Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PBL

MODUL PENURUNAN KESADARAN


SISTEM EMERGENSI DAN TRAUMATOLOGI

Disusun Oleh :
Kelompok 2
KETUA KELOMPOK Muh Edward Husnan R
ANGGOTA KELOMPOK Siti Ramadhani (Scriber)
Nuraeni Azizah
Nur Fadhila J
Yusril Ihsanul M
Karmiati
Nur Ainun Qamariah
Andi Suci Indah Lestari
Regita Cahyani

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya kepada kita semua
bahwa dengan segala keterbatasan yang penulis miliki akhirnya penulis dapat
menyelesaikan laporan Problem Based Learning (PBL) modul “Penurunan
Kesadaran”.
Adapun laporan modul PBL ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan laporan
ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena
itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi
pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari laporan PBL ini dapat diambil
hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.

Makassar, 12 Juni 2019

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Skenario . ..................................................................................................... 1
1.2 Kata Sulit .................................................................................................... 1
1.3 Kata atau Kalimat Kunci ............................................................................. 1
1.4 RumusanMasalah......................................................................................... 1
1.5 Learning objektive ....................................................................................... 2
1.6Problem Tree ................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Anatomi dan Fisiologi terkait skenario ....................................................... 4
2.2 Definisi, Klasifikasi, dan Etiologi Penurunan Kesadaran ......................... 11
2.3 Patomekanisme Penurunan Kesadaran ..................................................... 13
2.4 Hubungan nyeri kepala dan demam terhadap penurunan kesadaran ......... 16
2.5 Hubungan penyakit cacar dengan penurunan kesadaran .......................... 16
2.6 Langkah Penegakan Diagnosis Dengan Kesadaran Menurun .................. 17
2.7 Menilai penurunan kesadaran secara kualitatif dan kuantitaf ................... 18
2.8 Interpretasi hasil pemeriksaan fisik ........................................................... 20
2.9 Penangana Awal Pada Pasien Dengan Kesadaran Menurun ..................... 21
2.10 Differential Diagnosis ............................................................................. 22
2.11 Integrasi Keislaman ................................................................................. 31
BAB III PENUTUP
3.1 Tabel Diagnosis Banding. ........................................................................... 33
3.2 Diagnosis Utama. ........................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 34

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Skenario 1
Seorang laki-laki berusia 20 tahun dibawa ke UGD RS dengan kesadaran
menurun dialami sejak 5 hari yang lalu secara perlahan. Keluhan ini disertai
nyeri kepala dan demam selama 2 minggu yang didahului penyakit cacar.
Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 84
kali/menit, frekuensi napas 20 kali/menit, temperatur 38,5 C. Pada
pemeriksaan neurologis, didapatkan kaku kuduk (-), refleks Babinski (-).
1.2 Kata Sulit
 Refleks Babinski = Refleks babinski adalah refleks yang berupa jari jari
kaki ang mencengkram ketika bagian bawah kaki di usap, yang jika pada
bayi refleks ini jika positif di indikasikan memiliki perkembangan saraf
yang normal. (Rianawati Sri Budhi & Munir Badrul, 2017)
 Kaku kuduk= Pemeriksaan kaku kuduk adalah gejala yang timbul akibat
peradangan pada selaput otak (meningitis) atau adanya benda asing pada
ruang suarachnoid (darah), zat kimia (kontras) dan invasi neoplasma
(meningitis carcinoma). Manifestasi subyektif adalah sakit kepala, kuduk
kaku, fotofobia dll. (Rianawati Sri Budhi & Munir Badrul, 2017)
1.3 Kata/Kalimat Kunci
 Laki-laki, 20 tahun
 Kesadaran menurun sejak 5 hari secara perlahan
 Nyeri kepala disertai demam selama 2 minggu
 2 minggu sebelumnya terkena pneyakit cacar
 Kaku kuduk (-), refleks babinski (-)
 TD 120/80 mmHg, suhu 38,5 C, nadi 84 kali/menit, frekuensi napas 20
kali/menit
1.4 RumusanMasalah
1. Jelaskan anatomi dan fisiologi terkait skenario!
2. Apa definisi, klasifikasi, dan etiologi penurunan kesadaran?

1
3. Bagaimana patomekanisme penurunan kesadaran?
4. Apakah hubungan nyeri kepala dan demam terhadap penurunan
kesadaran?
5. Apa hubungan penyakit cacar dengan penurunan kesadaran?
6. Bagaimana langkah penegakan diagnosis dengan penurunan kesadaran?
7. Bagaimana cara menilai penurunan kesadaran secara kualitatif dan
kuantitaf?
8. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?
9. Bagamana penangan awal pada pasien dengan penurunan kesadaran?
10. Apa differential diagnosis terkait skenario?
11. Bagiamana integrasi keislaman terkait skenario?
1.5 Learning Objektive
 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan anatomi dan fisiologi
terkait skenario
 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi, klasifikasi, dan
etiologi penurunan kesadaran
 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patomekanisme
penurunan kesadaran
 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hubungan demam,
nyeri kepala, dan penyakit cacar sebelumnya dengan penurunan
kesadaran
 Mahasiswa mampu mengetahui langkah penegakan diagnosa pada
penurunan kesadaran
 Mahasiswa mampu mengetahui cara menilai penurunan kesadaran secara
kualitatif dan kuantitaf
 Mahasiswa mampu mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan fisik?
 Mahasiswa mampu mengetahui penangan awal pada pasien dengan
penurunan kesadaran
 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan differential diagnosis
terkait skenario
 Mahasiswa mampu menjelaskan integrasi keislaman terkait skenario

2
1.6 Problem Tree

38oC

Nyeri Kepala Demam

Riwayat Cacar Produksi Sitokin

Aktivasi Respon Imun

Menyebar secara
hematogen Infeksi Patogen Pada Otak

Kompresi Batang Otak Efek Langsung Batang Otak Disfungsi Otak Difus

MerusakFungsi RAS Anatomi RAS


dan Fisiologi
Kesadaran
Penurunan Kesadaran

Diagnosis

Encefalitis Viral Meningitis Viral

Definisi Epidemiologi Etiologi Patomekanisme GejalaKlinis Diagnosis Terapi

Primary Survey

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan fisiologi terkait skenario


2.1.1 Anatomi
Menurut Setiadi, (2007) sistem syaraf adalah salah satu organ yang
berfungsi untuk menyelenggarakan kerja sama yang rapih dalam
organisasi dan koordinasi kegiatan tubuh. Dengan pertolongan syaraf kita
dapat mengisap suatu rangsangan dari luar pengndalian pekerja otot.
(Setiadi, 2007)
a. Sel-sel pada sistem saraf
 Sel neuron = Unit fungsional sistem syaraf yang terdiri dari : Badan
Sel, yaitu bagian yang mengendalikan metabolisme keseluruhan
neuron. Sedangakan Akson adalah suatu prosesus tunggal, yang
lebih tipis dan lebih panjang dari dendrit. Bagian ini mengahantarkan
impuls menjauhi badan sel ke neuron lain, ke sel lain atau ke ke
badan sel neuron yang menjadi asal akson (arah menuju ke luar
sel).Maka, Semua akson dalam sistem syaraf perifer di bungkus oleh
lapisan schwann (neurolema) yang di hasilkan oleh sel – sel
schwann. Kemudian mielin berfungsi sebagai insulator listrik dan
mempercepat hantaran impuls syaraf. Sedangkan Dendrit adalah
Perpanjang sitoplasma yang biasanya berganda dan pendek yang
berfungsi sebagai penghantar impuls ke sel tubuh. (Setiadi, 2007)
 Neuroglial = Sel penunjang tambahan pada susunan syaraf pusat
yang berfungsi sebagai jaringan ikat yang mensuport sel dan nervous
sistem. (Setiadi, 2007)
 Sistem komunikasi sel = Rangsangan ini di sebut stimulus,
sedangkan yang di hasilkan dinamakan respon. Alat penghantar
stimulus yang berfungsi menerima rangsangan disebut
reseptor,sedangkan yang menjawab stimulus di sebut efektor seperti
otot,sel , kelenjar atau sebagainya. (Setiadi, 2007)

