Anda di halaman 1dari 19

Bagian THT Referat

Fakultas kedokteran September 2015


Universitas Halu Oleo

DELAYED SPEECH

Oleh :
Rinda Zelvianingsih
K1A1 09 037

Pembimbing :
dr. Nur Hilaliyah, M.Kes, Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS


KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015

1
DELAYED SPEECH
Rinda Zelvianingsih, Nur Hilaliyah

A. Pendahuluan(1,2,3)

Sejak dahulu, masalah perkembangan anak telah mendapat banyak

perhatian. Perkembangan ucapan serta bahasa yang dapat diperlihatkan oleh

seorang anak, merupakan petunjuk yang kelak penting untuk menentukan

kemampuan anak tersebut untuk belajar. Awal dari proses belajar bicara terjadi

pada saat lahir. Sulit dipastikan usia absolut tahapan perkembangan bicara.

Bicara (speech) merupakan sarana yang penting manusia untuk

berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya. Anak sebagai mahluk

sosial sudah bisa melakukan komunikasi sejak lahir. Tujuan utama komunikasi

adalah menyampaikan informasi secara tepat dan cepat melalui wicara, tulisan dan

gerakan isyarat. Seorang anak yang mempunyai kelainan berkomunikasi akan

mengalami kesulitan untuk mengadakan interaksi dengan lingkungannya.

Komunikasi dengan orang lain tersebut melalui bicara, dimana isi pikiran,

perasaan dan emosi dikemukakan dengan simbol verbal atau akustik.

Laki-laki diidentifikasi memiliki gangguan bicara dan bahasa hampir dua

kali lebih banyak dari pada wanita. Menurut penelitian anak dengan riwayat sosial

ekonomi yang lemah memiliki insiden gangguan bicara dan bahasa yang lebih

tinggi dari pada anak dengan riwayat sosial ekonomi menengah ke atas. Beberapa

laporan menyebutkan angka kejadian gangguan bicara dan bahasa berkisar 5 –

10% pada anak sekolah.

2
B. Definisi(1,2,3,4)

Keterlambatan bicara (delayed speech) adalah keterlambatan

perkembangan atau penggunaan mekanisme dalam menghasilkan kata-kata.

Keterlambatan bicara (delayed speech) adalah salah satu penyebab gangguan

perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak, yang merupakan keluhan

utama yang sering dicemaskan dan dikeluhkan orang tua kepada dokter.

Gangguan ini semakin hari tampak semakin meningkat pesat.

Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan

mendengar, oleh karenanya dengan memahami tahap perkembangan bicara dapat

diperkirakan adanya gangguan pendengaran. Semakin dini mendeteksi

keterlambatan bicara, maka semakin baik kemungkinan pemulihan gangguan

tersebut Bila keterlambatan bicara tersebut nonfungsional maka harus cepat

dilakukan stimulasi dan intervensi dapat dilakukan pada anak tersebut. Deteksi

dini keterlambatan bicara harus dilakukan oleh semua individu yang terlibat

dalam penanganan anak ini. Kegiatan deteksi dini ini melibatkan orang tua,

keluarga, dokter. Sehingga dalam deteksi dini tersebut harus bisa mengenali

apakah keterlambatan bicara anak kita merupakan sesuatu yang fungsional atau

yang nonfungsional. Deteksi dini perlu ditegakkan agar penyebabnya dapat segera

dicari, sehingga pengobatan serta pemulihannya dapat dilakukan seawal mungkin.

Contohnya pada seorang anak yang tuli konduktif tetapi cerdas yang terlambat

mendapat alat bantu dengar dan terapi wicara serta tidak diberikan kesempatan

mengembangkan sistem komunikasi non verbal oleh dirinya sendiri sebelum usia

3
3 tahun maka kesempatan untuk mengajarinya agar mampu berbicara yang dapat

dimengerti jelas.

