Anda di halaman 1dari 5

Resep Membiakkan Bisnis dengan Waralaba

Kamis, 24 November 2005


Oleh : Sudarmadi

Agar sukses mengembangkan bisnis lewat waralaba, dibutuhkan kredibilitas dan diferensiasi
yang menguatkan produk atau jasa. Selain itu, ketertiban menata sistem operasional dan
formula bisnis menjadi daya saing yang tidak terelakkan.

Meski awalnya agak cemas, akhirnya dalam perjalanan waktu Thomas Lie dapat tersenyum
sumringah. Bisnis salonnya yang belum genap dua tahun, My Salon, sudah menuai sambutan
konsumen yang sangat baik. Jumlah gerainya terus tumbuh fantastis, kini setidaknya ada di
45 lokasi. Tanpa harus menunggu lima tahun, Thomas Lie dengan My Salonnya sudah bisa
disebut sebagai pemain besar di bisnis salon kecantikan, sejajar dengan pemain lama seperti
Johnny Andrean, Rudy Hadisuwarno dan Peter Saerang. My Salon kini tumbuh menjadi salah
satu salon favorit baru bagi segmen menengah-bawah.

Thomas dengan My Salonnya bisa menjadi contoh nyata bahwa waralaba merupakan jurus
ampuh dan cepat untuk membesarkan bisnis tanpa harus mengeluarkan modal sendiri. My
Salon mampu terus berekspansi dengan menggandeng pihak lain sebagai investor dalam pola
kerja sama waralaba. Tak mengherankan, penetrasinya sangat cepat. Maret 2003 baru punya
8 gerai, kemudian setelah dikembangkan dengan pola waralaba, kini punya 45 gerai.

Tentu, tak mudah menjadi pewaralaba (franchisor) yang sukses seperti My Salon, apalagi
dalam kondisi sekarang. Pasalnya, selain tingkat persaingan yang luar biasa ketat – tak
hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga pewaralaba asing -- juga tidak mudah menjaga
konsistensi kredibilitas bisnis sehingga tumbuh menjadi waralaba yang mendunia, seperti
McDonald’s, KFC, Starbucks, Wendy’s, English First dan Dunkin’ Donut. "Karena,
franchisor yang baik adalah yang sudah teruji dalam jangka panjang dan harus membuat
bisnis yang feasible serta sudah berproduksi dengan baik," kata Karlono Budiman, Direktur
Pengelola Martinizing Indonesia.

Ada beberapa elemen untuk melihat sebuah usaha layak diwaralabakan (franchiseable)
ataukah belum. Pertama, kredibilitas; dalam hal ini calon pewaralaba harus merupakan sosok
yang terpercaya di mata calon pembeli waralaba. Terpercaya di sini bisa diartikan sebagai
kuatnya daya tarik merek di mata konsumen, baik merek perusahaan maupun produk. Kedua,
keunikan dan diferensiasi bisnis; usahanya unik dan lain dari bisnis lainnya. Ketiga, sistem
operasional dan formula bisnisnya (kiat sukses) bisa diduplikasi dalam jangka pendek oleh
mitra usaha. Keempat, margin profitnya cukup untuk dibagi antara pewaralaba dan
terwaralaba (franchisee) sehingga memungkinkan terwaralaba cepat meraih return on
investment.

Intinya, menurut Denny Suharja, Executive in Charge PT Astra Otoparts -- pemilik bengkel
waralaba Shop & Drive -- sebuah bisnis layak diwaralabakan bila bisnis itu bermasa depan.
Lalu, jasa atau produk yang ditawarkan juga harus memiliki nilai tambah yang bisa dijadikan
magnet bagi konsumen. Ia memberi contoh Shop & Drive yang menjual aki, oli dan shock
absorber yang kemudian memberi nilai tambah berupa pemasangan gratis.

