Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN RESMI SKILL LAB LBM 3

ANALISIS STUDI KASUS GAGAL GINJAL


MODUL PHARMACOTHERAPY OF ENDOCRINE & KIDNEY DISORDER

Disusun Oleh :
KELOMPOK 2

1. AHMAD SARIFUDDIN ( 33101500353 )


2. ANIK YUFITA S M ( 33101500357 )
3. DEDE MUHAMMAD HAZURO ( 33101500361 )
4. FABIO MEYDINA EKASAPUTRI ( 33101500364 )
5. KHISNIYATUL MUSTOFIAH ( 33101500373 )
6. LENY ANGELINA ( 33101500375 )
7. NINING NUR K ( 33101500389 )
8. RIZKY RACHIM ( 33101500402 )
9. SRI INTAN ( 33101500404 )
10. SULISTYIANINGSIH ( 33101500405 )

JURUSAN FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2018
I. TUJUAN
1. Agar mahasiswa dapat memah ami penyakit dari stroke sehingga dapat
menganalisis kesesuaian rancangan terapi obat
2. Agar mahasiswa dapat mempertimbangkan pemilihan obat berdasarkan 4W+1H
dan dengan metode SOAP
3. Agar mahasiswa dapat mengidentifikasi masalah terkait obat dan memberikan
alternatif solusinya

II. LANDASAN TEORI


1) Pengertian Gagal Ginjal Kronis
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan tidak dapat balik dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
sehingga menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah) (Smeltzer dan Bare,2008).

2) Etiologi
Menurut Suwitra (2009) Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi
antara satu negara dengan negara lainnya dan Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis di Indonesia sebagai berikut : Glomerulonefritis (46,39 %), Diabetes
militus (18,65 %), Obstruksi dan Infeksi (12,85 %), Hipertensi (8,46 %), Sebab
lain (13,65 %). Sebab lain ini di kelompokkan diantaranya: nefritis lupus,
nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan
penyebab yang tidak diketahui.
Beberapa kondisi yang juga dapat menyebabkan PGK dengan prevalensi yang
lebih kecil, antara lain:
a. Glomerulonefritis (radang ginjal)
b. Pielonefritis (infeksi pada ginjal)
c. Penyakit ginjal polikistik
d. Kegagalan pembentukan ginjal normal pada bayi yang belum lahir ketika
berkembang di rahim
e. Lupus eritematosus sistemik (kondisi dari sistem kekebalan tubuh di mana
tubuh menyerang ginjal yang dianggap sebagai benda asing)
f. Jangka panjang penggunaan rutin obat-obatan seperti : obat litium dan NSAID,
termasuk aspirin dan ibuprofen.
g. Penyumbatan, misalnya karena batu ginjal atau penyakit prostat.

Menurut data PERNERI (Perkumpulan Nefrologi Indonesia) tahun 2011,


penyebab PGK pada pasien hemodialysis didapatkan sebagai berikut,
glomerulopati primer 14%, nefropati diabetika 27%, nefropati lupus 1%, penyakit
ginjal hipertensi 34%, ginjal polikistik 1%, nefropati asam urat 2%, nefropati
obstruksi 8%, pielonefritis kronik 6%, lain-lain 6%, tidak diketahui 1%.

3) Epidemiologi
Di Amerika, menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney
Diseases (NIDDK) melaporkan 10% orang dewasa di Amerika memiliki PGK.
Indonesia
Berdasarkan laporan dari Indonesia Renal Registry dari PERNEFRI tahun 2015,
berikut beberapa epidemiologi PGK di Indonesia :
Terjadi peningkatan pasien baru yang terdata, yaitu sebanyak 21.050 (tidak dapat
menunjukkan data seluruh Indonesia)
Terjadi peningkatan pasien aktif atau pasien yang menjalani hemodialisis, diduga
karena faktor Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Proporsi berdasarkan usia tertinggi pada usia 45 – 54 tahun yaitu 56.72% pasien
baru dan 56.77% pasien aktif
Mortalitas
Data di Amerika pada tahun 2009, angka mortalitas pasien PGK meningkat
sebanyak 56% dibandingkan yang tidak memiliki PGK dan untuk PGK stadium 4
dan 5 angka mortalitas meningkat 76%.

