Anda di halaman 1dari 42

TUGAS MATA KULIAH

FISIOLOGI DAN TEKNOLOGI REPRODUKSI


TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN PADA SAPI POTONG DI
INDONESIA

OLEH :

NI MADE DHEA FEBRIANTY

1609511035

2016 D

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2019

i
iii
RINGKASAN

Sapi merupakan hewan ternak yang bermanfaat bagi manusia karena


menghasilkan daging, susu serta tenaga sehingga bukanlah hal yang
mengherankan jika dewasa ini kebutuhan akan produk dari hewan ternak sapi
semakin meningkat. Salah satu teknik yang digunakan untuk menghasilkan hewan
yang berkualitas demi memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat
adalah melalui inseminasi buatan. Inseminasi buatan (IB) merupakan penempatan
semen pada saluran reproduksi secara buatan. Semen yang ditempatkan dapat
berupa semen beku maupun semen segar. Penempatan semen dapat secara intra
vagina, intracervix maupun intrauterine. Inseminasi buatan telah dilakukan sejak
dua abad yang lalu. Mulai dari Inseminasi Buatan pada kuda Arab, kemudian
berkembang hingga saat ini. Sapi yang biasanya dilakukan Inseminasi buatan di
Indonesia yaitu Sapi Bali, Sapi Madura, dan Sapi Peranakan Onggol. Teknik yang
dilakukan untuk Inseminasi Buatan yaitu dengan teknik Retrovaginal. Dalam
pelaksanaan Inseminasi Buatan ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan
antara lain seleksi dan pemeliharaan pejantan, cara penampungan, penilaian,
pengenceran, penyimpanan dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan, dan
penentuan hasil inseminasi.

Kata Kunci : Inseminasi Buatan, Sejarah Inseminasi Buatan , Sapi potong.

ii
SUMMARY

Beef cattle are beneficial to humans because they produce meat, milk
and energy. It is therefore not surprising that today the need for cattle products is
increasing. Artificial insemination is a technique used to produce quality animals
that meet the growing needs of the community. Artificial insemination (AI) is an
artificial placement of sperm into the reproductive tract. The cement applied may
be frozen cement or fresh cement. The placement of the sperm can be
intravaginal, intracervical or intrauterine. Artificial insemination has been
practiced for two centuries. From artificial insemination on Arab horses,
developed today. The cattle generally practiced by artificial insemination in
Indonesia are the cattle Bali, Madura and Onggol Peranakan. The technique used
for artificial insemination is the retrovaginal technique. When implementing
artificial insemination, several factors must be taken into account, including the
selection and maintenance of males, the manner of sheltering, evaluating, diluting,
storing and transporting the cement, the insemination, the recording and
determining the results of insemination.

Key words : artificial insemination, history of artificial insemination, beef cattle.

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya lah makalah yang berjudul “TEKNIK INSEMINASI
BUATAN PADA SAPI POTONG DI INDONESIA” dapat terselesaikan
dengan baik dan tepat waktu.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Fisiologi dan
Teknologi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Saya
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
saya mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun untuk
menyempurnakan makalah ini kedepannya.

Denpasar, 4 Mei 2019

Hormat saya,

Penulis

vi
DAFTAR ISI

Halaman Judul i
Ringkasan ii
Summary iii
Kata Pengantar iv
Daftar Isi v
Daftar Gambar vi
Daftar Lampiran vii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Sapi Potong Indonesia 3
2.1.1 Sapi Bali 3
2.1.2 Sapi Madura 4
2.1.3 Sapi Peranakan Onggole 5
2.2 Anatomi Organ Reproduksi Betina 6
2.2.1 Ovarium 6
2.2.2 Tuba Fallopi 7
2.2.3 Uterus 8
2.2.4 Vagina 9
2.2.5 Alat Kelamin Luar 9
2.3 Inseminasi Buatan 10
2.3.1 Pengertian Inseminasi Buatan 10
2.3.2 Sejarah Inseminasi Buatan 11
2.3.3 Keuntungan Inseminasi Buatan 13
2.3.4 Kerugian Inseminasi Buatan 13
BAB III. PEMBAHASAN 14
3.1 Prosedur Inseminasi Buatan 14
3.2 Dampak Inseminasi Buatan 18
BAB IV. SIMPULAN DAN SARAN 19
4.1 Kesimpulan 19
4.2 Saran 19
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

v
v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Sapi Bali 4


Gambar 2.2. Sapi Madura 5
Gambar 2.3. Sapi Peranakan Onggole 6
Gambar 2.4. Organ Reproduksi pada Sapi Betina 6

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Siswanto, Mahmud, Ni Wayan Patmawati, Ni Nyoman Trinayani, I


Nengah Wandia, I Ketut Puja. 2013. Penampilan Reproduksi Sapi
Bali pada Peternakan Intensif di Instalasi Pembibitan Pulukan.
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar.
Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Vol. 1, No. 1: 11-15 Pebruari
2013.
Lampiran 2. Wulandari, I.A., Surya Agus Prihatno. 2014. Pengaruh Berbagai
Temperatur Thawing Semen Beku Terhadap Keberhasilan
Inseminasi Buatan Pada Sapi Potong. Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Gadjah Mada. Jurnal Sain Veteriner Vol. 1, Juli 2014.

v
vii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sapi merupakan hewan ternak yang bermanfaat bagi manusia karena


menghasilkan daging, susu serta tenaga sehingga bukanlah hal yang
mengherankan jika dewasa ini kebutuhan akan produk dari hewan ternak sapi
semakin meningkat. Fenomena ini mengakibatkan banyak peternak mulai
memikirkan cara memperbanyak jumlah sapi dengan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pemanfaatan teknologi
reproduksi peternakan melalui teknik Inseminasi Buatan (IB). Inseminasi
buatan merupakan terjemahan dari artificial insemination yang berarti
memasukkan cairan semen (plasma semen) yang mengandung sel-sel kelamin
jantan (spermatozoa) yang diejakulasikan melalui penis pada waktu terjadi
kopulasi atau penampungan semen.

Berdasarkan pengertian di atas, maka Inseminasi buatan (IB) ialah


penempatan semen pada saluran reproduksi secara buatan. Semen yang
ditempatkan dapat berupa semen beku maupun semen segar. Penempatan
semen dapat secara intra vagina, intracervix maupun intrauterine.
Keberhasilan masing-masing metode juga berbeda-beda, disamping teknik,
pengaplikasian pun memilki tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Secara
umum, teknik intra vagina maupun intracervix lebih mudah dilaksanakan
dibandingkan dengan teknik intrauterine yang memerlukan keahlian dan
peralatan khusus yang disebut 'insemination gun'.
Penerapan teknik inseminasi buatan membuat lebih banyak jumlah betina
yang dapat dikawinkan dari seekor penjantan. Selain itu juga untuk mengatasi
masalah transportasi apabila pejantan tersebut akan dikawinkan pada betina
yang berada di daerah lain. Inseminasi buatan ini dilakukan dengan harapan
keturunan yang dihasilkan unggul dalam hal genetik karena berasal dari semen
sapi jantan yang berkualitas.
2

Inseminasi buatan telah dilakukan sejak dua abad yang lalu. Mulai dari IB
pada kuda Arab, kemudian berkembang hingga saat ini. Perkembangan IB
diawali dengan keberhasilan dari Leeuwenhoek pada tahun 1678 untuk
melihat bentuk dari sperma dengan alat mikroskopnya, kemudian dilanjutkan
dengan Spallanzani satu abad kemudian yang berhasil melakukan inseminasi
pada anjing (Foote 2002; Vishwanath 2003). Selanjutnya, dilaporkan adanya
keberhasilan IB pada ternak-ternak domestikasi sepert sapi, kambing, domba
dan ayam. Foote (2002) melaporkan bahwa Inseminasi Buatan pada domba
dimulai oleh peneliti dari Rusia seperti Milovanov pada tahun 1938 dan 1964
juga oleh Maule pada 1962. Kegiatan Inseminasi Buatan ini juga dilakukan
oleh China, yang kemudian menyebar sampai ke Eropa Tengah.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang Inseminasi Buatan
pada hewan ternak khususnya sapi potong yang ada di Indonesia dan sering
juga disebut dengan kawin suntik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana prosedur Inseminasi Buatan pada Sapi?
2. Apa dampak dari Inseminasi Buatan pada Sapi?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui prosedur Inseminasi Buatan pada Sapi.
2. Untuk mengetahui dampak dari Inseminasi Buatan pada Sapi.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sapi Potong Indonesia


2.1.1 Sapi Bali

Sapi Bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil
domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Sapi Bali merupakan salah satu
jenis sapi lokal Indonesia yang berasal dari Bali yang sekarang telah
menyebar hampir ke seluruh penjuru Indonesia bahkan sampai luar negeri
seperti Malaysia, Filipina, dan Australia (Oka, 2010). Selain itu, Sapi Bali
merupakan jenis sapi yang unik dan saat ini masih banyak hidup liar di
Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional
Ujung Kulon. Sapi asli Indonesia ini sudah lama didomestikasi suku
bangsa Bali di pulau Bali dan sekarang sudah tersebar di berbagai daerah
di Indonesia.