Sementara itu, Chairul Rivai, pendiri dan pemilik bisnis waralaba Hot Cwie Mie Malang dan
Rollies Restaurant, menyarankan, bila ingin menjadi pewaralaba sebaiknya sebelumnya harus
mau objektif menilai, dirinya bisa menjadi pewaralaba yang benar ataukah tidak. Hal ini ia
sarankan karena menjadi pewaralaba tak mudah, harus mengetahui seluk-beluk bisnis dan
menguasai tugas pewaralaba secara baik. Ia harus membangun prosedur operasional standar
(standard operating procedure/SOP) dan program pelatihan, memiliki kecakapan manajerial,
mendesain program pemasaran, membuat standar penentuan lokasi dan standar audit, dan
lain-lain. Chairul sendiri menjadi pewaralaba setelah empat tahun menggeluti bisnis Cwie Mie
dan saat ini memiliki 8 gerai.
Chairul yang biasa disapa Rully menjelaskan, untuk menjadi pewaralaba, pertama, harus
menguasai betul ilmu bisnis dari bidang yang digarap. Kedua, harus sanggup menjadi
pemimpin (manajemen) yang kuat. Ketiga, memiliki jiwa melayani, apalagi di bisnis yang
sifatnya pelayanan seperti bisnis resto. "Meskipun punya ilmu, punya uang, tapi tidak punya
jiwa melayani, jangan ambil bisnis yang sifatnya pelayanan seperti resto atau jasa lainnya,"
katanya.

Lebih lanjut Utomo Njoto, konsultan waralaba, menyambung, kalau diringkas ada lima
tahapan yang harus dilakukan untuk menjadi pewaralaba. Pertama, melakukan evaluasi awal,
terutama melihat kelayakan bisnisnya untuk diwaralabakan. Kedua, bila menyimpulkan telah
layak, kemudian mengembangkan paket waralaba. Ketiga, menjual dan memasarkan
waralaba (bisa dilakukan sambil jalan). Keempat, mentransformasi organisasi dari yang hanya
menjalankan bisnis menjadi menjual bisnis (bisa dilakukan sambil jalan). Kelima, memperbaiki
sistem. Ini pun bisa dilakukan sambil jalan.

Namun, Utomo menyarankan, bisnis yang akan diwaralabakan sebaiknya yang sudah jalan
minimal tiga tahun. Pertimbangannya, agar bisa diketahui histori kinerjanya. Akan tetapi,
dengan beberapa alasan, sebenarnya tak masalah jika usaha baru langsung diwaralabakan,
asalkan memang memiliki prospek masa depan – ada studi kelayakan untuk itu. Proyeksi
keuangannya diukur dari target-target keuangan yang mungkin terjadi, bukan sekadar analisis
histori kinerja.

Denny menambahkan, salah satu tahapan terpenting menjadi pewaralaba, selain harus
menyiapkan sistem yang cocok, juga mempelajari faktor-faktor yang menunjang keberhasilan
atau kegagalan. Kenapa? Supaya diperoleh sistem yang ideal. "Setelah kami merasa nyaman
dan diperoleh standar operasional yang baik, baru kami putuskan untuk mem-franchise-kan,"
katanya mencontohkan kelahiran waralaba bengkel Shop & Drive milik Astra Otopart itu.

Menurutnya, SOP yang ia berikan kepada semua peminat waralabanya merupakan intisari
pengalaman yang dirintis sejak tiga tahun lalu dengan melakukan uji coba sambil membuka
26 gerai. Baru setelah mendapat bentuk yang baku, akhirnya berani mewaralabakan sejak
Agustus 2004. "Kami banyak melakukan uji coba, bahkan ada empat outlet yang tutup," kata
Denny seraya menegaskan, bila sistem dan standar operasional sudah bagus, keberhasilan
gerai waralaba akhirnya sangat tergantung pada lokasi dan keseriusan investor mematuhi SOP
yang telah diberikan. Apa yang dilakukan Astra Otopart dengan terlebih dulu menyiapkan uji
coba SOP sebenarnya merupakan tanggung jawab, bahwa pewaralaba tak semata-mata
mengejar fee.

