik. Setelah kugunakan maka program

285
tersebut aku bagi dengan pegawai lain yang berminat
mempelajarinya.

Setelah melewati beberapa kegiatan, kulihat mulai tampak

Kementerian Keuangan
semangat dan apresiasi yang besar dari para pegawai untuk
sesuatu yang baru, unik dan lebih baik di kantor ini. Aku
pun berpikir untuk memberi pelayanan yang lebih ke para
pegawai dan berbagi sesuatu hal yang lebih lagi. Dengan
kemampuanku saat ini kusadari betul bahwa aku tidak bisa
sendiri melakukannya. Aku harus punya teman yang seide
dan sevisi yang mau bersama-sama membangun kantor ini
lebih baik dari sisi kompetensi dan motivasi.

Aku pun mulai mencari teman seperjuangan, hingga


akhirnya kutemukan tiga orang pemuda yang memiliki
semangat besar untuk maju. Tidak hanya bersemangat
ingin belajar banyak ilmu dan keahlian, tetapi mereka juga
memilki semangat yang tinggi untuk berbagi ilmu dan
pengetahuan. Mereka adalah ADI (Agung, Dovan, dan
Iedfi). Akhirnya kami pun bersepakat untuk membuat
suatu forum yang berfungsi sebagai wadah saling berbagi
pengetahuan dan keahlian antarpegawai Bea dan Cukai di
Tanjungpinang.

Setelah proses pencarian dan pembahasan bahkan lelang di


beberapa Grup WA dan BB, disepakati nama tim ini adalah
Customs Ability Sharing Team atau disingkat menjadi CAST.
Aku ditunjuk sebagai koordnator utama tim, Agung sebagai
koordinator bidang IT, Dovan koordinator di bidang
bahasa, dan Iedfi sebagai koordinator bidang multimedia.
Walaupun sudah terbentuk beberapa koordinator, secara
kerja kami tetap terus berkolaborasi agar hasil yang dicapai
maksimal. Dan seiring waktu kami mendapat semangat
Karena Kita Garda

baru dengan bergabungnya adik-adik baru yang masih On


the Job Training dengan beragam keahlian mereka.

Kesibukan mulai menjalar dalam kehidupanku, tapi


semangatku tak akan surut. Status ‘bulok’ yang dulu
memperberat hidupku, mulai kunikmati karena aku bisa
mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Kesibukan
286

juga yang membuatku memilih tinggal di salah satu


ruangan kantor agar dapat dengan mudah menyelesaikan
tugas-tugasku di malam hari dan mempersiapkan hal-hal
yang berkaitan dengan tim. Aku tetap bersemangat dan
harus terlihat selalu bersemangat karena aku harus menjaga
semangat anggota timku.

Untuk menjaga semangat mereka, aku selalu berpesan


bahwa semua kegiatan yang kita lakukan, tolak ukurnya
bukan berapa banyak peserta yang hadir, tetapi berapa
banyak pengetahuan yang kita dan pegawai lain dapat
setelah kegiatan itu berakhir. Jadi, apabila ada suatu
kegiatan dan hanya kita berempat saja yang hadir
itu bukan suatu kegagalan, selama kita sendiri dapat
mengambil manfaat yang maksimal dari kegiatan tersebut.
Alhamdulillah mereka memahami hal itu dan kian
bersemangat menjalaninya.

Pada saat perkenalan tim, aku minta ADI untuk


mempresentasikan bidangnya masing-masing. Dan wow!
Mereka dapat dengan lugas mempresentasikannya di
depan para pegawai yang notabene lebih senior, pangkat
dan jabatan lebih tinggi dan kemampuan yang lebih hebat!
Hal itu mendapat apresiasi langsung dari Kepala Seksi
PLI yang dengan tegas menyatakan kekagumannya dan
segera berencana membuat suatu kegiatan yang ‘memaksa’
setiap pegawai untuk berani berbicara di depan umum
dan menyampaikan presentasi. Prinsipnya, kalau ‘anak-
anak kecil’ ini saja bisa seperti itu, pasti yang lain juga
bisa. Kulihat guratan semangat tergores jelas di wajah
para pegawai yang hadir saat itu, semangat untuk maju,
berkembang dan menjadi lebih baik lagi.

Bravo, guys!

Saat yang ditunggu pun tiba yaitu acara pertama mereka.


Bidang bahasa membuat kegiatan perkenalan dalam
bahasa Inggris yang diberi nama “Let’s Speak Up”. Mereka
terlihat agak gelisah dan khawatir akan jumlah pegawai
yang mau menghadiri acara ini lantaran meski waktu

287
yang dijadwalkan telah lewat dari rencana, belum satu pun
pegawai yang datang. Kembali kuingatkan mereka bahwa
walaupun kami berempat, kami ‘kan tetap bergerak dengan

Kementerian Keuangan
semangat yang sama.

Akhirnya tanpa kami duga, 20 kursi yang kami persiapkan


dalam formasi lingkaran kecil tidak hanya terisi penuh,
tetapi kami pun harus menambah 12 kursi lagi sehingga
menjadi lingkaran besar. Tampak begitu antusiasnya para
peserta untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Apresiasi datang dari semua peserta terutama dari kepala
kantor. Beliau berharap bahwa kegiatan seperti ini dapat
diadakan secara rutin. Semua senang. Kami bahkan lebih
senang lagi karena wajah-wajah bersemangat para pegawai
membuat semangat kami kian bertambah.

Minggu selanjutnya giliran bidang IT yang membuat


pelatihan mengenai beragam hal yang berhubungan dengan
email dan sosial media. Peserta yang hadir tidak banyak.
Hanya sekitar 15 orang. Menarikya, peserta dari pegawai
kebanyakan justru ibu-ibu yang berumur di atas 50 tahun
penuh semangat. Mereka pun tersenyum lebar ketika
selesai dan akhirnya mampu membuat email dan sosial
media. Pengetahuan yang mungkin dianggap kecil, namun
amat bermanfaat bagi orang yang tepat. Adapun kegiatan
tim multimedia berupa lomba fotografi kami tunda karena
baru akan kami laksanakan pada saat peringatan Hari Anti
Korupsi Sedunia.

Setelah kegiatan berjalan lancar, kami berempat mulai


dipercaya untuk membantu kegiatan-kegiatan resmi
internal kantor. Melalui sinergi dengan unit PLI, kami pun
mulai membuat sesuatu yang lebih besar. Kami menggagas
Karena Kita Garda

dan mengemas acara “Motivation Day” dengan format baru.


Kami pun membuat rangkaian acara Peringatan Hari Anti
Korupsi Sedunia, mulai dari pembuatan banner, beraneka
lomba, seperti Customs Tanjungpinang Idol, Customs
Tanjungpinang Standup Comedy, Lomba Foto dan Lomba
Pembuatan Banner. Rangkaian acara tersebut kami tutup
288

dengan agenda bertajuk “Kedai Anti Korupsi”. Sesuatu yang


berbeda yang belum pernah ada di sini.

Akhir tahun 2013 tim pun membantu menyelenggarakan


acara coffee morning bertema “Refleksi Akhir Tahun
KPPBC Tipe Madya Pabean B Tanjungpinang”. Dalam
kegiatan-kegiatan tersebut kami mencoba menayangkan
video yang kami buat sendiri dengan program Adobe
Premiere Pro yang saat itu belum mahir kami lakukan dan
belum kami miliki pula programnya. Namun demikian,
dengan penuh semangat, kami coba menyelesaikannya
bersama-sama dalam waktu dua hari. Mungkin hasilnya
bukan yang terbaik atau seperti video bikinan tim
profesional, tetapi minimal kami sudah melakukan sebuahn
langkah maju kendati baru selangkah.

Banyak yang kami dapat dari rangkaian kegiatan yang


kami lakukan bersama. Ilmu pengetahuan, keterampilan,
keahlian, kebersamaan, senyuman, kesabaran dan
tentunya semangat yang selalu terjaga. Di sini aku belajar
bahwa sesuatu yang kecil itu tidak selalu kecil bila kita
berikan pada orang yang tepat. Aku yakin bahwa setiap
orang pasti punya kelebihan yang bisa diberikan ke
orang lain. Tergantung bagaimana orang tersebut mau
menggunakannya. Di sini aku banyak belajar. Belajar untuk
bersyukur, belajar untuk menerima dan diterima, belajar
untuk melakukan yang terbaik dari waktu ke waktu, belajar
bertahan dan belajar untuk memulai bergerak.

Aku akan terus menjaga agar semangat yang sudah


benderang tidak lagi padam, kekompakan, dan kebersamaan
akan terus melekat, kompetensi dan kemampuan maju
terus ke depan, dan sikap terbaik ‘kan selalu merapat pada
kebenaran. Hanya itulah yang bisa dan akan kulakukan.
Hanya itulah yang ku punya dan ‘kan kuberikan. Semua itu
karena aku mencintai negara ini, aku mencintai instansiku,
aku mencintai kantorku, aku mencintai teman-temanku
dan aku bertanggung jawab atas cintaku pada mereka.
Aku dan timku akan terus bergerak mewujudkannya.

289
Aku bangga bekerja bersama anggota timku ini. Dan akan
kujaga tim ini dengan baik, karena tim adalah bagian dari
diriku dan aku bagian dari tim.

Kementerian Keuangan
“Yes, Sir, I’m Casman Member of Customs Ability Sharing
Team (CAST)”, yang akan terus berusaha melakukan
yang terbaik, berusaha menjadi lebih baik dan akan terus
berusaha “Bekerja di Atas Rata-Rata”.

Aku akan terus menjaga agar


semangat yang sudah benderang
tidak lagi padam, kekompakan, dan
kebersamaan akan terus melekat,
kompetensi dan kemampuan maju
terus ke depan, dan sikap terbaik
‘kan selalu merapat pada kebenaran.
Sepenggal Mozaik Pangkalan
Sarana Operasi Pantoloan

Oleh:
RM Agus Ekawidjaja,
Pegawai DJBC
Karena Kita Garda

Aku masih berdiri di dermaga Lhoktuan, memandangi


290

satu per satu kapal yang berlabuh rapi di Teluk Bontang,


lembut bergoyang searah arus laut Selat Sulawesi. Di
kejauhan tampak asap putih mengepul lembut dari
cerobong PT Pupuk Kaltim menandakan produksi pupuk
urea, ammonium nitrate, dan produk turunannya sedang
berlangsung. Pabrik Pupuk Kalimantan Timur adalah
pabrik penghasil pupuk urea terbesar di wilayah Timur
Indonesia. Amis hawa laut menerpa wajahku, membawa
langkahku mendekati bolder yang berbaris rapi sepanjang
dermaga tempat ditambatkannya tali-temali kapal saat
bersandar. Aku pun duduk di atas bolder, Masih menatap
permukaan laut yang mengemas seiring matahari
memasuki peraduannya.

Suasana sore di dermaga ini menuntun ingatanku saat


bertugas di Pangkalan Sarana Operasi (PSO) Tipe B
Pantoloan, sebuah UPT yang berfungsi memberikan
dukungan penyediaan sarana patroli laut, guna mendukung
pelaksanaan tugas pengawasan di wilayah laut Sulawesi
dan Kalimantan Timur. Merupakan kebanggaan tersendiri
dapat bertugas dengan para awak kapal yang memiliki
integritas tinggi di sana.
Masih segar di ingatanku pada tahun 2008, tahun
kedua aku menjabat sebagai Kepala Seksi Nautika, kapal
patroli BC 7001 yang dinakhodai Andi Ansar Pandita
dan Komandan Patroli Semtje Takasihaeng berhasil
menggagalkan penyelundupan Pakaian bekas sebanyak
2200 ballpress, yang diangkut oleh kapal kayu berjenis
pinisi. Kepala Kanwil DJBC Sulawesi saat itu, Bapak Teguh
Indarayana datang langsung ke Pangkalan Pantoloan untuk
melakukan press release dan memberikan penghargaan
kepada awak kapal Patroli BC 7001 atas prestasi tersebut.

Hal yang membuat aku semakin bangga terhadap mereka


adalah cerita sang nakhoda. Ketika kapal penyelundup
akan digiring ke pangkalan Pantoloan, nakhoda kapal
penyelundup sempat menawarkan imbalan sejumlah uang
yang sangat besar nominalnya jika kapal pinisi tersebut
dilepaskan. Tetapi nakhoda dan awak kapal patroli dengan
tegas menolaknya dan tetap membawa kapal tangkapan

291
tersebut ke Pangkalan Pantoloan. Sebuah pembuktian
tingginya integritas yang dimiliki para awak kapal patroli,
walau di tengah laut jauh dari pengawasan tetapi komitmen

Kementerian Keuangan
awak kapal patroli dalam memberantas penyelundupan
tetap dijunjung tinggi.

Hal lain yang membuat awak kapal patroli memiliki added


values dibandingkan pelaksana pemeriksa lainnya adalah
sikap profesionalisme mereka dalam melaksanakan tugas.
Seorang awak kapal patroli harus memiliki pengetahuan
dan keterampilan dalam mengoperasikan kapal patroli
yang terdiri dari beberapa sistem, seperti sistem navigasi,
komunikasi, kelistrikan, propulsi, dan masih banyak
lainnya. Mereka juga harus memiliki kondisi fisik yang
prima serta mental juang yang tinggi karena medan tugas
mereka di laut amat berat, dengan kondisi cuaca yang tidak
bisa diprediksi, kadang tenang tetapi tak jarang ombak
disertai angin yang menderu hebat. Selain hal tersebut,
syarat mutlak yang harus dimiliki seorang petugas Bea dan
Cukai adalah pengetahuan tentang peraturan kepabeanan
cukai dan tata laksana pemeriksaan sarana pengangkut.
Pada tahun 2007 jumlah awak kapal patroli hanya 76 orang
saja dan baru seperempatnya yang telah mengikuti diklat
DTSD Kepabeanan Cukai. Namun profesionalisme para
awak kapal patut dibanggakan karena Pangkalan Sarana
Operasi Tipe B Pantoloan selalu mampu menyiapkan
kapal patroli yang laik laut beserta awak kapalnya untuk
melaksanakan tugas patroli rutin Kanwil Sulawesi maupun
patroli BKO Kanwil Kalbagtim dengan rata-rata waktu
patroli selama 30 hari untuk setiap perintah patroli.
Pelayanan yang diberikan Pangkalan Sarana Operasi
Pantoloan berupa penyiapan kapal patroli kepada Kanwil
Karena Kita Garda

Sulawesi, Kanwil Kalbagtim dan Kanwil Maluku dan


Papua, dilaksanakan dengan penuh kesungguhan. Pada
bulan Februari tahun 2010, kapal patroli BC 5001 ditunjuk
untuk melaksanakan tugas BKO Kanwil Kalbagtim
ke wilayah perairan Tarakan dan Nunukan. Nakhoda
dan awak kapal patroli BC 5001 telah berkumpul dan
292

melakukan rapat terakhir untuk menentukan waktu


keberangkatan dan disepakati waktu yang tepat bertolak
dari pangkalan pada pukul 22.00 WITA. Pada waktu yang
telah ditentukan, kapal patroli pun lepas tali dari dermaga.
Namun baru sekitar 45 menit keberangkatan, diketahui
bahwa motor penggerak utama kiri mengalami masalah
dan nakhoda pun memohon izin untuk sandar di dermaga
Donggala guna melakukan pemeriksaan dan perbaikan.
Setelah dilakukan pemeriksaan dan perbaikan, disimpulkan
bahwa kerusakan tidak dapat diperbaiki oleh awak kapal
karena keterbatasan peralatan dan suku cadang. Karena
itulah, aku pun memerintahkan agar kapal kembali ke
dermaga PSO Pantoloan.

Tepat pukul 02.00 WITA kapal patroli BC 5001 kembali


tambat di dermaga. Pada pukul 07.30 WITA Kasi Nautika,
Nakhoda BC 5001, KKM dan teknisi darat melakukan rapat
membahas kerusakan serta mencari alternatif pemecahan
bila kerusakan tidak dapat diperbaiki. Rapat memutuskan
agar kami tetap dapat memberikan pelayanan kepada
Kanwil Kalbagtim. Kendati demikian, bila hingga pukul
12.00 WITA siang kerusakan tidak dapat diperbaiki maka
akan dilakukan penggantian kapal patroli. Pemecahan
masalah dilakukan secara komprehensif. KKM dan teknisi
melakukan perbaikan mesin, nakhoda menyiapkan mental
awak kapal patroli agar selalu bersemangat, sedangkan
Seksi Nautika menyiapkan kapal dan awak kapal patroli
pengganti. Akhirnya kapal patroli BC 5003 diberangkatkan
sebagai pengganti kapal BC 5001 yang mengalami
kerusakan pada sistem elektronika mesin penggerak utama.
Pelayanan berupa penyediaan kapal patroli laik laut dan
awak kapal yang siap selalu menjadi prioritas utama PSO
Pantoloan, mengingat luas wilayah laut yang harus diawasi
sepuluh kali lebih luas dibandingkan wilayah yang diawasi
oleh pangkalan lainnya.

Pada bulan Mei tahun 2010 kota Palu mengalami krisis


listrik akibat pasokan batu bara dari Kalimantan Timur

293
mengalami keterlambatan. Hal ini menjadi isu nasional
karena masyarakat kota Palu setiap malam melakukan
unjuk rasa dan perusakan kantor PLN Palu. Salah satu
pemicunya adalah kekecewaan masyarakat lantaran pada

Kementerian Keuangan
saat itu tengah berlangsung pertandingan final sepak bola
Liga Champion.

Untuk meredakan kemarahan masyarakat yang makin


memuncak, pihak PLN cabang Palu melakukan tindakan
pembelian langsung batu bara dari Samarinda. Namun
setelah tiga hari berlalu dari jadwal yang telah ditentukan,
kapal tongkang pembawa batu bara tersebut ternyata belum
juga tiba di Palu. Informasi yang didapat dari Samarinda,
tongkang tersebut telah berangkat tiga hari sebelumnya,
namun kapal tongkang tersebut tidak dapat dihubungi.
Pihak PLN meminta bantuan kepada Lanal Palu dan
Syahbandar Pantoloan untuk melakukan pencarian kapal
tersebut. Komandan Lanal Palu pun melakukan koordinasi
dengan pihak PSO Pantoloan karena kapal patroli yang
selalu siap hanyalah milik Bea Cukai.

Setelah melakukan rapat koordinasi, tepat pukul 20.00


WITA kapal patroli BC 30003 yang dinakhodai Muzakir
meluncur menuju Selat Sulawesi. Melalui kerja sama manis
antara personel Angkatan Laut, Syahbandar dan awak kapal
patroli Bea Cukai, akhirnya tongkang pembawa batu bara
tersebut dapat ditemukan namun dalam keadaan mesin dan
radio komunikasi yang rusak. PLN yang saat itu juga ikut
dalam pencarian tongkang merasa amat senang. Mereka
pun langsung mengabarkan kepada awak media di Palu
bahwa besok pagi tongkang batu bara akan masuk Palu
dan meminta agar hal ini dimuat menjadi berita utama
pada koran lokal. Inilah salah satu contoh sinergi yang
Karena Kita Garda

PSO Pantoloan lakukan, yaitu dengan tetap menjalin kerja


sama yang baik antar instansi dalam gugus laut di Sulawesi
Tengah.

PSO Pantoloan yang mulai beroperasi pada tahun 1990-an


ini, di tahun 2008 mulai dibenahi dan dilengkapi dengan
294

sarana dan prasarana pendukung operasional kapal


guna mempersiapkan kapal patroli dalam menunjang
pelaksanaan tugas pengawasan kepabeanan dan cukai
di wilayah laut timur Indonesia. Keberhasilan upaya ini
dapat dibuktikan dengan diresmikannya hasil pekerjaan
pengembangan dermaga, dok, bengkel dan gudang hasil
tangkapan pada tahun 2010 oleh Direktur Jenderal Bea dan
Cukai.

Hal lain yang tidak bisa diabaikan selain pengembangan


sarana dan prasarana adalah pengembangan sumber
daya manusianya. Sumber daya manusia yang dimiliki
PSO Pantoloan merupakan modal dasar yang sangat
menentukan keberhasilan tugas dan fungsi yang diemban.
Keikutsertaan pegawai dalam diklat yang berhubungan
dengan peningkatan kemampuan teknis pelayaran
dan kemampuan teknis kepabeanan dan cukai dapat
meningkatkan kapabilitas secara kontinu guna pencapaian
kesempurnaan dalam menunaikan kewajiban sebagai
seorang abdi negara.

***
Suara guntur bergemuruh dan air hujan yang mulai
menitik di wajahku, menyadarkanku dari lamunan sesaat
akan kenangan bertugas di Pantoloan. Tak terasa bibirku
membentuk senyum karenanya, mengiringi kedua kakiku
yang berlari kecil menuju tempat parkir mobil dinasku.
Dalam hati kecilku berharap, semoga PSO Pantoloan
semakin maju dan dapat dicintai oleh seluruh pegawainya.

295
Kementerian Keuangan
Mereka juga harus memiliki
kondisi fisik yang prima serta
mental juang yang tinggi karena
medan tugas mereka di laut amat
berat, dengan kondisi cuaca yang
tidak bisa diprediksi, kadang
tenang tetapi tak jarang ombak
disertai angin yang menderu
hebat.
Kebanggaan Jadi Bagian dari
Kementerian Keuangan

Oleh:
Nurul Aini,
Pegawai DJBC
Karena Kita Garda

Adalah suatu pemikiran yang saya tanamkan di dalam


296

diri, sejak Ibu Sri Mulyani menyampaikan speech di gelaran


Wisuda Program Diploma I dan III PKN STAN pada 19
Oktober 2016 lalu, hingga hari ini. Beliau menyampaikan
bahwa Kemenkeu bukan hanya yang ada di Jalan Dr.
Wahidin, tetapi ada hingga Papua. Hati saya bergetar.
Seketika saya menengok ke deretan kursi oranye di
belakang pada saat itu, mencari-cari wajah kedua orang tua
di antara ribuan pendamping wisudawan.

Ya, orang tua kami, saya dan empat ribuan wisudawan


lainnya, harus siap menerima. Mereka juga harus dapat
memahami bahwa kami sedang dan memang dipersiapkan
untuk mengabdi pada negara betapapun jauhnya.

Dan diantara sekian banyak probabilitas, saya ditempatkan


di ibukota, tepatnya di Sekretariat Jenderal. Rahasia Tuhan,
saya bilang, dan persentase terbesar dari rahasia itu adalah
doa serta bulir-bulir peluh orang tua.

Di bangku kuliah selama tiga tahun, saya hanya bisa


mengawang seperti apa wujud Kemenkeu. Saya hanya
mendapat informasi melalui mata kuliah, seminar, dan
cerita para dosen. Dalam hati saya membatin, apa yang bisa
saya perbuat ketika sudah lulus dan bekerja. Apakah saya
akan berperan besar bagi institusi ini? Hal ini memercik
sedikit demi sedikit semangat dalam membentuk pola pikir
bahwa saya harus memperbaiki diri agar bisa bermanfaat
bagi organisasi yang menaungi saya nanti. Dan sekarang,
ketika saya belum genap tiga bulan bergabung saat tulisan
ini dibuat, semangat itu masih tetap ada meskipun sesaat
saya merasa kecil. Layaknya CPNS pada umumnya, masa-
masa ini menjadi masa adaptasi karena kuliah dan bekerja
adalah dua dunia yang berkebalikan. Di masa ini pula saya,
dan kawan-kawan lainnya, belum dipasrahkan kewajiban
pekerjaan seperti pegawai lain. Bahkan dalam hari-hari
tertentu, saya menghabiskan waktu dengan membaca buku
dan hanya mengerjakan satu-dua jenis pekerjaan yang bisa
diselesaikan kurang dari setengah jam.

Kemudian pertanyaan ini bergulir kembali di kepala saya.

297
Apakah saya akan berperan besar bagi institusi ini?

Akankah semangat itu terus ada dan terpelihara?

Kementerian Keuangan
Namun, ada satu hal yang terlupa oleh saya bahwa waktu
mempunyai peranan penting dalam berprosesnya seorang
individu. Semua orang besar memulai segalanya dari nol
dan tidak satu pun pekerjaan mudah yang diterima mereka
sepelekan. Saya lupa bahwa semudah apapun pekerjaan
yang saya terima merupakan satu bagian terkecil dari
keseluruhan bagian tugas dan fungsi instansi ini. Apabila
saya lalai dalam mengerjakan tugas, maka lingkaran terkecil
ini akan putus dan lingkaran besar tidak lagi sempurna
seperti semula. Saya meyakinkan diri sendiri bahwa saya
tetap memiliki peranan meskipun masih amat sangat kecil
dan belum berdampak secara signifikan.

Setiap orang punya gilirannya masing-masing untuk


menjadi besar dan bermanfaat. Sekarang sedang giliran
saya untuk belajar lagi dan memperkaya ilmu baru perihal
pekerjaan.
Seperti yang Ibu Sri ungkapkan, ada gelaran wisuda
yang sama, bahwa menjadi mahasiswa di PKN STAN
adalah privilege karena setelah lulus kami akan menjadi
bagian dari nama besar Kemenkeu. Namun menurut
saya, privilege itu tidak serta-merta datang dengan mudah,
melainkan bersama dengan kewajiban yang harus kami,
para pendatang dan generasi baru, penuhi, yaitu kewajiban
berupa kontribusi yang bermula dari semangat perbaikan
setiap pribadi lalu mendorong kami mengambil peranan
aktif dalam setiap perubahan menuju kebaikan.
Karena Kita Garda

Tidak perlu takut menjadi kecil karena dengan


berkontribusi sekecil apapun itu, saya dan teman-teman
sudah selangkah lebih maju, mendekati lingkaran lebih
besar yang telah menunggu.
298

Setiap orang punya gilirannya


masing-masing untuk menjadi
besar dan bermanfaat.
Senyum Pengobat Lelah

Oleh:
Herliana W,
Mitra Kerja pada KPPN Banjarmasin

Sebagai seorang staf di bidang keuangan, tepatnya PPABP

299
(Pejabat Pengelola Administrasi Belanja Pegawai), saya mau
tidak mau harus sering berhubungan dengan yang namanya
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Setiap
bulannya dua sampai tiga kali saya harus berurusan dengan

Kementerian Keuangan
KPPN untuk pengajuan belanja rutin gaji induk per bulan,
uang makan, gaji susulan, ataupun kekurangan gaji pegawai
pada satker tempat saya bertugas.

Satuan Kerja (Satker) tempat saya bertugas mempunyai


jarak lebih kurang 150 km dari KPPN Banjarmasin. Hal
ini tentu membuat saya dalam berurusan selalu terkendala
masalah jarak dan faktor kelelahan. Belum lagi ketika
berurusan di KPPN Banjarmasin saya harus mengantre
karena terdapat 371 satker lain yang harus dilayani. Sabar
merupakan kunci yang utama dalam menghadapinya.

Namun, sebagai sifat alami manusia yang selalu ingin


urusan berjalan dengan cepat dan lancar, berbagai upaya
pasti dilakukan dalam mencapai hal tersebut. Kadang
terdapat tingkah laku dari satker-satker lain yang kurang
sabar dalam mengantre giliran dipanggil para petugas front
office KPPN.
Beruntung, hal itu dapat terbaca oleh pihak KPPN
Banjarmasin, dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas
pelayanan kepada para satker. Pada front office sudah
diberikan keterangan loket 1 sampai dengan 8, untuk Loket
Umum dan Loket Rekonsiliasi, juga untuk Customer Service.
Ditambah lagi sekarang di Customer Service dan Loket
Rekonsiliasi diberikan nomor antrean kepada para satker
agar dalam pelayanan tidak terjadi perebutan pelayanan
lagi. Para satker bisa mendapatkan pelayanan sesuai dengan
nomor antrean tersebut.
Karena Kita Garda

Ketika pertama kali memasuki area parker KPPN


Banjarmasin bisa terbaca tulisan ‘’A NDA MEMASUKI
AREA BEBAS PUNGUTAN”. Di sini saya dapat melihat
komitmen KPPN Banjarmasin untuk memberikan
pelayanan yang bersih dan terbaik. Tulisan bermakna
senada juga terdapat ketika memasuki ruang front office
300

dengan adanya banner yang bertuliskan “PELAYANAN


KAMI BEBAS DARI GRATIFIKASI”. Terpampang
juga tulisan yang memotivasi, “TERIMA KASIH ATAS
KESABARAN ANDA DALAM MENGANTRE”. ltu
membuat saya merasa bisa lebih bersabar dan merasa KPPN
juga sabar menantikan kedatangan saya. Padahal kalau
seharian melayani satker yang begitu banyak, dan berbagai
pengajuan gaji, maupun Ganti UP tentu membuat pusing.
Dapat saya bayangkan, betapa memusingkan dan sangat
membosankannya berada sebagai petugas front office.

Begitu nomor antrean sudah sampai gilirannya, saya akan


disambut dengan senyum mengembang dari para petugas
front office. Perjalanan yang tadinya sangat melelahkan
dan membuat temperatur saya turun ke titik di bawah
minus, bisa kembali normal. Benar kata orang, senyum bisa
membuat keadaan lebih baik.

Tidak hanya itu, KPPN Banjarmasin menunjukkan


pelayanan yang benar-benar prima dengan adanya kotak
saran terhadap pelayanan yang diberikan oleh para petugas
front office dan seluruh karyawan. Kotak saran diberikan
sesuai dengan warna dan klasifikasi kepuasan para
satker, terdiri dari klasifikasi “sangat puas” sampai “kurang
puas.” Saya kira di sinilah dapat terlihat komitmen KPPN
Banjarmasin untuk selalu bisa memberikan pelayanan
prima dan terbaik kepada para satker.

Saya hanya berpesan, tetaplah memberikan pelayanan yang


prima dan terbaik kepada seluruh satker, dan selalu siap
dengan senyuman yang terbaik sebagai penghilang rasa
penat. Bravo KPPN Banjarmasin!