Ciri-ciri Sapi Bali yakni berukuran sedang, dadanya dalam, tidak


berpunuk dan kaki-kakinya ramping, kulitnya berwarna merah bata,
cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam. Kaki di
bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih. Kulit berwarna putih
juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit
berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Pada punggungnya
selalu ditemukan rambut hitam membentuk garis memanjang dari gumba
hingga pangkal ekor yang sering disebu garis belut. Sapi Bali jantan
berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi Bali betina. Warna
rambut Sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat
tua atau hitam legam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin. Warna
hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata apabila sapi itu
telah dikebiri. (Toelihere,1993).
4

Gambar 2.1 Sapi Bali


Sumber : E-journal Sapi Bali.com

2.1.2 Sapi Madura

Sapi Madura juga merupakan salah satu sapi asli Indonesia. Sapi Madura
berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau di sekitarnya. Salah satu Pulau
yang sangat dikenal akan Sapi Maduranya adalah Pulau Sapudi. Sapi
Madura merupakan persilangan Bos sondaicus dengan Bos indicus. Ciri-
ciri punuk diperoleh dari Bos Indicus sedangkan warna diwarisi dari Bos
sondaicus sedangkan sifat karyotipik Sapi Madura menunjukkan adanya
kemiripan dengan Bos taurus, kecuali pada kromosom Y-nya yang mirip
dengan Bos indicus. Sehingga diduga sapi Madura merupakan hasil
perkawinan silang antara indukan Bos taurus atau Bos javanicus dengan
pejantan Bos indicus. Karena kekhususannya, sejak tahun 1934 pemerintah
telah menetapkan bahwa sapi Madura seragam dalam bentuk dan warna.
Hal ini untuk menjaga keaslian sapi Madura. Sapi Madura mudah hidup
dan berbiak dimana saja. Sapi Madura juga tahan terhadap berbagai
penyakit. Karena kelebihan tersebut, Sapi Madura biasanya banyak
dikirim ke lain daerah, lain pulau sebagai bantuan untuk meningkatkan
ekonomi masyarakat. Sapi Madura tergolong sapi berukuran kecil. Tinggi
sapi jantan berkisar 120 cm dan betina 105 cm. Sapi madura berwarna
merah coklat atau coklat tua dengan warna putih tanpa batas yang jelas
disekitar pantat. Warna putih juga ditemui pada daerah kaki serta sedikit di
sekitar moncong. Bobot hidup berkisar 220-250 kg, dengan berat karkas
berkisar 50,96%-51,72%. Libido sapi jantan sangat kuat namun produksi
semen agak rendah. Sapi jantan mempunyai rata-rata 1,0-1,3 ml per
5

ejakulasi dengan konsetrasi 409 juta spermatozoa. Menurut Sugeng


(2006), ciri – ciri yang dimiliki bangsa Sapi Madura sebagai salah satu
kelompok bangsa sapi tropis pada dasarnya seperti sapi bali. Namun, sapi
ini memiliki ciri khas yang menonjol sehingga dengan mudah bisa
dibedakan dengan bangsa sapi yang lain, khususnya Sapi Bali, baik jantan
maupun betina berwarna merah bata dan hampir tidak ada bedanya antara
kedua jenis kelamin tersebut. Paha bagian belakang berwarna putih,
sedangkan kaki depan berwarna merah muda. Tanduk pendek dan
beragam, ada yang melengkung seperti bulan sabit, dan adapula yang
tumbuh agak kesamping dan keatas. Tanduk pada betina kecil dan pendek.
Panjangnya kurang lebih 10 cm, jantan 15-20 cm. Panjang badan mirip
sapi bali, tetapi berponok kecil. Berat badan 350 kg, dengan tinggi badan
kira – kira 118 cm dengan persentase karkas 48 %.

Gambar 2.2 Sapi Madura


Sumber : www.sapimadura.com

2.1.3 Sapi Peranakan Onggole

Sugeng (2006) menyatakan bahwa bangsa sapi ini berasal dari India
(Madras) yang beriklim tropis dan bercurah hujan rendah. Sapi ongol ini di
Eropa disebut Zebu, sedangkan di Pulau Jawa sangat populer dengan
sebutan sapi benggala. Sapi Onggole merupakan jenis sapi dwi guna untuk
tenaga kerja dan penghasil daging meskipun kurang ideal jika
dibandingkan dengan Sapi Bali. Sapi Onggole memiliki warna rambut
anu-abu sampai kuning ke-kelabuan, punuk bulat dan besar, tanduk
6

pendek, bergelambir, badan panjang dan kaki relatif pendek serta


pertumbuhannya lambat (Arbi dan Meilus, 1977). Ciri-ciri Sapi Peranakan
Onggole (PO) adalah berwarna putih kelabu atau kehitam-hitaman, kepala
relatif pendek dengan profil melengkung serta mempunyai lipatan-lipatan
kulit yang terdapat pada bawah perut dan leher.

Gambar 2.3 Sapi Onggole


Sumber : ww.sapibetinaonggole.com

2.2. Anatomi Organ Reproduksi Betina

Gambar 2.4 Organ Reproduksi pada Sapi Betina


Sumber : Dokumen Pribadi

2.2.1 Ovarium
Ovarium terletak di cavum abdominalis. Ovarium mempunyai
dwifungsi, sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur atau ovum
7

dan sebagai organ endokrin yang mensekresikan hormon-hormon kelamin


betina yaitu estrogen dan progesterone.

Bentuk dan ukuran ovarium berbeda-beda menurut spesies dan fase


siklus berahi. Pada sapi dan domba ovarium berbentuk oval, sedangkan
pada kuda berbentuk seperti ginjal karena ada fossa ovulatoris, suatu
legokan pada pinggir ovarium. Pada babi, ovarium berupa gumpalan
anggur, folikel-folikel dan corpora lutea menutupi jaringan-jaringan
ovarial di bawahnya.
2.2.2 Tuba Fallopii
Tuba Fallopii atau sering juga disebut dengan oviduct merupakan
saluran paling anterior, kecil, berliku – liku dan terasa keras seperti kawat
terutama pada pangkalnya. Panjang dan derajat liku-liku berbeda-beda
menurut spesies. Pada sapi dan kuda panjang oviduct mencapai 20 sampai
30 cm, dan diameter 1,5 sampai 3 mm. Panjangnya pada babi dan domba
mencapai 15 sampai 30 cm.
Antara ovarium dan tuba Fallopii terdapat suatu hubungan
anatomik yang intim, walaupun tidak bersambung dalam arti kata yang
sebenarnya. Pada ternak mamalia, ovarium terletak di dalam bursa ovarii
yang terbuka, berbeda dengan pada tikus dimana ia berada dalam kantong
tertutup. Pada sapi dan domba bursa ovarii cukup lebar dan terbuka. Pada
babi ia agak menutupi ovarium. Pada kuda ia sempit dan hanya
menyelubungi fossa ovulatoris.

Tuba Fallopii tergantung di dalam mesosalphinx. Ia dapat dibagi


atas infundibulum, ampula, dan isthmus. Ujung oviduct yang berada dekat
ovarium membentang ternganga membentuk suatu struktur berupa corong
yang dinamakan infundibulum. Luas permukaan infundibulum mencapai 6
sampai 10 cm2 pada domba, dan 20 sampai 30 cm2 pada sapi. Muara
infundibulum (ostium abdominale) dikelilingi oleh penonjolan-penonjolan
ireguler pada tepi ujung oviduct, fimbriae. Fimbriae tidak bertaut dengan
ovarium kecuali pada kutub atas organ tersebut terakhir. Hai ini menjamin
pendekatan fimbriae ke permukaan ovarium. Ampula Tuba Fallopii
8

merupakan setengah dari panjang tuba dan bersambung dengan daerah


tuba yang sempit yakni isthmus. Isthmus dihubungkan secara langsung
menuju cornua uteri (pada kuda ia memasuki cornua dalam bentuk suatu
papila kecil). Tidak ada otot sphincter dalam arti kata yang sebenarnya
pada daerah pertemuan uterotubal. Namun pada babi, pertemuan ini
dilengkapi dengan penonjolan-penonjolan mucosa panjang berbentuk jari
yang berasal dari oviduct memasuki lumen uterus sebagai lipatan-lipatan
yang cukup baik pemberian darahnya. Sapi dan domba, terdapat suatu
pembengkakan yang nyata pada pertemuan utero-tubal, terutama selama
estrus.

Pada saat ovulasi, ovum akan didorong masuk ke dalam ujung


oviduct yang berfimbriae. Kapasitasi sperma, fertilisasi dan pembelahan
embrio terjadi di dalam tuba Fallopii. Pengangkutan sperma ke tempat
fertilisasi dan pengangkutan ovum ke uterus untuk perkembangan
selanjutnya diatur oleh kerja cilier (silia) dan hormon estrogen dan
progesteron yang memicu kontraksi muskuler.
2.2.3 Uterus
Uterus merupakan suatu struktur saluran muskuler yang diperlukan
pada saat penerimaan ovum yang telah dibuahi, nutrisi dan perlindungan
fetus, stadium permulaan ekspulsi pada waktu kelahiran, sebagai penghasil
PGF2 α. Uterus terdiri dari cornua uteri, corpus uteri, dan cervix.

Uterus babi tergolong dalam uterus bicornis dengan cornua yang


sangat panjang tetapi corpus yang sangat pendek. Hal ini merupakan suatu
penyesuaian anatomik untuk keberhasilan produksi anak dalam jumlah
yang banyak. Pada sapi, domba, dan kuda, dengan uterus yang tergolong
uterus bipartitus, terdapat suatu dinding penyekat (septum) yang
memisahkan kedua cornua dan corpus uteri yang cukup panjang (paling
besar pada kuda). Pada sapi dara setiap cornua membentuk satu putaran
spiral lengkap, sedangkan pada sapi-sapi pluripara (sudah sering beranak)
spiral tersebut sering hanya mencapai setengah putaran.
9

Cervix atau leher uterus merupakan suatu otot sphincter tubular


yang sangat kuat dan terdapat antara vagina dan uterus. Dindingnya lebih
keras, lebib tebal dan lebih kaku daripada dinding-dinding uterus atau
vagina.
Corpus uteri mempunyai ukuran panjang 2 sampai 4 cm. Cornua
uteri sapi berukuran panjang 20 sampai 40 cm dan diameter 1,25 sampai 5
cm pada keadaan tidak bunting. Cervix uteri berukuran panjang 5 sampai
10 cm, diameter 1,5 sampai 7 cm (rata-rata 3 sampai 4 cm) dengan
diameter terbesar pada hewan yang sudah sering beranak (pluripara).
Cervix terletak caudal dari corpus uteri di dalam rongga pelvis, pada tepi
pelvis atau didalam rongga perut. Selama kebuntingan cervix tertarik ke
dalam cavum abdominalis.
2.2.4 Vagina
Vagina merupakan organ kelamin betina dengan struktur selubung
muskuler yang terletak di dalam rongga pelvis dorsal dari vesica urinaria
dan berfungsi sebagai alat kopulatoris dan sebagai tempat keluarnya fetus
sewaktu partus.
Legokan yang dibentuk oleh penonjolan cervix ke dalam vagina
disebut fornix. Fornix ini dapat membentuk suatu lingkaran penuh di
sekeliling cervix seperti pada kuda atau tidak ada sama sekali seperti pada
babi. Suatu fornix dorsal dapat ditemukan pada sapi dan domba.
2.2.5 Alat Kelamin Luar (Accessorius)
Alat kelamin luar atau Accessorius terbagi atas vestibulum dan
vulva. Vulva terdiri dari labia majora, labia minora, commisura dorsalis
dan ventralis serta clitoris.
Pertemuan antara vagina dan vestibulum ditandai oleh muara
urethra externa, orificium urethra externa, dan sering pula oleh lereng
hymen. Posterior dari muara urethra pada lantai vestibulum terdapat suatu
kantong buntu, diverticulum suburethralis, yang ditemukan pada sapi,
domba, dan babi. Kelenjar Bartholini yang menghasilkan cairan kental
sangat aktif sewaktu estrus, mempunyai struktur tuboalveoler serupa
dengan kelenjar-kelenjar bulbo-urethralis pada hewan jantan.
10

