OLEH :
1609511035
2016 D
i
iii
RINGKASAN
ii
SUMMARY
Beef cattle are beneficial to humans because they produce meat, milk
and energy. It is therefore not surprising that today the need for cattle products is
increasing. Artificial insemination is a technique used to produce quality animals
that meet the growing needs of the community. Artificial insemination (AI) is an
artificial placement of sperm into the reproductive tract. The cement applied may
be frozen cement or fresh cement. The placement of the sperm can be
intravaginal, intracervical or intrauterine. Artificial insemination has been
practiced for two centuries. From artificial insemination on Arab horses,
developed today. The cattle generally practiced by artificial insemination in
Indonesia are the cattle Bali, Madura and Onggol Peranakan. The technique used
for artificial insemination is the retrovaginal technique. When implementing
artificial insemination, several factors must be taken into account, including the
selection and maintenance of males, the manner of sheltering, evaluating, diluting,
storing and transporting the cement, the insemination, the recording and
determining the results of insemination.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya lah makalah yang berjudul “TEKNIK INSEMINASI
BUATAN PADA SAPI POTONG DI INDONESIA” dapat terselesaikan
dengan baik dan tepat waktu.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Fisiologi dan
Teknologi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Saya
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
saya mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun untuk
menyempurnakan makalah ini kedepannya.
Hormat saya,
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Ringkasan ii
Summary iii
Kata Pengantar iv
Daftar Isi v
Daftar Gambar vi
Daftar Lampiran vii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Sapi Potong Indonesia 3
2.1.1 Sapi Bali 3
2.1.2 Sapi Madura 4
2.1.3 Sapi Peranakan Onggole 5
2.2 Anatomi Organ Reproduksi Betina 6
2.2.1 Ovarium 6
2.2.2 Tuba Fallopi 7
2.2.3 Uterus 8
2.2.4 Vagina 9
2.2.5 Alat Kelamin Luar 9
2.3 Inseminasi Buatan 10
2.3.1 Pengertian Inseminasi Buatan 10
2.3.2 Sejarah Inseminasi Buatan 11
2.3.3 Keuntungan Inseminasi Buatan 13
2.3.4 Kerugian Inseminasi Buatan 13
BAB III. PEMBAHASAN 14
3.1 Prosedur Inseminasi Buatan 14
3.2 Dampak Inseminasi Buatan 18
BAB IV. SIMPULAN DAN SARAN 19
4.1 Kesimpulan 19
4.2 Saran 19
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
v
v
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
v
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
Inseminasi buatan telah dilakukan sejak dua abad yang lalu. Mulai dari IB
pada kuda Arab, kemudian berkembang hingga saat ini. Perkembangan IB
diawali dengan keberhasilan dari Leeuwenhoek pada tahun 1678 untuk
melihat bentuk dari sperma dengan alat mikroskopnya, kemudian dilanjutkan
dengan Spallanzani satu abad kemudian yang berhasil melakukan inseminasi
pada anjing (Foote 2002; Vishwanath 2003). Selanjutnya, dilaporkan adanya
keberhasilan IB pada ternak-ternak domestikasi sepert sapi, kambing, domba
dan ayam. Foote (2002) melaporkan bahwa Inseminasi Buatan pada domba
dimulai oleh peneliti dari Rusia seperti Milovanov pada tahun 1938 dan 1964
juga oleh Maule pada 1962. Kegiatan Inseminasi Buatan ini juga dilakukan
oleh China, yang kemudian menyebar sampai ke Eropa Tengah.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang Inseminasi Buatan
pada hewan ternak khususnya sapi potong yang ada di Indonesia dan sering
juga disebut dengan kawin suntik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil
domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Sapi Bali merupakan salah satu
jenis sapi lokal Indonesia yang berasal dari Bali yang sekarang telah
menyebar hampir ke seluruh penjuru Indonesia bahkan sampai luar negeri
seperti Malaysia, Filipina, dan Australia (Oka, 2010). Selain itu, Sapi Bali
merupakan jenis sapi yang unik dan saat ini masih banyak hidup liar di
Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional
Ujung Kulon. Sapi asli Indonesia ini sudah lama didomestikasi suku
bangsa Bali di pulau Bali dan sekarang sudah tersebar di berbagai daerah
di Indonesia.
