Anda di halaman 1dari 11

Bisnis Lukisan Komang Adi yang Mendunia

Ilustrasi : lukisan realistis ala Singa Narnia di China


Jiwa seni yang dimiliki Komang Adi mendorongnya untuk menghasilkan karya lukis. Meski pada awalnya
seni lukis kurang diminati, kini lukisan di galerinya bisa dihargai mahal. Lukisan yang dipasarkan di
Komang Adi Galerry pun sudah dikirim ke berbagai negara, seperti Australia, Amerika, Jerman dan Paris.

Ilustrasi
Komang Adi sudah hobi melukis sejak masih anak-anak. Makanya begitu tamat Sekolah Menengah
Pertama (SMP), ia memilih melanjutkan ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Batu Bulan, Sukawati.

Tamat sekolah tahun 1997, Komang pun langsung menekuni dunia lukis sebagai ladang
usahanya.Namun, kala itu, peminat lukisan belum banyak. Harganya juga belum terlalu tinggi. Komang
pun mengawali usahanya dengan menjual aneka pigura lukisan maupun foto. "Dulu saya mulai dengan
modal Rp 15 juta dan mulai dari menjual pigura karena itu yang lebih berkembang saat itu," ujar Komang
seperti dilansir Kontan.co.id.

Kala itu, ia belum memiliki karyawan. Seorang diri ia mulai memasarkan pigura dan mengenalkan
usahanya kepada para pelanggan. Sambil mengembangkan usaha pigura, Komang tetap melatih
kemampuan melukisnya dan mengamati pasar lukisan.

Ilustrasi lukisan realistis 4 dimensi di pameran di Prov.Jilin, China

Ketika usaha piguranya sudah cukup berkembang, tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 2000, Komang
mulai memberanikan diri memasarkan karya lukisannya.

Berawal dari menjual satu dua lukisan, usaha Komang terus berkembang hingga ia memiliki galeri sendiri.
Awalnya, peminat lukisan Komang masih pasar domestik. Kian lama permintaan semakin banyak. Bisnis
lukisannya pun makin berkembang. "Dulu, satu lukisan saya ada yang dihargai sampai Rp 17 juta," jelas
Pria kelahiran Sukawati, 10 Maret 1977 ini.

Lantaran permintaan terus meningkat, lama-lama Komang tak sanggup lagi melayaninya sendirian. Ia pun
mulai merekrut sejumlah pelukis untuk menjadi karyawannya.

ilustrasi

Setelah belasan tahun mengembangkan usaha, kini Komang telah memiliki 34 pelukis yang bekerja
untuknya. "Empat pelukis tinggal di sini, yang lainnya bawa bahan dan melukis di rumah masing-masing,"
ujar nya. Seluruh lukisan itu dipamerkan di galeri Komang seluas 1.000 meter persegi.

Dalam sebulan, ia bisa menjual 300 lukisan ke pasar domestik. Selain untuk pasar mancanegara ia juga
rutin mengirim sekitar 300 lukisan setiap tiga bulan sekali. "Saya kirim ke berbagai negara," ujarnya. Di
antaranya ke Australia Amerika, Jerman dan Paris.

Di Indonesia sendiri, peminat lukisan Komang datang dari berbagai kota, seperti Jakarta dan Bandung.
Selain pembeli perorangan, konsumennya juga banyak dari instansi pemerintah, perusahaan swasta dan
hotel. "Pernah membuat lukisan untuk Kejari (Kejaksaan Negeri) Denpasar, Kejari Karang Asam, hotel-
hotel di Bandung dan sebagainya," ujar Komang.

Lukisan di galeri Komang dihargai mulai Rp 50.000 - Rp 45 juta untuk ukuran sangat besar. Dari usahanya
ini, Komang mengaku memperoleh omzet Rp 175 juta per bulan.

Banyak bisnis sukses dimulai dari kecil. Itu yang terjadi dengan Komang Adi Gallery milik Komang Adi. Ia
memulai usahanya dari berjualan pigura. Tiga tahun kemudian Komang menjual lukisan yang ia buat
sendiri. Lukisan pengagum pelukis terkenal Antonio Blanco ini banyak terinsipirasi dari hidup keseharian
masyarakat Bali dan sekitarnya.

