Anda di halaman 1dari 23

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/281236127

TEKNOLOGI MEMBRAN DALAM PENGOLAHAN AIR DAN LIMBAH INDUSTRI.


Studi Kasus: Pemanfaatan Ultrafiltrasi untuk Pengolahan Air Tambak

Conference Paper · January 2004

CITATIONS READS

3 14,403

1 author:

I Gede Wenten
Bandung Institute of Technology
425 PUBLICATIONS   1,565 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

[RESEARCH PROJECT] Hollow Fiber Enzymatic Membrane Bioreactor View project

[INDUSTRIAL PROJECT] Desktop Study Review of Grissik CGP CO2 Membrane Problem ConocoPhillips (Grissik) Ltd View project

All content following this page was uploaded by I Gede Wenten on 25 August 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


TEKNOLOGI MEMBRAN DALAM PENGOLAHAN AIR DAN LIMBAH INDUSTRI
Studi Kasus: Pemanfaatan Ultrafiltrasi untuk Pengolahan Air Tambak

I G. Wenten
Departemen Teknik Kimia – ITB
Jl. Ganesha 10 Bandung 40132
igw@che.itb.ac.id

Abstrak
Teknologi membran merupakan salah satu teknologi pemisahan yang relatif baru namun aplikasinya telah
merambah luas ke berbagai sektor termasuk sektor pengolahan air dan limbah industri. Pada sektor pengolahan
air, salah satu proses membran yaitu nanofiltrasi bahkan mendapat predikat sebagai “Best Available
Technology”. Pada sektor pengolahan limbah industri, proses membran terbukti berhasil menghasilkan efluen
dengan kualitas di atas standar baku mutu yang memungkinkan untuk dapat dimanfaatkan kembali sebagai air
proses. Kemampuan membran menghasilkan efluen dengan kualitas yang sangat baik mampu menggeser anggapan
“limbah sebagai cost” menjadi “limbah sebagai profit”. Hal ini memberikan implikasi positif tidak saja bagi
pihak industri karena proses menjadi hampir selalu menguntungkan tetapi juga bagi kelestarian lingkungan yang
selama ini acapkali terabaikan. Dalam penerapannya, proses membran dapat diaplikasikan secara langsung
ataupun tidak langsung (bioreaktor membran). Bioreaktor membran (aerasi,ekstraktif, dan pemisahan biomassa)
sebagai kombinasi proses berbasis membran dan pengolahan biologis merupakan bidang yang berkembang sangat
pesat belakangan ini. Hal ini terbukti dengan banyaknya aplikasi bioreaktor membran yang hingga saat ini
jumlahnya telah mencapai lebih dari 500 plant dengan kapasitas bervariasi bahkan hingga di atas 1.000.000
galon/hari. Perkembangan mutakhir yang dijumpai belakangan ini ditandai dengan hadirnya teknologi
elektrodeionisasi (EDI), reaktor membran fotokatalitik, dan kontaktor hollow fiber. EDI merupakan teknologi yang
sangat efisien dan efektif dalam proses produksi air ultra-murni. Reaktor membran fotokatalitik telah
memungkinkan proses pengolahan terhadap limbah yang sebelumnya tidak mungkin atau tidak ekonomis untuk
diolah. Sementara itu, hadirnya kontaktor hollow fiber diharapkan dapat memberikan solusi yang ekonomis untuk
pengolahan limbah brine MSF. Studi kasus pemanfaatan ultrafiltrasi (UF) untuk pengolahan air tambak yang
memungkinkan diproduksinya air berkualitas tinggi (bebas mikroba dan padatan tersuspensi) dengan keuntungan
lain yang tidak kalah penting adalah unit ultrafiltrasi yang compact, modular, dan sederhana sehingga bersifat
transportable dan mudah dioperasikan. Dengan segala kelebihannya, pemanfaatan teknologi ini pada akhirnya
diharapkan dapat memberikan keuntungan baik dari segi ekonomi, teknik, maupun lingkungan.

PENDAHULUAN
Secara definitif membran memiliki arti sebagai lapisan tipis yang berada di antara dua fasa dan berfungsi
sebagai pemisah yang selektif. Pemisahan pada membran bekerja berdasarkan perbedaan koefisien difusi,
perbedaan potensial listrik, perbedaan tekanan, atau perbedaan konsentrasi. Proses membran mikrofiltrasi (MF),
ultrafiltrasi (UF), reverse osmosis (RO), dan piezodialisis menggunakan perbedaan tekanan sebagai gaya dorong
(driving force). Proses membran lainnya menggunakan perbedaan konsentrasi (pemisahan gas, pervaporasi,
membran cair, dialisis), perbedaan suhu (membran distilasi, termo-osmosis), dan perbedaan potensial listrik
(elektrodialisis) sebagai gaya dorongnya. Sebagai salah satu teknik pemisahan, teknologi membran dalam
aplikasinya dapat ditujukan untuk pemekatan, pemurnian, fraksionasi, dan perantara reaksi [1].
Saat ini aplikasi membran telah merambah ke berbagai industri diantaranya industri logam (pengambilan
kembali logam), industri makanan, bioteknologi (pemisahan, pemurnian, sterilisasi, pengambilan produk samping),
serta industri kulit dan tekstil (pengambilan kembali bahan kimia dan panas) [2]. Pada industri pulp dan kertas,
membran berperan dalam pengambilan serat dan bahan kimia dan sebagai pengganti proses evaporasi. Industri-
industri lainnya yang juga telah menerapkan teknologi membran adalah industri berbasis proses kimia (pemisahan
materi organik, pemisahan gas), industri farmasi dan kesehatan (organ buatan, control release, fraksionasi darah,
sterilisasi, pemurnian air) dan proses penanganan limbah.
Permasalahan limbah di Indonesia bukanlah hal yang asing. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak
sedikit pencemaran lingkungan yang terjadi disebabkan oleh pembuangan limbah hasil industri yang tidak melewati
proses pengolahan terlebih dahulu. Industri sendiri dalam menjalankan aktivitasnya menggunakan air dalam jumlah
yang signifikan, air bahkan menjadi komponen utama dan penentu kualitas produk di sejumlah industri misalnya
industri minuman, industri tapioka, dsb. Ketidaksadaran pihak industri dalam menangani limbah yang dihasilkannya
sangatlah mengkhawatirkan mengingat saat ini ketersediaan air tawar semakin langka. Sementara di sisi lain,
pertumbuhan industri juga terus meningkat akibatnya limbah yang dihasilkan juga kian bertambah. Keterbatasan
teknologi pengolahan limbah menyebabkan efluen yang dihasilkan memiliki kualitas yang jauh dari standar baku
mutu limbah padahal pengolahan limbah sendiri merupakan komponen yang cukup mahal. Akibatnya selama ini
limbah selalu dianggap sebagai sektor non-profit alias “cost”. Penerapan pajak lingkungan yang mengharuskan
pihak industri membayar pajak per volume limbah yang dihasilkan semakin menguatkan anggapan ini. Kondisi
perekonomian yang tidak kondunsif juga semakin mempersulit permasalahan limbah ini. Oleh karena itu diperlukan
suatu sistem pengolahan limbah dengan konsep “re-use” (pemanfaatan kembali), dimana dalam hal ini dapat
dipenuhi oleh teknologi membran. Penggunaan teknologi membran dalam pengolahan limbah menggeser anggapan
“limbah sebagai cost” menjadi “limbah sebagai profit”. Konsep pemanfaatan kembali yang ditawarkan oleh
teknologi membran terbukti dapat menghasilkan keuntungan diantaranya penghematan dari segi biaya operasional
(air, listrik, bahan kimia, dll). Hal ini tentunya memberikan implikasi positif tidak saja bagi pihak industri karena
proses menjadi hampir selalu menguntungkan (profitable) tetapi juga bagi kelestarian lingkungan yang selama ini
acapkali terabaikan.
Proses membran khususnya nanofiltrasi bahkan merupakan Best Available Technology untuk proses
pengolahan air. Pada pengolahan limbah, teknologi membran dapat diaplikasikan secara langsung dan tak-
langsung. Pada aplikasi langsung, teknologi membran ditujukan untuk minimisasi limbah dan pemanfaatan kembali.
Minimisasi limbah dilakukan dengan pengambilan (recovery) air yang terdapat dalam limbah sehingga debit limbah
menjadi minimum. Ukuran pori membran yang sedemikian rupa akan menghasilkan air yang memiliki kualitas
yang memenuhi syarat untuk digunakan sebagai air proses sehingga konsep pemanfaatan kembali dapat dicapai.
Pada aplikasi membran secara tak-langsung, membran dikombinasikan dengan pengolahan biologis sehingga
memunculkan sistem bioreaktor membran. Sama seperti halnya aplikasi langsung, pada bioreaktor membran, efluen
yang dihasilkan dilewatkan pada membran sehingga memiliki kualitas yang juga memenuhi syarat untuk digunakan
kembali. Pada kasus-kasus dimana jenis limbah sulit diolah dan aplikasi langsung maupun tak-langsung tidak
mampu bekerja efektif, perkembangan terkini di bidang reaktor membran fotokatalitik merupakan solusinya.
Dengan demikian hampir semua permasalahan limbah dapat diatasi. Pada sektor pengolahan air, pengembangan
teknologi EDI (electrodeionization) merupakan terobosan dalam proses produksi air ultra-murni yang sangat efisien
[3]. Keunggulan lain yang juga ditunjukkannya adalah kemampuannya yang sangat baik dalam pemisahan ion-ion
lemah seperti silika, boron, karbondioksida, dan amonia dari air. Perkembangan yang sangat pesat juga dijumpai
pada pengembangan kontaktor hollow fiber, khususnya untuk pengolahan limbah brine MSF. Teknologi ini
memungkinkan untuk melakukan proses produksi air murni dan garam dalam satu tahap dari limbah brine MSF.
Studi kasus mengenai rasionalisasi pemanfaatan UF untuk mengolah air tambak juga akan diulas pada makalah ini.

‘BEST AVAILABLE TECHNOLOGY’ UNTUK PENGOLAHAN AIR


Kelangkaan maupun penurunan kualitas air tawar disertai dengan kebutuhan air yang terus meningkat baik
dari masyarakat maupun industri merupakan pendorong diperlukannya teknologi pengolahan air yang berkualitas
sekaligus ramah lingkungan. Pengolahan air dengan demikian merupakan peluang besar bagi aplikasi teknologi
membran. Sebagai teknologi yang relatif baru, proses membran menawarkan keuntungan-keuntungan yang tidak
didapat dari proses konvensional. Salah satu keuntungan dari aplikasi teknologi membran adalah rendahnya energi
yang digunakan. Pemisahan yang berbasis membran tidak berdasarkan hasil kesetimbangan fasa yang menggunakan
banyak energi. Perubahan fasa akan mempengaruhi kualitas bahan dan produk yang dihasilkan. Keuntungan lain
teknologi membran adalah desain modul membran sangat sederhana, kompak, mudah dioperasikan dan tidak
membutuhkan peralatan tambahan dalam jumlah banyak. Memperbesar atau memperkecil skala pengoperasian
merupakan hal yang mudah dilakukan. Dengan sifat modular yang dimilikinya maka peningkatan skala proses
membran dapat dilakukan dengan hanya menambah modul membran termasuk peralatan bantunya. Dalam
aplikasinya untuk pengolahan air, penggunaan membran tidak membutuhkan penambahan bahan-bahan kimia
(koagulan, flokulan) sehingga ramah bagi lingkungan.
Desalinasi merupakan salah satu cara untuk mengatasi kebutuhan air tawar. Di dunia, kapasitas desalinasi
total pada tahun 1971 adalah 1,5 juta m3/hari dan pada tahun 1995, kapasitas total ini meningkat hingga 20,3 juta
m3/hari dengan 11.000 instalasi yang tersebar di 120 negara di dunia. Sekitar 50% kapasitas ini berada di Teluk
Persia dengan 30%-nya terdapat di Arab Saudi. Plant desalinasi terbesar terletak di kompleks Al Jubail Phase II
yang telah berproduksi sejak tahun 1982 menghasilkan hampir 1 juta m3/hari. Proses membran misalnya RO
(reverse osmosis) dapat digunakan pada proses desalinasi air laut dan air payau untuk menghasilkan air tawar. Di
Amerika Serikat terdapat sekitar 1900 unit desalinasi dengan kapasitas lebih dari 15% produksi dunia. Sebagian
besar produksi dilakukan dengan menggunakan proses membran RO khususnya untuk pengolahan air payau
maupun air permukaan [4].
Saat ini proses RO mulai menggantikan proses distilasi untuk menghasilkan air tawar misalnya di daerah-
daerah gurun. Indonesia sendiri memiliki potensi untuk menggunakan proses membran sebagai sarana desalinasi,
terutama mengingat banyaknya sumber air tawar yang kini mulai terintrusi air laut sehingga berubah menjadi air
payau misalnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Seperti telah disebut sebelumnya, negara-negara
lain seperti Arab Saudi dan Amerika Serikat telah memiliki unit desalinasi air payau berbasis membran. Beberapa
unit desalinasi di Arab Saudi terletak di Buwayb dan Salbukh, sementara di Amerika, berlokasi di Sanibel Island
dan Florida. Unit Buwayb memiliki kapasitas sebesar 45.000 ton/hari, menggunakan modul spiral wound dengan
tingkat perolehan 89,9% dan konsumsi energi total 3,6 kWh/ton produk. Adapun Salbukh memiliki kapasitas
38.500 ton/hari, menggunakan modul membran hollow fiber, dengan tingkat perolehan 88,2 % dan konsumsi energi
total 3,12 kWh/ton produk. Kedua unit di atas dioperasikan dengan tekanan rendah yaitu 27,6 bar [5]. Unit Sanibel