Sapi Madura juga merupakan salah satu sapi asli Indonesia. Sapi Madura
berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau di sekitarnya. Salah satu Pulau
yang sangat dikenal akan Sapi Maduranya adalah Pulau Sapudi. Sapi
Madura merupakan persilangan Bos sondaicus dengan Bos indicus. Ciri-
ciri punuk diperoleh dari Bos Indicus sedangkan warna diwarisi dari Bos
sondaicus sedangkan sifat karyotipik Sapi Madura menunjukkan adanya
kemiripan dengan Bos taurus, kecuali pada kromosom Y-nya yang mirip
dengan Bos indicus. Sehingga diduga sapi Madura merupakan hasil
perkawinan silang antara indukan Bos taurus atau Bos javanicus dengan
pejantan Bos indicus. Karena kekhususannya, sejak tahun 1934 pemerintah
telah menetapkan bahwa sapi Madura seragam dalam bentuk dan warna.
Hal ini untuk menjaga keaslian sapi Madura. Sapi Madura mudah hidup
dan berbiak dimana saja. Sapi Madura juga tahan terhadap berbagai
penyakit. Karena kelebihan tersebut, Sapi Madura biasanya banyak
dikirim ke lain daerah, lain pulau sebagai bantuan untuk meningkatkan
ekonomi masyarakat. Sapi Madura tergolong sapi berukuran kecil. Tinggi
sapi jantan berkisar 120 cm dan betina 105 cm. Sapi madura berwarna
merah coklat atau coklat tua dengan warna putih tanpa batas yang jelas
disekitar pantat. Warna putih juga ditemui pada daerah kaki serta sedikit di
sekitar moncong. Bobot hidup berkisar 220-250 kg, dengan berat karkas
berkisar 50,96%-51,72%. Libido sapi jantan sangat kuat namun produksi
semen agak rendah. Sapi jantan mempunyai rata-rata 1,0-1,3 ml per
5
Sugeng (2006) menyatakan bahwa bangsa sapi ini berasal dari India
(Madras) yang beriklim tropis dan bercurah hujan rendah. Sapi ongol ini di
Eropa disebut Zebu, sedangkan di Pulau Jawa sangat populer dengan
sebutan sapi benggala. Sapi Onggole merupakan jenis sapi dwi guna untuk
tenaga kerja dan penghasil daging meskipun kurang ideal jika
dibandingkan dengan Sapi Bali. Sapi Onggole memiliki warna rambut
anu-abu sampai kuning ke-kelabuan, punuk bulat dan besar, tanduk
6
2.2.1 Ovarium
Ovarium terletak di cavum abdominalis. Ovarium mempunyai
dwifungsi, sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur atau ovum
7
memperoleh hasil yang lebih efektif, maka deteksi dan pelaporan birahi
harus tepat di samping pelaksanaan dan teknik inseminasi itu sendiri
dilaksanakan secara cermat oleh tenaga terampil. Penggunaan semen
fertile pada waktu inseminasi adalah sangat esensial untuk mendapatkan
tingkat kesuburan yang tinggi, sedangkan hewan betina yang akan di
Inseminasi Buatan haruslah dalam kondisi reproduksi yang optimal.
Semen yang di inseminasikan ke dalam saluran betina pada tempat dan
waktu yang terbaik untuk memungkinkan pertemuan antara spermatozoa
dan ovum sehingga berlangsung proses pembuahan (Tolihere, 2005).
Inseminasi Buatan dapat difasilitasi dengan menggunakan
sinkronisasi estrus dan dapat dilakukan pengaturan jenis kelamin dengan
pemanfaatan pemisahan spermatozoa X dan Y (Ax et al 2008, Susilawati,
2003).