Pada kebanyakan ternak clitoris berukuran panjang kira-kira 5


sampai 10 cm, tetapi seluruhnya praktis tersembunyi di dalam jaringan
antara vulva dan arcus ischiadieus. Clitoris terdiri dari jaringan erektil
yang diselubungi oleh epithel squamous bersusun dan mengandung cukup
banyak ujung-ujung syaraf sensoris. Pada sapi, sebagian besar clitoris
terkubur di dalam mucosa vestibulum. Pada kuda ia berkembang baik,
sedangkan pada babi berbentuk panjang dan berkelok berakhir pada suatu
titik atau puncak kecil.
2.3. Inseminasi Buatan
2.3.1. Pengertian Inseminasi Buatan
Inseminasi Buatan atau yang sering disingkat dengan kata IB
merupakan salah satu teknologi yang diaplikasikan secara luas untuk
mendorong swasembada daging sapi. Teknologi Inseminasi Buatan yang
digunakan untuk program peningkatan mutu genetik terutama pada
ruminansia besar sapi dan kerbau merupakan teknologi unggulan yang
masih akan digunakan dalam upaya peningkatan produktivitasnya (Sayuti
et al. 2011).
Menurut Hafez (1993), Inseminasi Buatan merupakan proses
memasukkan sperma ke dalam saluran reproduksi betina dengan tujuan
untuk membuat betina agar bunting tanpa adanya proses perkawinan
alami. Konsep dasar dari teknologi ini adalah seekor pejantan yang secara
alamiah memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan (spermatozoa)
per hari hanya digunakan untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada
hewan betina yang seharusnya diperlukan hanya satu sel spermatozoa.
Potensi terpendam yang dimiliki seekor pejantan unggul sebagai sumber
informasi genetik dapat dimanfaatkan secara efisien untuk membuahi
banyak betina.

Dalam pelaksanaan Inseminasi Buatan, ada beberapa faktor yang


perlu diperhatikan antara lain seleksi dan pemeliharaan pejantan, cara
penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan dan pengangkutan
semen, inseminasi, pencatatan, dan penentuan hasil inseminasi. Agar
dalam pelaksanaan Inseminasi Buatan pada hewan ternak atau peternakan
11

memperoleh hasil yang lebih efektif, maka deteksi dan pelaporan birahi
harus tepat di samping pelaksanaan dan teknik inseminasi itu sendiri
dilaksanakan secara cermat oleh tenaga terampil. Penggunaan semen
fertile pada waktu inseminasi adalah sangat esensial untuk mendapatkan
tingkat kesuburan yang tinggi, sedangkan hewan betina yang akan di
Inseminasi Buatan haruslah dalam kondisi reproduksi yang optimal.
Semen yang di inseminasikan ke dalam saluran betina pada tempat dan
waktu yang terbaik untuk memungkinkan pertemuan antara spermatozoa
dan ovum sehingga berlangsung proses pembuahan (Tolihere, 2005).
Inseminasi Buatan dapat difasilitasi dengan menggunakan
sinkronisasi estrus dan dapat dilakukan pengaturan jenis kelamin dengan
pemanfaatan pemisahan spermatozoa X dan Y (Ax et al 2008, Susilawati,
2003).
2.3.2. Sejarah Inseminasi Buatan
Inseminasi Buatan pertama kali dilakukan pada kuda dan secara
intensif oleh para ilmuwan Arab pada tahun 1900, seperti ilmuwan dari
Rusia yang bernama Ivanoff yang menginseminasi kuda, sapi, dan domba.
Teknologi ini pertama kali dilakukan pada tahun 1936 di Denmark oleh
Sorensen dan Gylling, setelah itu berkembang pesat di dunia sampai
menembus Benua Amerika sekitar tahun 1937 (Partodiharjo, 1992).
Pada tahun 1677, Anthony van Leeuwenhoek sarjana Belanda
penemu mikroskop dan muridnya Johan Amm merupakan orang pertama
yang melihat sel kelamin jantan dengan mikroskop buatannya sendiri.
Mereka menyebut sel kelamin jantan yang tak terhitung jumlahnya
tersebut animalcules atau animalculae yang berarti jasad renik yang
mempunyai daya gerak maju progresif. Di kemudian hari sel kelamin
jantan tersebut dikenal dengan spermatozoatozoa.

Pada tahun berikutnya, 1678, seorang dokter dan anatomi Belanda,


Reijnier (Regner) de Graaf, menemukan folikel pada ovarium kelinci
(Feradis, 2010). Percobaan inseminasi buatan (IB) dilakukan pertama kali
pada tahun 1780 oleh Lazzaro Spallanzani pada anjing. Tahun 1890 IB
dilakukan di Eropa pada peternakan kuda, namun angka konsepsinya
12

masih rendah sehingga perkembangan IB timbul tenggelam. Prof.


Hoffman dari Jerman Barat menyarankan IB dilakukan setelah kawin alam
dengan cara setelah betina kawin alam lalu vaginanya dikuakkan dengan
spekulum dan spermatozoanya diambil dengan spoit kemudian diencerkan
dengan susu sapi dan disuntikkan kembali kepada betina tersebut. Tahun
1902, Sand dan Stribolt dari Denmark berhasil meningkatkan konsepsi
dari delapan kuda betina. Begitu seterusnya sampai akhirnya IB baru
digunakan secara serius di Rusia oleh prof. Elia I. Ivannoff yang
menghasilkan 31 konsepsi pada 39 kuda betina di peternakan kuda di
kerajaan Rusia (Feradis, 2010).
Inseminasi buatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada
awal tahun 1950-an oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Hewan
dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Dalam rangka rencana
kesejahteraan istimewa (RKI) didirikanlah beberpa satsiun IB di beberapa
daerah di Jawa Tenggah (Ungaran dan Mirit/Kedu Selatan), Jawa Timur
(Pakong dan Grati), Jawa Barat (Cikole/Sukabumi) dan Bali (Baturati).
Juga FKH dan LPP Bogor, difungsikan sebagai stasiun IB untuk melayani
daerah Bogor dan sekitarnya, Aktivitas dan pelayanan IB waktu itu
bersifat hilang, timbul sehingga dapat mengurangi kepercayaan
masyarakat (Sugoro, 2009).
Inseminasi Buatan (IB) diterapkan di Indonesia sejak tahun 1953
pada ternak sapi perah, kemudian pada sapi potong, dan kerbau. Walaupun
hasilnya sampai saat ini sudah dirasakan oleh masyarakat yang ditandai
dengan tingginya harga jual dari ternak hasil IB, namun demikian
pelaksanaannya di lapangan belum optimal sehingga hasilnya (tingkat
kelahiran) dari tahun ke tahun berfluktuasi. Tingkat kelahiran hasil IB
pada sapi potong dan kerbau berfluktuasi setiap tahunnya.
Kekurang berhasilan program IB antara tahun 1960-1970, banyak
disebabkan karena semen yang digunakan semen cair, dengan masa
simpan terbatas dan perlu adanya alat simpan sehingga sangat sulit
pelaksanaannya di lapangan. Di samping itu kondisi perekonomian saat itu
sangat kritis sehingga pembangunan bidang peternakan kurang dapat
13

perhatian. Dengan adanya program pemerintah yang berupa Rencana


Pembangunan
Mulai tahun 1969, maka bidang peternakan pun ikut dibangun.
Tersedianya dana dan fasilitas pemerintah akan sangat menunjang
peternakan di Indonesia, termasuk program IB. Pada awal tahun 1973
pemerintah memasukan semen beku ke Indonesia. Dengan adanya semen
beku inilah perkembangan IB mulai maju dengan pesat, sehingga hampir
menjangkau seluruh provinsi di Indonesia.
Semen beku yang digunakan selama ini merupakan pemberian
gratis pemerintah Inggris dan Selandia Baru. Selanjutnya pada tahun 1976
pemerintah Selandia Baru membantu mendirikan Balai Inseminasi Buatan,
dengan spesialisasi memproduksi semen beku yang terletak di daerah
Lembang Jawa Barat. Setahun kemudian didirikan pula pabrik semen beku
kedua yakni di Wonocolo Suranaya yang perkembangan berikutnya
dipindahkan ke Singosari Malang Jawa Timur. Hasil evaluasi pelaksanaan
IB di Jawa, tahun 1972-1974 menunjukkan angka konsepsi yang dicapai
selama dua tahun tersebut sangat rendah yaitu antara 21,3 -38,92 persen.
2.3.3. Keuntungan Inseminasi Buatan
Keuntungan IB adalah peningkatan reproduksi yang dapat dilihat
dari tercapainya selang beranak ideal, yaitu 12 sampai 14 bulan,
perkawinan pasca beranak 60 sampai 80 hari, CR 60% dari inseminasi
pertama dan S/C berkisar antara 1,6 sampai 2,0 (Susilawati, 2003).
2.3.4. Kerugian Inseminasi Buatan
Kerugian dari sistem IB adalah pemilihan pejantan yang tidak
sempurna akan mengakibatkan abnormalits genetik pada pedet yang
dilahirkan, inseminator yang kurang berpengalaman akan menyebabkan
rendahnya persentase kebuntingan dan kesukaran dengan semen segar dari
ternak jantan yang mempunyai satu garis keturunan akan menyebabkan
terjadinya Inbreeding yang sangat merugikan.
14