C. Anatomi Pendengaran(2,5,6)

Gambar 1. Pembagian telinga (dikutip dari kepustakaan 2)

Telinga luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran

timpani. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar

serumen (modifikasi kelenjar keringat = kelenjar serumen ) dan rambut. Kelenjar

keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga.

Telinga tengah

Telinga tengah berbentuk kubus dengan :

 Batas luar : membran timpani

 Batas depan : tuba eustachius

 Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)

 Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars ventrikalis

4
 Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)

 Batas dalam : berturut-turut dari atas kebawah kanalis semi sirkularis

horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar dan

promontorium.

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus

longus maleus melekat pada membran timpani, maleeus melekat pada inkus, dan

inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang

berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran

merupakan persendian.

Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat

aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan

antrum mastoid. Tuba eustachius termaksud telinga tengah yang menghubungkan

daerah nasofaring dengan telinga tengah.

Telinga dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah

lingkaran dan vestibularyang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkular. Kanalis

semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran

yang lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas,

skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya.

Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi

endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa.

Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai

5
membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah

membran basalis.

Pada membran ini terletak organ Corti. Pada skala media terdapat bagian

yang terbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal

melekat sel rambut, sel luas dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti.

Gambar 2. Potongan frontal telinga (dikutip dari kepustakaan 2)

D. Fisiologi pendengaran(2,5,6,7)

Pusat khusus pengatur bicara di otak terletak di dalam korteks serebri.

Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan motoris. Aspek

sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba berfungsi untuk

memahami apa yang didengar, dilihat dan dirasa. Aspek motorik yaitu mengatur

6
laring, alat-alat untuk artikulasi, tindakan artikulasi dan laring yang bertanggung

jawab untuk pengeluaran suara.

Gambar 3. Fisiologi pendengaran (dikutip dari kepustakaan 2)

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke

koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan telinga

tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasi getaran

memalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas

membrane timpani dan tingkap lonjong.

Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang

menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak.

Getaran diteruskan melalui membran reissner yang mendorong endolimfa,

sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran

tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya

defleksi stereolisia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi

7
penglepasan ion permukaan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan

proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam

sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditoris, lalu

dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di

lobus temporalis.

Gangguan pendengaran (2,5,6)

Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural (sensorineural deafnes)

serta tuli campur (mixed deafness). Gangguan telinga luar dan tengah dapat

menyebabkan tuli konduktif, sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan

tuli sensorineural, yang terbagi atas tuli koklea dan tuli retrokoklea.

Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan oleh

kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah. Sumbatan tuba

eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah dan akan terdapat tuli

konduktif. Antara incus dan maleus berjalan nervus fasialis yang disebut korda

timpani. Bila terdapat radang telinga tengah atau trauma mungkin korda timpani

tenjepit, sehingga timbul gangguan pendengaran.

Pada tuli sensorineural (persepsif) kelainan terdapat pada koklea (telinga

dalam), nervus VII atau di pusat pendengaran. Di dalam telinga dalam terdapat

alat keseimbangan dan alat pendengaran. Obat-obat dapat merusak stria

vaskularis, sehingga saraf pengaran rusak, dan terjadi sensori neural dan gangguan

keseimbangan.

Tuli campur dapat merupakan satu penyakit, misalnya radang telinga

tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang

8
berlainan, misalnya tumar nervus VII (tuli saraf) dengan radang telinga tengah

(tuli konduktif).

E. Etiologi(2,4,5)

Penyebab kelainan berbahasa bermacam-macam, adapun beberapa

penyebab gangguan atau keterlambatan bicara adalah gangguan pendengaran,

kelainan organ bicara, prematur, kelainan genetik atau kromosom, retardasi

mental, autis, mutism selektif, keterlambatan fungsional, afasia reseptif dan

deprivasi lingkungan.