2.3.2. Sejarah Inseminasi Buatan
Inseminasi Buatan pertama kali dilakukan pada kuda dan secara
intensif oleh para ilmuwan Arab pada tahun 1900, seperti ilmuwan dari
Rusia yang bernama Ivanoff yang menginseminasi kuda, sapi, dan domba.
Teknologi ini pertama kali dilakukan pada tahun 1936 di Denmark oleh
Sorensen dan Gylling, setelah itu berkembang pesat di dunia sampai
menembus Benua Amerika sekitar tahun 1937 (Partodiharjo, 1992).
Pada tahun 1677, Anthony van Leeuwenhoek sarjana Belanda
penemu mikroskop dan muridnya Johan Amm merupakan orang pertama
yang melihat sel kelamin jantan dengan mikroskop buatannya sendiri.
Mereka menyebut sel kelamin jantan yang tak terhitung jumlahnya
tersebut animalcules atau animalculae yang berarti jasad renik yang
mempunyai daya gerak maju progresif. Di kemudian hari sel kelamin
jantan tersebut dikenal dengan spermatozoatozoa.
BAB III
PEMBAHASAN
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Inseminasi Buatan
merupakan terjemahan dari artificial insemination yang berarti memasukkan
cairan semen (plasma semen) yang mengandung sel-sel kelamin pria
(spermatozoa) yang diejakulasikan melalui penis pada waktu terjadi kopulasi
atau penampungan semen. Inseminasi Buatan pada sapi potong di Indonesia
biasanya dilakukan pada jenis Sapi Bali, Sapi Madura, dan Peranakan Sapi
Onggole. Teknik Inseminasi Buatan yang dilakukan yaitu dengan teknik
Retrovaginal. Keberhasilan pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) yaitu harus
tepat dalam menumpahkan bibit pejantan ke dalam alat kelamin betina,
sehingga tidak mengurangi kesuburan spermatozoa dan dapat menjamin waktu
terjadinya pembuahan yang optimal. Karena saat subur, sel telur sapi sangat
terbatas, maka pelaksanaan IB yang tepat selama periode berahi dan Keahlian
dari inseminator merupakan faktor penentu keberhasilan dari inseminasi
buatan.
4.2. Saran
Perlu adanya pengkajian secara berkala pada teknik Inseminasi Buatan
terhadap sapi potong lebih lanjut sehingga faktor kesalahan dalam Inseminasi
buatan dapat diperkecil.
20
DAFTAR PUSTAKA
Arbi N. dan Meilus, R. 1977. Produksi Ternak Sapi Potong. Fakultas Peternakan
Universitas Andalas. Padang.
Ax, R., M. Dally, B. Didion, R.W. Lenz, C.C. Love, D.D. Varner, B. Hafez, and
M.E. Bellin. 2008. Semen Evaluation. In Reproduction in Farm Animal.
E.S.E. Hafez (editor) 7th Edition. Lea and Febiger: 82-370. [Dikutip
dalam jurnal Terna Tropika Vol. 17, tahun 2016].
Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: Alfa beta.
Foote, R. H. (1969) Physiological Aspect of Artificial Insemination, in H. H Cole
and P. T Cupps : Reproduction in Domestic Animal, 2nd Edition,
Academic Press, New York, USA. Page : 342, 345. [Dikutip dalam jurnal
Sain Veteriner, Ida Arlita Wulandari, Surya Agus Prihatno (2014)].
Foote RH. 2002. The history of artificial insemination: Selected notes and
notables. Am Soc Anim Sci.80:1-10. [Dikutip dalam jurnal Wartazoa,
Ismeth Inounu (2014)].
Hafez ESE. 1993. Artificial insemination. Di dalam: HAFEZ ESE. 1993.
Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. Philadelphia (US). pp. hlm 424-
439.
Hardijanto., T. Sardjito, T. Hernawati, S. Susilowati dan T.W. Suprayogi. 2010.
Buku Ajar Inseminasi Buatan. Airlangga University Press. Surabaya.
Ismeth, Inounu. 2014. Upaya Meningkatkan Keberhasilan Inseminasi Buatan pada
Ternak Ruminansia Kecil. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Jurnal Wartazoa Vol. 24, No. 4 tahun 2014.