Menyinggung soal fee, ini memang termasuk isu krusial di bisnis waralaba. Biasanya, fee
waralaba dan fee royalti antar-industri besarnya tak sama, tergantung pada pemilik bisnis
yang hendak diwaralabakan. Demikian pula, menghitung fee royalti, misalnya, ada yang
basisnya penjualan kotor, tetapi tak sedikit pula yang berdasarkan penjualan bersih. Bahkan,
ada pula yang basisnya profit kotor. Ada yang memungut fee manajemen, ada yang
membebaskannya.

Yang jelas, besarnya fee biasanya merupakan paket yang terkait dengan banyak dukungan
dan infrastruktur yang diberikan pemilik waralaba kepada pembelinya. Selain itu, juga sangat
tergantung pada kemungkinan tingkat kecepatan balik modal yang diberikan ke investor.
Dalam hal ini, kalau Anda pewaralaba yang memiliki bisnis bagus tentu saja posisi tawarnya
untuk membuat nilai fee lebih tinggi cukup terbuka.

Sebagai contoh, bisa dilihat sistem fee di Hot Cwie Mie Malang. Seperti kata Rully, pihaknya
menarik fee waralaba dan fee royalti dengan pola standar di bisnis resto. Fee royalti,
misalnya, kisarannya sekitar 5% dari profit kotor. Bisa lebih bisa kurang, tergantung pada
banyak hal. Yang jelas, untuk menjadi terwaralaba Cwi Mie butuh Rp 300-350 juta (di luar
gedung). Fee manajemen pun bervariasi, ada yang 3-4 tahun, dengan nilai sekitar Rp 100 juta
untuk jangka empat tahun.
Lain lagi dengan waralaba Shop & Drive. Perusahaan dalam Grup Astra itu mematok fee
waralaba sekitar Rp 100 juta untuk 5 tahun. Selain itu, pewaralaba mengambil fee
manajemen sekitar 3% dari penjualan bersih. Bagaimana dengan Martinizing? Di waralaba
laundry ini, dipatok fee waralaba sekitar US$ 25 ribu dan fee royalti 4% dari penjualan bersih.
Sementara di My Salon, besarnya fee waralaba Rp 40 juta untuk masa 5 tahun dengan fee
royalti 6%-8% dari pendapatan kotor per bulan. Dalam menentukan besarnya fee dan paket
seperti ini sebaiknya memang mengundang konsultan atau setidaknya melihat berbagai
literatur agar bisa melakukan benchmarking antar-industri.

Memang, pewaralaba yang kredibel serta terbukanya peluang meraih fee yang lumayan besar
tentu mampu menarik peminat waralaba. Namun, di sini pewaralaba juga mesti bertanggung
jawab dan tak semata-mata mencari fee. Setelah terjadi kesepakatan membeli waralaba,
pewaralaba harus memberikan berbagai dukungan dan asistensi. Pewaralaba tak boleh
menjual waralaba lalu lepas tangan.

Beberapa hal yang biasanya menjadi tugas pewaralaba untuk mem-back up terwaralaba,
pertama, asistensi pemilihan lokasi. Pewaralaba yang sukses biasanya sangat selektif dan
ketat dalam penentuan lokasi gerai buat terwaralaba sehingga pewaralaba pun sebaiknya
terlibat dalam penentuan lokasi. Ini disarankan karena pewaralaba punya banyak pengalaman
memilih lokasi yang sukses dan gagal, terutama waralaba yang berhubungan dengan ritel.
Untuk ritel, tiga elemen sukses terpenting ialah lokasi, lokasi dan lokasi.

