Anda di halaman 1dari 4

Adab Meminta Izin

Meminta izin sekilas tampaknya sepele, padahal sangat penting pengaruhnya bagi
kedisiplinan, keteraturan, kejelasan kabar dan informasi dsb.

Allah SWT di dalam Kitab Nya yang suci, telah mengatur masalah ini, baik sebagai etika
dalam hubungan sosial kemasyarakatan seperti:
1. Etika meminta izin: An-Nur: 27, An-Nur:28, An-Nur:59, Al-azab:53

Diantara kebiasaan yang kerap kita saksikan, yaitu seseorang memasuki rumah orang lain
tanpa meminta izin si empunya rumah. Atau kita dapati seseorang mengintip ke dalam rumah
orang lain karena si empunya tak menjawab salamnya.

Masih banyak kaum muslimin yang menganggap ini sebagai perbuatan sepele yang sah-sah
saja. Apalagi bila si empunya rumah termasuk kerabat atau sahabat yang dekat dengannya.
Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti itu merupakan perbuatan dosa
yang dapat membawa mudharat yang sangat berbahaya.

Rumah, pada hakikatnya adalah hijab bagi seseorang. Di dalamnya seseorang biasa membuka
aurat. Di sana juga terdapat perkara-perkara yang ia merasa malu bila orang lain melihatnya.
Tidak dapat kita bayangkan, bagaimana bila akhirnya pandangan mata terjatuh pada perkara-
perkara yang haram. Ditambah lagi tabiat manusia yang mudah curiga-mencurigai,
berprasangka buruk satu sama lain. Akankah akibat-akibat buruk itu dapat terelakkan bila
masing-masing pribadi jahil dan tak mengindahkan tuntunan agama?

MEMINTA IZIN BERBEDA DENGAN UCAPAN SALAM


Sebagian orang beranggapan, bila salam telah dijawab, berarti ia boleh masuk ke
dalam rumah tanpa harus meminta izin. Ini adalah anggapan yang jelas keliru.
Ayat di atas dengan jelas membedakan antara salam dan meminta izin. Dengan
demikian, seseorang yang telah dijawab salamnya, harus meminta izin sebelum masuk
ke dalam rumah.
LARANGAN MENGINTIP KE DALAM RUMAH ORANG LAIN
Sering kita jumpai orang-orang yang jahil tentang tuntunan syari’at, karena terdorong rasa
ingin tahu, ia mengintip ke dalam rumah orang lain. Baik karena salam yang tak terjawab,
atau hanya sekedar iseng. Mereka tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti ini diancam
keras oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Beliau bersabda:
ْ َ ‫صاةٍ فَفَقَأ‬
“ٍ‫ت َع ْينُهُ َما َكانَ َعلَيْكَ ِم ْن ُجنَاح‬ ْ ‫”لَ ْو أ َ َّن ا ْم َرأ ً ا‬
َ ‫ِطلَ َع َعلَيْكَ ِبغَي ِْر ِإذْ ٍن فَ َخذَفَتْهُ ِب ُح‬
“Sekiranya ada seseorang yang mengintip rumahmu tanpa izin, lalu engkau melemparnya
dengan batu hingga tercungkil matanya, maka tiada dosa atasmu”. [Hadits riwayat Al
Bukhari dan Muslim].
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Sahal bin Saad As Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, ia
mengabarkan bahwasanya seorang laki laki mengintip pada lubang pintu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu, Beliau tengah membawa sebuah sisir yang biasa
Beliau gunakan untuk menggaruk kepalanya. Ketika melihatnya, Beliau bersabda:
“Seandainya aku tahu engkau tengah mengintipku, niscaya telah aku lukai kedua matamu
dengan sisir ini”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya permintaan izin itu diperintahakan untuk
menjaga pandangan mata.” [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].
2. Meminta izin untuk menghindari pandangan (yang dilarang): An-Nur:58
3. Meminta izin di hotel dan tempat-tempat umum: An-Nur:29
4. Meminta izin ketika akan keluar: An-Nur: 62

menceritakan kisah burung Hudhud dengan Nabi Sulaiman yang diabadikan dalam al-Quran
surat an-Naml ayat 20-23.
”Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata, ’Mengapa aku tidak melihat Hudhud,
apakah ia termasuk yang tidak hadir? Pasti akan kuhukum ia dengan hukuman yang berat
atau kusembelih ia, kecuali jika ia datang kepadaku dengan alasan yang jelas’. Maka tidak
lama kemudian (datanglah Hudhud), lalu ia berkata, ‘Aku telah mengetahui sesuatu yang
belum engkau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba’ membawa suatu berita yang
meyakinkan. Sungguh, kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia
dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar.”

