Anda di halaman 1dari 50

Laporan Kasus Praktikum 1:

Komunitas Sehat Dan Program Kesehatan Masyarakat


Dengan Topik Penyakit Hipertensi
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Komunitas
dan Keselamatan Kesehatan Kerja dalam keperawatan

Tutor D

Disusun oleh :

Raysa Khaerunnisa 220110160038


Dwi Winastuti 220110160039
Ajeng Dita A 220110160040
Sheren Yolavia 220110160042
Mega Fitri I 220110160043
Ai Indah Nazriah 220110160044
Rizkiani Tri R 220110160045
Indah Enriani W 220110160046
Siti Juarsih 220110160047
Amalina Fildzah 220110160048
Shinta Maharani 220110160049
Lintang Tyas A 220110160050

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2019
PRAKTIKUM 1: Komunitas Sehat dan Program Kesehatan Masyarakat

Kelompok menentukan masalah kesehatan yang menjadi perhatian kelompok.


Praktikum ini merupakan lanjutan dari kasus 1. Masalah kesehatan yang dipilih
kelompok akan menjadi populasi yang akan diberikan asuhan keperawatan
komunitas pada pelaksanaan praktik komunitas nantinya. Kelompok juga harus
mengidentifikasi program-program yang dilaksanakan oleh WHO dan kemenkes
dalam mengatasi permasalahan kesehatan pada populasi tersebut.

Tujuan pembelajaran:

1. Data kesehatan tentang populasi yang dipilih kelompok


2. Indikator capaian terkait populasi tersebut secara internasional dan nasional
3. Faktor-faktor yang memengaruhi pencapaian target
4. Program-program untuk mengatasi permasalahan populasi
5. Program-program yang sudah dilakukan
6. Tantangan dan peluang pelaksanaan program-program yang sudah
dicanangkan
Kelompok Tutor D mengambil masalah kesehatan mengenai hipertensi pada orang
dewasa.
1. Data Kesehatan Tentang Populasi Hipertensi

Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada


double burden, yaitu suatu keadaan dimana penyakit menular masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat, dilain pihak angka kesakitan dan kematian
disebabkan oleh penyakit tidak menular cenderung meningkat, dan sekaligus
menghadapi tantangan penyakit yang muncul kembali atau munculnya penyakit-
penyakit baru. Salah satu perwujudan strategi pencegahan dan pengendalian PTM
serta faktor risikonya adalah penyelenggaraan surveilans faktor risiko PTM
berbasis Posbindu. Posbindu PTM sebagai upaya kesehatan bersumberdaya
masyarakat (UKBM) yang berada di bawah pembinaan puskesmas dengan kegiatan
analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap faktor risiko PTM yang
berbasis posbindu PTM agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara
efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan, dan penyebaran
informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan (Kementerian
Kesehatan RI, 2014).

Berdasar data kesehatan penyakit hipertensi menurut (Kementerian


Kesehatan RI, 2018) meliputi diagnosis dokter, pada tahun 2018 terdapat 8.4%
penderita hipertensi yang presentasenya menurun dari tahun 2013 yaitu sebanyak
9.4% penderita di Indonesia, sedangkan menurut diagnosa dokter dan minum obat,
terdapat 9.5% penderita hipertensi pada tahun 2013 dan angkanya menurun menjadi
8.8% pada tahun 2018, selanjutnya menurut kriteria hasil pengukuran pada
penduduk umur >18 tahun terdapat sebanyak 25.8% penderita hipertensi di tahun
2013, angka ini meningkat drastis pada tahun 2018 yaitu sebanyak 34.1%.
Selain data di seluruh Indonesia, ada pula data prevalensi hipertensi
berdasarkan seluruh provinsi di Indonesia, contohnya menurut diagnosa dokter
menunjukkan bahwa provinsi yang memiliki presentase hipertensi paling banyak
ialah di provinsi Sulawesi Utara sebanyak 13.2% dan provinsi yang paling sedikit
prevalensinya ialah di provinsi Papua 4.4%.
Berdasarkan kriteria hasil diagnosa dokter atau minum obat antihipertensi
pada penduduk umur >18 tahun menurut provinsi pada tahun 2018 yang tertulis
dalam (Kementerian Kesehatan RI, 2018) menunjukkan bahwa provinsi yang
paling banyak prevalensinya ialah provinsi Sulawesi Utara sebanyak 13.5% dan
provinsi yang paling sedikit prevalensinya ialah provinsi Papua yang hanya berada
di angka 4.7%.

Selain kedua kriteria hasil di atas, ada jga kriteria hasil menurut hasil
pegukuran pada penduduk diatas >18 tahun yang disajikan menurut Provinsi yang
dilakukan oleh Kementrian Kesehatan pada (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Menurut riset tersebut, terdapat 34.1% dari seluruh penduudk Indonesia yang
mengalami hipertensi berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk umur >18
tahun. Dalam riset tersebut juga dikatakan bahwa provinsi yang memiliki
presentase paling besar ialah Kalimantan Selatan sebanyak 44.1% dan provinsi
yang paling sedikit presentasenya yaitu Papua dengan angka hanya 22.2%.

Pada riset juga disebutkan proporsi riwayat minum obat pada penderita
hipertensi di Indonesia pada tahun 2018 yang disajikan dalam diagram di bawah.
American Heart Association (AHA) menyatakan bahwa penduduk Amerika usia
diatas 20 tahun yang menderita Hipertensi sebanyak 74,5 juta jiwa. Menurut ,
hipertensi di Negara berkembang diperkirakan mengalami kenaikan sekitar 80%
pada tahun 2025 dari jumlah 639 juta kasus di tahun 2000. Di tahun 2020 sekitar
1,56 miliar orang dewasa akan hidup dengan hipertensi. Hipertensi membunuh
hampir 8 miliyar orang setiap tahun di dunia dan hampir 1,5 juta orang setiap
tahunnya di kawasan Asia Timur-Selatan. Menurut (WHO Regional Office for
South-East Asia, 2011), Sekitar sepertiga dari orang dewasa di Asia Timur-Selatan
menderita hipertensi.

Data dari (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013) menyatakan


bahwa hipertensi di Indonesia merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi
yang tinggi yaitu sebesar 25,8%. Prevalensi tertinggi di Bangka Belitung (30,9%),
kemudian diikuti oleh Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%),
Jawa Barat (29,4%), dan Gorontalo (29,4%) (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Prevalensi hipertensi di Provinsi Sumatera Barat menunjukkan sudah mencapai
sebesar 22,6%. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2014
hipertensi merupakan 5 penyakit terbanyak yang di derita oleh masyarakat dengan
jumlah penderita 84.345 orang. Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2015
menunjukkan bahwa hipertensi merupakan penyakit terbanyak urutan kedua
dengan jumlah penderita 31.760 orang. Angka kejadian hipertensi ini dilihat dari
22 puskesmas yang ada di kota Padang. Berdasarkan data yang ada, angka kejadian
hipertensi tertinggi adalah di Puskesmas Andalas sebanyak 1158 orang pada tahun
2015.
2. Indikator Capaian Terkait Penyakit Kronik Hipertensi Secara

Internasional dan Nasional

Capaian Kegiatan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Periode 2010-2014

Penetapan strategi penanggulangan penyakit tidak menular sebagaimana tercantum


pada buku Rencana Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular
tahun 2010-2014, meliputi:

1. Memperkuat aspek legal penanggulangan penyakit tidak menular


2. Meningkatkan surveilans epidemiologi penyakit tidak menular
3. Meningkatkan deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular
4. Meningkatkan media kominikasi, informasi, dan edukasi penanggulangan
penyakit tidak menular
5. Meningkatkan kualitas penanganan kasus penyakit tidak menular
6. Meningkatkan kemitraan dan peran serta aktif masyarakat dalam
penanggulangan penyakit tidak menular
7. Meningkatkan replikasi program penanggulangan penyakit tidak menular.

Strategi tersebut diimplementasikan melalui berbagai kegiatan yang


dikelompokkan ke dalam 3 pilar peran stakeholder program, yaitu:

1. Peran pemerintah melalui pengembangan dan penguatan kegiatan pokok


pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular
2. Peran masyarakat melalui pengembangan dan penguatan jejaring kerja
pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular
3. Peran masyarakat melalui pengembangan dan penguatan kegiatan berbasis
masyarakat.

