Anda di halaman 1dari 8

Konsep Budaya dalam Perawatan Post Partum

1. Konsep Budaya

Kebudayaan merupakan wawasan pegangan yang diambil dari pemahaman makna


realitas yang dikembangkan menjadi pijakan sikap tingkah laku dalam menghadapi hidup
dalam realitas itu, maka kebudayaan dilihat dari potensi-potensi (kemampuan-
kemampuan) kreatif manusia (Mudji Sutrisno, 2006).

Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa,
mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa,
persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-
kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya
(Mulyana, 2002).

Manusia melengkapi dirinya dengan kebudayaan, yaitu perangkat pengendali


berupa rencana, aturan, resep, dan instruksi yang digunakan untuk mengatur terwujudnya
tingkah laku dan tindakan tertentu (Geertz, 1973). Dalam pengertian ini, kebudayaan
berfungsi sebagai “alat” yang paling efektif dan efisien dalam menghadapi lingkungan
(Mudji sutrisno, 2006).

Kebudayaan bukan sesuatu yang dibawa bersama kelahiran, melainkan diperoleh


dari proses belajar dari lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.
Dengan kata lain, hubungan antara manusia dengan lingkungannya dijembatani oleh
kebudayaan yang dimilikinya. Dilihat dari segi ini, kebudayaan dapat dikatakan bersifat
adaptif karena melengkapi manusia dengan cara-cara menyesuaikan diri pada kebutuhan
fisiologis dari diri mereka sendiri, penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik
geografis maupun lingkungan sosialnya. Kenyataan bahwa banyak kebudayaan bertahan
malah berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh
suatu masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya.
Kebiasaan atau kelakuan yang terpolakan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan
penyesuaian masyarakat terhadap lingkungannya, tetapi cara penyesuaian itu bukan
berarti mewakili semua cara penyesuaian yang mungkin diadakan oleh masyarakat lain
dalam kondisi yang sama. Dengan kata lain, masyarakat manusia yang berlainan
mungkin akan memilih cara-cara penyesuaian yang berbeda terhadap keadaan yang sama.
Kondisi seperti itulah yang menyebabkan timbulnya keaneka ragaman budaya (Mudji
Sutrisno, 2006).
2. Konsep Budaya dalam Perawatan Post Partum

Terbentuknya janin dan kelahiran bayi merupakan suatu fenomena yang wajar
dalam kelangsungan kehidupan manusia, namun berbagai kelompok masyarakat dengan
kebudayaannya di seluruh dunia memiliki aneka persepsi, interpretasi dan respon
perilaku dalam menghadapinya, dengan berbagai implikasinya terhadap kesehatan
(Swasono, 1998).

Menurut pendekatan bio-sosio-kultural persalinan, kehamilan dan kelahiran bukan


hanya dilihat semata-mata dari aspek biologis dan fisiologisnya saja. Lebih dari itu,
fenomena ini juga harus dilihat sebagai suatu proses yang mencakup pemahaman dan
pengaturan hal-hal, seperti pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran,
persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran
berlangsung, cara-cara pencegahan bahaya, penggunaan ramu-ramuan atau obat-obatan
dalam proses kelahiran, cara-cara menolong persalinan, dan pusat kekuatan dalam
perawatan bayi dan ibunya (Jordan, 1993).

Berbagai kelompok masyarakat di berbagai tempat yang menitik beratkan


perhatian mereka terhadap aspek kultural dari kelahiran menganggap peristiwa tersebut
sebagai tahapan kehidupan yang harus dijalani di dunia. Pada saat lahirnya, bayi
dianggap berpindah dari kandungan ibu ke dunia untuk menjalankan kehidupan baru
sebagai manusia. Begitu pula sang ibu mulai memasuki tahapan baru dalam
kehidupannya sebagai orangtua, untuk menjalankan peran baru sebagai seorang ibu
(Swasono. 1998).

Dalam memahami sikap dan perilaku menanggapi kehamilan, kelahiran serta


perawatan ibu dan bayinya, faktor-faktor sosial budaya sangat mempunyai peranan
penting. Sebagian pandangan budaya mengenai hal-hal tersebut telah diwariskan turun-
temurun dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan (Swasono, 1998).