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Prosedur Inseminasi Buatan


Dalam melakukan Inseminasi Buatan pada sapi, perlu diperhatikan
tingkah laku dan karakterisitik dari sapi tersebut. keberhasilan Inseminasi
Buatan tergantung pada kemampuan fertilisasi spermatozoa, penanganan
semen sebelum inseminasi, waktu inseminasi dan deposisi semen yang tepat
(Foote, 1969). Berikut merupakan prosedur Inseminasi Buatan, yaitu :
1. Laksanakan inspeksi dari jarak dekat (pastikan keadaan cukup terang atau
laksanakan di luar kandang).
a. Lihat ekor dan bagian atas pantat sapi, bila di atas ekor terdapat luka
atau kotoran, kemungkinan sapi tersebut dinaiki oleh sapi yang lain
(jantan/betina), ini merupakan tanda-tanda berahi.
b. Lihat vulva, apakah ada lendir yang keluar dan menggantung. Bila
lender yang keluar transparan maka ini adalah tanda-tanda berahi. Jika
lender tersebut bernanah / kotor maka kemungkinan besar ini adalah
gejala infeksi.
c. Melihat / mengecek apakah ada luka di vulva dan vagina.
2. Palpasi lewat rectum :
a. Palpasi vagina sulit, karena dinding vagina tipis (sehingga mudah
robek) dan lentur.
b. Palpasi leher rahim (cervix). Prosedur ini sangat penting dilakukan.
Pada sapi yang tidak bunting cervixnya berdiameter antara 2 sampai 3
cm dengan panjang antara 5 sampai 6 cm. Cervix membesar pada saat
terjadi kebuntingan dan setelah melahirkan, pada sapi tua dan sering
beranak maka ukuran cervixnya akan berbeda, biasanya akan
berdiameter antara 5 sampai 6 cm dan panjang 10 cm
c. Tanduk rahim bisa diraba (terutama pada percabangan tanduk rahim).
Tanduk rahim membelok ke bawah, ke depan dan ke belakang. Kalau
terjadi kebuntingan, maka salah satu tanduk akan lebih besar karena
anak dibentuk dalam satu tanduk saja.
15

d. Ovarium, dipalpasi dengan sangat hati-hati untuk melihat


kemungkinankelainan pada indung telur.
3. Inseminasi buatan sapi umumnya menggunakan teknik rektovaginal
dimana semen didepositkan di dua bagian yaitu uterus dan cervix. Teknik
ini menggunakan alat inseminasi gun yang dimasukkan ke daiam alat
reproduksi betina.
4. Pada teknis rektovaginal, tangan yang diselubungi dengan sarung tangan
(plastik glove) dimasukkan ke dalam rektum untuk melokalisir cervix dan
kemudian masukkan gun ke cervix hingga uterus, dengan prosedur sebagai
berikut :
a. Setelah mendapatkan data mengenai sapi berahi maka persiapkan
semua bahan dan alat Inseminasi Buatan dengan baik, yaitu :
1. Insemination Gun
2. atau Semen Beku yang dibawa dalam thermos
3. Plastic sheath
4. Gunting
5. Pinset
6. Gelas berisi air bersih
7. Container lengkap dengan canister/thermos
8. Nitrogen cair secukupnya
9. Sarung tangan plastik
10. Sabun
11. Handuk kecil
12. Apron
13. Sepatu Boot
5. Berangkatlah secepat mungkin ke lokasi sapi yang akan di inseminasi
buatan
6. Cucilah tangan terlebih dahulu.
7. Sebelum melaksanakan prosedur Inseminasi Buatan maka semen harus
dicairkan (thawing) terlebih dahulu.
8. Setelah dithawing, straw dikeluarkan dari air kemudian dikeringkan
dengan tissue.
16

9. Kemudian straw dimasukkan dalam gun, dan ujung yang mencuat


dipotong dengan menggunakan gunting bersih.
10. Setelah itu Plastic sheath dimasukkan pada gun yang sudah berisi semen
beku/straw.
11. Sapi dipersiapkan (dimasukkan) dalam kandang jepit, ekor diikat.
12. Ambil sarung tangan disposibel dan tangan dimasukkan ke dalam rektum.
Sarung tangan dapat membungkus sepanjang lengan.
13. Oleskan sedikit pelicin pada bagian belakang tangan.
14. Membawa gun yang sudah berisi straw dengan mulut dan hampiri sapi
yang akan diinseminasi. Jaga piston jangan tertekan dan ujung gun jangan
sampaiterkontaminasi. Pada tahap ini upayakan agar sapi tenang jika
dihampiri.
15. Ambil lembaran kertas dari kantung untuk membersihkan vulva dengan
tangan yang tidak bersarung.
16. Mengoleskan pelicin dari bagian belakang tangan bersarung.
17. Jari tangan membentuk seperti corong, kemudian dengan sabar dan dengan
gerakan berputar masuk ke dalam rekturn.
18. Selesai tahap ini berhenti sebentar sehingga anus dapat relaks dan tangan
mudah masuk. Hindari keributan dan gerakan kasar yang dapat
menyebabkan stres pada sapi betina. Penanganan yang kasar dapat
menyebabkan pengeluaran hormon adrenalin yang dapat mempengaruhi
CR.
19. Membersihkan seluruh bibir vulva dari kotoran, urin, feses dan pelicin
dengan lap kertas.
20. Pergelangan tangan dalam rektum menekan ke bawah agar bibir vulva
mudah dimasuki ujung gun saat memasuki vagina.
21. Masukkan gun sepanjang vulva dan vagina dengan ujung gun melekat
pada bagian atas menyentuh tangan.
22. Dengan hati-hati dorong gun ke depan dengan ujungnya ada di atas
kantung kencing.
23. Gerakkan gun ke depan hingga masuknya gun tertahan. Bila ujung
tertahan sebelum mencapai cervix, dorong cervix searah kepala sapi.
17

Dengan cara ini lipatan-lipatan dalam vagina akan merenggang dan


memudahkan gun bergerak ke depan.
24. Tekan ke bawah, temukan cervix dengan tangan yang bersarung dari
rektum.
25. Pegang cervix dengan jari. Bila tidak dapat menyentuh cervix berarti
bertahan di pelvis. Kemudian dengan pelan tekan gun ke depan tempelkan
cervix di ujung gun.
26. Gun bergerak sepanjang bagian cervix atau bagian jari tangan hingga
cervix akhir atau di badan uterus.
27. Gerakkan gun sepanjang cervix hingga teraba ujung gun. Dengan
terabanya ujung gun dipermukaan uterus maka gun telah mencapai
sasaran.
28. Perlu dihindari memasukkan gun terlalu dalam ke uterus. Karena luka
pada uterus yang akan berpengaruh pada fertilisasi ovum.
29. Dorong penghisap gun hati-hati dan pelan-pelan serta semprotkan 2/3
bagian semen di depan uterus. Sambil menarik gun hingga ujungnya
berjarak 1 cm di belakang uterus semprotkan sisa semen di belakang
straw. Kadang-kadang gun tidak bisa mencapai ujung cervix tetapi betina
dapat bunting.
30. Gun ditarik pelan-pelan dari cervix dan vagina. Pengeluaran gun dengan
tergesa-gesa dapat menarik kembali semen dari cervix ke vagina.
31. Mengeluarkan tangan dari rektum dengan pelan-pelan.
32. Lepaskan kunci ring pada gun dan tarik plastic sheat dengan tangan yang
terbungkus.
33. Tarik sarung tangan dengan menggulungnya dari atas ke bawah dan
membalikkan bagian dalam menjadi bagian luar. Dengan cara ini
permukaan yang kotor berada di dalam bersamaan dengan plastic sheat.
Permukaan yang berada di luar adalah bagian yang bersih.
34. Buang sarung, plastic sheat, straw dan kertas lap ke tempat sampah.
18

3.2. Dampak Inseminasi Buatan


 Dampak Inseminasi Buatan pada sapi
Inseminasi Buatan atau kawin suntik dapat dikenal dengan sebutan
artificial insemination (Bahasa Inggris). Artificial berarti tiruan atau buatan,
sedang insemination berasal dari inseminates (latin) yang berarti pemasukan,
penyampaian atau deposisi dan semen adalah cairan yang mengandung benih
jantan yang diejakulasikan pada saat kopulasi atau penmpungan. Jadi kata
inseminasi buatan dapat didefinisikan menjadi cara pemasukan atau deposisi
semen ke dalam saluran kelamin betina menggunakan alat buatan manusia
dan bukan secara alamiah (Hardijanto, dkk, 2010).
Keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan (IB) yaitu harus tepat dalam
menumpahkan bibit pejantan ke dalam alat kelamin betina, sehingga tidak
mengurangi kesuburan spermatozoa dan dapat menjamin waktu terjadinya
pembuahan yang optimal. Karena saat subur, sel telur sapi sangat terbatas,
maka pelaksanaan IB yang tepat selama periode berahi dan Keahlian dari
inseminator merupakan faktor penentu keberhasilan dari inseminasi buatan.
19

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Inseminasi Buatan
merupakan terjemahan dari artificial insemination yang berarti memasukkan
cairan semen (plasma semen) yang mengandung sel-sel kelamin pria
(spermatozoa) yang diejakulasikan melalui penis pada waktu terjadi kopulasi
atau penampungan semen. Inseminasi Buatan pada sapi potong di Indonesia
biasanya dilakukan pada jenis Sapi Bali, Sapi Madura, dan Peranakan Sapi
Onggole. Teknik Inseminasi Buatan yang dilakukan yaitu dengan teknik
Retrovaginal. Keberhasilan pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) yaitu harus
tepat dalam menumpahkan bibit pejantan ke dalam alat kelamin betina,
sehingga tidak mengurangi kesuburan spermatozoa dan dapat menjamin waktu
terjadinya pembuahan yang optimal. Karena saat subur, sel telur sapi sangat
terbatas, maka pelaksanaan IB yang tepat selama periode berahi dan Keahlian
dari inseminator merupakan faktor penentu keberhasilan dari inseminasi
buatan.