4) Patofisiologi
Mayoritas penyebab terjadinya penyakit ginjal progresif biasanya terjadi
karena kerusakan parenkim ginjal yang bersifat irreversibel. Elemen kunci jalur
tersebut adalah hilangnya masa nefron, hipertensi kapiler glomerular dan
proteinuria. Beberapa peneliti meyakini bahwa kerusakan ginjal ini berhubungan
dengan peningkatan tekanan atau peregangan sisa glomerulus. Hal ini terjadi
akibat vasodilatasi fungsional atau peningkatan tekanan darah dan regangan
kronis pada arteriol dan glomeruli diduga akhirnya menyebabkan sklerosis pada
pembuluh. Lesi-lesi sklerosis ini akhirnya dapat mengakibatkan penurunan ginjal
lebih lanjut yang berakhir pada ESRD (Guyton dan Hall, 2007).

5) Faktor Resiko
PGK memiliki beberapa faktor risiko, dimana faktor risiko tersebut
didefinisikan sebagai suatu pemicu yang dapat memperbesar dan mempercepat
proses dari suatu penyakit. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI)
telah mengkategorikan faktor risiko PGK antara lain sebagai berikut, yang tertera
dalam tabel I.

Tabel I. Faktor Risiko PGK

Definisi Contoh
Faktor Meningkatkan Usia yang
Kerentanan kerentanan lebih tua,
terhadap riwayat
penyakit ginjal keluarga

Faktor Secara Diabetes,


Inisiasi langsung tekanan
menginisiasi darah tinggi,
penyakit ginjal penyakit
autoimun,
infeksi
sistemik,
infeksi
saluran
kemih, batu
ginjal,
obstruki
saluran
kemih
bagian
bawah,
toksisitas
obat
Faktor Menyebabkan Kadar
Progresi memburuknya proteinuria
penyakit ginjal tinggi,
dan penurunan tekanan
fungsi ginjal darah yang
secara cepat lebih tinggi,
setelah inisiasi kontrol
penyakit ginjal glikemik
yang buruk
pada pasien
diabetes,
merokok

(KDOQI, 2002)

6) Manifestasi Klinik
a. Gejala dan tanda PGK stadium awal (Arici, 2014)
1) Lemah
2) Nafsu makan berkurang
3) Nokturia, poliuria
4) Terdapat darah pada urin, atau urin berwarna lebih gelap
5) Urin berbuih
6) Sakit pinggang
7) Edema
8) Peningkatan tekanan darah
9) Kulit pucat

b. Gejala dan tanda PGK stadium lanjut (Arici, 2014)


1) Umum (lesu, lelah, peningkatan tekanan darah, tanda-tanda kelebihan volume,
penurunan mental, cegukan)
2) Kulit ( penampilan pucat, uremic frost, pruritic exexcoriations)
3) Pulmonari (dyspnea, efusi pleura, edema pulmonari, uremic lung)
4) Gastrointestinal (anoreksia, mual, muntah, kehilangan berat badan, stomatitis,
rasa tidak menyenangkan di mulut)
5) Neuromuskuler (otot berkedut, sensorik perifer dan motorik neuropati, kram
otot, gangguan tidur, hiperrefleksia, kejang, ensefalopati, koma)
6) Metabolik endokrin (penurunan libido, amenore, impotensi)
7) Hematologi (anemia, pendarahan abnormal)

7) Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didefenisikan berdasarkan derajat penurunan
Laju Filtrasi Glomerulusnya (LFG) dimana stadium yang lebih tinggi memiliki
nilai LFG yang lebih rendah. Penyakit ginjal kronik dibagi menjadi 6 stadium
seperti pada tabel di bawah ini (KDIGO, 2013).