2
Island berkapasitas 13.600 m3/hari dengan tingkat perolehan 80% dan rejeksi garam sebesar 86,3% (umpan 3.300
ppm dan produk 450 ppm) [6]. Beberapa penelitian telah pula dilakukan untuk mengkaji penerapan teknologi ini di
Indonesia. Pada penelitian tersebut digunakan air payau dari daerah Mundu dan Bandengan di Cirebon (konsentrasi
umpan berkisar antara 1700 – 1850 ppm) dan dihasilkan permeat dengan konsentrasi 30 ppm, rejeksi garam 99,2%,
fluks permeat 19 LMH pada tekanan operasi 15 bar [7]. Penerapan teknologi ini dalam skala yang cukup signifikan
juga telah dilakukan di sejumlah industri di Indonesia. Potensi lainnya adalah pengolahan air gambut yang tersebar
di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Riau, dan Jambi. Kendala utama yang dihadapi
masyarakat di daerah ini adalah ketersediaan air bersih yang layak dikonsumsi sebagai air minum. Sumber yang
paling mungkin hanyalah air hujan atau dari hulu sungai yang berpuluh-puluh kilometer jaraknya karena itu perlu
diupayakan teknologi yang dapat mengolah air gambut menjadi air bersih, dimana hal ini dapat diatasi dengan
teknologi RO. Tabel 1 berikut berisikan beberapa aplikasi teknologi membran dalam proses pengolahan air baik air
sumur dalam maupun air tanah, serta desalinasi air laut dan air payau dengan kapasitas hingga ratusan ribu m 3 per
hari.

Tabel 1. Beberapa aplikasi teknologi membran dalam proses pengolahan air [8-15]

Proses Kapasitas
No. Lokasi Umpan
membran (m3/hari)
1 Vero Beach, Florida Air sumur dalam RO 24.000
2 Fort Meyer, Florida Air tawar NF 80000
3 Haute Saone, Prancis Air tanah UF 280
4 Douchy, Loire, Prancis Air tanah UF 1520
5 Gracay, Cher, Prancis Air tanah UF 760
6 Sauve, Gard, Prancis Air tanah UF 2000
7 Stonehaugh, Inggris Air tanah UF 40
8 Bernay, Prancis Air tanah UF 3480
9 Fontgombault, Prancis Air tanah UF 5280
10 Corfu, Yunani Air tanah EDR 14.800
11 Suffolk, Virginia Air tanah EDR 15.100
12 Macao, Asia Tenggara Air permukaan UF 2760
13 La Nive, Prancis Air permukaan UF 5280
14 Avoriaz, Prancis Air permukaan UF 3600
15 New York, Amerika Serikat Air permukaan UF 320
16 California, Amerika Serikat Air permukaan UF 520
17 Prancis Air permukaan UF 29.600
18 UK Clarified surface water UF 10.560
19 Prancis Clarified surface water UF 58.120
20 Yuma, AS Air payau RO 250.000
21 Riyadh-Salbukh, Arab Saudi Air payau RO 50.000
22 Jeddah, Arab Saudi Air payau RO 18.000
23 Ras Abu-Jarjur, Bahrain Air payau RO 45.420
24 Al Dur, Bahrain Air payau RO 56.000
25 Son Tugores, Spanyol Air payau RO 30.000
26 Manfouha I, Arab Air payau RO 27300
27 Manfouha II, Arab Air payau RO 36400
28 Malez, Arab Air payau RO 18200
29 Jubail, Arab Air payau RO 15000
30 Berri, Arab Air payau RO 6800
31 Riyadh, Arab Air payau RO 4500
32 Mekah, Arab Air payau RO 15.000
33 Daesan, Korea Air payau RO 95000
34 Bayswater, Australia Air payau RO 36000
35 Malta Air laut RO 20.000
36 Cina Air laut EDR 200
37 Florida, Amerika Serikat Air laut RO 13.600
38 Jeddah, Arab Saudi Air laut RO 57.000
39 Al-Birk, Arab Air laut RO 2300
40 Umm Lujj, Arab Air laut RO 4400
41 Doha, Kuwait Air laut RO 3000
42 Yanbu, Arab Air laut RO 5000
43 Key West, Florida Air laut RO 11.400
44 Jean Prince Hospital, Tahiti Tap water UF 120
45 Jepang - ED 120

3
Selain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, pihak industri juga merupakan pihak yang
membutuhkan air dalam proses produksinya. Industri mikroelektronik misalnya membutuhkan air dengan kualitas
sangat tinggi atau dikenal sebagai air ultramurni. Selain proses RO, proses membran lain yaitu EDI
(elektrodeionisasi) merupakan proses yang umum digunakan di industri mikroelektronik. Industri farmasi dan medis
juga merupakan industri yang kerap menggunakan proses membran dalam pengolahan airnya. Air yang digunakan
untuk industri farmasi/medis umumnya adalah air dengan kemurnian yang sangat tinggi. Air digunakan dalam
formula obat-obatan, losion, cairan pembersih, dan krim. Selain itu air juga merupakan komponen utama fluida
intravena yang digunakan untuk menggantikan fluida tubuh alami pada pasien yang menderita penyakit tertentu.
Keberadaan kontaminan di dalam formulasi tersebut dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, dan
mengganggu karakteristik kimia pengobatan, atau bahkan memberikan efek yang membahayakan pasien.
Hemodialisis juga merupakan aplikasi medis yang membutuhkan air dengan kemurnian yang sangat tinggi. Proses
membran yang biasa digunakan adalah NF, UF, dan RO.
Salah satu isu penting khususnya dalam pengolahan air minum adalah semakin mengetatnya standar
kualitas air minum. Salah satu cara yang kemudian ditempuh untuk memenuhi persyaratan ini adalah penambahan
dosis klorin sebagai desinfektan. Akan tetapi peningkatan dosis desinfektan juga akan mengakibatkan semakin
tingginya kemungkinan terbentuknya produk samping dari desinfektan ini. Pembentukan produk samping
desinfektan seperti trihalometan (THM) juga menjadi isu penting karena berkaitan dengan masalah kesehatan.
Produk samping desinfektan terbentuk ketika material organik alami dalam air bereaksi dengan klorin atau senyawa
kimia oksidator lain yang digunakan untuk desinfeksi. Tidak semua senyawa organik alami merupakan prekursor
produk samping ini akan tetapi pengendaliannya dapat dilakukan dengan penghilangan senyawa organik alami atau
penghilangan prekursor produk samping. Penyisihan senyawa organik alami tidak hanya mengurangi pembentukan
produk samping desinfektan tapi juga mengurangi kebutuhan klorin pada sistem distribusi. Penyisihan senyawa
organik alami akan menghilangkan sumber makanan bakteri sehingga lebih lanjut akan menurunkan aktivitas
biologi dan pertumbuhan kembali mikroba di dalam sistem distribusi. Proses membran sebagai proses non-
konvensional merupakan pilihan yang tepat untuk pengolahan air. Proses membran seperti MF, UF, NF, dan RO
mampu merejeksi kontaminan organik dan anorganik yang berasal dari air. Sementara itu pengembangan juga
ditujukan terhadap material membran yang digunakan. PVDF (polivinilidefluorida) merupakan material membran
yang resisten terhadap oksidan yang seringkali digunakan sebagai desinfektan kimia. Di negara maju seperti
Amerika Serikat, proses membran NF merupakan proses membran yang telah mendapat pengakuan dari EPA
(‘Environmental Protection Agency’) sebagai ‘Best Available Technology’ untuk proses pengolahan air [16]. Pada
tahun 1996, kapasitas seluruh plant NF yang ada di Florida, Amerika Serikat mencapai 60 juta galon/hari. NF
menjadi aplikasi proses membran terbesar kedua di Amerika Serikat. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa
proses membran merupakan proses yang sangat sesuai untuk diterapkan pada proses pengolahan air.

MINIMISASI DAN PEMANFAATAN KEMBALI LIMBAH INDUSTRI


Semakin berkurangnya persediaan air tawar yang disertai dengan penurunan kualitas air permukaan yang
salah satunya diakibatkan oleh pencemaran limbah industri merupakan alasan utama yang mendorong untuk
dilakukannya minimisasi dan pemanfaatan kembali limbah industri. Langkah ini harus secepatnya dilakukan karena
keberlangsungan hidup dari pihak pengguna baik masyarakat maupun industri bergantung pada langkah ini. Contoh
nyata pencemaran air tawar akibat limbah pada kondisi yang ekstrim misalnya terjadi di daerah sekitar industri
penambangan. Pada daerah ini secara umum limbah bahkan menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat parah.
Musim kemarau yang berkepanjangan dimana air bersih menjadi sulit sekali didapat juga merupakan salah satu
bukti semakin menipisnya keberadaan air bersih yang notabene merupakan kebutuhan primer bagi manusia.
Salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan adalah meminimumkan volume limbah yang dihasilkan
dengan mengambil air yang terdapat di dalam limbah tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan proses
pemisahan berbasis membran. Perkembangan teknologi membran yang juga merambah pada bidang lingkungan
memungkinkan dilakukannya pengolahan limbah dalam bentuk aplikasi langsung. Teknologi membran dalam
aplikasinya di industri tidak memerlukan zat-zat kimia dalam pengoperasiannya sehingga tidak menambah jumlah
limbah yang dibuang ke lingkungan. Aplikasi membran secara langsung menggunakan proses membran sebagai
sistem pengolahan limbah secara fisik yaitu sebagai unit filtrasi (non-biologis). Air limbah dilewatkan pada
membran, kontaminan akan terejeksi menjadi konsentrat sementara air yang telah terpisah dari kontaminan limbah
akan lolos melewati membran dan keluar dalam bentuk permeat. Permeat yang berasal dari limbah ini dapat
digunakan kembali sebagai air proses sehingga mengurangi kebutuhan pemakaian air baku. Hal ini dimungkinkan
karena proses membran yang digunakan mampu merejeksi kontaminan-kontaminan berukuran mikron hingga ionik
dari air sehingga menghasilkan air berkualitas yang tidak saja memenuhi standar baku mutu tapi juga dapat
dipergunakan kembali. Proses ini terbukti dapat dilakukan di berbagai sektor industri. Dalam aplikasinya, teknologi
membran dapat ditempatkan sebagai pengolahan lanjut (tersier). Penerapannya dapat sebagai proses yang berdiri
sendiri atau dikombinasikan dengan proses konvensional (penukar ion, karbon aktif, dll. ) atau dengan proses
membran sendiri (MF/UF, UF/RO, dll.). Tabel 2 di bawah ini berisikan proses-proses membran yang telah
diaplikasikan di berbagai industri untuk kepentingan minimisasi limbah dan pemanfaatan kembali.

4
Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat beragamnya industri yang telah menerapkan proses membran untuk
pengolahan limbahnya. Pemanfaatan kembali air limbah akan menghemat penggunaan air baku sehingga dapat
mengurangi biaya operasional yang harus dikeluarkan. Pada Tabel 2 juga terlihat bahwa pemanfaatan kembali
bukan hanya pada komponen air tapi juga komponen-komponen bernilai lainnya yang masih terdapat di dalam
limbah. Pewarna misalnya pada limbah industri tekstil dapat diambil kembali dari limbah. Hal yang sama juga
terlihat pada proses laundry. Penggunaan UF memungkinkan deterjen yang tersisa di dalam limbah laundry untuk
diperoleh kembali dan dimanfaatkan kembali ke aliran proses. Demikian pula pada industri susu, selain dihasilkan
air berkualitas, didapat pula konsentrat berupa produk bernilai yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain.
Energi juga merupakan salah satu komponen yang dapat diperoleh kembali seperti terlihat pada Tabel 2, khususnya
untuk sektor industri tekstil dan laundry.

