SGD 2kasus Gagal Ginjal
SGD 2kasus Gagal Ginjal
Disusun Oleh :
KELOMPOK 2
2) Etiologi
Menurut Suwitra (2009) Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi
antara satu negara dengan negara lainnya dan Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis di Indonesia sebagai berikut : Glomerulonefritis (46,39 %), Diabetes
militus (18,65 %), Obstruksi dan Infeksi (12,85 %), Hipertensi (8,46 %), Sebab
lain (13,65 %). Sebab lain ini di kelompokkan diantaranya: nefritis lupus,
nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan
penyebab yang tidak diketahui.
Beberapa kondisi yang juga dapat menyebabkan PGK dengan prevalensi yang
lebih kecil, antara lain:
a. Glomerulonefritis (radang ginjal)
b. Pielonefritis (infeksi pada ginjal)
c. Penyakit ginjal polikistik
d. Kegagalan pembentukan ginjal normal pada bayi yang belum lahir ketika
berkembang di rahim
e. Lupus eritematosus sistemik (kondisi dari sistem kekebalan tubuh di mana
tubuh menyerang ginjal yang dianggap sebagai benda asing)
f. Jangka panjang penggunaan rutin obat-obatan seperti : obat litium dan NSAID,
termasuk aspirin dan ibuprofen.
g. Penyumbatan, misalnya karena batu ginjal atau penyakit prostat.
3) Epidemiologi
Di Amerika, menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney
Diseases (NIDDK) melaporkan 10% orang dewasa di Amerika memiliki PGK.
Indonesia
Berdasarkan laporan dari Indonesia Renal Registry dari PERNEFRI tahun 2015,
berikut beberapa epidemiologi PGK di Indonesia :
Terjadi peningkatan pasien baru yang terdata, yaitu sebanyak 21.050 (tidak dapat
menunjukkan data seluruh Indonesia)
Terjadi peningkatan pasien aktif atau pasien yang menjalani hemodialisis, diduga
karena faktor Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Proporsi berdasarkan usia tertinggi pada usia 45 – 54 tahun yaitu 56.72% pasien
baru dan 56.77% pasien aktif
Mortalitas
Data di Amerika pada tahun 2009, angka mortalitas pasien PGK meningkat
sebanyak 56% dibandingkan yang tidak memiliki PGK dan untuk PGK stadium 4
dan 5 angka mortalitas meningkat 76%.
4) Patofisiologi
Mayoritas penyebab terjadinya penyakit ginjal progresif biasanya terjadi
karena kerusakan parenkim ginjal yang bersifat irreversibel. Elemen kunci jalur
tersebut adalah hilangnya masa nefron, hipertensi kapiler glomerular dan
proteinuria. Beberapa peneliti meyakini bahwa kerusakan ginjal ini berhubungan
dengan peningkatan tekanan atau peregangan sisa glomerulus. Hal ini terjadi
akibat vasodilatasi fungsional atau peningkatan tekanan darah dan regangan
kronis pada arteriol dan glomeruli diduga akhirnya menyebabkan sklerosis pada
pembuluh. Lesi-lesi sklerosis ini akhirnya dapat mengakibatkan penurunan ginjal
lebih lanjut yang berakhir pada ESRD (Guyton dan Hall, 2007).
5) Faktor Resiko
PGK memiliki beberapa faktor risiko, dimana faktor risiko tersebut
didefinisikan sebagai suatu pemicu yang dapat memperbesar dan mempercepat
proses dari suatu penyakit. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI)
telah mengkategorikan faktor risiko PGK antara lain sebagai berikut, yang tertera
dalam tabel I.
Definisi Contoh
Faktor Meningkatkan Usia yang
Kerentanan kerentanan lebih tua,
terhadap riwayat
penyakit ginjal keluarga
(KDOQI, 2002)
6) Manifestasi Klinik
a. Gejala dan tanda PGK stadium awal (Arici, 2014)
1) Lemah
2) Nafsu makan berkurang
3) Nokturia, poliuria
4) Terdapat darah pada urin, atau urin berwarna lebih gelap
5) Urin berbuih
6) Sakit pinggang
7) Edema
8) Peningkatan tekanan darah
9) Kulit pucat
7) Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didefenisikan berdasarkan derajat penurunan
Laju Filtrasi Glomerulusnya (LFG) dimana stadium yang lebih tinggi memiliki
nilai LFG yang lebih rendah. Penyakit ginjal kronik dibagi menjadi 6 stadium
seperti pada tabel di bawah ini (KDIGO, 2013).