Tabel 2. Kategori LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik

Kategori LFG LFG (ml/min/1.73 m2) Batasan

G1 > 90 Normal atau Tinggi

G2 60-89 Penurunan ringan

G3a 45-59 Penurunan ringan


sampai sedang

G3b 30-44 Penurunan sedang


sampai berat

G4 15-29 Penurunan berat

G5 <15 Gagal ginjal

Sumber : KDIGO, 2013

Keterangan : LFG = Laju Filtrasi Glomerulus

8) Komplikasi
PGK juga disertai dengan penyakit lain sebagai penyulit atau komplikasi yang
sering lebih berbahaya. Komplikasi yang sering ditemukan menurut Alam &
Hadibroto (2008) antara lain:
a. Anemia
Dikatakan anemia bila kadar sel darah merah rendah, karena terjadi gangguan
pada produksi hormon eritropoietin yang bertugas mematangkan sel darah,
agar tubuh dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mendukung
kegiatan sehari-hari. Akibat dari gangguan tersebut, tubuh kekurangan energi
karena sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh
dan jaringan tidak mencukupi. Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah
kesemutan, kurang energi, cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan
rasa (baal) pada kaki dan tangan
b. Osteodistrofi ginjal
Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan
metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah tinggi, akan
terjadi pengendapan garam dan kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak
(klasifikasi metastatic) berupa nyeri persendian (artritis), batu ginjal
(nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan
irama jantung, dan gangguan penglihatan.
c. Gagal jantung
Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang memadai
ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatan memompa atau daya
tampungnya berkurang. Gagal jantung pada penderita PGK dimulai dari
anemia yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi
pelebaran bilik jantung kiri (left ventricular hypertrophy/LVH). Lama-
kelamaan otot jantung akan melemah dan tidak mampu lagi memompa darah
sebagaimana mestinya (sindrom kardiorenal).
d. Disfungsi ereksi
Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi
yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya.
Selain akibat gangguan sistem endokrin (yang memproduksi hormon
testosteron untuk merangsang hasrat seksual (libido)), secara emosional
penderita gagal ginjal kronis menderita perubahan emosi (depresi) yang
menguras energi. Penyebab utama gangguan kemampuan pria penderita gagal
ginjal kronis adalah suplai darah yang tidak cukup ke penis yang berhubungan
langsung dengan ginjal.
9) Komorbid
Pasien dengan PGK memiliki sejumlah besar kondisi komorbiditas.
Komorbiditas didefinisikan sebagai kondisi selain penyakit utama (dalam hal ini,
PGK), dan diklasifikasikan ke dalam 3 bagian:
a. Penyakit yang menyebabkan PGK antara lain adalah diabetes, tekanan darah
tinggi, dan obstruksi saluran kemih.
b. Penyakit yang tidak berhubungan dengan PGK yaitu penyakit paru obstruktif
kronis, gastroesophageal reflux disease (GERD), penyakit degeneratif sendi,
penyakit Alzheimer, Malignansi.
c. Penyakit Kardiovaskular seperti atherosklerosis (penyakit jantung
koroner,penyakit serebrovaskuler, penyakit periferal vaskuler), hipertrofi ventrikel
kiri, gagal jantung (KDOQI, 2002).

10) Tatalaksana
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi (Suwitra, 2009) :
1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Bila LFG sudah menurun sampai 20 – 30 % dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi kormobid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada
pasien gagal ginjal kronik dimana hal ini untuk mengetahui kondisi kormobid
yang dapat memperburuk keadaan pasien. Kondisi kormobid antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi
traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3) Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama terjadinya perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus dan ini dapat dikurangi melalui dua cara yaitu:
a) Pembatasan asupan protein
yang mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 % ml/mnt, sedangkan diatas nilai
tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
b) Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Selain itu sasaran terapi farmakologis sangat terkait
dengan derajat proteinuria.
4) Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler dan komplikasi
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler
adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
displipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
5) Terapi Pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal meliputi dialisis (hemodialisis dan peritoneal dialisis)
dan trasplantasi ginjal. Terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan
pada saat ini adalah hemodialisis dimana jumlahnya dari tahun ke tahun terus
bertambah.