Kedua, asistensi pelatihan untuk menjalankan operasi bisnis yang diwaralabakan. Dalam hal
ini, pewaralaba memang harus menyediakan manual operasional bisnis -- populer disebut SOP
-- secara detail. Manual ini setidaknya berisi informasi seputar peran dan tugas karyawan;
proses, tata cara dan prosedur menjalankan bisnis (produksi, pelayanan, dll.); serta standar
ukuran kinerja dan tata cara pengelolaannya. Asistensi pelatihan pasti harus dilakukan
sebelum kegiatan pembeli waralaba dimulai. Ada juga pelatihan yang sifatnya reguler ketika
bisnis sudah jalan.

Ketiga, dukungan promosi dan periklanan. Pewaralaba yang bertanggung jawab akan
membantu program promosi yang sifatnya nasional ataupun lokal. Biaya bisa ditanggung
sendirian, tetapi bisa juga kerja sama dengan pembeli waralaba. Pewaralaba perlu membuat
rencana pemasaran yang mencakup strategi kampanye penjualan, misalnya melalui direct
mail, brosur, videotape, website; mendaftarkan diri di asosiasi dan franchise brokerage firm;
mengikuti pameran, dan aktivitas lainnya. "Tantangan terbesar membangun jaringan franchise
ialah membangun merek yang kuat karena dari sinilah franchise kita diminati," kata Utomo.

Keempat, dukungan lain seperti penyediaan tenaga ahli dan sistemnya di bidang sumber
daya manusia dan akuntansi, pengembangan sistem teknologi informasi, serta membantu
pencarian dana modal bila di tengah jalan mitra usaha waralaba membutuhkan tambahan
dana.

Selain berbagai dukungan tadi, pewaralaba hendaknya menyambut baik permintaan


konsultasi mitra usahanya. Bila terwaralaba ada masalah dan ingin berkonsultasi, pewaralaba
seyogianya berusaha keras mencarikan jalan keluar. Tentu saja, pewaralaba bukan sosok
yang serba bisa. Dalam hal ini, terwaralaba memang mesti memahami bahwa pengalaman
dan keterujian pewaralaba juga ada batasnya. "Artinya, pemecahan masalah hendaknya
merupakan hasil permikiran dan solusi bersama antara franchisor dan franchisee," Utomo
menambahkan.

Pewaralaba yang sukses biasanya cukup selektif memilih mitra yang bakal disetujui sebagai
terwaralaba. Karena bila salah pilih mitra waralaba, nasib bisnisnya terpengaruh secara
keseluruhan. Prinsip ini juga dipegang teguh Rully dalam mengembangkan waralaba Hot Cwie
Mie Malang. Ia mengamati betul seberapa siap seorang pelamar waralaba menjadi
terwaralaba. "Kalau tidak siap, saya tidak akan berikan," kata Rully sembari menjelaskan,
selama ini merasa tak menjual waralaba karena umumnya orang lain yang justru datang
meminta menjadi terwaralaba. Baginya, terwaralaba juga harus siap rugi. "Karena, dalam
bisnis saya tidak bisa menggaransi harus untung," katanya.

Denny menambahkan, dalam mengembangkan usaha sebagai pewaralaba, Astra Otopart juga
memilih mitra investor yang memiliki jiwa kewirausahaan karena memang hal itu dibutuhkan
untuk menunjang keberhasilan. Dari sisi produk, bisa jadi produk yang dikembangkan
pewaralaba sudah bagus, tetapi kewirausahaan dibutuhkan untuk memastikan bahwa
karyawan menjalankan pekerjaan sesuai dengan SOP.

Tak lupa, pewaralaba yang berhasil biasanya yang terus-menerus melakukan monitoring
intensif terhadap bisnis para terwaralaba. "Bila perlu, untuk menilai standar kualitas dan
memastikan SOP dijalankan dengan baik, franchisor mengirim mistery guest ke beberapa
gerai yang nantinya memberikan laporan ke franchisor. Informasi tersebut akan disampaikan
ke gerai-gerai yang memang harus dipoles agar tetap bisa survive," kata Rully.