8) Komplikasi
PGK juga disertai dengan penyakit lain sebagai penyulit atau komplikasi yang
sering lebih berbahaya. Komplikasi yang sering ditemukan menurut Alam &
Hadibroto (2008) antara lain:
a. Anemia
Dikatakan anemia bila kadar sel darah merah rendah, karena terjadi gangguan
pada produksi hormon eritropoietin yang bertugas mematangkan sel darah,
agar tubuh dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mendukung
kegiatan sehari-hari. Akibat dari gangguan tersebut, tubuh kekurangan energi
karena sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh
dan jaringan tidak mencukupi. Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah
kesemutan, kurang energi, cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan
rasa (baal) pada kaki dan tangan
b. Osteodistrofi ginjal
Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan
metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah tinggi, akan
terjadi pengendapan garam dan kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak
(klasifikasi metastatic) berupa nyeri persendian (artritis), batu ginjal
(nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan
irama jantung, dan gangguan penglihatan.
c. Gagal jantung
Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang memadai
ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatan memompa atau daya
tampungnya berkurang. Gagal jantung pada penderita PGK dimulai dari
anemia yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi
pelebaran bilik jantung kiri (left ventricular hypertrophy/LVH). Lama-
kelamaan otot jantung akan melemah dan tidak mampu lagi memompa darah
sebagaimana mestinya (sindrom kardiorenal).
d. Disfungsi ereksi
Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi
yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya.
Selain akibat gangguan sistem endokrin (yang memproduksi hormon
testosteron untuk merangsang hasrat seksual (libido)), secara emosional
penderita gagal ginjal kronis menderita perubahan emosi (depresi) yang
menguras energi. Penyebab utama gangguan kemampuan pria penderita gagal
ginjal kronis adalah suplai darah yang tidak cukup ke penis yang berhubungan
langsung dengan ginjal.
9) Komorbid
Pasien dengan PGK memiliki sejumlah besar kondisi komorbiditas.
Komorbiditas didefinisikan sebagai kondisi selain penyakit utama (dalam hal ini,
PGK), dan diklasifikasikan ke dalam 3 bagian:
a. Penyakit yang menyebabkan PGK antara lain adalah diabetes, tekanan darah
tinggi, dan obstruksi saluran kemih.
b. Penyakit yang tidak berhubungan dengan PGK yaitu penyakit paru obstruktif
kronis, gastroesophageal reflux disease (GERD), penyakit degeneratif sendi,
penyakit Alzheimer, Malignansi.
c. Penyakit Kardiovaskular seperti atherosklerosis (penyakit jantung
koroner,penyakit serebrovaskuler, penyakit periferal vaskuler), hipertrofi ventrikel
kiri, gagal jantung (KDOQI, 2002).
10) Tatalaksana
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi (Suwitra, 2009) :
1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Bila LFG sudah menurun sampai 20 – 30 % dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi kormobid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada
pasien gagal ginjal kronik dimana hal ini untuk mengetahui kondisi kormobid
yang dapat memperburuk keadaan pasien. Kondisi kormobid antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi
traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3) Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama terjadinya perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus dan ini dapat dikurangi melalui dua cara yaitu:
a) Pembatasan asupan protein
yang mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 % ml/mnt, sedangkan diatas nilai
tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
b) Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Selain itu sasaran terapi farmakologis sangat terkait
dengan derajat proteinuria.
4) Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler dan komplikasi
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler
adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
displipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
5) Terapi Pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal meliputi dialisis (hemodialisis dan peritoneal dialisis)
dan trasplantasi ginjal. Terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan
pada saat ini adalah hemodialisis dimana jumlahnya dari tahun ke tahun terus
bertambah.