11) Terapi Farmakologi


Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas (Tabel 8). Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit
jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung.
Gambar 2 menyajikan strategi pengobatan mengunakan obat dan alat pada pasien
gagal jantung simtomatik dan disfungsi sistolik. Sangatlah penting untuk
mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid
kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai.
 ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A). ACEI
kadang-kadang menyebabkan perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia,
hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu
ACEIhanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar
kalium normal.
Kontraindikasi pemberian ACEI
 Riwayat angioedema
 Stenosis renal bilateral
 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
 Stenosis aorta berat
Cara pemberian ACEI pada gagal jantung (Tabel 9) Inisiasi pemberian
ACEI
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah
terapi ACEI Naikan dosis secara titrasi Pertimbangkan menaikan dosis
secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
 Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia. Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di
rumah sakit
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi (Tabel 11)
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai
dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
 PENYEKAT β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien
gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat
β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan
kelangsungan hidup Indikasi pemberian penyekat β
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
 ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β
 Asma
 Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa
pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)
Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung (Tabel 9)
 Inisiasi pemberian penyekat β
 Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati. Dosis awal lihat Tabel 11. Naikan dosis
secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi
simtomatik atau bradikardi (nadi < 50 x/menit)
 Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis
target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi (Tabel 11)
 ANTAGONIS ALDOSTERON
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan
gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa
hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
 Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan
ARB) Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
 Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
 Kombinasi ACEI dan ARB Cara pemberian spironolakton (atau
eplerenon) pada gagal jantung (Tabel 9) Inisiasi pemberian spironolakton
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 - 8 minggu.
Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia.
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu
setelah menaikan dosis
 ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun
sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga
mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif
pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka
kematian karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan
batuk Kontraindikasi pemberian ARB
 Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI Cara pemberian ARB pada gagal jantung (Tabel 10)
Inisiasi pemberian ARB  Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Dosis awal lihat Tabel 11 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat ditoleransi (Tabel 11)
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai
dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB:
Sama sepertiACEI, kecuali ARB tidak menyebabkan batuk
 HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran
terhadap ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).

12) Terapi Non Farmakologi


Terapi non farmakologis untuk penyakit gagal ginjal kronik adalah:
1. Pengaturan asupan protein
2. Pengaturan asupan kalori yaitu 35 kal/kgBB ideal/hari.
3. Pengaturan asupan lemak yaitu 30-40% dari kalori total dan mengandung
jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh.
4. Pengaturan asupan karbohidrat yaitu 50-60% dari kalori total.
5. Asupan garam (NaCl) yaitu 2-3 gram/hari.
6. Asupan kalium yaitu 40-70 mEq/kgBB/hari.
7. Asupan fosfor:5-10 mg/kgBB/hari, untuk pasien hemodialisa :17 mg/hari.
8. Asupan kalsium: 1400-1600 mg/hari.
9. Asupan besi: 10-18mg/hari.
10. Asupan magnesium: 200-300 mg/hari.
11. Asupan asam folat pada pasien hemodialisa 5mg. 12. Asupan air : jumlah urin
24 jam + 500ml (insensible water loss). (menurut NICE guidelines, 2014)

III. URAIAN KASUS

Kasus : Tn RM ( 61 Tahun, 60 Kg, 168cm) Menderita Hipertensi 10 Thn


Terakhir,sebulan Ini Tn RM Mengeluh Sering Sakit Kepala,mual Dan Lemas. Tn RM
Lalu Melakuan Medical Chek Up Dari Hasilnya Di Ketahui Bahwa LFG Tn RM
Mengalami Penurunan,yaitu 65% Dan HB 9DL/MG.Oleh Dokter Diberikan Terapi
Lisinopril 2x1.

Diketahui Tn Rm Tidak Patuh Menggunakan Obat Hipertensinya Selama 10


Tahun,dengan Riwayat Pengggunaan Obat Valsartan 2x1mg. Sekarang Tensinya
150/100.
IV. PENYELESAIAN KASUS DENGAN METODE SOAP
- Subjektif :
1. Identitas pasien
a. Nama : Tn RM
b. Umur : ( 61 Tahun, 60 Kg, 168cm)
c. Pekerjaan :
d. Jenis kelamin : perempuan

2. Riwayat penyakit keluarga :-

3. Riwayat penyakit penderita : Mengeluh Sering Sakit Kepala,mual


Dan Lemas

4. Riwayat pengobatan : Valsartan 2x1mg

5. Kebiasaan atau perilaku pasien :-

- Objektif :

1. Data vital sign : TD 150/100 mmHg


2. Data laboratorium : LFG 65%, Hb 9dl/mg.

- Assesment

1. Problem medik : gagal ginjal

2. Terapi yang diperoleh : lisinopril 2x1

3. Drp : overdosis serta pemilihan obat tidak tepat pada


lisinopril,indikasi tanpa obat.

- Plan

1. Penetapan tujuan terapi :

a. Mengurangi gejala

b. Meningkatkan kualitas hidup

c. Meminimalkan efek samping obat

2. Solusi drp : penggantian obat lisinopril dengan captropil 1x1,indikasi tanpa obat
pada HB di beri Ferrosus sulfat 1x1
3. Pemilihan terapi :

1. Ferrosus sulfat 1x1 @ 300mg (60mgFe) ( pagi hari )


2. Captropil 1x1 @100 mg ( pagi hari )

- 4t1w
 CAPTOPRIL
Tepat indikasi : anti hipertensi
Tepat obat : Angiotensin converting enzyme (ACE)
inhibitor melebarkan arteri dan vena dengan secara kompeten menghambat
konversi angiotensin I menjadi angiotensin II (vasokonstriktor endogen yang
poten) dan dengan menghambat metabolisme bradikinin; tindakan-tindakan ini
menghasilkan preload dan afterload reduction pada jantung. ACE inhibitor
juga mempromosikan natrium dan ekskresi air dengan menghambat sekresi
aldosteron angiotensin-II; peningkatan potasium juga dapat diamati. ACE
inhibitor juga menimbulkan efek renoprotektif melalui vasodilatasi arteriol
ginjal. ACE inhibitor mengurangi remodeling jantung dan vaskular yang
terkait dengan hipertensi kronis, gagal jantung, dan infark miokard
Tepat dosis : Hipertensi (Sendiri atau dengan Thiazide).
Awal: 25 mg PO q8-12 jam, tingkatkan secara bertahap berdasarkan respon
(mungkin mulai lebih rendah pada beberapa pasien). Perawatan: 25-150 mg
PO q8-12hr. Maksimum 450 mg / hari
Tepat pasien : tidak untuk pasein Hypersensitivity to ACE
inhibitors
Waspada Efek samping : Hyperkalemia (1-11%), Hypersensitivity rxns
(4-7%), Skin rash (4-7%), Dysgeusia (2-4%), Hypotension (1-2.5%)

 FERROSUS SULFAS
Tepat indikasi : anti-anemia
Tepat obat : Menggantikan penyimpanan besi yang
ditemukan di hemoglobin, mioglobin, dan enzim; memungkinkan transportasi
oksigen melalui hemoglobin
Tepat dosis : 100-200 mg PO dibagi q12hr; dapat mengatur
formulir rilis diperpanjang satu kali setiap hari
Tepat pasien : tidak untuk pasien yang Hipersensitivitas,
Hemochromatosis, anemia hemolitik
Waspada efek samping : Sembelit, Iritasi kontak, Diare, Tinja hitam,
Pendarahan GI

- Kie
 Apoteker menjelaskan aturan pakai obat dan menyarankan pasien untuk teratur
mengonsumsi obat
 Apoteker menjelaskan terapi non farmakologi untuk menunjang pengobatan
pasien
 Apoteker menyampaikan efek samping yang mungkin terjadi pada pasien dan
jika efek samping tidak dapat ditoleransi maka pasien disarankan konsultasi
pada dokter
 Apoteker menyarankan kepada pasien untuk mengubah lifestyle.

V. PEMBAHASAN
Pada kasus skill gagal ginjal kelompok kami mendapatkan kasus. Tn. RM
berusia 60th, memiliki berat badan 60kg dengan tinggi badan 168cm. Dimana Tn. RM
mengalami mual muntah dan lemas, setelah di lakukan medical chek up di ketahui Tn.
RM mengalami penurunan LFG 65% dan HB 9dl/mg, di ketahui juga sekarang
tensinya 150/110 MMhg. Dan dokter memberikan terapi lisinopril 2x1, di ketahui pula
bahwa pasien tidah patuh dalam penggunaan obat hipertensi dan memiliki riwayat
penggobatan valsartan 2x1.

Dari kasus di atas, kelompok kami menemukan DRP pada kasus tersebut,
yaitu pemilihan obat tidak tepat pada lisinopril dan indikasi tanpa obat. Dimana pada
kasus pasien mengalami penurunan nilai Laju Filtrasi Ginjal . dan jika terdapat
penurunan laju filtrasi ginjal dapat di definisikan sebagai penyakit gagal ginjal kronik.
Seperti halnya Tn. RM yang mengalami penurunan LFG sebesar 65% dapat di katakan
bahwa TN. Mengalami penyakit gagal ginjal. Pada keadaan ini ginjal kehilangan
kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam
keadaan asupan makanan normal. [Ika Agustin P H, Khairun N. 2015]. Terdapat
beberapa penyebab penyakit gagal ginjal kronik menurut PERNEFRI pada tahun 2012
di katakan bahwa penyakit hipertensi adalah salah satunya, gagal ginjal kronik akibat
hipertensi terjadi sebanyak 35% [Ika Agustin P H, Khairun N. 2015].

Dilihat dari hal tersebut dapat di katakan penurunan dari LFG dapat di
sebabkan oleh penyakit hipertensi yang sedang di derita oleh Tn. RM. Jadi perlu
dilakukan penangganan untuk menurunkan tekanan darah yang di alami pasien. ACEi
atau ARB direkomendasikan sebagai terapi awal ataupun terapi tambahan pada
populasi >18 tahun dengan gangguan ginjal kronis dan hipertensi untuk meningkatkan
outcome ginjal. ACEi direkomendasikan pula sebagai pilihan lini pertama pada pasien
hipertensi < 55 tahun berdasarkan National Institue for Health and Clinica [Margareth
C H, Retnosari A, Sudibyo S.2015]. untuk itu kelompok kami merekombinasi
pemberian captropil sebagai antihipertensi, dimana captropil termasuk dalam golongan
Angiotensin converting enzyme(ACE) inhibitor yang merupakan obat antihipertensi
yang juga memiliki pengaruh terhadap hemodinamik ginjal yang dapat mengurangi
tekanan hidrolik glomerulus. ACE Inhibitor dapat menurunkan hipertensi glomerular
dan proteinuria dengan memodifikasi tekanan kapiler dan glomerular permselectivity
ACE Inhibitor sudah digunakan untuk terapi proteinuria pada pasien dengan penyakit
ginjal. Efek antiproteinuria ACE inhibitor lebih besar pada pasien dengan ekskresi
protein urin yang besar. ACE inhibitor bermanfaat untuk mengurangi ekskresi protein
urin pada penyakit ginjal non-diabetik. [Oryza G P,Hamzah S.2015]. Dimana ACEi
menjadi antihipertensi terbanyak pertama yang digunakan. Tetapi obat ACEi yang
paling sering digunakan sama, yaitu captopril. Penggunaan captopril juga efektif
karena obat ini bekerja dengan menghambat sistem renin angiotensin aldosteron.
ACEi menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, sehingga terjadi
vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron, yang selain dapat menurunkan tekanan
darah juga dapat memperlambat perkembangan penyakit ginjal yang telah ada.
[Valentina M S, Difa I, Nurlely.2014]

selain mengalami hipertensi, pasien juga mengalami penurunan Hb. Dimana


pasien mengalami anemia, anemia pada GGK terutama disebabkan karena defisiensi
relatif dari eritropoietin (EPO), Anemia yang terjadi pada pasien GGK dapat
menyebabkan menurunnya kualitas hidup pasien. Selain itu anemia pada pasien GGK
juga meningkatkan terjadinya morbiditas dan mortalitas Gagal ginjal kronik hampir
selalu disertai dengan kejadian anemia. [Ahmad Ismatullah.2015.]
VI. KESIMPULAN
Dari kasus gagal ginjal tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat 2 DRP yaitu
pemilihan obat tidak tepat pada lisinopril dan indikasi tanpa obat. Dimana pada kasus
pasien mengalami penurunan nilai Laju Filtrasi Ginjal dan jika terdapat penurunan laju
filtrasi ginjal dapat di definisikan sebagai penyakit gagal ginjal kronik. beberapa
penyebab penyakit gagal ginjal kronik menurut PERNEFRI pada tahun 2012 di
katakan bahwa penyakit hipertensi. ACEi atau ARB direkomendasikan sebagai terapi
awal. ACEI memiliki pengaruh terhadap hemodinamik ginjal yang dapat mengurangi
tekanan hidrolik glomerulus. Obat ACEi yang paling sering digunakan sama, yaitu
captopril. Penggunaan captopril juga efektif karena obat ini bekerja dengan
menghambat sistem renin angiotensin aldosteron. ACEi menghambat perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II, sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan
sekresi aldosteron, yang selain dapat menurunkan tekanan darah juga dapat
memperlambat perkembangan penyakit ginjal yang telah ada.