4.2. Saran
Perlu adanya pengkajian secara berkala pada teknik Inseminasi Buatan
terhadap sapi potong lebih lanjut sehingga faktor kesalahan dalam Inseminasi
buatan dapat diperkecil.
20

DAFTAR PUSTAKA

Arbi N. dan Meilus, R. 1977. Produksi Ternak Sapi Potong. Fakultas Peternakan
Universitas Andalas. Padang.
Ax, R., M. Dally, B. Didion, R.W. Lenz, C.C. Love, D.D. Varner, B. Hafez, and
M.E. Bellin. 2008. Semen Evaluation. In Reproduction in Farm Animal.
E.S.E. Hafez (editor) 7th Edition. Lea and Febiger: 82-370. [Dikutip
dalam jurnal Terna Tropika Vol. 17, tahun 2016].
Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: Alfa beta.
Foote, R. H. (1969) Physiological Aspect of Artificial Insemination, in H. H Cole
and P. T Cupps : Reproduction in Domestic Animal, 2nd Edition,
Academic Press, New York, USA. Page : 342, 345. [Dikutip dalam jurnal
Sain Veteriner, Ida Arlita Wulandari, Surya Agus Prihatno (2014)].
Foote RH. 2002. The history of artificial insemination: Selected notes and
notables. Am Soc Anim Sci.80:1-10. [Dikutip dalam jurnal Wartazoa,
Ismeth Inounu (2014)].
Hafez ESE. 1993. Artificial insemination. Di dalam: HAFEZ ESE. 1993.
Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. Philadelphia (US). pp. hlm 424-
439.
Hardijanto., T. Sardjito, T. Hernawati, S. Susilowati dan T.W. Suprayogi. 2010.
Buku Ajar Inseminasi Buatan. Airlangga University Press. Surabaya.
Ismeth, Inounu. 2014. Upaya Meningkatkan Keberhasilan Inseminasi Buatan pada
Ternak Ruminansia Kecil. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Jurnal Wartazoa Vol. 24, No. 4 tahun 2014.
Muhammad, Dedi, Trinil Susilawati, Sri Wahjuningsih. 2016. Pengaruh
Penggunaan Cep-2 dengan Suplementasi Kuning Telur terhadap Kualitas
Spermatozoa Sapi FH (Frisian Holstein) Kualitas Rendah Selama
Penyimpanan Suhu 4-50C. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Jurnal Ternak Tropika Vol. 17, No.1: 66-76, 2016
Oka IGL. 2010. Conservation and genetic improvement of Bali Cattle.Proc.
Conservation And Improvement of Wordl Indigenous Cattle. 110-117.
[Dikutip dalam jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Mahmud Siswanto et
al. (2013)].
21

Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Ternak. Penerbit Mutiara Sumber Widya,


Jakarta.
Sabran. 2015. Pengaruh Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) terhadap
Peningkatan Populasi Sapi Potong di Kabupaten Bantaeng. Skripsi
Fakultas Sains dan Teknologi Maksaar.
Sayuti A, Herrialfian, Armansyah T, Syafruddin, Siregar TN. 2011. Penentuan
Waktu Terbaik Pada Pemeriksaan Kimia Urin Untuk Diagnosis
Kebuntingan Dini Pada Sapi Lokal. Jurnal Kedokteran Hewan. 5(1): 23 –
26.
Siswanto, Mahmud, Ni Wayan Patmawati, Ni Nyoman Trinayani, I Nengah
Wandia, I Ketut Puja. 2013. Penampilan Reproduksi Sapi Bali pada
Peternakan Intensif di Instalasi Pembibitan Pulukan. Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Udayana, Denpasar. Jurnal Ilmu dan Kesehatan
Hewan, Vol. 1, No. 1: 11-15 Pebruari 2013.
Srianto, Pudji, Nancy Dahnia, Abdul Samik, Herman Setyono. 2011. Motilitas,
Persentase Hidup dan Keutuhan Membran Spermatozoa Domba Ekor
Gemuk Post Thawing dalam Tiga Macam Diluter. Fakultas Kedokteran
Hewan UNAIR. Jurnal Veterinaria Medika Vol. 4, No. 3, November 2011.
Sugeng, Y.B. 2006. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta. [Dikutip dalam
skripsi Angga Prasetya (2011), Institut Pertanian Bogor].
Sugoro, I. 2009. Pemanfaatan Inseminasi Buatan Untuk Meningkatkan
Produktifitas Sapi. Bandung: Kajian Bioetika Institut Teknologi Bandung.
[Dikutip dalam skripsi Sabran (2015), Makassar].
Susilawati. 2003. Inseminasi Buatan dengan Spermatozoa Beku Hasil Sexing
pada Sapi. Makalah Dipresentasikan Pada Kongres I Perkumpulan
Teknologi Reproduksi Indonesia (PATRI) Dempasar Bali.
Toelihere, M. R. 1993. Inseminasi Buatan pada ternak. Angkasa Bandung. GW
Salisbury- N.I.Vandermark Diterjemahkan oleh .Prof.Drh.R.Djanuar.1995.
Fisiolgi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada ternak.
Toelihere, MR Semiadi. G Yusuf. LT. 2005. Potensi Rerpoduksi Rusa Timor
(Cervus timorensis) sebagai Komoditas Ternak Baru:
UpayaPengembangan Populasi di Penangkaran melalui Pengkajian dan
22

Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan. Hibah Penelitian Pasca Sarjana


Angkatan I tahun 2003-2005. Insitut Pertanian Bogor. [Dikutip dalam
skripsi Sabran (2015), Makassar].
Vishwanath R. 2003. Artificial insemination: the state of theart.
Theriogenology.59:571-584. [Dikutip dalam jurnal Wartazoa, Ismeth
Inounu (2014)].
Wulandari, I.A., Surya Agus Prihatno. 2014. Pengaruh Berbagai Temperatur
Thawing Semen Beku Terhadap Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada
Sapi Potong. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada.
Jurnal Sain Veteriner Vol. 1, Juli 2014.
23

LAMPIRAN
24
Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2013 Vol. 1, No. 1: 11-15

Penampilan Reproduksi Sapi Bali pada Peternakan Intensif di Instalasi


Pembibitan Pulukan

Reproductive Performance of Bali Cattle under Intensive Management


System in Breeding Instalation of Pulukan
Mahmud Siswanto1*, Ni Wayan Patmawati1, Ni Nyoman Trinayani1, I Nengah Wandia2,
I Ketut Puja2

1 Calon Fungsional Medik Veteriner, BPTU Sapi Bali, Jalan Gurita III Pegok, Denpasar,
Telp. (0361 ) 721471, Fax : ( 0361 ) 724238,
2. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali
*Corresponding author Email: siswa.anto@gmail.com

ABSTRACT

This studi was conducted to investigate the reproductive performances of Bali cattle under
intensive management in breeding instalation Pulukan Bali from 2008 to 2010. Totaling
298 2 - 6.5 year old heifers were use to represents the benchmark reproductive
performances of Bali cattle. Data collected were age at first heat (AFH), age at first
calving (AFC), calving interval (CI), and services per conception (SPC). The overall
means for AFH, AFC,and CI were 718.57 ± 12.65; 1104.51 ± 23.82, and 350.46 ±
27.98 days respectively, and SPC was 1.65 ± 0.87.

Key words : Bali cattle, reproductive performance, breeding installation, first heat, calving
interval, service per conception

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengamati penampilan reproduksi sapi Bali pada
pemeliharaan instensif di pusat pembibitan sapi Bali Pulukan Jembrana, Bali selama
periode tahun 2008 - 2010. Sebanyak 298 ekor sapi betina berumur antara 2 – 6.5 tahun
digunakan sebagai sumber informasi mengenai penampilan reproduksi sapi Bali. Data
yang dikumpulkan antara lain umur berahi pertama (AFH), umur melahirkan pertama
(AFC), calving interval (CI), dan servis perkonsepsi (SPC). Rata-rata umur sapi Bali
mengalami berahi pertama, melahirkan pertama dan jarak beranak adalah berturut-turut
718,57 ± 12,65; 1104,51 ± 23,82; dan 350,46 ± 27,98 hari, dan angka konsepsi sebesar
1,65 ± 0,87.

Kata kunci: Sapi Bali, penampilan reproduksi, instalasi pembibitan, berahi pertama, jarak
beranak, angka konsepsi

PENDAHULUAN reproduksi sapi pada kondisi manajemen


Pada peternakan sapi, efisiensi intensif. Studi yang menyeluruh pada
reproduksi sangat penting artinya karena penampilan reproduksi penting artinya
berhubungan dengan keuntungan. Data dalam usaha meningkatkan efisiensi dan
mengenai penampilan reproduksi pada sapi strategi pemeliharaan.
telah banyak dilaporkan, namun, belum Sapi Bali merupakan salah satu
banyak laporan mengenai penampilan jenis sapi lokal Indonesia yang berasal dari