4
b. Sistem Saraf Pusat
 Perkembangan Otak
Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak) berkembang
dari sebuah tabung yang mulanya memperlihatkan tiga gejala
pembesaran otak awal,yaitu (Setiadi, 2007):
- Otak depan menjadi hamisfer serebri, korpus striatum, talamus,
serta hipotalamus. Fungsinya menerima dan mengintegrasikan
informasi mengenai kesadaran dan emosi.
- Otak tengah,mengkoordinir otot yang berhubungan dengan
penglihatan dan pendengaran. Otak ini menjadi tegmentum, krus
serebrium, korpus kuadriigeminus.
- Otak belakang ( pons ), bagian otak yang menonjol kebnyakan
tersusun dari lapisan fiber ( berserat ) dan termasuk sel yang
terlibat dalam pengontrolan pernafasan. Otak belakang ini
menjadi : Pons vorali, membantu meneruskan informasi. Medula
oblongata, mengendalikan fungsi otomatis organ dalam
(internal). Serebelum, mengkoordinasikan pergerakan dasar.
 Pelindung Otak
- Kulit kepala dan rambut
- Tulang tengkorak dan columna vetebral
- Meningen ( selaput otak ) (Setiadi, 2007)
 Bagian-bagian otak
- Hemisfer cerebral terbagi menjadi 4 yaitu : lobus frontalis
(menstimulasi pergerakan otot dan proses berfikir), lobus
parietalis (area sensoris), lobus occipitalis (visual), lobus
temporalis (area auditori). (Setiadi, 2007)
- Cerebellum = mengmbalikan tonus otot di luar kesadaran yang
merupakan suatu mekanisme syaraf yang berpengaruh dalam
pengaturan dan pengendalian terhadap : Perubahan ketegangan
dalam otot, kontraksi dengan lancar dan teratur. (Setiadi, 2007)
-

5
 Medula Spinalis
Disebut juga sumsum tulang belakang. Yang terlindung di
dalam tulang belakang dan berfungsi untuk mengadakan komunikasi
anatara otak dan semua bagian tubuh serta berperan dalam : gerak
reflek, berisi pusat pengontrolan yang penting, heart rate contol atau
denyut jantung, pengaturan tekanan darah, pernafasan, menelan,
muntah. (Setiadi, 2007)
c. Sistem Formasio Retikularis
Formasio retikularis terdiri dari jaringan kompleks badan sel dan
serabut saraf yang saling terjalin membentuk intisentral batang otak.
Bagian ini berhubungan kebawah dengan sel-sel interneuron medulla
spinalis dan meluas ke atas ke diensefalon. Memiliki sekiar 30.000
sinaps. Fungsi utama dari sistem retikularis yang tersebar ini adalah
integrasi berbagai proses kortikal dan subkortikal yaitu penentuan status
kesadaran dan keadaan bangun, modulasi transmisi formasi sensorik
kepusat yang lebih tinggi, modulasi aktivitas motorik, pengaturan
respon autonom dan pengaturan siklus tidur bangun. Sistem ini juga
merupakan tempat asal sebagian monoamine yang disebarkan keseluruh
SSP. Lesi pada formatio retikularis dapat menyebabkan koma sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Neuron dalam formatio
retikularis dikelompokan sesuai dengan fungsinya masing-masing
(Snell, 2016).
Formasio retikularis batang otak terletak strategis di bagian
tengah jaras asenden dan desenden antara otak dan medulla spinalis
sehingga memungkinkan pemantauan “lalu-lintas” dan berpartisipasi
dalam semua aktivitas batang otak – hemisfer otak. Formasio
retikularis, yang secara difus menerima dan menyebarkan rangsang,
menerima input dari korteks serebri, ganglia basalis, hipotalamus dan
sistem limbik, serebelum, medulla spinalis, dan semua sistem sensorik.
Serabut eferen formasio retikularis tersebar ke medulla spinalis,
serebelum, hipotalamus, dan sistem limbik, serta thalamus yang

6
sebaliknya, berproyeksi ke korteks serebri dan ganglia basalis. Selain
itu, sekelompok serabut monoamine yang penting disebarkan secara
luas pada jaras asendens ke struktur subkortikal dan korteks, dan jaras
desendens menuju medulla spinalis. Dengan demikian formasio
retikularis mempengaruhi dan dipengaruhi oleh seluruh area SSP (Duss,
2016).
Fungsi masing-masing nukleus retikularis (Snell, 2015):
 Nukleus retikularis gigantoselularis : regulasi retikulospinal
 Paramedian pontine reticular formation (PPRF) : pusat lateral gaze
 Nuklei raphe : pengaturan tidur, bangun dan waspada
 Locus ceruleus : atensi, mood, dan siklus tidur-bangun
Formasi Retikularis Medula Oblongata
Medulla oblongata merupakan bagian yang vital dalam
pengaturan jantung, vasomotor/ kontriksi dan dilatasi pembuluh darah
dan pusat pernafasan. Medulla Oblongata memonitor kadar CO2 yang
berperan dalam pengaturan pernafasan, mengatur muntah, bersin, batuk
dan menelan. Dibagian ventral terdapat pyramid yang merupakan jalur
motorik dari serebral ke spinal. Jalur di pyramid menyilang (pyramidal
decussation) sehingga dibawah medulla keadaan motorik tubuh
dikontrol oleh bagian yang berlawanan dalam hemisfer serebri (Duss,
2016)
Formasi Retikularis Medula Oblongata terdiri dari (Snell, 2015):
 Nukleus Retikularis Lateralis = afferent dengan medulla spinalis
dan efferent dengan korteks serebelli
 Nukleus Retikularis Ventralis = medial nukleus retikularis lateralis
 Nukleus Retikularis Gigantoselularis = sebagian besar serat traktus
retikulospinalis lateralis berasal dari nukleus ini
 Nukleus Retikularis Paramedian = terletak dekat garis median dan
sebagian besar axonnya disebarkan ke serebellum
 Nukleus Retikularis Parviselularis = terletak di dorsolateral
medulla oblongata dan dianggap sebagai bagian sensorik formasio