Tabel 2. Aplikasi membran dalam minimasi dan pemanfaatan kembali limbah industri [5, 14, 15, 17-21]

Sektor industri & jenis limbah Aplikasi Proses membran


Industri tekstil Pemisahan warna RO, UF, MF, NF
Pengambilan kembali pewarna
Pengambilan kembali energi
Industri pelapisan logam Pengambilan kembali air dari air limbah UF, NF, RO, ED
pencucian
Pengambilan kembali logam dari larutan
galvani
Pemanfaatan kembali limbah galvani
Industri petrokimia Penggunaan kembali blowdown menara UF, RO
pendingin
Pemanfaatan kembali kondensat
Industri pulp dan kertas Pemisahan warna UF, RO
Pengambilan kembali air
Pengambilan kembali lignin alkali
Pengeboran minyak Penggunaan kembali air limbah RO
pengeboran minyak untuk umpan boiler
atau injeksi
Pembangkit tenaga listrik Penggunaan kembali blowdown menara RO
pendingin
Laundry Pengambilan kembali air, deterjen, dan UF
panas
Limbah berminyak Penggunaan kembali air UF
Industri cat Pengambilan kembali electropaint UF
Industri susu (cheese whey) Pengambilan kembali air UF
Pengambilan kembali produk bernilai
Industri tapioka Pengambilan kembali air dan soluble UF, RO
starch

Namun demikian, salah satu produk pengolahan yang perlu diperhatikan pada proses penerapan membran
secara langsung ini adalah konsentrat limbah. Pada aplikasi membran secara langsung, akan dihasilkan dua aliran
yaitu permeat (air) dan konsentrat. Permeat merupakan produk air yang dapat dimanfaatkan kembali. Sedangkan
konsentrat dalam hal ini adalah limbah yang telah jauh berkurang dari segi volume namun dari segi konsentrasi
akan jauh lebih pekat. Pada sejumlah kasus, konsentrat yang dihasilkan merupakan produk bernilai misalnya pada
industri susu (cheese whey) dan industri tapioka. Namun pada kasus dimana konsentrat merupakan limbah yang
harus diolah, instalasi pengolahan limbah yang biasanya sudah tersedia di lingkungan pabrik tetap diperlukan untuk
mengolah limbah ini. Namun demikian, efluen yang dihasilkan dari teknologi pengolahan limbah konvensional
umumnya belum mampu memenuhi standar baku mutu. Penerapan teknologi membran berupa aplikasi tak-langsung
(bioreaktor membran) dapat dimanfaatkan untuk keperluan ini.

BIOREAKTOR MEMBRAN UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI


Bioreaktor membran merupakan kombinasi antara proses pengolahan limbah secara biologis dengan proses
membran. Bioreaktor membran dikelompokkan menjadi tiga yaitu bioreaktor membran untuk pemisahan biomassa,

5
bioreaktor membran aerasi, dan bioreaktor membran ekstraktif [22]. Ketiga jenis bioreaktor membran ini memiliki
fungsi masing-masing yang disesuaikan dengan jenis limbah. Gambar 1 menunjukkan skema secara garis besar
ketiga tipe bioreaktor membran.
Bioreaktor membran untuk pemisahan biomassa merupakan bioreaktor membran yang aplikasinya paling
luas dibandingkan dua bioreaktor membran lainnya. Saat ini bioreaktor membran untuk pemisahan biomassa telah
diaplikasikan hingga skala industri. Jumlah instalasi bioreaktor membran telah mencapai lebih dari 500 plant [22].
Tabel 3 menunjukkan beberapa instalasi bioreaktor membran yang tersebar di berbagai tempat dengan kapasitas
instalasi lebih dari 50.000 galon per hari. Sebagian besar manufaktur bioreaktor membran didominasi oleh
perusahaan-perusahaan besar seperti Kubota, Zenon, Suez-LDE, dan Mitsubishi-Rayon.

Tabel 3. Instalasi bioreaktor membran kapasitas >50.000 galon/hari [23]

No. Lokasi Manufaktur Aplikasi Kapasitas (galon/hari) Tahun


1 Prancis Suez-LDE Pabrik susu 211.260 02/97
2 Prancis Suez-LDE Air minum 105.680 03/95
3 Pads, Prancis Suez-LDE Perkotaan 486.129 Pilot 100 hari
4 Chiba, Jepang Mitsubishi-Rayon Industri 264.200 01/96
5 Ibaraki, Jepang Mitsubishi-Rayon Industri makanan 52.840 1996
6 Xamaguchi, Jepang Mitsubishi-Rayon Pabrik es krim 264.200 1996
7 Aichi, Jepang Mitsubishi-Rayon Industri 198.150 1996
8 Ehime, Jepang Mitsubishi-Rayon Pabrik permen 66.050 1996
9 Tokyo, Jepang Mitsubishi-Rayon Perhotelan 19.260 1996
10 Chiba, Jepang Mitsubishi-Rayon Gedung perkantoran 121.532 1996
11 Gifu, jepang Mitsubishi-Rayon Bir 92.470 1997
12 Kumamoto, Jepang Mitsubishi-Rayon Bir 92.470 1997
13 Shizuoka, Jepang Mitsubishi-Rayon Industri 158.520 04/97
14 Aomori, Jepang Mitsubishi-Rayon Industri makanan laut 52.840 03/97
15 Gifu, Jepang Mitsubishi-Rayon Bir 79.260 05/97
16 Kumamoto, Jepang Mitsubishi-Rayon Bir 79.260 05/97
17 Kagawa, Jepang Mitsubishi-Rayon Industri 79.260 03/97
18 Wakayama, Jepang Mitsubishi-Rayon Industri 221.929 03/98
19 Okinawa, Jepang Mitsubishi-Rayon Industri 118.890 06/98
20 Prancis CGE/Zenon Perkotaan 237.780 1995-1996
21 B.C., Kanada Zenon Rekreasi/domestik 200.000 11/96
22 B.C., Kanada Zenon Perkotaan 134.000 1997: Tahap II
200.000 1999: Tahap III
23 Tecumseh, MI Zenon Industri 60.000 n.a.
24 ON, Kanada Zenon Perkotaan 260.000 – 520.000 06/97
Proyek satu tahun
25 Denver, CO Zenon Perkotaan, instalasi 1.000.000 – 1.500.000 Sedang dibangun
pengolahan limbah
26 Kairo, Mesir Zenon Perkotaan, instalasi 660.000 – 1.320.000 Sedang dibangun
pengolahan limbah
27 Kaha, Mesir Zenon Perkotaan, instalasi 1.000.000 – 2.000.000 Sedang dibangun
pengolahan limbah
28 Orascum, Mesir Zenon Perkotaan, instalasi 265.000 Sedang dibangun
pengolahan limbah,
irigasi
29 B.C., Kanada Zenon Perkotaan, instalasi 1.000.000 – 2.000.000 Sedang dibangun
pengolahan limbah
30 Mansfield, OH Zenon Industri 60.000 1991
31 ON, Kanada Zenon Industri 230.000 Akhir 1994
32 Kolombia, WA Zenon Industri minuman 120.000 n.a.
33 Puerto Rico Zenon Industri kosmetik 60.000 n.a.

Peran membran pada bioreaktor membran pemisahan biomassa adalah menggantikan bak sedimentasi
sekunder pada proses pengolahan limbah lumpur aktif. Dengan demikian, pemisahan antara efluen dan biomassa
yang biasanya mengandalkan pada proses sedimentasi digantikan dengan proses filtrasi menggunakan membran.
Hal ini menghasilkan keuntungan utama berupa penghematan ruang dan dihasilkannya kualitas efluen yang jauh
lebih baik dibandingkan kualitas efluen yang dihasilkan proses sedimentasi. Sejumlah kasus yang ada menunjukkan
bahwa efluen yang dihasikan dari bioreaktor membran tidak saja memenuhi standar buangan tetapi juga memiliki
kualitas yang memenuhi syarat untuk digunakan kembali sebagai air proses. Proses membran yang biasa digunakan
untuk bioreaktor membran pemisahan biomassa adalah mikrofiltrasi (MF), ultrafiltrasi (UF), dan nanofiltrasi (NF).
Dengan ukuran pori yang dimiliki ketiga proses membran ini, maka dapat dipastikan hampir seluruh biomassa

6
maupun pengotor yang terdapat pada umpan yang berasal dari bioreaktor dapat direjeksi sehingga yang melewati
membran adalah air yang telah terpisah dari biomassa dan pengotor lainnya. Konfigurasi bioreaktor membran untuk
pemisahan biomassa pada awalnya berupa bioreaktor dan modul membran yang terpisah, belakangan kemudian
muncul konfigurasi dimana modul membran direndam langsung ke dalam bioreaktor (Gambar 2).

(a) (b) (c)

(a) (b) (c)

Gambar 1. Skema tiga tipe bioreaktor membran


(a: bioreaktor membran pemisahan biomassa; b: bioreaktor membran aerasi; c: bioreaktor membran ekstraktif)

Gambar 2. Skema bioreaktor membran eksternal (recirculated) dan terendam (integrated)

Setiap konfigurasi memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing, namun demikian masalah yang
sama-sama dihadapi kedua konfigurasi ini adalah fouling. Beberapa metode telah dikembangkan untuk
mengendalikan masalah fouling pada bioreaktor membran, beberapa diantaranya adalah pengendalian turbulensi,
pengoperasian pada fluks sub-kritis, dan/atau pemilihan material membran yang tahan fouling [24]. Bioreaktor

7
pemisahan biomassa dapat dilakukan dalam kondisi aerob dan anaerob. Tabel 4 berikut menunjukkan kinerja
bioreaktor membran untuk pemisahan biomassa yang telah diaplikasikan untuk berbagai limbah industri.

Tabel 4. Aplikasi bioreaktor membran pemisahan biomassa [25-30]

Industri Proses Influen Efluen


COD BOD5 SS N-NTK COD BOD5 SS N-NTK
mg/L mg/L g/L mg/L mg/L mg/L g/L mg/L
Kosmetik Aerobik 6.500 2.400 1.900 40 <100 20 <5 0,4
Pemrosesan susu Aerobik 4.200 2.600 650 110 40 <10 <5 4,2
Tekstil Aerobik 10.000 - - - 600 - - -
Jus buah Aerobik 2.250 - - - 24 - - -
Penyamakan Aerobik 7.600 - - - 190 - - -
Air limbah oily Aerobik 4.300-6.900 919-1.360 253-889 - 180-660 3-34 1-11 -
Sludge heat Anaerobik 9.200-10.600 4.300-5.000 180-520 160-310 1.500-2.200 150-230 <5 250
treated liquor
Sweet whey Anaerobik 58.000 34.000 5.200 - 700 300 <10 -
Tepung tapioka Anaerobik 35.000 15.000 13.000 - 270 70 <10 -
Air limbah Anaerobik 9.700 - - - 300 - - -
sintetik tapioka

Tabel 4 menunjukkan dengan jelas kinerja bioreaktor membran dalam penghilangan COD, BOD, SS, dan
total N. Efisiensi penghilangan COD, BOD5, SS dan total N rata-rata di atas 97%. Beban COD yang sangat tinggi
yaitu 58.000 ppm seperti pada limbah sweet whey berhasil diolah dengan bioreaktor membran dengan efisiensi
penghilangan kurang-lebih 98%. Pada Tabel 4 juga terlihat bahwa aplikasi bioreaktor membran telah merambah ke
berbagai industri seperti industri komestik, industri pemrosesan susu, industri tekstil, industri jus buah, industri
penyamakan, industri penghasil limbah berminyak, dan industri tapioka. Hingga saat ini penelitian-penelitian di
bidang bioreaktor membran masih terus berlangsung. Beberapa diantaranya tidak dicantumkan di dalam Tabel 4
namun dapat diulas sedikit bahwa penelitian yang ada saat ini diantaranya telah pula mengolah limbah-limbah lain
seperti limbah perkotaan, limbah domestik, limbah industri kimia, limbah lindi, limbah kertas, limbah farmasi,
limbah kelapa sawit, limbah pulp kraft, limbah wool scour, dll. [22].
Tipe bioreaktor membran lainnya adalah bioreaktor membran aerasi. Kemunculan bioreaktor membran
aerasi (BRMA) berkaitan dengan rendahnya efisiensi proses aerasi konvensional pada sistem pengolahan limbah.
Aerasi pada sistem pengolahan limbah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen mikroba pendegradasi limbah
yang terdapat di dalam bioreaktor. Aerasi menjadi faktor penting yang menentukan kinerja sistem pada sistem
pengolahan limbah yang mengolah limbah dengan kandungan BOD/COD tinggi. Transfer oksigen untuk keperluan
aerasi tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan transfer oksigen secara alami melalui antar muka
permukaan (interface) udara/air. Penambahan antar muka untuk mencapai laju transfer oksigen yang lebih tinggi
dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan aerasi diantaranya berupa lempeng dan tabung berpori, pipa
perforasi, ataupun difuser yang terbuat dari logam atau plastik. Peralatan yang digunakan untuk menghasilkan gaya
geser hidraulik juga dapat digunakan sebagai aerator [31].
Penggunaan oksigen murni juga merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi aerasi. Pada pengolahan
limbah konvensional, metode aerasi yang menggunakan oksigen murni diantaranya adalah multi-stage reactor
surface oxygenation dan venturi oxygenation. Metode ini mampu menghasilkan perpindahan oksigen dengan
efisiensi yang cukup tinggi yaitu 50-90% [22]. Pengoperasian venturi oxygenation pada tekanan tinggi menjamin
keberadaan oksigen di dalam bioreaktor pada konsentrasi tinggi. Namun demikian hingga saat ini belum didapat
data kuantitatif mengenai berapa banyak oksigen yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba dari kedua metode aerasi
tersebut di atas. Meskipun efisiensi perpindahan oksigen pada kedua metode aerasi tersebut tinggi, molekul-molekul
oksigen mengalami hambatan sebelum dapat mencapai sel-sel mikroba. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pada
proses perpindahan massa melalui proses difusi. Banyaknya oksigen yang dapat ditransfer ke bulk per unit energi
yang dihasilkan oleh metode ini hanya 1-3 kali lebih tinggi dibandingkan aerasi yang menggunakan udara atmosfer
yaitu hanya sebesar 2,8-5,5 kg O2/kWh [22].
BRMA sejauh ini merupakan alternatif menarik untuk mencapai efisiensi aerasi yang tinggi di dalam
sistem pengolahan limbah. Pada BRMA, mikroba yang digunakan berada dalam bentuk terikat/melekat pada media
suport dan tumbuh dalam bentuk film biologis (biofilm), tidak dalam bentuk suspensi. Pada biofilm yang diaerasi
secara konvensional, laju difusi oksigen maksimum adalah 10 g/m2/hari, hal ini dapat menyebabkan oksigen
menjadi faktor pembatas pada instalasi pengolahan limbah [32]. Debus et al. [33] menyatakan bahwa dengan
BRMA, laju difusi oksigen maksimum yang dicapai lebih tinggi dibandingkan proses konvensional yaitu sebesar 20
g/m2/hari/bar, dan pada kondisi optimum, dengan menggunakan pemodelan menunjukkan bahwa dimungkinkan