Utomo melihat saat ini minat pebisnis di Indonesia untuk mewaralabakan bisnisnya sudah
meningkat jauh. Bahkan, perusahaan besar seperti Martha Tilaar dan Bogasari pun
melakukannya. "Itu merupakan fenomena positif buat bisnis di Indonesia. Penting sekali
pebisnis di Indonesia membangun merek waralaba yang bisa menjadi tuan rumah di negeri
sendiri. Apalagi, kalau bisa diekspor," katanya memaparkan. Hal ini juga mulai dilakukan
perusahaan manufaktur yang sekarang mulai mengembangkan waralaba untuk memperluas
jangkauan pasar dan penjualan. Para distributor dan importir bisa memetik manfaat dari
strategi waralaba ini.

Di Indonesia, dalam pengamatan Utomo, perusahaan besar yang cukup aktif mewaralabakan
bisnisnya, antara lain, Grup Salim yang mengembangkan Indomaret melalui Indomarco --
sekarang sudah dijual. Lalu, salah satu perusahaan distribusi besar yang juga masuk di bisnis
waralaba ialah Anugerah Pharmindo Lestari. APL mengambil alih hak waralaba The Medicine
Shop dari perusahaan lain yang sebelumnya kurang berhasil membangun jaringan waralaba
apotek di pasar Indonesia. Kini distributor telepon seluler pun mulai menjalankan bisnis
waralaba dalam program ekspansi membangun toko dan kios ponsel.

Namun, Utomo mewanti-wanti agar pewaralaba tak hanya hidup dari biaya awal waralaba
terus. Suatu saat pewaralaba harus bisa hidup dari fee royalti. "Ini merupakan titik kritis dan
harus menjadi target para pewaralaba di Indonesia. Kalau tak bisa hidup dari royalty fee yang
diberikan oleh para pembeli franchise, sementara tak ada penambahan gerai baru, perlahan-
lahan dipastikan pewaralaba kan mengalami bleeding atau pendarahan yang tiada habis-
habisnya,” Utomo mengingatkan. Karena itu, jangan cuma ingin memburu untung besar,
tanpa usaha dan kerja keras. Pasti sia-sia.

BOKS:

Yang Sebaiknya Dilakukan Pewaralaba

- Membuat prosedur operasional standar bisnis yang bakal diwaralabakan


- Mematenkan merek perusahaan dan produk yang diwaralabakan
- Membuat beberapa gerai sendiri sebagai pilot project sebelum diwaralabakan
- Konsisten membangun merek
- Memilih terwaralaba yang memiliki jiwa kewirausahaan
- Mendesain rencana pemasaran dan promosi, baik di tingkat nasional maupun di gerai
masing-masing
- Membuka kesempatan konsultasi secara reguler dengan terwaralaba
- Secara kontinyu memonitor semua gerai waralaba, termasuk melakukan mystery shopping
- Memiliki sistem kontrol keuangan dan informasi yang kuat terhadap semua terwaralaba
Yang Sebaiknya Dihindari Pewaralaba

- Mendelegasikan sepenuhnya pemilihan gerai kepada terwaralaba


- Terlalu berorientasi dan menggantungkan pendapatan pada fee waralaba
- Membebaskan terwaralaba dalam memilih pasokan produk dan bahan baku
- Menarik biaya-biaya yang tak terduga secara sepihak
- Lebih memprioritaskan gerai yang dimiliki sendiri, ketimbang gerai yang dimiliki
investor
- Memberikan perlakuan yang tak seimbang di antara para pembeli hak waralaba
- Membatasi terwaralaba dalam membuat strategi promosi sendiri
- Hanya mengandalkan masukan tim kantor pusat dalam menyusun strategi
pengembangan pasar

Reportase: Darandono dan Siti Ruslina Riset: Asep Rohimat, Ely Chandra dan Siti
Sumariyati (swa)
-

Anda mungkin juga menyukai