Selain itu pasien juga diberikan edukasi untuk melakukan pola hidup sehat,
diet rendah protein, dan rekomendasikan masa istirahat atau tidur, biasanya di
lingkungan yang gelap dan sepi, identifikasi penyebab dan hindari factor pencetusnya,
intervensi perilaku (terapi relaksasi, biofeedback (pengobatan non-obat di mana pasien
belajar mengendalikan proses tubuh yang biasanya tidak disengaja, seperti ketegangan
otot, tekanan darah, atau detak jantung), dan terapi kognitif).
DAFTAR PUSTAKA

American Society Of Health-System Pharmacists. 1995. AHSP. Guidline On Advers Drug


Reaction Monitoring And reporting. Am. J. Health-Sys. Pharm. 52:417-419.

Ahmad Ismatullah.2015.Manajemen Terapi Anemia pada Pasien Gagal Ginjal


Kronik.Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Arici, M., 2014, Management of Chronic Kidney Disease, Sringer-Verlag, Berlin Heidelberg.

Alam, S., & Hadibroto, I., 2008, Gagal Ginjal, PT Gramedia Pustaka Ilmiah, Jakarta.

Guyton and Hall, 2007, Buku Ajar Fisologi Kedokteran, Edisi 11,Penerbit buku Kedokteran
EGC, Jakarta.

Ika Agustin Putri Haryanti, Khairun Nisa .2015. Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti
Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik.Fakultas Kedokteran, Universitas
Lampung. Nomer 4 volume 7

KDOQI, 2002, Clinical Practice Guidelines For Chronic Kidney Disease:Evaluation,


Classification and Stratification, National Kidney Foundation.

Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO), 2013, CKD Work Group. KDIGO
2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney
Disease, Kidney international, 3: 1–150.

Margareth Christina Halim1*, Retnosari Andrajati1, Sudibyo Supardi.2015. Risk of ACEi


Administration on Dry Cough Incidence in Hypertensive Patientsat RSUD Cengkareng and
RSUD Tarakan Jakarta.. Pascasarjana Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Kampus UI
Depok, Indonesia.Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan,Kementerian Kesehatan, Indonesia. Jurnal Kefarmasian Indonesia
Vol.5 No.2

McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task Force for the Diagnosis and
Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology.
Developed in collaboration with the Heart.

Oryza Gryagus Prabu,Hamzah Shatri .2015.Penggunaan ACE-Inhibitor untuk Mengurangi


Proteinuria pada Sindrom Nefrotik.Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Vol. 3, No. 2

PERNEFRI, 2011, Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik,


Perhimpunan Nefrologi (PERNEFRI), Jakarta, 3-48.

Smeltzer, Suzane C., and Bare, Brenda G., (2008). Buku Ajar Kesehatan Medical Bedah,
Volume 2, Edisi 8. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Suwitra, K., 2009. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo, A.W., Setiyobudi, B., Alwi, I.,
Simadibarata, M., Setiati, S., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. 5th ed, Jakarta:
Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, pp. 1035-1040.
United States Renal Data System. Chapter 1: CKD in the General Population. 2015 USRDS
annual data report: epidemiology of kidney disease in the united states. Bethesda MD:
National Institutes of Health, National Institute of Diabetes and Digetive and Kidney
Diseases, 2015

Valentina Meta Srikartika, Difa Intannia, Nurlely.2014. PREVALENSI, KARAKTERISTIK


PASIEN, DAN PROFIL TERAPI HIPERTENSI PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL
KRONIK STADIUM AKHIR DI RSUD RATU ZALECHA, MARTAPURA,
KALIMANTAN SELATAN. Jurnal Pharmascience, Vol 1, No. 1, Februari 2014, hal: 47 -
54ISSN : 2355 –5386. Program Studi Farmasi, FMIPA, Universitas Lambung Mangkurat

Anda mungkin juga menyukai