Pada masyarakat di Bandanaera, Kabupaten Maluku Tengah, perawatan post


partum dilakukan salah salah satunya dengan segera memberi minuman pada wanita yang
baru melahirkan, yang minuman tersebut terdiri dari campuran jeruk asam (jeruk nipis),
halia (jahe) yang diparut, gula merah dan lada, yang kesemuanya dimasak hingga
menjadi cairan kental. Kemudian setelah kurang lebih 3 jam pasca persalinan ibu nifas
diberi makan rujak, dengan tujuan agar darah nifasnya keluar, dan dinding peranakan
menjadi bersih dari gumpalan darah, yang disebut kotor banta. Bila ketika melahirkan
terjadi “sobekan”, keadaan ini dipulihkan dengan pasir panas yang dibungkus daun,
kemudian dibungkus lagi dengan kain, untuk ditekan-tekankan kebagian jalan lahir yang
sobek selama 9 hari, pada pagi dan sore hari. Bahan yang sama juga ditepuk-tepuk ke
seluruh tubuh wanita yang baru bersalin. Pada masyarakat Maluku Tengah wanita post
partum juga diurut, diuapi, diberi minuman berupa jamu-jamuan, dan aneka perlakuan
lainnya yang bertujuan untuk kesejahteraan ibu dan bayinya (Swasono, 1998).

Pada masyarakat Bajo di Saloso, Kabupaten Kendari, untuk keselamatan


perempuan nifas dan bayinya dilakukan upacara adat salussu. Upacara salussu ini
dilaksanakan dengan menyediakan daun pisang panjang sebanyak dua lembar, yang
masing-masing diisi dengan ketan putih dan hitam, tumpi-tumpi, yakni sejenis ikan yang
ditumbuk kemudian dibentuk bulat kecil sebanyak 40 buah. Seperti halnya dengan
upacara adat lainnya, kemenyan, kelapa, dan bedak kuning senantiasa disajikan sebagai
pelengkap upacara. Dalam upacara ini ditambahkan pula dua buah cincin emas. Apabila
bayi yang lahir laki-laki, sajian ditambah lagi dengan dua ekor ayam jantan, sedangkan
jika bayi seorang perempuan, disediakan dua ekor ayam betina. Hidangan yang dibuat
dalam dua bagian tersebut dibagi dua, sebuah diberikan kepada sandro (dukun yang
bertugas sebagai pemimpin acara), sedangkan yang lainnya ditujukan bagi keluarga sang
bayi (Swasono, 1998).

Dengan berbagai variasi kultur atau budaya di atas, umumnya sering berhubungan
dengan faktor sosial ekonomi dan pendidikan. Oleh karena itu, meskipun petugas
kesehatan mungkin menemukan suatu bentuk perilaku atau sikap yang terbukti kurang
menguntungkan bagi kesehatan, seringkali tidak mudah bagi mereka untuk mengadakan
perubahan terhadapnya. Hal tersebut diakibatkan oleh telah tertanamnya keyakinan yang
melandasi sikap dan perilaku itu secara mendalam pada kebudayaan warga suatu
komuniti (Swasono, 1998).

3. Perawatan Post Partum pada Masyarakat Minang

a. Mandi Batangeh
Mandi batangeh adalah rebusan dari daun-daunan rempah, seperti daun
sedingin, daun kunyit, daun sereh, daun jeruk purut, daun asam-asam semua
direbus lebih kurang 1 jam dalam belanga, setelah direbus, dibuka tutup
belanganya dan ibu menggunakan kain atau sarung lalu jongkok diatas belanga.
Mandi belanga ini biasanya dilakukan 3-5 kali selama masa nifas.

b. Minum Perasan Daun Sungkaidan Daun Belimbing.


Perawatan post partum dalam budaya Minang ada meminum perasan daun
sungkai, daun papaya dan daun belimbing. Cara pembuatannya yaitu daun
papaya, daun sungkai dan daun belimbing itu ditumbuk halus atau diblender, lalu
disaring, air saringan daun tadi itu yang diminum oleh ibu.

c. Meminum kunyit asam dan gula merah.