301
Kementerian Keuangan
Di sini saya dapat melihat
komitmen KPPN Banjarmasin
untuk memberikan pelayanan
yang bersih dan terbaik.
Ledakan “Bom Atom”
di Penghujung Tahun

Oleh:
Muslikhudin,
Pegawai DJA
Karena Kita Garda

Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Online


302

yang (SIMPONI) adalah sistem informasi yang dikelola


oleh Direktorat Jenderal Anggaran, yang meliputi Sistem
Perencanaan PNBP, Sistem Billing dan Sistem Pelaporan
PNBP. Sedangkan Sistem Billing SIMPONI adalah sistem
yang merupakan bagian dari SIMPONI yang memfasilitasi
penerbitan kode Billing dalam rangka pembayaran/
penyetoran penerimaan negara meliputi pembayaran
Setoran PNBP Migas, PNBP SDA Non Migas, PNBP K/L,
Dividen BUMN serta Non Anggaran. Sistem SIMPONI bisa
diakses di alamat : www.simponi.kemenkeu.go.id.

MPG G2 (SIMPONI) telah resmi di-launch pada tanggal


17 Februari 2015 (sudah digunakan untuk penyetoran
negara mulai 28 Februari 2014-Soft Launching). Menteri
Keuangan melalui Dirjen Perbendaharaan menerbitkan
surat nomor S-5908/PB/2016 tanggal 26 Juli 2016 yang
mengharuskan Setoran PNBP dan Non Anggaran harus
melalui SIMPONI di seluruh Bank Persepsi. Saat ini,
SIMPONI telah digunakan untuk melakukan 100 ribu
transaksi pembayaran PNBP per hari dengan nilai rata-rata
Rp500 Miliar.
Hari itu, Jumat tanggal 30 Desember 2016 merupakan
hari kerja terakhir di 2016. Hari saatnya membuat resolusi
guna menyambut tahun baru 2017. Namun tidak untuk
para pengelola keuangan seperti Bendahara Pengeluaran
Satuan Kerja, Bendahara Penerimaan PNBP, para pekerja
di perbankan, pengelola kas di Kementerian Keuangan.
Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja harus menihilkan
uang di kas dan harus disetor ke kas negara sesuai
pedoman langkah-langkah akhir tahun dari Kementerian
Keuangan (Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor
PER-44/PB/2016). Bendahara Penerimaan PNBP sibuk
mengejar realisasi penerimaan PNBP yang menjadi IKU/
KPI instansinya. Kementerian Keuangan sibuk memastikan
agar Penerimaan Negara bisa tercapai dan angka defisit
tidak melebihi 3% PDB.

Saya seperti biasa, datang pagi, sekitar jam 07.30 WIB

303
kemudian menghidupkan komputer dan langsung
memonitor SIMPONI melalui Manajemen FAQ.
Manajemen FAQ adalah semacam helpdesk online (men-
support tugas Pusat Layanan DJA) yang menyediakan

Kementerian Keuangan
informasi, bantuan, perbaikan (troubleshooting), dan
petunjuk teknis terkait penggunaan sistem Billing serta
pembayaran dan penyetoran PNBP. Manajemen FAQ
digunakan sebagai sarana koresponsdensi (komunikasi) dua
arah antara pengelola SIMPONI dengan User SIMPONI,
yang bersifat dinamis, bukan statis.

Pagi itu, alhamdulillah, Manajemen FAQ berisi sekitar 10


pertanyaan dan bantuan yang sifatnya biasa, dan langsung
kami (biasanya saya dan Mbak Pop) jawab dan tindak
lanjuti. Namun sekitar jam 08.00 WIB secara bersamaan,
seperti datangnya air bah, puluhan keluhan tentang tidak
normalnya pembuatan Billing dalam SIMPONI datang
bersama.

Saya: “ Mbak Pop, ini banyak amat keluhan gangguan


jaringan SIMPONI”

Pop: “Masa’ Mas (sambil Lihat Manajemen FAQ). Iya ni, kok
banyak amat.”

Saya: “Piye ki Mbak? Yo wes, aku jawab, ‘ditindaklanjuti


dan kami koordinasikan ya?’. Mbak Pop yang tulis di grup
SIMPONI (merupakan grup WA SIMPONI untuk media
komunikasi dan koordinasi Tim SIMPONI) ya.”

Pop: “Oke, Mas”.

Lalu Saya menjawab pertanyaan di SIMPONI dan Mbak


Pop mem-follow up di grup SIMPONI.
Karena Kita Garda

Pop : “Bapak, Ibu, mohon informasinya apakah SIMPONI


mengalami gangguan?”

Pri (Pri adalah salah satu motor SIMPONI. Beliau


mendedikasikan sebagian besar waktu dan pikirannya
dalam membangun, mengembangkan dan melakukan
monev SIMPONI. Beliau sekarang menjabat sebagai
304

Kepala Seksi Penerimaan Kementerian/Lembaga IIIb):


“Informasi dari Puslay, dari tadi banyak telepon masuk ke
Puslay menanyakan gangguan SIMPONI. Saya sendiri juga
ditelepon dari Kementerian Perhubungan (sambil membuka
SIMPONI), kok lama ya loading-nya?”

Saya: “Teman-teman di seluruh Direktorat PNBP juga


sudah coba mengakses SIMPONI, tetapi tidak bisa dibuka.
Teman-teman juga sudah banyak menerima komplain dari
mitra Wajib Bayar/Wajib Setornya. Informasi dari kantor
kesehatan Pelabuhan, sudah ada antrean Kapal terkait
gangguan SIMPONI ini lho.”

David (Pak David adalah Kepala Seksi Penyajian Informasi


Penganggaran, Direktorat Sistem Penganggaran dan
menjadi PIC IT SIMPONI): “Berarti, SIMPONI tidak bisa
dibuka dari internal maupun eksternal”.

Pri : “Gawat ini, mana ini akhir tahun pula. SIMPONI


kayak kena Bom Atom ni. Mana sekarang adalah akhir
tahun dan seperti biasanya merupakan transaksi dengan
frekuensi tertinggi dan volume terbanyak dalam setahun.
Semua Wajib Bayar dan Wajib Setor akan mengakses
SIMPONI. Seluruh satker, 23 ribu satker di seluruh
Indonesia akan mengakses SIMPONI untuk keperluan
pertanggungjawaban keuangan. Reputasi kita yang
selama ini kita bangun dan jaga, bisa luluh lantak, karena
SIMPONI yang down pada bulan Mei lalu saja, yang
disebabkan karena listrik mati, recovery-nya tidak rampung
dalam sehari.”

Pop: “Iya, Pak, udah banyak yang telepon yang masuk ke


Puslay dan teman-teman PNBP. Mereka komplain sambil
marah-marah. Mereka bilang, hari ini hari terakhir harus
setor uang persediaan Pak”.

Fuad (Kepala Subdirektorat Data dan Dukungan Teknis,


yang bersama-sama Bu Dwi, Kepala Subdirektorat
Penerimaan Kementerian/lembaga II, sebagai Motor TIM
SIMPONI): “Gimana ni pak David?”

305
David (bersama-sama dengan para pegawai (programmer)
Subdit Teknologi Informasi Penganggaran): “ Kami sedang
check Pak di Sistem SIMPONI-nya”

Kementerian Keuangan
Pri: “ESDM (Kementerian ESDM) juga sudah ikut
komplain. Sudah banyak kapal-kapal batu bara yang
tertahan di pelabuhan”.

Saya : “KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) juga


komplain.”

Pri : “Pak Fuad, kayaknya semua K/L dan semua satker


sudah komplain, Pak. Gimana ni, Pak?”

Fuad: “Mas Pri dan teman-teman, coba tenangkan ke


mitra K/L dan satkernya masing-masing bahwa kita akan
segera tindaklanjuti. Pak David, gimana ni, udah ketemu
penyebabnya?”

David: “Saya dan Tim IT DJA akan ke Pusintek. Secara


simultan kami akan berkoordinasi dengan teman-teman di
settlement MPN G2, baik itu Direktorat Sistem Informasi
dan Teknologi Perbendaharaan, Direktorat Sistem
Perbendaharaan, Pusintek. Kami juga berkoordinasi dengan
Biller MPN G2 lainnya, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai.
Di sistem SIMPONI, kami belum menemukan penyebab
gangguannya, Pak. Di Pusintek, kami semua akan berusaha
mencari penyebabnya dan solusinya, Pak. Kami semua
sudah satu komitmen, akan mengusahakan SIMPONI
beroperasi normal secepatnya. Kalau tidak berhasil, tidak
hanya reputasi SIMPONI yang hancur Pak, reputasi
Kementerian Keuangan juga akan ikut babak belur.”
Karena Kita Garda

Fuad: “Mas Pri, kita ke ruang rapat ya, untuk konsolidasi.


Yang lain agar berkoordinasi dengan stakeholder-nya
masing-masing. Ruang rapat kita jadikan pusat koordinasi
penangganan gangguan SIMPONI. Pak David mohon
bersinergi dengan teman-teman IT Pusintek, DJPb dan
lainnya untuk secepatnya mencarikan solusi.”
306

Pak Fuad, Pak Pri, sebagian anggota Tim SIMPONI


dan perwakilan Pusat Layanan DJA ke ruang rapat
besar Direkotrat PNBP lantai 17, yang untuk sementara
langsung dijadikan pusat koordinasi penanganan gangguan
SIMPONI. Sedangkan sebagian besar pegawai PNBP
berkoordinasi dengan para stakeholder menyampaikan
bahwa SIMPONI sedang dalam pengecekan dan
Kementerian Keuangan akan mencarikan solusi yang tidak
merugikan Wajib Bayar dan Wajib Setor.

Fuad: “Piye ki Mas Pri?”

Pri: “Gawat, Pak, gawat banget, Pak. SIMPONI kayak kena


Bom Atom, Pak. Reputasi kita (SIMPONI) bisa hancur
luluh lantak. Mana ini adalah puncak transaksi dari seluruh
transaksi harian dalam setahun. Kalau hari ini SIMPONI
tidak bisa membuat Billing, maka Wajib Bayar dan Wajb
Setor akan tidak percaya lagi melakukan transkaksi
pembayaran PNBP di SIMPONI.”

Saya: “Ini akan berdampak ke mana-mana, Pak. Gangguan


“Bom Atom” SIMPONI ini bisa men-trigger para Wajib
Bayar dan Wajib Setor melakukan gugatan class action
akibat kerugian materiil dan non materiil yang mereka
tanggung. Kegagalan penyetoran sisa UP dan TUP seluruh
satker di seluruh Indonesia bisa membuat seluruh Laporan
Keuangan Kementerian/Lembaga tidak akan mendapatkan
opini WTP. Kalau ini terjadi, kayaknya Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat tidak akan dapat mendapat opini WTP.”

Pop: “Pak, bagaimana kalau kita menerbitkan Surat


Keterangan Gangguan saja?”

Pri: “Betul, Pak, beberapa Wajib Bayar dan Wajib Setor


sudah memintanya.”

Fuad : “Baik, kita konsepkan saja. Oh ya, gangguan


SIMPONI ini juga bisa menyebabkan target PNBP
tidak tercapai. Bila iya, maka target defisit 3% PDB bisa
terlewati. Apalagi target pajak dan bea cukai sudah hampir

307
dipastikan tidak akan tercapai. Apalagi cut off perhitungan
sementaranya rapat nanti malam dengan Ibu Menkeu.”

Fuad: “Ada draft surat gangguannya kan? Kita buat bersama

Kementerian Keuangan
sekarang saja.”

Pri: “Kita pernah buat untuk yang gangguan SIMPONI


pada bulan Mei kemarin. Kita cari soft copy-nya saja.”

Saya: “Saya cari Pak, sekalian saya ambil contoh surat


keterangan gangguan yang diterbitkan Ditjen Pajak, Pak.”

Kemudian Saya mencari contoh surat yang ada dan soft copy
draft surat gangguan. Kemudian langsung saya serahkan ke
Mbak Pop yang dari tadi di depan laptop. Kami langsung
berdiskusi untuk mengonsepkan surat gangguan dan sambil
terus berkoordinasi dengan semua pemangku kepentingan.

Pri: “Ini ada WA dari Pak David.”

Fuad: “Gimana Mas Pri?”

Pri: “Ada capture percakapan Pak Bobby (Staf Ahli Menteri


Keuangan) dengan Pak Herry (Kapusintek).”
Fuad : “Piye, piye Mas Pri?”

Pri : “ Menurut Pak Bobby, Beliau mendapat informasi


dari Pak Iwan Ditjen Pajak, bahwa kabel Telkom putus
karena Proyek MRT. Pak Herry menegaskan bahwa kabel
FO internet di rumah Ibu Menkeu pernah mengalami
gangguan juga karena proyek MRT. Pak Bobby
memerintahkan Pak Herry untuk berkoordinasi dengan
pihak Telkom dan meminta agar Kementerian Keuangan
mengirimkan surat teguran ke Pemda DKI. Pak Herry
menyampaikan bahwa Telkom akan segera memperbaiki
Karena Kita Garda

dan menjadikannya prioritas utama, Pak.”

Fuad: “Mudah-mudahan sebelum Jumatan, SIMPONI sudah


bisa normal kembali.”

Pri : “Amin. Iya, Pak. Wajib Bayar dan Wajib Setor


menelepon terus.”
308

Pri : “Weiiits, ini ada WA dari Bu Dwi (Kepala


Subdirektorat Penerimaan Kementerian/Lembaga
II, sebagai PIC Tim SIMPONI di Direktorat PNBP,
kebetulan saat itu sedang menjalankan ibadah umrah).
Yang lagi umrah saja ikut mantau, Pak. Bu Dwi meminta
saya menghubungi Pak Bobby karena tadi Pak Bobby
menghubungi Bu Dwi. Namun, gagal berkomunikasi karena
sinyalnya jelek. Ini nomor Pak Bobby, Pak. Pak Fuad saja
yang menelepon Beliau.”

Fuad: “Udah, Mas Pri saja.”

Kemudian Pak Pri menghubungi Pak Bobby. Pak Bobby


menanyakan kondisi Wajib Bayar dan Wajib Setor
SIMPONI. Pak Pri menjelaskan bahwa semua K/L, semua
satker, dan semua Wajib Bayar sedang galau dan was-was,
tidak bisa melakukan penyetoran PNBP dan Non Anggaran.
Pak Bobby berjanji akan membantu semaksimal mungkin
agar penyetoran PNBP dan Non Anggaran di akhir tahun
2016 tidak terganggu. Selain itu, Pak Bobby memberikan
arahan agar teman-teman PNBP terus berkoordinasi
dengan Wajib Bayar dan Wajib Setor serta menyampaikan
kepada mereka bahwa Wajib Bayar dan Wajib Setor tidak
akan dirugikan.

Fuad : “Piye, Mas Pri?”

Pri : “Pak Bobby memberi jaminan dan akan membantu.


Pak Bobby memerintahkan semua sumber daya,
programmer, dan infrastruktur di Kementerian Keuangan
untuk difokuskan membantu SIMPONI.”

Fuad: “Sip.”

Pri: “Maaf Pak, ada email masuk ke Puslay, mengabarkan


bahwa Pertamina mau menyetor, tapi tidak bisa membuat
Billing. Mereka minta dispensasi setor langsung ke
Rekening KUN, Pak. Setorannya 2,6 Triliun.”

Fuad: “Waduh, besar banget. Lumayan buat nambah

309
penerimaan PNBP. Kita harus usahakan. Gimana Mas Pri?”

Pri: “Betul, Pak. Kita harus minta dispensasi Pak Rudi


(Direktur Pengelolaan Kas Negara, DJPb).”

Kementerian Keuangan
Pak Fuad: “Pak Pri, tolong ya!”

Pri kemudian berkoordinasi dengan teman-teman


Direktorat PKN. Selain itu, Pak Pri minta tolong Bu Dwi
untuk melobi agar Direktorat PKN mengizinkan Pertamina
menyetorkan PNBP langsung ke Rekening KUN di Bank
Indonesia tanpa melalui Bank Persepsi. Setelah dilakukan
penjelasan secara komprehensif, akhirnya Pak Rudi
memberikan izin Pertamina menyetorkan langsung ke
Rekening KUN.

Tak terasa draft surat gangguan selesai, dan saatnya break


untuk salat Jumat. Pak Fuad berpesan agar teman-teman
PNBP terus berkoordinasi dengan mitra Wajib Bayar dan
Wajib Setornya masing-masing. Tak lupa, agar kita semua
berdoa agar SIMPONI cepat normal kembali. Setelah salat
Jumat selesai, Pak Fuad tak lupa berpesan agar sebagian
teman-teman kembali ke ruang rapat yang kini difungsikan
sebagai pusat penanganan gangguan SIMPONI. Sembari
rapat tadi, Saya pun sambil berkordinasi. Ada teman dari
Kementerian Luar Negeri, Mas Gian (Staf Kemenlu Bagian
Penyetoran PNBP dan sisa UP/TUP), menghubungi dan
menanyakan terus mengenai perkembangan SIMPONI.

Teman-teman di Kemenlu khawatir sekali kalau SIMPONI


tidak segera kembali normal. Permasalahnya, penerimaan
PNBPnya masih banyak yang belum disetorkan, begitu juga
sisa uang persediaan dan tambahan uang persediaan di 131
Karena Kita Garda

satkernya di luar negeri. Sisa UP/TUP di kas Bendahara


harus segera dinolkan. Uang persediaan dan PNBP di
satker-satker luar negeri ini, pada tahun 2015 menjadi salah
satu penyebab Laporan Keuangan Kemenlu turun opininya,
dari Opini WTP menjadi WDP. Di sisi lain, Menlu
Retno Marsudi memberikan pesan khusus agar Laporan
Keuangan Kemenlu TA 2016 harus WTP.
310

Setelah membuat surat gangguan dan berkoordinasi dengan


teman-teman Kemenlu, Saya turun untuk salat Jumat di
lobi. Saya buka HP, ternyata ada WA Bu Dwi

Dwi: “Mas, emang Tax Amnesty perlu SIMPONI. Ini kok


teman-teman DJP ikut-ikutan komplain SIMPONI karena
tidak bisa diakses. Mereka mengeluh karena mengganggu
program tax amnesty mereka.”

Saya: “Kayaknya perlu Bu.”

Dwi: “Kok bisa Mas?”

Saya: “Sesuai PP Nomor 1 Tahun 2013, terdapat jenis PNBP


di Ditjen Pajak berupa penyampaian Surat Tagihan (Paksa)
Pajak. Kayaknya, PNBP ini yang terkait Tax Amnesty, Bu.”

Kemudian HP saya tutup dan di-set silent untuk


mendengarkan khutbah Jumat dan salat Jumat. Sehabis salat
Jumat saya buka HP, ternyata ada missed call lebih dari tiga
kali dari Bu Uya, Kasubdit di Biro Perencanaan Kemenlu
yang bertanggung jawab atas semua setoran PNBP Kemenlu
dan WA (pesan dari Bu Dwi). Pesannya Bu Dwi: “Mas,
nanti Bu Uya mau telepon, tolong dibantu ya.” Saya jawab
WA Bu Dwi dan naik ke lantai 17, ruang kerja Direktorat
PNBP. Sesampai di atas, saya langsung menghubungi Bu
Uya.

Saya : “Assalamualaikum, Bu.”

Uya : “Wa’alaikumsalam, Mas.”

Saya: “Maaf Bu, tadi tidak saya angkat telepon dari Ibu.
Sedang salat Jumat.”

Uya: “Gak papa. Mas, tolong kami dibantu. Kami perlu


menyetorkan penerimaan PNBP dan Sisa UP/TUP dari 131
satker kami, dan semuanya di luar negeri.”

Saya: “Siap Bu.”

311
Alhamdulillah, setelah salat Jumat, SIMPONI sudah bisa
diakses terbatas, hanya jaringan intranet Kementerian
Keuangan. Kayaknya semua pengelola PNBP, Pegawai
TIP, Pegawai PNBP dan stakeholder SIMPONI berdoa agar

Kementerian Keuangan
SIMPONI berfungsi normal kembali. Apalagi Bu Dwi,
sebagai motor SIMPONI, pastinya berdoa dengan khusyuk
untuk mendoakan SIMPONI di tanah suci.

Namun yang pasti, ini suatu hasil yang luar biasa, sinergi
seluruh elemen di Kemenkeu mampu memperbaiki
SIMPONI (walaupun baru bisa diakses di intranet
Kemenkeu) akibat putusnya kabel Telkom tidak kurang dari
5 jam, padahal gangguan karena matinya listrik pada bulan
Mei 2016 (dengan ada genset cadangan), membutuhkan
waktu lebih dari satu hari.

Ketika SIMPONI sudah bisa diakses terbatas, para pegawai


PNBP berkoordinasi dengan para mitra stakeholder-nya
masing-masing. Para pegawai berusaha keras untuk
membuatkan Billing PNBP kepada para Mitra, termasuk
saya. Saya berkoordinasi dengan staf Bu Uya, Mas Gian.
Gian: “Mas, bisa dibantu? Saya mau melakukan penyetoran
PNBP. Dari seluruh satker Kemenlu, sebagian besar satker
di luar negeri.”

Saya: “Siap, Mas.”

Gian: “Selain PNBP, saya mau melakukan penyetoran sisa


UP dan TUP dari seluruh satker Kemenlu, sebagian besar
satker di luar negeri.”

Saya: “Siap, Mas. Tolong daftar setorannya dikirimkan/


di-email ke email saya ya. Selain itu, tolong saya dikasih tahu
Karena Kita Garda

nama user SIMPONI-nya beserta password-nya. Begitu juga


daftar setoran PNBP-nya, Mas.”

Gian: “Waduh, daftar setoran PNBP dan UP/TUP masih


dalam proses penghitungan, Mas. Belum fix juga dan masih
di-compile.”
312

Saya: “Ya udah, gak papa. Yang sudah siap aja. Kita membuat
Billing secara simultan saja.”

Gian: “Baru setoran PNBP dari Kedubes Singapura dan


perhitungan UP/TUP KJRI Hongkong. Kedubes Singapura
lumayan banyak PNBP-nya.”

Saya: “Ya udah, Mas, tolong dikirimkan. Jangan lupa


username SIMPONI dan password-nya.”

Gian: “Username dan password-nya kemenluoke.”

Saya: “Hanya satukah?”

Gian: “Iya, Mas, hanya satu.”

Saya: “Ya, Mas” (dalam hati: “Cilaka ini, mau sampai kapan
saya membuatkan Billing untuk setoran PNBP dan UP/TUP.
Kalau satu satker saja rata-rata 15 setoran PNBP dan 15
setoran UP/TUP, maka sudah terbayang kapan selesainya.
Belum lagi setiap ganti satker harus ganti edit profil, serta
yang pastinya tidak bisa dibagi dengan orang lain.”)
Mulailah saya membuatkan Billing teman-teman di
Kemenlu, alhamdulillah, walaupun SIMPONI bisa dibuka
di jaringan intranet keuangan saja, tetapi masih cukup
lambat. Sekitar jam 14.30 WIB, saya sudah membuat Billing
setoran PNBP untuk Kedubes Singapura dan setoran UP/
TUP KJRI Hongkong, ada sedikit berita baik di grup WA
SIMPONI:

David: “Alhamdulillah SIMPONI terus mengalami progress.


Kami terus berusaha agar SIMPONI kembali normal.
Kami masih di Pusintek. Kami terus berkoordinasi dengan
Pusintek, Direktorat Sistem Perbendaharaan, Direktorat
Sistem Informasi dan Teknologi Perbendaharaan, dan
teman-teman Kemenkeu lainnya.”

Pri : “Progress-nya gimana Pak?”

David: “Kami telah membuat alternatif alamat pembuatan

313
Billing. Silakan Wajib Bayar dan Wajib Setor membuat
Billing di node internet : 202.61.126.147. Tolong di-share ke
Wajib Bayar dan Wajib Setor.”

Kementerian Keuangan
Fuad: “Alhamdulillah. Teman-teman PNBP, mohon
diteruskan ke mitranya masing-masing. Mas Pri, yuk
kita menghadap Bu Direktur untuk melaporkan kondisi
terakhir dan mengajukan surat keterangan gangguan
SIMPONI.”

Pri: “Siap, Pak. Tadi, Bu Dwi juga telah mengomunikasikan


dengan Pak Dirjen, dan Beliau secara prinsip setuju untuk
menerbitkan surat gangguan, tetapi harus dibahas dengan
Bu Direktur PNBP terlebih dahulu.”

Fuad: “Bagus kalau begitu, nanti kita sampaikan juga ke Bu


Direktur. Ayo, Mas Pri.”

Pak Fuad dan Pak Pri kemudian melaporkan kondisi


terakhir perkembangan SIMPONI ke Bu Direktur. Kondisi
SIMPONI sekarang jauh lebih baik dari tadi pagi, di
mana SIMPONI sama sekali tidak bisa diakses, baik dari
intranet maupun dari internet. Sekarang Wajib Bayar dan
Wajib Setor sudah bisa membuat Billing PNBP di alamat
alternatif, bukan di alamat utama SIMPONI. Dengan
kondisi SIMPONI sudah bisa diakses, maka Bu Direktur
PNBP memutuskan penerbitan surat gangguan di-hold
dulu, menunggu perkembangan SIMPONI. Selain itu,
Bu Direktur mengingatkan bahwa pembayaran PNBP
dan Non Anggaran bisa dilakukan hari ini sampai jam
21.00 WIB dan besok hari Sabtu sampai jam 15.00 WIB.
Hal ini sesuai dengan surat Menteri Keuangan nomor
S-1105/MK.05/2016 tanggal 13 Desember 2016 tentang
Perpanjangan Layanan Penyetoran Penerimaan Negara
Karena Kita Garda

pada Bank/Pos Persepsi.

Di saat Pak Fuad dan Pak Pri melapor, para pegawai


PNBP mengomunikasikan alamat alternatif ke para
mitra stakeholder masing-masing. Termasuk saya, saya
mengomunikasikan ke teman-teman di Kemenlu. Teman-
teman Kemenlu akhirnya bisa membuat Billing di alamat
314

alternatif dimaksud. Tugas pembuatan Billing-pun, Saya


kembalikan lagi ke pengelola PNBP Kemenlu.

Kami terus berkoordinasi dan melakukan monitoring


perkembangan SIMPONI, terutama melalui grup WA
SIMPONI

David: “Karena ada keluhan masih lambat, maka kami


akan menambah node internet, yaitu: 202.61.126.148 dan
202.61.126.149.”

Pri: “Lambat gimana?”

David: “Kami pantau dari sini (masih di Pusintek), Billing


yang terbuat selama 1 jam pertama sudah mencapai 6.000
Billing setoran PNBP, Mas. Mudah-mudahan tambahan 2
node ini membantu.”

Kami terus melakukan monitoring dan terus


mengomunikasikan alamat-alamat alternatif dengan para
stakeholder. Alamat-alamat alternatif pembuatan SIMPONI
juga dibuat Running Text, baik di aplikasi SIMPONI maupun
di website Ditjen Anggaran.

David: “Posisi jam 17.00 WIB, sudah 18.000 Billing setoran


PNBP terbuat. InsyaAllah SIMPONI sudah normal.”

Dwi: “Alhamdulillah. Gimana Mas dengan notifikasinya?


Apakah pengiriman NTPN-nya ada keterlambatan atau
bermasalah?”

David: “Aman, Bu, tidak ada isu keterlambatan pengiriman


NTPN dari settlement, Bu.”

Dwi: “Alhamdulillah. Teman-teman, mohon terus dipantau


dan dimonitor ya.”

Fuad: “Mohon kita pastikan sampai magrib. kalau sampai


magrib pembuatan Billing aman, kita bisa lanjutkan
monitoring-nya di rumah masing-masing.”

315
Pri: ”Akhir tahun tidak jadi kelabu.”

Saya: ”Momen yang bikin kita jadi terharu.”

Kementerian Keuangan
Sampai dengan salat Magrib, perfoma SIMPONI sudah
kembali normal. Kami sudah bisa pulang sambil terus
memantau perkembangannya. Saya pulang ke Bekasi dan
sampai di rumah pukul 20.00 WIB. Sesampai di rumah,
ternyata ada missed call dari Mas Gian Kemenlu. Selain
missed call, Mas Gian mengirimkan WA.

Gian: “Mas, bisa diganggu?”

Saya: ”Silakan, Mas. Ada yang bisa dibantu?”

Gian: “Mas, untuk setoran UP harus menggunakan kurs


yang mana ya?”

Saya: ”Sesuai pengaturan dalam PMK Nomor 160 Tahun


2015 tentang Tata Cara APBN pada Perwakilan RI di Luar
Negeri, menggunakan kurs saat permintaan UP awal tahun
anggaran.”

Gian: “Kalo ada selisih gimana?”


Saya: “Tidak masalah, akan diperhitungkan sebagai selisih
kurang atau selisih lebih, Mas. BTW, gimana pembuatan
Billing-nya?”

Gian: “Masih on process, Mas”

Saya: “Tidak ada kendalakan? Sekarang Mas Gian masih di


kantorkah?”

Gian: “Tidak ada kendala, Mas. Kami di Kemenlu menginap


di kantor. Mau memastikan bahwa penyetoran PNBP dan
Non Anggaran sudah oke. Biar tidak menjadi temuan BPK
Karena Kita Garda

lagi. Sesuai wanti-wanti Bu Menlu, Mas, hehehe.”

Saya: “Top markotoplah, Mas, sukses ya, Mas. Nanti kalau


ada masalah, jangan sungkan-sungkan telepon atau WA
saya Mas. Biasanya saya tidur agak malem. Kayaknya
malam ini saya akan tidur lebih malam, Mas.”
316

Gian: “Siap, nanti kalau ada apa-apa, saya pasti ganggu Mas
ya!”

Saya: “Siaap.”

Saya (begitu juga dengan para pegawai PNBP) masih terus


memonitor perkembangan SIMPONI. Malam makin larut,
bahkan sudah berganti hari. Dari tadi tidak ada keluhan
terhadap SIMPONI, saatnya untuk tidur. Tiba-tiba di grup
SIMPONI ada WA masuk.

Pri: “Ini jam 12 malam kok masih ada telepon terus-terusan,


mau nanya akun pembayaran setoran PNBP dari jasa
kebandarudaraan di Papua (luar biasa dedikasi Pak Pri,
masih memonitor sampai jam 12 malam, secara, Pak Pri
punya kebiasaan tidur jam 9 malam, hehehe. Masih kalah
sama anak saya yang masih Balita, hahaha.)

Dwi: “Waduh, bukannya permasalahan pembuatan Billing


terkait jaringan sudah oke, Pak?” (Saya jadi berpikir Bu Dwi
kok masih memonitor juga. Hebat. Oh iya, Beliau ‘kan lagi
umrah, masih jam 5 sore waktu Saudi, hehehe.)
Pri: “Bukan, Bu, terkait akun saja. Ini dari teman-teman di
bandara yang ada di Papua.”

Saya: “Luar biasa, berarti ini jam 02.00 WIT pagi waktu
Papua. Luaaar biaasaa.”

Pri: ”Mereka mau memastikan Billing terbuat malam ini,


besok tinggal setor di bank.”

Saya: ”Sama kayak di Kemenlu, pembuatan Billing


diselesaikan malam ini dan ada laporan dari Mas Gian
bahwa pembuatan seluruh Billing dari seluruh satker di
Kemenlu baru saja rampung. Rencananya, besok tinggal
setor ke bank. Ayoo, tidur, tidur, tidur!”

Pri: “Ayo, kita tidur dengan nyenyak karena sudah selesai


berurusan dengan ganguan ‘Bom Atom’ SIMPONI.”

Akhirnya, gangguan down “Bom Atom” aplikasi SIMPONI

317
di pagi hari (tepatnya jam 8) di akhir tahun tidak
menjadikan akhir tahun 2016 menjadi kelabu. Malah
membuat akhir tahun 2016 membikin terharu dan saya

Kementerian Keuangan
yakin akan menjadi momen yang tak ‘kan lekang oleh
waktu. “Bom Atom” berupa down-nya aplikasi SIMPONI
karena putusnya kabel Telkom bisa dinetralisasi oleh sinergi
dari semua unsur SIMPONI. Bom Atom itu tidak bisa
menghancurkan kekuatan sinergi Tim SIMPONI. Sinergi
dari seluruh level jabatan, mulai pejabat tinggi (Dirjen
Anggaran dan Staf Ahli Menkeu) sampai pelaksana. Sinergi
yang mencakup seluruh pemangku kepentingan, mulai
dari Direktorat PNBP, Direktorat Sistem Penganggaran,
Pusat Layanan DJA, Direktorat Sistem Perbendaharaan,
Direktorat Sistem Informasi dan Teknologi
Perbendaharaan, Direktorat Pengelolaan Kas Negara,
Pusintek, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Telkom,
Pertamina, Seluruh Kementerian/Lembaga, seluruh satker
di seluruh Indonesia, serta Wajib Bayar/Wajib Setor.

Kekuatan sinergi menjadikan sesuatu yang agak mustahil


dilakukan, bisa terjadi. Sinergi seluruh elemen di
Kemenkeu mampu memperbaiki down SIMPONI akibat
putusnya kabel Telkom yang disebabkan Proyek MRT,
tidak lebih dari 5 jam, padahal gangguan karena matinya
listrik pada bulan Mei 2016 (walaupun ada genset cadangan),
membutuhkan waktu lebih dari satu hari. Sinergi mampu
mengubah suasana pagi yang penuh kekhawatiran dan
kecemasan menjadi suasana yang penuh bangga karena
SIMPONI beroperasi normal kembali sehingga semua
Wajib Bayar, Wajib Setor dan 23 ribu satker di seluruh
Indonesia dapat melakukan penyetoran PNBP dan sisa UP/
TUP dengan lancar ke Rekening Kas Umum Negara melalui
Karena Kita Garda

SIMPONI. Dan pastinya, SIMPONI membantu pencapaian


PNBP, dengan capaian 107,05% dari target dalam APBN-P
Tahun 2016 sebesar Rp245,08 Triliun.

Bom Atom bisa meluluh lantakkan Hiroshima-Nagasaki,


tetapi tidak bisa meluluh lantakkan kekuatan Sinergi Tim
SIMPONI (MPN G2).
318

Kekuataan sinergi menjadikan


sesuatu yang agak mustahil
dilakukan, bisa terjadi.
Perkenalkan…
Namaku Alika

Oleh:
Bagian Keuangan,
Setditjen Kekayaan Negara

Aku terlahir prematur, hanya dikloning selama tiga

319
bulan untuk hadir di dunia ini. Kehadiranku sangat
diharapkan dan ditunggu-tunggu oleh para stakeholder.
Wajar saja, bukannya aku sombong tapi lebih disebabkan
keunggulanku dari generasi sebelumnya. Kata orang

Kementerian Keuangan
aku lebih efisien dari pendahulu-pendahuluku, jika
memanfaatkan aku, maka hanya dengan melakukan input
satu kali sudah menghasilkan beberapa output. Selama
ini aku juga tidak berdiam diri, aku terus berbenah
mengembangkan diri untuk kesempurnaanku.

Bulan Februari lalu usiaku genap sudah satu tahun.


Walaupun aku terbilang masih muda, tapi dengan percaya
diri aku sudah menjejakkan kakiku dengan tegak bak
seorang gadis cantik, menarik dan menawan, karena tanpa
aku, para stakeholder kewalahan. Aku dilahirkan dari
sinergi sebuah tim kecil di Bagian Keuangan, Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara yang secara konsisten dan
berkesinambungan memonitor/mengawasi perkembangan
hidupku. Tim kecil itu terdiri dari para inisiator,
konseptor, analis, programmer, dokumenter, dan pihak
yang mengimplementasikan, yang berupaya melakukan
perbaikan, peningkatan pelayanan dan efisiensi. Tim kecil
inilah yang membuat grand design-ku sejak lahir hingga
tumbuh dewasa nanti.

Awalnya aku dibuat untuk mendukung Aplikasi SAS


(Sistem Aplikasi Satker) dan mengganti fungsi routing slip
sebagai monitoring berkas yang tadinya dikerjakan secara
manual menjadi digital, sehingga dapat mendorong Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) untuk lebih cepat melakukan
input data ke dalam sistem dan mempersingkat proses
pengajuan pembayaran dari PPK ke Bagian Keuangan.
Karena Kita Garda

Fitur andalanku adalah Paysis (Payroll System), yang dipakai


untuk membuat daftar payroll (daftar pembayaran). Aku
mampu menyimpan seluruh data referensi pegawai, seperti:
Nama, NIP, Golongan, Nomor Rekening, NPWP, dan
lainnya sehingga pembuatan daftar payroll dapat dilakukan
dengan cepat, tepat, dan akurat. Bisa dibayangkan dengan
jangkauan seluruh provinsi, daftar payroll yang dulunya
320

hanya dibuat dengan Excel dan kondisi data yang tidak


terpusat, maka PPK harus menambah atau melakukan
update data pegawai secara manual, apalagi bila data
tersebut tercecer atau belum tersedia. Sekarang bank
dataku semakin banyak, lengkap, dan akurat sehingga dapat
menambah manfaat, misalnya untuk membuat laporan
perpajakan/Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Masa
dan Bukti Potong Pajak. Tugas Bendahara Pengeluaran
menjadi lebih ringan, cukup men-download data dari daftar
nominatif pembayaran yang dihasilkan Paysis, sudah ada
data bruto dan pajaknya dalam bentuk Excel, kemudian data
Excel tersebut diolah untuk menghasilkan data .csv yang
digunakan untuk di-upload ke SPT.

Keunggulanku lainnya yang patut aku banggakan adalah


fitur monitoring berkas. Aku mempunyai kemampuan untuk
mengetahui keberadaan posisi penyelesaian berkas terakhir
dan mengukur ketepatan waktu penyelesaian berkas di
semua lini, aku dapat memastikan berapa jumlah berkas
yang memenuhi syarat untuk diproses dan berapa jumlah
berkas yang ditolak, sehingga semuanya tercatat dengan
lengkap kapan masuk loket, kapan diproses, kapan ditolak,
dan kapan selesai.

Sejalan dengan ceritaku di atas, berdasarkan grand design


yang sempat aku intip, dapat aku simpulkan bahwa aku
telah didukung oleh empat buah fitur, yaitu fitur paysis,
fitur perpajakan, fitur monitoring berkas, dan fitur data
realisasi anggaran terkini. Oh ya, masih ada loh satu fitur
tambahan yang baru dan keren, yaitu fitur pembayaran
honorarium tim. Dengan adanya fitur ini, tidak diperlukan
lagi SPTJM (Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak)
pegawai. Jumlah tim yang diikuti oleh setiap pegawai sudah
dapat dimonitor secara otomatis dan pengajuan berkas juga
lebih mudah dan cepat.

Namun aku menyadari sepenuhnya, bahwa aku tidak bisa


berlari kencang sendirian, aku juga perlu dukungan dari
luar. Suatu saat nanti aku ingin sekali bisa berkolaborasi

321
dengan aplikasi yang lebih eksis di unit kami, yaitu Aladin
(Aplikasi Perjalanan Dinas) dan Aplikasi Perhitungan Biaya
Mutasi dalam bentuk integrasi sistem. Dengan integrasi

Kementerian Keuangan
tersebut pasti aku akan menjadi lebih canggih dan semakin
bermanfaat untuk organisasi. Semoga, aku yang lahir dari
sebuah ide dan gagasan sederhana bisa menjadi inspirasi
semua orang, bersedia dan akan sangat bangga jika ada
yang mereplikasiku di tempat lain. Akulah Alika… Aplikasi
Keuangan DJKN.

Awalnya aku dibuat untuk mendukung


Aplikasi SAS (Sistem Aplikasi Satker)
dan mengganti fungsi routing slip
sebagai monitoring berkas yang tadinya
dikerjakan secara manual menjadi digital.
1 + 1 = 27

Oleh:
Siti Mulyanah,
Pegawai DJPK
Karena Kita Garda

Bulan Juni 2016 reorganisasi DJPK. Wah, mutasi lagi! Benar


322

ternyata. Hiks. Cukup satu tahun saja dipercaya untuk


menangani Pengelolaan Risiko. Baru mulai suka, baru
mulai belajar, dan baru saja bersemangat merencanakan
hal-hal menyenangkan seputar ‘Risiko’, yaah... pindah lagi
deh.

Saya sudah tahu sejak sebulan sebelumnya, karena Bapak


Sekretaris (Pak Ses) membocorkan rahasia dalam sebuah
rapat internal. Dan anehnya hanya saya yang dibeberkan.
Sabda Beliau karena ada yang harus dikerjakan segera dan
konon agar tidak terkejut nantinya.

Baiklah. Singkat cerita saya dilantik memegang tampuk


Kasubbag Organisasi dan Tatalaksana. Di antara segudang
tugas yang jelas ataupun blur, salah satunya adalah
mengawal Inisiatif Strategis (IS) Reformasi Birokrasi
Transformasi Kelembagaan (RBTK) DJPK.

Betul, Pak Ses. Saya memang terkejut! Bukan saja karena


baru menangani tetapi karena kurang ilmu dan otak saya
sudah lola (loading lama, kata anak-anak gen ‘Y’). Tentunya
harap dimaklumi karena saya sudah tidak muda lagi (agak
segan mengaku tua). Kondisi itu ditambah pula bahwa saya
hanya tamatan S1 (banyak yang lebih muda dari saya sudah
S2 dan S3, luar biasa ya?!).

Alhamdulillah, nyali saya tidak ciut karena saya yakin


1+1=27. Maksudnya adalah jika kita mengerjakan sesuatu
secara ‘berjamaah’/berkelompok/bekerja sama tidak akan
ada yang sulit. Amin.

Cukuplah pembukaan kisah ini. Selanjutnya izinkan saya


menceritakan kisah ini menggunakan nama asli teman-
teman yang membantu saya. Sebagai ucapan terima kasih
yang tidak terhingga dan harapan agar sinergi tetap terjaga.

Tugas Pertama: Integrasi 5 IS DJPK dengan


IS Kemenkeu

Bagaimana ya caranya menyelesaikan tugas ini?


Permohonan bantuan diajukan kepada Pak Ses. Luar

323
biasa Beliau benar-benar sangat membantu mencerahkan
pandangan saya tentang apa itu IS, tidak lupa saya sebutkan
bahwa CTO juga sangat-sangat membantu. Sayangnya

Kementerian Keuangan
hanya pandangan saja yang cerah. (Ingat 2 kondisi saya tadi
ya: tidak muda lagi dan belum terlalu pintar!).

Dengan bantuan Pak Ses, tugas tersebut dibawa ke dalam


pembahasan Rapat Pimpinan (Rapim). Lima eselon II di
DJPK membantu menyusun dan mengoreksi sampai tuntas.
Kepala yang hampir uzur ini saya manfaatkan sebaik-
baiknya. Diskusi pimpinan terekam jelas dalam benak
dan siap untuk diolah. Singkat cerita tuntas sudah tugas
pertama. Siapa yang menyelesaikan? Hahaha! Bukan saya,
tapi para pimpinan DJPK. Teman-teman CTO mungkin
tahunya saya yang membuat. Terbongkar deh rahasia. Ya,
namanya juga behind the scene!

Tugas Kedua: Perumusan IS Baru DJPK

Terjadi pergantian Menteri. Kebijakan baru. 5 IS DJPK


dikembalikan untuk dipantau secara internal dan DJPK
diminta mengusulkan 1 IS baru dengan salah satu
kriterianya adanya connecting the dot antarunit eselon I. Saat
itu saya sudah 3 bulan menduduki tempat baru. Strategi
tugas pertama tidak etis lagi saya gunakan. Setidaknya
saya harus muncul dengan suatu gagasan untuk meminta
persetujuan ataupun arahan dari Beliau.

Proses pencarian ide pun dimulai. Rekaman Rapim


saya keluarkan melalui coretan pada 5 IS awal. Sedikit
pengetahuan pengelolaan risiko ternyata sangat membantu.
Terbayang bahwa akan ada risiko 5 IS tersebut tidak dapat
dikawal dengan baik penyelesaiannya karena tidak lagi
Karena Kita Garda

menjadi IS yang dipantau oleh Menteri. Berarti harus dicari


strategi agar risiko tidak terjadi. Idenya adalah rumusan IS
baru harus mencakup 5 IS lama. Tapi bagaimana ya?!

Langkah 1 noted. Langkah 2 mulai. Menuruni lift dari


lantai 10 ke lantai 7. Mengetuk pintu ruangan para Analis
Keuangan Pusat dan Daerah Bidang Dana Perimbangan.
324

Perlu diketahui, sangat menyenangkan bicara dengan


mereka. Menyenangkan karena mereka sangat terbuka
dan tidak pelit ilmu. Banyak isu-isu yang ditawarkan
untuk menjadi IS. Langkah 2 menghasilkan kumpulan isu
strategis Kemenkeu yang terkait juga dengan DJPK.

Next! Outline langkah 1 dan 2 dituangkan dalam bahan


paparan sederhana. Masih sangat mentah. Dibutuhkan
satu usulan yang lebih nyata. Dengan bantuan bapak
kabag, Beliau berhasil menghadirkan kasubdit yang sangat
sibuk dan kasubdit baru saja promosi, para Jafung AKPD
(Jabatan Fungsional Analis Keuangan Pusat dan Daerah).

Alhamdulillah, nyali saya tidak ciut,


karena saya yakin 1+1=27. Maksudnya
adalah jika kita mengerjakan sesuatu
secara ‘berjamaah’/berkelompok/bekerja
sama tidak akan ada yang sulit.
Jujur dalam pertemuan tersebut saya hanya menyampaikan
permasalahan saya dalam menyelesaikan tugas perumusan
IS baru DJPK. Selebihnya saya hanya mendengarkan
diskusi yang luar biasa. Done! Rapat yang sangat efektif. Just
info, rapat ini tanpa surat undangan, hanya lewat telepon
internal dan WhatsApp. Hasil rapat adalah: 1) Nama IS nya
“Sinkronisasi Penganggaran Pusat dan Daerah”; 2) Latar
belakang: banyak terjadi tumpang tindih penganggaran
untuk kegiatan di daerah melalui DAK dan K/L; 3) Tujuan
IS: efektivitas belanja APBN; 3) Connecting the dot: DJPK,
DJA, K/L, dan Pemda.

Lapor Pak Ses bahwa telah dihasilkan nama, latar belakang,


tujuan, dan hubungan sinergi IS baru! “Apakah Bapak
menyetujuinya? Mohon arahan.”
Ya, Beliau setuju!

Selanjutnya Beliau menugaskan untuk menyelesaikan sesuai

325
format yang diinginkan CTO. Walhasil rapat berikutnya
terjadi kembali. Kali ini peserta rapatnya adalah para
Jafung AKPD ditambah seorang Kasi Hibah. Dan secara

Kementerian Keuangan
virtual melalui WhatsApp dengan anggota Tim 10. Suasana
rapat sangat santai, kadang ditingkahi perdebatan seru
mengundang Pak Ses untuk mengintip kegiatan kami
sambil geleng-geleng kepala dan tersenyum. Ah, kalian!
Jadi juga draft IS charter-nya. Terima kasih semua.

Nota dinas meluncur menuju Sekretaris DJPK, dibahas


dalam Rapim dan selesai. Pembahasan dengan CTO dibantu
oleh bapak dan ibu kasubdit yang luar biasa. Akhirnya
ditetapkan menjadi #IS 19: Sinkronisasi Penganggaran
Pusat dan Daerah.

Energi positif yang saya dapatkan dari teman-teman sangat


kuat. Energi positif itu bernama sinergi. Bayangkan,
mereka semua membantu tanpa undangan resmi, hanya
atas nama kerja sama. Terima kasih banyak, mari kita kawal
realisasinya.
Nafasku
Melayani
Karena Kita Garda
326

Makna dari pelayanan yaitu


memberikan pelayanan yang
The best memenuhi kepuasan pemangku
kepentingan yang dilakukan
way to lose dengan sepenuh hati, transparan,
yourself is to cepat, akurat, dan aman.
lose yourself Perilaku utama dari nilai ini yaitu:
in the service 1. Melayani dengan berorientasi
pada kepuasan pemangku
of others. kepentingan.
2. Bersikap proaktif dan cepat
— Mahatma tanggap.
Gandhi
Pada dasarnya setiap manusia adalah pelayan. Tidak
ada manusia yang benar-benar menjadi bos. Orang lain
selain diri kita adalah pelanggan kita. Seorang suami
akan melayani kebutuhan sang istri dengan memberikan
perhatian terbaik baginya. Sang istri memberikan
pelayanan kepada sang suami melalui kelezatan makanan
yang dimasak. Seorang bayi mungil memberikan layanan
kepada orang tuanya melalui tawa riangnya. Melihat
kenyataan tersebut, maka tidak sepantasnya kita bersikap
seolah-olah bahwa kitalah yang memiliki kuasa atas orang
lain. Namun justru sebaliknya, bahwa kita yang harus

327
memuaskan orang lain.

Salah satu program yang diinstuksikan oleh Presiden


Republik Indonesia pada Gerakan Nasional Revolusi

Kementerian Keuangan
Mental adalah Gerakan Indonesia Melayani. Fokus dari
gerakan ini, antara lain: peningkatan kapasitas sumber
daya manusia Aparatur Sipil Negara, penyempurnaan
standar pelayanan dan sistem pelayanan yang inovatif
(e-government), peningkatan perilaku pelayanan publik
yang cepat, transparan, akuntabel, dan responsif, serta
penyederhanaan pelayanan birokrasi (debirokratisasi).

Dalam berbagai sektor privat maupun publik, pelayanan


adalah kunci dalam mempertahankan loyalitas pelanggan.
Semangat melayani di Kementerian Keuangan telah
disesuaikan dengan kebutuhan pemangku kepentingan/
stakeholders-nya. Setiap pegawai di Kemenkeu diharapkan
mampu memberikan pelayanan yang cepat dan sepenuh
hati sehingga mampu memberikan kepuasan bagi
pelanggan.

Seringkali, ketidakpuasan stakeholders Kemenkeu bukan


karena buruknya kualitas pelayanan yang diberikan,
tetapi karena tidak bertemunya antara pelayanan yang kita
berikan dengan kebutuhan para stakeholders. Dan harus
diakui, masyarakat sebagai pengguna jasa layanan memiliki
kekuatan absolut untuk memutuskan. Namun demikian,
tentunya tak berarti kita harus menyerahkan visi, misi,
nilai, dan idealisme kita kepada stakeholders. Berfokus pada
kebutuhan stakeholders berarti mempertemukan antara cita-
cita dengan realita.

Kemenkeu selalu berupaya memperlakukan seluruh


pengguna jasa layanan Kemenkeu dengan adil, jujur, dan
dengan cara yang memenuhi ketentuan hukum yang
berlaku, serta memenuhi prinsip-prinsip kepemerintahan
Karena Kita Garda

yang baik/good governance sebagai instansi pemerintah.

PNS Kemenkeu dalam memberikan pelayanan kepada


masyarakat berorientasi pada kepuasan stakeholders,
menghindari arogansi kekuasaan, bersikap ramah dan
santun, dan bersikap proaktif dan cepat tanggap.
328

Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada


masyarakat, Kemenkeu mengadakan penilaian Kantor
Pelayanan Terbaik (KPT). Kegiatan ini merupakan kegiatan
internal Kemenkeu yang dilakukan secara rutin satu tahun
sekali dalam rangka mewujudkan good governance melalui
perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan pada kantor
pelayanan di lingkungan Kemenkeu. Penilaian KPT
merupakan langkah strategis untuk melaksanakan evaluasi
atas kinerja pelayanan publik yang dikemas sedemikian
rupa untuk mendapatkan gambaran kinerja yang objektif
dari kantor pelayanan di lingkungan Kemenkeu dan
memberikan stimulus/motivasi berupa penghargaan.
Instrumen penilaian KPT meliputi: penilaian kinerja
(antara lain terdiri dari: manajemen perubahan; penataan
sistem manajemen SDM; penguatan akuntabilitas kinerja;
penguatan pengawasan; terwujudnya pemerintahan yang
bersih dan bebas dari KKN; visi, misi, dan moto pelayanan;
standar pelayanan dan maklumat pelayanan), inovasi, dan
prestasi.

Untuk memberikan kepastian dalam pelayanan, PNS


Kemenkeu selalu bekerja berdasarkan Standar Operasional
Prosedur (SOP) yang ada. SOP merupakan mekanisme dan
prosedur yang baku sesuai dengan tugas dan fungsi masing-
masing unit organisasi di lingkungan Kemenkeu. SOP
disusun dalam rangka meningkatkan kinerja dan kualitas
pelayanan Kemenkeu. Sampai dengan tahun 2017, jumlah
SOP di Kemenkeu sebanyak 14.797 SOP Reguler, 86 SOP
Layanan Unggulan, dan 70 SOP-Link.

Komitmen memberikan pelayanan untuk kepuasan


seluruh stakeholders dilakukan seluruh unit di lingkungan
Kemenkeu yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Berikut
adalah kisah untuk menggambaran bagaimana budaya
kerja PNS Kemenkeu dalam rangka memberikan pelayanan
untuk kepuasan seluruh stakeholders Kemenkeu.

329
Kementerian Keuangan
Ditagih Malah
Berterima Kasih

Oleh:
Joko Susanto,
Pegawai DJP
Karena Kita Garda

Memercayakan pengurusan pajak kepada pihak lain


330

walaupun itu sahabat karib tanpa disertai dengan


pengawasan membuahkan kepahitan yang berbuntut pada
penyeselan. Bak pepatah “Air susu dibalas dengan air tuba”
dan apa daya “Nasi sudah menjadi bubur”, hikmahnya
“Sebaik apapun disembunyikan, bau bangkai pasti akan
tercium juga”.

Kami mendapatkan data bahwa PT Morat-Marit (bukan


nama sebenarnya) mempunyai tunggakan pajak lebih dari
Rp700 juta. Angka tersebut jelas sangat signifikan bagi
penerimaan pajak selevel Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Pratama.

Tagihan itu muncul karena ada transaksi penjualan aset


perusahaan berupa tanah dan/atau bangunan. Lokasinya
yang sangat strategis membuat harga pasarnya pun meroket
dari tahun ke tahun. Perkembangan perusahaan yang
kurang menguntungkan secara ekonomis menyebabkan
manajemen memutuskan aset itu terpaksa dilepas. Namun
tetap mempertahankan usahanya.

Dengan melakukan berbagai usaha untuk menawarkan


aset perusahaan, baik melalui iklan maupun penawaran
langsung, akhirnya ada pihak yang tertarik untuk membeli
aset tersebut. Untuk mempercepat proses pengalihan hak
maka perusahaan menggunakan jasa notaris. Yang dipilih
adalah teman baik pemilik perusahaan yang berprofesi
sebagai notaris. Hal tersebut dilakukan karena kepercayaan
saja dan supaya komunikasi terjalin dengan harmonis.

Waktu terus berlalu tanpa pernah kompromi menunggu


siapapun. Perusahaan penjual aset sudah senang menerima
jumlah uang yang tidak bisa dibilang sedikit. Tanah dan
bangunan telah berpindah tangan. Urusan kewajiban pajak
sudah dipercayakan. Perusahaan sudah berkonsentrasi
memikirkan rencana pasca pelepasan aset. Belum lagi
dibingungkan nasib para karyawan yang telah puluhan
tahun mengabdi di perusahaan. Maka urusan jual beli
tersebut sudah dianggap closed. Beres. Termasuk urusan
yang timbul dan berhubungan dengan kewajiban pajak.

331
Tiba-tiba perusahaan penjual aset bagaikan terkena petir
di siang bolong ketika mendapat surat teguran dari kantor

Kementerian Keuangan
pajak. Perusahaan itu ditegur karena memiliki utang pajak
lebih dari Rp700 juta! “Bukankah itu transaksi jual beli
tanah dulu. ‘Kan sudah beres. Kok masih dikirimi tagihan?”
Kilah manajemen perusahaan.

Manajemen melakukan konfirmasi kepada notaris yang


dahulu diserahi amanah untuk pengurusannya. Berkali-kali
dia mengelak dan meyakinkan bahwa urusan pajak sudah
tidak bermasalah. Namun ketika Notaris itu diminta bukti
pembayaran berupa Surat Setoran Pajak (SSP), ia tidak
pernah bisa menunjukkannya. “Masih tersimpan rapi, tapi
terselip entah di mana,” elaknya.

Walaupun jangka waktu penagihan terlewati utang


pajak tersebut tetaplah belum terbayar. Suatu saat Kantor
Wilayah DJP meminta nama-nama penunggak pajak
terbesar di masing-masing KPP untuk diumumkan di
surat kabar. Kantor kami pun mengirimkan nama-nama
yang bertengger di urutan teratas daftar penunggak pajak
terbesarnya. PT Morat-Marit termasuk dalam kandidat
nama penunggak pajak yang dikirimkan tersebut.

Waktu yang ditentukan pun tiba. Nama-nama penunggak


pajak itu terpampang di salah satu surat kabar andalan
yang ada di Jawa Timur. PT Morat-Marit muncul di
daftar penunggak pajak terbesar. Pihak perusahaan
pun mengetahuinya. Mereka mengaku sangat malu dan
dirugikan dengan pengumuman itu. Secara kasat mata,
jelas ada kekhawatiran para kliennya makin menjauh. Apa
mau dikata, memang nyata-nyata mereka mempunyai utang
Karena Kita Garda

pajak.

Ada hikmah di balik setiap peristiwa. Tindakan penagihan


tersebut ternyata dapat membuka tabir penggelapan uang
yang dilakukan notaris. Kalau tidak ada surat tagihan dari
kantor pajak, mungkin pelaku penggelapan uang pajak akan
melenggang dan merasa bebas.
332

Tagihan memang istilah yang kurang disenangi, apalagi


menyangkut pajak. Kasus ini agak istimewa, penagihan
mampu menyingkap kriminalitas. Oknum notaris itu pun
akhirnya mengakui bahwa pajak atas transaksi dimaksud
memang belum dibayarkan. Karena pelaku utamanya
merupakan teman akrab pemilik perusahaan, maka kasus
ini akan diselesaikan secara kekeluargaan oleh mereka
sendiri.

PT Morat-Marit muncul di daftar


penunggak pajak terbesar. Pihak
perusahaan pun mengetahuinya. Mereka
mengaku sangat malu dan dirugikan
dengan pengumuman itu.
Belajar dari efek (positif) penagihan di atas, maka sekalian
berfungsi untuk mengejar target penerimaan pajak, peran
jurusita sangatlah strategis. Terlepas apakah kejadian di
atas sebuah kebetulan atau tidak, yang jelas aspek positifnya
masih banyak. Meski kurang senang ditagih, tetapi wajib
pajak malah berterima kasih. “Untung ditagih, Pak,”begitu
katanya berulang kali. “Kalau tidak ditagih kantor pajak,
saya tidak tahu kalau ditipu kawan,” tambahnya.

Selayaknya kita tetap bersemangat menegakkan kebijakan


guna menopang kuatnya peran dan fungsi pajak. Siapa
sangka ditagih kok malah berterima kasih. Tagihan pajak
lancar dan wajib pajak pun senang.

Sumber: Buku Berkah DJP, Untaian Kisah Perjuangan Penagihan Pajak

333
Kementerian Keuangan
Bapak Loket 3

Oleh:
Kawas Rolant Tarigan,
Pegawai DJP
Karena Kita Garda

Saya bekerja di KPP Pratama Karawang Utara dan


334

ditempatkan pada Seksi Pelayanan di Tempat Pelayanan


Terpadu (TPT). Saya selalu “siap” di loket 3. Sebagai ujung
tombak yang bekerja di garis depan, banyaklah Wajib
Pajak yang mengenal saya. Mereka bahkan memanggil saya
dengan panggilan khusus: Bapak Loket 3.

Ya, begitulah nama panggilan yang mereka sematkan


pada saya. Saya tidak tersinggung, bahkan gembira atas
kreativitas para Wajib Pajak tersebut. Hal itu membuat saya
terkait dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab
yang diamanatkan oleh negara. Bagi saya itu trademark
keren dan menyenangkan.

Siang itu, saya memanggil antrean selanjutnya. Kemudian


datang seorang lelaki berwajah sangar yang sudah tidak
asing lagi bagi saya. Dia memang sering datang dengan
segepok SPT dari berbagai perusahaan Wajib Pajak yang
semuanya nihil. Kami membahasakannya dengan “CV
NIHIL JAYA” untuk SPT yang dibawa para calo. SPT yang
demikian tidak pernah berisi angka dan pada kolom-
kolomnya, hanya berisi tulisan NIHIL. Sebenarnya buat
saya hal itu merupakan fenomena menyedihkan karena
kebanyakan Wajib Pajak jenis ini merupakan rekanan
instansi tertentu.

Saat berhadapan dengan lelaki berwajah sangar itu saya


spontan teringat pada Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 32 UU
KUP, bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan (mengisi,
menandatangani, termasuk pelaporan SPT) yang dilakukan
oleh bukan pengurus Wajib Pajak yang bersangkutan harus
menggunakan Surat Kuasa Khusus. Mungkin Pasal ini bisa
menjadi alat yang tepat untuk menanganinya.

Dia datang ke loket 3, lalu menyodorkan setumpuk SPT.


Seperti biasa, setelah saya memberikan salam, mulailah
pembicaraan fokus pada keperluan orang tersebut.

“Pak, untuk pelaporan SPT yang bukan kepunyaan Bapak


atau SPT titipan, Bapak harus menyertakan Surat Kuasa.”

Di luar dugaan, nada suaranya kemudian meninggi nyaris

335
menjadi bentakan, “Ah, jangan mempersulit, kemarin-
kemarin juga bisa. Di kantor lain masih bisa kok. Kamu
jangan macam-macam.”

Kementerian Keuangan
Saya membalas dengan penegasan, “Peraturan ini kita
terapkan berdasarkan Undang-Undang, silakan Bapak
baca ketentuannya di KUP atau konsultasikan dengan AR
Bapak.”

“Ah, kamu jangan mengada-ada,” sambarnya lagi, “Udah


terima saja, jangan mempersulit persoalan.”

“Tentu tidak bisa, Pak. Begitulah peraturannya, dan ini


juga untuk tertib administrasi, supaya Wajib Pajak yang
bersangkutan sebisa mungkin melaporkan sendiri SPT-nya
tidak melalui perantara. Maaf, Pak, SPT-nya tidak bisa saya
terima.”

“Kamu mau melawan saya?” tantangnya sambil tangannya


menggebrak meja.

“Kamu masih muda tidak usah cari masalah. Kamu ini,


orang mana? Hah, orang mana? Kamu pendatang ‘kan?
Saya ini orang asli. Hati-hati, ya!” Suaranya sudah menjadi
teriakan yang menarik perhatian orang-orang di TPT kami
yang kecil. Mereka hanya diam dan menonton. Teman-
teman di loket lainnya juga diam, mungkin masih terpukau
oleh teriakan lelaki sangar di depan loketku. “Orang mana
kamu?”

Perasaan gentar muncul dalam hati. Namun, entah


bagaimana, kesadaran membuat keberanian saya kembali
menyeruak mengalahkan rasa gentar yang datang.
Karena Kita Garda

Masih dengan suara rendah dan sebisa mungkin saya


buat agar terkesan ramah, “Saya orang Medan, Pak. Saya
memang pendatang di sini, tapi saya melaksanakan tugas
sebagaimana aturan yang berlaku.”

“Hmm, orang Medan. Jauh ya, hati-hati kamu. Awas ya,


berani?” Dia mengancam sambil merapikan berkas-berkas
336

SPT yang dibawanya sebelum pergi.

Sesaat setelah kejadian itu TPT rasanya senyap sekali.


Jantung saya berdebar, keringat mengucur. Jujur saja,
saya benar-benar shock, saya pergi ke toilet, cuci muka,
menenangkan diri. Saat itu saya memang masih “orang
baru” di Karawang. Sebagai anak kampung, saya ketakutan
menghadapi ancaman Bapak itu, walaupun tetap berusaha
kelihatan tegar.

Hampir dua minggu saya tidak percaya diri untuk


berpergian sendiri, untuk makan, belanja, jalan, di
parkiran, atau di taman. Saya gelisah. Saya merasa takut
dan waswas meski tidak mampu menetapkan sebenarnya
saya takut terhadap apa. Saya hanya tahu bahwa semenjak
kejadian siang itu nyawa saya menjadi tidak aman, hidup
saya menjadi tidak nyaman. Saya selalu merasa diikuti
dan diintai. Setiap saat saya dimangsa oleh kegelisahan,
takut, dan waswas. Saat masa-masa kalut itu sering muncul
bisikan, “Ngapain kamu nyusahin diri sendiri,” atau “Grade-
mu rendah,” atau “Capek? Ngapain capek-capek menjaga
TPT,” dll. Untunglah bisikan-bisikan tak meracak di hati,
dan saya bersyukur di dalam doa dan persekutuan dengan
para sahabat setia, selalu dikuatkan.

Sekarang dua tahun telah berlalu setelah kejadian itu.


Ternyata sampai detik ini saya aman-aman saja. Justru
setelah kejadian siang itu, saya tidak pernah bertemu Bapak
itu lagi. Wajahnya pun sirna dari ingatan saya.

Siang yang lain saya dengan sabar mengurusi NPWP


para pensiunan yang tak bisa berbahasa Indonesia. Saya
yang punya lidah Batak harus belajar bahasa Sunda halus,
“Ieu, Pak, punten NPWP-na, hatur nuhun atos ngadamel
NPWP.”

Lain waktu lagi saya harus “ngotot”menolak amplop dari


Wajib Pajak, mulai dari yang tipis sampai agak tebal; mulai
dari Wajib Pajak yang berpakaian dinas, sipil, aparat,
sampai yang bercelana pendek; mulai dari Wajib Pajak yang

337
punya bengkel sampai pabrik baja.

Kadang harus mengalami suka-duka mengurus SPMKP


dan SPMIB ke KPPN.

Kementerian Keuangan
Pernah beberapa kali trademark keren saya diganti oleh
teman-teman dan saudara-saudara saya menjadi ‘Gayus’.
Padahal saya lebih senang dipanggil “Bapak Loket 3.”

“Mau ketemu siapa, Neng?”

“Itu... ehm... Bapak Loket 3.”

Tak apalah nama saya dilupakan oleh para Wajib Pajak.

Yang paling membekas di hati saya adalah saat seorang


Wajib Pajak datang pada loket saya dan berkata, “Sekarang
kantor Pajak udah beda ya, Pak! Saya senang lho kalau ke
kantor ini.”

Wah, pernyataan itu benar-benar sangat menghibur saya.

Menjadi petugas TPT mengajarkan saya bagaimana cara


untuk terus tetap tersenyum kepada para Wajib Pajak,
meski badan saya dalam keadaan lelah, meski hati saya
sedang dirundung badai. Kadang saya cukup memejamkan
mata, mengingat berkah Sang Khalik dan bersyukur, tak
terasa bibir saya sudah melengkungkan senyuman.

Hidup tak selamanya seindah kebun bunga, akan datang


saat-saat badai untuk menguji ketangguhan kita, dalam
pekerjaan, dalam keluarga. Jadi, keputusannya ada pada
kita, bagaimana tetap tersenyum di tengah badai walaupun
angin topan dengan keras melanda hidupmu. Dan TPT,
bagiku menjadi tempat belajar untuk selalu tersenyum.
Karena Kita Garda

Senyum sebagai ekspresi rasa syukur dari dalam hati.


338

Menjadi petugas TPT mengajarkan


saya bagaimana cara untuk terus tetap
tersenyum kepada para Wajib Pajak,
meski badan saya dalam keadaan lelah,
meski hati saya sedang dirundung badai.
Sebuah Hati
yang Sabar
untuk Desa Mirit
Oleh:
Galih Shaha Dewa,
Pegawai DJBC

“Pak Haji dataang!”

339
Seperti sebuah kode datangnya orang-orang berseragam
yang akan mengangkut semua rokok ilegal yang
ada di setiap warung. Ada yang takut dan berusaha

Kementerian Keuangan
menyembunyikan sesuatu, tetapi ada juga yang lantas
berkata, “Wis ora dodolan rokok bodong maning, Pak. Wis
kapok. (Sudah tidak jualan rokok ilegal lagi, Pak. Sudah
jera).”

Itulah yang terjadi hampir di setiap kegiatan Operasi Pasar


Barang Kena Cukai yang kami laksanakan. Operasi Pasar
Barang Kena Cukai atau yang cukup disebut Operasi Pasar
adalah suatu kegiatan pengawasan terhadap peredaran
Barang Kena Cukai di pasaran. Sasaran utama dari
pengawasan tersebut adalah mencari keberadaan rokok
ilegal yang marak beredar di masyarakat. Kantor Bea Cukai
Cilacap melaksanakan Operasi Pasar yang merupakan
salah satu fungsi pengawasan untuk keberadaan rokok
ilegal dalam wilayah pengawasannya yang meliputi seluruh
Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Kebumen.

Dengan luas wilayah pengawasan tersebut dibutuhkan


pegawai yang profesional dalam melaksanakan tugas
operasi pasar. Pak Rasikun salah satunya. Kasubsi
Penindakan dan Sarana Operasi yang sudah bertahun-
tahun memimpin pelaksanaan tugas operasi pasar ini
berperawakan tinggi besar dan berkumis tebal. Sosoknya
mencerminkan seorang pengawas yang garang dan
menakutkan. Bisa dipastikan apabila beliau bertemu dengan
pengedar/penjual rokok ilegal, maka mereka tak akan
pernah berani lagi untuk melakukan kegiatan di wilayah
pengawasan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan
Cukai (KPPBC) Cilacap.
Karena Kita Garda

***

Jumat pagi aku mendapatkan tugas dari Pak Rasikun


untuk membuat nota dinas usulan pelaksanaan operasi
pasar kepada kepala kantor. Operasi pasar kami usulkan
untuk dilaksanakan minggu depan selama dua hari, yaitu
340

hari Selasa dan Rabu. Walaupun sudah sering mengikuti


Operasi Pasar, tapi tetap saja aku masih merasa grogi. Ada
sedikit perasaan takut apabila nantinya dalam pelaksanaan
terjadi hal-hal yang berbahaya. Karena aku pernah
mendengar cerita tentang pelaksanaan Operasi Pasar yang
akhirnya berujung konflik dengan warga lantaran terjadi
kesalahpahaman. Ujung-ujungnya, petugas Bea Cukai
diusir dan pulang dengan tangan hampa.

Hari Selasa pun tiba juga. Petugas yang ditunjuk untuk


melaksanakan Operasi Pasar tiba di kantor pagi-pagi sekali.
Mereka adalah Pak Rasikun, Pak Purnomo, Pak Basarudin,
dan aku. Hanya aku yang memakai Pakaian Dinas Harian
(PDH), sementara mereka bertiga tidak berseragam. Ini
berkaitan dengan tugasku nanti ketika pelaksanaan operasi
pasar yang akan menunjukkan Surat Tugas Operasi Pasar
ketika terjadi penindakan dan membuat Surat Bukti
Penindakan. Dengan berseragam, kehadiranku akan lebih
mudah dikenali sebagai petugas Bea Cukai.

Target lokasi Operasi Pasar kali ini adalah pasar tradisional


di daerah Mirit, Kabupaten Kebumen. Pasar-pasar
tradisional di daerah Mirit biasanya hanya ramai di hari-
hari tertentu. Pasar Mirit hanya buka pada hari pasaran
Manis, dan hari ini adalah hari Selasa Manis. Dengan
begitu, kami berharap hari ini bisa bertemu dengan sales
yang mengedarkan rokok ilegal di Pasar Mirit. Berbekal
Surat Tugas, Surat Bukti Penindakan, alat-alat deteksi pita
cukai, dan aneka stiker larangan menjual rokok ilegal,
berangkatlah kami pada pukul 07.00 WIB.

Dengan mengendarai mobil pribadi milik Pak Rasikun,


kami berempat pun meluncur ke Mirit. Kenapa mobil
pribadi padahal ini adalah tugas kantor? Ya… menurut
pengalaman, kalau memakai mobil kantor (plat merah),
para penjual ataupun pemilik warung yang kami datangi
akan curiga dan langsung menolak bekerja sama. Dengan
pengalaman seperti itu maka diputuskan untuk memakai
mobil pribadi di setiap operasi pasar. Perjalanan Cilacap
– Mirit cukup lama, yaitu sekitar dua jam. Terkadang aku

341
sampai terkantuk-kantuk menunggu kapan kami tiba.
Sesampainya di pasar kami langsung berpencar mencari
lapak yang menjual rokok atau tembakau iris. Sembari

Kementerian Keuangan
memperhatikan merek-merek rokok yang dijual, aku juga
mengajukan beberapa pertanyaan kepada para penjual itu
berkaitan dengan keberadaan rokok ilegal di Pasar Mirit.

Setelah sejam berputar-putar mengelilingi pasar dan


mengunjungi tiap lapak penjual rokok dan tembakau iris,
kami tidak menemukan satupun yang menjual rokok ilegal.
Sepertinya penyuluhan yang dilakukan teman-teman dari
Seksi KIP cukup berhasil. Hal ini terbukti dengan adanya
informasi dari para penjual rokok di pasar itu mengenai
keberadaan pedagang/sales yang menawarkan rokok ilegal
dan mereka menolak untuk membeli kemudian menjual
kembali. Para penjual itu sudah tahu bahwa rokok tersebut
ilegal.

Operasi Pasar selanjutnya mengunjungi warung-warung


yang ada di wilayah Kecamatan Mirit. Masih mengendarai
mobil, kami mendatangi setiap warung yang ada. Kali ini,
aku tidak ikut turun dari mobil, tetapi hanya berdiam diri
di dalam mobil sambil mengamati para seniorku dalam
menjalankan tugas sekaligus berjaga-jaga apabila nantinya
terjadi penindakan.

“Nuwun sewu, Pak, arep tuku rokok sing murah-murah ana


(Permisi Pak, mau beli rokok yang murah ada)?” tanya Pak
Rasikun.

“Rokok Murah? S--su (menyebut merek tertentu) apa?”


tanya pemilik warung.
Karena Kita Garda

“Udu, Pak, anu sing mereke E--NK (menyebut merk rokok


ilegal tertentu) ana (Bukan, Pak, yang merek E--NK ada)?”
tanya Pak Rasikun lagi.

“E--NK? Sih udud apa kuwe? Anu merek anyar apa


kepriwe? (E--NK? Itu rokok apa? Merk baru yah?)” Si
pemilik warung balik bertanya.
342

“Ya ora sih, Pak, wis mandan lawas koh mereke. Nek ora ana
ya sing merek … (menyebut merek rokok ilegal lainnya) ana
apa ora? (ya nggak sih, Pak, udah lama juga kok mereknya.
Kalau nggak ada ya yang merek … ada apa nggak?)” tanya
Pak Rasikun lagi.

“Waduh ora ana loh, Pak, merek-merek kaya kuwe. Kene


dodolane sing wis terkenal bae sing genah akeh peminate.
Sing resmi-resmi baelah, Pak, sing wis ana bandrole
(Waduh nggak ada loh, Pak, merek-merek seperti itu.
Saya jualannya yang sudah terkenal saja yang jelas banyak
peminatnya. Yang resmi-resmi ajalah, Pak, yang sudah ada
bandrolnya),” kata pemilik warung.

“Ooh, ya wis, Pak, kesuwun ya (Ooh, ya sudah, Pak, terima


kasih, ya),”ucap Pak Rasikun lagi.

Begitulah sekelumit percakapan antara Pak Rasikun dengan


pemilik warung. Dalam operasi pasar ada kalanya kami bisa
langsung menemukan rokok ilegal karena memang terlihat
dan dipajang di etalase, tetapi kadang harus bertanya
terlebih dahulu untuk memastikan apakah rokok tersebut
legal atau ilegal.

Semua berjalan lancar sampai kami tiba di sebuah warung


di dekat pertigaan jalan. Ketika aku menuliskan daftar
barang yang akan dibawa, pemilik warung mulai protes
sehingga terjadi perselisihan. Pemilik warung tidak mau
barangnya disita karena jumlahnya cukup banyak dan dia
akan rugi besar. Aku coba menjelaskan bahwa memang
beginilah prosedurnya, rokok ilegal tersebut harus dibawa
ke kantor untuk nantinya dimusnahkan bersama dengan
barang hasil penindakan cukai lainnya.

Si pemilik warung mulai emosi.

“Mbok ya aja mung wong cilik bae sing di angel-angeli.


Wong aku dodolan bener-bener ya dijukuti barange (Jangan
hanya orang kecil yang dipersulit. Aku ‘kan jualan dengan

343
benar, malah diambil barangnya),” ujar si pemilik warung.

“Iya, Pak, Bapak jualannya sudah benar, tapi barang yang


Bapak jual ini kan ilegal. Sebagai aparat penegak hukum,

Kementerian Keuangan
kami harus menyita barang-barang tersebut agar nantinya
tidak lagi ada di masyarakat, Pak. Dengan adanya rokok
ilegal ini Bapak akan merugikan perusahaan yang sudah
resmi yang sudah memiliki izin.” Aku sekali lagi mencoba
menjelaskan.

“Lah ya terus kenangapa sing ditangkep udu pabrike bae?


Malah sing nang warung-warung sing dijukuti. Ujare
njenengan aku tuku kiye udud karo godong apa? Karo
duit, Mas! Pancen jumlahe ora sepiraa tapi kene kan wong
cilik, Mas. Duit satus ewu kuwe kerasa banget, Mas. Lah
kiye malah ududku se abreg-abreg dijukuti kabeh sih lah
kepriwe? (Kalau begitu kenapa yang ditangkap bukan
pabriknya? Malah yang ada diwarung yang diambil. Kamu
kira saya beli rokok ini pakai daun? Pakai uang, Mas!
Memang jumlahnya tidak seberapa tapi kita ini orang kecil,
Mas, uang seratus ribu itu sangat terasa. Lah ini malah
rokok saya sebanyak ini diambil semua terus bagaimana?)”
protesnya.

Mendengar perbincangan kami, Pak Rasikun datang


menenangkan suasana.

“Nggih, Pak, nuwun sewu yah. Barang yang Bapak jual


itu barang ilegal. Kami sebagai petugas yang tugasnya
menertibkan hal-hal semacam ini. Kami pun sudah
berusaha semaksimal mungkin. Kami sudah sosialisasi
ke kecamatan, ke kelurahan, bahkan langsung ke pasar.
Ketemu langsung sama penjualnya. Dengan begitu kami
Karena Kita Garda

berharap bahwa informasi tersebut disebarluaskan. Jadi bisa


saling membantu. Begitu, Pak,” jelas Pak Rasikun panjang
lebar.

Pak Rasikun berbicara lagi melanjutkan penjelasannya


mengenai rokok ilegal dengan tinjauan dari berbagai sudut
pandang. Berbicara soal pengalaman, Pak Rasikun memang
344

sudah kenyang dengan asam-garamnya dunia Operasi


Pasar. Beliau mampu meyakinkan pemilik warung bahwa
apa yang dilakukan Bea Cukai adalah demi melindungi
masyarakat dan industri dalam negeri yang berkaitan
dengan Barang Kena Cukai. Beliau juga bisa meredakan
emosi pemilik warung hanya dengan rangkaian kalimat
bijaknya sampai akhirnya yang bersangkutan tak menolak
saat rokok ilegalnya dibawa ke Kantor Bea Cukai Cilacap.
Kami pun tak perlu melakukan pemaksaan dan kekerasan.

Setelah semua urusan administrasi selesai, aku


menyerahkan berkas-berkas penindakan kepada Pak
Rasikun untuk selanjutnya diteliti dan ditandatanganinya.
Tak lama kemudian, Pak Rasikun pun menyerahkan
halaman kedua SBP yang sudah dibuat kepada pemilik
warung.

“Kiye, Pak, nek mengko salese teka ngeneh maning kiye


kertase diwehna bae nggo bukti bahwa barange wis dijiot
nang Bea Cukai. Terus mengko sampeyan njaluk ganti
rugine nang salese kae mau. (Ini, Pak, kalau nanti sales-nya
datang ke sini lagi, ini kertasnya diberikan saja untuk bukti
bahwa barangnya sudah diambil sama Bea Cukai. Terus
nanti kamu minta ganti ruginya ke sales tadi),” jelas Pak
Rasikun.

“Ooh iya, Pak, kaya kuwe yah? Ya wis, Pak, ngapurane ya,
Pak. Anu, aku kan ora ngerti sih, nek ngerti ya ora dodolan
rokok kaya kuwe maninglah. Untunge sepira oraa malah
dadi kena kasus kaya kiye. Kapok wislah ora dodolan kaya
kuwe maning, Pak. (Ooh iya, Pak, seperti itu yah? Ya sudah,
Pak, saya mohon maaf. Kan saya tidak tahu. Kalau tahu,
ya tidak jualan rokok seperti itu lagilah. Untungnya tidak
seberapa malah jadi kena kasus seperti ini. Kapok sudah
tidak jualan seperti itu lagi, Pak.)” kata pemilik warung.

Selama perjalanan pulang aku masih merenungi kejadian


tadi. Apa jadinya kalau akhirnya terjadi pemaksaan
dan kekerasan? Karena menurutku apa yang dilakukan
Pak Rasikun sangatlah benar. Selama kita masih bisa

345
melakukan diplomasi dengan baik, maka kekerasan tidak
lagi diperlukan.

“Geh, Lih, kalau kamu kerja di lapangan hal-hal kaya tadi

Kementerian Keuangan
itu udah biasa, Lih. Kamu harus siap. Siap dimarah-marahi,
dicaci-maki. Kuncinya kamu itu sabar. Anak muda biasane
grasa-grusu (ceroboh) ngerasa dia udah bener tapi cara
melaksanakannya salah. Kamu harus bisa memposisikan
dirimu di tempat orang yang kamu beri sosialisasi. Jangan
kamu udah emosi aja dari awal, jangan! Itu salah. Di baik-
baikin dulu, dikasih tahu tugas kita itu gimana, dijelasin
dikit- dikit yang penting sananya ngerti. kalau sananya
udah ngerti kan enak kita mau gimana dia pasti paham.
Yang jelas kuncinya sabar,” jelas Pak Rasikun panjang lebar.

“Iya, Pak. Siap!” jawabku.

***

Hari itu aku mendapatkan satu lagi pelajaran yang sangat


berharga, yaitu kesabaran. Walaupun kita berada pada
posisi bawah kita harus bersikap tegas, kita tetap harus
bisa menjaga diri. Tetap tegas tapi juga harus sabar. Seperti
Pak Rasikun ini. Beliau mencontohkan bahwa dengan
kesabaran dalam menghadapi emosi pemilik warung, Beliau
bisa meyakinkan bahwa rokok yang dijualnya itu ilegal dan
harus disita. Ujung-ujungnya pemilik warung pun akhirnya
dengan sukarela merelakan rokok ilegal miliknya untuk
dibawa ke KPPBC Cilacap.

Mendadak aku jadi teringat motto KPPBC Cilacap, Bekerja


dengan CINTA. Cinta datang dari hati, dan Pak Rasikun
telah membuktikannya.
Karena Kita Garda
346

“Iya, Pak, Bapak jualannya sudah benar,


tapi barang yang Bapak jual ini kan
ilegal. Sebagai aparat penegak hukum,
kami harus menyita barang-barang
tersebut agar nantinya tidak lagi ada
di masyarakat, Pak. Dengan adanya
rokok ilegal ini Bapak akan merugikan
perusahaan yang sudah resmi yang
sudah memiliki izin.”
Mari Tersenyum

Oleh:
Amalia Hanif,
Pegawai Setjen

Hal yang sering membuat saya berpikir keras, bukankah

347
senyum adalah sedekah, bukankah senyum menarik sekian
banyak otot di wajah yang bias membuat kita awet muda,
bukankah senyum adalah ciri khas keramahan bangsa
Indonesia?

Kementerian Keuangan
Beberapa waktu yang lalu saya, dengan 2 orang teman
berjalan bersama dari Gedung Djuanda I ke Gedung
Djuanda II. Di tengah perjalanan kami bertemu seorang
Bapak Ramah yang tersenyum kepada kami sembari
berkomentar, “Lho..kok tingginya…” sambil menunjuk
kami. Kami bertiga membalas komentar tersebut dengan
tertawa. Tinggi badan kami memang njomplang. Saya
yang tinggi semampai (baca: semeter tak sampai) berjalan
beriring dengan teman yang tinggi menjulang, dan satu lagi
teman dengan tinggi rata-rata kebanyakan orang. Well…
komentar yang singkat, tapi berhasil membuat kami semua
tersenyum bahkan tertawa.

Saya bandingkan dengan pengalaman saya yang lain.


Pernah suatu ketika saya melintas di lantai Ground Gedung
Djuanda I dan berpapasan dengan teman yang sudah sering
saya temui. Saya bilang teman karena kami bekerja pada
instansi yang sama. Saya yakin dia pegawai, sama seperti
saya, meskipun saya tidak tau nama Beliau dan unit kerja
Beliau. Saat itu saya menyapa dengan tersenyum dan sedikit
mengangguk. Dan anda tahu … tidak ada balasan senyum
apalagi sapaan dari Beliau. Wow! Apakah membalas
senyuman orang yang tidak anda kenal adalah sebuah dosa?

Hal yang sangat sepele, sekadar tersenyum, sekadar


menyapa. Namun memiliki banyak makna. Salah satu nilai-
nilai Kementerian Keuangan adalah sinergi. Pengalaman
yang saya ceritakan pertama jelas mencerminkan
Karena Kita Garda

sinergi, meskipun tidak mengenal dekat, tetapi menyapa,


menunjukkan keakraban, kekeluargaan. Pengalaman yang
kedua justru sebaliknya.

Hal yang sering membuat saya berpikir keras, bukankah


senyum adalah sedekah? Bukankah senyum menarik sekian
banyak otot di wajah yang bisa membuat kita awet muda?
348

Bukankah senyum adalah ciri khas keramahan bangsa


Indonesia? Kenapa masih banyak yang enggan tersenyum?
Padahal kita satu atap, satu instansi, satu pintu?

Lewat curhatan kecil ini, saya ingin mengajak keluarga


besar Kementerian Keuangan untuk murah senyum. Mari
bangun sinergi diawali dengan senyum. Mari menebar
senyum, kecuali… saat anda sedang dimarahi atasan.

Hal yang sering membuat saya berpikir keras,


bukankah senyum adalah sedekah? Bukankah
senyum menarik sekian banyak otot di
wajah yang bisa membuat kita awet muda?
Bukankah senyum adalah ciri khas keramahan
bangsa Indonesia?
Senyum dan Sapa
dalam Dunia Kerja

Oleh:
Yelly Metasari,
Pegawai Setjen

Pertemuan pertama

349
Saya: “Pagi, Mas.” (senyum menyapa tukang kebun yang
sedang mencabuti rumput di taman depan pintu masuk
kantor).

Kementerian Keuangan
Tukang Kebun: “Pagi, Neng.” (membalas senyum saya).

Pertemuan kedua

Suatu pagi di taman air mancur dekat parkiran mobil


kantor.

Tukang Kebun: “Pagi, Neng.” (senyum menyapa)

Saya: “Pagi, Mas. Waw, bunganya bagus. Ini bunga apa


namanya?” (saya menghampiri tukang kebun yang sedang
menyiram bunga di pinggiran taman).

Tukang kebun: “Ini namanya bunga jam 10, Neng. Soalnya


mekarnya jam 10 ke atas doang , hehehe...”

Saya: “Wah, pantesan, kalau saya lewat pagi hari belum


mekar, tapi kalau saya lewat sini siang hari, bunganya mekar
dengan cantiknya, warna warni, Mas.”
Tukang kebun: “Iya, Neng” (sambil tersenyum)

Saya: ”Ya sudah, saya duluan, mas. Mari…” (pamit menuju


gedung kantor)

Dari pembicaraan sederhana saya pagi itu dengan tukang


kebun yang biasa merawat bunga bunga di taman kantor,
terlihat bahwa tukang kebun itu punya sikap yang ramah
dan ternyata dia sangat memperhatikan lawan bicaranya.
Setelah pertemuan pertama, berlanjut ke pertemuan
berikutnya, seperti suatu hari di parkiran mobil.
Karena Kita Garda

Tukang kebun: “Pagi, Neng.”

Saya: “Pagi, Mas.”

Tukang kebun: “Di sebelah sana masih ada parkiran yang


kosong, Neng.” (sambil memegang sapu, mas tukang kebun
menunjukkan tempat parkir kosong).
350

Saya: “Owh, iya, makasih, mas.” (sambil tersenyum manis).

Lihat, saya sangat terbantu. Karena datang agak terlambat,


parkiran sudah penuh. Namun karena diberikan informasi
ada satu tempat parkir di depan, sangat membantu saya
pada hari itu. Modal awal saya hanya senyum dan sapa.
Lihat kekuatannya, awalnya saya yang senyum duluan dan
menyapa tukang kebun itu, pada hari pertama bertemu,
tidak ada alasan atau keinginan bagi saya untuk meminta
bantuan kepada tukang kebun itu, hanya sekadar menyapa
dan tersenyum saja. Namun, berikutnya, ia langsung
membantu dengan memberikan informasi yang membantu
saya. Dan sampai saat ini, setiap kali saya bertemu dengan
tukang kebun itu, pasti kamu saling bertegur sapa atau
sekadar tersenyum satu sama lain.

Kadang terasa berat memang untuk memberikan sebuah


senyuman dan menyapa orang lain, terlebih kepada orang
yang kita tidak sukai. Padahal dengan satu senyuman,
akan menghapus permusuhan, menenangkan hati,
dan membangkitkan semangat bagi mereka yang tulus
memberikan senyumannya. Dalam dunia kerja, sebuah
senyuman dan menyapa terlebih dahulu akan bermakna
bahwa kita menghargai rekan kerja kita.

Marilah kita mulai budaya kerja yang sederhana ini di


lingkungan kita terlebih dahulu, menyapa orang di sekitar
dan memberikan senyum yang tulus dan hangat. Tebarkan
pikiran positif, perasaan yang baik, kesehatan yang baik,
dan kesuksesan pada orang- orang di sekitar kita. Biasakan
untuk tersenyum dan menyapa ketika kita bertemu dan
memulai percakapan dengan rekan kerja atau atasan kita.
Bahkan saat menghadapi permasalahan dalam pekerjaan
pun, usahakan untuk mengahadapinya dengan tersenyum.

Ketika kita sampai di kantor, jangan langsung duduk


lalu menyalakan komputer, kemudian sibuk dengan
pekerjaan. Saking seriusnya melakukan satu pekerjaan,
rekan kerja kita yang baru datang tidak terlihat oleh mata.

351
Jangankan menyapa, menolehkan kepala dan tersenyum
menyambutnya saja sering tidak kita lakukan.

Bekerja bukan hanya menulis huruf atau angka saja, tetapi

Kementerian Keuangan
bagaimana kita dapat berinteraksi dengan rekan kerja.
Mulailah dengan senyum dan menyapa terlebih dahulu
minimal satu rekan kerja setiap pagi sebelum memulai
pekerjaan dan sibuk di depan komputer kita. Ajaklah ia
tersenyum, tanyakan bagaimana harinya dan selingi dengan
candaan.

Dengan cara ini kita akan berbagi energi positif dan


kita dapat melakukan pekerjaan dengan lebih baik, lebih
bersemangat, dan bertanggung jawab.

Kebiasaan untuk tersenyum dan menyapa perlu


dibudayakan agar menjadi bagian dari “karakter baik”
setiap orang, sehingga kapanpun, dimanapun, dan dengan
siapapun, karakter itu telah menjadi kebiasaan yang enjoy
untuk dilaksanakan, bukan sekadar kamuflase yang mudah
berubah menurut situasi dan kondisi tertentu.
Rasulullah SAW bersabda, “Senyum kalian bagi saudaranya
adalah sedekah, beramar makruf dan nahi mungkar yang
kalian lakukan untuk saudaranya juga sedekah, dan kalian
menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat juga
sedekah.” (HR Tirmizi dan Abu Dzar).

Tersenyumlah dengan hati yang ikhlas, maka kita akan


mendapatkan kebaikan setelahnya.

“Sudahkan anda tersenyum dan menyapa rekan kerja anda


hari ini?”
Karena Kita Garda
352

Bekerja bukan hanya menulis


huruf atau angka saja, tetapi
bagaimana kita dapat berinteraksi
dengan rekan kerja.
Idealisme dalam
Sebuah Kamera

Oleh:
Hendy S. Yudhiyanto,
Mantan Pegawai DJPb

Hampir setiap kali aku melihat kamera, memegang, dan

353
mengoperasikannya, hatiku seakan dipenuhi dengan
berjuta rasa bangga. Bukan karena aku adalah seorang
fotografer yang mahir menggunakan kamera, kemudian
membuat foto-foto yang memesona. Aku bahkan

Kementerian Keuangan
nyaris tidak pernah peduli dengan detail tentang apa
yang namanya angle atau sudut pandang, pencahayaan,
diafragma, ataupun terminologi-terminologi lainnya yang
berkaitan dengan fungsi kamera. Meskipun memang tidak
benar-benar buta tentang pemotretan, aku hanya sesekali
menggunakan kamera, itu pun untuk maksud-maksud
yang amat fungsional dan pragmatis sifatnya, seperti
mendokumentasikan suatu kegiatan yang diselenggarakan
oleh kantor, atau mengabadikan seremoni pernikahan
handai-tolan.

Bapak, panggilanku untuk ayahanda tercinta, adalah sosok


yang pertama kali memperkenalkan aku dengan ‘binatang’
yang belakangan aku ketahui dan kusebut sebagai kamera
itu. Aku ingat, waktu itu aku masih duduk di kelas akhir
Sekolah Dasar, dan bapak mulai akrab dengan ‘mainan’
barunya itu, sebuah kamera semi profesional bermerek
Yashica. Lucunya, kami tidak menyebutnya sebagai ‘kamera’
atau ‘Yashica’ sesuai dengan mereknya, melainkan “Kodak”,
brand lain yang lazim kami pakai untuk menyebut kamera.
ltu sama kasusnya dengan ketika kami menyebut ‘Honda’
untuk sepeda motor, atau ‘Swallow’ untuk sandal jepit.

Yang saya tahu kemudian, Bapak memperlakukan kodak,


eh, kameranya itu sebagai salah satu harta yang paling
berharga miliknya. Momen penting apa pun waktu itu
tidak akan pernah terlewatkan tanpa jepretan kamera
bapak. Salah seorang (walau bukan orang pertama atau
satu-satunya pilihan, karena ada satu karib bapak yang telah
Karena Kita Garda

lebih dulu berkecimpung dalam jagad perkameraan) yang


akan diminta dan dipercaya untuk mengabadikan suatu
acara adalah bapak. Dari situ, Beliau memperoleh bayaran,
sebagai tambahan untuk pendapatan keluarga kami.

Bagiku dan bagi kami sekeluarga, Bapak, bernama Slamet


Wahyudi, seorang pendidik, adalah seorang pejuang yang
354

“tidak bisa diam”. Apapun dilakukannya asalkan membawa


manfaat positif bagi keluarga, masyarakat, atau bahkan
kehidupan. Menjadi pemotret seperti itu contohnya. Buat
keluarga, jelas, pendapatan kami bertambah selepas bapak
menerima bayaran atas jerih payahnya. Di lain pihak,
masyarakat diuntungkan dengan keberadaan bapak dan
kameranya. Tidak seperti pemotret yang satunya, bapak
tidak pernah mematok tarif yang memberatkan bagi
pengguna jasanya. Bapak selalu menerapkan prinsip win-win
solution. Biasanya Beliau memberitahukan kepada kliennya
mengenai item apa saja dan berapa biaya yang dikeluarkan,
kemudian mempersilakan kliennya itu untuk menawar
sebelum harga akhirnya disepakati bersama.

Di samping itu, barangkali karena Beliau adalah seorang


pendidik, Beliau tak lupa untuk menjadikan momen yang
menjadi objek pemotretannya itu sebagai ajang pelatihan
bagi siapa saja yang hendak memahami dan menguasai
tentang bagaimana pemotretan itu dilakukan. Bapak
tidak pernah merasa sayang untuk menggunakan seluruh
perlengkapan memotretnya dalam rangka menyukseskan
program pelatihannya. Aku ingat betul, bapak akan
senantiasa membawa tiga kameranya, dari yang saku,
entry level, sampai Yashica kesayangannya. Tak heran kalau
kemudian beberapa ‘muridnya’ cukup percaya diri dan
mampu untuk membuka jasa pemotretan, sama seperti yang
bapak lakukan. Aku adalah salah satu muridnya. Ketika ada
waktu luang dikala aku masih duduk di bangku SMP dan
SMA, bapak selalu mengajakku untuk menyertainya saat
diminta melakukan pemotretan.

Itulah salah satu alasan yang membuatku sangat


menghormati bapak. Tak hanya dalam hal itu saja, bapak
juga akan selalu menerapkan prinsip yang sama manakala
pekerjaannya berhubungan dengan orang lain. Sebagai
pendidik, Beliau telah berhasil mencatatkan diri sebagai
guru yang baik, dan itu terbukti dengan kepercayaan yang
kini diberikan kepadanya untuk menciptakan banyak

355
guru-guru lain yang baik di area Jawa Tengah. Selain itu,
ada beberapa forum wirausaha yang bapak ciptakan sebagai
media pembelajaran bagi warga sekitar. Sewaktu aku
masih belum sekolah sampai dengan aku berada di kelas-

Kementerian Keuangan
kelas awal sekolah dasar, bapak menjadikan ruang tamu di
rumah kami yang saat itu tak terlalu luas sebagai gudang
dan display sepatu. Para pembeli, yang kebanyakan adalah
rekan-kerja bapak, dapat mendapatkannya dengan cara
mengangsur. Banyak di antara mereka yang membeli alas
kaki itu dari bapak, lalu menjualnya kembali. Namun entah
mengapa, usaha bapak itu tak berlangsung lama.

Namun aku mengenal bapak sebagai orang yang seperti


tak mengenal kata ‘menyerah’. Entah berapa macam lagi
upaya yang kemudian dilakukannya. Aku ingat, Beliau
pernah membuka usaha penyablonan, cuci dan cetak foto
hitam-putih, sampai dengan penyewaan properti buat
resepsi. Hanya, satu hal yang patut disayangkan, bahwa
dari sudut pandang bisnis, bapak tidak pernah memberikan
standar tinggi pada kegiatan-kegiatan wirausaha yang
pernah ditekuninya. Diluar prinsipnya untuk menjadikan
bisnisnya sebagai media untuk belajar, Beliau ternyata
tidak memberikan cukup atensi dalam menjalankan
usaha-usahanya itu. Pilihan yang diambilnya itu menjadi
sangat beralasan karena beliau tidak ingin terganggu dalam
memfokuskan diri untuk mengemban tanggung jawab
utamanya sebagai seorang pendidik. Di dalam pandangan
beliau, dan itu sesuai dengan pilihan dan prinsip yang
diyakininya, bisnisnya itu adalah benar-benar sebagai
‘kesibukan sampingan’ yang dilakukan untuk sekadar
memberikan ‘penghasilan tambahan’ sehingga tak pantas
kalau sampai mengganggu tugas pokoknya sebagai guru.
Karena Kita Garda

Prinsip terakhir itulah yang berulang-ulang kali ditularkan


bapak kepada anak-anaknya, termasuk diriku. Dalam
banyak kesempatan beliau senantiasa berpesan agar kami
dapat selalu menjalankan tugas yang diamanatkan dengan
sebaik-baiknya. “Le, kamu harus bekerja dengan baik.
Jangan neko-neko. Kamu mestilah berterima kasih kepada
356

negara dengan menjaga sebaik-baiknya tugas dan tanggung-


jawab yang diamanatkan kepadamu,” katanya suatu ketika.

Belakangan aku juga baru mengetahui, bahwa satu lagi


alasan kenapa bapak mencari penghasilan tambahan
adalah agar Beliau tidak sampai sekali pun berpikir untuk
mengkhianati amanatnya. Aku benar-benar tahu kalau
bapak sangat pantang untuk mendapatkan imbalan dengan
cara memanfaatkan statusnya sebagai seorang guru.
Dengan didasari oleh idealisme itulah pada satu waktu
bapak pernah berujar kepadaku begini:

“Le, kalau pengen kuliah di STAN, mbok kamu jangan


ambil Pajak atau Bea Cukai. Aku khawatir kamu akan
menghadapi banyak sekali godaan di sana.”

Padahal, entah karena paling beken atau kenapa, dua


spesialisasi itulah yang waktu itu aku dan teman-teman
favoritkan. Namun, pesan dari bapak tersebut memaksaku
untuk membuat pilihan lain, sampai akhirnya aku
mengambil spesialisasi Anggaran.

Tiga tahun kemudian setelah aku berhasil lulus dan bersiap


diri untuk ditempatkan dan bertugas di kantor, bapak selalu
mengulang-ulang pesan klasiknya agar aku bekerja dengan
sebaik-baiknya, taat aturan, tidak neko-­neko, menjadi
pegawai yang ‘bersih’. Sampai akhirnya aku memberitahu
Beliau kalau aku harus pergi ke Banjarmasin yang menjadi
tempat bertugas pertamaku. Bapak senang karena aku tidak
ditempatkan di daerah yang terlalu jauh. Sebelumnya Beliau
khawatir bila aku ditugaskan di tempat yang jauh, seperti
ke Irian Jaya (sekarang Papua dan Papua Barat, edt) atau
Maluku.

Dan inilah pesan perpisahan Beliau yang takkan pernah


kulupa, “Le, jaga dirimu baik-baik. Jaga nama baik keluarga.
Kerjalah dengan sebaik-baiknya sesuai aturan, jangan
berbuat yang tidak benar, dan jangan mengambil yang yang
bukan menjadi hakmu”. Yang juga takkan kulupa, bapak
memberiku sebuah kamera merek Ricoh beserta sebuah
blitz yang kompatibel. Kamera sederhana itu telah acapkali

357
aku gunakan ketika membantu bapak memotret.

Setelah di Banjarmasin aku memang tak banyak

Kementerian Keuangan
memanfaatkan kamera itu untuk mencari tambahan
penghasilan yang halal atau merintis usaha pemotretan,
sebagaimana yang bapak inginkan, dan seperti yang dulu
bapak dan aku lakukan. Meskipun begitu, aku merasa
bahwa kamera itu laksana kaca benggala. Seolah-olah aku
selalu bercermin dengan pantulan pesan-pesan kebaikan
yang terlihat dari sana. Idealisme yang bapak titipkan
membuat kamera itu memiliki kebanggaannya sendiri, jauh
lebih besar dan tinggi dari pada puluhan fitur dan gambar-
gambar indah yang mampu ia tawarkan.

***

(Teruntuk Bapak Slamet Wahyudi, ayahanda yang selalu


aku banggakan, dan Almh. Ibu Siti Maryati, ibundaku
yang luar biasa menjaga amanah).
Pengabdian
di Ujung Peluru

Oleh:
Raymond Jackson Effendy,
Pegawai DJPb
Karena Kita Garda

“Cita-cita kami untuk memberikan pengabdian terbaik


358

bagi institusi dan masyarakat, untuk membuat pintu KPKN


tetap terbuka melayani, untuk membuat komputer dan
mesin printer KPKN tetap berbunyi, dan untuk membuat
SPM tetap diproses. Tidak akan mungkin dipatahkan hanya
oleh tragedi kemanusiaan ini. Dan bahaya peluru yang
mengancam nyawa kami.”

(untuk teman-temanku para pahlawan pengabdi di KPKN


Ambon 1999-2002)

Senin, 18 Januari 1999 (30 Ramadhan 1420 H)

Hari terasa berbeda. Suasana riuh rendah menyeruak di


mana-mana. Jalanan terasa lebih sempit oleh lalu-lalang
kendaraan yang seperti tak ada habis-habisnya. Di mana-
mana pertokoaan Mardika dan Ambon Plaza seakan
tak mampu menahan gelombang massa yang berbelanja.
Maklumlah, besok adalah Hari Raya Idhul Fitri 1 Syawal
1420 H. Hari kemenangan yang dinanti-nantikan oleh umat
muslim setelah sebulan berpuasa. Keceriaan tampak di
semua wajah, tak peduli tua, muda, anak, dan orang tua.
Kota Ambon berhias oleh aktivitas penduduknya yang
tengah bersiap merayakan, takbiran, hingga esok hari.

Selasa, 19 Januari 1999 (1 syawal 1420 H) pukul 05.30


WIT

Inilah hari kemenangan yang dinanti-nantikan. Sejak


menjelang fajar menyingsing, gema takbir dan tahmid
membahana menggemakan kebesaran Allah. Suasana
pagi itu sungguh menyejukkan hati dan menenteramkan
jiwa yang melihatnya. Keberagaman Indonesia dalam
lingkup kecil nyata di kehidupan desa kami yang dihuni
oleh mayoritas Kristen. Kami menyapa dengan senyum
dan salam dalam kekerabatan dan kehangatan kepada
saudara-saudara kami umat muslim yang bertempat tinggal
di “Kampong Kusu-kusu’” agak di atas bukit, yang akan
melaksanakan Salat ld.

Sambil menunggu saat saudara-saudara kami selesai salat

359
untuk bersilaturahmi dengan mereka aku bercengkrama
dengan anak dan istriku. Setelah itu, semua penduduk desa
kami turut larut dalam silaturahmi dalam tradisi “pela
gandong.”

Kementerian Keuangan
Selasa, 19 Januari 1999 (1 syawal 1420 H) pukul 13.00
WIT

Suasana mendadak sangat hening. Kota Ambon seakan


menjadi kota mati tanpa aktivitas manusia. Bahkan bunyi
dedaunan jatuh di jalanan pun bisa didengar. Keanehan
yang sempurna untuk menunjukkan ketidaklaziman.

Sekonyong-konyong di sana sini terjadi kekacauan. Dari


kejauhan Kota Ambon, yang membelah Teluk Ambon
itu, mulai tampak menyala-nyala oleh api. Semula kami
mengira ini kebakaran biasa akibat arus pendek atau
ledakan kompor. Namun, setelah melihat bahwa kebakaran
itu makin meluas dan tersebar lokasinya, kami pun paham
telah terjadi sesuatu yang tidak lazim. Kekacauan pun mulai
meluas ke mana-mana. Kendaraan mulai tidak teratur dan
terkendali jalurnya. Orang-orang berlarian ke sana-ke mari
sambil menunjuk-nunjuk nyala api di Kota Ambon yang
semakin membesar dan meluas.

“Su kaco, su kaco,” begitu teriak mereka.

Siang hingga malam hari itu Ambon terang benderang oleh


nyala api. Aksi balas-membalas bakar rumah telah membuat
pemandangan Ambon layaknya Roma yang dibakar oleh
Nero. Dari berita televisi malam itu kami pun tahu telah
terjadi kerusuhan massa.

Hari-hari setelah tanggal 19 Januari 1999 hingga


Karena Kita Garda

Oktober 2002

Hari-hari selanjutnya setelah itu adalah gelap dan penuh


teror, ketakutan, dan kecemasan. Tak ada keceriaan setelah
itu.

Semua jalur transportasi terputus. Ambon telah terkotak-


360

kotak sesuai domisili warga dan agamanya. Jalur


transportasi darat praktis terputus. Satu­-satunya cara untuk
mencapai kantor adalah harus dengan menyeberangi Teluk
Ambon dengan menggunakan speed boat. Benda terapung
yang panjangnya 4 meter itu disesaki 22 penumpang.

Selama perjalanan suasana terasa mencekam. Risiko perang


laut yang lebih terbuka dan penyerang yang bersenjata lebih
lengkap bisa saja terjadi kapan saja. Tidak jarang perahu
kami yang lambat karena sarat penumpang ditembaki
dengan senapan otomatis oleh perahu penyerang yang lebih
kecil dan ringan dengan mesin kapasitas besar. Akibatnya
kami hanya bisa menunduk dan berdoa sampai tembakan
mereda, kemudian saling memperhatikan apakah ada
korban yang tertembak. Kesulitan lainnya adalah biaya
tinggi untuk ongkos transportasi, yang bisa mencapai
Rp50.000,00 sampai dengan Rp75.000,00 per hari. Sangat
berat untuk gaji dan TKPKN ketika itu.

***

Setiap kali istriku melihatku pergi meninggalkan pintu


rumah, dia berharap melihatku masuk lagi melalui pintu
yang sama, dalam keadaan yang sama. Tak sesaat pun dia
berhenti berdoa agar aku utuh berdiri di hadapannya ketika
pulang kantor. Setiap kali aku tiba di rumah dia segera
memeluk dan menangis di pelukanku sambil memindaiku
dari ujung rambut hingga kaki.

Ketika malam beranjak dewasa, kepekatan malam berganti


dengan hiasan cahaya mortir dan peluru yang saling
berbalasan. Di antara bias-bias cahaya itu, langit di atas
kota Ambon tampak menangis menyaksikan kenyataan di
bawahnya. Malam hari, boleh jadi adalah saat yang paling
sulit untuk dilewati dan tidak diinginkan kedatangannya.
Mata sulit dipejamkan, kegelisahan me­menuhi sebagian
pikiran, berharap fajar segera datang.

Lelaki dewasa diharuskan untuk ikut berjaga malam di pos


keamanan. Memang, penyerangan sering dilakukan pada

361
malam hari. Sebelum ke pos jaga, aku biasa memandangi
bidadari kecilku yang telah terlelap. Senyum kecilnya
memunculkan kedamaian dan keteduhan, sesuatu yang

Kementerian Keuangan
hilang saat ini.

Pernah kami bertiga bersama penduduk yang lain harus


berlari ke tengah hutan di malam gelap karena ada isu
penyerangan. Sambil menggendong bidadari kecilku dan
menggenggam erat tangan istriku yang tengah hamil yang
tampak terengah-engah karena tidak biasa menaiki bukit
terjal, kami berlari sekuat tenaga. Aku merasa seperti
memiliki tenaga moto GP-nya Valentino Rossi karena
bisa menaiki bukit itu secepatnya. Kejadian itu tentu saja
membuat aku harus memiliki kekuatan ekstra untuk
bekerja esok hari, kalau tidak ingin terserang kantuk hebat
dan kelelahan.

Ketika tengah malam telah lewat, dentuman sejata berat


dan kabar tentang korban jiwa telah menjadi berita biasa
yang muncul di harian-harian terbitan Ambon, Pasko
Maluku dan Suara Maluku, serta televisi lokal TV Ambon.
Ribuan nyawa yang meregang seakan-akan tak berarti.
Saat keadaan semakin tak terkendali, Kepala Kanwil
Direktorat Jenderal Anggaran Ambon mengungsi
ke Pangkalan Angkatan Laut di Halong, kemudian
memutuskan untuk mengungsi lagi ke Manado. Aku
diberi tawaran oleh Kepala Kanwil untuk ikut mengsungsi
dengan keluarga. Tapi setelah berbicara dengan istri, dan
mempertimbangkan banyak hal, tawaran itu kami tolak.
Jadi aku dan keluarga bersama-sama dengan rekan-rekan
pegawai asal Ambon lainnya tetap tinggal dan berkantor di
KPKN Ambon (sekarang KPPN Ambon, edt.), yang kami
tempuh dengan speed boat dan naik angkutan kota.
Karena Kita Garda

***

Siang juga memunculkan sisi terornya sendiri. Ambon


telah menjadi ajang perang kota. Dari balik gedung-
gedung bertingkat yang telah kosong, para sniper siap
menggelontorkan timah panas mereka yang mematikan
362

untuk mengeksekusi kami. Ancaman para sniper ini yang


sesungguhnya amat berisiko. Bukan saja karena mereka
tidak terlihat oleh kami, namun juga karena posisinya di
gedung-gedung bertingkat memungkinkan mereka leluasa
dapat mengeksekusi kami kapan saja,

Keadaan memanas, ancaman kematian karena tembakan


setiap waktu bisa mengancam nyawa kami. Itu sama
sekali tidak memudarkan semangat untuk tetap masuk
kantor dan memberikan layanan. Beberapa kali, kami
para pegawai KPKN Ambon, ketika hendak pulang kantor
tiba-tiba keadaan memanas. Jalur transportasi darat
pun terputus. Maka satu-satunya jalan adalah dengan
berjalan kaki memutar dan menaiki bukit pandan. Kami
semua harus menunduk karena di atas kepala kami peluru
dari sniper berseliweran ke sana kemari. Ada beberapa
rekan seperjalanan yang tidak beruntung. Mereka harus
meregang nyawa karena tertembak. Sungguh pengalaman
yang mengerikan!

Akhirnya, hal yang kutakutkan terjadi. Desaku tak luput


dari serangan perusuh. Beruntung, topografi desaku yang
memanjang di tepi pantai, membuat warga punya cukup
waktu untuk mengungsi. Aku bersama-sama dengan
penduduk yang lainnya pun mengungsi ke desa seberang.
Ada sebelas orang penduduk desa kami yang meninggal
pada penyerangan hari Jumat itu.

Kilatan-kilatan peluru di langit kelam sungguh memilukan.


Tak ada kebanggan untuk nilai kemanusiaan yang terkoyak
atas nama agama. Sungguh kekejaman terbesar dari
manusia yang melakukannya dengan dalih apapun. Karena
agama justu mengajarkan kedamaian dan kasih sayang.
Perang juga telah menerobos batas-batas adat yang paling
sakral, pela gandong yang lama menjadi ikon persaudaraan
di Maluku. Perang mengambil semuanya tanpa sisa,
meninggalkan bara merah dalam hati para korban.

Tragedi kemanusiaan itu memang telah mengambil


semua milik kami tanpa sisa. Nyawa, harta, hubungan

363
persaudaraan, dan senyum keceriaan anak-anak kami.
Tapi ia tak dapat mengambil hal yang paling esensial dari
semangat hidup kami, semangat untuk tetap melaksanakan

Kementerian Keuangan
tugas di antara desingan peluru dan ratap tangis suami-istri
yang menahan kami untuk tetap tinggal di rumah.

Kami melakukannya atas dasar komitmen yang


bernama layanan prima. Agar KPKN tetap eksis dan
memberikan layanan kepada mitra kerja. Meskipun untuk
melakukannya, nyawa kami adalah taruhannya. Kawan-
kawan yang gugur layak kami sebut pahlawan. Karena
semangat mereka, KPKN tetap eksis.

Aku pun masih punya cerita tentang bagaimana harus


naik pesawat Her­cules berdesakan dengan tentara untuk
ikut diklat di Gadog, atau naik kapal kayu KM Teratai ke
Manado, dilanjutkan dengan perjalanan darat selama tiga
hari ke Makassar untuk ikut prajabatan.

***

(In memoriam: para pengabdi terbaik KPKN Ambon


1999-2002)
Di Pintu Masuk
Kubawa Harapanku

Oleh:
Rini Ariviani,
Pegawai DJA
Karena Kita Garda

Kesibukan di pagi buta merupakan pemandangan yang


364

akrab denganku. Ucapan selamat tinggal istri dan anakku


membawa kesejukan buatku. Tergambar harapan di mata
mereka bahwa aku akan kembali ke rumah dengan sejuta
cerita indah. Harapan mereka adalah semangat buatku
untuk melalui hari dengan pengabdian tanpa keluhan.

Sebagai pegawai yang bertugas di “pintu masuk” DJA,


aku harus selalu siap menerima berbagai macam perilaku
orang. Aku hanya bertekad memberikan segala yang
terbaik dengan harapan hasil yang terbaik bagi organisasi
yang nantinya secara tidak langsung bermanfaat buat
masyarakat.

Aku pun harus siap kalau waktu tidak selalu berpihak


kepadaku. Waktu sangat berharga buatku. Tak ada
kesempatan untuk bermain-main. Aku pun harus berbagi
keceriaan dan kesulitan dengan teman-temanku sesama
penjaga “pintu masuk” DJA. Bila kami tidak sanggup
berbagi, maka hasilnya adalah kemarahan stakeholders
bahkan bisa berdampak buruk pada nama baik DJA.

Hari ini kami tak henti-hentinya kedatangan tamu yang


mewakili instansinya untuk mengusulkan alokasi anggaran.
Sepanjang hari tak henti tamu berdatangan. Sampai tak
terasa di luar, matahari sudah menghilang sehingga terang
siang sudah berganti malam. Sebagian pegawai sudah
meninggalkan ruangan masing-masing. Gedung kantor
menyisakan kami berlima di “pintu masuk”.

Mataku nanar menatap jam yang tergantung anggun di


dinding. Jarum jam menunjuk ke angka 10. Malam sudah
larut. Terbayang olehku wajah anak balitaku yang sangat
menggemaskan. Hari ini adalah hari ketiga dalam minggu
ini aku selalu bertempur dengan perasaan waswas, apakah
kereta terakhir jurusan Bogor masih sempat memberikan
tempatnya buatku. Hari ketiga juga aku kehilangan momen
bermain bersama anakku.

Tiba-tiba sesosok lelaki muncul di hadapanku ketika aku


hendak mengunci pintu. Kuhela nafas panjang dan berat.

365
Dugaanku tepat, lelaki tersebut adalah orang yang sangat
membutuhkan bantuanku untuk menyelesaikan pengajuan
anggaran agar pembangunan terus berjalan.

Kementerian Keuangan
Aku terjebak dalam dua pilihan yang sama sulitnya.
Anakku seolah memanggilku. Perasaan rindu terus
membayangiku. Komitmen yang telah aku ikrarkan
menyadarkanku. Aku tak boleh kalah dengan perasaan
rinduku. Tugas harus tuntas dilaksanakan tanpa berkecuali.
Suatu saat anakku akan mengerti. Akan kuceritakan
pekerjaanku kepadanya dengan kepala tegak. Anakku akan
berjalan di sampingku dengan perasaan bangga.

Kulayani stakeholders malam itu dengan perlakuan sama


ketika aku masih memiliki tenaga lebih di pagi hari.
Lelahku hilang melihat senyum lega dan puas di wajah
lelaki itu. Hanya bisa berucap syukur dalam hati bahwa
aku masih bisa memberikan kontribusi walau mungkin
bagaikan sebutir pasir dalam bangunan besar.

Kupandangi teman-temanku yang menampilkan kelelahan


di pelupuk matanya. Perasaan senasib dan sepenanggungan
membuat kami tetap menunggu teman satu tim yang masih
menyelesaikan pekerjaannya.

Perjuangan kami hari ini telah selesai. Kami tersenyum


satu dengan yang lainnya. Ada sebentuk haru menyelinap
di dadaku, merasakan betapa kami satu tim selalu bahu
membahu dalam menyelesaikan segala kesulitan yang
dihadapi. Kami akan tertawa bersama ketika semua orang
yang kami layani merasa puas dan gembira. Itulah yang
selalu membuatku kuat dan tak pernah terpikir untuk
menyerah.
Karena Kita Garda

Kami berpisah malam ini untuk kembali esok hari dengan


harapan baru bahwa esok segala sesuatu akan berjalan
dengan baik. Harapan bahwa esok kami akan terus kuat
melalui kesulitan dan memberikan yang terbaik buat DJA.

Aku berlari menuju stasiun kereta dengan harapan anak


366

istriku masih terjaga menungguku. Aku akan mengucapkan


terima kasih atas harapan dan energi positif yang diberikan
selama ini.

Aku terjebak dalam dua pilihan


yang sama sulitnya. Anakku
seolah memanggilku. Perasaan
rindu terus membayangiku.
Komitmen yang telah aku ikrarkan
menyadarkanku. Aku tak boleh
kalah dengan perasaan rinduku.
Tugas harus tuntas dilaksanakan
tanpa berkecuali.
Hal Kecil untuk
Mimpi yang Besar

Oleh:
Ferdha Hermanto,
Pegawai DJKN

Saya, Ferdha Hermanto, lulusan Prodip III Akuntansi STAN

367
tahun 2007. Mulai bergabung pertama kali dalam keluarga
besar Direktorat Penilaian dh. Direktorat Penilaian
Kekayaan Negara (PKN) pada tahun 2008. Tugas pertama
saya di Direktorat Penilaian adalah menjadi Sekretaris

Kementerian Keuangan
Direktur. Tugas yang sebenarnya bukan keahlian saya,
tetapi merupakan posisi yang tepat bagi pegawai baru untuk
memahami tugas fungsi organisasi serta standing position
Direktorat PKN di antara unit eselon II lain di DJKN.