Komang sering berkeliling mengamati dan memotret keseharian masyarakat Bali. Sesampainya di galeri,
ia akan memilih foto-foto hasil jepretannya yang paling bagus untuk di cetak. Setelah itu, Komang Adi akan
mengambil kuas dan menerjemahkan foto tersebut di atas kanvas.
Tak sekadar mengambil foto-foto masyarakat sekitar, Komang Adi juga kerap kali mencari inspirasi di alam
terbuka. "Kadang-kadang saya bengong di sawah untuk mencari inspirasi lukisan," tutur pria yang gemar
melukis aliran realis ini.

Ternyata, banyak orang menyukai hasil lukisannya. Bukan hanya orang lokal, seiring dengan berjalannya
waktu, banyak orang asing yang kebetulan melancong di Pulau Dewata mampir ke galerinya. "Sampai
akhirnya mereka minta lukisan saya di kirimkan ke negara mereka secara rutin," ungkap Komang.

Melihat peluang pasar, Komang mencari strategi untuk menggaet lebih banyak turis datang ke galerinya.
Caranya, Komang bekerja sama dengan para tour guide dan agen perjalanan untuk mengajak turis
berkunjung ke galerinya.

Ilustrasi : dengan teknik bayangan hidung Pinokio seakan keluar dari frame lukisan dan pengunjung dapat
berinteraksi secara aktif dseakan bagian dari lukisan tersebut
Sebagai imbalannya, Komang akan memberikan komisi kepada setiap tour guide atau agen perjalanan
yang berhasil membawa turis ke galeri dan membeli lukisannya. Besar komisi yang diberikan oleh
Komang dihitung berdasarkan harga lukisan yang terbeli. Besarnya tergantung nilai lukisan yang dibeli.

Taktik ini cukup jitu membuat pengunjung bertambah. Nama Komang Adi Gallery pun kian dikenal.
Pesanan lukisan semakin mengalir deras sejak Komang membuat website sehingga pembeli bisa
melakukan pesanan secara online ataupun lewat telepon.

Ilustrasi
Komang pun akhirnya harus merekrut pelukis baru. Komang mempekerjakan pelukis yang sudah lulus dari
sekolah seni rupa ataupun orang yang gemar melukis. "Tetapi mereka akan tetap saya ajarkan dulu
sampai bisa bekerja sendiri," terang Komang yang memiliki 34 pelukis ini.

Ilustrasi
Para perajin tersebut mengambil bahan dari galeri Komang. Lalu mereka membuat lukisan sesuai dengan
permintaan Komang. Pengerjaannya sendiri bisa dilakukan di rumah masing-masing.

Kini, Komang tak perlu lagi mempromosikan lukisan lewat pameran ataupun lainnya. Ia tak lagi menjemput
bola melainkan pelanggan yang datang sendiri untuk memesan lukisan. (as)
Profil Pengusaha Laksmiwati Etty

Seorang ibu rumah tangga telah sukses membuka peluang bisnis. Berkat kemampu seni
menghantarkan ibu rumah tangga satu ini sukses berkat Alia Kraft Glass Painting. Melalui media
kaca meraup jutaan rupiah dari bisnis gelas lukis. Dari hobi membuat souvenir kemudian melukis
gelas kaca meraup sukses.

Warga Sidoarjo, Jawa Timur, baru mendalami sebagai bisnis pada 2009. Melalui bisnis sederahan
tersebut, Laksmiwati Etty sudah mampu mengantongi omzet Rp.20 juta. Dimana perlu kamu tau
prospek margin untung telah mencapai 50% nya.

Namun tentu hal tersulit dalam hal ini menyangkut cita rasa. Sisi lain adalah bagaiman kita
memasarkan ke masyarakat. Aneka media kaca bisa digunakan. Jika Laksmi menggunakan media
gelas minum. Kamu bisa mencoba dari botol minuman ataupun gelas lain.

Masalah lain ialah menyangkut penjiplakan desain. Untuk pemasaran, melalui sosial media,
memang lebih bisa mengena di hati masyarakat kita. Bahan digunakan tergolong barang bekas.
Cuma dibutuhkan jiwa seni yang memang tidak semua orang memiliki. Inovasi aneka media
gelas dilakukan agar pasarnya tidak bosan.