8
untuk mencapai laju difusi oksigen maksimum sebesar 30 g/m2/hari/bar [34]. Proses aerasi pada BRMA dimana
oksigen langsung dikontakkan ke biofilm mikroba tanpa melewati bulk juga menyebabkan efisiensi penggunaan
oksigen oleh biofilm jauh lebih tinggi dibandingkan proses konvensional. Sama seperti halnya sistem pengolahan
limbah konvensional, media yang digunakan untuk aerasi pada BRMA dapat berupa oksigen murni ataupun udara
atmosfer. Namun hanya beberapa penelitian saja yang diketahui menggunakan udara atmosfer [22]. Untuk saat ini,
proses BRMA baru dilakukan pada skala laboratorium ataupun hingga skala pilot dan sebagian besar menggunakan
oksigen murni.
BRMA telah diaplikasikan pada berbagai jenis air limbah dan berbagai laju pembebanan. Berdasarkan
hasil penelitian yang ada, diketahui bahwa dalam penerapannya, BRMA cocok digunakan untuk mengolah limbah
dengan BOD tinggi; biodegradasi senyawa organik volatil; dan pengolahan limbah berupa kombinasi nitrifikasi,
denitrifikasi dan/atau oksidasi karbon pada biofilm yang sama. Limbah primer, limbah sintetik, dan efluen bir
merupakan jenis air limbah yang telah diolah menggunakan BRMA. Penyisihan organik yang mampu dicapai
sekitar 28-98% dengan kisaran laju pembebanan 0,001 – 0,6 kg/m2/hari (Tabel 5). Hasil-hasil penelitian lain yang
telah dirangkum oleh Stephenson et al. [22] menunjukkan efisiensi penghilangan organik oleh BRMA sebesar 63-
91% pada laju pembebanan 0,06 - 33,8 kg/m3/hari. BRMA dengan kemampuannya melakukan penetrasi oksigen
secara sempurna memastikan bahwa ketika melakukan pengolahan limbah dengan BOD/COD tinggi, biofilm yang
ada seluruhnya aktif berfungsi dalam biodegradasi polutan [35].

Tabel 5. Aplikasi-aplikasi BRMA [35-42]

Jenis efluen Komponen air Laju pembebanan Kons. polutan di Penghilangan Laju penghilangan
limbah polutan (kg/m2/hari) influen (mg/l) polutan (%) polutan (kg/m2/hari)
Primary TOC 0.003-0.011 70-92 33-50
sewage Org-N 0.001 17-27 55-75
NH4-N 0.002-0.002 14-30
<0.004
Primary COD 0.1-0.6 75-90 <0.18
sewage Tot. N <0.1 0.01-0.05
Sintetik BOD 0.011 200
TOC 0.007 114 95
Tot.N 0.003 41 50-90 0.002
Sintetik TOC 0.042a 1000 98
Tot. N 0.002a 59 98
Sintetik 2,4 dichloro- ~0.0003b ~2c 85
phenoxy-
acetate
Sintetik TOC 0.0048 83 0.0040
Sintetik NH4-N 0.006 ~45-55 83 0.005
nitrifikasi
98 penghilangan N
Efluen bir Tot. CODd ~0.068 1782  40 83
Sus. CODd ~0.013 343  49 84
Tot. CODe ~0.076 2545  69 81
Sus. CODe ~0.014 465  14 28
alaju pembebanan volumetrik (kg/m3/hari), blaju pembebanan volumetrik (mM/m3/hari), cmM/l, dcomplete-mixed operation,
eplug-flow operation

Bioreaktor membran ekstraktif (BRME) merupakan tipe bioreaktor membran yang paling akhir
kemunculannya. BRME memiliki kesamaan dengan bioreaktor membran aerasi (BRMA) dimana mikroba yang
digunakan berada dalam bentuk pertumbuhan terikat (biofilm). Berbeda dengan BRMA yang menekankan pada
peningkatan efisiensi aerasi, BRME lebih ditekankan pada peningkatan efisiensi pengolahan limbah toksik dengan
cara mengekstrak senyawa toksik tersebut kemudian diolah secara tersendiri.
Sebagian besar limbah terkontaminasi oleh senyawa organik toksik sehingga digolongkan sebagai limbah
berbahaya. Penggolongan suatu senyawa sebagai senyawa toksik didasarkan atas kemampuan senyawa tersebut
dalam berbagai konsentrasi untuk memberikan efek merusak terhadap lingkungan (khususnya kehidupan akuatik)
dan manusia [31]. Salah satu contoh senyawa organik toksik misalnya fenol dapat dijumpai pada limbah yang
dihasilkan industri kimia, industri pulp dan kertas, industri penyamakan, dan industri obat-obatan [43]. Meskipun
kontaminasi senyawa organik toksik ini umumnya pada konsentrasi rendah, senyawa organik toksik ini tetap harus
dipisahkan dari aliran limbah dengan alasan kesehatan dan juga agar aliran limbah tersebut bisa diproses lebih
lanjut dengan metode yang sesuai [44]. Pengolahan limbah toksik secara biologis mampu menghilangkan senyawa
organik toksik dari lingkungan, menurunkan toksisitas senyawa organik toksik, ataupun keduanya [45]. Namun
demikian pada sejumlah kasus, kondisi limbah sangat ekstrim sehingga mikroba tidak dapat tumbuh akibatnya
limbah toksik tidak dapat didegradasi secara biologis.

9
Teknologi konvensional yang umum digunakan adalah steam-stripping dan adsorpsi karbon namun
teknologi ini masih meninggalkan residu kontaminan pekat yang harus dibuang [46]. Pada kondisi dimana limbah
diolah secara biologis (dalam hal ini kondisi anorganik limbah masih memungkinkan pertumbuhan mikroba),
mikroba akan terlebih dahulu mendegradasi senyawa organik yang mudah di biodegradasi sehinggga acapkali
senyawa organik toksik menjadi tidak terdegradasi dan menjadi “hard COD” [47]. Oleh karena itu, pencampuran
limbah toksik dengan limbah dari unit proses lain sebaiknya dihindari untuk menghindari peluang terbentuknya
“hard COD”. Pengolahan limbah toksik langsung di tempat limbah dihasilkan (point of source) akan mengeliminasi
kemungkinan tersebut di atas.
Sebagian besar senyawa kimia organik toksik yang menjadi kontaminan ini sebenarnya dapat didegradasi
oleh mikroorganisme yang spesifik tetapi karakteristik limbah anorganik seperti asam, basa, atau garam konsentrasi
tinggi menyebabkan mikroorganisme pendegradasi tidak dapat tumbuh. BRME bekerja dengan cara mengekstrak
senyawa toksik tersebut dari limbah kemudian ditransfer menuju biofilm mikroba pendegradasi yang ditumbuhkan
dalam biomedium yang sesuai untuk pertumbuhannya. Dengan cara ini BRME memungkinkan mikroba untuk
mendegradasi organik toksik yang sebelumnya berada di lingkungan dengan konsentrasi garam atau pH ekstrim.
Sama seperti halnya BRM aerasi, senyawa organik toksik yang sukar larut dalam air (VOC/volatile organic
compound) dapat pula diolah dengan BRME [48]. Tabel 6 di bawah ini berisikan hasil-hasil penelitian
penghilangan kontaminan senyawa organik toksik dengan BRME. Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan
efisiensi penghilangan yang sangat tinggi yaitu 99%, beberapa bahkan di atas 99% yaitu untuk penghilangan anilin,
4-kloroanilin, 2,3-dikloroanilin, 3,4-dikloroanilin, senyawa nitroaromatik, 3-klorobenzoat, 2,4-diklorofenol, dan
benzen.

Tabel 6. Kontaminan senyawa organik toksik yang berhasil diolah dengan BRM ekstraktif
No. Senyawa organik toksik Efisiensi penghilangan Rujukan
1 Anilin, 4-kloroanilin, 2,3-dikloroanilin > 99 % [49]
3,4-dikloroanilin, senyawa nitroaromatik [50]
2 3-kloronitrobenzen - [48]
3 Monoklorobenzen 98 - 99 % [47]
4 1,2-dikloroetana 99 % [51]
5 3-klorobenzoat 99,5 % [52]
6 1,3-dikloropropena - [53]
7 2,4-diklorofenoksiasetat 50 % [54]
8 1,2-dikloroetana, 3-kloro-4-metilanilin - [55]
9 Trikloroetilen - [56]
10 2,4-diklorofenol 99,9 % [57]
11 Benzen 99,9 % [58]
12 Tetrakloroetena - [59]
13 Toluen - [60]
14 Cd, Zn - [61]

PERKEMBANGAN TERKINI
Pada kasus-kasus tertentu dijumpai komponen-komponen pada limbah yang sulit diolah dengan
menggunakan proses membran aplikasi langsung maupun tak-langsung. Hal ini misalnya pada limbah tekstil
khususnya pewarna yang terdapat didalamnya. Aplikasi langsung menggunakan membran hanya mampu
memisahkan pewarna dari efluen tetapi tidak dapat menghilangkannya. Pada kasus dimana pewarna yang telah
dipisahkan oleh membran tidak dapat didaur-ulang maka perkembangan terkini berupa teknologi oksidasi
fotokatalitik merupakan solusinya. Proses oksidasi fotokatalitik dikembangkan dari proses fotolisis. Pada proses
fotolisis, cahaya dimanfaatkan untuk menguraikan komponen limbah. Perbedaan utama proses ini dengan proses
oksidasi fotokatalitik terletak pada penguraian komponen limbahnya yang dibantu dengan penambahan katalis pada
proses oksidasi fotokatalitik. Hasil yang didapat dari oksidasi fotokatalitik adalah produk yang telah terdegradasi
sempurna. Pada proses konvensional, produk hasil penguraiannya biasanya berupa produk antara yang sulit
didegradasi menjadi produk sederhana sehingga justru semakin menyulitkan dalam pengolahannya.
Proses fotokatalitik oksidasi menggunakan semikonduktor yang bertindak sebagai katalis untuk
menghasilkan radikal-radikal reaktif. Radikal reaktif ini biasanya berupa radikal hidroksil yang dapat mengoksidasi
senyawa organik menghasilkan CO2, H2O, dan asam mineral sebagai produk akhir. Fotokatalis yang paling sering
digunakan adalah TiO2, lainnya adalah ZnO, CdS, WO3, dan SnO2. Hasil uji lapangan yang dilakukan menunjukkan
bahwa proses oksidasi fotokatalitik mampu menghilangkan senyawa benzen, toluen, etilbenzen, dan xylen (BTEX)
yang umum dijumpai pada limbah petroleum [62]. Penelitian yang dilakukan Goswani et al. [63] menunjukkan
bahwa oksidasi fotokatalitik dapat membersihkan 500 galon air yang mengandung 1000 ppb BTEX menghasilkan