F. Deteksi Dini Delayed Speech(1,2,5,6,7,8)

Semakin dini kita mendeteksi kelainan atau gangguan tersebut maka

semakin baik pemulihan gangguan tersebut. Semakin cepat diketahui penyebab

gangguan bicara dan bahasa pada maka semakin cepat stimulasi dan intervensi

dapat dilakukan pada anak tersebut. Deteksi dini gangguan bicara dan bahasa ini

harus dilakukan oleh semua individu yang terlibat dalam penanganan anak ini,

mulai dari orang tua, keluarga, dokter kandungan yang merawat sejak kehamilan

dan dokter anak yang merawat anak tersebut. Adapun beberapa penyebab

gangguan atau keterlambatan bicara adalah gangguan pendengaran, kelainan

organ bicara, retardasi mental, kelainan genetik atau kromosom, autis, mutism

selektif, keterlambatan fungsional, afasia reseptif dan deprivasi lingkungan.

9
Ada beberapa tahapan perkembangan bicara yang sebaiknya diperhatikan

orangtua, dijabarkan sebagai berikut :(2)

Usia Kemampuan
Neonatus Menangis (reflex vocalization)
Mengeluarkan suara mendengkur seperti suara burung
(cooing)
Suara seperti berkumur (gurgles).
2 - 3 bulan Tertawa dan mengoceh tanpa arti ( babbling).
4 - 6 bulan Mengeluarkan suara yang merupakan kombinasi huruf
hidup (vowel) dan huruf mati (konsonan)
Suara berupa ocehan yang bermakna, seperti “pa..pa,
da..da”.
7 - 11 bulan Dapat menggabungkan kata/suku kata yang tidak
mengandung arti, terdengar seperti bahasa asing
(jargon).
Usia 10 bulan mampu meniru suara sendiri
(echolallia)
Memahami arti “tidak”, mengucapkan salam.
Mulai memberi perhatian terhadap nyanyian atau
musik.
12 -18 bulan Mampu menggabungkan kata atau kalimat pendek.

Mulai mengucapkan kata pertama yang mempunyai


arti (true speech)

Usia 12-14 bulan mengerti instruksi sederhana,


menunjukkan bagian tubuh dan nama mainannya

Usia 18 bulan mampu mengucapkan 6-8 kata.

10
Cara membedakan berbagai keterlambatan bicara

Perkiraan adanya gangguan perkembangan kemampuan bahasa dan


pendengaran pada bayi dan anak, kalau ditemukan gejala-gejala seperti berikut:(2)

Usia Kemampuan bicara


12 bulan Belom dapat mengoceh (babbling) atau meniru
bunyi
18 bulan Tidak dapat menyebutkan
24 bulan Perbendarahan kata kurang dari 10 kata
30 bulan Belom dapat merangkai 2 kata

G. Pemeriksaan Penunjang(2,5,6,7,9)

Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi dan anak harus

diketahui sedini mungkin. Walaupun derajat ketulian yang dialami sesorang/anak

hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya akan

mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa.

Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi dan anak :

1. Behavioral Observation Audiometry

Metode ini dapat mengetahui seluruh sistem auditorik termasuk pusat

kognitifyang lebih tinggi. Behavioral audiometry penting untuk mengetahui

respons subyektif sistim auditorik pada bayi dan anak. Dan juga bermanfaat untuk

penilaian habilitasi pendengaran yaitu pengukuran alat bantu dengar (hearing aid

fitting).

Pemeriksaan ini dilakukan pada ruangan yang cukup tenang (bising

lingkungan tidak lebih dari 60 dB), idealnya pada ruang kedap suara. Sebagai

sumber bunyi sederhana dapat digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastik

11
beris air, remasankertas, bel, terompet karet, mainan yang mempunyai bunyi

frekuensi tinggi. Dinilai kemampuan anak dalam memberikan respons terhadap

sumber bunyi tersebut. Pemeriksaan Behavioral Ibservation Audiometry

dibedakan menjadi : Behavioral Reflex Audiometry dan Behavioral response

audiometry.