7
retikularis karena cabangcabang kolateral dari serat-serat ascenden
sensorik berakhir di nukleus ini
Formasi Retikularis Pontis
Pons terletak diatas medulla, pada bagian dorsal terdapat formatio
retikularis dan nuklei syaraf kranial jalur asenden dan desenden. Dalam
formatio retukularis terdapat pusat apneu dan pneumotoxic yang
membantu dalam pengaturan pernafasan. Formasi Retikularis Pontis ini
menempati suatu daerah sentral di dalam segmentum pontis tapi tidak
seluas formasio retikularis di medulla oblongata. Terdiri dari (Duus,
2016):
 Nukleus kawasan paramedian: nukleus rafes dorsalis, nucleus
sentralis superior , nucleus rafes pontis, nucleus rafes magnus,
nucleus rafes obskurus
 Nukleus kawasan medial: nucleus retikularis gigantoselularis,
nucleus retikularis pontis kaudalis, nukleus retikularis pontis oralis,
dan nucleus kuneiformis dan subkuneiformis
 Nukleus kawasan lateral: nucleus tegmentalis pedunkulopontis,
nucleus parabrakialis lateralis, dan nucleus parabrakialis medialis
Formasi Retikularis Midbrain/Mesencepalon
Formasi retikularis mesencepali meliputi daerah-daerah di sebelah
dorsal dan lateral nukleus ruber yaitu Nukleus tegmentali,
pedunkulopontis, nukleuskuneiformis dan nukleus subkuneiformis.
Midbrain terdapat diatas pons. Terdapat pusat refleks yang membantu
koordinasi pergerakan bola mata dan kepala, membantu pengaturan
mekanisme fokus pada mata, mengatur respon pupil terhadap stimulus
cahaya. Terdapat substansia nigra yang beperan dalam pengaturan
aktivitas motorik somatic (Duus, 2016).
Hubungan ARAS dan Korteks Serebri
Hubungan dasar ARAS dan korteks serebri yaitu (Snell, 2015):
 Serat-serat aferen yang berakhir di dalam korteks serebri meliputi
serat-serat yang berasal dari talamus (fibrae talamokortikalis, serat-

8
serat proyeksi aferen), daerahdaerah korteks sekitarnya (serat-serat
asosiasi), dan daerah-daerah korteks serebri yang sama pada
hemisfer pada sisi lain (serat komisura).
 Fibrae talamokortikalis terutama serat-serat aferen spesifik yang
berasal dari nukleus ventralis posterior dan korpora genikulata
berakhir di dalam lapisan granularis interna, oleh karena itu lapisan
ini dapat dianggap sebagai lapisan korteks reseptif. Di dalam lapisan
ini akson-akson tersebut membentuk anyaman yang lebat, hanya
beberapa dari akson-akson tersebut meluas sampai mencapai lapisan
piramidalis. Fibrae talamokortikalis yang non spesifik yang
berhubungan dengan susunan jalur retikular asenden berakhir di
semua lapisan korteks, dalam bentuk hubungan aksodendritik, akan
tetapi pengaruh-pengaruh fisiologik utama tampaknya terbatas pada
lapisan-lapisan superfisial.
 Sel-sel Martinotti dengan akson-akson asendens dapat dijumpai di
dalam semua lapisan korteks kecuali lapisan I. Dendritnya biasanya
terbatas penyebarannya pada satu lapisan dan akson-akson yang naik
dapat mencapai lapisan-lapisan yang lebih superfisial
2.1.2 Fisiologi
Secara fisiologik, kesadaran memerlukan interaksi yang terus-
menerus dan efektif antara hemisfer otak dan formasio retikularis di batang
otak. Kesadaran dapat digambarkan sebagai kondisi awas-waspada dalam
kesiagaan yang terus menerus terhadap keadaan lingkungan atau rentetan
pikiran kita. Hal ini berarti bahwa seseorang menyadari seluruh asupan
dari panca indera dan mampu bereaksi secara optimal terhadap seluruh
rangsangan baik dari luar maupun dari dalam tubuh. (Goysal, 2016)
Orang normal dengan tingkat kesadaran yang normal mempunyai
respon penuh terhadap pikiran atau persepsi yang tercermin pada perilaku
dan bicaranya serta sadar akan diri dan lingkungannya. Dalam keseharian,
status kesadaran normal bisa mengalami fluktuasi dari kesadaran penuh
(tajam) atau konsentrasi penuh yang ditandai dengan pembatasan area

9
atensi sehingga berkurangnya konsentrasi dan perhatian, tetapi pada
individu normal dapat segera mengantisipasi untuk kemudian bisa kembali
pada kondisi kesadaran penuh lagi. Mekanisme ini hasil dari interaksi yang
sangat kompleks antara bagian formasio retikularis dengan korteks serebri
dan batang otak serta semua rangsang sensorik. (Goysal, 2016)
Pada saat manusia tidur, sebenarnya terjadi sinkronisasi bagian-
bagian otak. Bagian rostral substansia retikularis disebut sebagai pusat
penggugah atau arousal centre, merupakan pusat aktivitas yang
menghilangkan sinkronisasi (melakukan desinkronisasi), di mana keadaan
tidur diubah menjadi keadaan awas waspada. Bila pusat tidur tidak
diaktifkan maka pembebasan dari inhibisi mesensefalik dan nuklei
retikularis pons bagian atas membuat area ini menjadi aktif secara spontan.
Keadaan ini sebaliknya akan merangsang korteks serebri dan sistem saraf
tepi, yang keduanya kemudian mengirimkan banyak sinyal umpan balik
positif kembali ke nuklei retikularis yang sama agar sistem ini tetap aktif.
Begitu timbul keadaan siaga, maka ada kecenderungan secara alami untuk
mempertahankan kondisi ini, sebagai akibat dari seluruh ativitas umpan
balik positif tersebut. (Goysal, 2016)
Masukan impuls yang menuju SSP yang berperan pada mekanisme
kesadaran pada prinsipnya ada dua macam, yaitu input yang spesifik dan
non-spesifik. Input spesifik merupakan impuls aferen khas yang meliputi
impuls protopatik, propioseptif dan panca-indera. Penghantaran impuls ini
dari titik reseptor pada tubuh melalui jaras spinotalamik, lemniskus
medialis, jaras genikulo-kalkarina dan sebagainya menuju ke suatu titik di
korteks perseptif primer. Impuls aferen spesifik ini yang sampai di korteks
akan menghasilkan kesadaran yang sifatnya spesifik yaitu perasaan nyeri
di kaki atau tempat lainnya, penglihatan, penghiduan atau juga
pendengaran tertentu. Sebagian impuls aferen spesifik ini melalui cabang
kolateralnya akan menjadi impuls non-spesifik karena penyalurannya
melalui lintasan aferen non-spesifik yang terdiri dari neuronneuron di
substansia retikularis medulla spinalis dan batang otak menuju ke inti

10
intralaminaris thalamus (dan disebut neuron penggalak kewaspadaan)
berlangsung secara multisinaptik, unilateral dan lateral, serta
menggalakkan inti tersebut untuk memancarkan impuls yang menggiatkan
seluruh korteks secara difus dan bilateral yang dikenal sebagai diffuse
ascending reticular system. Neuron di seluruh korteks serebri yang
digalakkan oleh impuls aferen non-spesifik tersebut dinamakan neuron
pengemban kewaspadaan. Lintasan aferen non-spesifik ini menghantarkan
setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke titik-titik pada seluruh sisi
korteks serebri. Jadi pada kenyataannya, pusat-pusat bagian bawah otaklah
yaitu substansia retikularis yang mengandung lintasan non-spesifik difus,
yang menimbulkan “kesadaran” dalam korteks serebri. Derajat kesadaran
itu sendiri ditentukan oleh banyak neuron penggerak atau neuron
pengemban kewaspadaan yang aktif. Unsur fungsional utama neuron-
neuron ialah kemampuan untuk dapat digalakkan sehingga menimbulkan
potensial aksi. (Goysal, 2016)
Selain itu juga didukung oleh proses- proses yang memelihara
kehidupan neuron-neuron serta unsur-unsur selular otak melalui proses
biokimiawi, karena derajat kesadaran bergantung pada jumlah neuron-
neuron tersebut yang aktif. Adanya gangguan baik pada neuron-neuron
pengemban kewaspadaan ataupun penggerak kewaspadaan akan
menimbulkan gangguan kesadaran. (Goysal. 2016)
2.2 Definisi, klasifikasi,dan etiologi penurunan kesadaran
2.2.1 Definisi
Penurunan kesadaran mempunyai berbagai derajat. Menurut Plum,
gangguan kesadaran yang maksimal (koma) didefinisikan sebagai
“unarousable unresponsiveness” yang berarti “the absence of any
psychologically understandable response to external stimulus or inner
need”, tiadanya respons fisiologis terhadap stimulus eksternal atau
kebutuhan dalam diri sendiri. (Goysal. 2016)
2.2.2 Klasifikasi
Berdasar anatomi-patofisiologi, koma dibagi dalam (Goysal. 2016):