Muhammad, Dedi, Trinil Susilawati, Sri Wahjuningsih. 2016. Pengaruh
Penggunaan Cep-2 dengan Suplementasi Kuning Telur terhadap Kualitas
Spermatozoa Sapi FH (Frisian Holstein) Kualitas Rendah Selama
Penyimpanan Suhu 4-50C. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Jurnal Ternak Tropika Vol. 17, No.1: 66-76, 2016
Oka IGL. 2010. Conservation and genetic improvement of Bali Cattle.Proc.
Conservation And Improvement of Wordl Indigenous Cattle. 110-117.
[Dikutip dalam jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Mahmud Siswanto et
al. (2013)].
21
LAMPIRAN
24
Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2013 Vol. 1, No. 1: 11-15
1 Calon Fungsional Medik Veteriner, BPTU Sapi Bali, Jalan Gurita III Pegok, Denpasar,
Telp. (0361 ) 721471, Fax : ( 0361 ) 724238,
2. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali
*Corresponding author Email: siswa.anto@gmail.com
ABSTRACT
This studi was conducted to investigate the reproductive performances of Bali cattle under
intensive management in breeding instalation Pulukan Bali from 2008 to 2010. Totaling
298 2 - 6.5 year old heifers were use to represents the benchmark reproductive
performances of Bali cattle. Data collected were age at first heat (AFH), age at first
calving (AFC), calving interval (CI), and services per conception (SPC). The overall
means for AFH, AFC,and CI were 718.57 ± 12.65; 1104.51 ± 23.82, and 350.46 ±
27.98 days respectively, and SPC was 1.65 ± 0.87.
Key words : Bali cattle, reproductive performance, breeding installation, first heat, calving
interval, service per conception
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengamati penampilan reproduksi sapi Bali pada
pemeliharaan instensif di pusat pembibitan sapi Bali Pulukan Jembrana, Bali selama
periode tahun 2008 - 2010. Sebanyak 298 ekor sapi betina berumur antara 2 – 6.5 tahun
digunakan sebagai sumber informasi mengenai penampilan reproduksi sapi Bali. Data
yang dikumpulkan antara lain umur berahi pertama (AFH), umur melahirkan pertama
(AFC), calving interval (CI), dan servis perkonsepsi (SPC). Rata-rata umur sapi Bali
mengalami berahi pertama, melahirkan pertama dan jarak beranak adalah berturut-turut
718,57 ± 12,65; 1104,51 ± 23,82; dan 350,46 ± 27,98 hari, dan angka konsepsi sebesar
1,65 ± 0,87.
Kata kunci: Sapi Bali, penampilan reproduksi, instalasi pembibitan, berahi pertama, jarak
beranak, angka konsepsi
11
Siswanto et al. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2013
Bali yang sekarang telah menyebar hampir rendah. Demikian pula Williamson dan
ke seluruh penjuru Indonesia bahkan Payne (1993) menyatakan bahwa
sampai luar negeri seperti Malaysia, lingkungan biotik mempengaruhi
Filipina, dan Australia (Oka, 2010). Sapi performans sapi potong melalui tingkat
Bali memiliki keunggulan dibandingkan efisiensi penggunaan pakannya dan mampu
dengan sapi lainnya antara lain mempunyai menampilkan performans secara maksimal.
angka pertumbuhan yang cepat, adaptasi Tujuan penenlitian ini adalah untuk
dengan lingkungan yang baik, dan mendapatkan data mengenai penampilan
penampilan reproduksi yang baik. Sapi reproduksi sapi Bali pada sistem
Bali merupakan sapi yang paling banyak pemeliharaan intensif pada pusat
dipelihara pada peternakan kecil karena pembibitan sapi Bali di Desa Pulukan,
fertilitasnya baik dan angka kematian yang Jembrana. Data ini akan dapat digunakan
rendah (Purwantara et al., 2012). untuk rekomendasi terutama di dalam
Penampilan produktivitas dan peningkatan efisiensi reproduksi sapi Bali
reproduktivitas sapi Bali sangat tinggi.