Behavioral reflex audiometry

Respons behavioral yang dapat diamati antara lain : dapat mengejapkan

mata, melebarkan mata, mengerutkan wajah, denyut jantung meningkat, reflex

Maro (paling konsisten). Reflex auropalbebral dan Maro rentan terhadap efek

habituasi, maksudnya bila stimulus diberikan berulang-ulang bayi menjadi bosan

sehingga tidak member respon walaupun dapan mendengar. Bila kita

mengharapkan terjadinya refleksMaro dengan stimulus bunyi yang keras

sebaiknya dilakukan pada akhir prosedur bayi akan terkejut, takut dan menangis.

Behavioral Response Audiometry

Teknik Behavioral Response Audiometry yang sering digunakan adalah

tes Distraksi dan Visual Reinforcement Audiometry (VRA).

a. Tes Distraksi

Dilakukan dalam kedap suara menggunakan stimulus murni. Bayi

dipangku oleh ibunya atau pengasuh. Diperlukan 2 orang pemeriksa,

pemeriksa pertama bertugas untuk menjaga konsentrasi bayi. Pemeriksa

kedua berperan memberikan stimulus bunyi, misalnya dengan audiometer

yang berhubungan dengan pengeras suara.Respons terhadap stimulus bunyi

adalah menggerakkan bola mata atau menoleh kearah sumber bunyi.

12
b. Visual Reinforcement Audiometry

Pemeriksaan pendengaran berdasarkan respon conditioned yang

dikenal sebagai VRA. Stimulus bunyi diberikan bersamaan dengan stimulus

visual. Bayi akan memberikan respons orientasi atau melokalisir bunyi

dengan cara menoleh kearah sumber bunyi.

2. Timpanometri

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai kondisi telinga tengah.

Gambaran timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negatif di

telinga tengah) merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif.

Melalui probe tone (sumbatan liang telinga) yang dipasang pada liang telinga

dapat diketahui besarnya tekanan di liang telinga berdasarkan energi suara yang

dipantulkan kembali (kea rah luar) oleh gendang telinga. Pada orang dewasa atau

bayi berusia diatas 7 bulan digunakan probe tone frekuensi 226 Hz.

3. Audiometri Nada Murni

Dilakukan pada anak berusia lebih dari 4 tahun yang koperatif. Sebagai

sumber suara digunakan nada murni (pure tone) yaitu bunyi yang hanya terdiri 1

frekuensi. Pemeriksaan dilakukan pada ruang kedap suara, dengan menilai

hantaran suara melalui udara melalui headphone pada frekuensi 125, 250, 5000,

1000, 2000, 4000 dan 8000 Hz. Hantaran suara melalui tulang diperiksadengan

memasang bone vibrator pada prosesus mastoid yang dilakukan dengan frekuensi

500, 1000, 2000, 4000 Hz. Suara dengan intensitas terendah yang dapat didengar

dicatat pada audiogram untuk memperoleh informasi tentang jenis dan derajat

ketulian.

13
4. Otoacoustic Emission (OAE)

Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai

fungsi koklea objektif, otomatis (menggunakan kriteria pass/lulus dan refer/tidak

lulus), tidak invasif, mudah, tidak membutuhkan waktu lama dan praktis sehingga

sangat efisien untuk program skrining pendengaran bayi baru lahir.

Pemeriksaan tidak harus diruang kedap suara, cukup diruangan yang

tenang. Pada mesin OAE generasi terakhir OAE secara secara otomatis akan

dikoreksi dengan noise yang terjadi selama pemeriksaan

5. Brainstem Evoked Response Audiometri (BERA)

BERA merupakan cara mengukur evoked potential (aktifitas listrik yang

dihasilkan nervus VIII, pusat-pusat neural dan traktus di dalam batang otak)

sebagai respons terhadap stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang digunakan

berupa bunyi click atau toneburst yang diberikanmelalui headphone, insert probe,

bone vibrator. Untuk memperoleh stimulus yang paling efisien sebaiknya

digunakan insert probe. Stimulus click merupakan impuls listrik dengan onset

cepat dan durasi yang sangat singkat (0,1 ms), menghasilkan respon pada average

frequency antara 2000-4000 Hz.