11
Siswanto et al. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2013

Bali yang sekarang telah menyebar hampir rendah. Demikian pula Williamson dan
ke seluruh penjuru Indonesia bahkan Payne (1993) menyatakan bahwa
sampai luar negeri seperti Malaysia, lingkungan biotik mempengaruhi
Filipina, dan Australia (Oka, 2010). Sapi performans sapi potong melalui tingkat
Bali memiliki keunggulan dibandingkan efisiensi penggunaan pakannya dan mampu
dengan sapi lainnya antara lain mempunyai menampilkan performans secara maksimal.
angka pertumbuhan yang cepat, adaptasi Tujuan penenlitian ini adalah untuk
dengan lingkungan yang baik, dan mendapatkan data mengenai penampilan
penampilan reproduksi yang baik. Sapi reproduksi sapi Bali pada sistem
Bali merupakan sapi yang paling banyak pemeliharaan intensif pada pusat
dipelihara pada peternakan kecil karena pembibitan sapi Bali di Desa Pulukan,
fertilitasnya baik dan angka kematian yang Jembrana. Data ini akan dapat digunakan
rendah (Purwantara et al., 2012). untuk rekomendasi terutama di dalam
Penampilan produktivitas dan peningkatan efisiensi reproduksi sapi Bali
reproduktivitas sapi Bali sangat tinggi.
Talib et al. (2003) melaporkan bahwa rata- METODE PENELITIAN
rata berat hidup sapi Bali saat lahir, sapih ,
tahunan dan dewasa berturtut-turut 16,8; Data penampilan reproduksi
82,9; 127,5; dan 303 kg. Sapi Bali didapatkan dari data reproduksi sapi Bali
dilaporkan sebagai sapi yang paling betina yang dipelihara secara intensif di
superior dalam hal fertilitas dan angka BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul)
konsepsi (Toelihere, 2002). Darmaja Desa Pulukan, Jembrana selama periode
(1980) melaporkan bahwa angka fertilitas tahun 2008 – 2010. Sebanyak 298 ekor sapi
sapi Bali berkisar antara 83-86 %. Di betina yang digunakan dengan umur antara
Sulawesi Selatan, angka fertilitas sapi Bali 2-6,5 tahun. Data penampilan reproduksi
adalah 82% (Wardoyo, 1950). Peternakan yang dikumpulan adalah services per
dengan sistem ekstensif seperti di Lombok conseption (SPC), umur pertama berahi
menimbulkan penurunan penampilan (AFH) , umur pertama melahirkan (AFC),
reproduksi (Bamualim dan Wirdahayati, dan calving interval (CI). Data yang
2003). Fatah (1998) melaporkan bahwa diperoleh disajikan secara deskriptif.
sapi Bali yang dipelihara pada daerah
kering di Timor memiliki angka HASIL DAN PEMBAHASAN
fertilitasnya sampai 75%.
Seleksi negatif akibat pengiriman Rata-rata umur sapi Bali mengalami
ternak potong keluar Bali dan pemotongan berahi pertama dan melahirkan pertama
betina produktif di rumah potong di seluruh kali, serta calving interval adalah berturut-
kabupaten di Bali telah menyebabkan turut 718,57± 12,65; 1104,61± 23,82; dan
terjadinya penurunan performans sapi Bali. 350,46±27,98 hari. Services per
Samariyanto (2004) menyatakan bahwa conception dengan inseminasi buatan
belum sempurnanya sistem peremajaan adalah 1,65 ± 0,87 (Tabel 1).
bibit yang diikuti dengan pemilihan dan
pemotongan sapi yang berkualitas baik
dapat menyebabkan penurunan performans
sapi Bali.
Darmaja (1980) menyatakan bahwa
perfomans sapi Bali mempunyai adaptasi
yang baik terhadap pengaruh lingkungan
yang panas dan cukup toleran terhadap
lingkungan dingin serta sangat efisien
dalam penggunaan pakan dengan kualitas

12
Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2013 Vol. 1, No. 1: 11-15

Tabel 1. Penampilan Reproduksi Sapi Bali yang dipelihara di Pulukan


Performans reproduksi Minimum Maksimum Rataan Std. Deviasi
(hari) (hari) (hari) (hari)
AFH 692,00 741,00 718,5714 12,64977
AFC 1046,00 1163,00 1104,6154 23,82087
CI 313,00 411,00 350,4571 27,98145
Angka konsepsi kawin suntik 1,00 4,00 1,6571 0,87255

Rata-rata umur sapi Bali dibandingkan dengan CI sapi asli di daerah


mengalami berahi pertama adalah 718,57± tropis. Kamal (2010) melaporkan bahwa
12,65. Hasil pengamatan umur sapi Bali rata-rata CI sapi yang hidup di daearah
yang mengalami berahi pertama lebih tropik berkisar antara 365-536 hari.
cepat bila dibandingkan dengan sapi lokal Sebanyak 35 ekor sapi yang
di Banglades. Pada sapi lokal Banglades dikawinkan secara inseminasi buatan
umur pertama berahi adalah 1179 ± 2,6 menunjukkan angka konsepsi rata-rata 1,6.
hari (Al-Amin and Nahar, 2007). Mohamad et al. (2005) menyatakan bahwa
Perbedaan ini kemungkinan diakibatkan angka konsepsi sapi Bali adalah 1,7.
perbedaan bangsa sapi tersebut. Angka konsepsi pada penelitian ini lebih
Rata-rata umur pertama melahirkan kecil bila dibandingkan dengan hasil yang
pada penelitian ini didapat bahwa 1104,51 dilaporkan Mohamad et al. (2005). Angka
± 23.82 hari atau 36,8 bulan. Hasil konsepsi pada penelitian ini juga lebih
penelitian ini lebih rendah bila kecil bila dibandingkan dengan SPC pada
dibandingkan hasil yang dilaporkan oleh sapi lokal Bangladesh. Pada sapi lokal
Gunawan et al. (2011) yaitu sebesar 43.86 Bangladesh SPC adalah 1,5 (Al-Amin dan
± 0.70 bulan. Hasil ini sesuai kisaran yang Nahar, 2007). Hasil studi ini merefleksikan
dilaporkan oleh Alberro (1983) yaitu 35,1 bahwa di pusat pembibitan Sapi Bali
– 53 bulan pada sapi Bos indicus di daerah Pulukan telah terjadi perbaikan kualitas
tropik. Umur pertama melahirkan pada genetik sapi Bali serta didukung oleh
sapi Bali lebih rendah jika dibandingkan manajemen pakan dan pemeliharaan yang
dengan sapi Red Chitagong asal baik.
Bangladesh. Pada sapi Red Chitagong
umur pertama melahirkan adalah 42 ± 1,8
bulan (Hasanuzzaman et al., 2012), KESIMPULAN
sedangkan Habib et al. (2010) melaporkan
bahwa pada sistem peternakan intensif Penampilan reproduksi sapi Bali
umur pertama melahirkan adalah 40,93 ± yang dipelihara secara intensif di Pusat
1,74 bulan. Umur pertama melahirkan Pembibitan Sapi Bali Pulukan adalah umur
pada sapi Bali sesuai juga dengan kisaran sapi Bali mengalami berahi pertama
sapi Asia Tenggara seperti yang dilaporkan 718,57± 12,65 hari, umur pertama
Shamsudin et al. (2006) yaitu bervariasi melahirkan 1104,51± 23,82 hari, calving
antara 33 - 40 bulan. interval 350,46±27,98 hari, dan angka
Rata-rata angka calving interval konsepsi sebesar 1,65 ± 0,87. Hasil
pada penelitian ini adalah sebesar 350,45 ± penelitian mengindikasikan bahwa
27,98 hari. Hasil penelitian ini perbaikan manajemen pemeliharaan dapat
menunjukkan CI yang lebih rendah meningkatkan kualitas sapi Bali.
dibandingkan laporan Mohamad et al.
(2005) yaitu sebesar 411 ± 64 hari dan
Gunawan et al. (2011) sebesar 360,93. CI
pada penelitian ini juga lebih rendah bila

13
Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2013 Vol. 1, No. 1: 11-15

DAFTAR PUSTAKA J.Indonesian Trop.Anim.Agric. 36(2


:83-90.
Al-Amin and Nahar A. 2007. Productive Kamal MM. 2010. A review on cattle
and reproductive performance of reproduction in Bangladesh. Inter
non-descript (Local) and Crossbred J.Dairy Sci. 5:245-252
Dairy Cows in Costal Area of Mohamad K, Sumantra IP, Colenbrander
Bangladesh. Asian J.Anim.Vet.Adv. B, and Purwantara B. 2005.
2(1):46-49. Reproductive performance of Bali
Alberro M. 1983. Comparative cattle fol1owing artificial
performance of F1 Friesian x zebu insemination in Bali. Proceedings
heifers in Ethiopia. Anim. Prod. International Asla Link Symposium
37:247-252. ''Reproductive Blotechnology for
Bamualim A and Wirdayati RB. 2003. Improved Animal Breeding in
Nutrition and management strategies Southeast Asia", Denpasar,Bali
to improve Bali cattle productivity Oka IGL. 2010. Conservation and genetic
in Nusa Tenggara. ACIAR improvement of Bali Cattle.Proc.
Proceedings, 17-22. Conservation And Improvement of
Darmadja SGND. 1980. Setengah Abad Wordl Indigenous Cattle. 110-117.
Peternakan Sapi Tradisional dalam Purwantara B, Noor RR, Andersson G, and
Ekosistem Pertanian di Bali ( Rodriguez-Martinez H. 2012.
Desertasi ) Bandung : Program Banteng and Bali Cattle in
Pascasarjana. Universitas Pajajaran. Indonesia: Status and Forecasts.
Fattah S. 1998. Productivitas sapi Bali Reprod Dom Anim 47 (Suppl. 1), 2–
yang dipelihara di padang 6
penggembalaan alam (Kasus Oesu’u Samariyanto. 2004. Alternatif Kebijakan
NTT). (The productivity of Bali Perbibitan Sapi Potong dalam Era
cattle kept in natural pasture (Case Otonomi Daerah . Lokakarya Sapi
study in Oesu’u, East Potong.
Nusatenggara). Doctoral Thesis. http://Gooogle/Puslibangnak. Bogor
Padjajaran University. Bandung. 2006.
Habib MA, Bhuiyan AKFH, and Amin Shamsuddin M, Bhuiyan MMU, Cnada
MR, 2010. Reproductive PK, Alam MGS, and Galoway G.
Performance Of Red Chittagong 2006. Radioimmunoassay of milk
Cattle In A Nucleus Herd. Bang. J. progesterone as a tool for fertility
Anim. Sci. 2010, 39 : 9 – 19 control in smallholder dairy farms.
Hasanuzzaman M, Hossain ME, Islam Trop. Anim. Health Prod. 38:85- 92
MM, Begum MR, Chowdhury S, Thalib C, Entwistle K, Siregar A, Budiarti
and Hossain MZ. 2012. S, and Lindsay D. 2003. Survey of
Performance of Red Chittagong population and production dynamics
cattle in some selected Areas of of Bali cattle and existing breeding
Chittagong district of Bangladesh. programs in Indonesia.ACIAR
Bang. J. Anim. Sci. 2012. 41 (1): Proceedings,3-9.
29-34 Toelihere M. 2002. Increasing the success
Gunawan A, Sari R, Parwoto Y, and rate and adoption of artificial
Uddin MJ. 2011. Non genetic insemination for genetic
factors effect on reproductive improvement of Bali cattle.
performance and preweaning Workshop on Strategies to
mortality from artificially and ImproveBali Cattle in Eastern
naturally bred in Bali Cattle. Indonesia. Udayana Eco Lodge
Denpasar Bali 4–7 February 2002.