10
efluen dengan konsentrasi BTEX kurang dari 10 ppb dalam waktu sekitar 3 jam bila rata-rata intensitas UV sebesar
28 W/m2. Peneliti ini juga menunjukkan bahwa bila sistem ini digunakan untuk mengolah 500 galon air per hari,
akan menghemat sekitar 430.000 kWh per tahun dibandingkan dengan metode konvensional seperti adsorpsi
dengan karbon aktif bila energi untuk mengaktifkan kembali karbon diperhitungkan. Anhedan et al [64] juga
menunjukkan potensi oksidasi fotokatalitik dengan energi matahari untuk penghilangan warna dan reduksi COD air
limbah yang berasal dari pabrik penghasil obat kanker 5-fluorourasil. Dengan menggunakan 0,1% TiO2 sebagai
katalis dan 2400 ppm H2O2 sebagai aditif oksidasi, didapatkan hasil penghilangan warna hingga 80% dalam waktu
1 jam. Sementara senyawa organik volatil berkurang sebanyak 70% dalam waktu 16 jam. Pengolahan konvensional
yang sebelumnya dilakukan tidak satupun mampu menghilangkan warna dan COD seperti halnya yang dilakukan
proses oksidasi fotokatalik ini. Zaidi et al. [65] menggunakan oksidasi fotokatalitik solar untuk mereduksi warna
dan COD pada limbah yang sebelumnya diolah dengan pengolahan biologis anaerob. Oksidasi fotokatalitik hingga
saat ini merupakan metode yang paling efektif untuk penghilangan warna. Akan tetapi, teknologi ini masih belum
terlalu menarik secara komersil. Salah satu hal untuk mengimbanginya adalah penurunan pada harga katalis.
Penerapan fotokatalitik oksidasi juga merupakan peluang bagi pengolahan limbah yang sulit dibiodegradasi.
Kemampuan fotokatalitik oksidasi telah teruji dimana proses ini mampu mendegradasi dengan sempurna polutan
organik toksik ataupun yang sulit dibiodegradasi, ataupun dengan memodifikasi struktur polutan sehingga
menghasilkan senyawa antara yang lebih mudah didegradasi.
Perkembangan terkini juga menunjukkan upaya untuk mengkombinasikan proses fotokatalitik oksidasi
dengan proses membran sehingga menghasilkan sistem reaktor membran fotokatalitik. Salah satu penelitian yang
dilakukan menggunakan membran keramik yang digabungkan dengan proses fotokatalitik oksidasi. Membran
keramik yang digunakan berupa membran transparan sehingga dapat teriluminasi ketika disinari UV. Katalis yang
digunakan adalah TiO2 yang diaplikasikan pada permukaan membran keramik [66]. Penelitian lain dilakukan
dengan mengkombinasikan oksidasi fotokatalitik dengan proses membran MF untuk mengolah efluen yang
mengandung pewarna reaktif. Pengolahan ditujukan untuk memanfatkan kembali efluen ini. Membran MF dalam
kasus ini berperan dalam proses daur-ulang katalis. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa kinerja kombinasi
sistem ini lebih efektif dibandingkan data-data yang diperoleh peneliti lain khususnya ketika mengolah limbah
dengan konsentrasi pewarna yang lebih tinggi. Pada penelitian ini juga digunakan membran NF untuk memekatkan
pewarna dan pada waktu yang bersamaan mengambil kembali larutan elektrolit untuk dikembalikan ke bak
pewarna. Pengambilan kembali larutan NaCl pekat disertai rejeksi warna yang tinggi didapat pada pengoperasian
NF pada tekanan rendah-sedang. Studi ini menandakan potensi penggunaan NF yang diikuti dengan fotokatalitik
untuk menghasilkan permeat yang dapat dimanfaatkan kembali di industri tekstil [67].
Pada bidang pengolahan air, perkembangan mutakhir yang terjadi saat ini ditandai dengan hadirnya
teknologi EDI (electrodeionization). EDI adalah suatu proses demineralisasi yang merupakan kombinasi antara
penukar-ion dengan proses membran elektrodialisis. Air yang dihasilkan dari proses EDI memiliki kualitas sebagai
air ultra-murni yang merupakan produk yang dibutuhkan industri mikroelektronika, farmasi dan medis [3]. Air
ultra-murni dapat didefinisikan sebagai air dengan konduktivitas mencapai 0,055 S/cm. Selama ini air ultra-murni
dihasilkan dengan teknologi penukar ion dan evaporasi. Teknologi penukar ion tidak dapat berlangsung secara
kontinu, selain itu membutuhkan regenerasi kimia secara periodik. Sementara proses evaporasi membutuhkan
banyak energi. Proses membran elektrodialisis sebenarnya mampu mengatasi persoalan yang dijumpai pada sistem
penukar ion dan evaporasi, namun produk yang dihasilkan memiliki kemurnian yang terbatas akibat adanya
peristiwa polarisasi konsentrasi. EDI dalam hal ini menggabungkan secara sinergis keunggulan proses penukar ion
dan keunggulan proses membran elektrodialisis. Skema sel EDI dapat dilihat pada Gambar 3. Sel EDI terdiri atas
membran penukar ion, resin penukar ion, dan sepasang elektroda. Satu sel EDI terdiri atas satu ruang resin penukar
ion, membran penukar ion (penukar anion dan kation), dan sekat pemisah (spacer). Sel-sel ini disusun secara seri
dan pada kedua ujungnya masing-masing diletakkan katoda dan anoda dalam ruang yang disebut E-chamber.
EDI bekerja dalam dua tahapan proses yaitu pada tahap pertama, ion-ion yang terdapat di dalam umpan
akan diikat oleh resin penukar ion dengan proses pertukaran biasa. Pada proses ini kation di dalam air ditukar
dengan ion H+ sedangkan anion ditukar dengan ion OH -. Pada tahap kedua, ion yang terikat pada resin tadi
dipindahkan oleh gaya listrik melewati membran penukar ion dan masuk ke aliran konsentrat. Aliran arus listrik
menyebabkan ion-ion positif bermigrasi melewati membran ke arah katoda dan ion-ion negatif bermigrasi ke arah
anoda. Adanya membran yang secara spesifik hanya mampu melewatkan anion dan kation saja menyebabkan
terbentuknya ruang diluat yang hanya berisi air ultra-murni dan ruang konsentrat yang berisi elektrolit.

11
Gambar 3. Skema sel EDI

Keunggulan lain proses EDI adalah kemampuannya untuk menghilangkan ion-ion lemah seperti silika,
karbondioksida, boron, dan amonia. Silika merupakan salah satu jenis ion lemah yang mendapat banyak perhatian
misalnya dalam kasus penggunaan boiler, penukar panas, dan turbin. Endapan silika dapat menyebabkan penurunan
efisiensi proses. Pada kasus lain misalnya pada proses pembuatan semikonduktor, kadar silika yang tinggi dapat
menyebabkan terbentuknya endapan silika pada wafers sehingga terjadi kegagalan pembuatan chip. Kinerja EDI
dalam pemisahan silika mampu mencapai hingga lebih dari 99%, dengan demikian proses ini akan sangat berguna
dalam pengendalian kadar silika dalam air. Penghilangan karbondioksida juga terbukti efektif dengan menggunakan
EDI. Proses membran seperti RO dan ED tidak dapat menghilangkan karbondioksida, sementara dengan
menggunakan EDI, karbondioksida dapat dihilangkan hingga lebih dari 99%. Ion lemah lainnya yang juga dapat
dihilangkan dengan EDI adalah boron. Pada produksi semikonduktor, keberadaan boron dapat menyebabkan
semikonduktor yang dihasilkan memiliki kualitas yang tidak sempurna. Penghilangan boron lebih sulit
dibandingkan penghilangan silika. Dengan menggunakan EDI, penghilangan boron dapat mencapai lebih dari 96%
dibandingkan kombinasi proses RO dengan resin penukar ion yang hanya sekitar 60%. Penghilangan ion lemah
lainnya yaitu amonia berhasil dilakukan dengan proses EDI dimana pada konsentrasi awal amonia 200 ppm akan
didapat konsentrasi amonia akhir sebesar 0,5-1 ppm [68]. Penghilangan amonia dapat diaplikasikan salah satunya
untuk upaya daur-ulang air pada saat penerbangan luar-angkasa dimana kebutuhan air merupakan bagian penting.

Gambar 4. Prototipe pilot plant kontaktor hollow fiber [IGW Lab. 2003]

12
Pada proses pengolahan air laut, khususnya limbah brine dari unit multistage flash (MSF), saat ini sedang
dikembangkan teknologi kontaktor hollow fiber. Teknologi ini berbasis pada pemanfaatan membran mikrofiltrasi
yang hidrofobik. Dengan pengaturan ukuran pori yang sedemikian rupa, teknologi ini mampu memisahkan uap dan
partikel air dengan sangat sempurna. Dengan demikian, kemurnian air yang dihasilkan sama sekali tidak bergantung
pada konsentrasi umpan. Hal ini memungkinkan untuk melakukan proses produksi air murni pada konsentrasi
garam yang sangat pekat. Sebagai akibatnya, proses ini akan menghasilkan produk samping berupa larutan garam
yang sangat pekat, yang secara seketika dapat dikristalkan pada temperatur ruang. Teknologi ini masih dalam
pengembangan skala pilot yang sangat intensif, dimana pilot plant dengan kapasitas 6 m 3/jam dapat dilihat pada
Gambar 4.

ULTRAFILTRASI UNTUK PENGOLAHAN AIR TAMBAK


Proses membran ultrafiltrasi telah lama diaplikasikan dalam bidang medis untuk menyisihkan bakteri dan
virus. Saat ini, desain terbaru modul hollow fiber ultrafiltrasi memungkinkan pengolahan yang ekonomis untuk
mengolah air tambak. Membran UF hollow fiber dapat menghilangkan hampir 100% koloid, virus, bakteri, dan
material partikulat penyebab kekeruhan namun di sisi lain tetap mampu melewatkan mineral.
Membran dapat didefinisikan sebagai suatu penghalang selektif di antara dua fasa yang memungkinkan
lewatnya beberapa komponen namun menahan komponen lainnya (Gambar 5). Secara definitif membran memiliki
arti sebagai lapisan tipis yang berada di antara dua fasa dan berfungsi sebagai pemisah yang selektif. Pemisahan
pada membran bekerja berdasarkan perbedaan koefisien difusi, perbedaan potensial listrik, perbedaan tekanan, atau
perbedaan konsentrasi. Proses membran ultrafiltrasi (UF) seperti juga mikrofiltrasi (MF), nanofiltrasi (NF), reverse
osmosis (RO), dan piezodialisis menggunakan perbedaan tekanan sebagai gaya dorong (driving force).

Gambar 5. Skema pemisahan dengan membran

Membran dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara. Berdasarkan asalnya, membran dapat dibedakan
menjadi membran alami dan membran sintetik. Sementara berdasarkan porinya, membran dapat dibedakan menjadi
membran berpori dan membran tak berpori. Klasifikasi lain didasarkan pada simetri membran yaitu struktur
membran simetris dan asimetris. Membran asimetris juga dapat dibedakan menjadi membran asimetris integral dan
membran asimetris komposit. Membran simetris memiliki struktur yang seragam sepanjang arah ketebalan
membran. Tebal membran simetris sangat bervariasi, berkisar dari 10-200 m. Sebaliknya membran asimetris
memiliki struktur yang berbeda sepanjang arah ketebalan membran. Pada membran asimetris terdapat lapisan atas
yang sangat tipis (skin) dengan tebal 0,1-0,5 m dan biasanya merupakan membran berpori sempit. Untuk
memberikan kekuatan mekanik, lapisan skin ini ditunjang oleh lapisan berikutnya atau biasa dikenal sebagai
support. Lapisan support memiliki ketebalan berkisar antara 50-150 m dan sangat berpori. Seperti telah disebut
sebelumnya, membran asimetris dapat dibedakan menjadi membran asimetris integral dan membran asimetris
komposit. Lapisan skin dan support yang terdapat pada membran asimetris integral terbuat dari bahan yang sejenis
sementara pada membran asimetris komposit terbuat dari bahan yang berbeda. Bahan yang biasa digunakan untuk
membran UF adalah polisulfon, polietersulfon, poliakrilonitril, selulosa, poliimid, poliamida, polieterketon,
alumina, dan zirkonia.
Dalam aplikasinya, membran biasanya digunakan dalam bentuk modul-modul. Secara umum, modul
membran dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu tipe datar dan tipe tubular. Yang termasuk tipe datar adalah
pleated cartridge filter, plate and frame, dan spiral-wound. Sementara untuk jenis tubular, ada tiga modul yang
dikenal yaitu hollow fiber (diameter < 0,5 mm), kapiler (diameter 0,5-5 mm), dan tubular (diameter > 5 mm).
Gambar 6 menunjukkan tipe-tipe modul membran.