H. Penatalaksanaan(2,4,8,9)

Setelah diketahui anak menderita ketulian upaya habilitasi pendengaran

harus dilaksanakn sedini mungkin, American Joint Committee on Infant Hearing

merekomendasikan upaya habilitasi sudah harus dimulai sebelum usia 6 bulan.

Habilitasi yang optimal sudah dimulai sebelum usia 6 bulan maka pada usia 3

14
tahun perkembangan wicara anak yang mengalami ketulian dapat mendekati

kemampuan wicara anak normal.

Pemasangan alat bantu dengar (ADB) merupakan upaya pertama dalam

habilitasi pendengaran yang dikombinasikan dengan terapi wicara atau terapi

audio verbal. Sebelum proses bicara harus dilakukan penilaian tingkat kecerdasan

oleh Psikolog untuk melihat kemampuan belajar anak. Anak usia 2 tahun dapat

memulai pendidikan khusus di Taman Latihan dan Observasi (TLO), dan

melanjutkan pendidikannya di SLB-B atau SLB-C bila disertai dengan retardasi

mental. Proses habilitasi pasien tunarungu membutuhkan kerjasama dari beberapa

disiplin, antara lain dokter spesialis THT, Audiologist, Ahli madya audiologi, Ahli

terapi wicara, Psikolog Anak , guru khusus untuk tunarungu dan keluarga

penderita.

Saat ini dikenal beberapa strategi habilitasi pendengaran seperti :

1. Alat Bantu Dengar (ADB)

Alat bantu dengar (ADB) adalah suatu perangkat elektronik yang berguna

untuk memperkeras (amplifikasi) suara yang masuk ke telinga dalam; sehingga si

pemakai dapat mendengar lebih jelas suara yang ada disekitarnya.

Jenis jenis alat bantu dengar :

a) ADB jenis saku (Pocket/Body worn type)

b) ABD jenis belakang telinga (Behind The Ear atau BTE)

c) ABD jenis ITE (In The Ear)

d) ABD jenis ITC (In The Canal)

15
e) ABD jenis CIC (Completely In The Canal)

f) ABD jenis kacamata (Spectacle aid)

g) ABD jenis hantaran tulang (Bone conduction aid)

h) ABD jenis CROS (Contralateral Routing Of Signals) dan BICROS

2. Assistive Listening Device (ALD)

ALD adalah perangkat elektronik untuk meningkatkan kenyamanan

pendengar pada kondisi lingkungan pendengaran tertentu seperti menonton

televisi, mendengarkan telepon, mendengar suara bel rumah atau pada saat berada

di ruang aula / auditorium. ALD dapat dipergunakan tersendiri atau dipasang pada

ABD dengan maksud mengoptimalkan kerja ABD.

Dikenal beberapa jenis ALD, seperti :

a) Sistim kabel

Receiver ABD dihubungkan melalui kabel dengan mikrofon yang

digunakan oleh lawan bicara (guru). Cara ini dapat membantu pada

pembicara jarak pendek. Juga dapat dihubungkan dengan pesawat televise,

radio, walkman, pemutar CD dan perangkat audio lainnya.

b) Sistim FM (Frekuency Modulation)

ABD dihubungkan dengan sumber suara tanpa mempergunakan

kabel (wireless). Suara dari lawan bicara, pembicara atau guru/gelombang

radio FM menuju ABD yang digunakan. Cara ini lebih fleksibel

dibandingkan sistim kabel. Sistim ini dapat digunakan pada ruang kelas

atau ruang pertemuan.

16
c) Sistim Infra merah (infra red)

Sinyal dari sumber bunyi dipancarkan melalui gelombang sinar


infra merah, seperti halnya dengan remote control Sistim infra merah ini
memerlukan jalan sinyal bebas hambatan antara transmitter dengan
receiver.

d) Intraduction Loops

Perangkat ini menghasilkan suatu medan magnet yang akan

meningkatkan kenyamanan mendengar. Medan magnet tersebut akan

ditangkap oleh receiver yang ada pada suatu headphone atau ABD.