14
Siswanto et al. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2013

Wardoyo M. 1950. Peternakan sapi di


Sulawesi Selatan (Cattle farming in
South Sulawesi). Hemera Zoa 56,
116–118.
Williamson G dan Payne WJA. 1993.
Pengantar Peternakan di Daerah
Tropis. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

15
JSV 32 (1), Juli 2014 JURNAL
SAIN VETERINER
ISSN : 0126 - 0421

Pengaruh Berbagai Temperatur Thawing Semen Beku Terhadap Keberhasilan


Inseminasi Buatan Pada Sapi Potong
The Effect of Various Thawing Temperatures of Frozen Semen on the Success of Artificial
Insemination of Beef Cattle

Ida Arlita Wulandari 1, Surya Agus Prihatno2


1
Program Studi Bioteknologi, Universitas Gadjah Mada
2
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada
Email: idaarlitawulandari@gmail.com

Abstract

The study about the effect of various thawing temperatures frozen semen on the success of artificial
insemination of beef cattle had been conducted in Residency of Sleman Territory of Yogyakarta. The study used
59 heifers and cows that were oestrus (without oestrus stimulation) with body condition score (BCS) of 3 and
1,5-8 years age. They were inseminated using frozen semen of Simmental thawed in temperature of 37°C, 35°C
(warm water) and 28-30°C (cold water). Effect of thawing temperatures was evaluated by non returnrate (NR).
NR of thawing temperatures of 37°C, 35°C and 28-30°C were 63,16%, 55%, and 45%, respectively Thawing
temperature of 37°C increased the non returnrate compared to the thawing temperatures of 35°C and 28-30°C.
Statistical analysis by Chi-square showed there were no significant differences between thawing temperatures of
37°C, 35°C and 28-30°C on the success of artificial insemination

Key words: beef cattle, artificial insemination, thawing, non returnrate, frozen semen,

Abstrak

Penelitian pengaruh berbagai temperatur thawing semen beku terhadap keberhasilan inseminasi buatan
telah dilakukan di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
59 ekor sapi betina estrus (tanpa stimulasi birahi) dengan body condition score (BCS) 3 dan berumur antara 1,5-8
tahun yang mencakup sapi dara maupun sapi yang sudah pernah beranak. Sapi-sapi tersebut diinseminasi
menggunakan semen beku dari sapi Simmental yang terlebih dahulu di thawing pada berbagai temperatur yaitu
37°C, 35°C (air hangat) dan 28-30°C (air dingin). Keberhasilan inseminasi buatan dapat dievaluasi melalui nilai
non returnrate (NR). Nilai non returnrate (NR) yang diperoleh pada temperatur thawing 37°C, 35°C dan 28-
30°C berturut-turut adalah 63,16%, 55%, dan 45%. Thawing pada temperatur 37°C dapat meningkatkan nilai
NR dibandingkan thawing pada temperatur 35°C dan 28-30°C. Analisis statistik dengan Chi-Square
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara temperatur thawing 37°C, 35°C dan 28-30°C dengan
keberhasilan inseminasi buatan

Kata kunci: sapi potong, inseminasi buatan, thawing, non returnrate (NR), semen beku

40
Pengaruh Berbagai Temperatur Thawing Semen Beku

Pendahuluan perlu ditambahkan larutan pengawet yang menjamin


kebutuhan fisik dan kimianya sehingga aktifitas
Keberhasilan IB tergantung pada kemampuan fungsional spermatozoa tetap terjaga selama proses
fertilisasi spermatozoa, penanganan semen sebelum penyimpanan hingga akan digunakan (Yatim,
inseminasi, waktu inseminasi dan deposisi semen 1982).
yang tepat (Foote, 1969).Teknik inseminasi yang Semen beku harus disimpan dalam temperatur
umum dilakukan yaitu inseminasi dalam vagina, dan kondisi tertentu untuk mempertahankan
servik, dan teknik rektovaginal (Salisbury dan spermatozoa agar tetap hidup. Perubahan temperatur
vanDemark, 1985).Inseminasi pada waktu yang lingkungan akan mempengaruhi daya hidup
tepat sangat penting dalam keberhasilan konsepsi. spermatozoa, temperatur terlalu tinggi atau terlalu
60% sapi memiliki panjang siklus birahi 17-25 hari rendah akan merusak pertumbuhan dan kemampuan
dan sisanya memiliki siklus yang lebih panjang atau spermatozoa untuk membuahi (Yatim, 1982).
lebih pendek (Salisbury and vanDemark, 1985). Penyimpanan semen beku dalam nitrogen cair -
Pelaksanaan IB dilakukan pada saat ternak dalam 196°C lebih baik dibanding pada dry ice dengan
kondisi birahi (estrus), karena pada saat itu servik temperatur -79°C karena pada temperatur -79°C
pada posisi terbuka. Waktu optimum dan inseminasi terjadi perubahan pada sperma dan terbentuknya
selama dan sesudah estrus adalah dari pertengahan kristal elektrolit (Cupps et al, 1969; Toelihere,
estrus sampai 6 jam sesudah puncak birahi 1993).
(Salisbury and vanDemark, 1985). Angka fertilisasi Semen beku dicairkan kembali (thawing)
pada awal birahi adalah 44% dan pada pertengahan sebelum digunakan. Sesudah pencairan kembali,
birahi 82,5%, sedangkan pada akhir birahi 75% dan semen beku tidak dapat tahan lama seperti semen
semakin menurun sejalan dengan bertambahnya cair (Toelihere, 1993). Semen sebaiknya digunakan
waktu birahi (McDonald, 1971; Abeygunawardena, segera setelah thawing untuk memperoleh efisiensi
1999; Junaidi, 2000). reproduksi yang maksimal (Morrow, 1987).
Semen beku dalam straw telah digunakan pada Peningkatan temperatur saat thawing harus
inseminasi di Indonesia pada sapi perah dan sapi meningkat secara konstan sampai waktu inseminasi
potong sejak tahun 1974 (Toelihere, 1993). (Toelihere, 1993). Teknik thawing yang tepat akan
Keuntungan penggunaan semen beku antara lain menjaga aktifitas biologis dan kualitas spermatozoa
memperluas kemungkinan perkawinan dengan (Jondet, 1972). Thawing membuat spermatozoa
pejantan unggul, semen dari pejantan unggul baik kembali hidup dan kembali ke temperatur tubuh
yang sehat, cacat, pincang, atau tua dapat digunakan sehingga thawing harus dilakukan secara hati-hati
sepanjang tahun. Kerugian penggunaan semen beku untuk menghindari kerusakan spermatozoa
adalah biaya produksi yang tinggi dan berpotensi (Bearden et al., 2004). Penelitian mengenai
menyebarkan penyakit venereal (Toelihere, 1993). temperatur thawing semen beku telah banyak
Spermatozoa dalam semen beku sangat mudah dilakukan di berbagai negara terhadap viabilitas
terganggu oleh perubahan lingkungan, untuk itu spermatozoa setelah thawing (Robbins et al, 1976;

41
Ida Arlita Wulandari dan Surya Agus Prihatno

Pace et al., 1981; Dhami and Sahni, 1993). yang sedang mengalami birahi (estrus) secara alami
Penelitian mengenai pengaruh berbagai temperatur tanpa induksi birahi. Sapi betina dalam kondisi sehat
thawing semen beku terhadap keberhasilan IB dengan BCS 3 mempunyai saluran reproduksi
belum pernah dilakukan. normal, meliputi sapi dara dan sapi yang sudah
Ukuran terakhir yang pasti mengenai pernah beranak. Semen beku yang digunakan
keberhasilan inseminasi hanyalah kelahiran anak berasal dari semen sapi Simmental dalam kemasan
yang sehat. Penentuan kebijakan dalam IB akan straw 0,25 ml. Bahan yang digunakan untuk thawing
terlampau lambat apabila menunggu sampai adalah air hangat bertemperatur 37°C, 35°C dan air
terjadinya kelahiran, apalagi bila tidak terjadi dingin bertemperatur 28-30°C.
kebuntingan (Salisbury dan vanDemark, 1984;
Toelihere, 1993). Informasi yang cepat dapat Inseminasi buatan (IB)
diperoleh dengan menggunakan teknik-teknik Pelaksanaan IB dilakukan oleh inseminator
penentuan fertilitas yang dapat memberikan terlatih dan bersertifikat. Sapi betina yang akan
gambaran umum untuk penilaian pelaksanaan IB. diinseminasi terlebih dulu direstrain untuk
Informasi ini digunakan sebagai dasar penentuan memudahkan penanganan. Semen beku yang akan
kebijakan selanjutnya. Evaluasi hasil inseminasi digunakan dithawing dan dimasukkan dalam pipet
dilakukan melalui berbagai cara, yaitu non inseminasi. Teknik inseminasi yang dilakukan
returnrate (NR), conception rate (CR), servis per adalah teknik rektovaginal. Tangan kiri yang telah
conception (S/C) dan calving rate (CR).Non bersarung plastik dan dilubrikasi dimasukkan ke
returnrate (NR) merupakan persentase hewan yang dalam rektum untuk mengeluarkan feses dan
tidak kembali minta kawin atau tidak ada permintaan memfiksir servik. Vulva dan bibir vulva dibersihkan
IB lebih lanjut dalam waktu 28-35 hari atau 60-90 kemudian tangan kanan memasukkan pipet
hari. Di Amerika Serikat, nilai NR pada 60-90 hari inseminasi kedalam vagina sampai pada servik yang
mencapai rata-rata 65-72% (Roberts, 1971; telah difiksir melalui rektum.
Toelihere, 1993). NR merupakan teknik tercepat dan
mudah untuk menentukan keberhasilan Pencairan kembali (thawing)
IB.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Sebanyak 59 buah straw semen beku dari sapi
pengaruh berbagai temperatur thawing semen beku Simmental dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok
terhadap keberhasilan inseminasi buatan pada sapi pertama terdiri dari 19 buah straw yang dithawing
potong yang diukur dengan angka NR. pada air hangat bertemperatur 37°C, kelompok
kedua terdiri dari 20 buah straw yang dithawing pada
Materi dan Metode air hangat bertemperatur 35°C, sedangkan kelompok
ketiga terdiri dari 20 buah straw yang dithawing
Hewan dan semen beku pada air dingin bertemperatur 28-30°C. Straw
Hewan penelitian yang digunakan adalah 59 dithawing dengan memasukkan ke dalam gelas
ekor sapi potong betina berusia 1,5 sampai 8 tahun berisi air dengan temperatur yang sudah ditentukan.