Sukses unik

Laksmi memiliki empat orang karyawan membuat lukisan diatas kaca. Tidak cuma gelas tetapi
vas bunga, guci, toples kaca, lampu, tempat permen, piring kaligrafi, serta benda lain yang kaca.
Tetapi memang paling laris menurutnya ialah gelas kaca. Gelas bukan buat minum, tetapi buat
dipajang.

"Kecuali toples kaca buat tempat kue," tuturnya. Untuk gelas yang panjang Laksmi mampu
menghasilkan 50 buah per- hari. Kalau vas bunga atau kuci besar baru mampu menghasilkan
satu buah per- hari.
Soal harga bervariasi dari tingkat kesulitan serta ukuran. Kalau buat souvenir pernikahan Laksmi
menjual antara Rp.15 ribu sampai Rp.25 ribu per- buah. Kalau yang besar- besar seperti lampu,
guci, dan lainnya dijual Rp.100 ribu sampai sejuta.

Soal bahan baku, Laksmi sudah memiliki sumber sendiri yakni diambil di kawasan Kedawung,
Jawa Barat. Kalau produknya kelas premium maka tidak segan dia mencari sendiri. Dia rela
berkeliling suatu tempat hanaya buat mendapatkan gelas unik. Laksmi ketika berkunjung ke
suatu kota, maka tidaklah lupa mencari gelas.

Biasanya khusus untuk gelas panjang, vas bunga, ataupun guci juga dicari khusus. Sedangkan
untuk gelas- gelas kecil cukup dipesan saja ke pengepul.

Laksmiwati sendiri adalah seorang trainer. Selain berbisnis sendiri aktif mengajarkan aneka
kerajinan tangan. Dia juga seorang penulis loh. Contoh buku pernah ditulis olehnya, antara lain
Kreasi Bunga dari Biji, Glass Painting, Modern Patchwork, Kriya Kertas Semen, Art Painting, dan
Gift BoBox.

Trainer kerajinan

Laksmi disibukan hari- harinya dengan mengajar. Selain berbisnis gelas lukis dia sibuk
mengajarkan kepada siapapun yang tertarik akan kerajinan tangan. Sudah puluhan buku
diterbitkan oleh wanita asli Surabaya ini. Ia pernah melatih ke Malaysia. Ibu 58 tahun ini
memang lihai menggerakan jari- jarinya horizontal- vertikal.

Ia sibuk mengajari para calon wirausaha. Terutama mereka yang tertarik akan kesenian melukis
gelas. Ia memastikan setiap selesai pasti akan ada wirausaha baru. "Setelah ini (pelatihan)
selesai, saya pastikan dari mereka ada yang benar- benar menggeluti usaha ini," tuturnya.

Dua pekan pelatihan buat 30 orang. Laksmi memilih 10 orang terbaik dari pemantauan dan
pendampingan proses seminar. Ia memang dikenal suka berkeliling mengajarkan ilmunya. Semua
permintaan dari berbagai kota dipenuhi. Sambil mengajar dia mulai menulis buku kembali. Buku
ke 11 yang masih tentang kerajinan tangan.

Tahap pelatihan sudah diperhitungkan. Mulai proses paling bawah sederhana dulu. Kalau urutan
sebenarnya sih apa diajarkan Laksmi tidak berurutan. Ia mencoba menghitung kemampuan
peserta saja. Tidak adanya kesulitan berarti menunjukan keahlian Laksmi.

Memang dibutuhkan pengulangan terus menerus. Tujuannya agar semakin cekatan nempel
bagaimana cara melukis garis. Tiga tahun sudah ia mengajari banyak orang melukis gelas
terutama di Jawa Timur.

Tidak cuma gelas lukis loh, ia juga memiliki keahlian kerajinan tangan lain, ahli lukis kain,
kemasan kraton, daur ulang barang bekas, hantaran pernikahan, dan membuat bros. Pasar gelas
lukis dianggap Laksmi masih luas. "Gelas lukis masih jarang," imbuhnya. Kalau dilihat cantik,
apalagi kalau kena cahaya bisa memancar.

"Orang beli kebanyakan untuk hiasan atau souvenir," imbuh Laksmi. Bisa dibilang untuk seniman
gelas lukis masih jarang di Indonesia. Ia menyebut empat orang terkenal. Sisanya merupakan
produk impor dari Italia, Republik Ceko, dan Turki.