11
a. Koma kortikal-bihemisferik, yaitu koma yang terjadi karena neuron
pengemban kewaspadaan terganggu fungsinya.
b. Koma diensefalik, terbagi atas koma supratentorial, infratentorial,
kombinasi supratentorial dan infratentorial; dalam hal ini neuron
penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron
pengemban kewaspadaan.
2.2.3 Etiologi
Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik
yang bersifat intrakranial maupun ekstrakranial / sistemik. Penjelasan
singkat tentang faktor etiologi gangguan kesadaran adalah sebagai berikut
(Goysal, 2016):
a. Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau batang
otak) - Perdarahan, trombosis maupun emboli - Mengingat insidensi
stroke cukup tinggi maka kecurigaan terhadap stroke pada setiap
kejadian gangguan kesadaran perlu digaris bawahi
b. Infeksi: ensefalomeningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/abses
otak) - Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit
yang sering dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan
kesadaran yang disertai suhu tubuh meninggi perlu dicurigai adanya
ensefalomeningitis.
c. Gangguan metabolisme - Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal,
dan diabetes melitus sering dijumpai.
d. Neoplasma - Neoplasma otak, baik primer maupun metastatik, sering di
jumpai di Indonesia. - Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan
usia dewasa dan lanjut. - Kesadaran menurun umumnya timbul
berangsur-angsur namun progresif/ tidak akut.
e. Trauma kepala - Trauma kepala paling sering disebabkan oleh
kecelakaan lalu-lintas.
f. Epilepsi - Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsi umum dan
status epileptikus

12
g. Intoksikasi - Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan
bunuh diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.
h. Gangguan elektrolit dan endokrin - Gangguan ini sering kali tidak
menunjukkan “identitas”nya secara jelas; dengan demikian memerlukan
perhatian yang khusus agar tidak terlupakan dalam setiap pencarian
penyebab gangguan kesadaran.
2.3 Patomekanisme Penurunan Kesadaran
Patofisiologi menerangkan terjadinya kesadaran menurun sebagai
akibat dari berbagai macam gangguan atau penyakit yang masing-masing
pada akhirnya mengacaukan fungsi reticular activating system secara
langsung maupun tidak langsung. Dari studi kasus-kasus koma yang
kemudian meninggal dapat dibuat kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi
/mekanisme yang masing-masing merusak fungsi reticular activating
system, baik secara langsung maupun tidak langsung. (Goysal, 2015)
a. Disfungsi Otak Difus
 Proses metabolik atau submikroskopik yang menekan aktivitas
neuronal. (Goysal, 2015)
 Lesi yang disebabkan oleh abnormalitas metabolik atau toksik atau
oleh pelepasan general electric (kejang) diduga bersifat subseluler atau
molekuler, atau lesi-lesi mikroskopik yang tersebar. (Goysal, 2015)
 Cedera korteks dan subkorteks bilateral yang luas atau ada kerusakan
thalamus yang berat yang mengakibatkan terputusnya impuls
talamokortikal atau destruksi neuron-neuron korteks bisa karena
trauma (kontusio, cedera aksonal difus), stroke (infark atau perdarahan
otak bilateral). (Goysal, 2015)
 Sejumlah penyakit mempunyai pengaruh langsung pada aktivitas
metabolik selsel neuron korteks serebri dan nuclei sentral otak seperti
meningitis, viral ensefalitis, hipoksia atau iskemia yang bisa terjadi
pada kasus henti jantung. Pada umumnya, kehilangan kesadaran pada
kondisi ini setara dengan penurunan aliran darah otak atau
metabolisme otak. (Goysal, 2015)

13
b. Efek Langsung Pada Batang Otak
 Lesi di batang otak dan diensefalon bagian bawah yang
merusak/menghambat reticular activating system. (Goysal, 2015)
 Lesi anatomik atau lesi destruktif terletak di talamus atau midbrain di
mana neuron-neuron ARAS terlibat langsung. (Goysal, 2015)
 Pola patoanatomik ini merupakan tanda khas stroke batang otak akibat
oklusi arteri basilaris, perdarahan talamus dan batang otak atas, dan
traumatic injury. (Goysal, 2015)
c. Efek Kompresi Pada Batang Otak
Kausa kompresi primer atau sekunder. Lesi masa yang bisa dilihat
dengan mudah. Massa tumor, abses, infark dengan edema yang masif
atau perdarahan intraserebral, subdural maupun epidural. Biasanya lesi
ini hanya mengenai sebagian dari korteks serebri dan substansia alba dan
sebagian besar serebrum tetap utuh. Tetapi lesi ini mendistorsi struktur
yang lebih dalam dan menyebabkan koma karena efek pendesakan
(kompresi) ke lateral dari struktur tengah bagian dalam dan terjadi
herniasi tentorial lobus temporal yang berakibat kompresi mesensefalon
dan area subthalamik reticular activating system, atau adanya perubahan-
perubahan yang lebih meluas di seluruh hemisfer. (Goysal, 2015)
Lesi serebelar sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan area
retikular batang otak atas dan menggesernya maju ke depan dan ke atas.
Pada kasus prolonged coma, dijumpai perubahan patologik yang terkait
lesi seluruh bagian sistim saraf korteks dan diensefalon. (Goysal, 2015)
Berdasarkan anatomi-fisiologi, koma dibagi dalam (Goysal, 2015):
a. Koma Kortikal-bihemisferik
Koma Kortikal-bihemisferik terjadi karena neuron pengemban
kewaspadaan terganggu fungsinya
b. Koma Diensefalik
Koma diensefalik terbagi atas koma supratentorial, infratentorial,
kombinasi supratentorial dan infratentorial; dalam hal ini neuron

14
penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron
pengemban kewaspadaan. (Goysal, 2015)
Sampai saat ini mekanisme neuronal pada koma belum diketahui
secara pasti. Dalam eksperimen, jika dilakukan dekortikasi atau
perusakan inti intralaminar talamik atau jika substansia grisea di sekitar
akuaduktus sylvii dirusak akan terjadi penyaluran impuls asenden
nonspesifik yang terhambat sehingga terjadi koma. Studi terkini yang
dilakukan oleh arvizi dan Damasio melaporkan bahwa lesi pada pons
juga bisa menyebabkan koma. (Goysal, 2015)
Koma juga bisa terjadi apabila terjadi gangguan baik pada neuron
penggalak kewaspadaan maupun neuron pengemban kewaspadaan yang
menyebabkan neuronneuron tersebut tidak bisa berfungsi dengan baik
dan tidak mampu bereaksi terhadap pacuan dari luar maupun dari dalam
tubuh sendiri. Adanya gangguan fungsi pada neuron pengemban
kewaspadaan, menyebabkan koma kortikal bihemisferik, sedangkan
apabila terjadi gangguan pada neuron penggalak kewaspadaan,
menyebabkan koma diensefalik, supratentorial atau infratentorial.
(Goysal, 2015)
Penurunan fungsi fisiologik dengan adanya perubahan-perubahan
patologik yang terjadi pada koma yang berkepanjangan berhubungan erat
dengan lesi-lesi sistem neuron kortikal diensefalik. Jadi prinsipnya semua
proses yang menyebabkan destruksi baik morfologis (perdarahan,
metastasis, infiltrasi), biokimia (metabolisme, infeksi) dan kompresi pada
substansia retikularis batang otak paling rostral (nuklei intralaminaris)
dan gangguan difus pada kedua hemisfer serebri menyebabkan gangguan
kesadaran hingga koma. Derajat kesadaran yang menurun secara
patologik bisa merupakan keadaan tidur secara berlebihan (hipersomnia)
dan berbagai macam keadaan yang menunjukkan daya bereaksi di bawah
derajat awas-waspada. Keadaan-keadaan tersebut dinamakan letargia,
mutismus akinetik, stupor dan koma. (Goysal, 2015)