13
(a) (b)

(c)

Gambar 6. Tipe-tipe modul membran: (a) spiral wound, (b) plate-and-frame, (c) hollow fiber

Dari segi pengoperasiannya, membran UF dapat dioperasikan secara dead-end (static filtration) ataupun
cross-flow. Pada mode operasi dead-end, arah aliran umpan tegak-lurus terhadap membran. Pada mode operasi
ini, seluruh air umpan dipaksa melewati membran secara kontinu, dan tidak ada sirkulasi air di dalam modul
membran. Produk keluar dalam bentuk filtrat sementara pengotor berada dalam bentuk filter cake yang biasanya
dikeluarkan sekali pada saat backwash. Mode operasi dead-end memiliki kelemahan yaitu cenderung
mengakibatkan fouling yang sangat tinggi akibat terbentuknya lapisan cake di permukaan membran. Ketebalan
cake terus meningkat terhadap waktu sehingga fluks terus-menerus turun hingga menuju nol. Penghilangan cake
dilakukan dengan backwash yaitu pemompaan filtrat dari sisi produk menuju sisi umpan. Pola aliran ini masih
digunakan pada beberapa operasi di bidang medis dan pengolahan air. Khusus untuk pengolahan air, sistem ini
digunakan pada proses filtrasi dengan kualitas umpan yang baik dan tingkat kekeruhan yang rendah. Jika umpan
memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi, mode operasi cross-flow lebih disukai. Secara umum, semakin baik
kualitas umpan, mode operasi dead-end memberikan keuntungan yang semakin besar, dimana biaya operasinya
lebih rendah (lebih sedikit energi untuk pompa) dan memberikan tingkat perolehan (recovery) yang tinggi. Pada
pola aliran cross flow, umpan dialirkan dengan arah aksial (sejajar) dengan permukaan membran. Konsentrat
disirkulasikan pada kecepatan yang lebih tinggi dengan tujuan menciptakan turbulensi di permukaan membran.
Dengan perlakuan seperti ini, pembentukan lapisan cake terjadi sangat lambat karena tersapu oleh gaya geser
yang diakibatkan oleh aliran cross-flow umpan. Pada setiap operasi cross-flow, kecepatan aliran umpan sangat
menentukan besarnya perpindahan massa dalam modul. Kelebihan sistem ini adalah tendensi fouling dapat
dikurangi, dimana pembentukan lapisan cake di permukaan membran tidak akan separah pada pola dead-end,
dimana laju cross-flow yang tinggi akan meminimumkan ketebalan lapisan cake. Fluks permeat akan menurun
di awal proses dan akan menuju pada kondisi stabil dalam kurun waktu tertentu dimana ketebalan lapisan
foulant di permukaan membran tidak bertambah lagi..

14
Karateristik pemisahan pada proses UF berada pada rentang karakteristik proses membran lainnya seperti
MF dan NF. Membran ultrafiltrasi memiliki ukuran pori 0,05 m - 1 nm atau setara dengan molecular weight cut
off (MWCO) 1.000-500.000 Dalton. Karakteristik rejeksi solut oleh membran UF sangat ditentukan oleh ukuran dan
bentuk pori membran. Ultrafiltrasi umumnya digunakan untuk pemisahan partikel tersuspensi dan makromolekul
dari dalam larutan. Dalam aplikasinya, berbagai komponen dengan ukuran yang sangat bervariasi dapat dijumpai
pada umpan yang hendak diolah dengan UF. Bila dilihat berdasarkan ukurannya, komponen-komponen tersebut
dapat dibedakan menjadi rentang partikel makro, rentang partikel mikro, rentang makromolekular, rentang
molekular, dan rentang ionik. Pori UF lebih kecil dibandingkan ukuran bakteri, sel ragi, dan cyst Giardia sehingga
dapat dipastikan bahwa mikroba terejeksi seluruhnya dengan UF.
Dari segi perancangan, proses membran sangat mudah untuk di-scale-up. Sifat modular yang dimilikinya
menyebabkan peningkatan skala membran dapat dilakukan hanya dengan menambah jumlah modul saja. Skala
proses membran sendiri sangat luas berkisar dari skala laboratorium hingga skala industri. Salah satu contoh proses
membran UF dengan kapasitas 100 m3/jam ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Sistem UF kapasitas 100 m3/jam

Pengembangan yang dilakukan pada desain modul membran hollow fiber telah memungkinkan
diaplikasikannya membran UF pada sektor pertambakan. Pengolahan air untuk pertambakan menjadi hal yang
sangat penting karena berkaitan dengan keberhasilan pertambakan itu sendiri. Hal ini dapat dikaitkan terutama
dengan serangan penyakit misalnya pada udang yang dibudidayakan dalam tambak-tambak. Penyakit, khususnya
yang disebabkan oleh bakteri dan virus, menurut Cholik, dkk [69] sejak tahun 1992 selalu muncul dan menyerang
sebagian besar tambak. Kerugian yang diakibatkan sangat besar hingga pada banyak kasus tidak dapat ditanggung
oleh pengusahanya sehingga terpaksa dilakukan penghentian operasi. Akuakultur seperti juga budidaya lainnya
sangat menekankan prinsip “no disease” dalam pelaksanaannya. Akan tetapi di lain sisi, tambak merupakan
lingkungan terbuka yang memungkinkan masuknya mikroorganisme patogen ke dalam lingkungan tambak baik
yang berasal dari daratan maupun laut (air). Penanggulangan penyakit biasanya menggunakan pemakaian bahan-
bahan kimia seperti formalin, malasit hijau, dan beberapa jenis antibiotic [70]. Namun penggunaannya belum
memperoleh hasil yang memuaskan karena pada umumnya bahan-bahan tersebut tidak selektif dan persisten di
alam. Penggunaan produk bakteri dan enzim untuk penanggulangan penyakit menyebabkan biaya usaha yang tinggi
dan juga kurang efektif [69]. Keberadaan penyakit ini sedikit-banyak berkaitan dengan kualitas air. Kegagalan
budidaya tambak dapat terjadi bila kualitas air kurang diperhatikan. Keadaan bersih dan desinfeksi merupakan
prosedur resmi yang mesti dilakukan pada panti benih (hatchery) untuk mencegah dan mengontrol penyakit [71].
Manajemen budidaya tambak udang yang sehat sebenarnya dapat dicapai dengan memperhatikan faktor-faktor
berikut yaitu benur, air, dasar tambak, pakan, kesehatan, personalia, dan logistik [69]. Berdasarkan hal tersebut
dapat terlihat bahwa keberhasilan budidaya tambak khususnya yang berkaitan dengan air akan dipengaruhi oleh
kemampuan teknologi pengolahan air yang ada saat ini.
Persyaratan yang harus dipenuhi air untuk pertambakan meliputi parameter-parameter kimiawi, fisik, dan
biologis seperti kadar garam, pH, kadar amonia dan nitrit, nitrogen sulfida, oksigen terlarut, kekeruhan, kandungan
plankton, dll. [72]. Untuk menjaga kualitas air pada panti benih, air biasanya diganti setiap hari sebanyak 3/5 bagian
[71]. Sementara penggantian air bersih minimal 20%/hari pada tambak-tambak udang berumur 3 bulan ke atas pada

15
saat pasang surut juga merupakan salah satu cara untuk pencegahan penyakit [73]. Air ini sebelum masuk tambak
biasanya dilewatkan dahulu pada bak pengendapan untuk mengurangi kandungan partikel lumpur sehingga air yang
masuk tidak memiliki kekeruhan tinggi. Bila proses ini digantikan dengan membran, membran akan bekerja dengan
cara yang berbeda. Proses membran tidak bekerja berdasarkan gravitasi seperti halnya pengendapan. Gaya dorong
berupa tekanan membantu pemisahan antara air dan partikel pengotor melewati pori membran yang berukuran
submikron hingga ionik. Teknologi pengolahan air selain membran yang biasa digunakan adalah teknologi
biofiltrasi [69]. Namun demikian perlu ditekankan bahwa kelebihan membran dibandingkan proses-proses
pengolahan konvensional (pengendapan, biofiltrasi, filtrasi pasir, dll.) adalah kemampuannya yang superior untuk
menyisihkan bakteri, virus maupun partikulat-partikulat terlarut penyebab kekeruhan. Sejumlah penelitian
menunjukkan kemampuan membran khususnya UF dalam penghilangan mikroba, kekeruhan, maupun senyawa-
senyawa organik tertentu seperti atrazin [74, 75]. Otaki, dkk [76] bahkan mendapatkan hasil bahwa penggunaan MF
dan UF dalam pengolahan air mampu menghasilkan penyisihan virus dengan efisiensi 99-100% dan 100%,
berturut-turut. Tabel 7 dapat dilihat kinerja proses UF dalam penyisihan bakteri dan pirogen dari air deionisasi.

Tabel 7. Penyisihan bakteri dan pirogen dari air deionisasi dengan membran Amicon H10P10 [77]
Hari Sebelum UF Setelah UF
Bakteri Pirogen Bakteri Pirogen
(jumlah/100 ml) (ng/ml) (jumlah/100 ml) (ng/ml)
1 12.000 3 0 <0,05
2 25.000 10 0 <0,05
3 9000 3 0 <0,05
12 7000 1 0 <0,05
19 4000 3 0 <0,05
26 6000 3 0 <0,05
40 8000 1 0 <0,05
54 4000 3 0 <0,05
68 7000 10 0 <0,05
82 5000 3 0 <0,05

Pada pengolahan air tambak, proses membran dapat diaplikasikan pada panti benih ataupun pada kolam
pembesaran. Penggunaan membran khususnya ultrafiltrasi memungkinkan penghilangan mikroba dan partikel-
partikel penyebab kekeruhan namun tetap dapat melewatkan garam. Hal ini disebabkan oleh ukuran pori membran
ultrafiltrasi yang sedemikian rupa (1-100 nm) sehingga mampu melewatkan air dan garam yang berukuran lebih
kecil dari pori membran. Sementara di lain sisi membran mampu merejeksi mikroba dan pengotor lainnya yang
berukuran lebih besar dari pori membran. Kemampuan membran untuk melewatkan garam merupakan karakteristik
yang penting karena seperti yang dikemukakan oleh Poernomo [72], pertumbuhan optimum di tambak dapat dicapai
bila garam dalam tambak berkisar pada konsentrasi 15-25%. Kualitas air laut sendiri sangat berfluktuasi namun
demikian sejumlah penelitian mengenai pemanfaatan UF dalam pengolahan air menunjukkan kemampuan UF tetap
stabil meskipun kualitas umpan bervariasi [74, 78]. Gambar 8 menunjukkan diagram alir proses pengolah air
tambak dengan menggunakan unit ultrafiltrasi, sedangkan Gambar 9 menunjukkan unit peralatannya.

Gambar 8. Diagram alir proses pengolahan air tambak menggunakan unit ultrafiltrasi