Dia menyebut kalau mau memulai mulailah yang mudah. Jangan langsung melukis gelas dengan
motif batik. Memang motif batik akan susah apalagi medianya gelas. Buat mempertegas warna
disarankan gunakanlah warga emas. Dilanjutkan dengan teknik menggunakan warna biasa.
Warna gunakan sesuai selera kemudian keringkan.

Keringkan dibawah sinar matahari. Lama pengerjaan antara enam jam dapat 10 gelas. Kalau
media gelasnya besar bisa sampai seminggu.
Bikin Lukisan dari Pita Kaset, Pria Ini Raup
Omzet Rp 10 Juta/Bulan Muhammad fitri
mawardi

Jakarta - Membuahkan rupiah dari hasil karyanya sendiri tentu menjadi


kebanggaan tersendiri bagi Muhammad Fitri Mawardi, mahasiswa Universitas
Negeri Semarang (Unnes). Mahasiswa yang kini duduk di semester 5 jurusan Seni
Rupa melakoni bisnis yang senada dengan jurusan kuliahnya.

Berawal dari keisengannya memanfaatkan pita kaset bekas di kamar kosnya,


Mawardi begitu ia akrab dipanggil mampu menarik mata ratusan bahkan ribuan
orang atas karya seninya di atas kertas. Melukis dengan pita kaset dilakukan
Mawardi pertama kali di 2014 saat baru masuk ke bangku kuliah.

Terlebih lagi saat itu ada kaset di kamarnya yang tak lagi bisa melantunkan lagu
untuk mengisi ruang kamarnya.

"Waktu itu lagi di kosan, enggak sengaja iseng ada kaset rusak. Terus ingin coba
hal baru, pertama bikin sketsa dulu," ujar Mawardi saat berbincang
dengan detikFinance, Jakarta, Jumat (14/7/2017).

Lukisan pita kaset Foto: Dok. Pribadi

Beberapa lukisan pita kasetnya yang dinamakan Kaset Koesoet pun diunggah ke
media sosial Instagram miliknya. Tak lama berselang masuk banyak respons
positif dari pengguna instagram yang berkunjung ke profilnya mawardi_95.

Membuat lukisan pita kaset, kata Mawardi, hampir tak ada bedanya dengan
membuat gambar atau lukisan pada umumnya. Tetap dibutuhkan goresan sketsa
untuk membentuk wajah tokoh atau seseorang yang selanjutnya dihiasi dengan
tempelan pita kaset di atas gambar.

"Kalau udah bisa sketsa nanti bisa rasanya muncul sendiri," ujar Mawardi.
Dalam mengerjakan pesanan lukisan pita kaset, Mawardi menggunakan jenis
kertas concord, alasannya sederhana karena daya serap kertas ini dinilai cocok
untuk menyatukan pita kaset dengan lem.
Mawardi mendapatkan material kaset bekas dari kota asalnya, Cirebon, Jawa
Barat. Kaset-kaset bekas tersebut dipesan dan kemudian digunakan untuk
'mewarnai' lukisannya.

Pemesan yang menjadi pelanggan setia Mawardi pun datang dari berbagai daerah,
ia menyebut hampir semua wilayah di Indonesia pernah memesan lukisan pita
kaset buatannya.

Bahkan sempat orang dari Kuala Lumpur, Malaysia berminat membeli lukisan pita
kaset buatan Mawardi. Namun, karena saat itu ia bingung mengirimkannya,
pesanan tak jadi diantar.

"Waktu pertama buat John Lennon ada orang Kuala Lumpur kontak saya lewat IG
cuma saya bingung cara kirimnya gimana," kata Mawardi.

Lukisan pita kaset buatan Mawardi dipatok mulai dari Rp 350.000 sampai Rp 1,5
juta per buah. Besaran harga tersebut tergantung dari besarnya lukisan yang
dipesan.

Misalnya saja untuk pesanan lukisan pita kaset dengan ukuran kertas A3 dipatok
Rp 350.000 untuk gambar tokoh, penyanyi, pahlawan, dan orang terkenal lainnya.
Sedangkan untuk custom dengan ukuran yang sama dihargai Rp 400.000 sampai
Rp 450.000 per buah.