42
Pengaruh Berbagai Temperatur Thawing Semen Beku

35°C, dan 28-30°C


Straw dimasukkan dengan posisi sumbat pabrik di
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa
bagian bawah sampai seluruh bagian straw terendam
thawing pada temperatur 37°C menghasilkan angka
selama 5-7 detik.
NR yang lebih besar dibandingkan thawing pada
temperatur 35°C dan 28-30°C. Nilai NR pada
Pencatatan hasil inseminasi
temperatur 37°C, 35°C dan 28-30°C adalah 63,16%,
Pencatatan hasil inseminasi dilakukan pada 28-
55% dan 45%. Menurut Prihatno (2000), nilai NR
35 hari sesudah IB. Sapi-sapi yang kembali birahi
setelah IB pada sapi fertil adalah 60-85%. Beberapa
dan diinseminasi kembali dicatat untuk
peneliti menyatakan bahwa pada temperatur diatas
penghitungan nilai NR. Penilaian NR tergantung
35°C menghasilkan motilitas sperma yang lebih baik
pada asumsi bahwa sapi-sapi yang tidak kembali
(Al-Badry, 2012). Salisbury et al. (1978)
birahi adalah bunting (Toelihere, 1973). Nilai NR
melaporkan, bahwa thawing harus dilakukan dengan
dihitung menggunakan rumus :
cepat untuk mencegah rekristalisasi es dalam sel
Jumlah sapi yang di IB - jumlah sapi yang kembali di IB
NR (%) = × 100% yang mengakibatkan kerusakan membran.
jumlah sapi yang di IB
Temperatur merupakan salah satu faktor yang dapat
Parameter Uji
mempengaruhi daya tahan hidup spermatozoa. Daya
Parameter yang diuji adalah angka NR (non
tahan hidup kemungkinan mempengaruhi nilai NR.
returnrate) setelah inseminasi. Sapi-sapi yang tidak
Menurut Evans dan Maxwell (1987), temperatur
kembali diinseminasi diasumsikan bunting. Data
37,5°C akan meningkatkan metabolisme
yang diperoleh diolah dengan metode statistik chi-
spermatozoa, menguras cadangan energinya dan
square (Santoso, 1999).
memperpendek umur spermatozoa, sebaliknya pada
temperatur 37°C berguna untuk mencegah cold
Hasil dan Pembahasan
shock dan motilitas spermatozoa pada sapi akan
Hasil pengamatan berupa perbandingan antara
meningkat pada temperatur 37°C (Toelihere, 1979;
thawing pada temperatur 37°C, 35°C, dan 28-30°C
Toelihere, 1993). Cold shock merupakan suatu
terhadap angka non returnrate(NR) dapat dilihat
keadaan dimana spermatozoa akan kehilangan daya
pada Tabel 1.
hidupnya yang tidak dapat dipulihkan kembali
Tabel 1. Nilai NR pada temperatur thawing 37°C, (Toelihere, 1979). Dalam kondisi anaerob pada
Thawing Thawing Thawing temperatur 37°C spertmatozoa tetap tinggal dan
pada pada pada motil selama 9 jam di dalam lendir servikovaginal, 7
temperatur temperatur temperatur
37°C 35°C 28-30°C jam di dalam cairan uterus dan 12 jam di dalam tuba
Jumlah Sapi yang
di-IB (ekor) 19 20 20 fallopi (Salisbury and vanDemark, 1984). Witarsa
Jumlah Sapi yang (2001) mengatakan bahwa thawing dapat dilakukan
tidak kembali di-IB 12 11 9
(ekor)
dengan dua cara, yaitu dengan air ledeng/sumur
Jumlah Sapi selama ± 30 detik dan air hangat (37°C) selama ± 15
yang kembali 7 9 11
di-IB (ekor)
detik, sedangkan Zenichiro et al. (2002) mengatakan
Nilai NR (%) 63,16 55 45

43
Ida Arlita Wulandari dan Surya Agus Prihatno

Bearden, H. J., Fuquay, F. and Willard, S.T. (2004)


bahwa thawing dilakukan pada temperatur 37-38°C th
Applied Animal Reproduction, 6 edition,
selama 7 detik. Thawing pada temperatur 37°C Pearson Prentice Hallm, New Jersey, USA.
dapat membantu semen untuk melewati masa Cupps, P. T., anderson, L. L. and Cole, H. H., (1969)
kritisnya dengan cepat (Laing, 1970; Amin, 1999) The Oestrus Cycle, in H. H Cole and P.T Cupps:
Reproduction in Domestic Animal, Second
karena pada temperatur 37°C ini hampir sama
Edition, Academic Press, New York, Page :
dengan temperatur tubuh hewan dan simulasi 332.
lingkungan in vivo (Evans and Maxwell, 1987). Pada
Dhami, A.J .and Sahni, K..L. (1993) Evaluation of
pusat IB di Ungaran Jawa Tengah, thawing terhadap Different Cooling Rates, Equilibration Periods
semen beku dalam straw dengan air kran dikatakan and Diluents for Effects on deep-Freezing,
Enzyme Leakage and Fertility of Taurine Bull
memberi hasil yang memuaskan dibanding thawing Spermatozoa. Theriogenology 40: 1269-1280.
memakai air es walaupun tidak diberitahukan berapa
Evans, G. and Maxwell, W. M. C. (1987) Salomon's
lama jeda waktu antara thawing dengan inseminasi Artificial Insemination of Sheep and Goat,
(Toelihere, 1993). Butterworth, Sidney, Australia. Page: 22, 27,
49, 131, 135, 171-172.
Gordon (2002) menyebutkan bahwa persentase
motilitas dan viabilitas spermatozoa tertinggi adalah Foote, R. H. (1969) Physiological Aspect of
Artificial Insemination, in H. H Cole and P. T
pada post-thawing 30-37°C selama 30 detik. Pace et Cupps : Reproduction in Domestic Animal, 2
nd

al. (1981) dan Nur et al. (2006) menyatakan bahwa Edition, Academic Press, New York, USA.
Page : 342, 345.
straw semen sapi yang dithawing pada temperatur
37°C menghasilkan fertilitas yang lebih tinggi Gordon, I. (2002) Controlled Reproduction in Cattle
and Buffaloes, CABI Publishing, Wallingford,
dibandingkan pada temperatur 10°C atau air es. UK.
Analisis statistik dengan chi-square
Junaidi, A. (2000) Deteksi estrus dan Inseminasi,
menunjukkan bahwa nilai NR yang diperoleh pada Dalam : Kursus Penyegaran Mengenai
temperatur thawing 37°C, 35°C dan 28-30°C tidak Reproduksi Pada Sapi Bagi Dokter Hewan
Praktisi, Bagian Reproduksi dan Kebidanan,
menunjukkan perbedaan yang signifikan untuk FKH UGM, Yogyakarta.
keberhasilan IB.
Laing, (1970) Fertility and Infertility in Domestic
rd
Animals, 3 edition, Bailliere Tindall & Cassel,
Daftar Pustaka
London, United Kingdom.
Abeygunawardena, H. (1999) Reproduction and
McDonald, L. E. and Pineda, M. H. (1971)
Obstetrics in Farm Animal. Department of
Veterinary Endocrinology and Reproduction,
Veterinary Clinical Studies, University of
4th edition, Lea and Febiger, Philadelphia.
Paradeniya. Page 3-6, 16.
Morrow, D. A. (1980) Current Therapy and
Amin, M.R., Toelihere MR., Yusuf, T.L dan
Theriogenology : Diagnosis, Treatment and
Situmorang, P. (1999) Pengaruh Plasma Semen
Prevention of Reproductive Disease in
Sapi terhadap Kualitas Semen Beku Kerbau
A n i m a l s , W B S a u n d e r s C o m p a n y,
Lumpur (Bubalus bubalis). J. Ilmu Ternak dan
Philadelphia, USA.
Veteriner 3: 145.

44
Pengaruh Berbagai Temperatur Thawing Semen Beku

Nur, Z. and Illeri, I.K. (2003) Effect of Different Salisbury, G. W. and VanDemark, N. L. (1985)
Temperature Treatments Applied to Deep Phisiology of Reproduction and artificial
Stored Bull Semen on Post-Thaw Cold Insemination in Cattle, terjemahan : Djanuar R,
Shocked Spermatozoa. Bull. Vet. Inst. Pulawg., Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan
50: 79-83. pada Sapi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Pace, M. M., Sullivan, J.J.,. Elliot, F. I., Graham, E.
F. and Coulter, G. H. (1981) Effect of Thawing Toelihere, M. R. (1979) Fisiologi Reproduksi pada
Temperature, Number of Spermatozoa and Ternak, Penerbit Angkasa, Bandung.
Spermatozoa Quality on Fertility of Bovine
Spermatozoa Packaged in 5 ml French Straw. J. Toelihere, M. R. (1993) Inseminasi Buatan pada
Anim. Sci. 35:253. Ternak, Penerbit Angkasa, Bandung.

Prihatno, S. A. (2000) Infertilitas an Sterilitas Witarsa, A. (2001) Evaluasi Semen Dalam :


Dalam: Kursus Penyegaran Mengenai Pelatihan Petugas Teknis Desentralisasi BIB
Reproduksi Sapi Bagi Dokter Hewan Praktisi, Lembang, Ditjen Bina Produksi Peternakan,
Bagian Reproduksi dan Kebidanan, FKH Jawa Barat.
UGM, Yogyakarta.
Yatim, W. (1982) Reproduksi dan Embriologi,
Robbins, P. K., Saacke, R. H. and Chandler, P. T. Penerbit Tarsito, Bandung.
(1976) Influence of Freeze Rate, Thaw Rate
and Glycerol Level on Acrosomal Retention Zenichiro, K., Herliantien and Sarastina, (2002)
and Survival of Bovine Spermatozoa Frozen on Instruksi Praktis, Teknologi Prosesing Semen
French Straw. J. Anim. Sci. 42: 145-154. Beku Pada Sapi, JICA-BIB Singosari, Malang,
Jawa Timur.

45

Anda mungkin juga menyukai