Komitmen pemerintah terhadap pengendalian dan pencegahan penyakit tidak


menular meningkat yang diindikasikan dengan meningkatnya alokasi anggaran
secara bertahap. Perkembangan anggaran kegiatan pengendalian dan pencegahan
penyakit tidak menular pada Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular
Kementerian Kesehatan tercantum pada tabel berikut :
Perkembangan Anggaran Kegiatan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular pada
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian
Kesehatan 2010-2015

Tahun Alokasi (Rp) Realisasi (Rp) Capaian (%)

2010 57.370.000.000 55.971.670.040 97,6

2011 80.083.065.000 74.105.400.089 92,5

2012 52.772.036.000 50.048.370.566 94,8

2013 69.917.707.000 68.805.438.945 98,4

2014 63.810.861.393 57.190.300.606 89,6

2015 131.635.788.000*) 72.351.956.784 55


Catatan: *) Tidak keseluruhan alokasi anggaran pada 2015 dapat digunakan, karena
sebesar Rp 23.899.170.000 merupakan dana blokir dan sebesar Rp 11.918.280.000
merupakan dana out-put cadangan. Dengan demikian, capaian realisasi tahun 2015
sebenarnya adalah sebesar 75%.

Beberapa hasil yang telah dicapai oleh program pencegahan dan penanggulangan
penyakit tidak menular 2010-2015 khususnya hipertensi pada Kementerian
Kesehatan, antara lain :

1. Pengembangan Regulasi

Beberapa regulasi yang telah dikeluarkan Kementerian Kesehatan dalam


periode 2010-2014 dalam upaya pengendalian faktor risiko penyakit tidak
menular, antara lain : Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013
tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak serta
Pesan Kesehatan Untuk Pangan Olahan Dan Pangan Siap Saji.

2. Untuk menjamin kegiatan penanggulangan penyakit tidak menular yang


terstandar di semua fasilitas kesehatan, telah diterbitkan sejumlah
pedoman khususnya untuk kasus hipertensi, sebagai berikut :
a) Pedoman Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu
PTM) yang didalamnya terdapat beberapa kasus hipertensi pada
masyarakat
b) Pedoman Surveilans Penyakit Tidak Menular (PTM) khususnya
hipertensi
c) Pedoman Pengendalian Hipertensi
d) Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pengendalian Penyakit Tidak
Menular (PTM) di Puskesmas khususnya kasus hipertensi

3. Pengembangan Modul Pelatihan :

a. Modul pelatihan Posbindu PTM dan modul e-learning Posbindu PTM

Sebagai bentuk partisipasi suatu negara dalam upaya global


penanggulangan penyakit tidak menular, maka target yang ditetapkan
dianjurkan menggunakan target sebagai rujukan, sebagai berikut :

1) Penurunan Tekanan Darah Tinggi 25%

2) Penurunan Asupan Garam 30%

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019,


ditetapkan target yang harus dicapai pada tahun 2019 dalam kegiatan
penanggulangan penyakit tidak menular, melalui indikator-indikator kunci yaitu:

a) Menurunkan prevalensi tekanan darah tinggi pada penduduk usia 18 tahun


ke atas menjadi 23,4%;
b) Mempertahankan proporsi obesitas penduduk usia 18 tahun ke atas tetap
pada angka 26,2%;
c) Menurunkan prevalensi merokok penduduk usia ≤ 18 tahun menjadi 5,4%.

Secara komprehensif, indikator yang ditetapkan untuk mengukur pencapaian tujuan


kegiatan penanggulangan penyakit tidak menular pada periode waktu 2015-2019,
Indikator yang digunakan dalam Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Penyakit
Tidak Menular tersebut telah mengacu pada kesepakatan global dan regional yang
termuat dalam Global Action Plan for the Prevention and Control of Non
Communicable Diseases 2013 – 2020 dan Action Plan for the Prevention and
Control of Non Communicable Diseases in South-East Asia 2013 – 2020. Target
yang ditetapkan disesuaikan dengan kapasitas sumberdaya dan situasi epidemiologi
penyakit tidak menular serta determinannya di Indonesia.

Tabel 3.1 Indikator dan Target Penanggulangan Penyakit Tidak Menular 2015-
2019

Target
No. Indikator
Baseline 2015 2019

Morbiditas dan Mortalitas

Proporsi kematian akibat penyakit tidak 59,5


1 menular (%) n.a 53,6
(2007)

Faktor Risiko Biologis

Prevalensi tekanan darah tinggi pada 25,8


2 25,8 23,4
penduduk usia ≥ 18 th (%)
(2013)

3 Proporsi obesitas penduduk usia ≥ 18 th (%)

26,2
MT > 25 26,2 26,2
(2013)

15,4
MT > 27 15,4 15,4
(2013)

Prevalensi penduduk usia ≥ 15 th dengan gula 6,9%


4 6,78 6,27
darah tinggi (%) (2013)

Faktor Risiko Perilaku

Prevalensi merokok penduduk usia ≤ 18 th. 7,2


5 (%) 7,2 5,4
(2013)
Proporsi penduduk ≥ 15 th yg mengonsumsi 4,6
6 n.a 4.51
alkohol (%) (2007)

Proporsi penduduk usia ≥ 10 th dengan 26,1


7 26,1 24,8
aktivitas fisik kurang (%) (2013)

Penurunan proporsi penduduk usia ≥ 10 th dg


93,5
8 tingkat konsumsi buah & sayur kurang 93,5 88,8
(2013)
(%)

Asupan garam rata-rata 6,5


9 6,5 6
(gram/orang/hari) (2014)

11 Ketersediaan Pengobatan Esensial dan 78 80 80


Teknologi Penyakit Tidak Menular (%) (2014)

12 Cakupan terapi farmakologis dan konseling n.a n.a 30


penduduk usia >40 tahun yang berisiko, untuk
pencegahan serangan jantung dan stroke (%)

Persentase Puskesmas yang melaksanakan


13 21,3 26 90
Pelayanan Penyakit Tidak Menular terpadu

Persentase desa/kelurahan yang

14 melaksanakan kegiatan Pos Pembinaan 4,7 8 75


Terpadu (Posbindu) PTM

Persentase Kab/Kota yang melaksanakan


15 kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR) 2,45 3 20
minimal 50% sekolah.

Persentase perempuan 30-50 th dideteksi dini


16 kanker serviks (IVA) & payudara (Sadanis) 5,0 9 50

Persentase Puskesmas yang melakukan


17 na na 30
deteksi dini dan rujukan katarak
Persentase kabupaten/kota yang
5% puskesmas nya
18 n.a n.a 30
melakukan penanggulangan gangguan
indera dan fungsional

Aksi Strategis Penanggulangan Penyakit Tidak Menular

Strategi nasional penanggulangan penyakit tidak menular sebagaimana diuraikan


pada bab terdahulu, diimplementasikan melalui kegiatan atau aksi strategis untuk
mencapai target-target yang ditetapkan pada dokumen:

1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019


bidang Kesehatan
2. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
3. Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Penyakit Tidak Menular 2015-2019.

Aksi strategis yang diidenfikasi pada 3 pilar strategi sebagaimana diuraikan pada
bab sebelumnya merupakan kegiatan-kegiatan lanjutan dan kegiatan adopsi dari
pengalaman global atau regional yang dinilai dapat memberi kontribusi dalam
pencapaian tujuan program. Kegiatan atau aksi strategis pada masing-masing
strategi diuraikan sebagai berikut:

1. Advokasi dan Kemitraan

Tujuan:
1. Penanggulangan penyakit tidak menular menjadi prioritas dalam
pembangunan.

2. Terbangunnya kemitraan antar lembaga terkait serta masyarakat.

3. Teridentifikasinya upaya-upaya lintas sektor untuk mendukung


penanggulangan penyakit tidak menular
Indikator:

1. Penanggulangan penyakit tidak menular sebagai prioritas yang tertuang dalam


dokumen perencanaan pusat dan daerah untuk pencapaian target program.

2. Terbentuknya Forum Kerjasama Lintas Sektor, swasta, LSM, profesi,


masyarakat untuk penanggulangan penyakit tidak menular.

3. Rencana Kerjapada sektor terkait untuk mendukung


penanggulangan penyakit tidak menular diimplementasikan dan dimonitor.
Kegiatan:

1. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman lintas sektor swasta, LSM, profesi, dan
masyarakat tentang penyakit tidak menular.

2Membentuk Forum Kerjasama penanggulangan penyakit tidak menular terdiri


.dari lintas sektor, swasta, LSM, profesi, dan masyarakat guna mendukung
berkembangnya health in all policy.
3Melakukan advokas iuntuk menjamin kecukupan alokasi dan kesinambungan
.pembiayaan penanggulangan penyakit tidak menular.