Perawatan lain yang dilakukan dalam budaya Minang yaitu meminum
kunyit asam dan gula merah. Ini biasa dilakukan dipertengahan masa nifas atau
diakhir-akhir masa nifas. Cara pembuatannya yaitu kunyit diparut, lalu dicampur
asam kandis dan gula merah kemudian direbus. Air rebusan tersebut yang
diminum oleh ibu.

d. Meminum Daun Pepaya dan Memakan Sayur Daun Katu


Meminum perasan daun papaya dan memakan sayur daun katu juga sering
dilakukan ibu yang setelah melahirkan dalam budaya Minang. Cara
pembuatannya adalah daun papaya diremas atau diblender lalu airnya disaring dan
diminum, sayur daun katu hanya ditumis seperti biasa.

e. Tapal perut
Perawatan lain yang digunakan oleh ibu setelah melahirkan dalam budaya
Minang adalah tapal perut. Cara pemakaiannya yaitu kapur sirih dicampur dengan
perasan jeruk nipis lalu dioleskan ke perut ibu.

f. Cebok Mengunakan Rebusan Air Daun Sirih


Dalam menjaga kebersihan alat genetalia, budaya minang melakukan
perawatan cebok dengan menggunakan air rebusan daun sirih. Cara
pembuatannya hanya merebus daun sirih tersebut.

4. Perawatan Post Partum pada Masyarakat Jawa


a. Perawatan pemeliharaan kebersihan diri
1) Mandi wajib nifas.
Mandi wajib nifas ini dimaksudkan untuk menghilangkan najis setelah
proses persalinan. Mandi ini hanya dilakukan satu kali selama masa nifas,
tepatnya esok hari setelah proses persalinan, dan dilakukan pada pagi hari.
2) Irigasi vagina dengan menggunakan air rebusan daun sirih.
Tujuan dari perawatan ini adalah untuk menghilangkan kuman dan
bau vagina. Air rebusan daun sirih dipakai sebagai irigari vagina sebelum
melakukan mandi wajib nifas dan setiap selesai buang air kecil maupun air
besar. Air rebusan daun sirih, yang digunakan untuk irigasi vagina ini
terkadang bagi sebagian wanita nifas dicampur dengan daun sere.

b. Perawatan untuk mempertahankan kesehatan


1) Pemakaian pilis.
Cara perawatan menggunakan pilis dilakukan dengan mengolesi
kening dengan bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan, yang telah
dihaluskan. Aturan pemakaian pilis ini, dalam pengolesannya harus dimulai
dari sisi kanan kening, dioles mengarah ke sisi kiri kening. Ramuan untuk
pembuatan pilis berasal dari campuran kayu manis, delingobengle, bengle,
dan pala. Bahan-bahan tersebut dihaluskan dengan cara digiling, kemudian
dibentuk dengan dibulat-bulati, setelah itu dijemur. Jika ingin digunakan
maka diencerkan dengan menggunakan campuran air secukupnya.
Pemakaian pilis dipercaya dapat mencegah darah putih naik ke mata.
Berdasarkan kepercayaan para partisipan yang didapat dari para
terdahulunya, bila wanita selama masa nifas tidak menggunakan pilis, maka
mata mereka akan rusak, misalnya saja menjadi rabun.
2) Kusuk atau pengurutan.
Pada perawatan dengan pengurutan ini daerah yang diurut adalah
seluruh bagian tubuh wanita post partum, kecuali daerah perut. Perawatan
pengurutan dapat dilakukan pada keesokan hari setelah proses persalinan.
Tujuan dari perawatan ini adalah untuk menghilangkan rasa lelah pasca
persalinan. Perawatan pengurutan harus dilakukan sebanyak lima kali
dengan interval tiga hari selama masa nifas.
3) Walikdada.
Walikdada merupakan istilah yang digunakan masyarakat suku Jawa
untuk mengatakan perawatan pengurutan yang terakhir. Walikdada
merupakan perawatan pengurutan atau kusuk yang keenam selama masa
nifas, dan daerah yang diurut adalah perut. Walikdada dilakukan pada hari
ke-36 masa nifas. Manfaat dari walikdada ini ialah untuk mengembalikan
posisi rahim ke posisi normal. Menurut para partisipan, apabila walikdada
tidak dlakukan, maka rahim mereka akan turun
4) Wowongan.
Wowongan dalam perawatan post partum dilakukan dengan menetesi
kedua mata setiap kali selesai keramas dengan air dari ujung tetesan rambut.
Hal ini dilakukan masing-masing tiga kali pada kedua belah bola mata.
Tujuan dari perawatan wowongan adalah agar mata tidak cepat rusak.