15
Bila tidak terdapat penjalaran impuls saraf yang kontinyu dari
batang otak ke serebrum maka kerja otak menjadi sangat terhambat. Hal
ini bisa dilihat jika batang otak mengalami kompresi berat pada
sambungan antara mesensefalon dan serebrum akibat tumor hipofisis
biasanya menyebabkan koma yang ireversibel. Saraf kelima adalah
nervus tertinggi yang menjalarkan sejumlah besar sinyal somatosensoris
ke otak. Bila seluruh sinyal ini hilang, maka tingkat aktivitas pada area
eksitatorik akan menurun mendadak dan aktivitas otakpun dengan segera
akan sangat menurun, sampai hampir mendekati keadaan koma yang
permanen. (Goysal, 2015)
2.4 Hubungan nyeri kepala dan demam terhadap penurunan kesadaran
Terjadinya nyeri kepala dan demam diakibatakan oleh adanya
kerusakan dari sel sel tubuh yaitu pada bagian kepala karena letak atau
lokasi nyerinya berada pada kepala. Kerusakan sel sel yang terjadi
diakibatkan oleh karena adanya agen infeksius sehingga dengan mekanisme
ini akan mengaktifkan sel sel pertahanan tubuh. Teraktifasinya sel sel
pertahanan tubuh inilah yang akan mengakibatkan keluhan nyeri kepala dan
demam. Karena kerusakan atau gangguannya berada pada bagian kepala,
jika agen infeksius sampai merusak pusat kesadaran maka akan
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran. (Rianawati Sri Budhi &
Munir Badrul, 2017)
2.5 Hubungan penyakit cacar dengan penurunan kesadaran
Penyakit cacar merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
varicella zozter. Penyakit ini, jika tidak di tangani atau tidak di obati maka
virus yang menyebabkan infeksi bisa menginfeksi daerah lain seperti otak
melalui hematogen. Jika virus ini sudah sampai ke dalam otakdan akan
mengakibatkan terjadinya kerusakan bagian otak, dan jika kerusakan ini
terjadi pada sel sel saraf otak termasuk pada pusat kesadaran maka akan
mengakibatkan terjadinya gejala penurunan kesadaran pada seseorang.
(Rianawati Sri Budhi & Munir Badrul, 2017)

16
2.6 Langkah penegakan diagnosis dengan penurunan kesadaran
a. Anamnesis
Dalam kasus gangguan kesadaran, auto-anamnesis masih dapat
dilakukan bila gangguan kesadaran masih bersifat ”ringan”, pasien masih
dapat menjawab pertanyaan (lihat pemeriksaan Glasgow Coma Scale/
GCS). Hasil auto-anamnesis ini dapat dimanfaatkan untuk menetapkan
adanya gangguan kesadaran yang bersifat psikiatrik – termasuk sindrom
otak organik atau gangguan kesadaran yang bersifat neurologik
(dinyatakan secara kualitatif maupun kuantitatif ke dalam GCS). Namun
demikian arti klinis dari anamnesis perlu dicari dari dengan hetero-
anamnesis, yaitu anamnesis terhadap pengantar dan atau keluarganya.
Berbagai hal yang perlu ditanyakan pada saat anamnesis adalah sebaai
berikut (Brust, J.C.M., 2007):
 Identitas pasien
 Keluhan pasien sebelum terjadinya gangguan kesadaran, antara lain
nyeri kepala yang mendadak atau sudah lama, perasaan pusing
berputar, mual dan muntah, penglihatan ganda, kejang, kelumpuhan
anggota gerak.
 Obat-obat yang diminum secara rutin oleh pasien, misalnya obat
penenang, obat tidur, antikoagulansia, antihipertensi.
 Apakah gangguan kesadaran terjadi secara bertahap atau mendadak,
apakah disertai gejala lain / ikutan?
 Penyakit yang pernah diderita sebelum terjadinya gangguan
kesadaran, misalnya diabetes melitus, hipertensi, penyakit ginjal,
penyakit hati, epilepsi, adiksi obat tertentu
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan ini hendaknya diperhatikan hal-hal yang
biasanya dilakukan oleh setiap dokter, dengan memerhatikan sistematika
dan ketelitian, sebagai berikut (Brust, J.C.M., 2007):
 Nadi, meliputi frekuensi, isi dan irama denyut

17
 Tekanan darah, diukur pada lengan kanan dan lengan kiri;
perhatikanlah apakah tensimeter masih berfungsi dengan baik
 Suhu tubuh, pada umumnya termometer dipasang di ketiak; bila perlu
diperiksa secara rektal
 Respirasi, meliputi frekuensi, keteraturan, kedalaman, dan bau
pernapasan (aseton, amonia, alkohol, bahan kimia tertentu dll)
 Kulit, meliputi turgor, warna dan permukaan kulit ( dehidrasi, ikterus,
sianosis, bekas suntikan, luka karena trauma, dll)
 Kepala, apakah ada luka dan fraktur
 Konjungtiva, apakah normal, pucat, atau ada perdarahan
 Mukosa mulut dan bibir, apakah ada perdarahan, perubahan warna
 Telinga, apakah keluar cairan bening, keruh, darah, termasuk bau
cairan perlu diperhatikan
 Hidung, apakah ada darah dan atau cairan yang keluar dari hidung
 Orbita, apakah ada brill hematoma, trauma pada bulbus okuli,
kelainan pasangan bola mata, pupil, celah palpebra, ptosis
 Leher, apakah ada fraktur vertebra; bila yakin tidak ada fraktur maka
diperiksa apakah ada kaku kuduk
 Dada, pemeriksaan fungsi jantung dan paru secara sistematik dan teliti
 Perut, meliputi pemeriksaan hati, limpa, ada distensi atau tidak, suara
peristaltik usus, nyeri tekan di daerah tertentu
c. Pemeriksaan penunjang
 Oftalmoskop. Untuk pemeriksaan fundoskopi, meliputi kemungkinan
adanya edema papil, edema retina, arteriosklerosis / fenomenon
silang, perdarahan retina, tuberkel retina. (Brust, J.C.M., 2007)
 CT Scan atau MRI. Bila keadaan pasien memungkinkan untuk dibawa
ke bagian radiologi / MRI Untuk melihat adanya kelainan struktur
otak. (Brust, J.C.M., 2007)
2.7 Menilai penurunan kesadaran secara kualitatif dan kuantitaf
a. Kualitatif

18
 Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan

sekelilingnya. (Dian S & Basuki A, 2012)

 Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan

dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
 (Dian S & Basuki A,

2012)
 Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.

(Dian S & Basuki A, 2012) 


 Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon


psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat
pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,

mampu memberi jawaban verbal.(Dian S & Basuki A, 2012)

 Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada

respon terhadap nyeri.(Dian S & Basuki A, 2012)

 Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon


terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

(Dian S & Basuki A, 2012)


b. Kuantitatif dengan GCS (Glasgow Coma Scale)


 Menilai respon membuka mata (E)
(4) : spontan

(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).


(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya


menekan kuku jari)

(1) : tidak ada respon
 (Dian S & Basuki A, 2012)

19
 Menilai respon Verbal/respon Bicara (V)


(5) : orientasi baik


(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang )


disorientasi tempat dan waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas,

namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh..., bapak...”) 


(2) : suara tanpa arti (mengerang)

(1) : tidak ada respon
 (Dian S & Basuki A, 2012)

 Menilai respon motorik (M)


(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat

diberi rangsang nyeri)


(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh

menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)


(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas

dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).


(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi


tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang
nyeri).

(1) : tidak ada respon (Dian S & Basuki A, 2012)

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan


dalam simbol E...V...M... Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS
yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu

E1V1M1. Setelah dilakukan scoring maka dapat diambil kesimpulan (Dian

S & Basuki A, 2012) :


 Compos Mentis(GCS: 15-14)

20
 Apatis (GCS: 13-12)
 Somnolen(11-10)
 Delirium (GCS: 9-7)
 Sporo coma (GCS: 6-4)
 Coma (GCS: 3)
2.8 Interpretasi hasil pemeriksaan fisik
 Tekanandarah 120/80 mmHg : Normal
 Denyut nadi 84 kali/menit : Normal
 Frekuensi Napas 20 kali/menit : Normal
 Temperature 38,5 C : Demam
 Kaku kuduk : Negatif  tidak ada masalah pada meninges
 Reflex Babinski : Negatif  normal pada orang dewasa (positif pada
bayi menandakan adanya perkembangan saraf)
2.9 Penangan awal pada pasien dengan penurunan kesadaran
a. Pernapasan
 Harus diusahakan agar jalan napas tetap bebeas dari obstruksi
 Posisi yang baik adalah miring dengan kepala lebih rendah dari
badan supaya darah atau cairan yang dimuntahkan dapat mengalir
keluar. (Goysal, 2015)
b. Tekanan darah
Harus diusahakan agar tekanan darah cukup tinggi untuk
memompa darah ke otak. (Goysal, 2015)
c. Otak
 Periksalah kemungkinan adanya edema otak
 Hentikan kejang yang ada (Goysal, 2015)
d. Vesika Urinaria
 Periksalah apakah ada retensio atau inkontinensia urin
 Pemasangan kateter merupakan suatu keharusan. (Goysal, 2015)
e. Gastro-intestinal
 Perhatikan kecukupan kalori, vitamin dan elektrolit

21
 Pemasangan nasogastric tube berperan ganda: untuk memasukkan
makanan dan obat-obatan serta untuk memudahkan pemeriksaan
apakah ada perdarahan lambung (stress ulcer)
 Periksalah apakah ada tumpukan skibala. (Goysal, 2015)
Perawatan pasien koma harus bersifat intensif dengan pemantauan
yang ketat dan sistematik. Pemberian oksigen, obat-obatan tertentu maupu
tindakan medik tertentu disesuaikan dengan hasil pemantauan. Setelah
penatalaksanaan dasar, yang dilakukan selanjutnya adalah penatalaksanaan
spesifik sesuai etiologinya. (Goysal, 2015)
2.10 Differential Diagnosis
2.10.1 Encephalitis Virus
2.10.1.1 Definisi
Ensefalitis adalah suatu peradangan pada otak, yang biasanya
disebabkan oleh virus dan dikenal sebagai ensefalitis Virus.
(Mardjono, 2000)
2.10.1.2 Etiologi
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia:
(Mardjono, 2000)
a. Virus RNA
 Paramikso virus : virus parotitis, virus morbili
 Rabdovirus : virus rabies
 Togavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis jepang
B,virus dengue)
 Picornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie A, B,
echovirus)
b. Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria Virus DNA
 Herpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks,
sitomegalivirus, virus Epstein-barr
 Poxvirus : variola, vaksinia
 Retrovirus : AIDS
2.10.1.3 Klasifikasi

22
a. Ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus
kelompok herpes simpleks, virus influensa, ECHO, Coxsackie dan
virus arbo. (Mardjono, 2000)
b. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya. (Mardjono,
2000)
c. Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai
komplikasi penyakit virus yang sudah dikenal sepertirubeola,
varisela, herpes zoster, parotitis epidemika, mononukleosis
infeksiosa dan vaksinasi. (Mardjono, 2000)
2.10.1.4 Patofisiologi
Virus dapat masuk tubuh pasien melalui kulit, saluran napas,
dan saluran cerna. Setelah masuk kedalam tubuh, virus akan
menyebar keseluruh tubuh dengan beberapa cara (Mardjono, 2000):
 Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir
permukaan atau organ tertentu
 Penyebaran hematogen primer : virus masuk kedalam
darahkemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di
organtersebut
 Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biakdidaerah
pertama kali masuk (permukaan selaput lendir)kemudian
menyebar ke organ lain.
 Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biakdipermukaan
selaput lendir dan menyebar melalui sistem saraf. Pada keadaan
permulaan timbul demam, tapi belum ada kelainanneurologis.
Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerangsusunan
saraf pusat dan akhrinya diikuti kelainan neurologis.
Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh
(Mardjono, 2000):
 Invasi dan perusakan langsung pada jaringan otak oleh virusyang
sedang berkembang biak

23
 Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yangakan
berakibat demielinisasi, kerusakan vaskular, danparavaskular.
Sedangkan virusnya sendiri sudah tidak ada dalam jaringan otak
 Reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten
2.10.1.5 Manifestasi Klinis
Banyak orang terinfeksi ensefalitis virus dengan kasus gejala
ringan bisa menyebabkan : demam, sakit kepala, kehilangan
energi dan hilang nafsu makan. Kasus serius bisa menyebabkan:
drowsiness, bingung dan disorientasi, seizures / konvulsions, demam
mendadak, sakit kepala berat, mual dan muntah, tremor atau
konvulsi, kaku kuduk, bulging pada fontanel dari skull pada infants,
perubahan kepribadian, masalah dengan pengucapan dan
pendengaran, halusinasi. (Mardjono, 2000)
2.10.1.6 Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Penegakan diagnosa ensefalitis dimulai dengan proses
anamnesa secara lengkap mengenai adanya riwayat terpapar
dengan sumber infeksi, status immunisasi gejala klinis yang
diderita, riwayat menderita gejala yang sama sebelumnya sertaada
tidak nya faktor resiko yang menyertai. (Mardjono, 2000)
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilihat tanda-tanda penyakit
sistemik seperti dijumpai adanya rash, limfeadenopati,
meningismus, penurunan kesadaran, peningkatantekanan
intracranial yang ditandai dengan adanya papil edema, tanda-
tanda neurologis fokal seperti kelemahan, gangguan berbicara,
peningkatan tonus otot,dan hiper refleks ekstensor plantaris.
(Mardjono, 2000)
c. Pemeriksaan Penunjang
 Spinal tap (lumbal puncture) :
- Cairan jernih