16
Gambar 9. Unit ultrafiltrasi skala 10 m3/jam BBPBAP Jepara [IGW Lab. 2003]

Proses pengolahan air dengan menggunakan Ultrafiltration Package Plant dilakukan dalam dua tahap
yaitu pretreatment dan proses ultrafiltrasi. Proses pretreatment dalam sistem ini adalah pretreament untuk unit
ultrafiltrasi. Proses pretreatment untuk suatu instalasi berbasis membran secara umum memiliki tujuan untuk
mencegah lolosnya padatan tersuspensi (suspended solids) dan partikulat lainnya, khususnya yang berukuran relatif
besar, yang berpotensi menyumbat lumen kapiler membran ultrafiltrasi
Berdasarkan diagram alir proses pengolahan air pada Gambar 13, air umpan yang berada di dalam bak
penampung air dipompakan menggunakan pompa sentrifugal kapasitas 20 – 25 m3/jam. Sebelum masuk ke dalam
pompa, air umpan terlebih dahulu disaring menggunakan screen filter stainless steel mesh 200 dengan tujuan untuk
mencegah pengotor-pengotor kasar masuk ke dalam pompa dan membran. Air yang telah disaring di dalam screen
filter selanjutnya dialirkan ke dalam unit membran ulltrafiltrasi.
Membran ultrafiltrasi dengan konfigurasi modul kapiler memiliki ukuran pori 0,01 m sampai dengan 1
nm atau setara dengan molecular weight cut off (MWCO) 1.000 sampai 100.000 daltons. Dengan spesifikasi
tersebut, membran ultrafiltrasi mampu menghilangkan berbagai kontaminan seperti padatan tersuspensi (turbidity
matters), alga, Cryptosporidium oocysts, Giardia lamblia cysts, bakteri koliform, virus, pirogen, makromolekul, dan
koloid dari dalam air. Tingkat turbiditas produk yang dihasilkan secara kontinu dapat mencapai nilai < 0,5 NTU.
Seperti ditunjukkan pada Gambar 14 bagian tengah, aliran umpan masuk melalui sisi lumen membran yang
dipasang paralel. Dengan tekanan operasi yang cukup, produk (permeat) akan keluar dari permukaan luar membran
(sisi shell) sedangkan konsentrat (retentat) yang direjeksi oleh membran dikeluarkan melalui sisi lumen bagian
akhir (atas). Proses ultrafiltrasi mampu menghasilkan produk dengan kualitas tinggi yang bebas dari padatan
tersuspensi, bakteri, virus, makromolekul, dan koloid. Hanya komponen-komponen dengan berat molekul rendah
dan ion-ion yang mampu menembus membran ultrafiltrasi.
Produk hasil proses ultrafiltrasi selanjutnya ditampung dalam suatu tangki produk, yang juga berfungsi
sebagai tangki backwash. Dalam proses normal, overflow dari tangki ini secara kontinyu dialirkan kembali ke
dalam tambak, sedangkan air di dalam tangki secara periodik digunakan untuk proses backwash.
Dalam kurun waktu tertentu, proses filtrasi mengakibatkan terjadinya deposisi material di atas permukaan
membran yang dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas membran. Fenomena penurunan fluks yang
memberikan pengaruh negatif terhadap nilai keekonomian operasi UF merupakan tantangan yang paling serius.
Keberadaan fouling menyebabkan membran harus dicuci secara periodik untuk menghilangkan komponen
penyebab fouling dari permukaan maupun struktur membran. Frekuensi pencucian merupakan faktor ekonomi
penting karena memberikan pengaruh terhadap usia membran [79, 80]. Pencucian dan sanitasi membran juga
diperlukan untuk beberapa alasan seperti persyaratan untuk industri makanan dan bioteknologi, reduksi mikroba
untuk mencegah kontaminasi produk, dan optimalisasi proses. Ada beberapa strategi untuk mengendalikan fouling,
yaitu: membuat atau perlakuan khusus terhadap membran, memodifikasi atau pengolahan air umpan, mengatur
kondisi operasi, dan pencucian [81, 82].
Pencucian merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk menghilangkan foulant dari
permukaan membran. Metode pencucian membran dapat dibedakan ke dalam empat golongan, yaitu pencucian
hidraulik, pencucian mekanis, pencucian kimiawi, dan pencucian elektris. Pemilihan metode pencucian bergantung
pada konfigurasi modul, tipe membran, ketahanan kimia, dan jenis foulant. Pencucian hidraulik meliputi
backflushing/backwash, pressurize-depressurize tekanan, dan perubahan aliran pada frekuensi tertentu. Pada metode
backflushing/backwash, arah aliran permeat dibalik secara periodik. Proses backwash dilakukan dengan cara
mengalirkan air bersih (produk ultrafiltrasi) pada tangki backwash ke dalam unit membran dari sisi produk (shell

17
side). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya aliran balik pada struktur pori-pori membran. Aliran balik ini
diharapkan mampu menyeret material yang terdeposisi dipermukaan dan dalam pori membran sehingga
produktivitas membran kembali seperti semula. Pola aliran backwash identik dengan proses filtrasi dengan
konfigurasi outside - inside, seperti ditunjukkan pada Gambar 10. Metode backwash mereduksi waktu operasi
efektif juga menyebabkan kehilangan permeat ke larutan umpan. Hal ini menyebabkan backflush dalam aplikasi
industri sangat terbatas sehingga diperlukan optimalisasi. Optimalisasi proses backflush dilakukan terhadap durasi
dan interval backflush. Peningkatan laju produk setelah dilakukan backflush semata-mata merupakan fungsi
tekanan backflush dan interval antara dua backflush. Belakangan ini, waktu interval backflush telah dikurangi
hingga hitungan detik yang menandakan pula tahanan cake tetap rendah karena tidak sempat membentuk lapisan.
Teknik backflush terbaru dengan frekuensi tinggi dan waktu yang sangat singkat juga telah dikembangkan.
Dengan waktu bakcflush yang sangat singkat (0,06 detik) dan interval maksimum 5 detik (disarankan 1-3 detik)
didapatkan hasil yang sangat baik [83, 84]. Karena waktu backflush efektif yang sangat singkat dan tekanan
backflush yang relative tinggi (1 bar di atas tekanan umpan) metode ini disebut sebagai “backshock”. Kehilangan
permeat selama backshock menjadi sangat rendah dan hampir tidak mempengaruhi aliran permeat. Teknik
backshock yang dikombinasikan dengan struktur memban asimetrik terbalik memungkinkan filtrasi pada kecepatan
crossflow yang sangat rendah dan fluks permeat yang sangat stabil. Backshock dengan frekuensi tinggi akan
mencegah membran dari penyumbatan dan memungkinkan filtrasi dengan fluks yang sangat stabil [84]. Dengan
metode tersebut, permasalahan fouling pada proses klarifikasi larutan tersuspensi dapat diatasi [85-88].
Metode lainnya yaitu pencucian mekanis, hanya dapat diterapkan pada sistem modul tubular seperti
dengan metode ultrasonik. Adapun pencucian kimiawi merupakan metode yang paling penting untuk mereduksi
fouling menggunakan bahan kimia yang dapat digunakan secara terpisah maupun terkombinasi. Konsentrasi bahan
kimia dan waktu pencucian juga merupakan hal yang penting karena berkaitan dengan ketahanan membran
terhadap bahan kimia. Pencucian secara elektrik merupakan metode pencucian yang sangat khusus. Dengan
mengaplikasikan arus listrik melewati membran, partikel-partikel atau molekul-molekul bermuatan akan bermigrasi
sesuai dengan arah arus listrik. Pencucian elektrik dapat dilakukan tanpa mengganggu proses yang sedang berjalan
dimana arus listrik dihidupkan hanya pada interval-interval waktu tertentu [1].
Selain pencucian, fouling juga dapat dikendalikan dengan mengatur laju alir membran seperti
mengoperasikan membran di bawah fluks kritisnya [89]. Dengan metode seperti ini, penumpukan foulant
dipermukaan membran dapat dihindari. Selain itu, membran dapat dioperasikan dengan fluks yang stabil. Untuk
mengatasi masalah fouling, membran dengan sifat fouling-resistance juga telah banyak dikembangkan [80, 82].

X (close)

X (close)

Output Input
Air
Air
Backwas Backwas
Gambar 10. Pola aliran h dalam membran kapiler ultrafiltrasi
backwash
h
Pemanfaatan Ultrafiltration Package Plant memiliki beberapa keuntungan, diantaranya adalah kualitas air
produk yang tinggi, bebas dari bakteri dan virus, sehingga diharapkan tambak terbebas dari segala kontaminan
mikrobial. Selain itu, air yang selama ini dibuang dari tambak, sekitar 80%-nya dapat dimanfaatkan kembali. Proses
filtrasi dan pemurnian air menggunakan unit ultrafiltrasi dilakukan tanpa bantuan bahan kimia, sehingga
penggunaan bahan kimia yang selama ini biasa dilakukan dapat ditekan seminimal mungkin. Keuntungan lain yang
tidak kalah penting adalah unit ultrafiltrasi yang compact, modular, dan sederhana, sehingga bersifat transportable
dan mudah dioperasikan. Dengan segala kelebihannya, pemanfaatan teknologi ini pada akhirnya diharapkan dapat
memberikan keuntungan baik dari segi ekonomi, teknik, maupun lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mulder, M., Basic Principles of Membrane Technology. 2nd ed. 1996, Netherlands: Kluwer Academic
Publisher.

18
2. Wenten, I.G., Recent development in membrane science and its industrial applications. J Sci Technol
Membrane Sci Technol, 2002. 24(Suppl): p. 1010-1024.
3. Ervan, Y. and Wenten, I.G., Study on the influence of applied voltage and feed concentration on the
performance of electrodeionization. Songklanakarin J. Sci. Technol, 2002. 24: p. 955-963.
4. Semiat, R., Desalination: Present and Future. Water International, 2000. 25(1): p. 54-65.
5. Rautenbach, R. and Albrecht, R., Membrane Processes. 1989, Singapore: John Wiley & Sons.
6. Sourirajan, S., Matsuura, T., Sourirajan, S., Sourirajan, S., and Chemist, I., Reverse osmosis-ultrafiltration
process principles. 1985: National Research Council Canada Ottawa.
7. Sulistiyorini, D. and Rahayu, L.I.N., Desalinasi Air Payau Secara Reverse Osmosis Tekanan Rendah. Laporan
Penelitian Tugas Akhir Jurusan Teknik Kimia ITB, 1999.
8. Mallevaille, J., Peter, E., and Mark, R., The Emergence of Membrane in Water and Wastewater Treatment, in
Water Treatment Membran Processes, J. Mallevialle, P. Odendaal, and M.R. Wiesner, Editors. 1996, McGraw-
Hill: New York.
9. Aptel, P. and Buckley, C.A., Categories of membrane operations, in Water Treatment Membrane Processes, J.
Mallevialle, P. Odendaal, and M.R. Wiesner, Editors. 1996, McGraw-Hill: New York.
10. Buckley, C. and Hurt, Q., Membrane Applications: A Contaminant-Based Perspective, in Water Treatment
Membran Processes, J. Mallevialle, P. Odendaal, and M.R. Wiesner, Editors. 1996, McGraw-Hill: New York.
11. Taylor, J.S. and Jacobs., E.P., Reverse Osmosis and Nanofiltration, in Water Treatment Membrane Processes,
J. Mallevialle, P. Odendall, and M.R. Wiesner, Editors. 1996, McGraw Hill: New York.
12. Anselme, C. and Jacobs., E.P., Ultrafiltration, in Water Treatment Membrane Processes., J. Mallevialle, P.
Odendall, and M.R. Wiesner, Editors. 1996, McGraw Hill: New York.
13. Schoeman, J.J. and Thompson., M.A., Electrodialysis, in Water Treatment Membran Processes, J. Mallevialle,
P. Odendaal, and M.R. Wiesner, Editors. 1996, McGraw-Hill: New York.
14. Ho, W.S.W. and Sirkar., K.K., Membrane Handbook. 1992, New York: Van Nostrand Reinhold.
15. Scott, K., Handbook of industrial membranes. 1995, UK: Elsevier Advanced Technology.
16. Saxena, S. and Bhardwaj, V. Tech Trends: Incerasing use of the membrane process.
http://www.nrwa.org/2001/publications/articles/TechTrends2nd.htm.
17. Ciardelli, G., Corsi, L., and Marcucci, M., Membrane separation for wastewater reuse in the textile industry.
Resources, Conservation and Recycling, 2000. 31: p. 189-197.
18. Mallevialle, J., Odendall, P., and Wiesner, M.R., Water Treatment Membrane Processes. 1996, New York:
McGraw Hill.
19. Cartwright, P.S., Industrial Wastewater Treatment with Membranes – A United States Perspective, in
Membrane Technology in WastewaterManagement, O.O. Hart and C.A. Buckley, Editors. 1992, Pergamon
Press: Tokyo.
20. Wong, J.M., Testing and Implementation of an Advanced Wastewater Reclamation and Recycling System in a
Major Petrochemical Plant. Water Science and Technology, 2000. 42(5-6): p. 23-27.
21. Noworyta, A., Koziol, T., and Trusek-Holownia., A., A System for Cleaning Condensates Containing
Ammonium Nitrate by The Reverse Osmosis Method. Desalination, 2003. 156: p. 397-402.
22. Stephenson, T., Judd, S.J., Jefferson, B., and Brindle., K., Membrane Bioreactors for Wastewater Treatment.
2000: IWA Publishing Company.
23. Adham, S. and Gagiiardo., P., Membrane Bioreactors for Water Repurification – Phase I. 1998: Desalination
Research and Development Program Report No. 34. U.S. Department of The Interior.
24. Gander, M., Jefferson, B., and Judd., S., Membrane Bioreactors for Domestic Wastewater Treatment: A Review
With Cost Considerations. Separation and Purification Technology, 2000. 18: p. 119-130.
25. Manem, J., Trouve, E., Beaubien, A., Huyard, A., and Urbain., V. Membrane Bioreactor for Urban and
Industrial Wastewater Treatment: Recent Advances. in 66th Annual Conference. Anaheim. Calif. 1993.
26. Krauth, K.H. and Staab, K.F., Pressurized Biomembrane Reactor for Wastewater Treatment. Hydrotop, 1994.
94: p. 555-562.
27. Knoblock, M.D., Sutton, P.M., Mishra, P.N., Gupta, K., and A.Janson., Membrane Biological Reactor System
for Treatment of Oily Wastewaters. Water Environment Research, 1994. 66: p. 133-139.
28. Kayawake, E., Narukami, Y., and Yamagata, M., Anaerobic digestion by a ceramic membrane enclosed
reactor. Journal of Fermentation and Bioengineering, 1991. 71: p. 122-125.
29. Li, A., Kothari, D., and Corrado, J.J. Application of membrane anaerobic reactor system for the treatment of
industrial wastewaters. in the 39th Purdue Industrial Waste Conference. 1985. Lafayette.
30. Cadi, Z., Huyard, A., Manem, J., and Moletta, R., Anaerobic digestion of a synthetic wastewater containing
starch by a membrane reactor. Environmental Technology, 1994. 15: p. 1029-1039.
31. Metcalf & Eddy, I., Wastewater Engineering: Treatment, disposal, and reuse Vol. 3rd ed. 1991: Metcalf &
Eddy, Inc.
32. Tijhuis, L., Loosdrecht, M.C.M.v., and Heijnen, J.J., Formation and growth of heterotrophic aerobic biofilms
on small suspended particles in airlift reactor. Biotechnology and Bioengineering, 1994. 44: p. 595-608.