Talib et al. (2003) melaporkan bahwa rata- METODE PENELITIAN
rata berat hidup sapi Bali saat lahir, sapih ,
tahunan dan dewasa berturtut-turut 16,8; Data penampilan reproduksi
82,9; 127,5; dan 303 kg. Sapi Bali didapatkan dari data reproduksi sapi Bali
dilaporkan sebagai sapi yang paling betina yang dipelihara secara intensif di
superior dalam hal fertilitas dan angka BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul)
konsepsi (Toelihere, 2002). Darmaja Desa Pulukan, Jembrana selama periode
(1980) melaporkan bahwa angka fertilitas tahun 2008 – 2010. Sebanyak 298 ekor sapi
sapi Bali berkisar antara 83-86 %. Di betina yang digunakan dengan umur antara
Sulawesi Selatan, angka fertilitas sapi Bali 2-6,5 tahun. Data penampilan reproduksi
adalah 82% (Wardoyo, 1950). Peternakan yang dikumpulan adalah services per
dengan sistem ekstensif seperti di Lombok conseption (SPC), umur pertama berahi
menimbulkan penurunan penampilan (AFH) , umur pertama melahirkan (AFC),
reproduksi (Bamualim dan Wirdahayati, dan calving interval (CI). Data yang
2003). Fatah (1998) melaporkan bahwa diperoleh disajikan secara deskriptif.
sapi Bali yang dipelihara pada daerah
kering di Timor memiliki angka HASIL DAN PEMBAHASAN
fertilitasnya sampai 75%.
Seleksi negatif akibat pengiriman Rata-rata umur sapi Bali mengalami
ternak potong keluar Bali dan pemotongan berahi pertama dan melahirkan pertama
betina produktif di rumah potong di seluruh kali, serta calving interval adalah berturut-
kabupaten di Bali telah menyebabkan turut 718,57± 12,65; 1104,61± 23,82; dan
terjadinya penurunan performans sapi Bali. 350,46±27,98 hari. Services per
Samariyanto (2004) menyatakan bahwa conception dengan inseminasi buatan
belum sempurnanya sistem peremajaan adalah 1,65 ± 0,87 (Tabel 1).
bibit yang diikuti dengan pemilihan dan
pemotongan sapi yang berkualitas baik
dapat menyebabkan penurunan performans
sapi Bali.
Darmaja (1980) menyatakan bahwa
perfomans sapi Bali mempunyai adaptasi
yang baik terhadap pengaruh lingkungan
yang panas dan cukup toleran terhadap
lingkungan dingin serta sangat efisien
dalam penggunaan pakan dengan kualitas
12
Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2013 Vol. 1, No. 1: 11-15
13
Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2013 Vol. 1, No. 1: 11-15
14
Siswanto et al. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2013
15
JSV 32 (1), Juli 2014 JURNAL
SAIN VETERINER
ISSN : 0126 - 0421
Abstract
The study about the effect of various thawing temperatures frozen semen on the success of artificial
insemination of beef cattle had been conducted in Residency of Sleman Territory of Yogyakarta. The study used
59 heifers and cows that were oestrus (without oestrus stimulation) with body condition score (BCS) of 3 and
1,5-8 years age. They were inseminated using frozen semen of Simmental thawed in temperature of 37°C, 35°C
(warm water) and 28-30°C (cold water). Effect of thawing temperatures was evaluated by non returnrate (NR).
NR of thawing temperatures of 37°C, 35°C and 28-30°C were 63,16%, 55%, and 45%, respectively Thawing
temperature of 37°C increased the non returnrate compared to the thawing temperatures of 35°C and 28-30°C.