3. Implan Koklea

Implan koklea merupakan elektronik yang mempunyai kemampuan

mengganti fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar dan

berkomunikasi pada pasien tuli saraf berat dan total bilateral. Dengan cara insisi

retroaurekular, dilakukan mastoidektomi.

I. Prognosis(2,4,9)

Prognosis ketulian pada anak tergantung pada penyebabnya. Setelah

diketahui anak menderita ketulian upaya habilitasi pendengaran harus dilaksanakn

sedini mungkin. Dengan perbaikan masalah medis seperti tuli konduksi dapat

menghasilkan perkembangan bahasa yang normal pada anak yang tidak retardasi

mental. Ketulian jenis ini prognosisnya baik, artinya dengan operasi atau

penggunaan Alat Bantu dengar (ADB) yang ditempelkan pada telinga bagian luar,

akan diperoleh kembali pendengaran yang hilang. Ketulian sensori-neural yang

disebabkan kerusakan pada telinga dalam atau saraf pendengaran (Nervus VIII),

prognosisnya jelek.

17
KESIMPULAN

1. Proses terjadinya bicara ada dua, yaitu proses sensoris dan motoris.

2. Etiologi delayed speech adalah adalah gangguan pendengaran, kelainan organ

bicara, prematur, kelainan genetik atau kromosom, retardasi mental, autis,

mutism selektif, keterlambatan fungsional, afasia reseptif dan deprivasi

lingkungan.

3. Pemeriksaan penunjang pada delayed speech dapat berupa BERA, OAE,

tympanometri, audiometri dan behavioral observation audiometry.

4. Beberapa strategi habilitasi pendengaran yang dikenal yaitu Alat Bantu

Dengar (ADB), Assistive Listening Device (ALD) dan Implan koklea.

5. Prognosis ketulian tergantung penyebabnya. Tuli konduksi prognosisnya baik

yaitu operasi atau penggunaan Alat Bantu dengar (ADB) akan memperoleh

pendengaran yang hilang. Sedangkan ketulian sensori-neural yang disebabkan

kerusakan pada telinga dalam atau saraf pendengaran (Nervus VIII),

prognosisnya jelek.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Nadwa. Pelaksanaan Terapi Wicara dan Terapi Sensori Integrasi pada Anak
Terlambat Bicara. Jurnal Pendidikan Islam. Halaman 20-40, volume 7, nomor
1, april 2013. http://www.post.com/index.asp?Konsultasi&id=126200
2. Utama H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan. Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. Edisi keenam. Balai penerbit FKUI, Jakarta 2010. Halaman 10-38.
3. Macy T. Children Referred for Speech Delays. Service Guideline 3. Page 3-
13.October2014.http://www.comeunity.com/disability/speech/communication.
html
4. Law J, et all. The Efficacy of Treatment for Children With Developmental
Speech and Language Delay! Disorder: A Meta-Analysis. Joumal of Speech,
Language, and Hearing Research. Vol. 47, page 924-943, August us 2004.
5. Probst R. Basic Otorhinolaryngology. A Step-By-Step Learning Guide. Page
178-182. Thiem 2006.
6. Ludman H and Patrick J. Telinga, Hidung Dan Tenggorokan. Edisi 5. Jakarta :
EGC, 2011. Halaman 21-26.
7. Gurkov R and Nagel P. Dasar-Dasar Ilmu THT. Edisi 2. Jakarta : EGC, 2012.
Halaman 2-9.
8. Higler, Boies and Adams. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Halaman 46-60.
9. Sedwawidada R. Implan Kohlear. Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung
Tenggorok, Kepala-Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin.
Makassar; Agustus 1997. Halaman 1-11.

19

Anda mungkin juga menyukai