24
- Jumlah sel diatas normal 50-500/mm3
- Hitung jenis didominasi sel imfosit, protein danglukosa
(normal) /↑.
Untuk mendiagnosa ensefalitis adalah menganalisis
cairancerebrospinal otak dan sumsum tulang.Jarum
dimasukkan kedalam extract spine terbawah dari samplecairan
untuk analysis laboratory menunjukkan infeksi
ataupeningkatan jumlah sel darah putih. (Mardjono, 2000)
 EEG (Electroencephalography)
Didapatkan penurunan aktivitas atau perlambatan.
prosedure ini setengah jam, mengukur gelombang aktivitas
elektrik yang diproduksi oleh otak.Ini sering digunakan untuk
mendiagnosa dan mengatur penyakitkejang. Abnormal EEG
menunjukkan ensefalitis. (Mardjono, 2000)
 Brain Imaging
Menunjukkan gambaran edema otak. pada ensefalitis
herpes simplex pemeriksaan CT scan hari ke-3 menunjukkan
gambaran hipodens pada daerah fronto temporal.
Computerized Tomography (CT) atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI) scan bisa swelling dari otak atau ini dengan
kondisi lain dengan tanda dan gejala mirip encephalitis seperti
geger otak . Jika ensefalitis dicurigai, brain imaging adalah
sering sebelum spinal tap dan adanya peningkatan tekanan
intracranial. (Mardjono, 2000)
 Biopsi Otak
Paling sering digunakan untuk diagnosis dari herpes
simplex ensefalitis bila tidak mungkin menggunakan metode
DNA atau CT atau MRI scan. Dokter boleh mengambil sample
kecil dari jaringan otak. Sampel ini dianalysis dilaboratorium
untuk melihat virus yang ada. Dokter boleh mencoba treatment

25
dengan antivirus medikasi sebelum biopsi otak. (Mardjono,
2000)
 Tes darah
DPL / gula darah, elektrolit darah, biakan darah ini untuk
mendeteksi antibodi antigen virus dan protein asing.
(Mardjono, 2000)
2.10.1.7 Penatalaksanaan
 Acyclovir diberikan untuk mengobati ensefalitis yang disebabkan
oleh HSV,HZV dan EBV. Asiklovir intravena dapat diberikan 10
mg/kgBB sampai 30 mg/kgBB tiap 8 jam selama 10 hari bila
secara klinis dicurigai disebabkan oleh virus herpes simpleks.
(Mardjono, 2000)
 Gancyclovir atau Foscarnet mengobati ensefalitis yang
disebabkan oleh cytomegalo virusdan HSV 1 (Mardjono, 2000).
 Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 – 1/2 S atau
D5 – 1/4 S (tergantung umur) dan pemberian oksigen. (Mardjono,
2000)
 Anti Konvulsan medikasi untuk mencegah dan mengobati kejang
yang dihubungkan dengan ensefalitis. Pemberian Fenobarbital 5-
8mg /kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi perlu diberikan
Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3
menit. (Mardjono, 2000)
 Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol
diberikan intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB/hari selama 30-
60 menit. Pemberian dapat diulang setiap 8-12 jam. (Mardjono,
2000)
 Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang
ditimbulkan anoreksia serebri dengan Deksametaxon 0,15 – 1.0
mg/kgBB/hari IV, dibagi dalam 3 dosis. (Mardjono, 2000)
2.10.2 Meningitis Virus
2.10.2.1 Definisi

26
Meningitis viral adalah infeksi cairan otak akibat virus yang
disertai radang yang mengenai piameter (lapisan dalam selaput otak)
dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai
jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial. (Mcgill Fiona.
dkk, 2018)
Penularan pada penyakit meningitis dapat terjadi secara kontak
langsung dengan penderita dan droplet infection yaitu terkena
percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok
penderita. (Wright f William. dkk, 2019)
2.10.2.2 Epidemiologi
Studi populasi secara luas memperlihatkan bahwa meningitis
virus virus lebih sering terjadi, sekitar 10,9/100.000 orang, dan lebih
sering terjadi pada musim panas. Penelitian di RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta tentang gambaran kasus meningitis
melaporkan bahwa sepanjang tahun 2005-2006, terdapat 273 kasus
meningitis. Rentang usia subjek antara 12-78 tahun dan lebih banyak
insiden pada laki-laki. (Wright f William. dkk, 2019)
2.10.2.3 Etiologi
Penyebab meningitis akibat infeksi virus yang paling sering
ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus,
Herpes simplex, Herpes zooster, dan enterovirus. Meningitis yang
disebabkan oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik,
cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. (Mcgill Fiona. Dkk, 2018.
Wright f William. dkk, 2019. Pangandaheng. Dkk, 2017)
2.10.2.4 Patofisiologi
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran
penyakit di organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus menyebar
secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit
Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan
Endokarditis. Penyebaran virus dapat pula secara perkontinuitatum
dari peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak,

27
misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus
kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat
trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak.
(Wright f William. dkk, 2019)
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang
mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi
penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang
subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari
terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua
sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan,
bagian luar mengandung leukosit polimorfnuklear dan fibrin
sedangkan dilapisan dalam terdapat makrofag. (Wright f William.
dkk, 2019)
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di
korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak
dan degenerasi neuron-neuron. Trombosis serta organisasi eksudat
perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan kraniales.
Pada Meningitis yang disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal
tampak jernih. (Wright f William. dkk, 2019. Ginsberg l, 2003)
2.10.2.5 Manifestasi Klinis
Secara umum meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala
seperti panas mendadak, letargi, muntah dan kejang. Meningitis
karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta
rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis
yang disebabkan oleh Mumps virus ditandai dengan gejala anoreksia
dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid
sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang
disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala,
muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan
timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah,
leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada

28
meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler pada palatum,
uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa
sakit kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri punggung.
(Mcgill Fiona, dkk. 2018. Wright f William. dkk, 2019)
2.10.2.6 Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Kaku Kuduk Pasien berbaring terlentang dan
dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan rotasi kepala.
Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan
tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan
spasme otot. Dagu tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga
didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala.
(Wright f William. dkk, 2019. Ginsberg l, 2003)
 Pemeriksaan Tanda Kernig sign Pasien berbaring terlentang,
tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh
mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila
ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak
dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha
biasanya diikuti rasa nyeri. (Wright f William. dkk, 2019.
Ginsberg l, 2003)
 Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher) Pasien
berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya
dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian
dilakukan fleksi kepala dengan cepat kearah dada sejauh
mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan
terjadi fleksi involunter pada leher. (Wright f William. dkk,
2019. Ginsberg l, 2003)
 Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral
Tungkai) Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi
pasif paha pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan

29
Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan
terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut
kontralateral (Wright f William. dkk, 2019. Ginsberg l, 2003)
b. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan fungsi Lumbal. Lumbal fungsi biasanya
dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya
peningkatan tekanan intrakranial. Pada Meningitis akibat virus
terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel darah putih
meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).(Wright f
William. dkk, 2019)
 Pemeriksaan darah Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin,
jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa,
kadar ureum, elektrolit dan kultur. Pada Meningitis akibat
virus didapatkan peningkatan leukosit saja. (Wright f William.
dkk, 2019)
 Pemeriksaan Radiologis. Pada Meningitis akibat virus
dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin dilakukan CT
Scan. (Wright f William. dkk, 2019)
2.10.2.7 Penatalaksanaan
Dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera.
Deteksi dini dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta
keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis. (Wright f William.