Statistical analysis by Chi-square showed there were no significant differences between thawing temperatures of
37°C, 35°C and 28-30°C on the success of artificial insemination
Key words: beef cattle, artificial insemination, thawing, non returnrate, frozen semen,
Abstrak
Penelitian pengaruh berbagai temperatur thawing semen beku terhadap keberhasilan inseminasi buatan
telah dilakukan di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
59 ekor sapi betina estrus (tanpa stimulasi birahi) dengan body condition score (BCS) 3 dan berumur antara 1,5-8
tahun yang mencakup sapi dara maupun sapi yang sudah pernah beranak. Sapi-sapi tersebut diinseminasi
menggunakan semen beku dari sapi Simmental yang terlebih dahulu di thawing pada berbagai temperatur yaitu
37°C, 35°C (air hangat) dan 28-30°C (air dingin). Keberhasilan inseminasi buatan dapat dievaluasi melalui nilai
non returnrate (NR). Nilai non returnrate (NR) yang diperoleh pada temperatur thawing 37°C, 35°C dan 28-
30°C berturut-turut adalah 63,16%, 55%, dan 45%. Thawing pada temperatur 37°C dapat meningkatkan nilai
NR dibandingkan thawing pada temperatur 35°C dan 28-30°C. Analisis statistik dengan Chi-Square
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara temperatur thawing 37°C, 35°C dan 28-30°C dengan
keberhasilan inseminasi buatan
Kata kunci: sapi potong, inseminasi buatan, thawing, non returnrate (NR), semen beku
40
Pengaruh Berbagai Temperatur Thawing Semen Beku
41
Ida Arlita Wulandari dan Surya Agus Prihatno
Pace et al., 1981; Dhami and Sahni, 1993). yang sedang mengalami birahi (estrus) secara alami
Penelitian mengenai pengaruh berbagai temperatur tanpa induksi birahi. Sapi betina dalam kondisi sehat
thawing semen beku terhadap keberhasilan IB dengan BCS 3 mempunyai saluran reproduksi
belum pernah dilakukan. normal, meliputi sapi dara dan sapi yang sudah
Ukuran terakhir yang pasti mengenai pernah beranak. Semen beku yang digunakan
keberhasilan inseminasi hanyalah kelahiran anak berasal dari semen sapi Simmental dalam kemasan
yang sehat. Penentuan kebijakan dalam IB akan straw 0,25 ml. Bahan yang digunakan untuk thawing
terlampau lambat apabila menunggu sampai adalah air hangat bertemperatur 37°C, 35°C dan air
terjadinya kelahiran, apalagi bila tidak terjadi dingin bertemperatur 28-30°C.
kebuntingan (Salisbury dan vanDemark, 1984;
Toelihere, 1993). Informasi yang cepat dapat Inseminasi buatan (IB)
diperoleh dengan menggunakan teknik-teknik Pelaksanaan IB dilakukan oleh inseminator
penentuan fertilitas yang dapat memberikan terlatih dan bersertifikat. Sapi betina yang akan
gambaran umum untuk penilaian pelaksanaan IB. diinseminasi terlebih dulu direstrain untuk
Informasi ini digunakan sebagai dasar penentuan memudahkan penanganan. Semen beku yang akan
kebijakan selanjutnya. Evaluasi hasil inseminasi digunakan dithawing dan dimasukkan dalam pipet
dilakukan melalui berbagai cara, yaitu non inseminasi. Teknik inseminasi yang dilakukan
returnrate (NR), conception rate (CR), servis per adalah teknik rektovaginal. Tangan kiri yang telah
conception (S/C) dan calving rate (CR).Non bersarung plastik dan dilubrikasi dimasukkan ke
returnrate (NR) merupakan persentase hewan yang dalam rektum untuk mengeluarkan feses dan
tidak kembali minta kawin atau tidak ada permintaan memfiksir servik. Vulva dan bibir vulva dibersihkan
IB lebih lanjut dalam waktu 28-35 hari atau 60-90 kemudian tangan kanan memasukkan pipet
hari. Di Amerika Serikat, nilai NR pada 60-90 hari inseminasi kedalam vagina sampai pada servik yang
mencapai rata-rata 65-72% (Roberts, 1971; telah difiksir melalui rektum.