Sekretaris Direktur, sebuah awal pengabdian.

Pada awal bertugas sebagai sekretaris direktur, kondisi


persuratan di Direktorat PKN masih diadministrasikan
secara manual. Bukan sebuah kondisi ideal bagi organisasi
sebesar DJKN. Kondisi pada saat itu memang belum
tersedia aplikasi persuratan resmi dari Pusintek tersebut,
saya berinisiatif membuat aplikasi penomoran surat
sederhana berbasis microsoft access. Aplikasi persuratan
sederhana tersebut setidaknya menambal kekosongan
sistem persuratan yang belum ada dan terus dipergunakan
di Direktorat Penilaian hingga diimplementasikannya
SMART oleh Direktorat Penilaian dan seluruh unit eselon
II di Lingkungan DJKN pada bulan September 2015 lalu.

Tata Usaha Direktorat, never ending task.

Seiring dengan proses transformasi kelembagaan di


lingkungan DJKN, Direktorat PKN berubah menjadi
Direktorat Penilaian. Lingkup pekerjaan menjadi lebih luas,
tidak hanya terbatas pada kekayaan negara saja. Struktur
organisasi internal Direktorat Penilaian berubah menjadi
lebih baik. Lebih menggambarkan fungsi Direktorat
Penilaian sebagai pembuat kebijakan, standardisasi, dan
Karena Kita Garda

pembinaan di bidang Penilaian. Peta strategi, balance


scorecard, IKU, dan manajemen risiko perlahan tapi pasti
mulai diimplementasikan di setiap unit di lingkungan
Kementerian Keuangan tak terkecuali Direktorat Penilaian.

Tugas baru sebagai pelaksana Subbagian Tata Usaha


mengharuskan saya untuk ikut serta mengawal
368

implementasi dari setiap tools pengukuran kinerja di


Direktorat Penilaian. Selain tugas utama di Subbagian Tata
Usaha, saya diberikan kesempatan untuk belajar mengenai
Penilaian. Mengikuti Diklat Penilaian dan turut aktif
melakukan Penilaian BMN menjadi sebuah pembelajaran
praktis bagi saya hingga terpenuhinya syarat-syarat formal
untuk diangkat menjadi Penilai.

Pada saat bertugas di subbagian tata usaha ini pula, saya


diberikan kesempatan untuk berkontribusi turut serta
menyusun buku pedoman penilaian hak ruang terbuka.
Bersama dengan pegawai dari Subdirektorat Penilaian
Usaha, menyelesaikan sebuah buku pedoman yang menjadi
cikal bakal beberapa pengaturan di bidang Penilaian.

Penilaian Bisnis, kembali ke khitah.

Pada tahun 2012, seolah menjadi awal pemantapan bagi saya


di Direktorat Penilaian untuk kembali menekuni bidang
akuntansi dan keuangan. Penilaian bisnis merupakan
bidang yang paling banyak bersinggungan dengan ilmu
akuntansi yang selama ini saya peroleh di kampus STAN.
Ditempatkan di Seksi Penilaian Bisni I dan bertemu teman
sejawat dan atasan yang mempunyai passion terhadap
finance, meyakinkan saya untuk tetap di jalur penilaian
bisnis dalam pengembangan karier saya ke depan.

Mendapatkan bekal ilmu dalam DTSS Penilaian Usaha


Dasar, DTSS Studi Kelayakan Bisnis, Pelatihan Advance
Concept of Public Private Partnership dan diberikan
kesempatan untuk ikut serta dalam Penilaian dan Analisis
Kelayakan Bisnis Proposal Kerja Sama Pemanfaatan Barang
Milik Negara, Highest and Best Use Analysis, Perhitungan
tool fee pemanfaatan BMN, membuat saya lebih percaya
diri dalam menghadapi tugas-tugas yang akan diberikan
berikutnya.

Selain hal tersebut, untuk terus meningkatkan kompetensi


di bidang accounting, saya saat ini sedang mengikuti
perkuliahan di Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk)

369
Universitas Indonesia dan Certified Professional Management
Accountant (CPMA) Review yang memperoleh sertifikasi
tersebut, dapat lebih memberikan kontribusi lebih besar

Kementerian Keuangan
bagi Direktorat Penilaian dan DJKN pada umumnya.

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan PAK RUU


tentang Penilai

Memperoleh sertifikasi Pejabat Pengadaan Barang/Jasa


Pemerintah L4 di tahun 2011 dan mulai bertugas aktif di
tahun 2012 hingga saat ini, saya diberi tanggung jawab
untuk melaksanakan seluruh pengadaan barang/jasa pada
Direktorat Penilaian. Tugas tambahan yang cukup menyita
waktu dan tenaga khususnya di akhir tahun. Secara tidak
langsung, Pejabat Pengadaan Barang/Jasa bertanggung
jawab atas penyerapan anggaran direktorat khususnya akun
belanja bahan.

Selain hal tersebut, sejak tahun 2012 hingga saat ini, saya
mendapatkan amanah untuk menjadi anggota tim Panitia
Antarkementerian (PAK) RUU tentang Penilai. Sebuah
kesempatan untuk melihat Penilai sebagai profesi dan
standing position-nya dalam menstabilkan perekonomian
Indonesia.

Bagi saya, berkontribusi bagi organisasi tidak selalu


berhubungan dengan hal-hal besar. Tugas-tugas kecil
yang diberikan dan diselesaikan secara istikamah adalah
perjalanan menuju impian besar. The best view comes after the
hardest climb. Keep climbing to the top.
Karena Kita Garda
370

The best view comes after


the hardest climb. Keep
climbing to the top.
Bapak
Berseragam Biru

Oleh:
Pradita Agustina,
Pegawai DJPK

Jika bukan dengan hati,

371
iri dengki terpatri,
atau hanya demi gaji,
bisakah disebut melayani?

Kementerian Keuangan
Jalan sekitaran belantara beton pagi hari selalu menjadi
pemandangan menarik untuk diresapi. Gelandangan,
tukang sapu jalanan, pengamen, kernet Kopaja, tukang
ojek, pedagang asongan, karyawan, pegawai negeri hingga
pejabat berbalut setelan rapi, semua kembali membangun
paginya dengan berbagai rutinitas yang menyiratkan
tanggung jawab dan harapan—entah harapan yang baru
atau harapan seperti hari-hari sebelumnya. Semua orang
termasuk kami, salah satu pelayan masyarakat, berjibaku
dengan urusannya masing-masing. Berpacu dengan waktu,
meninggalkan sejenak seribu permasalahan rumah di
sibuknya pagi untuk berfokus pada tujuan terdekat: sampai
kantor tepat waktu. Atau paling tidak, sampai pada waktu
yang cukup tepat untuk tidak mendapatkan potongan
tunjangan. Ah, sampai di kantor pada waktu yang tepat
selalu menjadi suatu kepuasan kecil tersendiri. Setelah ini,
bolehlah satu atau dua masalah rumah kembali menyusup
di sela pikir.
Pukul setengah delapan pagi aku sudah duduk manis di
kursiku, sementara Bapak Berseragam Biru itu masih
saja mondar-mandir ke sana ke mari. Tak sadar seragam
birunya sudah basah hasil dari tengkuknya yang kian
berpeluh. Aku bisa bayangkan bagaimana lelah betisnya
berjalan dari cubical satu ke cubical lain, lelah tangannya
menopang nampan, membawa galon penuh berisi air,
membagikan minuman untuk setiap pegawai, menurut
untuk setiap permintaan tolong untuk membelikan ini dan
itu, mengantar ini dan itu. Usianya mungkin menyentuh
40 tahunan—atau mungkin 50? Anaknya mungkin sudah
Karena Kita Garda

besar. Atau mungkin sudah punya cucu? Aku tak tahu pasti.
Tapi aku bisa pastikan bahwa dia adalah salah satu office boy
paling rajin seantero kantor.

“Berapa orang di sini?”

“Dua ya, Pak.” Bapak Berseragam Biru lalu menaruh dua


372

gelas air minum di meja kami. Terima kasih adalah satu-


satunya kata yang bisa kuucapkan untuk membuatnya
merasa dihargai, setidaknya untuk saat ini. Aku lalu mulai
menyeruput air mineral yang ada di dalamnya. Cukup segar
rasanya untuk menutup pertempuran singkat pagi hari di
jalanan ibu kota.

Satu dari ribuan cabang pikiranku mulai menjalar,


merambat ke dalam setiap rongga di kepala yang
ditemuinya, persis seperti pohon anggur.

Satu, bagaimana caranya ia bisa tiba di sini? Mengadu nasib


di ibukota? Rasanya akan menarik jika aku bisa bertanya
tentang kehidupannya. Kehidupan orang lain, entah yang
lebih buruk atau lebih baik, rasanya selalu menyenangkan
untuk didengar. Untuk dipahami. Lagipula, terkadang lebih
baik atau lebih buruknya kehidupan seseorang hanyalah
ilusi dalam kepalamu saja.

Dua, apa yang ada di dalam pikiran Bapak itu? Ia harus


melayani puluhan pegawai—yang lebih tinggi jabatannya,
lebih hebat pendidikannya, lebih besar gajinya, dan sebagian
lebih muda umurnya—dengan sikap ‘manut’. Seandainya
saja saya lebih berpendidikan? Seandainya saja saya tak
harus menjadi OB? Ah, pikiran-pikiran itu. Lambang
kenaifan manusia.

Tiga, apakah ia merasa jengah pada megah? Apakah ia


lelah? Manusia seringkali terpana melihat sesuatu yang
nampak megah, menghamba pada sesuatu yang mewah.
Berharap mereka bisa menjadi satu dari ribuan orang yang
merasa beruntung bisa merasakan kemewahan, hingga
akhirnya nurani semakin lengah. Mendadak lupa mana
benar mana salah, mana baik mana buruk, mana penting
mana receh.

Terakhir, dari mana datangnya senyum itu? Di tengah


ribuan alasan untuk menyusupkan secuil dengki ke dalam
hati, di sela peluh yang kian deras menembus baju di
tubuhnya, di belantara cabang pemikiran yang kembali

373
mengarah pada berbagai permasalahan yang mungkin
dideranya. Bagaimana caranya ia bisa menyunggingkan
senyum walau hanya segaris?

Kementerian Keuangan
Ya, aku bisa melihat lelah itu dari butiran keringatnya. Aku
bisa melihat lelah-pada-megah-nya dari mata itu. Mata sayu
yang sudah puluhan tahun melihat, menjadi saksi bisu pada
sebab dari rasa lelahnya. Ternyata ada satu hal yang bisa aku
lihat darinya. Ia tak kehilangan nuraninya. Mata sayu itu,
mata yang menggambarkan kelelahannya, sama sekali tak
menyembunyikan senyumnya. Senyum kemurnian. Murni
keikhlasan. Murni pelayanan. Ia masih bisa tersenyum saat
harus berjalan menadah nampan berisi sepuluh gelas air.

Melayani dengan hati.

Salah satu nilai yang sudah sepatutnya terpatri dalam benak


setiap pemangku kewajiban untuk melayani, memberi
makna keikhlasan dalam setiap tindak tanduk untuk
mengabdi pada khalayak: para pemangku kepentingan. Hal
kecil, yang bisa saja hanya dilambangkan dengan sebuah
senyum saat melayani bisa menjadi hal yang besar bagi
orang lain. Satu senyum dari seorang pemegang kewajiban,
bisa menjadi suatu image yang baik bagi seluruhnya.
Pelayanan yang baik, pelayanan yang memuaskan.
Hal inilah yang berhasil kupelajari dari seorang Bapak
Berseragam Biru, Bapak Pemegang Nampan berisi sepuluh
gelas air, Bapak Pemurah Senyum yang berada di salah satu
tempat untuk melayani masyarakat. Tempat berisi banyak
pelayan masyarakat yang memegang teguh salah satu nilai
esensial dalam dunia ke-pegawai-negeri-an: pelayanan.
Mudah rasanya menemukan makna melayani di tempat
ini—Kementerian Keuangan, tempat yang mengedepankan
Karena Kita Garda

pelayanan untuk para pemangku kepentingannya.

Dari sini, bahkan dari seorang Bapak Berseragam Biru, aku


belajar memahami bahwa melayani sejatinya harus dengan
hati. Bukan dengan mematri iri atau dengki, mengomparasi
kehidupan sendiri dengan teman atau bahkan orang yang
tak dikenali. Melayani bukan hanya demi gaji yang masuk
374

di pagi hari saat kerja satu bulan terpenuhi. Bukan untuk


berbangga atau demi harga diri, mengabdikan pribadi agar
nama mendapat nilai yang lebih tinggi.

Namun, melayani dengan nurani, hingga rasa puas mampu


meresap ke dalam hati, dan bisa disebut sebagai pelayanan
untuk negeri.

Dari sini, bahkan dari seorang Bapak


Berseragam Biru, aku belajar memahami
bahwa melayani sejatinya harus dengan
hati. Bukan dengan mematri iri atau dengki,
mengomparasi kehidupan sendiri dengan
teman atau bahkan orang yang tak dikenali.
375 Kementerian Keuangan
Sempurnakan
dengan Inovasi
Karena Kita Garda
376

Makna dari kesempurnaan yaitu


senantiasa melakukan upaya
There’s a way perbaikan di segala bidang untuk
menjadi dan memberikan yang
to do it better. terbaik.
Find it !
Perilaku utama dari nilai ini yaitu:
—Thomas 1. Melakukan perbaikan terus
menerus.
Edison 2. Mengembangkan inovasi dan
kreativitas.
Selalu ada cara lebih baik untuk melakukan sesuatu hal,
tugas kita hanyalah menemukannya. Kira-kira seperti
itulah terjemahan dari perkataan Edison di atas. Telah
banyak inovasi yang dilakukan terkait pelaksanaan tugas
dan fungsi Kementerian Keuangan, mulai dari presensi
pegawai hingga penghargaan kepada pegawai. Semua
itu terlahir karena adanya keinginan untuk mencapai
kesempurnaan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi.

Sebuah inovasi haruslah menuju ke arah yang lebih baik.


Namun jika menuju ke arah yang lebih buruk, kita harus
mencermati ulang terkait inovasi tersebut. Terjadinya

377
kesalahan dalam pengaplikasian sebuah inovasi tidak
dapat dihindarkan. Selalu ada proses adaptasi terhadapnya.
Tugas kita adalah percaya terhadap inovasi tersebut dan

Kementerian Keuangan
memberikan kritik dan saran untuk memperbaikinya di
kemudian hari.

Kesempurnaan dalam melaksanakan sebuah pekerjaan


bukanlah hal yang mustahil untuk didapatkan. Kita hanya
memerlukan adanya keberanian untuk mencoba cara-cara
baru serta memperbaiki sudut pandang kita.

Kemenkeu selalu berusaha untuk memberikan pelayanan


yang terbaik kepada masyarakat. Inovasi pelayanan
terus dilakukan untuk mencapai kesempurnaan. PNS
Kemenkeu terus dipacu agar senantiasa berwawasan ke
depan dan adaptif, melakukan perbaikan terus-menerus,
mengembangkan inovasi dan kreativitas, serta peduli
terhadap lingkungan. Inovasi dimaksudkan untuk
mempersingkat waktu dan simplifikasi layanan.

Inovasi yang terus dilakukan untuk memberikan manfaat


bagi para pemangku kepentingan merupakan dedikasi yang
tinggi dari seluruh PNS Kemenkeu. Berbagai inovasi dan
terobosan yang dihasilkan merupakan wujud kepedulian
dan rasa tanggung jawab yang tinggi untuk mewujudkan
Kemenkeu yang lebih baik. Di samping itu, inovasi yang
dilakukan akan menunjukkan bahwa PNS Kemenkeu
memiliki semangat yang tinggi dalam melaksanakan
reformasi birokrasi. Walaupun tantangan yang dihadapi
begitu berat, semangat perubahan tidak akan pernah
terhenti, sebagaimana ungkapan Gede Prama dalam
bukunya ‘Inovasi atau Mati’, “Siapapun dan dimanapun ia
berada, ia tidak akan pernah bisa mengelak dari empat “I”,
yaitu: Inovasi, Inovasi, Inovasi, dan Inovasi. Mahluknya
memang satu (inovasi), namun ia mesti dilakukan selama
Karena Kita Garda

kita masih bernafas.”

Dalam rangka mengetahui sejauh mana keberhasilan


dan perkembangan reformasi birokrasi Kemenkeu
serta sebagai upaya perbaikan layanan untuk mencapai
kesempurnaan, Kemenkeu setiap tahun melakukan survei
atas penyelenggaraan layanan pada unit-unit organisasi di
378

lingkungan Kemenkeu. Peningkatan kualitas dan kinerja


pelayanan publik yang pada gilirannya akan meningkatkan
pula public trust terhadap organisasi dan aparatur
Kemenkeu. Dari pelaksanaan survei dimaksud, diharapkan
akan diperoleh data dan informasi kondisi pelayanan serta
harapan para pengguna layanan/stakeholders sebagai dasar
pengambilan kebijakan peningkatan kualitas layanan
ke depan. Unsur atau indikator kinerja layanan yang
disurvei sesuai dengan UU Pelayanan Publik, antara lain:
i) keterbukaan/kemudahan akses informasi; ii) informasi
layanan; iii) kesesuaian prosedur dengan ketentuan
yang ditetapkan; iv) sikap pegawai; v) kemampuan dan
keterampilan pegawai; vi) lingkungan pendukung; vii) akses
terhadap kantor layanan; viii) waktu penyelesaian layanan;
ix) pembayaran biaya sesuai aturan/ketentuan yang
ditetapkan; x) pengenaan sanksi/denda atas pelanggaran
terhadap ketentuan layanan; dan xi) keamanan lingkungan
dan layanan.

Semangat perubahan yang dibangun melalui serangkaian


inovasi menjadi aksi nyata Gerakan Nasional Revolusi
Mental dan modalitas dalam upaya perubahan menuju
perbaikan yang terus digelorakan di Kementerian
Keuangan untuk kemajuan bangsa Indonesia tercinta.
Berikut adalah pengalaman, kisah, atau inovasi PNS
Kemenkeu yang terus membangkitkan semangat untuk
memberikan pelayanan terbaik untuk kemajuan ibu
pertiwi, Indonesia.

379
Kementerian Keuangan
Lahirnya Digital
Signature

Oleh:
Dody Dharma Hutabarat,
dikisahkan oleh Windasena Winarno,
Pegawai DJPb
Karena Kita Garda

“Risiko yang dihadapi tidak main-main. Nilainya setara


380

dengan nominal SP2D yang diterbitkan dan nasib pegawai


Ditjen Perbendaharaan di depan hukum”.

Begitulah landasan utama yang menjadi semangat


pengembangan tanda tangan elektronik pada arsip data
komputer (ADK) Surat Perintah Membayar (SPM) yang
diimplementasikan dalam bentuk PIN PPSPM.

Dengan APBN yang sudah berada pada angka di atas 1.000


triliun sejak tahun 2011, aspek keamanan menjadi hal
yang membutuhkan perhatian tinggi. Tidak optimalnya
sistem pengamanan atas transaksi keuangan negara
akan menimbulkan risiko yang tinggi, yaitu setara
dengan nominal SP2D yang diterbitkan dan harus dapat
dipertanggungjawabkan para pihak terkait di lingkungan
Ditjen Perbendaharaan di depan hukum. Hal ini terutama
juga terkait dengan aspek keamanan pegawai KPPN di
depan hukum sebagai pegawai yang berada pada garda
terdepan dalam pencairan dan penyaluran dana APBN.

Sebelum tahun 2012, pelaksanaan pengamanan pada data


interchange dari satker kepada KPPN yang menggunakan
ADK SPM dilaksanakan dengan beberapa mekanisme
yaitu (1) pencocokan antara ADK SPM dengan hardcopy
SPM sesuai dengan checklist kelengkapan berkas SPM;
(2) pencocokan tanda tangan Pejabat Penandatangan
SPM (PPSPM) dengan spesimen tanda tangannya yang
terdapat pada KPPN; dan (3) pemeriksaan identitas petugas
pengantar SPM dan Kartu Identitas Pengantar SPM (KIPS)
dan kesesuaiannya dengan data pada aplikasi di KPPN.

Adalah pegawai Ditjen Perbendaharaan bernama Dody


Dharma Hutabarat yang pada saat itu menjabat sebagai
kepala seksi pada Direktorat Transformasi Perbendaharaan
yang melihat adanya potensi perbaikan keamanan pada
aspek data interchange. Pada saat itu, terdapat celah risiko
untuk timbulnya suatu tindakan kesalahan dan bahkan
kecurangan yang dapat terjadi di antaranya yaitu berupa
pemalsuan atas tanda tangan PPSPM oleh pengantar SPM
dengan ADK SPM yang juga dapat dibuat oleh pengantar

381
SPM tanpa persetujuan PPSPM, dengan demikian jelas
terlihat pada saat itu bahwa ADK SPM yang diproses KPPN
memiliki celah keamanan yang dapat dieksploitasi oleh

Kementerian Keuangan
pihak yang tidak bertanggung jawab.

Bergerak dari alasan tersebut, Dody bersama dengan


stafnya berupaya untuk memperbaiki celah keamanan
pada data interchange tersebut dengan berlandaskan pada
tiga kriteria pengamanan pada dokumen elektronik
yaitu keaslian, intergritas, dan tidak terbantahkan.
Menggunakan prinsip ini, Dody mengusulkan agar ADK
SPM dapat dilengkapi dengan tanda tangan elektronik
yang dapat membuktikan keaslian ADK SPM yang benar-
benar berasal dari PPSPM berkenaan, ADK tersebut juga
tidak mengalami perubahan dalam perjalanannya sejak
sejak dihasilkan oleh aplikasi SPM (integritas) dan ADK
tersebut dapat menjadi alat bukti yang tidak dapat dibantah
oleh PPSPM berkenaan. Dalam tanda tangan elektronik
pada ADK SPM, Dody mengembangkan mekanisme yang
menggunakan teknologi Personal Identification Number
(PIN), di mana PIN ini akan menjadi bagian dari ADK SPM
sebagai tanda tangan elektronik PPSPM dan disebut sebagai
PIN PPSPM. Bagaimana PIN ini akan membantu dalam
optimalisasi pengamanan data interchange ADK SPM?
Dalam kajiannya, ayah satu anak ini menyebutkan bahwa
PIN PPSPM ini akan bekerja layaknya PIN pada kartu
ATM, yaitu bersifat rahasia, dapat diperbaharui sewaktu-
waktu, dan penggunannya serta penyalahgunaannya
(bila terjadi) merupakan tanggung jawab pribadi PPSPM
sepenuhnya. Dengan demikian, keamanan pegawai KPPN
di hadapan hukum dapat terlindungi.
Karena Kita Garda

Dalam pengembangannya, Dody beserta staf nya terlebih


dahulu melakukan kajian “Penerapan Electronic Signature
Pada Surat Perintah Membayar Sebagai Langkah
Peningkatan Keamanan Transaksi Keuangan Elektronik
Pemerintah” yang dirampungkan pada Mei 2011. Kajian
ini diselesaikan melalui studi pustaka, wawancara dengan
382

pegawai KPPN, dan juga diskusi yang melibatkan para


pegawai Ditjen Perbendaharaan yang tergabung dalam
Tim Penyempurnaan Koneksitas Sistem Perbendaharaan
dengan Perbankan Dalam Rangka Implementasi
Penyelesaian Transaksi SP2D Secara Elektronik.
Selanjutnya, hasil kajian tersebut dilanjutkan dengan
pembangunan aplikasi SMS Gateway yang merupakan
perangkat lunak yang mendistribusikan pesan-pesan
terkait PIN PPSPM, dan aplikasi injeksi PIN yang akan
digunakan untuk menambahkan PIN PPSPM sebagai
tanda tangan elektronik ke dalam ADK SPM dengan
melibatkan tim pengembang aplikasi dari Direktorat
Sistem perbendaharaan. Sebagai landasan implementasi
dari PIN PPSPM juga telah diterbitkan peraturan Direktur
Jenderal perbendaharaan Nomor PER-19/PB/2012 tentang
Petunjuk Teknis Penerapan Tanda Tangan Elektronik Pada
Arsip Data Komputer Surat Perintah Membayar pada 11
Mei 2012. Dengan demikian, proses implementasi PIN
PPSPM ini membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu
satu tahun dari semenjak diselesaikannya kajian hingga fase
implementasi sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan tersebut.

Manfaat dari penerapan PIN PPSPM ini dapat dirasakan


hingga saat ini yang masih digunakan sejalan dengan
implementasi Sistem Perbendaharaan dan Anggaran
Negara, khususnya dengan menutup celah risiko untuk
timbulnya suatu tindakan kesalahan atau bahkan
kecurangan yang dapat terjadi atas ADK SPM yang pada
masa sebelumnya dapat dibuat oleh pengantar SPM tanpa
persetujuan PPSPM.

Dalam melakukan implementasi tanda tangan digital ini


diakui tidaklah mudah. Dalam kajiannya ayah satu anak
ini juga menyebutkan bahwa dalam implementasinya, PIN
PPSPM sebagai tanda tangan digital pejabat merupakan
suatu proses bisnis baru di lingkungan pemerintahan
yang memerlukan perubahan mind set dan kebiasaan
para pihak di dalamnya. Para PPSPM yang sebelumnya

383
tidak terlibat dalam pembuatan ADK SPM, sudah harus
mulai memahami apa isi dari ADK yang disampaikan dan
bertanggung jawab atas ADK tersebut, sehingga dapat

Kementerian Keuangan
meminimalisir risiko kecurangan yang dapat terjadi akibat
dari penyalahgunaan ADK SPM. Sehingga, diakui pula
bahwa dukungan unsur pimpinan Ditjen perbendaharaan
dan juga Kemenkeu sangatlah diperlukan, yang akan
diperkuat pula dengan sosialisasi dan aktivitas manajemen
perubahan lainnya khususnya terhadap para pemangku
kepentingan terkait.

Ke depannya, berbagai inisiatif pengembangan dan


penyempurnaan proses bisnis menuju Kemenkeu yang
lebih baik perlu mendapat dukungan, sehingga Dody-Dody
lainnya yang mencurahkan segenap tenaganya untuk dapat
meningkatkan pertanggungjawaban pengelolaan Keuangan
Negara.

Sumber: Buku Catatan Inspirasi Transformasi, Inovasi, Dan Terobosan


Untuk Inspirasi Perubahan
Perjuangan Jurusita
Pajak Negara

Oleh:
Sujarwo Adi,
Pegawai DJP
Karena Kita Garda

Teman, ini adalah kisahku. Kisah satu dari puluhan ribu


384

pegawai DJP yang mengabdi untuk bangsa tercinta ini


sebagai petugas pajak. Tugas utamaku dan juga 31.877
orang karyawan lainnya adalah menghimpun penerimaan
negara dari sektor pajak. Aku dan para petugas pajak
lainnya, ditempatkan di seluruh Indonesia, dari Sabang
sampai Merauke, pada unit-unit kerja mulai dari KPP
Wajib Pajak Besar (Large Tax Payer Office) yang hanya ada di
Jakarta hingga unit-unit Kantor Pelayanan dan Penyuluhan
Perpajakan (KP2KP) yang berada di pelosok-pelosok
Indonesia.

Kedua orang tuaku memberi namaku Sujarwo Adi. Aku


memulai karier di DJP sebagai tenaga honorer yang
kemudian diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada
tahun 2005 dan memulai penugasan pertamaku di KPP
Ambon. Awal tahun 2007, aku mendapat penugasan sebagai
Pelaksana di KPP Pratama Sorong yang ditempatkan di
Seksi Pelayanan dan kemudian dipindahtugaskan ke Seksi
Penagihan. Nah, di Seksi Penagihan inilah, langkah kakiku
pada akhirnya membawaku menjadi Jurusita Pajak Negara
(JSPN) sejak tahun 2011.
Dari tempat yang berada ribuan kilometer dari ibu kota
negara Indonesia ini, aku ingin berbagi kisah. Kisahku
sebagai seorang Jurusita yang bertugas di ujung Timur
Indonesia, yaitu di Provinsi Papua Barat tepatnya di KPP
Pratama Sorong. Daerah yang menurut gurauan teman-
teman, “lebih banyak ularnya daripada Wajib Pajak-nya.”
Dalam tulisan kecil ini, aku ingin berbagi bahwa berjuang
menghimpun penerimaan negara dari sektor pajak demi
negara tercinta dapat dilakukan di belahan Indonesia
manapun dalam kondisi apapun dan bahkan tanpa alas kaki
yang layak sekalipun.

Sebagai seorang Jurusita, tugas utamaku adalah menagih


piutang pajak negara dari Wajib Pajak yang menunggak
membayar pajak. Bukan perkara mudah untuk menagih
dan mencairkan piutang pajak. Terdapat beberapa tahapan
penagihan pajak mulai dari mengirimkan surat teguran,

385
menyampaikan surat paksa, melakukan penyitaan sampai
dengan pelelangan. Semua tindakan penagihan pajak
tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan, mengingat Wajib Pajak atau

Kementerian Keuangan
Penanggung Pajak pasti akan melakukan upaya hukum, jika
tindakan kita tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan
yang berlaku.

Selama menjadi Jurusita, aku dan rekan-rekan berhasil


menyita berbagai jenis harta penunggak pajak, antara lain:
tanah, bangunan, uang tunai, mobil, sepeda motor, bahkan
alat-alat berat seperti dump truck, tronton, excavator, dan
buldoser pernah kami sita.

Perjuanganku dalam melakukan upaya penagihan pajak


sampai dengan penyitaan harta Wajib Pajak, sering kali
tidak hanya mendapatkan tantangan dari Wajib Pajak,
namun juga dari aparat pemerintah lainnya. Namun,
menurutku hal itu wajar saja karena mungkin mereka
tidak atau belum mendapat informasi dengan tepat.
Menjadi Jurusita, tidak hanya membutuhkan pengetahuan
tentang peraturan perpajakan saja. Dibutuhkan kesabaran,
kemampuan berkomunikasi, dan jeli dalam melihat
peluang. Dengan keterbatasan pengetahuan, informasi
tentang objek sita, alat-alat berat misalnya, seringkali
harus dikonfirmasikan kepada pihak-pihak yang ahli
dalam bidangnya. Aku dan Jurusita lainnya harus dibantu
(menyewa) ahli mesin berat untuk memastikan bahwa harta
penunggak pajak tersebut merupakan barang yang layak
dan memiliki nilai jual dalam pelelangan.

Dalam lamunanku, sering aku berpikir, bahwa tugasku


sebagai Jurusita ini tidak jauh beda dengan agen treasury
Karena Kita Garda

asset di negara-negara maju yang harus mencari aset-aset


penting. Memang benar, sebagai Jurusita salah satu tugasku
adalah mencari objek sita berupa harta atau aset penunggak
pajak. Dibutuhkan strategi dan kiat-kiat khusus. Pencarian
aset harus dimulai dengan melakukan pencarian informasi
ke berbagai wilayah dan tentu saja harus bekerja sama
386

dengan pihak-pihak lain baik internal maupun eksternal


DJP seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan sumber-
sumber informal lainnya termasuk informasi masyarakat.
Dalam hal ini, kemampuan investigasi sangat diperlukan
untuk dapat mengendus dan menemukan aset-aset yang
disembunyikan oleh Penunggak Pajak.

Salah satu kisahku dan rekan-rekan di Seksi Penagihan,


adalah pada saat kami harus berjuang bahu membahu untuk
mencari objek sita dari dua penunggak pajak terbesar di
KPP Pratama Sorong. Penunggak pajak tersebut adalah
badan usaha yang bergerak di bidang pengusahaan hutan.
Berdasarkan informasi yang kami kumpulkan dari berbagai
sumber, diperoleh informasi A1, bahwa penunggak pajak
memiliki potensi objek sita berupa kayu-kayu yang bernilai
tinggi (merbau), tetapi berada di area penimbunan kayu
gelondongan (log pond) di pedalaman Kabupaten Bintuni.
Jumlahnya cukup membuat kami bergairah yaitu sebanyak
13.935 batang atau 59.337 m3 kayu dengan diameter antara
64 cm-200 cm.
Berdasarkan informasi tersebut, maka aku dan rekan-
rekan segera melakukan survei lapangan yaitu ke tempat
penimbunan kayu log pond di Kabupaten Bintuni. Sebagai
gambaran, perjalanan yang harus kutempuh harus
menggunakan dua jenis moda transportasi yaitu pesawat
udara dari Sorong ke Manokwari dengan lama perjalanan
45 menit dan dilanjutkan dengan menggunakan moda
transportasi darat yang terbagi dalam dua etape. Etape
pertama Manokwari-Bintuni dengan lama perjalanan
sekitar delapan jam dan etape kedua yaitu Bintuni menuju
ke distrik Mogoy (steenkool) yang harus ditempuh selama
kurang lebih enam jam. Sengaja aku menggunakan istilah
“etape” dalam perjalanan darat ini, karena memang
perjalanan ini hanya dapat dilalui dengan menggunakan
kendaraan berpenggerak empat roda (4x4) dengan ban-ban
kasarnya yang siap menggaruk tanah. Menggunakan mobil
biasa, tidak kusarankan, jika tidak ingin menjadi “orang

387
hutan”. Oh ya, jika menggunakan mobil 4x4 sewaan, maka
harga sewanya berkisar Rp5 juta untuk sekali jalan.

Dalam pelaksanaan survei tersebut, aku dan rekan-

Kementerian Keuangan
rekan berkoordinasi dan memperoleh bantuan dari KPP
Pratama Manokwari. Kami diizinkan untuk menggunakan
mobil dinas lapangan KPP Pratama Manokwari, namun
baru menempuh satu jam perjalanan, mobil dinas telah
terhenti dan menyerah oleh ganasnya lumpur pedalaman
Papua Barat. Tidak ada pilihan lain, kecuali tetap harus
meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Perjalanan
menuju lokasi yang berada di tengah hutan tersebut harus
aku lakukan selama kurang lebih dua jam.

Lelah karena berjalan kaki seketika hilang setelah aku dan


rekan-rekan tiba di lokasi log pond dan berhasil menemukan
objek sita yang kami cari. Namun, perjuangan pada hari itu
belumlah berakhir. Aku dan rekan-rekan harus berjalan
kembali di tengah hutan yang menjadi “paru-paru dunia”
ini untuk kembali ke Bintuni dan itu harus kami tempuh
selama sebelas jam. Perjalanan panjang itu harus kami
lalui tanpa bekal makanan dan minuman yang cukup,
karena bekal yang telah dipersiapkan terpaksa kami tinggal
di mobil saat terjebak lumpur. Dengan bekal makanan
secukupnya dan selalu berdoa mengharapkan langit akan
mencurahkan hujan, aku dan rekan-rekan berjalan kembali
ke Bintuni. Setengah perjalanan dilalui, tantangan baru
dalam perjalanan kembali muncul. Sepatuku jebol dan
kondisi kaki yang mulai lebam. Menyadari bahwa Bintuni
masih jauh di depan, maka aku memutuskan memakai
kaos untuk membungkus kaki sebagai pengganti alas kaki.
Sepatu jebol dan kaki yang lebam karena ganasnya medan
tidak membuat semangat kami padam karena tugas ini
Karena Kita Garda

memang harus kami tuntaskan.

Sukses melakukan survei ke lokasi log pond, langkah


selanjutnya adalah menyiapkan strategi khusus untuk
melakukan penyitaan. Berbekal pengalaman sebelumnya,
kami melakukan persiapan dengan matang. Perbekalan
388

yang cukup dan kendaraan yang benar-benar cocok untuk


menembus ganas dan liarnya alam harus dipersiapkan.
Untuk itu, tidak ada pilihan kecuali menyewa kendaraan
dengan biaya sewa sebesar Rp10 juta. Setelah persiapan
dinilai cukup, maka kegiatan penyitaan segera kami
lakukan. Seperti napak tilas perjalan sebelumnya, kami
melakukan perjalanan menuju lokasi objek sita. Dalam
menjalankan misi ini, tidak lupa aku berkoordinasi dengan
kepala suku dan meminta bantuan ahli greader (Ahli penilai
kayu di bidang industri dan kehutanan). Setibanya di lokasi,
aku mendapatkan informasi dan fakta baru, bahwa objek
sita ternyata tidak hanya berada di log pond, tetapi juga
di log yard-log yard yang berada di tengah hutan. Karena
ganasnya alam, aku merasakan benar-benar sulit untuk
mencari objek sita yang berada di tengah-tengah hutan
belantara. Dibutuhkan dua sampai lima jam perjalanan
kaki untuk mencapai satu log yard ke log yard lainnya, yang
ketika malam tiba bahkan tangan sendiri pun aku tak bisa
melihatnya.
Perjuanganku dan rekan-rekan melakukan labeling atas
objek sita kami lakukan selama lima belas hari, tanpa
mengenal hari libur dan dengan fasilitas yang seadanya.
Kami melaksanakannya dengan riang karena kami yakin
bahwa pekerjaan yang kami lakukan adalah pekerjaan
mulia bagi negara dan bukan pekerjaan yang sia-sia. 15
hari berlalu di tengah hutan, aku dan rekan-rekan berhasil
melakukan labeling kayu di log yard messi, simpang sagu,
TPK-34, kali dara, dll.

Dengan biaya yang dikeluarkan oleh kantor sebesar Rp91


juta, aku dan rekan-rekan berhasil menyita kurang lebih
22.000 m3 kayu log yang apabila dihitung dengan harga
pasar antara Rp1,2 juta s.d. Rp1,5 juta per m3, maka kayu
yang kami sita ditaksir bernilai antara Rp30 miliar s.d.
Rp33 miliar.

Berhasil melakukan penyitaan atas objek sita, pekerjaanku

389
dan rekan-rekan belumlah berakhir, karena kami
masih harus mengawal proses penagihan dan pencairan
tunggakan pajak ini sampai dengan proses lelang

Kementerian Keuangan
dilaksanakan.

Teman, itulah sepenggal kisahku. Kisah sebagai seorang


Jurusita Pajak Negara yang telah membuat hari-hariku
terasa selalu bermakna.

Dengan biaya yang dikeluarkan oleh kantor


sebesar Rp91 juta, aku dan rekan-rekan
berhasil menyita kurang lebih 22.000 m3 kayu
log, yang apabila dihitung dengan harga pasar
antara Rp1,2 juta s.d. Rp1,5 juta per m3, maka
kayu yang kami sita ditaksir bernilai antara
Rp30 miliar s.d. Rp33 miliar.
Gaungnya Berhenti
di Pagar Kantor

Oleh:
Fajar Sidik,
Pegawai DJPb
Karena Kita Garda

Ba’da magrib, langkah kaki ini kupercepat. Setapak demi


390

setapak dilalui bersama asap knalpot pekat dan desingan


suara mesin mobil yang saling bersahutan. Malam itu
sengaja tapakku langsung kuarahkan pada suatu kios kecil,
kumuh, dihiasi kain bercorak di hampir semua sudutnya.
Langsung kuhampiri seorang lelaki kecil, berambut ikal,
berkulit gelap dengan logat Padang-nya yang cukup kental.

“Ambil celana yang kemarin, Pak!” ucapku tanpa basa-basi.

Lalu Uda, begitu biasanya disapa, bergerak menilik helai


demi helai tumpukan pakaian di hadapannya.

“Pulang kerja, Mas? Kerja di mana?” Dua pertanyaan


sekaligus dia lontarkan sambil memilah pakaian yang
kuminta.

“Yap, benar, Da!” Jawabku singkat. “Kerja di Keuangan,”


lanjutku. “PNS?” Kembali tanya si Uda.

“Kebetulan begitu, Da,” tukasku merendah. “Bayar berapa?”


Balasnya dengan yakin.

Mendengar pertanyaan itu, sejenak aku terdiam. Ternyata,


gaung reformasi birokrasi yang kami rasakan, belum
menyentuh masyarakat umum. Ternyata, semangat
perubahan itu, belum mampu mengubah persepsi
masyarakat secara keseluruhan. Ternyata, seluruh dari kita,
memiliki tanggung jawab untuk menebarkan semangat
perubahan itu.

“Murni kok, Da,” jawabku dengan sedikit kaget.

Kemudian, obrolan kami terus berkembang. Uda memang


memiliki pengalaman pahit karena beberapa kali gagal
memasukkan anaknya menjadi PNS meski telah menabur
uang di mana-mana. Sehingga sangatlah wajar jika dia
bersikap sangat apatis dengan birokrasi di negeri ini.

“Kalau Kementerian Keuangan insya Allah bersih, Da,”


belaku. “Bahkan keponakan Menteri Keuangan saja gak
lolos kok!” Paparku bangga.

391
Pernyataan ini kuungkapkan mengingat desas-desus bahwa
keponakan Menteri Keuangan yang sedang menjabat saat
itu, gagal pada tahap wawancara. Dengan sedikit semringah

Kementerian Keuangan
anganku melayang dan berucap, “Berarti aku lebih pintar
dari keponakannya Menteri ya,” selorohku sambil mesam-
mesem sendiri.

Masih dengan wajah kecutnya, si Uda tetap tidak percaya.


Sejenak aku berpikir, dengan cara apa bisa meyakinkannya
bahwa aku dan seluruh PNS Kementerian Keuangan,
masuk tanpa menyogok, tanpa koneksi siapapun. Kami
masuk dengan niat tulus, iktikad yang kuat, dan komitmen
yang mengakar untuk membangun bangsa ini lebih baik.
Untuk mengubah persepsi masyarakat bahwa birokrasi
itu tidak rumit, tidak korup, tidak seperti yang mereka
bayangkan selama ini. Karena kami, seluruh pegawai
Kementerian Keuangan, telah berubah dan akan terus ikut
dalam arus perubahan tersebut.

Di akhir obrolan, aku mencoba meyakinkannya kembali.


“Uda yang baik, yakinlah, ada kekuatan lebih dahsyat dari
kekuatan uang atau pun sihir nepotisme. Kekuatan itu
bersumber dari jiwa kita. Bersama keyakinan dan lantunan
doa-doa yang terus mengiringi kita,” ajarku padanya.

Dengan sedikit menganggukkan kepala, penjahit renta ini


menatap kosong ke wajahku. Nyaris tak mampu berucap
apapun. Hanya raut kebingungan yang ada. Bingung karena
masih tetap tidak percaya jika ada orang yang jadi PNS
tanpa menyogok, karena menyuap, atau koneksi nyokap.
Tapi yang pasti, keyakinannya sedikit goyah dengan
Karena Kita Garda

pernyataan-pernyataanku. Aku sendiri berharap, persepsi


si Uda dan uda-uda lainnya yang bertebaran di negeri ini,
lambat laun berubah dan optimis membangun bangsa ini
dengan kesucian niat.

Sambil berlalu, ceritaku pada Pemilik Bumi, masih banyak


hal yang belum kami lakukan. Reformasi birokrasi hanya
392

bergema di dalam gedung-gedung tua kantorku. Gaungnya


terhenti di portal-portal mobil dekat pintu keluar yang
sejurus kemudian obrolan tentangnya digantikan musik
pop, rock, atau dangdut. Mungkin masih ada sedikit
keengganan bagi sebagian kami untuk mengatakan dengan
lantang bahwa kami telah berubah, kami tidak seperti dulu
lagi. Masa-masa di mana pegawai Ditjen Perbendaharaan
mendapatkan tip satu sampai dengan dua persen dari setiap
SPM yang masuk. Zaman di mana amplop beterbangan di
mana-mana. Kami katakan dengan tegas dan jelas bahwa
masa itu telah berlalu. Kami ingin melayani Anda, wahai
masyarakat. Melayani dengan ketulusan jiwa. Karena kami
digaji dari santunan pajak yang Anda berikan.

Lihatlah di kantor-kantor kami, baik KPPN ataupun


Kanwil, terpampang dengan jelas bahwa kami menolak
gratifikasi. Masih tidak cukupkah itu! Lihat juga proses
bisinis kami yang telah berbasis teknologi informasi.
Kini penerbitan SP2D hanya satu jam. Belum lagi layanan
unggulan lainnya yang ditawarkan. ltu semua untuk kalian.
Ya, kalian rakyat Indonesia yang dengan rutin membayar
pajak, dari golongan ekonomi terendah hingga tertinggi
melakukan hal serupa. Bukan hanya PPh saja, setiap produk
yang kalian beli di mal-mal, mini market, hingga di kaki
lima, itu semua telah dikenakan pajak. Karenanya, kami
berkomitmen melayani kalian semua. Bersama tiap aliran
darah ini.

Bantulah kami dengan doa-doa Anda. Karena kami juga


ingin melihat negeri ini sejahtera. Kami ingin cerita tentang
kemiskinan, anak-anak telantar, pendidikan mahal, dan
kesehatan tidak terjangkau, hanya menjadi sejarah negeri
ini. Anak, cucu kita hanya mampu melihat sejarah itu dari
foto dan film yang ada saat ini. Karena dengan perubahan
yang kami lakukan, diharapkan mampu juga menginspirasi
unit lain untuk melakukan hal yang sama.

“Semoga saja,” desahku sambil membuka pintu kamar kos.

393
Kementerian Keuangan

Mungkin masih ada sedikit


keengganan bagi sebagian
kami untuk mengatakan
dengan lantang bahwa kami
telah berubah, kami tidak
seperti dulu lagi.
Telah Kusampaikan
Pesanmu, Fakhri

Oleh:
Vina Eriyandi,
Pegawai DJPb
Karena Kita Garda

Semburat cahaya kuning keemasan di ufuk langit sore ini


394

berbias menimpa barisan bukit yang terlentang pasrah di


seberangnya. Sungai kecil yang bersembunyi di baliknya
dengan setia mengalirkan sedikit air ke muara. Beriak riang
seperti anak kecil yang mendapat hadiah ulang tahun dari
ayahnya. Ribuan pohon sawit berbaris rapi menyapa orang
yang lalu lalang di hadapannya laksana serdadu yang sedang
diinspeksi pasukan oleh komandan upacara. Daunnya
melambai-lambai tetimpa hembusan angin musim
kemarau.

Pemandangan sore di musim kemarau memang sangat


menakjubkan.

Aku sangat menikmatinya. Ada kerinduan yang dalam pada


kampung halaman ketika menyaksikan keindahan alam
ini. Memang baru setahun aku merantau ke luar pulau
Jawa. Tapi rasanya seperti sudah puluhan tahun. Aku masih
ingat bagaimana wajah ibu ketika melepas kepergianku di
bandara.

Air matanya meleleh dan Beliau tidak sanggup untuk


sekadar menyekanya. Kukatakan pada ibu dan bapak
bahwa aku akan baik-baik saja. Ibu dan bapak tahu bahwa
kepergianku hanya semata-mata menjalankan tugas.
Bahwa ini adalah konsekuensi yang harus aku ambil
sebagai seorang pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal
Perbendaharaan. Ibu dan bapak lebih paham.

Tiba-tiba “Hei....!” Suara yang sangat aku kenal


membuyarkan lamunanku. Suara Fakhri, teman
sekantorku. Nama lengkapnya Muhammad Fakhri. Fakhri
adalah pegawai yang cerdas. Dia adalah salah satu lulusan
terbaik Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Dia
pernah bercerita kepadaku bahwa hasil tes IQ-nya di atas
rata-rata.

“Hampir mendekati Einstein,” ungkapnya.

Soal pekerjaan, dia memang ahlinya. Walaupun baru dua


tahun lulus dari STAN, dia telah menguasai sebagian besar

395
pekerjaan di KPPN. Kami berdua ditempatkan di seksi yang
sama di KPPN ini. Aku sering bertanya tentang banyak hal
kepadanya.

Kementerian Keuangan
“Ayo, kita harus segera bersiap-siap. Acaranya sudah
mau dimulai,” ujar Fakhri. Aku segera menyusulnya
mencari kursi yang kosong di podium. Kami pun duduk
bersebelahan. Acara Grand Launching KPPN Percontohan
segera dimulai. Di atas panggung terpampang baliho
dengan tulisan “KPPN Percontohan didedikasikan untuk
layanan cepat, tepat, dan transparan.”

“Hari ini saya resmikan KPPN Percontohan sebagai upaya


untuk menyukseskan Reformasi Birokrasi. Anda sebagai
stakeholders diharapkan turut-serta dalam proses ini.
Tidak ada lagi korupsi, tidak ada lagi gratifikasl, dan anda
dapat membawa pulang SP2D (Surat Perintah Pencairan
Dana, edt) satu jam setelah SPM diajukan dengan benar,”
demikian kata-kata sambutan bapak Sartori sebagai wakil
Dirjen Perbendaharaan dalam acara pagi itu. Tepuk tangan
dari seluruh yang hadir turut mengiringi bunyi bel sebagai
tanda diresmikannya KPPN Percontohan.
Hari-hari kami lalui dengan penuh semangat. Tumpukan
pekerjaan kami habiskan. Jumlah pegawai yang berkurang
hampir setengahnya, menjadikan proporsi pekerjaan
semakin bertambah untuk setiap orangnya. Tetapi itu tidak
menjadi masalah. Aku melihat dengan langsung bagaimana
Fakhri dengan cekatan memproses SPM menjadi SP2D,
menyelesaikan SKPP dan membuat laporan realisasi. Dia
sangat bersemangat.

Dedikasi dan kesetiaan Fakhri sudah teruji. Sebelum masuk


STAN, dia telah diterima di salah satu perguruan tinggi
Karena Kita Garda

negeri ternama di Jawa Tengah lewat jalur prestasi. Ketika


keluar dari STAN dia rupanya ditawari bekerja pada salah
satu perusahaan ternama di Jakarta. Namun dia menolak.

“Aku hanya ingin berbakti pada negara. Hanya itu, Sarni,”


katanya suatu hari.
396

“Lihatlah apa yang telah kita perbuat sekarang? Kita telah


melakukan perubahan besar. Kau tahu, Sarni, banyak sekali
pihak yang meragukan proses yang sedang kita lakukan
sekarang. Namun kita bisa melaluinya,” terangnya berapi-
api. Aku hanya tersenyum.

Fakhri menjelaskan kepadaku bahwa begitu banyak


sikap pesimisme yang ditunjukkan berbagai pihak
terhadap proses Reformasi Birokrasi. Deretan keluhan
yang disampaikan masyarakat atas buruknya kinerja
pemerintah menjadi acuan. Praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme masih belum mereda. Sistem pelayanan yang
begitu panjang dan terkesan lamban, diperparah dengan
buruknya kompetensi aparat. Mungkin ini adalah salah
satu penyebab mengapa perumusan reformasi ini begitu
panjang. Butuh waktu lima tahun untuk menyempurnakan
Program Reformasi birokrasi ini. “Birokrasi di
Indonesia sudah mengalami penyakit akut. Susah untuk
disembuhkan,” begitu penilaian sebagian besar orang
terhadap birokrasi.

Aku masih ingat bagaimana satu tahun yang lalu KPPN


membutuhkan waktu satu hari untuk menyelesaian
pekerjaan rutinnya. Tidak ada kejelasan apakah SPM yang
diajukan bisa dibayarkan. Tidak ada monitoring terhadap
pekerjaan yang telah dilakukan. Tidak ada evaluasi
atas kinerja pegawai. Semua serba tidak jelas. Fakhri
pernah bercerita kepadaku bahwa dahulu perlakuan
KPPN terhadap satker semata-mata untuk mengharapkan
“sesuatu”.

“Ah, sudahlah aku tidak ingin mengenang masa-masa itu.


Sungguh memalukan!” Itulah kata-kata yang keluar dari
mulutnya ketika kutanya tentang perlakuannya terhadap
satker pada masa lalu.

“Jika kau bekerja pada zaman itu dan ditempatkan di tempat


‘basah’ dan mindset-mu amburadul, kuyakin kau akan cepat
kaya. Dan kau tidak akan berada di sini sekarang, tetapi di
penjara,” Fakhri menasihatiku. Aku beruntung mengenal

397
Fakhri saat ini. Dia pernah merasakan bagaimana beratnya
godaan bekerja di KPPN pada zaman dahulu. Bagaimana dia
mampu bertahan walau dengan kondisi lingkungan yang

Kementerian Keuangan
tidak memungkinkan. Bagaimana dia berusaha dengan
sekuat tenaga untuk tidak tergoda dengan rayuan-rayuan
yang menyesatkan. Sekali lagi, dedikasinya telah teruji
dengan baik. Aku harus lebih banyak belajar kepadanya.
Jika ada orang alim yang tidak tergoda karena bertapa
di atas gunung, itu biasa. Namun jika dia tidak tergoda
padahal dia berada di hiruk pikuknya kota, maka hal itu
adalah sesuatu yang sangat baru luar biasa!

Semuanya begitu cepat berlalu. Akan terjadi perubahan


yang dinamis dari zaman ke zaman. Paradigma lama
akan pudar, paradigma baru akan bersinar. Perubahan-
perubahan menuju ke arah kebaikan senantiasa
memerlukan proses yang terus-menerus, Hari ini
kusaksikan bagaimana perubahan itu berjalan. Mindset
kami telah menuju ke arah yang lebih baik, dedikasi kami
telah meningkat, pengetahuan kami telah mendalam, skill
kami telah mumpuni.
Hari ini kusaksikan senyuman lebar bendahara-bendahara
satker yang datang ke kantor kami. Samar-samar kudengar
seseorang dari mereka berbisik pada teman di sampingnya,
“Sekarang KPPN beda ya? Pegawainya masih muda,
ganteng-ganteng lagi.” Aku hanya tersenyum.

Tiba-tiba nada dering telepon seluler mengagetkanku.


Kuterima SMS dari Arif, teman kantor. Pesan SMS yang
tertulis, “Fakhri di rumah sakit, kamu cepat ke sini.”
Aku tercekat. Dengan seribu pertanyaan yang masih
bergelayutan aku berangkat ke rumah sakit.
Karena Kita Garda

Setibanya di rumah sakit, aku disambut oleh teman-teman


yang lain. Mereka sudah datang terlebih dahulu. Fakhri
tergolek lemah dengan selang infus di tangannya. Wajahnya
lemah. Dia kelihatan senang aku datang. Kuraih tangannya.

“Terima kasih telah datang, Sarni. Kau sahabatku yang


398

paling baik. Aku tidak tahu kenapa aku biasa berada di sini,”
bisiknya lirih. Air matanya meleleh. “Tenanglah, Fakhri.
Kamu akan sembuh,” aku berusaha menenangkan.

“Entahlah, Sarni. Semoga saja,” Fakhri putus asa.

“Tolong, Sarni. Aku tidak menyerah. Aku masih ingin


mengabdi kepada negara. Meneruskan reformasi yang
tengah kita jalankan. Aku titipkan padamu. Kau harus
menjadi pegawai yang baik. Taat peraturan dan memegang
teguh kode etik. Tolong jangan kau nodai komitmen kita
untuk mewujudkan pemerintahan yang baik. Tolong,
Sarni. Lanjutkan perjuangan para pendahulu kita. Buktikan
pada semua orang bahwa kita bisa melakukannya. Katakan
kepada mereka bahwa pejuangan ini tidak akan pernah
berakhir. Teruslah berjuang sampai maut menjemputmu,
ketika nyawa sudah sampai di tenggorokan. Ingatlah,
akan selalu ada yang mencatat apa yang engkau perbuat,”
Fakhri berkata semakin lirih.

Kurasakan genggaman tangannya melemah. Matanya


perlahan-lahan menutup. Kuperiksa nadinya sudah tidak
berdetak. Aku memanggil dokter dan perawat. Namun
semuanya terlambat. Fakhri sudah tiada. Teman-teman
yang lain segera masuk dan melihat keadaan Fakhri. Aku
menangis.

Hari ini, tepat satu tahun Fakhri meninggalkan kami


semua. Di depan meja kerja yang berantakan ini aku
panjatkan sepotong doa, “Semoga pengabdiannya,
pengorbanannya, dedikasinya, serta kerja kerasnya menjadi
amal saleh di sisi Tuhan Yang Maha Esa.”

Tak terasa air mataku meleleh. Aku rasa pesan yang dia
katakan sesaat sebelum meninggal bukan hanya untukku
saja, tetapi untuk semua yang terlibat dalam proses
reformasi ini. Semoga Direktorat Jenderal Perbendaharaan
dapat melahirkan Fakhri-Fakhri baru yang akan senantiasa
membawa kepada perbaikan organisasi untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan.

399
Kementerian Keuangan
Tolong, Sarni. Aku tidak
menyerah. Aku masih ingin
mengabdi kepada negara.
Meneruskan reformasi yang
tengah kita jalankan. Aku
titipkan padamu. Kau harus
menjadi pegawai yang baik. Taat
peraturan dan memegang teguh
kode etik.
Sejarah Layanan Setoran
Penerimaan Negara

Oleh:
Sigid Mulyadi,
Pegawai DJPb
Karena Kita Garda

Jakarta, tahun 1945 s.d. 1988


400

Di akhir tahun 1959, umur saya kira-kira dua puluhan


tahun. Sebagai pengusaha muda dan wajib pajak yang bijak,
setiap tahun saya membayar pajak. Saya selalu datang
langsung ke Kantor Kas Negara atau yang dikenal waktu itu
dengan nama S’Land. Beberapa tahun berikutnya, tepatnya
pada awal tahun 1965, saya datang kembali ke kantor itu,
tapi dengan papan nama Kantor Bendahara Negara (KBN).
Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1975, saat saya
kembali akan membayar pajak, kantor itu berubah nama
menjadi Kantor Kas Negara. Tepat di samping Kantor Kas
Negara berdiri Kantor Perbendaharaan Negara (KPN).

Pada era itu, setiap akan membayar pajak, saya mengisi


formulir dengan tulisan tangan. Di Kantor Kas Negara ada
dua loket: penerimaan dan pengeluaran. Untuk membayar
pajak, saya harus antre di loket penerimaan. Saya juga
pernah beberapa kali mengantre di loket pengeluaran,
untuk menerima pembayaran dari pengadaan barang suatu
instansi dimana saya selaku rekanan. Semuanya serba uang
tunai. Setiap kali saya ke Kantor Kas Negara, saya selalu
membawa koper untuk menyimpan uang.
Saya sudah tahu kapan waktu yang tepat untuk
menghindari kerumunan orang di kantor itu. Saya tidak
pernah datang pada awal bulan. Kantor Kas Negara akan
dipenuhi oleh orang atau bendahara yang mengantre
mengambil gaji pegawai negeri. Pernah juga satu masa, para
pensiunan juga mengantre di kantor tersebut.

Setelah saya menyerahkan formulir dan sejumlah uang


pajak, formulir akan diperiksa oleh petugas. Uang juga akan
dihitung. Petugas akan membubuhkan tanda tangan dan
teraan berupa cap stempel, sebagai bukti uang saya telah
masuk ke kas negara. Beberapa lembar formulir tersebut
diserahkan kembali kepada saya. Beberapa tahun kemudian,
bukti teraan sudah menggunakan mesin.

Tak hanya pajak, saya juga pernah menyetorkan kelebihan


pembayaran kontrak pengadaan. Beberapa kali saya
juga bertemu dengan kawan saya -seorang bendahara

401
penerimaan di suatu instansi- untuk menyetorkan PNBP.
Saya juga melihat beberapa orang importir membayarkan
bea masuk barang impornya di Kantor Kas Negara.