dkk, 2019)
Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota
keluarga penderita, kontak dekat untuk menemukan penderita secara
dini. Penderita juga diberikan pengobatan dengan memberikan
antibiotik yang sesuai dengan jenis penyebab meningitis seperti pada
meningitis akibat Haemophilus influenza b diberikan ampisilin,
kloramfenikol, setofaksim, seftriakson. (Wright f William. dkk, 2019)

30
Kemudian setelah pernyakit berhenti pada kerusakan lanjut atau
komplikasi. Pencegahan perlu dilakukan untuk menurunkan kelemahan
dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita untuk
melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati
lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak
neurologis jangka panjang misalnya tuli atau ketidakmampuan untuk
belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan
mengurangi cacat. (Wright f William. dkk, 2019)

2.10 Integrasi Keislaman


Jika seseorang hilang kesadaran bukan karena pilihannya sendiri
seperti karena pingsan atau kecelakaan, lantas ia luput dari beberapa shalat,
maka sebagian ulama berpendapat tidak adaqodho’ karena ketika pingsan, ia
tidak dalam keadaan mukallaf (dibebani suatu kewajiban). Alasannya dari
hadits ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ى ِِ وع ِن يسْت ْي ِقظ حتَّى النَّائِ ِم ع ِن ثالثة ع ْن ْالقل ُم ُرفِع‬ ُ ‫ي ْع تَّى ح ْالم ْع‬
َّ ‫تو ِه وع ِن يشِبَّ حتَّى ال‬
ِِّ ِ‫صب‬
‫قِل‬

“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun,
anak kecil sampai ia dewasa dan orang gila sampai ia sadar.” (HR.
Tirmidzi no. 1423. Syaikh Al Albani mengatakanbahwa hadits ini
shahih). Demikian pendapat madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah.
Sebagian lainnya berpendapat bahwa tetap ada qodho’ (kewajiban
mengganti shalat yang luput). Pendapat kedua ini dipegang oleh madzhab
Hambali. Dalam madzhab Hambali dibedakan antara gila dan pingsan.
Orang yang gila tidak ada qodho’ ketika luput dari shalat. Sedangkan bagi
orang yang pingsan tetap wajib qodho’ karena umumnya pingsan tidak
dalam waktu lama. Ada sebuah riwayat dari ‘Ammar ketika ia pingsan dan
tidak sadarkan diri sampai 3 hari. Ketika sadar ia bertanya, “Aku sudah
shalat apa belum?” Teman-temannya menjawab, “Engkau tidak shalat

31
selama tiga hari.” Lantas ‘Ammar pun berdiri dan melaksanakan shalat
untuk tiga hari yang ia luput. Ada dari riwayat ‘Imron bin Hushain dan
Jundub radhiyallahu ‘anhuma yang semisal itu. Dan tidak diketahui ada
yang menyelisihi hal ini sehingga seakan-akan sebagai ijma’ (kata sepakat
sahabat).
Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika shalat yang luput
tidak lebih dari 6 shalat, maka tetap ada qodho’. (Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 11: 110 dan fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 151203)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Jika seseorang
pingsan selama tiga hari atau kurang dari itu, maka ia harus mengqodho’
shalat yang ia tinggalkan. Jika ia pingsan lebih dari tiga hari, maka tidak ada
qodho’.” (Fatwa Syaikh Ibnu Baz dinukil dari fatwa Al Islam Sual wal
Jawab no. 10229)
Pendapat yang lebih rinci dalam masalah ini, qodho’ (mengganti)
shalat bagi orang yang sebelumnya pingsan dibedakan menjadi dua
keadaan:
a. Jika pingsannya dengan sendirinya karena sakit atau kecelakaan, maka ia
tidak perlu mengqodho’ shalat karena keadaannya tidak seperti orang
ketiduran dan tidak bisa dibangunkan saat itu juga. Jadi beda dengan
orang yang tertidur. Sehingga kondisi orang yang pingsan adalah antara
hilang akal (gila) dan kondisi tidur. Di sini baik ia meninggalkan shalat
tadi dalam waktu lama atau hanya sebentar, tidak ada qodho’.
b. Jika tak sadarkan diri karena pengaruh obat bius -artinya atas pilihan
sendiri-, lalu baru tersadar setelah 2 atau 3 hari, maka ia punya kewajiban
mengqodho’ shalat. Kondisi kedua ini dikenai kewajiban qodho’ karena
ia pingsan atas pilihannya sendiri. (Lihat fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di
fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 151203)
Kaidah penting yang diberikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin rahimahullah di mana beliau berkata, “Jika seseorang hilang
kesadaran atas pilihannya sendiri, maka ada kewajiban qodho’. Jika hilang

32
kesadaran bukan atas pilihan sendiri, maka tidak ada qodho’.” (Syarhul
Mumthi’, 2: 19).

BAB III
PENUTUP

3.1 Tabel DD terkait skenario

Lk ꜜkesadaran Nyeri Didahului Kaku Refleks


20 perlahan Kepala Demam penyakit kuduk Babinski
tahun sejak 5 hari cacar

Encephalitis + + + + + - -
virus
Meningitis + + + + + + +
Virus
TD, Nadi, napas normal Ket
+  Tes Amplifikasi Asam Nukleat  PCR
 Pungsi lumbal dimana didaptakan cairan berwarna
jernih serta peningkatan jumlah sel darah putih diatas
normal
 MRI dan CT-Scan  swelling otak

33
+  Pemeriksaan ransang meninges (kaku kuduk, kernig
sign, brudzinski I dan II)  positif
 Pemeriksaan darah  virus  peningkatan leukosit
saja

3.2 Diagnosis utama


 Encephalitis virus

DAFTAR PUSTAKA

Brust, J.C.M. 2007. Current Diagnosis & Treatment Neurology International Ed.
New York: Mc Grawhill
Budhi R, Munir B. 2017. Buku Ajar Neurologi. Jakarta: Sagung Seto
Dian S, Basuki A. 2012. Altered Consciousness Basic, Diagnostic, And
Management. Bandung: Bagian/UPF ilmu penyakit saraf.
Duus, P. 2016. Diagnosis Topik Neurologi; Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala,
edisi 4. (Alifa Dimanti, Pentj). Jakarta.
Ginsberg l. 2003. Difficult And Recurrent Meningitis. London: Departemen of
neurology, Royal free hospital.
Goysal, Yudy. 2015. Kesadaran Menurun (KOMA). [internet] 2019 [diakses pada
tanggal 12 juni 2019] [avaliable from
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-
Ajar-Kesadaran-Menurun.pdf]
Goysal, Yudy. 2016. Kesadaran Menurun. Bahan ajar NeuropsikiatriI. Bagian/SMF
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin RS Wahidin Sudirohusodo
Makassar

34
Mardjono, Mahar, Sidharta P. 2000. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat.
Mcgill Fiona, dkk. 2018. Incidence, Etiology, And Sequelae Of Viral Meningitis
In UK Adult. Multicenter Prospective Observational Cohort Study.
Pangandaheng, dkk. 2017. Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Perilaku
Masyarakat Tentang Penyakit Meningitis Di Kelurahan Soataloara II
Kecamatan Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe. Sulawesi Utara:
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.
Setiadi. 2007. Anatomi Fisiologi Manusia.Yogyakarta: Graha Ilmu
Snell R S. 2015. Neuroanatomi Klinik. Edisi 7 (terjemahan). Jakarta: EGC
Wright f William, dkk. 2019. Viral (Aseptic) Meningitis. Medical Image Analysis.

35

Anda mungkin juga menyukai