Pesanan dengan ukuran A3 menjadi paling banyak diminati, meski Mawardi


sempat melayani pesanan lukisan tokoh dengan ukuran kertas A1 dengan harga
Rp 1,5 juta.

"Tokoh terserah mau ukuran berapa. Rp 350.000 sampai Rp 1,5 juta untuk yang
A1. Kerumitan kita pembuatannya lama," tutur Mawardi.

Mawardi umumnya membatasi pesanan lukisan pita kaset yang datang kepadanya
sekitar 15-20 lukisan. Alasannya sederhana, karena ia tak ingin tujuan belajarnya
di Semarang teralihkan karena bisnis yang tengah ia rintis.

Mawardi menjanjikan lamanya pesanan dikerjakan dalam waktu 2 minggu kepada


pelanggannya. Padahal, ia hanya membutuhkan waktu semalaman jika fokus
untuk menyelesaikan pesanan.

"Saya kasih waktunya dua minggu walaupun prosesnya enggak selama itu soalnya
ini kan sambil disambi kuliah. Sehari juga jadi mungkin biasanya saya sering
buatnya malam, paginya selesai," jelas Mawardi.
Lewat Bisnis Kaligrafi, Perempuan Ini Tembus Pasar Dunia

Bisnis kaligrafi Mazidah Kurniati yang telah menembus pasar mancanegara [Suara.com/Dian Kusumo Hapsari]

Berawal dari kegemarannya pada seni kaligrafi, Mazidah Kurniati mampu memperkenalkan hasil
karyanya di pasar Internasional

Berawal dari kegemarannya pada dunia seni terutama seni kaligrafi, Mazidah
Kurniati wanita asal Magelang ini mampu memperkenalkan hasil karyanya di
pasar Internasional. Dalam merintis karirnya dalam bisnis Industri Kecil
Menengah (IKM), Mazidah tidak menyangka bahwa produknya kini sudah
mejeng dibeberapa negara seperti Malaysia, Vietnam dan Filipina.

“Alhamdulilah sekarang sudah bisa ekspor ke beberapa negara. Saya juga


nggak nyangka kalau sekarang bisa ekspor. Karena saya mengawali bisnis ini
iseng aja, karena saya suka sama melukis atau buat kerajinan tangan, eh
sekarang malah jadi sumber pendapatan saya,” kata Mazidah saat berbincang
dengan suara.com Selasa (22/12/2015).
Perempuan yang lebih akrab dipanggil Mazidah ini bercerita, saat mengawali
kariernya dalam bisnis seni kaligrafi, mantan karyawan bank swasta ini mulai
memproduksi seni lukis kaligrafinya menggunakan kanvas seperti pada seni
lukis lainnya. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, ia mulai berpikir untuk
membuat sebuah inovasi yang lebih menarik agar produknya mempunyai ciri
khas dibandingkan dengan seni kaliigrafi lainnya.

Kemudian, ia mencoba mengaplikasikan seni kaligrafi dengan menggunakan


dasar kayu namun dibentuk sebagai pajangan yang bisa diletakkan di meja
ruang tamu atau untuk mendekorasi rumah.

“Biasanya kaligrafi kan dilukis terus setelah itu dibingkai. Nah saya mikir-mikir
lagi, kok kayaknya biasa aja, kurang menarik. Terus saya terinspirasi sama
kayak hiasan di meja-meja gitu. Nah saya mulai coba buat seperti itu pakai
bahan kayu. Nah yang beda, biasanya kalau pakai kayu kan warnanya kayu
dipernis biasa, nah kita kasih warna yang bergambar lebih glamour agar nggak
monoton aja,” ungkapnya.

Awalnya, kata Mazidah, bukan hal yang mudah untuk memasakan produk seni
kaligrafi ini, pasalnya pasar seni kaligrafi sudah membludak di Indonesia.
Namun, ia terus berusaha memasarkan produknya tersebut kepada orang-orang
terdekatnya, terutama kepada teman-teman sekantornya dulu.

“Kalau dibilang susah ya susah mba. Kan pengusaha kaligrafi sudah banyak,
makanya kita bikin inovasi yang beda dengan pengusaha lainnya. Saya jual ke
teman sekantor saya, terus ke bos-bos di kantor saya waktu itu. Ternyata
mereka suka, saya terus promosikan itu,” ungkapnya.