Kementerian Keuangan
Suatu kali, saya mendapat kesempatan masuk ke dalam
Kantor Kas Negara. Semua pegawai bekerja dengan tekun
dan teliti. Ada yang menghitung uang dan memasukkan
ke dalam amplop. Sepertinya untuk gaji pegawai atau
uang pensiunan. Ada juga yang membuat laporan pada
buku yang cukup besar. Mereka mencatat angka-angka
dan menghitungnya dengan kalkulator. Ada beberapa
mesin ketik di meja kerja. Banyak sekali tumpukan berkas
di kantor ini. Maklum juga, bukti setoran dan perintah
pembayaran semuanya harus mereka arsipkan. Di satu
sudut di dekat ruang kepala kantor, saya melihat ruangan
dengan pintu besi yang sangat kuat. Tanpa sengaja saya
melihat beberapa pegawai masuk ke dalam ruangan
itu. Dari pintu yang sedikit terbuka, saya menyaksikan
tumpukan uang di sana.

***
Jakarta, tahun 1988

Sejak tahun 1988, Pemerintah mulai mengenalkan kepada


wajib pajak untuk membayar pajak melalui bank yang telah
ditunjuk. Pemerintah menyebutnya sebagai penerapan
giralisasi.

Ini tentu kabar yang menggembirakan bagi saya. Saya tak


perlu lagi datang ke Kantor Kas Negara yang hanya ada satu
di suatu kota. Dengan beralih ke bank, ada beberapa pilihan
bank di kota saya. Saya juga lebih senang pergi ke bank. Ada
Karena Kita Garda

teller cantik yang melayani pembayaran pajak. Pastinya,


mereka lebih menarik. Tapi kabarnya, masih tahap uji coba,
belum berlaku di seluruh daerah. Begitu kata teller itu, di
mana saya mulai akrab dengannya.

Hampir setiap pulang kerja, saya menjemputnya untuk


makan malam, nonton atau sekadar bercengkerama. Kami
402

mulai saling tertarik. Setelah sekian tahun pencarian,


akhirnya saya menemukan tambatan hati.

Sayang, usia saya tak lagi muda, sudah hampir lima puluh
tahun. Sementara, ia berumur tiga puluhan tahun. Saya
sudah merasa, hubungan kami tak akan mulus. Dan benar,
ketika saya datang berkunjung ke rumah orang tuanya
untuk melamar, orang tuanya tidak begitu saja menyetujui.
Ada saja alasan untuk mengulur-ulur waktu. Saya tahu,
sebab utamanya adalah umur saya.

***

Jakarta, pertengahan tahun 1989 s.d. 1999

Di kala saya kembali berkunjung ke Kantor Kas Negara


untuk bertemu dengan seorang kenalan pegawai disitu, saya
melihat banyak sekali perubahan. Kantor Kas Negara telah
dikosongkan, para pegawai bergabung ke kantor KPN yang
dulu. Papan nama berubah menjadi Kantor Perbendaharaan
dan Kas Negara (KPKN).

Didepan kantor ada tulisan pengumuman yang agak


panjang yang jika saya simpulkan kira-kira seperti ini:

“Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan tanggal


12 Juni 1989 Nomor 645/KMK.10/1989, KKN dan KPN
dilebur menjadi Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
(KPKN).”

Setelah ketemu dan berbasa-basi, kenalan saya itu bercerita:


Departeman Keuangan telah melakukan perombakan
organisasi. Katanya, ini dampak dari penggunaaan jasa
perbankan dan giralisasi.

Tak ada lagi setoran tunai dan pembayaran tunai melalui


KPKN. Penyetoran pajak dan pembayaran atas tagihan
harus melalui bank yang ditunjuk. Sejak saat itu, KPKN
bermitra dengan beberapa bank di kota tersebut. Ada
yang disebut sebagai bank persepsi, yaitu bank yang dapat
menerima penyetoran penerimaan Negara dan ada juga

403
bank operasional, yaitu bank yang menyalurkan dana ke
rekening penerima pembayaran.

Suatu waktu, saat saya mengurus pencairan dana proyek

Kementerian Keuangan
yang saya kerjakan, saya mendapat kesempatan masuk ke
dalam ruangan KPKN. Saya melihat mesin yang canggih.
Seorang pegawai sedang mengoperasikan mesin yang dapat
mencetak tanda teraan pada setiap lembar surat setoran
pajak. Saya penasaran dan mencoba bertanya tentang mesin
itu. Satu di antara pegawai menjelaskan, mesin itu bernama
TEC ST-2000. Katanya memang mesin pintar, karena selain
teraan, mesin itu bisa menghasilkan laporan harian dan
mingguan.

Tiba-tiba ada yang menimpali pembicaraan kami. Katanya,


sayang sekali, mesin itu input datanya masih manual. Coba
kalau ada data file atau disket dari bank. Sehingga bisa
langsung diproses, tidak perlu lagi rekam manual oleh
pihak KPKN.

***

Jakarta, 30 Desember 1999 s.d. tahun 2006


Rupanya, dengan pertimbangan seperti pemikiran orang
di atas, yang kemudian mendorong Pemerintah melakukan
perbaikan sistem. Dengan makin banyaknya jumlah setoran
penerimaan Negara, tidak mungkin KPKN harus kembali
meng-input satu per satu surat setoran dan mencetak teraan.
Kemudian dengan perkembangan teknologi informasi,
dibuatlah satu aplikasi yang bisa membaca data dari bank
persepsi.

Dengan Surata Edaran Bersama DJA, DJP, dan DJBC


tanggal 30 Desember 1999, mulailah diberlakukan Sistem
Karena Kita Garda

Penatausahaan Penerimaan Setoran Pendapatan Negara


dengan Sistem Internal Check. Sejak saat itu, bank persepsi
menggunakan suatu aplikasi untuk mencetak Daftar
Nominatif Penerimaan (DNP) dan mengirimkan DNP
tersebut ke KPKN bersama Laporan Harian Penerimaan
(LHP) dan disket data. Disket tersebut menjadi data input
404

pada aplikasi KPKN.

Kalau dulu setiap setoran harus dilakukan peneraan dan itu


baru dianggap masuk ke kas Negara. Maka dengan sistem
baru tersebut berubah, tak lagi diperlukan tanda teraan.
Namun diganti dengan apa yang disebut DNP di atas.
Penerimaan negara yang disetor wajib pajak dianggap telah
masuk kas negara apabila datanya tercantum di dalam DNP
yang ditandatangani oleh pejabat bank dan disahkan oleh
pejabat KPKN.

Begitulah, penjelasan seorang kawan dari Kantor Pusat DJA


saat ngopi bareng pagi itu.

Dia bilang aplikasi yang digunakan oleh bank persepsi


disebut aplikasi Sistem Penerimaan Negara (SISPEN).
Tapi tempo hari ada petugas bank yang bercerita pada
saya, sebenarnya tidak hanya SISPEN, bank persepsi juga
harus meng-input data ke aplikasi Monitoring Pelaporan
Pembayaran Pajak (MP3) dan Sistem Electronic Data
Interchange (EDI). MP3 untuk pajak dan EDI untuk bea
cukai.
Pada sekitar tahun 2004, saya melintas di depan kantor
KPKN. Papan nama kantor itu telah berubah menjadi
KPPN. Unit eselon satunya pun berganti menjadi Ditjen
Perbendaharaan, yang sebelumnya Ditjen Anggaran.
Dari berita koran saya mengetahui, dengan berlakunya
UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara,
Departemen Keuangan melakukan perubahan organisasi
dan itu menjadi awal dimulainya reformasi birokrasi.

***

Jakarta, pertengahan tahun 2006

Bagi wajib pajak seperti saya, sejatinya tak ada yang


berubah. Karena seperti sebelumnya, wajib pajak
menyetorkan pajak melalui teller. Berbeda dengan pihak
bank. Mereka lebih senang dengan sistem baru ini.

405
Teller cantik itu bercerita, sekarang lebih enak karena
cukup satu aplikasi, yang sebelumnya ada tiga aplikasi.
Orang Departeman Keuangan menyebutnya dengan Sistem
Penerimaan Negara (SiPN). Katanya masih tahap uji coba.

Kementerian Keuangan
Rencana akan diberlakukan tahun depan.

Barangkali, karena saya adalah wajib pajak yang taat


membayar pajak, tepat peringatan Hari Oeang ke-60
pada tanggal 30 Oktober 2006, saya diundang turut serta
dalam acara tersebut. Bersamaan dengan itu, saya ikut
menyaksikan acara soft launching Sistem Modul Penerimaan
Negara (MPN) oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati. Rupanya yang semula SiPN berganti nama
menjadi MPN. Dan terhitung mulai 1 Januari 2007 seluruh
transaksi penerimaan Negara harus menggunakan MPN.

***

Jakarta, tahun 2007

Mulai beberapa tahun yang lalu, Pemerintah menerapkan


kebijakan konfirmasi surat setoran. Tujuannya, untuk
memberikan keyakinan bahwa bukti setor tersebut tidak
dimanipulasi dan setoran sudah masuk ke kas Negara.
Memang, pada masa lampau, pemalsuan surat setoran
banyak terjadi. Malah, para petugas Bank atau Kantor
Pos sering ikut terlibat. Dengan sistem manual saat
itu, manipulasi menjadi hal yang mudah dan gampang
dilakukan.

Untuk suatu keperluan yaitu persyaratan mengikuti lelang


dimana setiap peserta lelang wajib melampirkan bukti
setor SSP pajak terakhir yang telah dikonfirmasi KPPN,
mengantarkan saya untuk kembali berurusan dengan
Karena Kita Garda

KPKN yang telah berganti menjadi KPPN.

Siang itu, saya datang ke KPPN untuk melakukan


konfirmasi SSP. Saya terkejut dengan perubahan kantor ini.
Semuanya sudah tertata dengan rapi dengan tampilan layout
kantor yang sangat berbeda dengan yang dulu. Sekarang
sudah seperti di bank. Dengan nomor antrean dan cukup
406

dilayani di front office. Ada papan informasi tentang layanan


KPPN, SOP dan waktu penyelesaian layanan.

Saya kemudian diterima dengan ramah oleh seorang


petugas FO. Saya sampaikan maksud saya. Dengan cepat
dia melayani saya. Saat saya selipkan amplop, buru-buru
dia menolak dan dengan tersenyum, ia menunjuk ke arah
tulisan besar di kantor itu: “Tidak Menerima Gratifikasi”.
Saya malu dan cepat-cepat minta maaf. Dengan sedikit
basa-basi, saya bertanya soal MPN yang dulu pernah saya
dengar saat mengikuti soft launching. Saya begitu penasaran
dengan kata itu. Dan sepertinya pertemuan dengan petugas
FO itu menjadi anugerah untuk segera melenyapkan rasa
ingin tahu saya itu.

Dengan senang hati, pegawai lulusan STAN itu menjelaskan


kepada saya begini,

“MPN merupakan suatu sistem penerimaan negara yang


terpadu. Dengan perkembangan teknologi informasi,
dimungkinkan seluruh penerimaan negara disajikan secara
real time melalui jaringan sistem informasi yang terhubung
secara online dengan Bank Persepsi.”

MPN mengintegrasikan tiga sistem penerimaan yang


selama ini berjalan, yaitu MP3 oleh Ditjen Pajak, EDI oleh
Ditjen Bea dan Cukai, dan SISPEN.

Tujuan MPN adalah untuk memberikan pelayanan


yang terbaik bagi Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor
dan menyediakan data penerimaan yang relevan dan
reliable yang dapat digunakan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.

Dengan Sistem MPN, bank yang menerima setoran


pajak maupun non pajak cukup melakukan peng-input-
an satu kali dan akan langsung masuk ke database yang
telah terkoneksi dengan Kementerian Keuangan. Surat
setoran penerimaan Negara yang telah diproses melalui
MPN akan memperoleh Bukti Penerimaan Negara (BPN)

407
yaitu dokumen yang diterbitkan oleh Bank Persepsi atas
transaki penerimaan negara dengan salah satu cetakannya
berupa Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
NTPN merupakan bukti pengesahan suatu setoran masuk

Kementerian Keuangan
ke kas Negara. NTPN bersifat unik dan tak akan pernah
ganda. Sehingga dapat digunakan sebagai parameter proses
rekonsiliasi data penerimaan antar departemen maupun
unit-unit eselon I di Kementerian Keuangan.

Saya terharu mendengar penjelasan pegawai itu. Sebagai


pelaku sejarah pembayar pajak, saya tahu persis bagaimana
kondisi masa lalu yang masih serba terbatas dengan layanan
penyetoran pajak dan pelaporannya yang masih manual.
Dulu, gara-gara data yang tidak terhubung, saya pernah
harus mondar-mandir antara Kantor Kas Negara dan
Kantor Pajak untuk menyelesaikan laporan pajak saya.

Sebenarnya keterharuan saya tidak semata-mata karena


penjelasan pegawai itu tetapi juga karena melihat sendiri
perubahan yang terjadi di kantor itu. Saya begitu bangga,
reformasi birokrasi telah betul-betul dilaksanakan di
KPPN.
***

Jakarta, Februari s.d. November 2014

Inilah puncak keberuntungan saya sebagai wajib pajak


yang bijak. Saya menjadi saksi sejarah modernisasi sistem
penerimaan Negara. Saya diundang ikut menyaksikan
launching MPN G2 di Jakarta. Tepatnya Launching Transaksi
Perdana Setoran Penerimaan Negara Melalui MPN G-2
pada tanggal 27 Februari 2014.

Transaksi perdana ini dilakukan pada tiga lokasi, yaitu


Karena Kita Garda

Jakarta, Pasuruan, dan Banjarmasin, dan disaksikan


langsung secara streaming oleh Dirjen Perbendaharaan,
Dirjen Anggaran, serta para pejabat lainnya dan pihak
perbankan yang terlibat. Layanan sistem MPN G-2
dalam launching tersebut dilakukan oleh Bank BRI. Dalam
arahannya, Dirjen Perbendaharaan menyampaikan bahwa
408

MPN G-2 akan meningkatkan kualitas layanan pemerintah


di bidang setoran penerimaan Negara.

Hal terpenting yang membedakan antara layanan Sistem


MPN G-2 dengan sistem MPN sebelumnya adalah
menyangkut fleksibilitas, akurasi, kecepatan, keamanan dan
akuntabilitas. Sebelumnya, transaksi penerimaan Negara
harus di setor langsung ke loket pembayaran yang telah
ditentukan. Melalui layanan sistem MPN G-2, wajib pajak
dan wajib bayar dapat melakukan pembayaran kapan saja
dan di mana saja dengan berbagai pilihan cara, baik melalui
teller (Over The Counter), ATM (Automatic Teller Machine),
EDC (Electronic Data Capture), maupun internet banking.
Dengan sistem ini, Pemerintah mengharapkan kepercayaan
publik terhadap layanan pembayaran setoran negara akan
terus meningkat.

Begitulah pemahaman saya dari beberapa penjelasan yang


disampaikan saat launching tersebut.

Dan sekarang saya tak lagi mencari-cari blangko SSP untuk


menyetorkan pajak. Saya cukup membawa kode billing atau
malah saya bisa membayarnya sendiri melalui ATM dengan
memasukan kode billing. Tentu sebelumnya saya harus
membuat kode billing dengan mengakses portal billing.
Sangat mudah dan menghemat waktu saya. Saya tak perlu
lagi antre di depan teller karena sudah ada fasilitas internet
banking untuk membayar pajak. Meskipun sesekali saya
tetap menyetorkannya melalui teller untuk sekadar menatap
wajah teller yang ayu dan menawan itu. Wajahnya seperti
mengingatkan saya pada seorang wanita di masa silam.

Memang saya tak lagi muda, sudah tiga per empat abad
umur saya. Namun kenangan dengan seorang teller di
masa lalu selalu menghantui saya. Anak muda sekarang
menyebutnya sebagai cinta pertama. Namun sebuah cinta
yang tak sampai. Suatu kali, saat ia meng-input data pajak
ke aplikasi, tubuhnya tersedot masuk ke dalam aplikasi dan
lenyap. Begitu penjelasan orang tuanya. Meski akhirnya

409
saya tahu, dia diungsikan bapaknya ke luar negeri dan
menikah dengan seorang pria pilihan orang tuanya. Sejak
saat itu, saya sangat kehilangan. Dan sekarang, setiap kali
melihat seorang teller, saya selalu mengingatnya. Senyum

Kementerian Keuangan
manisnya begitu menggetarkan hati saya. Hingga kini.

***

Jakarta, hari ini

Saya menutup cerita dan penjelasan saya soal MPN. Gadis


itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Seorang
gadis yang sedang melakukan riset tentang sejarah layanan
penerimaan Negara untuk keperluan skripsi. Saya merasa
seperti sudah lama mengenal gadis itu. Saya mengenal
senyum itu. Saya makin terkejut ketika melihat kalung
liontin yang ia pakai. Bukankah itu kalung liontin yang
saya hadiahkan kepada seorang gadis yang saya cintai di
masa lalu?
Ada Awan yang
Lebih Tinggi

Oleh:
Ar Rizqiyatul Barokah,
Pegawai DJA
Karena Kita Garda

Rasa penat datang ketika akan ujian kuliah atau tugas


410

kuliah menumpuk, hingga muncullah perasaan ingin


segera lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Tak
terasa keinginan itu pun telah terpenuhi, dan di sinilah
saya menjadi salah satu abdi negara di Direktorat Jenderal
Anggaran. Manusia dapat berganti rasa dan saya pun
demikian. Ketika bekerja, muncul kembali rasa ingin
belajar di bangku akademis karena saya merasa ilmu yang
saya miliki tidak cukup untuk dapat berkontribusi dengan
lebih di institusi ini, mengingat jurusan saya waktu kuliah
adalah Matematika.

Puji syukur kepada Allah SWT, tanpa maksud untuk


menyombongkan diri, saya lolos tahapan-tahapan seleksi
beasiswa SPIRIT (Scholarship Program for Strengthening
the Reforming Institution) dan sampailah saya pada tahap
wawancara.

“Kalau saya lihat sepertinya perjalanan hidup kamu terlalu


mulus, khususnya terkait pendidikan. Dari Sekolah Dasar
(SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), kamu selalu
mendapat peringkat pertama. Bahkan pada saat kuliah
S1, kamu menjadi lulusan terbaik di tingkat Departemen
Matematika dan di tingkat Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Indonesia
(UI). Saya khawatir, jika ada momen di mana kamu tidak
dapat menjadi yang terbaik atau bahkan drop, misalkan
ketika kamu S2 nanti. Saya juga khawatir bagaimana kamu
melewatinya karena kamu belum pernah berada dalam
kondisi itu sebelumnya”, komentar salah satu pewawancara.

Sesaat setelah mendengar komentar itu, saya terdiam seraya


merefleksikan diri, tetapi saya sadar bahwa saya tidak dapat
berdiam lama dan harus meresponss komentar itu.

“Saya tidak dapat mengelak mengenai apa yang Bapak


sampaikan tentang kekhawatiran itu. Saya pun pernah
merasakan khawatir seperti itu ketika saya akan kuliah
S1 di UI, yang notabene merupakan salah satu kampus
terbaik. Saya yang berasal dari Tegal, sebuah kota kecil,
sangat khawatir saat itu apakah saya dapat bersaing

411
dengan mahasiswa-mahasiswi terbaik bangsa, terutama
yang berasal dari kota-kota besar di mana pendidikannya
lebih maju. Akan tetapi, saya dapat membuktikan bahwa

Kementerian Keuangan
seorang mahasiswi yang berasal dari kota kecil pun mampu
menjadi lulusan terbaik, dan kali ini, saya juga ingin
membuktikan kembali bahwa seorang mahasiswi yang
berasal dari negara yang bukan termasuk kategori negara
maju juga mampu menjadi lulusan terbaik bersaing dengan
mahasiswa-mahasiswi dari berbagai negara di kampus yang
berada di negara maju”, jawab saya dengan yakin agar saya
mendapatkan beasiswa SPIRIT itu, meskipun sebenarnya
saya juga khawatir dengan apa yang saya sampaikan
tersebut.

Namun demikian, keyakinan saya jauh lebih tinggi


daripada kekhawatiran saya. Banyak hal yang dapat
mendukung keyakinan itu. Motivasi dalam diri kuat
karena keinginan untuk membuat orang tua bangga, yang
mana orang tua sangat mengedepankan pendidikan. Saya
juga memersepsikan bahwa mendapatkan hasil nilai yang
memuaskan menjadi salah satu bukti tanggung jawab
saya sebagai seorang mahasiswi. Kata-kata motivasi,
“Tetapkanlah targetmu setinggi langit, sehingga ketika
jatuh, kamu akan tetap berada di awan-awan”, juga turut
andil dalam keyakinan itu. Awan itu tinggi dan saya
sadar bahwa menjadi lulusan terbaik ketika S1 itu juga
sudah termasuk tinggi. Mungkin akan ada pertanyaan,
“Bagaimana mungkin kamu mau menetapkan target lebih
tinggi lagi, bahkan untuk mempertahankan pun sulit”?
Pertanyaan semacam itu tidak menggoyahkan tekad saya
karena saya percaya bahwa masih ada awan yang lebih
tinggi yang mampu diraih dengan kemauan yang kuat.
Karena Kita Garda

Sekali lagi, tanpa bermaksud sombong, pun dengan segala


keraguan apakah saya akan membagi kisah ini, saya
akhirnya menuliskan kisah ini dengan harapan mampu
menginspirasi. Syukur alhamdulillah, saya berhasil menjadi
lulusan terbaik dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)
tertinggi dan berhasil mendapatkan penghargaan tesis
412

terbaik di Asian Public Policy Program (APPP), Hitotsubashi


University di Tokyo, Jepang pada tahun 2016. Bukankah ini
awan yang lebih tinggi?

Untuk menjadi lebih buruk mudah sekali, tetapi untuk


menjadi lebih baik pun bukan hal yang sangat sulit, bahkan
ketika kondisi sudah sangat baik. Komitmen perbaikan itu
keharusan. Layaknya apa yang disuarakan oleh masyarakat
terhadap para tokoh politik, “Kami butuh bukti, bukan
janji”. Pernyataan itu pun perlu diterapkan dalam diri.
Bukan hanya janji-janji dalam diri akan menjadi lebih
baik, melainkan implementasi bertahap pun perlu berjalan
beriringan hingga target perubahan ke arah lebih baik
tercapai. Jika setiap orang menjadi lebih baik, Indonesia
yang lebih baik pun merupakan suatu keniscayaan.
413
Kementerian Keuangan

Untuk menjadi lebih buruk mudah


sekali, tetapi untuk menjadi lebih
baik pun bukan hal yang sangat
sulit, bahkan ketika kondisi sudah
sangat baik. Komitmen perbaikan
itu keharusan.
Hidup Terhormat Tidak
Harus Menjadi Pemenang

Oleh:
Margono Dwi Susilo,
Pegawai DJKN
Karena Kita Garda

Kisah ini telah cukup lama, tetapi akan saya ceritakan


414

kembali karena saya senantiasa teringat pada Beliau. Lagi


pula di tahun 2017 ini DJKN akan melakukan inventarisasi
dan penilaian aset, sehingga momentumnya tepat.

Selepas subuh HP saya berbunyi, tanda SMS masuk. Tidak


seperti biasa, saya belum membukanya. Pagi itu tidak ada
firasat khusus sehingga HP pun tidak langsung saya buka.
Pikir saya, “Ah, paling iklan promo dari provider.” Saya pun
berangkat ke kantor. Justru saat tiba di kantor teman-teman
sudah berbisik, ada yang meninggal. Saya pun masih biasa
saja, karena menurut statistik, setiap hari ada ribuan nyawa
dijemput malaikat maut. Kematian adalah orkestra, dia
selalu mengalun, sehingga akhirnya orang menganggap hal
biasa. Namun salah seorang staf saya dengan mimik serius
mengatakan “Pak Margono, Pak Sulaiman sudah meninggal
dunia, tadi selepas subuh jam 6 di rumah sakit di Banda
Aceh.” Barulah saya merinding, “Innalillahi wa inna ilaihi
raji’un,” semua makhluk pasti mati, tetapi kematian teman
sekantor yang tempat duduknya hanya dua meter dari
tempat duduk saya tetaplah meninggalkan rongga di hati.

Saya tercenung sejenak. Akhirnya beberapa teman meminta


saya menuliskan obituary untuk dia. Saya setuju dengan satu
pertimbangan, almarhum orang biasa, ia bukan pejabat
tinggi, artis atau politikus, pastilah tidak ada satu pun
tulisan di media yang dibuat khusus untuk mengenangnya.
Setidaknya tulisan saya mengisi kekosongan tersebut.

Tahun 1955, tepat dua tahun setelah Darul Islam (DI/TII)


meletus di Aceh, lahirlah anak manusia yang diberi nama
Sulaiman. Lahir di Tibang, Pidie, daerah yang paling panas
jika terjadi konflik di Aceh. Tidak seperti layaknya anak
Aceh waktu itu yang puas dengan pendidikan pesantren,
Sulaiman kecil mampu menyelesaikan Sekolah Dasar tahun
1969. Berbekal ijazah SD tersebut, tahun 1981 Sulaiman
diangkat menjadi CPNS di Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
dan ditempatkan pada Kantor Lelang Negara Klas I Banda
Aceh. Barulah Sulaiman resmi menjadi PNS tahun 1983
dengan pangkat juru muda golongan IA. Menurut teman
sejawatnya, job description Sulaiman adalah pesuruh, dengan

415
tugas riil mengantarkan surat. Sesuai ketentuan waktu itu
setiap pegawai yang berpendidikan SD harus mengikuti
penyetaraan ijazah. Lewat program KPAA Sulaiman

Kementerian Keuangan
mampu mendapatkan ijazah setingkat SLTA.

Tahun 1991, Kantor Lelang Negara klas I Banda Aceh


dilepas dari DJP dan digabung dengan Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Di bawah bendera
BUPLN Sulaiman sempat menduduki jabatan Bendahara
Rutin setidaknya sampai tahun 1998 dengan pangkat
golongan IIb. Pangkat terakhir yang disandangnya adalah
golongan IIIa dengan jabatan sebagai pelaksana.

Saya datang ke Banda Aceh tahun 2008. Saat itu DJKN


tengah hiruk pikuk dengan program nasional penertiban
BMN. Sebagai koordinator tingkat KPKNL Banda Aceh,
saya tahu persis almarhum cukup berperan dalam tim
penertiban BMN, walaupun saya dan Beliau memahami
bahwa keberadaannya dalam tim bukanlah anggota inti.
Namun dalam posisi ini butuh kebesaran hati. Sulaiman
tahu persis bahwa masa “keemasannya” telah hampir
berakhir, sehingga ia tidak pernah menuntut. Jika petugas
lain selalu ingin mendapatkan penugasan lama dengan
SPPD banyak, ia cukup puas dengan jatah yang lebih kecil.
Sekali lagi ia tahu perannya. Saya harus menceritakan ini
karena karakter manusia berbeda. Ada sementara pegawai
lain yang mengharapkan penugasan dan SPPD walau
perannya hampir nihil dalam tim. Dan Sulaiman bukan
tipe yang ini.

Semua orang yang mengenalnya menyatakan bahwa


Sulaiman pegawai yang tidak bermasalah dan sama
Karena Kita Garda

sekali tidak ingin membuat masalah. Sulaiman sejauh


pengamatan saya dan kesaksian teman-teman, sangat
santun, lembut, dan penyabar. Tidak ada kesan ambisius
padanya. Tidak pernah sekalipun ia berapi-api menuntut
hak. Sulaiman tahu bahwa hak selalu bergandengan dengan
kewajiban. Saya pernah membaca buku kepribadian
karangan Dale Carnagie atau buku-buku manajemen
416

karya Covey junior maupun senior. Kesimpulan saya,


Sulaiman adalah antitesis dari petunjuk yang ada dalam
buku-buku tersebut. Sulaiman adalah cermin dari generasi
yang narimo ing pandum, pasrah pada takdir Tuhan. Orang
Korea menyatakan “jika Yin telah terlalu maju, maka Yin
harus rela melambat agar Yang bisa menyusul.” Sulaiman
adalah sebentuk kerelaan untuk disusul oleh generasi muda.
Kerelaan tanpa geram. Untuk menjadi seperti ini butuh
kebesaran hati. Banyak sekali di antara kita – golongan tua
-- yang marah dan emosi karena prestasi dan kariernya
disusul oleh generasi muda yang lebih energik dan pandai,
tanpa bisa instropeksi diri, bahwa zaman telah berubah.
Sulaiman tentu bukan futurolog yang pandai membaca
tanda zaman. Justru dari kebesaran hatinya ia mampu
menempatkan diri, pada pojok yang tentu tidak populer.
Ia tidak menunjukkan kesan marah dan sakit hati tatkala
generasi muda (seperti saya) mengunggulinya dalam karier
dan penghasilan. Baginya hidup sudah ada yang mengatur.

Sulaiman meninggal tidak dengan tiba-tiba. Diabetes melitus


(darah manis) memaksanya untuk bedrest cukup lama. Saat
ia sakit, saya bersama rekan-rekan sempat membesuk ke
rumahnya. Kondisinya memang sudah mengkhawatirkan.
Pada kondisi kritis ini keluarga masih yakin bahwa penyakit
ini ada yang membikin (baca: guna-guna). Sehingga terapi
yang dilakukan adalah non medis, alternatif. Rupanya
dugaan keluarga salah. Kesadaran ini baru terbit saat dokter
memvonis “amputasi” kaki. Sulaiman nampak pasrah,
toh bulan Desember 2011 ini ia akan pensiun dari PNS.
Tetapi takdir berkehendak lain, pada 21 Juli 2011, Tuhan
memisahkan dia dari kita, selamanya.

Akhirnya saya harus mengatakan, almarhum Sulaiman


bukanlah generasi emas, tetapi dari Sulaiman kita harus
belajar, bahwa untuk hidup terhormat tidak harus menjadi
pemenang. Selamat jalan Pak Leman.

417
Kementerian Keuangan

Semua orang yang mengenalnya


menyatakan bahwa Sulaiman
pegawai yang tidak bermasalah
dan sama sekali tidak ingin
membuat masalah.
418 Karena Kita Garda
419 Kementerian Keuangan
420 Karena Kita Garda

www.kemenkeu.go.id

Anda mungkin juga menyukai