c. Perawatan untuk menjaga keindahan tubuh


1) Pemakaian bedak parem.
Bedak parem dipakai dengan cara dilulurkan ke seluruh tubuh. Bahan
untuk pembuatan bedak parem berasal dari ramu-ramuan, yang terdiri dari
jahe, kencur, dicampur dengan beras, kemudian dihaluskan/digiling, lalu
dibentuk dengan dibulat-bulati, setelah itu dijemur. Apabila telah kering,
maka dapat digunakan. Namun sebelum digunakan terlebih dahulu dibasahi
dengan perasan air jeruk nipis. Perawatan ini dianggap dapat membuat
tubuh kencang dan hangat, serta tidak mudah masuk angin. Parem dioles
diseluruh tubuh setiap kali selesai mandi.
2) Duduk senden.
Selama masa nifas wanita tidak dibenarkan melakukan aktivitas yang
berarti, melainkan harus banyak duduk di tempat tidur dengan bantal
disusun dibagian belakang tubuh untuk menopang tubuh agar tetap dalam
posisi setengah duduk, dan kaki dirapatkan. Perawatan ini dimaksudkan
untuk menjaga kerapatan vagina.
3) Tidur dengan posisi setengah duduk.
Posisi duduk pada perawatan ini sama dengan posisi duduk pada
duduk senden, namun diterapkan pada keadaan tidur. Hal ini juga
dimaksudkan untuk menjaga kerapatan vagina.
4) Pemakaian gurita.
Pemakaian gurita didaerah perut dilakukan dengan mengikat pada
simpul-simpul yang sudah tersedia. Perawatan ini menurut asumsi
masyarakat suku Jawa bermanfaat untuk mempercepat pengecilan perut, dan
agar perut tidak melebar. Pemakaian gurita juga bermanfaat bagi sebagian
wanita nifas yang menapali bagian perutnya dengan daun sirih, agar daun
sirih yang tertempel tersebut tidak lepas.
5) Minum jamu kemasan.
Jamu kemasan yang digunakan untuk perawatan masa nifas dapat
peroleh bebas dari pasaran. Jamu kemasan diolah dengan teknologi modern.
Masyarakat suku Jawa menyebutnya dengan jamu kalengan, karena
memang jamu tersebut dikemas di dalam kaleng. Biasanya dalam satu
kemasan kaleng dapat digunakan selama 40 hari untuk wanita yang sedang
dalam masa nifas.

d. Perawatan Khusus
1) Minum kopi.
Minum kopi dilakukan hanya satu kali saja dan diminum segara
setelah proses persalinan selesai.. Adapun kopi yang diminumkan
merupakan kopi yang dicampur dengan gula. Tujuan dari minum kopi ini
adalah untuk mempercepat proses pengeluaran darah kotor/gumpalan-
gumpalan darah sisa proses persalinan.

2) Minum air jamu wejahan.


Jamu wejahan merupakan jamu yang diolah sendiri, yang ramuannya
berasal dari jahe, ketumbar, kunyit, gula jawa, asam jawa, yang dirajang
halus-halus, kemudian dikeringkan dengan cara dijemur. Jika ingin diminum
terlebih dahulu diseduh dengan air panas dan dicampur dengan garam
secukupnya. Jamu wejahan diminum setiap selesai makan (tiga kali sehari).
Manfaat dari minum air jamu wejahan adalah untuk memperlancar dan
memperbanyak produksi ASI. Jamu wejahan dapat dikonsumsi segera
setalah proses persalinan selesai.

5. Perawatan Post Partum pada Masyarakat Aceh

Perawatan post partum menurut budaya masyarakat Aceh. Seperti, pantangan


untuk meninggalkan rumah selama 44 wanita yang baru melahirkan. Selama masa nifas
perempuan pada masyarakat Aceh disuruh berbaring pada suatu pembaringan yang
ditinggikan yang dasarnya diberi batu bata panas. Kakinya terlentang dan dirapatkan.
Lengannya tidak boleh diangkat di atas kepala. Ibunya menjaganya, seraya mengawasi
supaya perempuan nifas tersebut tetap mengikuti petunjuk mengenai posisi kaki dan cara
berbaring sekali-sekali harus dirubah supaya seluruh badan wanita dihangatkan.
Penghangatan badan dimulai pada hari sesudah melahirkan dan berlangsung sekurang-
kurangnya 20 hari dan paling lama 44 hari. Ibu yang baru melahirkan mandinya dibatasi
agar berkeringat, karena bila ibu postpartum berkeringat dianggap baik untuk proses
pengeringan luka-luka jalan lahir (Swasono, 1998).

Selain penghangatan badan, selama minggu pertama ibu post partum juga diurut
oleh dukun beranak dengan menggunakan minyak kelapa. Dalam minggu pertama ini,
wanita yang baru bersalin bebas makan dan minum apa saja yang diinginkannya. Tetapi
sesudah hari ketujuh, waktu dia diberi minuman yang diramu dari jenis daun-daunan
tertentu, dia pantang makan dan minum beberapa jenis bahan makanan yang paling biasa
dikonsumsi masyarakat Aceh, pantangan makan tersebut berlangsung selama 5 bulan
atau lebih. Makanan yang dilarang itu misalnya adalah ketan, daging kerbau, telur bebek,
daging bebek dan semua jenis buah-buahan (Swasono, 1998). Perawatan post partum
lainnya, meliputi:

a. Mandi
Setelah melahirkan kemudian pulang kerumah. Mayoritas semua
partisipan langsung melakukan kebersihan diri yaitu dengan cara mandi. Mandi
dilakukan untuk menghilangkan kotoran setelah proses persalinan. Dengan
memakai air hangat.
b. Membersihkan vagina
Dua orang partisipan membersihkan vagina dilakukan dengan
menggunakan air rebusan daun sirih dan memakai betadin. Dan ini sangat
berguna untuk membersihkan darah kotor setelah proses persalinan.
c. Pemakaian pilis
Semua partisipan menggunakan pilis. Dioleskan di dahi setelah mandi.
Pilis ini adalah ramuan yang telah diracik dan dijual di pasar. Gunanya supaya
tidak pusing
d. Pemakaian parem
Semua partisipan mayoritas menggunakan parem setelah mandi. Pada
seluruh bagian tubuh. parem ini di gunakan dengan cara di oleskan ke seluruh
tubuh. Parem ini dapat diperoleh dari pasar.
e. Tuum mata
Tiga orang partisipan melakukan Tuum mata dalam perawatan postpartum
dilakukan dengan memanasi kedua mata setiap kali selesai mandi, ini dilakukan
dengan memakai kain yang dipanasin menggunakan air hangat. Supaya
penglihatan kembali terang selama 7 hari.
f. Kusuk
Semua partisipan melakukan pengurutan. Pengurutan dilakukan oleh ibu
post partum berguna tempat peranakan bagus.
g. Pemakaian gurita
Semua partisipan memakai gurita. Guna gurita supaya perut tidak kendor.
h. Minum jamu
Semua partisipan mengkonsumsi jamu. Jamu tersebut di olah sendiri, yang
ramuannya berasal dari kunyit. Dengan cara kunyit ditumbuk, disaring, kemudian
air kunyit tersebut di minum setiap pagi juga dibantu dengan makan tape.
Mamfaatnya dari minum air kunyit adalah apabila masih ada darah kotor belum
kering maka akan cepat kering. Juga supaya tidak bau badan.
i. Sale
Perawatan postpartum yang dilakukan dengan cara menghangatkan badan
memakai arang panas di satu tempat, kemudian ibu duduk di atas kursi yang
berlubang untuk menghangatkan badan.
j. Memakai batu hangat
Batu yang dipakai sebesar gumpalan tangan cowok. Batu tersebut d bakar
dan dibalut dengan kain. Kemudian batu hangat tersebut diletakkan dibawah perut
di atas kemaluan.

Anda mungkin juga menyukai