Dari ayat di atas, sangat jelas dikatakan kepada kita mengenai gambaran pentingnya sebuah
“perizinan” ketika meninggalkan suatu majlis. Ketika Nabi Sulaiman mengadakan suatu
majlis, liqa’ (pertemuan) dengan kumpulan makhluk dan beliau tidak melihat burung Hudhud
dalam majlis, kemudian mengatakan dengan keras “Pasti akan kuhukum ia dengan hukuman
yang berat atau kusembelih ia. Kecuali jika ia datang kepadaku dengan alasan yang jelas”.

Kemudian, mengenai pentingnya suatu perizinan ini, ustadzah menjelaskannya melalui al-
Quran surat an-Nur ayat 62-63. Dengan merdu dan penuh penekanan beliau membacakan arti
ayat tersebut.
”(Yang disebut) orang Mukmin hanyalah orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
(Muhammad), dan apabila mereka berada bersama-sama dengan dia (Muhammad) dalam
urusan bersama, mereka meminta izin kepadanya. Sungguh orang-orang yang meminta izin
kepadamu (Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (benar-benar) beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya.” (62)

Maka, sambil menjawab pertanyaan awal yang ada di benak tadi, patutlah kita tertampar
muka dan tercabik-cabik hati tatkala membaca ayat ini. Apabila kita masih sering kali
meninggalkan majlis-majlis dan urusan-urusan dakwah bersama tanpa izin syar’i kepada para
qiyadah. Karena Adabul Isti’dzan merupakan sebuah cerminan dari ketaatan seorang jundi
pada qiyadahnya. Adabul Isti’dzan adalah cerminan dari keimanan. Maka suatu perizinan
menjadi amat sangat penting. Kemudian menjadi refleksi bersama pula bagi kita, apakah
selama ini kita telah benar-benar dikatakan beriman?
Beberapa poin penting yang disampaikan dalam kajian ini:
1. Sampaikanlah izin kepada seorang qiyadah ketika hendak meninggalkan suatu
pertemuan atau majlis
2. Hak seorang qiyadah untuk memberikan izin kepada yang mengajukan izin dengan
mempertimbangkan beberapa hal terkait ke syar’ian udzur yang diajukan. Timbangan
yang dipergunakan adalah fiqih prioritas amal shalih
3. Seorang qiyadah hendaknya memohonkan ampunan kepada Allah terhadap mereka
yang dikabulkan perizinannya. Ini adalah bentuk bahwa sesungguhnya qiyadah
hendaknya menghargai urusan jundinya
4. Jundi yang hendak meninggalkan pertemuan atau majlis, tidak meninggalkan majelis
sebelum keluar izin dari qiyadahnya. Jika meninggalkan majlis sebelum keluar izin,
maka ia adalah sebahagian dari mereka yang tidak taat.
Mengenai adab perizinan ini bukanlah untuk mempersulit dan membuat birokrasi yang
njlimet dalam berjamaah. Namun kaidah ini ada untuk menunjukkan bahwasanya Islam
mengajarkan untuk taat kepada para pemimpin selama tidak zhalim dan rasa menghormati
qiyadah terhadap jundinya.
Semoga mampu mengingatkan kita kembali akan pentingnya sebuah perizinan. Agar kita
termasuk orang yang beriman dan menjadi orang yang bertaqwa. Aamiin.

Jadi, ternyata meminta izin adalah simbol komunikasi yang efektif, sementara komunikasi
adalah alat yang penting dalam bekerja secara kelompok. Kelompok yang membiasakan
minta izin terlebih dahulu, menunjukan pribadi dan kelompok yang solid dan memiliki aturan
main. Adab minta izin ini sangat terkait dengan disiplin, sistem, dan aturan jamaah serta
ketaatan kepada pemimpin. Jika kita menyepelekan hal 'meminta izin' ini, maka keinginan
menjadi jamaah yang solid, sulit untuk diwujudkan.

Anda mungkin juga menyukai