4Mengembangkan rencana kegiatan lintas sektor untuk pengendalian faktor


.risiko penyakit tidak menular.
5Mengintegrasikan penanggulangan penyakit tidak menular dalam perencanaan
.upaya-upaya yang terkait dengan pengendalian faktor risiko penyakit tidak
menular di luar sektor kesehatan.
6Mobilisasi sosial melalui gerakan-gerakan untuk penurunan faktor risiko
.penyakit tidak menular terkait dengan masalah sosial, ekonomi dan
lingkungan.
7Mobilisasi sosial melalui gerakan-gerakan untuk penurunan faktor risiko
.penyakit tidak menular terkait dengan masalah sosial, ekonomi dan
lingkungan.
2. Promosi Kesehatan dan Penurunan Faktor Risiko

Tujuan 1:

Terwujudnya upaya-upaya promosi kesehatan melalui pelibatan masyarakat

Indikator:

1. Jumlah desa/kelurahan yang memiliki Posbindu PTM (2019:

mencapai 75 % desa/kelurahan)

2. Jumlah Posbindu aktif

3. Cakupan penduduk yang mempunyai akses pelayanan deteksi dini faktor risiko
penyakit tidak menular

Kegiatan:

1. Pengembangan media penyuluhan penyakit tidak menular

2. Perluasan Posbindu penyakit tidak menular

3. Penguatan Posbindu yang berkesinambungan melalui pelatihan

Kader Kesehatan di Posbindu PTM Desa/Pengelola UKS/Pengelola Posbindu


di saranakerja dan institusi lain.

4. Promosi CERDIK dan PHBS di sekolah (UKS) dan tempat kerja

5. Advokasi untuk pengaturan penjualan makanan ‘tidak sehat’ di lingkungan


sekolah dan kantin tempat kerja

6. Menyusun pedoman pencegahan dan penanganan penyakit tidak menular


mandiri (self care) bagi masyarakat

7. Monitor dan evaluasi kegiatan penanggulangan penyakit tidak menular


berbasis masyarakat

8. Melaksanakan program intervensi faktor risiko penyakit tidak menular


berbasis sekolah
Tujuan 2:

Penurunan Faktor Risiko: penggunaan rokok dan produk tembakau

Indikator:

1. Penurunan persentase anak dan remaja usia10-18 tahun yang merokok (2013:
7,2% menjadi 5,4% pada 2019)

2. Persentase perokok menurun 1% per tahun (2013: 29,3%; 2019:

23,3%)

3. Pictorial Health Warning (PHW) mencapai 75% dari luas permukaan kemasan
depan dan belakang pembungkus rokok pada 2019.

4. Terlaksananya pengaturan iklan, promosi dan sponsorship.

Kegiatan:

1. Monitoring tingkat kepatuhan terhadap regulasi yang ada:

a. Kemasandan label rokok

b. Implementasi kawasantanpa rokok (KTR)

c. Pembatasan iklan rokok

d. Pemanfaatan pajak rokok untuk pengendalian tembakau dan penanggulangan


penyakit tidak menular

2. Menyelesaikan regulasi yang belum selesai :

a. Permenkes tentang Pemanfaatan Pajak dan cukai rokok

b. Regulasi untuk meningkatkan besaran pajak dan cukai rokok.

c. Kawasan tanpa rokok untuk daerah yang memiliki peraturan

3. Identifikasi regulasi yang masih diperlukan:

a. Ban advertisement – pelarangan iklan rokok


b. Penggunaan/distribusi/ketersediaanproduktembakau

4. Mobilisasisosial/kampanye anti rokok

5. Penyuluhan kesehatan intensif antara lain melalui UKS, tempat kerja.

Tujuan 3:

1. Penurunan Faktor Risiko: i) Konsumsi minuman beralkohol pada tingkat yang


berbahaya (> 5 standar/per hari), dan, ii) Konsumsi minuman beralkohol
oplosan.

Indikator:

1. Penurunan persentase penduduk usia ≥ 18 th yang mengkonsumsi alkohol pada


tingkat berbahaya(2014: 0,6 %)

2. Penurunan persentase penduduk usia ≥ 18 th yang mengkonsumsi alkohol


oplosan.

3. % Kab/kota yang melakukan pemeriksaan kesehatan pengemudi di terminal


utama (2019: 75%)

Kegiatan:
1. Penerapan regulasi terkait konsumsi minuman beralkohol:

a. Implementasi regulasi terkait dengan pajak dan kebijakan harga untuk


membatasi konsumsi minuman beralkohol,

b. Implementasi regulasi untuk pembatasan umur konsumsi minuman


beralkohol.

c. Pengaturan untuk mengurangi ketersediaan dan akses minuman beralkohol.

d. Pembatasan atau pelarangan iklan /promosi minuman

beralkohol

e. Pelarangan konsumsi minuman beralkohol bagi pengemudi


2. Mobilisasi sosial untuk kampanye pencegahan penyalahgunaan alkohol dan
minuman keras oplosan

Tujuan 4:

1. Peningkatan konsumsi sayur dan buah

2. Penurunan konsumsi gula, garam dan lemak

3. Pembudayaan pola konsumsi gizi seimbang

Indikator:

1. Penurunan persentase penduduk > 10 thn yang kurang

mengkonsumsi sayur dan buah ( 2019: 88,8%)

2. Penurunan persentase penduduk yang mengonsumsi garam lebih dari 5


gram per hari dari 18,3% pada 2014 menjadi 15% pada 2019.

Kegiatan:

1. Meningkatkan produksi:

a. Produksi perikanan sehingga bisa dibeli oleh masyarakat dengan harga murah

b. Produksi pertanian: sayur segar dan buah, dengan harga terjangkau oleh
masyarakat

2. Melakukan review atas regulasi dan identifikasi regulasi yang diperlukan


untuk mendorong konsumi buah dan sayur dan pengurangan konsumsi lemak,
gula dan garam:

a. Kajian untuk penetapan pajak pada unhealthy food (makanan tinggi gula,
garam dan lemak)

b. Penguatan regulasi terkait pembatasan kadar gula, garam dan lemak dalam
makanan.

c. Kajian penerapan subsidi buah dan sayuran nusantara


d. Keamanan Pangan (Food Safety)

e. Pengurangan impor buah dan sayur segar dan olahan

3. Memberikan perlindungan dan dukungan kepada:

a. petani buah dan sayur serta menjamin distribusi dan pemasarannya

b. nelayan serta menjamin distribusi dan pemasaran produk ikan segar, agar tidak
diawetkan/diasinkan

4. Melakukan penguatan program keamanan pangan (food safety) melalui antara


lain pembatasan penggunaan bahan pertanian dan peternakan berbahaya
(pestisida, pengawet dll) bagi kesehatan dalam proses produksi

5. Advokasi untuk menciptakan lingkungan kondusif untuk peningkatan


konsumsi sayur dan buah:

a. Pengembangan inovasi pertanian utk menjamin ketersediaan buah dan sayur


yang bermutu, aman dan terjangkau

b. Penguatan upaya pemanfaatan pekarangan untuk tanaman buah dan sayur

6. Advokasi kepada dunia industri dan pengambil kebijakan dalam


pengembangan strategi pengurangan konsumsi gula, garam dan lemak sesuai
dengan batas yang dianjurkan.

Tujuan 5:

Peningkatan aktifitas fisik di masyarakat.

Indikator:

Peningkatan persentase penduduk yang melakukan aktivitas fisik dengan baik


(2019: 24,8%)

Kegiatan:
1. Melakukan advokasi kepada sektor terkait, swasta, profesi, LSM dan
masyarakat untuk menciptakan lingkungan kondusif untuk aktivitas fisik (mis:
sarana olah raga, running track, jalur sepeda dan tata kota).

2. Mengembangkan regulasi yang memastikan pengembang (developer)


perumahan/hunian untuk membangun perumahan rakyat yang sehat serta
menyediakan sarana olah raga, pejalan kaki dan bersepeda.

3. Melakukan edukasi masyarakat melalui media massa dan media sosial untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat aktifitas fisik dalam
setiap tahapan pada siklus kehidupan.

4. Mendorong pemerintah daerah untuk menyediakan fasilitas olah raga dan


sarana aktifitas fisik yang aman dan terjangkau, atau sejenis program car free
day.

3. Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Tujuan :

1. Peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan penyakit tidak menular


terpadu yang komprehensif dan berkualitas khususnya di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat primer, termasuk sistem rujukannya.

2. Penguatan pelayanan penyakit tidak menular di fasilitas pelayanan kesehatan


rujukan tingkat lanjut (sekunder dan tertier).

Tujuan 1:

Penyediaan pelayanan penyakit tidak menular terpadu yang berkualitas


khususnya di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer, termasuk sistem
rujukannya.
Indikator:

1. Tersedianya pelayanan penyakit tidak menular yang esensial penyakit tidak


menular dan terpadu di 90% FKTP pada 2019.Tersedianya pelayanan
berhenti merokok di 50% FKTP pada 2019. % perempuan 30-50 tahun
menjalani pemeriksaan deteksi dini kanker serviks & payudara pada 2019.

Kegiatan:

1. Melakukan updating pedoman/Juknis program penanggulangan penyakit


tidak menular di FKTP.

2. Pengembangan tenaga kesehatan di FKTP, melalui

a. Pengembangan strategi pemenuhan tenaga kesehatan di FKTP

(pemerintah dan swasta)

b. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam deteksi dini, diagnosa dan tata
laksana kasus penyakit tidak menular, termasuk paliatif dan rehabilitatif di
FKTP.

3. Memastikan penyediaan obat-obat esensial penyakit tidak menular sesuai


standar.

4. Memastikan penyediaan peralatan esensial penyakit tidak menular sesuai


standar.

5. Melakukan akselerasi akreditasi bagi FKTP untuk meningkatkan mutu


layanan

6. Memperkuat sistem rujukan dan rujuk balik layanan penyakit tidak menular.

7. Memastikan tersedianya teknologi live saving pada setiap fasyankes untuk


merespons keadaan gawat-darurat penyakit tidak menular.

8. Memperkuat FKTP untuk melakukan deteksi dini dan diagnosa kanker


serviks dan payudara.
9. Memperkuat FKTP untuk menyelenggarakan konseling untuk berhenti
merokok.

10. Memperkuat PKTP untuk layanan rehabilitasi ketergantungan alkohol dan


pengukuran kadar alkohol darah bagi pengemudi di terminal utama
kabupaten/kota

Tujuan 2:

1. Penguatan pelayanan penyakit tidak menular di fasilitas pelayanan kesehatan


rujukan tingkat lanjut (sekunder dan tertier)

Indikator:

1. Rujukan Nasional pada 14 rumah sakit, rujukan provinsi pada 20 rumah sakit
dan rujukan regional oleh 110 rumah sakit

2. 2.247 rumah sakit terakreditasi pada 2019

Kegiatan:

1. Penerapan Pedoman Nasional Praktek Kedokteran (PNPK) Penyakit Tidak


Menular di FKRTL.

2. Memastikan tersedianya teknologi live saving pada setiap fasyankes untuk


merespons keadaan gawat-darurat penyakit tidak menular, termasuk
penguatan SPGDT.

3. Pengembangan tenaga kesehatan di FKRTL, melalui

a. Pengembangan strategi pemenuhan tenaga kesehatan di

FKRTL (pemerintah dan swasta)

b. Peningkatan kapasitas Nakes dalam penanganan kasus penyakit tidak


menular, termasuk paliatif dan rehabilitatif di FKRTL.

4. Memastikan penyediaan obat-obat esensial penyakit tidak menular sesuai


standar
5. Memastikan penyediaan peralatan esensial sesuai standar

6. Memperkuat regionalisasi sistem rujukan

7. Melakukan akselerasi akreditasi bagi FKRTL untuk meningkatkan mutu


layanan.

4. Surveilans, Monev dan Riset

Tujuan:

1. Penguatan mekanisme Surveilans untuk penyakit tidak menular & faktor


risikonya sebagai bagian dari penguatan sistem informasi kesehatan

2. Monitoring dan evaluasi implementasi kegiatan di dalam rencana aksi


nasional penanggulangan penyakit tidak menular

3. Pengembangan Riset untuk mendukung Kebijakan

penanggulangan penyakit tidak menular

Tujuan 1:

1. Penguatan mekanisme Surveilans untuk penyakit tidak menular dan faktor


risikonya sebagai bagian dari penguatan sistem informasi kesehatan

Indikator:

1. Laporan Rutin penyakit tidak menular yang berkualitas dan tepat waktu
setiap tahun

2. Tersedianya jejaring metadata dari berbagai institusi sesuai dengan aturan


yang disepakati bersama
Kegiatan:

1. Mengembangkan registri penyakit tidak menular Utama dan registri


penyebab kematian

2. Memperkuat sistem informasi penyakit tidak menular berbasis IT

a. Memperluas cakupan surveilans penyakit tidak menular melalui


pengembangan jumlah Posbindu

b. Mengembangkan mekanisme surveilans faktor risiko penyakit tidak menular


baik yang rutin maupun berkala

c. Melakukan pelatihan tenaga surveilans untuk memperkuat manajemen data


dan analisis untuk perencanaan dan advokasi

d. Membuat analisis, diseminasi dan publikasi

e. Membangun linkage antara SIM Penyakit Tidak Menular dan Sistem


Informasi yang ada (SP2TP, SIMRS, SIKDA, JKN dsb).

3. Mengadakan pertemuan berkala dengan institusi yang memiliki data

4. Mengembangkan jejaring surveilans penyakit tidak menular

Tujuan 2: Monitoring dan evaluasi implementasi kegiatan di dalam Rencana


Aksi

Nasional Penanggulangan Penyakit Tidak Menular

Indikator:

Tersedianya laporan kemajuan pencapaian Rencana Aksi Nasional

Penanggulangan Penyakit Tidak Menular

Kegiatan:

1. Pengembangan sistem monitoring dan evaluasi lintas sektor

2. Pembuatan laporan kemajuan pencapaian Rencana Aksi Nasional

Penanggulangan Penyakit Tidak Menular secara berkala


Tujuan 3:

Pengembangan Riset untuk mendukung kebijakan penanggulangan penyakit


tidak menular

Indikator:

Adanya rekomendasi bagi pengambilan kebijakan penanggulangan penyakit


tidak menular berdasarkan data dan informasi berbasis bukti

Kegiatan:

1. Mengembangkan jejaring kerjasama dengan universitas, lembagalembaga


riset dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk pengembangan agenda riset
nasional

2. Menyusun agenda riset nasional untuk penanggulangan penyakit tidak


menular

3. Melakukan survey/studi sesuai dengan agenda riset nasional

4. Mempublikasikan hasil survey/studi yang telah dilaksanakan

5. Membuat rekomendasi kebijakan penanggulangan penyakit tidak menular


berdasarkan hasil survei/studi
DEFINISI OPERASIONAL
NO. INDIKATOR DEFINISI OPERASIONAL
Jika di keluarga terdapat anggota keluarga yang
Penderita
berdasar pengukuran adalah penderita tekanan darah
7 hipertensi berobat
tinggi (hipertensi), ia berobat sesuai dengan petunjuk
teratur
dokter/petugas kesehatan.

Penderita
Jika di keluarga terdapat anggota keluarga yang
gangguan jiwa
8 menderita gangguan jiwa berat, penderita tersebut
berat tidak
tidak ditelantarkan dan/atau dipasung.
ditelantarkan

Jika tidak ada seorang pun anggota keluarga yang


sering atau kadang-kadang menghisap rokok atau
Tidak ada anggota
produk lain dari tembakau. Termasuk di sini adalah jika
9 keluarga yang
anggota keluarga tidak pernah atau sudah berhenti
merokok
dari kebiasaan menghisap rokok atau produk lain dari
tembakau.
15
LAYANAN SPM
PERMENKES NO. 43 Tahun 2016

1. Pelayanan Antenatal
2. Pelayanan persalinan
3. Pelayanan Kesehatan BBL
4. Pelayanan Kesehatan Balita
5. Skrining kesehatan pada usia pendidikan dasar
6. Skrining kesehatan usia 15-59 tahun
7. Skrining kesehatan usia >60 tahun
8. Pelayanan kesehatan penderita hipertensi
9. Pelayanan kesehatan penderita DM
10. Pelayanan kesehatan ODGJ
11. Pelayanan TB sesuai standar
12. Pemeriksaan HIV untuk orang berisiko
PERNYATAAN STANDAR
3. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Target terhadap
Hipertensi
1) Umur
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa umur dapat
mempengaruhi tingginya angka kejadian hipertensi di masyrakat. Masyarakat
dengan rentang usia diatas 40 tahun cenderung mengalami peningkatan tekanan
darah. Pada penelitian Suryadi di Kota Palembang pada tahun 2014 menunjukkan
kelompok umur >40 tahun memiliki angka kejadian hipertensi lebih tinggi daipada
kelompok umur ≤ 40 tahun, yaitu 1401 dari 1668 (84%) kasus, sedangkan
kelompok umur ≤ 40 tahun memiliki angka kejadian hipertensi 276 dari 1668 kasus
(16%). Hal tersebut juga terjadi pada penelitian yang dilakukan Gerungan, A dkk
(2016) bahwa diperoleh hasil terdapat hubungan yang bermakna antara umur
dengan kejadian hipertensi, umur ≥ 40 tahun memiliki risiko terkena hipertensi
sebesar 11,71 kali dibandingkan dengan umur < 40 Tahun. Hasil tersebut sesuai
dengan hasil penelitian prevalensi global hipertensi oleh Sarah dkk. Dari penelitian
American Hipertensi Association dapat disimpulkan bahwa di negara maju proporsi
terbesar penderita hipertensi berada pada kelompok umur di atas 64 tahun, tetapi di
negara berkembang berada pada kelompok umur 45-64 tahun. Secara teori, setelah
usia 40 tahun dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya
penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan
berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku.
2) Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan
Tingkat pendidikan yang rendah berdampak pada rendahnya pengetahuan
dan hal tersebut berpengaruh pada perilaku. Pendidikan yang cukupun belum bisa
menjamin terciptanya prilaku yang baik, karena menurut teori Lehendroff dan
Tracy prilaku tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan tetapi juga kemauan.
Informasi yang diterima masyarakat diluar pendidikanya juga berperan penting
terhadap peningkatan pengetahuan. Hasil penelitian yang dilakukan Zhang dkk
(2013) di Cina menunjukan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan seseorang
maka semakin tinggi pula risiko mengalami hipertensi. Di Brazil orang yang
menempuh pendidikan selama ≥15 tahun dapat terlindungi dari risiko hipertensi
sebesar 0,69 kali di wilayah urban dan 0,75 kali di wilayah rural.

3) Obesitas
Berdasarkan literatur, obesitas merupakan ciri khas dari populasi hipertensi
dan terbukti bahwa obesitas mempunyai kaitan yang erat dengan terjadinya
hipertensi di kemudian hari. Alasan obesitas dapat meningkatkan kejadian
hipertensi, diantaranya adalah:
a) Pada kondisi obesitas, dibutuhkan jumlah oksigen yang lebih banyak untuk
memenuhi kebutuhan metabolik sehingga terjadi peningkatan volume dan
tekanan darah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan metabolik yang
diakibatkan obesitas.
b) Pada kondisi obesitas dapat terjadi resistensi insulin yang juga berpotensi
menghilangkan kerja insulin dalam mempertahankan tekanan darah yang
normal.
c) Pada kondisi obesitas, terjadi peningkatan jumlah asam lemak bebas yang akan
mempersempit pembuluh darah sehingga tekanan darah akan meningkat. Pada
penderita obesitas terjadi peningkatan tekanan darah sekuncup dan volume
darah, peningkatan tahanan perifer, peningkatan katekolamin karena aktivitas
saraf simpatis yang meningkat, peningkatan kadar insulin dan aldosteron
dalam plasma menyebabkan retensi Na dalam darah. Hal-hal tersebut dapat
meningkatkan volume darah yang menyebabkan hipertensi
4) Kebiasaan Olaharaga
Pada penelitian yang dilakukan Suryadi (2014), menunjukkan bahwa
kelompok yang tidak berolahraga emiliki angka kejadian hipertensi (+) lebih tinggi
daripada kelompok yang berolahraga, yaitu 175 dari 266 (21,5%) kasus, namun
kelompok yang tidak berolahraga juga memiliki angka kejadian hipertensi (-) lebih
tinggi daripada kelompok yang berolahraga, yaitu 640 dari 944 (78,5%) kasus. Hal
tersebut juga diperkuat oleh penelitian Muhammad Hafiz (2016), proporsi penderita
hipertensi yang tidak berolahraga sebesar 74,5% sedangkan proporsi penderita
hipertensi yang berolahraga lebih sedikit yaitu 52,%. Artinya adalah risiko
hipertensi akan lebih tinggi pada seseorang yang tidak berolah raga daripada yang
melakukan olah raga. Selain itu waktu olahraga juga berpengaruh terhadap kejadian
hipertensi di masyarakat. Pada penelitian Suryadi (2014), Kelompok yang
berolahraga <3,5 jam memiliki angka kejadian hipertensi (+) lebih tinggi
daripadakelompok yang berolahraga ≥ 3,5 jam, yaitu 74 dari 266 (19,9%) kasus,
namun kelompok yang berolahraga <3,5 jam juga memiliki angka kejadian
hipetensi (-) lebih tinggi daripada kelompok yang berolahraga ≥ 3,5 jam, yaitu 297
dari 944 (80,1%) kasus. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa berolahraga
secara teratur merupakan intervensi pertama untuk mengendalikan berbagai
penyakit degeneratif (tidak menular). Hasilnya secara teratur terbukti bermanfaat
untuk menurunkan tekanan darah, mengurangi risiko stroke, serangan jantung, dan
lain-lain.
5) Kebiasaan Merokok
Dari hasil uji statistik pada penelitian Risa Patriani, dkk (2018) kelompok
yang memiliki kebiasaan merokok berisiko 96,8 kali untuk mengalami kejadian
hipertensi dibandingkan dengan kelompok yang tidak memiliki kebiasaan
merokok. Pada penelitian Farid (2010) di Kabupaten Tanah Datar juga menyatakan
bahwa kelompok yang terpapar dengan kebiasan merokok akan meingkatkan resiko
kejadian hipertensi sebesar 2,80 kali lebih besar dibandingkan dengan lansia yang
tidak terpapar kebiasaan merokok. Pada penelitian Lailatun Najmi, dkk (2014)
menunjukkan bahwa dari 32 responden yang perokok, responden hipertensi
sebanyak 23 responden (71,9%) dan yang tidak hipertensi berjumlah 9 responden
(28,1%). Hal tersebut dikarenakan asap rokok mengandung karbon monoksida dan
nikotin serta berbagai bahan toksik lainnya. Zat yang terdapat dalam rokok dapat
merusak lapisan dinding arteri berupa plak. Ini menyebabkan penyempitan
pembuluh darah arteri yang dapat meningkatkan tekanan darah.
Selain itu, banyaknya jumlah rokok yang dihisap juga mempengaruhi angka
kejadian hipertensi. Pada penelitian di Sumatera Utara, Kelompok yang merokok
≤10 batang/hari memiliki angka kejadian hipertensi (+) lebih tinggi daripada
kelompok yang merokok >10 batang, yaitu 246 dari 266 (92,5%) kasus, namun
kelompok yang merokok ≤10 batang/hari juga memiliki angka kejadian hipetensi
(-) lebih tinggi daripada kelompok yang merokok >10 batang, yaitu 871 dari 944
(92,3%) kasus. Lamanya merokok juga memiliki andil dalam meningkatkan angka
kejadian hipertensi. Pada penelitian Suryadi (2014), Kelompok yang lama merokok
≤10 tahun memiliki angka kejadian hipertensi (+) lebih tinggi daripadakelompok
yang lama merokok >10 tahun, yaitu 944 dari 1281 (73.7%) kasus, namun
kelompok yang lama merokok ≤10 tahun juga memiliki angka kejadian hipetensi (-
) lebih tinggi daripada kelompok yang lama merokok >10 tahun, yaitu 6869 dari
7719 (89%) kasus.
6) Konsumsi Garam
Hasil peneitian yang dilakukan oleh Lailatun Najmi, dkk (2014)
menunjukkan hubungan yang bermakna scara statistik antara pola asupan garam
terhadap penyebab hipertensi primer. Di Sub-Sahara Afrika banyak masyarakat
yang mengkonsumsi makanan dengan kadar garam yang tinggi yang digunakan
untuk mengawetkan makanan dan hal ini meningkatkan risiko untuk terkena
penyakit hipertensi. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Anggraini,
Waren, Situmorang, Asputra, dan Siahaan (2009) bahwa pola asupan garam yang
tinggi adalah faktor resiko kejadian hipertensi pada pasien yang berobat di
poliklinik dewasa Puskesmas Bangkinang. Secara teori, garam menyebabkan
penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di luar sel agar tidak keluar,
sehingga akan menyebabkan peningkatan volume dan tekanan darah. Pada sekitar
60% kasus hipertensi (esensial) terjadi respons penurunan tekanan darah dengan
mengurangi asupan garam. Pada masyarakat yang mengonsumsi garam 3 gram atau
kurang, ditemukan tekanandarah rata-rata rendah, sedangkan pada mayarakat
asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darah rata-rata lebih tinggi.
7) Jenis Kelamin
Berdasarkan prevalensi hipertensi pada tahun 2007 dan 2013 perempuan
lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
8) Keturunan atau Genetika
Jika anak-anak dari keluarga dengan riwayat hipertensi relatif punya potensi
lebih besar untuk mengidap hipertensi. Namun masih bisa untuk dikontrol.
9) Kebiasaan Mengkonsumsi Alkohol
Mengkonsumsi alkohol yang berlebih memberikan pengaruh pada
peningkatan detak jantung. Bila konsumsi alkohol hingga 2-3 gelas pada satu
waktu, maka akan semakin banyak memicu detak jantung yang semakin tinggi pula.
Dan ini bisa mendorong terjadinya hipertensi. Peminum alkohol laki-laki dengan
dosis 300-499 ml alkohol/minggu dapat meningkatkan tekanan sistolik/ diastolik
rata-rata 2.7/1.6 mmHg lebih tinggi dibandingkan bukan peminum alkohol, dan
untuk peminum ≥500 ml alkohol/minggu memiliki tekanan darah 4.6/3.0 mmHg
lebih tinggi dibandingkan bukan peminum. Sedangkan untuk perempuan, peminum
berat (≥300 ml/minggu) menyebabkan tekanan darah 3.9/3.1 mmHg lebih tinggi
dibandingkan dengan bukan peminum. Dalam studi ini juga dikemukakan,
keterkaitan alkohol dengan hipertensi, lebih kuat daripada banyaknya asupan garam
terhadap terjadinya hipertensi.
10) Tingkat stress yang tinggi
Beberapa faktor yang memicu seseorang mengalami stress, seperti masalah
hidup, pekerjaan, dan lain-lain. Dimana jantung akan memompa darah lebih cepat
sekitar 30-40% yang menyebabkan kepala bagian belakang sering pusing.
11) Makanan siap saji atau kurangnya makanan berserat seperti buah dan sayur.
12) Status Ekonomi dan Pekerjaan
Status ekonomi yang tergolong kaya, mempunyai peluang menderita
hipertensi dibandingkan dengan responden dengan status ekonomi yang miskin.

Faktor-Faktor lain yang Mempengaruhi Pencapaian Target


1) Informasi yang tersebar secara merata dan selalu up to date
2) Media dalam penyampaian informasi dikemas secara menarik dan mudah
dimengerti
3) Tingkat pendidikan masyarakat
4) Keinginan masyarakat untuk berubah
5) Fasilitas kesehatan dan pendukung yang tersebar secara merata
6) Program pemerintah yang dilaksanakan secara stabil dan progresif
7) Memodifikasi perilaku dalam mencegah hipertensi.
8) Menargetkan orang dewasa dengan upaya promosi Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS) untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya faktor
risiko terjadinya hipertensi.
4. Program-program dalam mengatasi permasalahan populasi

Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang mempunyai pengaruh terhadap


perkembangan penyakit tidak menular (PTM) lainnya. Untuk mengelola angka
kejadian hipertensi yang tinggi, pemerintah membuat kebijakan sebagai berikut:
1. Mengembangkan dan memperkuat kegiatan deteksi dini hipertensi secara aktif
(skrining).
2. Meningkatkan akses mayarakat terhadap pelayanan deteksi dini melalui
kegiatan Posbindu PTM.
3. Meningkatkan akses penderita terhadap pengobatan hipertensi melalui
revitalisasi Puskesmas untuk pengendalian PTM melalui peningkatan sumber
daya tenaga kesehatan yang profesional dan kompeten dalam upaya
pengendalian PTM khususnya tata laksana PTM di fasilitas pelayanan kesehata
dan dasar seperti Puskesmas. Peningkatan manajemen pelayanan pengendalian
PTM secara komprehensif (terutama promotif dan preventif) dan holistik, serta
peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana promotif-preventif maupun
sasaran prasarana diagnostik dan pengobatan.
Melalui kebijakan tersebut, maka dikembangkan lagi beberapa program yang juga
berperan serta dalam upaya promotif-preventif bagi hipertensi, yaitu:

1. CERDIK. Program ini diperkenalkan pada tahun 2015 dalam diskusi


interaktif antara Kementrian Kesehatan RI (Kemenkes RI), PT Novartis
Indonesia dan Pusat Kajian Ekonmi dan Kebijakan Kesehatan Universitas
Indonesia (PKEKK UI). CERDIK merupakan kependekan dari Cek
kesehatan secara rutin, Enyahkan asap rokok dan polusi udara lainnya,
Rajin aktivitas fisik, Diet sehat, Istirahat cukup dan Kendalikan stres.
2. Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas). Harapannya, seluruh
komponen bangsa dengan sadar mau membudayakan perilaku hidup sehat
dimulai dari keluarga. Germas dilakukan dengan melakukan aktifitas fisik,
menerapkan perilaku hidup sehat, konsumsi pangan sehat dan bergizi,
melakukan pencegahan dan deteksi dini penyakit, meningkatkan kualitas
lingkungan menjadi lebih baik, dan meningkatkan edukasi hidup sehat.
3. Meningkatkan pencegahan dan pengendalian Hipertensi berbasis
masyarakat dengan 'Self Awareness' melalui pengukuran tekanan darah
secara rutin.
4. Penguatan pelayanan kesehatan khususnya Hipertensi, pemerintah telah
melakukan berbagai upaya seperti: meningkatkan akses ke Fasilitas
Kesehatah Tingkat Pertama (FKTP), optimalisasi sistem rujukan, dan
peningkatan mutu pelayanan.
5. Salah satu upaya pencegahan komplikasi Hipertensi khususnya Penyakit
Jantung dan Pembuluh Darah di FKTP menggunakan Carta Prediksi Risiko
yang di adopsi dari WHO.
6. Pemberdayaan masyarakat dalam deteksi dini dan monitoring faktor risiko
hipertensi melalui Posbindu PTM yang diselenggarakan di masyarakat, di
tempat kerja dan institusi.

Sedangkan pada taraf internasional, WHO juga mengeluarkan beberapa program


diantaranya:

1. HEARTS (manajemen penyakit kardiovaskuler). Program HEARTS terdiri


dari enam modul dan panduan pelaksanaan dalam rangka memperkuat tiap
negara dalam memanajemen penyakit jantung dalam perawatan kesehatan
primer, termasuk didalamnya faktor risiko penyakit jantung yaitu hipertensi.
Modul HEARTS dikembangkan oleh Global Hearts Initiative yang
dipimpin oleh WHO dan US Centers for Disease Control and Prevention.
2. MPOWER (mengontrol penggunaan/konsumsi tembakau)

3. Active (meningkatkan aktivitas fisik). Dengan meningkatkan aktivitas fisik


disertai gaya hidup sehat maka risiko hipertensi akan berkurang.
4. SHAKE (mengurangi konsumsi garam). Program SHAKE dikembangkan
oleh WHO yang berkolaborasi dengan WHO Collaborating Centre for
Population Salt Reduction di George Institute for Global Health Sydney,
Australia. SHAKE merupakan akronim dari:
 Surveillance: measure and monitor salt use (takar dan pantau
penggunaan garam).
 Harness industry: promote the reformulation of foods and meals to
contain less salt (mensosialisasikan makanan agar mengandung
lebih sedikit garam).
 Adopt standards for labelling and marketing: Implement standards
for effective and accurate labelling and marketing of food
(menerapkan standar untuk pelabelan dan pemasaran makanan yang
efektif dan akurat).
 Knowledge: educate and communicate to empower individuals to
eat less salt (edukasi dan komunikasi untuk memberdayakan
individu agar mengurangi konsumsi garam).
 Environment: support settings to promote healthy eating (dukung
peraturan untuk mempromosikan makanan sehat).
5. REPLACE (mengurangi lemak jahat). Merupakan pendekatan strategis
untuk menghilangkan lemak trans yang diprosuksi oleh industri pasokan
makanan nasional dengan tujuan eliminasi global pada tahun 2023.

REPLACE merupakan akronim dari:


 Review dietary sources of industrially-produced transfat and the
landscape for required policy change.
 Promote the replacement of industrially-produced transfat with
healthier fats and oils.
 Legislate or enact regulatory actions to eliminate industrially-
produced transfat.
 Assess and monitor trans fat content in the food supply and changes
in trans fat consumption in the population.
 Create awareness of the negative health impact of trans fat among
policy-makers, producers, suppliers, and the public.
 Enforce compliance with policies and regulations.
5. Program-program yang sudah Dilakukan pada Penyakit
Hipertensi
Untuk mengelola penyakit hipertensi termasuk penyakit tidak menular lainnya,
Kemenkes membuat kebijakan yaitu:
1) Mengembangkan dan memperkuat kegiatan deteksi dini hipertensi secara aktif
(skrining)
2) Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan deteksi dini melalui
kegiatan Posbindu PTM
3) Meningkatkan akses penderita terhadap pengobatan hipertensi melalui
revitalisasi Puskesmas untuk pengendalian PTM melalui Peningkatan
sumberdaya tenaga kesehatan yang profesional dan kompenten dalam upaya
pengendalian PTM khususnya tatalaksana PTM di fasilitas pelayanan kesehatan
dasar seperti Puskesmas, Peningkatan manajemen pelayanan pengendalian
PTM secara komprehensif (terutama promotif dan preventif) dan holistik, serta
Peningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana promotif-preventif, maupun
sarana prasarana diagnostik dan pengobatan. (Depkes,2012).

Menurut Prof. Tjandra upaya Pencegahan dan Penanggulangan hipertensi


dimulai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan perubahan pola hidup ke
arah yang lebih sehat. Untuk itu Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan
dasar perlu melakukan Pencegahan primer yaitu kegiatan untuk menghentikan atau
mengurangi faktor risiko Hipertensi sebelum penyakit hipertensi terjadi, melalui
promosi kesehatan seperti diet yang sehat dengan cara makan cukup sayur-buah,
rendah garam dan lemak, rajin melakukan aktifitas dan tidak merokok. Puskesmas
juga perlu melakukan pencegahan sekunder yang lebih ditujukan pada kegiatan
deteksi dini untuk menemukan penyakit. Bila ditemukan kasus, maka dapat
dilakukan pengobatan secara dini.

Sementara pencegahan tertier difokuskan pada upaya mempertahankan


kualitas hidup penderita. Pencegahan tertier dilaksanakan melalui tindak lanjut dini
dan pengelolaan hipertensi yang tepat serta minum obat teratur agar tekanan darah
dapat terkontrol dan tidak memberikan komplikasi seperti penyakit ginjal kronik,
stroke dan jantung. Penanganan respon cepat juga menjadi hal yang utama agar
kecacatan dan kematian dini akibat penyakit hipertensi dapat terkendali dengan
baik. Pencegahan tertier dilaksanakan agar penderita hipertensi terhindar dari
komplikasi yang lebih lanjut serta untuk meningkatkan kualitas hidup dan
memperpanjang lama ketahanan hidup. Kegiatan dari pencegahan Hipertensi baik
dari primer, sekunder, tersier diintegrasikan melalui fasilitas POSBINDU PTM
(Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular). POSBINDU PTM ini adalah
program pemerintah yang mengikutsertakan peran masyarakat dalam kegiatan
deteksi dini dan memantau terhadap faktor resiko PTM serta menindaklanjuti
secara rutin, terpadu, dan periodik. Pelaksanaan dalam menindaklanjuti kasus PTM
dapat dilakukan dengan konseling maupun rujukan kepada fasilitas kesehatan dasar
(Kemenkes, 2012).

Kelompok populasi utama POSBINDU PTM diantara lain penderita


hipertensi, hipotensi, diabetes melitus (DM), Kanker, penyakit jantung dan
pembuluh darah (PJPD) penyakit paru obstrukti kronis (PPOK) dan gangguan
akibat kecelakaan dan tindak kekerasan (Rahajeng, 2012 dalam Fuadah & Rahayu,
2018). POSBINDU PTM ini sangalah penting dalam mengatasi dan mencegah
kambuhnya penyakit hipertensi pada penderita hipertensi. Kegiatan ini telah
dilaksanakan dibeberapa Puskesmas salah satunya POSBINDU PTM di Puskesmas
Kauman. Penderita yang menjalani program POSBINDU PTM sudah dijadwalkan
untuk pengobatan rutin. (Fuadah & Rahayu, 2018).

Kegiatan yang dilaksanakan POSBINDU PTM khusus hipertensi


diantaranya mengkaji faktor resiko keturunan dan perilaku penderita, mengkaji
keadaan fisik, mengukur tekanan darah, melaksanakan konseling maupun
penyuluhan kelompok, melakukan aktivitas bersama/olahraga dan kegiatan
lainnya, melakukan rujukan ke puskesmas (DINKES, 2018). Sebanyak 43,9% atau
sebanyak 35.749 unit per desa/kelurahan POSBINDU PTM telah terlaksana di
seluruh Indonesia. Hal tersebut merupakan telah mencapai target rencana strategis
kesehatan Indonesia 2018 sebesar 40%.
6. Tantangan Program Hipertensi
1) Pola hidup sehat masyarakat Indonesia yang kurang

Menurut Menkes RI, terdapat kendala besar dalam penerapan gaya hidup
sehat. Menurut Menkes, dalam implementasinya, tujuh kegiatan Germas terbentur
oleh bagaimana pola pikir dari masyarakat itu sendiri. Masalah utama bidang
kesehatan saat ini adalah mengenai pola pikir masyarakat karena masyarakat
Indonesia beragam, sehingga bukan hal mudah mempopulerkan gaya hidup sehat.
Selain itu, kesadaran dari masyarakat untuk melakukan kontrol tekanan darah masih
jauh dari yang diharapkan, hal ini disebabkan karena meningkatnya tekanan darah
seringkali tidak menunjukkan gejala klinis, sehingga masyarakat tidak sadar akan
hal ini dan pola pikir berobat hipertensi di masyarakat yang salah, menganggap
bahwa hipertensi akan sembuh sekali meminum obat, masyarakat hanya meminum
obat ketika gejalanya timbul dan tidak diteruskan ketika gejala menurun, itu artinya
pengawasan minum obat untuk hipertensi belum dilakukan; (Pradono, 2012).

Dari prevalensi hipertensi sebesar 34,1% diketahui bahwa sebesar 8,8%


terdiagnosis hipertensi dan 13,3% orang yang terdiagnosis hipertensi tidak minum
obat serta 32,3% tidak rutin minum obat. Alasan penderita hipertensi tidak minum
obat antara lain karena penderita hipertensi merasa sehat (59,8%), kunjungan tidak
teratur ke fasyankes (31,3%), minum obat tradisional (14,5%), menggunakan terapi
lain (12,5%), lupa minum obat (11,5%), tidak mampu beli obat (8,1%), terdapat
efek samping obat (4,5%), dan obat hipertensi tidak tersedia di Fasyankes (2%)
(Kementerian Kesehatan RI, 2019).

Menurut Menkes, untuk mempopulerkan Germas hingga dapat mengubah


pola pikir masyarakat, diperlukan kerjasama lintas kementerian. Untuk saat ini,
Menkes akan mencoba membahas persoalan ini dengan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Jadi, selain dengan bantuan media dan swasta untuk
mempopulerkan gerakan ini, perlu untuk mendiskusikan dengan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya untuk mengaktifkan kembali UKS (Unit
Kesehatan Sekolah).
2) Kurangnya pengkaderan masyarakat

Indonesia menjalankan primay healt care suatu program kesehatan berbasi


masyarakat namun peran dan potensi masyarakat masih dirasakan kurang, dalam
masalah hipertensi ini para kader belum dibekali pengetahuan atau alat untuk
mengukur tekanan darah untuk warganya (Pradono, 2012). dari hasil penelitian
yang di lakukan oleh Sari, 2018 di Desa Rajamandala Kulon bahwa kader,
masyarakat, pasien hipertensi, dan keluarga belum pernah mendapatkan pelatihan
yang terstruktur tentang self-management hipertensi. Selain itu, Kegiatan Posbindu
hanya terbatas melakukan penyuluhan, tidak dilengkapi dengan pengobatan, Kader
Posbindu PTM masih menghadapi kendala internal seperti tugas kader yang masih
merangkap dalam 1 Posbindu, laporan kader kepada Puskesmas sering mengalami
keterlambatan, dan ternyata ada sebagian wilayah yang kegiatan Posbindunya tidak
berjalan dengan rutin. Hambatan tersebut berpotensi sebagai tanda-tanda penurunan
kepuasan dan motivasi kerja kader.

3) Cakupan Wilayah Indonesia yang Luas

Dengan wilayah indonesia yang luas dan terhambatnya transportasi menjadi


hamabatan dalam pemerataan program pemerintah dalam mengatasi masalah
kesehatan, dari data pada tahun 2018 target 40%, realisasi 43,9% atau sebanyak
35.749 desa/kelurahan yang melaksanakan Posbindu PTM namun belum 50% dari
wilayah indonesia yang sangat luas, yang artinya pemerintah perlu menaikan target
(Kementerian Kesehatan, 2018). Dari jurnal Pradono, 2012 untuk program Penyakit
Tidak Menular (PTM) : hipertensi di Kabupaten Lebak menunjukkan bahwa masih
terbatas di tingkat Provinsi. Belum dilaksanakan di tingkat Kabupaten. Program ini
sudah disosialisasi pada tahun 2009 di Empat puluh Puskesmas yang diikuti dengan
pelatihan pencatatan dan pelaporan. Dalam pelatihan sebagai narasumber adalah
dokter penyakit dalam dari Rumah Sakit, tetapi sampai saat ini belum ada
kelanjutannya, dan belum jelas mau di tempatkan dalam surveilens atau di
kesehatan lingkungan. Sementara dalam pelaksanaannya, pemeriksaan hipertensi
masih terbatas pada pemeriksaan haji, dan pensiunan melalui Yankes (Pelayanan
Kesehatan). Selain itu disebutkan juga.
4) Kurangnya Tenaga Kesehatan

Munurut Farzan, 2017 tenaga kesehatan yang kurang sangat mempengaruhi


karena menjadi kunci bagi terjalannya program,di dukung dengan penelitian yang
dilakukan Pradono, 2012 bahwa kurangnya tenaga kesehatan di puskesmas menjadi
hambatan tidak terlaksananya progam. Dampak pada kinerja pelayanan yang
diberikan sehingga sosialisasi mengenai program kesehatan seperti POSBINDU,
CERDIK, GERMAS tidak optimal. Kinerja tenaga kesehatan yang tidak optimal
membuat masyarakat tidak tertarik dengan program tersebut yang berakibat
kurangnya partisipasi masyarakat dalam program pemerintah, sehingga program
masyarakat seperti posbindu terbatas pada masyarakat yang memang paham atau
yang sebelunya telah menderita sedangkan masyarakat yang tidak berpotensi tidak
mengikuti program. akhirnya penyakit tidak menular : hipertensi akan terus
meningkat.

5) Tingkat Pendidikan yang belum merata


Permasalahan umum yang selalu terlihat pada setiap komunitas Desa
maupun komunitas kota sehubungan dengan kesehatan, adalah perubahan dan
penambahan pengetahuan kesehatan serta perubahan perilaku kesehatan yang
merupakan tindakan dan harus selalu dilakukan. Suatu komunitas terutama
komunitas Desa yang makin tradisional dan rendah derajat pendidikannya, serta
tertutup dari informasi-informasi umum akan makin lambat mengalami proses-
proses pemahaman, penerimaan dan adopsi informasi pengetahuan, nilai dan
praktek kesehatan baru dalam menanggulangi permasalahan kesehatan dan
meningkatkan derajat kesehatan komunitas yang bersangkutan (Bastamanography,
2017)

Peluang Program hipertensi

1) Dukungan lintas sektor

Salah satu dukungan nyata lintas sektor untuk suksesnya GERMAS,


diantaranya Program Infrastruktur Berbasis Masyarakat (IBM) Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang berfokus pada pembangunan akses
air minum, sanitasi, dan pemukiman layak huni, yang merupakan infrastruktur
dasar yang mendukung Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan Badan
Pengawas Obat dan Makanan dalam hal keamanan pangan. Dimana hal tersebut
dapat mensukseskan berjalannya program GERMAS.

2) Indonesia merupakan negara dengan pendapatan menengah.

Indonesia saat ini merupakan negara dengan pendapatan menengah.


Pemerintah sangat memperhatikan kesehatan masyarakatnya. Khususnya dinas
kesehatan untuk lebih mengenalkan bahkan mengarahkan masyarakat kepada
kesehatan dan pentingnya pencegahan, utamanya melalui pendekatan keluarga.
Petugas kesehatan mendatangi keluarga karna dengan pendekatan terhadap
keluarga ini menjadi kepuasan pribadi sehingga bisa mengantarkan bangsa
Indonesia menuju Indonesia Emas.

3) Tingkat interaksi sosial masyarakat indonesia yang baik


Dalam program-program di indonesia untuk hipertensi banyak yang melibatkan
masyarakat, indonesia merupakan negara yang berkembang pola interaksi sosial di
masyarakat masih terjalin sangat baik, sehingga masyarakat dengan petugas
kesehatan dapat saling bekerjasama dengan baik untuk melaksanakan program.
DAFTAR PUSTAKA

Anggara D, F. H dan Prayitno N. (2013). Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan


Tekanan Darah di Puskesmas Telaga Murni Cikarang Barat. Jakarta: Program
Studi Kesehatan Masyarakat STIKES MH. Thamrin. Jurnal Ilmiah Kesehatan.
Vol 5/No.1
Arifin, Muhammad Hafiz; Weta, I Wayan; Ratnawati, N. L. K. A. (2016).
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
HIPERTENSI PADA KELOMPOK LANJUT USIA DI WILAYAH KERJA
UPT PUSKESMAS PETANG I KABUPATEN BADUNG TAHUN 2016,
5(7). Retrieved from https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/21559
Astiari, N. P. T. (2016). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KEJADIAN HIPERTENSI PADA LAKI-LAKI DEWASA DI PUSKESMAS
PAYANGAN, KECAMATAN PAYANGAN KABUPATEN GIANYAR.
Skripsi. Retrieved from
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/4a96c18487d246e9db
1c8890d51a02e1.pdf
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Laporan Nasional 2013, 1–384. https://doi.org/1
Desember 2013
Bastamanography. (2017). Perspektif Kesehatan Masyarakat Dalam Pembangunan
Kesehatan Indonesia.
DINKES. (2018). Kegiatan POSBINDU PTM.
Farzan, F. R. J. A. (2017). Analisis program pemecahan masalah penyakit
hipertensi menggunakan aplikasi projectlibre di puskesmas benu-benua kota
kendari tahun 2017. 2(6), 1–7.
Fuadah, D. Z., & Rahayu, N. F. (2018). PEMANFAATAN POS PEMBINAAN
TERPADU ( POSBINDU ) PENYAKIT TIDAK MENULAR ( PTM ) PADA
PENDERITA HIPERTENSI ( Utilization Of Integrated Posted Cooperation (
Posbindu ) of Non-Communicable Disease of Patients with Hypertension ).
20–28. https://doi.org/10.26699/jnk.v5i1.ART.p020
Julianty, P. (2010).FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
TERJADINYA HIPERTENSI DI DAERAH PERKOTAAN
(Analisis Data Riskesdas 2007), 33(1), 59–66.
Kementerian Kesehatan, R. (2018). profil kesehatan indonesia 2018.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Hipertensi. Pusat Data Dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Hasil Utama Riskesdas Tentang Prevalensi
Diabetes Mellitus di Indonesia 2018. Hasil Utama Riskesdas Tentang
Prevalensi Diabetes Melitus Di Indonesia 2018, 66.
Kementerian Kesehatan RI. (2019). Hipertensi Penyakit Paling Banyak Diidap
Masyarakat.
Moreira JP, dkk. 2013. Prevalence of self Reported Systematic Arterial
Hypertension in Urban and Rural Environments in Brazil : A Population-
Based Study. Reteived from
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0102-
311X2013000100008
Ningsi, D. L. R. (2017). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
hipertensi pada pekerja sektor informal di pasar beringharjo kota
yogyakarta. Skripsi. Retrieved from http://digilib.unisayogya.ac.id/2689/
Oktaviani, E. (2015). Pengaruh Brisk Walking Exercise Terhadap Penurunan
Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi di Puskesmas Andalas Kota
Padang. Keperawatan, 2(02), 1–10.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Rencana Aksi Nasional
Penanggulan Penyakit Tidak Menular 2015-2019. Kementerian Kesehatan,
21-57.
Pradono, J. (2012). MODEL INTERVENSI HIPERTENSI DI KABUPATEN LEBAK
PROVINSI BANTEN.
Permatasari, L. I. (2018). Analisis Capaian Indikator Program Penyakit Tidak
Menular Jawa Timur 2015-2016. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah,
3(2), 2-3.
Pitriani, Risa; Yanti, Juli Selvi; Afni, R. (2018). FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KEJADIAN HIPERTENSI PADA LANSIA DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS RUMBAI PESISIR. Penelitian
Kesehatan Suara Forikes, 9, 74–77. Retrieved from https://forikes-
ejournal.com/index.php/SF/article/view/214
Raihan, L. N., & Dewi, A. P. (2009). FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI PRIMER PADA
MASYARAKAT DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RUMBAI
PESISIR, 1–10 Retrieved from
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMPSIK/article/view/3408/3304
Rokom. 2014. Kendalikan Hipertensi, Galakkan Program: Intervensi Kesehatan
Masyarakat Guna Mengubah Perilaku Pasien Hipertensi.
http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-
media/20140108/199549/kendalikan-hipertensi-galakkan-progra/ (diakses
31 Agustus 2019).
Sari, C. W. M. (2018). Pelatihan Kelompok Peduli Hipertensi sebagai Upaya
Peningkatan Kualitas Hidup Pasien Hipertensi di Rajamandala Kulon
Bandung Barat. 4(1), 65–71.
Tjekyan, R. M. S. (2014). Angka Kejadian Dan Faktor Risiko Hipertensi Di Kota
Palembang Tahun 2013, (1), 1–11. Retrieved from
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/mks/article/view/2668
WHO Regional Office for South-East Asia. (2011). Hypertension fact sheet.
Hypertension, 1–2.

Anda mungkin juga menyukai