- Objektif :
- Assesment
- Plan
a. Mengurangi gejala
2. Solusi drp : penggantian obat lisinopril dengan captropil 1x1,indikasi tanpa obat
pada HB di beri Ferrosus sulfat 1x1
3. Pemilihan terapi :
- 4t1w
CAPTOPRIL
Tepat indikasi : anti hipertensi
Tepat obat : Angiotensin converting enzyme (ACE)
inhibitor melebarkan arteri dan vena dengan secara kompeten menghambat
konversi angiotensin I menjadi angiotensin II (vasokonstriktor endogen yang
poten) dan dengan menghambat metabolisme bradikinin; tindakan-tindakan ini
menghasilkan preload dan afterload reduction pada jantung. ACE inhibitor
juga mempromosikan natrium dan ekskresi air dengan menghambat sekresi
aldosteron angiotensin-II; peningkatan potasium juga dapat diamati. ACE
inhibitor juga menimbulkan efek renoprotektif melalui vasodilatasi arteriol
ginjal. ACE inhibitor mengurangi remodeling jantung dan vaskular yang
terkait dengan hipertensi kronis, gagal jantung, dan infark miokard
Tepat dosis : Hipertensi (Sendiri atau dengan Thiazide).
Awal: 25 mg PO q8-12 jam, tingkatkan secara bertahap berdasarkan respon
(mungkin mulai lebih rendah pada beberapa pasien). Perawatan: 25-150 mg
PO q8-12hr. Maksimum 450 mg / hari
Tepat pasien : tidak untuk pasein Hypersensitivity to ACE
inhibitors
Waspada Efek samping : Hyperkalemia (1-11%), Hypersensitivity rxns
(4-7%), Skin rash (4-7%), Dysgeusia (2-4%), Hypotension (1-2.5%)
FERROSUS SULFAS
Tepat indikasi : anti-anemia
Tepat obat : Menggantikan penyimpanan besi yang
ditemukan di hemoglobin, mioglobin, dan enzim; memungkinkan transportasi
oksigen melalui hemoglobin
Tepat dosis : 100-200 mg PO dibagi q12hr; dapat mengatur
formulir rilis diperpanjang satu kali setiap hari
Tepat pasien : tidak untuk pasien yang Hipersensitivitas,
Hemochromatosis, anemia hemolitik
Waspada efek samping : Sembelit, Iritasi kontak, Diare, Tinja hitam,
Pendarahan GI
- Kie
Apoteker menjelaskan aturan pakai obat dan menyarankan pasien untuk teratur
mengonsumsi obat
Apoteker menjelaskan terapi non farmakologi untuk menunjang pengobatan
pasien
Apoteker menyampaikan efek samping yang mungkin terjadi pada pasien dan
jika efek samping tidak dapat ditoleransi maka pasien disarankan konsultasi
pada dokter
Apoteker menyarankan kepada pasien untuk mengubah lifestyle.
V. PEMBAHASAN
Pada kasus skill gagal ginjal kelompok kami mendapatkan kasus. Tn. RM
berusia 60th, memiliki berat badan 60kg dengan tinggi badan 168cm. Dimana Tn. RM
mengalami mual muntah dan lemas, setelah di lakukan medical chek up di ketahui Tn.
RM mengalami penurunan LFG 65% dan HB 9dl/mg, di ketahui juga sekarang
tensinya 150/110 MMhg. Dan dokter memberikan terapi lisinopril 2x1, di ketahui pula
bahwa pasien tidah patuh dalam penggunaan obat hipertensi dan memiliki riwayat
penggobatan valsartan 2x1.
Dari kasus di atas, kelompok kami menemukan DRP pada kasus tersebut,
yaitu pemilihan obat tidak tepat pada lisinopril dan indikasi tanpa obat. Dimana pada
kasus pasien mengalami penurunan nilai Laju Filtrasi Ginjal . dan jika terdapat
penurunan laju filtrasi ginjal dapat di definisikan sebagai penyakit gagal ginjal kronik.
Seperti halnya Tn. RM yang mengalami penurunan LFG sebesar 65% dapat di katakan
bahwa TN. Mengalami penyakit gagal ginjal. Pada keadaan ini ginjal kehilangan
kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam
keadaan asupan makanan normal. [Ika Agustin P H, Khairun N. 2015]. Terdapat
beberapa penyebab penyakit gagal ginjal kronik menurut PERNEFRI pada tahun 2012
di katakan bahwa penyakit hipertensi adalah salah satunya, gagal ginjal kronik akibat
hipertensi terjadi sebanyak 35% [Ika Agustin P H, Khairun N. 2015].