Ia juga mengaku, saat menjalankan bisnisnya pernah kehabisan modal lantaran


harga bahan-bahan untuk memproduksi hasil kerajinan tangannya tersebut
mengalami kenaikan. Ia bahkan hingga rela mengambil utang lewat bank agar
bisnisnya tidak pupus begitu saja.

“Awalnya saya cuma punya modal Rp5 juta. Tapi kan satu bulan pertama ni
belum balik modal, masih merugi terus. Ditambah lagi harga-harga pada naik
waktu akhir 2014 lalu karena BBM naik, itu semua jadi naik, mulai harga kayu
terus micanya. Pusing lah saya itu. Saya beranikan diri buat ngutang dululah ke
bank waktu itu, kalau nggak nanti bisnis saya mati dong kalau nggak ambil
keputusan,” katanya.

Namun, usaha dan kegigihannya dalam menjalankan bisnis kaligrafinya tersebut


tak sia-sia, kini Mazidah sudah mampu mengekspor produknya hingga ke
beberapa negara seperti Malaysia, Vietnam dan Filipina. Ia pun kini mampu
mengantongi omzet Rp70 juta per bulan.

“Alhamdulilah sekarang saya juga udah punya pegawai 5 orang. Kalau


pegawainya saya ambil tetangga-tetangga saya saja, itung-itung ngasih
pendapatan tambahan buat ibu rumah tangga,” ungkapnya.
Faizan sukses menekuni usaha kaligrafi pasir (1)

Kreativitas dalam seni kaligrafi sukses menghantarkan Ahmad Faizan'Z Makhadatu (38)

menjadi pengusaha kaligrafi pasir. Pria yang akrab disapa Faizan ini mulai menekuni

kerajinan seni kaligrafi pasir sejak tahun 2001.

Kreativitasnya ini muncul lantaran ingin mencoba sesuatu yang baru dalam dua seni

kaligrafi. "Awalnya saya tertantang menciptakan sesuatu yang berbeda yang tidak pernah

ada sebelumnya," kata Faizan yang bermukim di daerah Yogyakarta ini.


Atas karyanya ini, ia menyebutnya sebagai pasir bertasbih. Meskipun begitu, Faizan

mengaku bukanlah orang pertama yang membuat kaligrafi pasir.Bedanya, Faizan

menghasilkan kaligrafi pasir dengan cara melukis.“Kalau orang lain melukis pasir dengan

cetakan gambar, tapi saya melukis langsung,” katanya.

Faizan sudah memiliki keahlian melukis sejak masih kuliah di Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga, Yogyakarta di tahun 1990-an. Tak lama setelah lulus kuliah, ia pun

langsung menekuni seni kaligrafi pasir. Bagi Faizan, melukis kaligrafi pasir bukanlah

pekerjaan mudah.

Untuk satu lukisan, ia bisa menghabiskan waktu minimal satu minggu. Kendala utamanya

adalah mencari ide lukisan. “Kalau sudah ada ide mau melukis apa, memang tidak terlalu

sulit lagi,” ujarnya.

Dalam sebulan, ia bisa memproduksi lima lukisan berukuran besar. Hingga kini, ia sudah

menghasilkan lebih dari ratusan karya lukisan kaligrafi pasir yang dibanderol mulai Rp

250.000 - Rp 250 juta.

Harga lukisan, kata Faizan, ditentukan dari tingkat kesulitan dalam mencari ide,

pembuatan, dan filosofi yang terkandung dalam lukisan itu. Karya yang paling mahal itu

merupakan lukisan kaligrafi Surat Yassin dalam versi lengkap. Faizan menghabiskan waktu

satu bulan untuk mengerjakan karya seperti itu.

Dalam sebulan ia bisa mengantongi Rp 100 juta dari karya seni yang dijualnya. Dalam

menekuni usaha ini, Faizan menjadikan rumahnya di Purwomartani Kalasan, Sleman,

Yogyakarta sebagai galeri sekaligus workshop yang diberi nama Aqil Al-Akhyar Art.

Ia berencana, mulai awal tahun ini membuka sebuah galeri di Thamrin City, Jakarta. Ia

ingin membuka gerai di Jakarta karena banyak pelanggannya berasal dari wilayah ibukota.

Anda mungkin juga menyukai