19
33. Debus, O., Baumgaertl, H., and Sekoulov, I., Influence of fluid velocities on the degradation of volatile
aromatic compounds in membrane bound biofilms. Water Science and Technology, 1994. 29(10-11): p. 253-
262.
34. Casey, E., Glennon, B., and Hamer, G., Review of Membrane Aerated Biofilm Reactors. Resources,
Conservation and Recycling, 1999. 27: p. 203-215.
35. Timberlake, D.L., Strand, S.E., and Williamson, K.J., Combined Aerobic Heterotrophic Oxidation,
Nitrification And Denitrification In A Permeable Support Biofilm. Water Research, 1988. 22: p. 1513-1517.
36. Osa, J.J., Eguia, E., Vidart, T., Jacome, A., Lorda, I., Amieva, J., and Tejero, I., Wastewater Treatment With
Biofilm Membrane Reactors, in International Conference in Advanced Wastewater Treatment Processes. 1997:
UK. p. 11-17.
37. Yamagiwa, K., Ohkawa, A., and Hirasa, O., Simultaneous Organic Carbon Removal and Nitrification by
Biofilm Formed on Oxygen Enrichment Culture. Journal of Chemical Engineering of Japan, 1994. 27: p. 638-
643.
38. Hirasa, O., Ichijo, H., and Yamauchi, A., Preparation of a New Support for Immobilisation of Activated Sludge.
Journal of Fermentation and Bioengineering, 1991. 71: p. 376-378.
39. Kniebusch, M.M., Wilderer, P.A., and Behling, R.D., Immobilisation of Cells on Gas Permeable Membranes,
in Physiology of Immobilised Cells. 1990, Elsevier Science: Amsterdam, The Netherlands.
40. Suzuki, Y., Miyahara, S., and Tokeishi, K., Oxygen supply method using gas permeable film for wastewater
treatment. Water Science and Technology, 1993. 28(7): p. 243-250.
41. Brindle, K., Stephenson, T., and Semmens, M.J., Nitrification and oxygen utilisation in a membrane aeration
bioreactor. . Journal of Membrane Science, 1998. 144: p. 197-209.
42. Brindle, K., Stephenson, T., and Semmens, M.J., Pilot Plant Treatment of a High Strength Brewery
Wastewater Using a Membrane Aeration Bioreactor. Water Environment Research, 1999. 71: p. 1197-1204.
43. Lederberg, J., Alexander, M., Hopwood, D.A., Iglewski, B.H., and Laskin., A.I., Encyclopedia of
Microbiology. Vol. 2 D-L. 1992, Toronto: Academic Press, Inc.
44. metltd. http://www.metltd.demon.co.uk/emb.htm
45. Lederberg, J., Alexander, M., Hopwood, D.A., Iglewski, B.H., and Laskin, A.I., Encyclopedia of Microbiology
Vol. 2 A-C. 1992, Toronto Academic Press, Inc.
46. Anonymous. A Novel Membrane Bioreactor for By-Product Recovery.
http://www.cheresources.com/memreactor.shtml
47. Livingston, A.G., Arcangeli, J.P., Boam, A.T., Zhang, S., Marangon, M., and Santos, L.M.F.d., Extractive
Membrane Bioreactors for Detoxification of Chemical Industry Wastes: Process Development. Desalination,
1998. 149: p. 211-215.
48. Fane, A.G. and Parameshwaran, K. Alternative MBR Concepts. in Seminar on Membrane Bioreactors and
Hybrid Systems. 2001. UTS. Sydney. Australia.
49. Livingston, A.G., Brookes, P.R., and Santos, L.M.F.d., Removal and Destruction of Priority Pollutants from
Chemical Industry Wastewaters Using An Innovative Membrane Bioreactor. IchemE Symposium Series, 1993.
132: p. 131-136.
50. Livingston, A.G., Boam, A.T., Zhang, S.F., and Arcangeli, J.P. Extractive Membrane Bioreactor for
Detoxifying Aqueous Wastes from The Chemicals Industry.
http://www.che.utoledo.edu/nams98/scripts/viewpap.cfm?ID=212.
51. Freitas dos Santos, L.M. and Livingston, A.G. Extraction and Biodegradation of Toxic Volatile Organic
Compound (1,2-Dichloroethane) from Waste-Water in A Membrane Bioreactor. .
http://link.springerny.com/link/service/journals/00253/bibs/ 4042002/40420421.htm.
52. Peys, K., Diels, L., R.Leysen, and Vandecasteele, C., Development of a membrane biofilm reactor for the
degradation of chlorinated aromatics. Water Science and Technology, 1997. 36(1): p. 205-214.
53. Katsivela, E., Bonse, D., Krüger, A., Strömpl, C., Livingston, A., and Wittich., R.M., An Extractive Membrane
Biofilm Reactor for Degradation of 1,3-Dichloropropene in Industrial Waste Water. Applied Microbiology and
Biotechnology, 1999. 52: p. 853-862.
54. Buenrostro-Zagal, J.F., Ramirez-Olive, A., Caffarel-Mėndez, S., Schettino-Bermúdez, B., and Poggi-Varaldo,
H.M., Treatment of a 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) Contaminated Wastewater in A Membrane
Bioreactor. Water Science and Technology, 2000. 42(5-6): p. 185-192.
55. Wolf, G., Degradation of 1,2 dichloroethane and 3-chloro-4methylaniline Using An Extractive Membrane
Bioreactor., in Cost Action 624 – Optimal Management of Wastewater Systems. WG4 meeting on
“Biodegradation of toxic and biorefractory compounds and their impact on wastewater treatment plants".
2001: Roma.
56. Lee, J.-M. and Jahng, D. TCE Degradation in An Extractive Membrane Bioreactor.
http://my.netian.com/~jun91/ paper/2.htm.
57. Liu, W., Howell, J.A., Arnott, T.C., and Scott., J.A., A Novel Extractive Membrane Bioreactor for Treating
Biorefractory Organic Pollutants in The Presence of High Concentrations of Inorganics: Application to a

20
Synthetic Acidic Effluent Containing High Concentrations of Chlorophenol and Salt. . Journal of Membrane
Science, 2001. 181: p. 127-140.
58. Ballinger, S. A Novel Membrane Bioreactor for By-Product Recovery.
http://www.cheresources.com/memreactor.shtml
59. Pampel, L.W.H. and Livingston., A.G., Anaerobic Dechlorination Of Prechloroethene In An Extractive
Membrane Bioreactor. 1998. 50(3): p. 303-308.
60. Emanuelsson, E.A.C. and Livingston, A.G., Study of Membrane Attached Biofilm Performance with Nitrate as
Electron Acceptor. Desalination, 2002. 149: p. 211-215.
61. Diels, L., Roy, S.V., M.Mergeay, Doyen, W., Taghavi, S., and Leysen., R. Immobilisation of Bacteria in
Composite Membranes and Development of Tubular Membrane Reactors for Heavy Metal Recuperation. in 3rd
Intnl. Conf. Effective Membrane Processes. 1993.
62. Goswani, D.Y.e.a. Solar Photocatalytic Treatment of Groundwater At Tyndall AFB, Field Test Results. in
ASES Annual Conference. 1993.
63. Goswani, D.Y.e.a., Photocatalytic System to Destroy Bioaerosols in Air, in Recent developments in
photocatalytic detoxification and disinfection of water and air., D.Y. Goswami, Editor. 1998.
64. Anheden, M., et al. Photocatalytic Treatment of Wastewater From 5-Fluorouracil Manufacturing. Solar
engineering in 1995 ASME International Solar Energy Conference. 1995.
65. Zaidi, A.H.e.a. Solar photocatalytic Post-Treatment of Anaerobically Digested Distilerry Effluent. in Solar’95.
proceedings of the ASES Annual Conference. 1993. Minneapolis.
66. Anonymous. Photocatalytic membranes for producing ultrapure water.
www.oit.doe.gov/chemicals/factsheet/photocatalytic.pdf.
67. Anonim. Hybrid photocatalytic membrane reactor. http://www.membrane.unsw.edu.au/research/.
68. Spiegel, E.F., Thompson, P.M., Helden, D.J., Doan, H.V., Gaspar, D.J., and Zanapalidou, H., Investigation of
an Electrodeionization System for the Removal of Low Concentrations of Ammonium Ions. Desalination, 1998.
123: p. 85-92.
69. Cholik, F., Azwar, Z.I., and Sutarmat, T. Bertambak Udang yang Sehat. in Prosiding Seminar Teknologi
Perikanan Perikanan Pantai. 1998. Bali.
70. Suryati, E., Muliani, and Parenrengi, A. Analisis serta pemanfaatan bioaktif bunga karang Halichondria sp.
yang aktif menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio sp. pada udang. in Simposium Perikanan Indonesia II.
1997. Ujung Pandang.
71. Supriyadi, H., Taufik, P., and Rukyani, A. Pengelolaan lingkungan budidaya dan kesehatan udang galah
(Macrobrachium rosenbergii De Man). in Workshop Hasil Penelitian Budidaya Udang Galah. 2001. Jakarta.
72. Poernomo, A., Pembuatan Tambak Udang di Indonesia. Departemen Pertanian – Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 1988, Maros: Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai.
73. Dharmadi and Ismail, A. Tinjauan beberapa faktor penyebab kegagalan usaha budidaya udang tambak. in
Simposium Perikanan Indonesia I. 1993. Jakarta.
74. Edwards, D., Donn, A., and Meadowcroft, C., Membrane Solution to A "Signifcant Risk" Cryptosporidium
Groundwater Source. Desalination, 2001. 137: p. 193-198.
75. Majewska-Nowak, K., Kabsch-Korbutowicz, M., Dodz, M., and Winnicki, T., The Influence of Organic
Carbon Concentration on Atrazine Removal by UF Membranes. Desalination, 2002. 147: p. 117-122.
76. Otaki, M., Yano, K., and Ohgaki, S., Virus Removal in a Membrane Separation Process. Water Science and
Technology, 1998. 37(10): p. 107-116.
77. Amicon, I., Product Bulletin 57TT30, in Ultrafiltration Handbook, M. Cheryan, Editor. 1977, Technomic
Publishing Co., Inc.
78. Van Hoof, S.C.J.M., Hashim, A., and Kordes, A.J., The effect of ultrafiltration as pretreatment to reverse
osmosis in wastewater reuse and seawater desalination applications. Desalination, 1999. 124: p. 231-242.
79. Wenten, I.G., Taylour, J., Skou, F., Rasmussen, A., and Jonsson, G. Membrane cleaning after beer
clarification. in Fouling and Cleaning in Food Processing, European Commission. 1996. Jesus College,
Cambridge.
80. Michaels, A.S., Membranes, Membrane Processes, and their Applications: Needs, Unsolved Problems, and
Challenges of the 1990’s Desalination, 1990. 77: p. 5-34.
81. Fane, A.G. and Fell, C.J.D., A review of fouling and fouling control in ultrafiltration. Desalination, 1987. 62: p.
117-136.
82. Matthiasson, E. and Sivik, B., Concentration polarization and fouling. Desalination, 1980. 35: p. 59-103.
83. Wenten, I., Koenhen, D., Roesink, H., Rasmussen, A., and Jonsson, G., The Backshock Process: A novel
backflush technique in microfiltration. Proceedings of Engineering of Membrane Processes, II Environmental
Applications, Ciocco, Italy, 1994.
84. Wenten, I.G., Mechanisms and control of fouling in crossflow microfiltration. Filtration & separation, 1995.
32(3): p. 252-253.

21
85. Jonsson, G. and Wenten, I.G. Control of concentration polarization, fouling and protein transmission of
microfiltration processes within the agro-based industry. in Proceedings of the ASEAN-EC Workshop on
Membrane Technology in Agro-Based Industry, Kuala-Lumpur, Malaysia. 1994.
86. Wenten, I.G., Application of crossflow membrane filtration for processing industrial suspensions. 1994, The
Technical University of Denmark.
87. Wenten, G., Koenhen, D.M., Roesink, H.D.W., Rasmussen, A., and Jonsson, G. Method for the removal of
components causing turbidity, from a fluid, by means of microfiltration. US Patent No. US5560828 A. 1996
88. Wenten, I.G. and Jonsson, G.E. Fouling studies during membrane filtration of single-cell protein suspension. in
International Congress on Membranes and Membrane Processes. 1996.
89. Chen, V., Fane, A.G., Madaeni, S., and Wenten, I.G., Particle deposition during membrane filtration of
colloids: transition between concentration polarization and cake formation. Journal of Membrane Science,
1997. 125(1): p. 109-122.

22

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai