Anda di halaman 1dari 19

REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA

SPONDILITIS TUBERKULOSA

BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis dikenal sejak 1000 tahun sebelum Masehi seperti yang tertulis dalam
kepustakaan Sanskrit kuno. Nama “tuberculosis” berasal dari kata tuberculum yang berarti
benjolan kecil yang merupakan gambaran patologik khas pada penyakit ini.
Tuberculosis masih merupakan masalah kesehatan di Negara maju maupun berkembang,
termasuk di Indonesia baik dari segi morbiditas maupun mortalitas, berbagai upaya
penanggulangan TB secara nasional sudah lama di upayakan, tetapi upaya tersebut belum
menampakkan hasil yang memuaskan, Indonesia menempati urutan ke lima di bawah cina, india,
afrika selatan, dan nigeria sebagai negara dengan penderita TB terbesar.
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa selalu
merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Tulang belakang lebih sering
terkena dibandingkan dengan sendi tunggal lainnya, kemudian sendi panggul, lutut, dan tulang-
tulang kaki, tulang-tulang lengan, dan jarang mengenai tangan. Sarang primernya biasanya
adalah di dalam paru. Percival Pott (1793) adalah penulis pertama tentang penyakit ini dan
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang
yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga penyakit Pott . Etiologinya baru menjadi jelas
setelah dalam tahun 1882 Robert Koch menemukan basil mikobakterium tuberkulosis. Penyakit
ini juga dinamai Morbus Potti .
Spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronis
destruktif. Basil ini sampai di dalam tulang belakang melalui penyebaran hematogen dan
menyerang satu atau lebih korpus vertebra yang mengakibatkan destruksi tulang dan menyebar
ke semua jaringan artikulasi. Lokalisasi paling sering ditemukan pada regio torakolumbal dan
jarang sekali pada regio servikal. Beberapa kasus spondilitis TB memberikan prognosis yang
baik apabila diagnosis ditegakkan lebih dini, apabila tidak ada perbaikan, timbul komplikasi
berupa gangguan neurologis, paraplegia atau tetraplegia, program Rehabilitasi medis secara dini

1
dapat membantu mencegah komplikasi akibat imobilisasi lama, tetraplegia, atau paraplegia, dan
mempertahankan serta memperbaiki fungsi semaksimal mungkin.
Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya
memberikan hasil yang baik, namun pada kasus – kasus tertentu diperlukan tindakan operatif
serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun setelah penderita
menjalani tindakan operatif.

2
BAB II
SPONDILITIS TUBERKULOSA

A. Definisi
Infeksi tuberkulosa ekstra pulmonal yang mengenai satu atau lebih tulang belakang
disebut spondilitis tuberkulosa atau pott’s disease.

B. Epidemiologi
Saat ini di seluruh dunia telah terdapat 9 juta kasus terinfeksi tuberkulosis dan 3
juta kasus meninggal setiap tahunnya. Umumnya menyerang golongan usia produktif
dan golongan sosial ekonomi tidak mampu (miskin), sehingga berdampak pada
pemberdayaan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan menghambat
pertumbuhan ekonomi negara .
Di negara yang sedang berkembang, spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit
yang sering dijumpai pada anak-anak maupun orang dewasa. Di Inggris, penyakit ini
biasanya menyerang usia pertengahan dan sering dijumpai pada populasi imigran .
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi
yang terjadi. Di amerika utara, eropa, dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama
menyerang dewasa, di asia dan afrika presentase terbesar pada anak-anak. Spondilitis
tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 2 – 10 tahun dengan
perbandingan yang hampir sama antara laki-laki dan perempuan .
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3, dan paling jarang
pada vertebra C1-2. Biasanya mengenai korpus vertebra dan jarang menyerang arkus
vertebra .

C. Etiologi
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain
di tubuh, 90 – 95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe
human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5 – 10% oleh mikobakterium tuberkulosis atipik.

3
D. Anatomi tulang belakang
Suatu kolumna vertebra yang normal terdiri dari 33 tulang vertebra yang
dipisahkan oleh diskus intervertebralis. Seluruh kolumna vertebralis pada garis vertikal,
membentuk 4 kurva fisiologis. Keempat kurva tersebut dinamakan lordosis cervikal dan
lumbal dengan konveksitas ke anterior dan kifosis torakal dan kifosis sacral dengan
konveksitas ke posterior

Gbr 1. Kollumna vertebralis pada orang dewasa

Sebuah tulang vertebra terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior atau corpus
vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae. Arcus vertebrae
dibentuk oleh dua "kaki" atau pediculus dan dua lamina, serta didukung oleh penonjolan
atau procesus yakni procesus articularis, procesus transversus, dan procesus spinosus.
Procesus tersebut membentuk lubang yang disebut foramen vertebrale. Ketika tulang-
tulang vertebra disusun, foramen ini akan membentuk saluran sebagai tempat medulla
spinalis. Di antara dua tulang belakang dapat ditemui celah yang disebut discus
intervertebrale.

4
Gbr. 2. Anatomi vertebra

Tulang belakang manusia mempunyai fungsi untuk mempertahankan posisi tegak


dari tubuh, menyangga berat badan dan pergerakan tubuh. Fungsi ini didukung oleh
struktur jaringan disekitar tulang belakang. Struktur jaringan ini meliputi diskus
intervertebralis, ligamentum, otot, kulit, dan sistem saraf.

E. Patofisiologi
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Berdasarkan tempat
berawalnya infeksi, spondilitis korpus vertebra dibagi menjadi 3 bentuk
- Bentuk sentral, dimana destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra. Bentuk
ini sering ditemukan pada anak.

5
- Bentuk paradiskus, destruksi awal terletak di bagian korpus vertebra yang
bersebelahan dengan diskus intervertebral. Bentuk ini sering ditemukan pada
orang dewasa.
- Bentuk anterior, dengan lokus awal di korpus vertebra anterior, merupakan
penjalaran per kontinuitatum dari vertebra di atasnya.

6
Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan
perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus
intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan di bagian depan ini akan
menyebabkan terjadinya kifosis.
Selanjutnya eksudat yang terdiri dari serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis
serta basil tuberkulosis menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior.
Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang
garis ligamen yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat berkumpul di belakang fasia paravertebralis dan
menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat
mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses
faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus atau
kavum pleura.
Abses pada daerah vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform.
Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia.
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan
muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat
menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis
pada trigonum skarpei atau regio glutea.
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium, yaitu :
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama
6 – 8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada
anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra
serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6
minggu.

7
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra, dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin),
yang terjadi 2 – 3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat
terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini
terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat
kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,
tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini
ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra
torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan
neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia, yaitu :
 Derajat 1 : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah
melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum
terjadi gangguan saraf sensoris.
 Derajat 2 : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita
masih dapat melakukan pekerjaannya
 Derajat 3 : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang
membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anestesia.
 Derajat 4 : Terdapat gangguan saraf sensoris dan motoris disertai
gangguan defekasi dan miksi.
Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau
lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan
ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum
tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang
sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada kanalis spinalis atau
oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi

8
tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi
destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
Derajat 1 – 3 disebut sebagai paraparesis dan derajat 4 disebut sebagai
paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3 – 5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra
yang masif di sebelah depan.

F. Gambaran klinis
Secara klinis gejala spondilitis tuberkulosa hampir sama dengan gejala
tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta
nyeri punggung. Nyeri yang meningkat saat malam hari makin lama makin berat
terutama pada pergerakan. Pada anak-anak sering disertai dengan berteriak sewaktu
tidur nyenyak pada malam hari (night cries).
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang
kepala, gangguan menelan, dan gangguan pernafasan akibat adanya abses retrofaring.
Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada daerah paravertebral, abdominal,
inguinal, poplitea, atau bokong, adanya sinus pada daerah paravertebral atau penderita
datang dengan gejala – gejala paraparesis, paraplegia, gangguan pergerakan tulang
belakang akibat spasme atau gibus.
Keluhan dan tanda-tanda kompresi pada medula spinalis terjadi pada kira-kira
20% kasus. Onset dapat timbul bertahap seiring dengan terkumpulnya pus, massa
kaseosa, atau jaringan granulasi, tetapi dapat juga timbul secara tiba-tiba bila terjadi
kolaps korpus vertebra dan menimbulkan kifosis.
Gejala awal paraplegia dimulai dengan keluhan kaki terasa kaku atau lemah,
atau penurunan koordinasi tungkai. Proses ini dimulai dengan penurunan daya kontraksi
otot tungkai dan peningkatan tonusnya. Kemudian terjadi spasme otot fleksor dan
akhirnya kontraktur. Pada permulaan, paraplegia terjadi karena udem sekitar abses
paraspinal tetapi akhirnya karena kompresi. Karena tekanan timbul terutama dari depan,

9
maka gangguan pada paraplegi ini kebanyakan terbatas pada traktus motorik. Paraplegia
kebanyakan ditemukan di daerah torakal dan bukan lumbal. Gangguan sensorik pada
stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga ikut terlibat.

Tanda-tanda lokal yang dapat diperiksa pada tahap aktif adalah :


1. Inspeksi. Suatu tanda khas pada vertebra torakal adalah gibus yang menyudut, paling
jelas dilihat dari lateral. Pada kasus lanjut, pasien menjadi kifosis. Pada tulang belakang
lumbal, gibus hampir tidak kelihatan tetapi mungkin terlihat jelas abses di pinggang atau
lipat paha. Kalau vertebra servikal terpengaruh, leher dapat menjadi kaku.
2. Palpasi. Jari – jari dapat mendeteksi gibus, walaupun ringan, yaitu dengan tangan
menyusuri prosesus spinosus. Abses berfluktuasi dan kulit di atasnya hanya sedikit
hangat.
3. Pergerakan. Pergerakan yang berkurang tak dapat dideteksi di daerah toraks tetapi
mudah diamati pada daerah lumbal. Punggung harus diperhatikan dengan teliti sementara
gerakan dinilai. Biasanya seluruh gerakan terbatas dan usaha itu menimbulkan spasme
otot. Uji uang logam dapat menilai, seorang anak dengan spasme lumbal, bila mengambil
uang dari lantai cenderung membengkokkan pinggul dan lutut bukannya
membungkukkan tulang belakang. Kaki juga harus diperiksa untuk menemukan defisit
neurologik, yang mungkin masih sangat sedikit.
Pada tahap penyembuhan, rasa sakit menghilang dan pasien sehat lagi, meskipun ia
mungkin menderita deformitas permanen dan risiko berulangnya infeksi.

G. Pemeriksaan Laboratorium
a. Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis.
b. Uji Mantoux positif
c. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium
d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
e. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel.

10
H. Pemeriksaan Radiologis
 Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru.
 Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik, dan destruksi korpus
vertebra, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada di antara korpus
tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral.
Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung
(bird’s nest), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses
terlihat berbentuk fusiform Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang
hebat sehingga timbul kifosis.
 Pemeriksaan foto dengan zat kontras. Pemeriksaan mielografi dilakukan bila
terdapat gejala penekanan sumsum tulang.
 Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi.
 Pemeriksaan MRI.

I. Diagnosis
Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
dan pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapi pemeriksaan, maka dibuat suatu standar
pemeriksaan pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu :
a. Pemeriksaan klinis dan neurologis yang lengkap.
b. Foto tulang belakang posisi AP dan lateral.
c. Foto polos toraks posisi PA.
d. Uji Mantoux.
e. Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa.
Diagnosis TB pada anak sering sulit dilakukan. Berdasarkanan amnesis didapatkan
keluhan yang bersifat umum dan spesifik. Keluhan umum adalah, demam lama yang
tidak diketahui penyebabnya berat badan yang tidak naik dalam jangka waktu tertentu,
anoreksia, lesu dsb. Gejala khusus dapat berupa gibbus pada vertebra atau plikten di
konjungtiva mata.
Adanya demam pada TB merupakan gejala sistemik atau umum yang sering
dijumpai yaitu 60-90 % kasus. Demam biasanya tidak terlalu tinggi, naik-turun dan
berlangsung cukup lama. Untuk mencurigai anak yang demam lama dan tidak tinggi

11
sebagai gejala TB, maka harus dapat menyingkirkan penyebab demam yang lain. Tanda
yang lain adalah penurunan berat badan. Penurunan berat badan ini perlu dicurigai
sebagai gejala TB apabila dengan tatalaksana gizi yang cukup belum ada perbaikan. Perlu
di ketahui, gejala sistemik atau gejala umum tersebut tidak khas karena dapat terjadi pada
infeksi yang lain. Keluhan batuk merupakan gejala utama TB pada dewasa bukan
merupakan gejala yang menonjol pada TB anak. Hal ini disebabkan karena pada TB anak
prosesnya adalah pada parenkim paru yang tidak mempunyai reseptor batuk.
sebagaimana diketahui batuk akan timbul apabila ada rangsangan pada reseptor batuk.
Meskipun demikian pada TB anak dapat terjadi batuk apabila pembesaran kelenjar yang
terjadi sudah menekan bronkus. Penekanan ini merupakan rangsangan pada reseptor
batuk di bronkus yang menyebabkan timbulnya rangsangan batuk.
Gejala khusus yang mungkin timbul pada TB anak adalah gibbus, konjungtivitis
pliktenularis, dan skofuloderma. Pada keadaan diatas harus dibuktikan TB sebagai
penyebabnya.
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan Neurologis
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan dan
mempunyai nilai diagnostik tinggi adalah uji tuberculin, uji tuberkulin dilakukan dengan
menggunakan bahan PPD (purified protein derivative), yang merupakan ekstrak gliserin
basil TB. uji tuberkulin ini disebut juga sebagai tes Mantoux, sesuai dengan nama
penemunya seorang dokter dari perancis Charles Mantoux(1907). Tes Mantoux dilakukan
dengan menyuntikkan intradermal pada permukaan volar lengan bawah pasien dengan
dosis standar 5 Tuberkulin unit (0,1ml) dan hasilnya dibaca setelah 48-72 jam.
pembacaan dilakukan dengan mengukur diameter indurasi yang terjadi.
Pemeriksan penunjang lainnya pemeriksaan x Foto rontgen thoraks. Pada anak-
anak pemeriksaan ini memang tidak khas, dicurigai TB bila didapatkan pembesaran
kelenjar hilus, paratrakheal, atelektasis, efusi pleura dan gambaran milier, bila didapatkan
deformitas pada vertebra maka perlu dilakukan foto polos tulang belakang segmen yang
bersangkutan dengan posisi AP dan lateral.
Diagnosis pasti TB adalah dengan ditemukannya M. Tuberculosis pada
sputum/biakan sputum, pada TB dewasa pemeriksaan ini lebih mudah dilakukan tetapi
pada anak sulit, karena belum tentu pada anak didapatkan gejala batuk baik dengan

12
sputum maupun tidak. Oleh karena sulitnya menegakkan diagnosis TB pada anak maka
para pakar kesehatan anak membuat suatu kesepakatan untuk memudahkan penanganan
TB anak secara meluas terutama sangat berguna di daerah perifer dengan fasilitas
kesehatan yang kurang canggih. Untuk itu dibuatlah suatu sistem penilaian / skoring TB
sebagai berikut

Catatan:
 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
 Jika dijumpai skrofuloderma langsung didiagnosis TB
 Berat badan dinilai saat datang
 Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku

13
 Foto rontgen bukan alat diagnosis utama pada TB anak
 Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan system skorinh TB anak
 Didiagnosis TB jika jumlah skor ≥6 (skor maksimal 14). Cut off point ini masih bersifat
tentatif/ sementara, nilai definitive menunggu hasil penelitian yang sedang dikerjakan.

Pada tabel diatas nampak bahwa pembobotan tertinggi adalah pada hasil uji tuberkulin
dan adanya kontak dengan penderita TB dengan BTA (+). Uji tuberkulin mempunyai
sensitivitas dan spesifitas tinggi sehingga dapat digunakan sebagai uji pasti dan menunjang
diagnosis. Demikian juga dengan riwayat kontak dengan penderita TB dewasa dengan BTA
(+). Adanya kontak dengan BTA positif dapat menjadi sumber penularan yang berbahaya
karena berdasarkan penelitian 65 % akan menularkan pada orang disekitarnya.
Penurunan berat badan merupakan gejala umum yang sering diiumpai pada TB anak.
Umumnya penderita TB anak mempunyai berat badan dibawah garis merah atau bahkan gizi
buruk. Dengan alas an tersebut maka kriteria penurunan berat badan dalam hal ini dalam
waktu dua bulan berturut-turut adalah penting untuk di perhatikan. Demam merupakan
suatu tanda umum adanya suatu infeksi, yang dimaksud disini adalah demam yang tidak
diketahui penyebabnya dan bukan karena akibat penyakit malaria atau tifoid.
Batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu ( batuk kronik) merupakan salah satu gejala
umum TB anak. Yang perlu diperhatikan adalah batuk kronik juga merupakan gejala utama
asma yang biasanya bersifat berulang dan adanya kronisitas.
Pembesaran kelenjar limfe didaerah leher, aksila dan lnguinal dapat menjadi tanda
adanya TB pada anak. Umumnya pembesaran kelenjar bersifat multipel, tidak nyeri,
perabaan kenyal" warna sama dengan kulit sekitarnya' Pembesaran kelenjar ini harus
dibedakan dengan pembesaran kelenjar akibat infetsi kuman banal, yang pada umumnya
bersifat soliter, nyeri, warna lebih merah daripada kulit sekitamya. Yang perlu diperhatikan
adalah apabila pembesaran kelenjar tersebut berubah menjadi skrofuloderma maka keadan
ini merupakan tanda yang spesifik untuk TB, sehingga pasien harus dirujuk kesarana
kesehatan yang lebih tinggi (RS) untuk mendapatkan penanganan.
Pembengkakan tulang /sendi merupakan tanda TB anak yang harus dibedakan dengan
pembengkakan sendi akibat lain demikian juga bila ada keluhan berjalan Pincang. Foto
rontgen dada dengan adanya gambaran infiltrat , pembesaran kelenjar getah bening pada
hilus kurang khas untuk TB pada anak kecuali didapatkan gambaran milier.

14
J. Diagnosis Banding
Diagnosis banding spondilitis tuberkulosa adalah fraktur kompresi traumatik atau
akibat tumor. Tumor yang sering di vertebra adalah tumor metastatik dan granuloma
eosinofilik.
Diagnosis banding spondilitis tuberkulosa.
osteitis piogen lebih cepat timbul demam
poliomielitis paresis/paralisis tungkai, skoliosis dan bukan kifosis
skoliosis idiopatik tanpa gibus dan tanpa paralisis
penyakit paru dengan tulang belakang bebas penyakit
(bekas) empiema
metastasis tulang belakang tidak mengenai diskus, adakah karsinoma prostat
kifosis senilis kifosis tidak lokal, osteoporosis seluruh kerangka

Diagnosis banding yang lain adalah infeksi kronik non tuberkulosis antara lain
infeksi jamur seperti blastomikosis dan setiap proses yang mengakibatkan kifosis dengan
atau tanpa skoliosis.

K. Komplikasi Neurologi

15
Insiden terjadinya komplikasi neurologi 10% - 30%. Komplikasi yang paling ditakuti
adalah paraplegia yang terjadi oleh karena spondilitis tuberkulosa daerah torakal, dan
tetraplegi karena spondilitis tuberkulosa daerah servikal (sangat jarang terjadi).
Paraplegia diklasifikasikan dalam 2 kelompok:
a. Paraplegia yang mulainya dini, terjadi dalam 2 tahun pertama penyakit. Paraplegia
terjadi oleh karena inflamasi udem jaringan granulasi abses kaseosa (pengkijuan) atau
iskemi medula spinalis (jarang).
b. Paraplegia yang mulainya lambat, terjadi >2 tahun setelah infeksi vertebra.
Komplikasi neurologi akibat kambuhnya penyakit atau tekanan mekanik pada medula
spinalis. Kompresi akibat jaringan kaseosa tuberkulosa, puing-puing tuberkular, sekuestra
dari korpus vertebra dan diskus, internal gibus, stenosis kanal vertebra atau deformitas
berat.
Tanda paling awal dari kompresi medula spinalis berupa klonus diikuti tanda
babinski positif, perubahan refleks, refleks meningkat dan gangguan sensorik dan
motorik.

L. Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri dari :
A. Terapi konservatif, berupa :
a) Tirah baring (bed rest)
b) Memperbaiki keadaan umum penderita
c) Pemasangan brace, baik yang dioperasi ataupun yang tidak dioperasi.
d) Pemberian obat antituberkulosa.

Obat-obatan yang diberikan terdiri dari :


* INH, dosis 10 - 20 mg/kg BB/hari
* Rifampicin, dosis 10 – 20 mg/kg BB/hari.
* Pirazinamid, dosis 25 – 35 mg/kg BB/hari
* Ethambutol, dosis 20 mg/kg BB/hari

16
B. Penatalaksanaan Rehabilitasi Medik
Prinsip dari penanganan rehabilitasi medik adalah mengatasi impairment yang
terjadi dan mencegah dan merehabilitasi disabititas serta handicap yang terjadi akibat
proses penyakit yang mendasarinya. Dalam pelaksanaannya ikut dipertimbangkan
aspek-aspek fisik, kemampuan fungsional dan psikososial penderita. Oleh karena itu
pendekatannya dilakukan secara multidisipliner dengan melibatkan beberapa bidang
keahlian yang tercakup dalam bidang rehabilitasi yaitu : dokter rehabilitasi medik,
fisioterapis, terapis okupasi, ortosis-prostesis, psikolog, ahli terapi wicara dan pekerja
sosial medik.

1. Fisioterapi
Pencegahan komplikasi akibat immobilisasi / deconditioning.
Untuk mencegah timbulnya ulkus dekubitus akibat imobilisasinya dengan :
 proper bed positioning, mengatur posisi yang tepat untuk mencegah friksi dan
tekanan berkelamaan pada bagian tubuh yang beresiko untuk terjadi ulkus
dekubitus.
 Alih baring tiap 2 jam
 Perawatan higiene kulit.

Latihan Lingkup Gerak Scndi ( Range of Motion / ROM)


Latihan diberikan untuk mempertahankan ROM yang normal / mendekati
normal. Mencegah kontraktur, mempertahankan panjang otot dan mernperlancar
aliran darah pada anggota gerak.

Latihan penguatan otot (strengthening exercise)


Diberikan sebagai upaya mempertahankan kekuatan otot-otot trunkus dan
ekstremitas sehingga dapat menyokong tubuh dengan baik terutama saat
berambulasi.

17
Latihan fisioterapi rongga dada
- Bila diperlukan : Postural drainage dan latihan batuk efektif
- latihan ekspansi rongga dada
- Infrared, sebagai pemanasan untuk relaksasi

2. Okupasi Terapi
Pada prinsipnya jenis terapi sama dengan fisioterapi, tetapi pada okupasi terapi
latihan diberikan dalam bentuk kegiatan yang mengandung unsur edukasi dan
rekreasi, sehingga anak tidak bosan atau jenuh, juga dapat meningkatkan kemampuan
dalam perawatan diri serta,meningkatkan ADL (activity daily living).

3. Orthosis-Prostesis
Mengukur dan membuat alat bantu (orthose) yang digunakan baik sebagai alat
imobilisasi untuk mencegah resiko kerusakan pada sisitim saraf tutang belakang,
maupun sebagai alat yang digunakan untuk menyokong tubuh saat beraktifias.
seperti:
- Brace : taylor brace, TLSO ( thoracolumbal spinal orthose)
- Alat Bantu jalan : walker, crutch, wheel chair
- Spinal korset.

C. Terapi operatif.
Walaupun pengobatan dengan OAT merupakan pengobatan utama bagi penderita
spondilitis tuberkulosa, namun tidakan operatif masih memegang peranan penting dalam
beberapa hal, yaitu bila terdapat abses dingin, lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis. Untuk
menghindari komplikasi timbulnya tuberkulosis milier sesudah atau selama pembedahan,
masa prabedah perlu diberikan antituberkulosis selama satu sampai dua minggu.

18
Indikasi operasi :
1. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegi atau malah semakin
berat.
2. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka sekaligus
debridement serta bone graft.
3. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi, maupun pemeriksaan
CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medula spinalis.

M. PROGNOSA
Umumnya penyakit spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang menahun
dan jika dapat sembuh spontan akan memberikan cacat pembengkokan pada tulang
punggung, prognosisnya bergantung pada umur, kesehatan umum pasien, berat dan
lamanya defisit neurologi, dan cepatnya dilakukan terapi.

19

Anda mungkin juga menyukai