Toelihere, 1993). NR merupakan teknik tercepat dan
mudah untuk menentukan keberhasilan Pencairan kembali (thawing)
IB.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Sebanyak 59 buah straw semen beku dari sapi
pengaruh berbagai temperatur thawing semen beku Simmental dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok
terhadap keberhasilan inseminasi buatan pada sapi pertama terdiri dari 19 buah straw yang dithawing
potong yang diukur dengan angka NR. pada air hangat bertemperatur 37°C, kelompok
kedua terdiri dari 20 buah straw yang dithawing pada
Materi dan Metode air hangat bertemperatur 35°C, sedangkan kelompok
ketiga terdiri dari 20 buah straw yang dithawing
Hewan dan semen beku pada air dingin bertemperatur 28-30°C. Straw
Hewan penelitian yang digunakan adalah 59 dithawing dengan memasukkan ke dalam gelas
ekor sapi potong betina berusia 1,5 sampai 8 tahun berisi air dengan temperatur yang sudah ditentukan.
42
Pengaruh Berbagai Temperatur Thawing Semen Beku
43
Ida Arlita Wulandari dan Surya Agus Prihatno
al. (1981) dan Nur et al. (2006) menyatakan bahwa Edition, Academic Press, New York, USA.
Page : 342, 345.
straw semen sapi yang dithawing pada temperatur
37°C menghasilkan fertilitas yang lebih tinggi Gordon, I. (2002) Controlled Reproduction in Cattle
and Buffaloes, CABI Publishing, Wallingford,
dibandingkan pada temperatur 10°C atau air es. UK.
Analisis statistik dengan chi-square
Junaidi, A. (2000) Deteksi estrus dan Inseminasi,
menunjukkan bahwa nilai NR yang diperoleh pada Dalam : Kursus Penyegaran Mengenai
temperatur thawing 37°C, 35°C dan 28-30°C tidak Reproduksi Pada Sapi Bagi Dokter Hewan
Praktisi, Bagian Reproduksi dan Kebidanan,
menunjukkan perbedaan yang signifikan untuk FKH UGM, Yogyakarta.
keberhasilan IB.
Laing, (1970) Fertility and Infertility in Domestic
rd
Animals, 3 edition, Bailliere Tindall & Cassel,
Daftar Pustaka
London, United Kingdom.
Abeygunawardena, H. (1999) Reproduction and
McDonald, L. E. and Pineda, M. H. (1971)
Obstetrics in Farm Animal. Department of
Veterinary Endocrinology and Reproduction,
Veterinary Clinical Studies, University of
4th edition, Lea and Febiger, Philadelphia.
Paradeniya. Page 3-6, 16.
Morrow, D. A. (1980) Current Therapy and
Amin, M.R., Toelihere MR., Yusuf, T.L dan
Theriogenology : Diagnosis, Treatment and
Situmorang, P. (1999) Pengaruh Plasma Semen
Prevention of Reproductive Disease in
Sapi terhadap Kualitas Semen Beku Kerbau
A n i m a l s , W B S a u n d e r s C o m p a n y,
Lumpur (Bubalus bubalis). J. Ilmu Ternak dan
Philadelphia, USA.
Veteriner 3: 145.
44
Pengaruh Berbagai Temperatur Thawing Semen Beku
Nur, Z. and Illeri, I.K. (2003) Effect of Different Salisbury, G. W. and VanDemark, N. L. (1985)
Temperature Treatments Applied to Deep Phisiology of Reproduction and artificial
Stored Bull Semen on Post-Thaw Cold Insemination in Cattle, terjemahan : Djanuar R,
Shocked Spermatozoa. Bull. Vet. Inst. Pulawg., Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan
50: 79-83. pada Sapi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Pace, M. M., Sullivan, J.J.,. Elliot, F. I., Graham, E.
F. and Coulter, G. H. (1981) Effect of Thawing Toelihere, M. R. (1979) Fisiologi Reproduksi pada
Temperature, Number of Spermatozoa and Ternak, Penerbit Angkasa, Bandung.
Spermatozoa Quality on Fertility of Bovine
Spermatozoa Packaged in 5 ml French Straw. J. Toelihere, M. R. (1993) Inseminasi Buatan pada
Anim. Sci. 35:253. Ternak, Penerbit Angkasa, Bandung.
45