Dilihat dari hal tersebut dapat di katakan penurunan dari LFG dapat di
sebabkan oleh penyakit hipertensi yang sedang di derita oleh Tn. RM. Jadi perlu
dilakukan penangganan untuk menurunkan tekanan darah yang di alami pasien. ACEi
atau ARB direkomendasikan sebagai terapi awal ataupun terapi tambahan pada
populasi >18 tahun dengan gangguan ginjal kronis dan hipertensi untuk meningkatkan
outcome ginjal. ACEi direkomendasikan pula sebagai pilihan lini pertama pada pasien
hipertensi < 55 tahun berdasarkan National Institue for Health and Clinica [Margareth
C H, Retnosari A, Sudibyo S.2015]. untuk itu kelompok kami merekombinasi
pemberian captropil sebagai antihipertensi, dimana captropil termasuk dalam golongan
Angiotensin converting enzyme(ACE) inhibitor yang merupakan obat antihipertensi
yang juga memiliki pengaruh terhadap hemodinamik ginjal yang dapat mengurangi
tekanan hidrolik glomerulus. ACE Inhibitor dapat menurunkan hipertensi glomerular
dan proteinuria dengan memodifikasi tekanan kapiler dan glomerular permselectivity
ACE Inhibitor sudah digunakan untuk terapi proteinuria pada pasien dengan penyakit
ginjal. Efek antiproteinuria ACE inhibitor lebih besar pada pasien dengan ekskresi
protein urin yang besar. ACE inhibitor bermanfaat untuk mengurangi ekskresi protein
urin pada penyakit ginjal non-diabetik. [Oryza G P,Hamzah S.2015]. Dimana ACEi
menjadi antihipertensi terbanyak pertama yang digunakan. Tetapi obat ACEi yang
paling sering digunakan sama, yaitu captopril. Penggunaan captopril juga efektif
karena obat ini bekerja dengan menghambat sistem renin angiotensin aldosteron.
ACEi menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, sehingga terjadi
vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron, yang selain dapat menurunkan tekanan
darah juga dapat memperlambat perkembangan penyakit ginjal yang telah ada.
[Valentina M S, Difa I, Nurlely.2014]
Selain itu pasien juga diberikan edukasi untuk melakukan pola hidup sehat,
diet rendah protein, dan rekomendasikan masa istirahat atau tidur, biasanya di
lingkungan yang gelap dan sepi, identifikasi penyebab dan hindari factor pencetusnya,
intervensi perilaku (terapi relaksasi, biofeedback (pengobatan non-obat di mana pasien
belajar mengendalikan proses tubuh yang biasanya tidak disengaja, seperti ketegangan
otot, tekanan darah, atau detak jantung), dan terapi kognitif).
DAFTAR PUSTAKA
Arici, M., 2014, Management of Chronic Kidney Disease, Sringer-Verlag, Berlin Heidelberg.
Alam, S., & Hadibroto, I., 2008, Gagal Ginjal, PT Gramedia Pustaka Ilmiah, Jakarta.
Guyton and Hall, 2007, Buku Ajar Fisologi Kedokteran, Edisi 11,Penerbit buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Ika Agustin Putri Haryanti, Khairun Nisa .2015. Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti
Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik.Fakultas Kedokteran, Universitas
Lampung. Nomer 4 volume 7
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO), 2013, CKD Work Group. KDIGO
2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney
Disease, Kidney international, 3: 1–150.
McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task Force for the Diagnosis and
Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology.
Developed in collaboration with the Heart.
Smeltzer, Suzane C., and Bare, Brenda G., (2008). Buku Ajar Kesehatan Medical Bedah,
Volume 2, Edisi 8. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Suwitra, K., 2009. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo, A.W., Setiyobudi, B., Alwi, I.,
Simadibarata, M., Setiati, S., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. 5th ed, Jakarta:
Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, pp. 1035-1040.
United States Renal Data System. Chapter 1: CKD in the General Population. 2015 USRDS
annual data report: epidemiology of kidney disease in the united states. Bethesda MD:
National Institutes of Health, National Institute of Diabetes and Digetive and Kidney
Diseases, 2015