Makalah Pertumbuhan Dan Perkembangan
Makalah Pertumbuhan Dan Perkembangan
Oleh:
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
SUMEDANG
2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan laporan yang akan datang. Semoga makalah ini
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Bab halaman
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 2
III. PEMBAHASAN 7
3.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Prenatal 7
3.2 Perkembangan dan Perkembangan Postnatal 9
3.2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Periode Pre-weaning 10
3.2.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Periode Post-weaning 12
iii
4.5 Hormon 18
V. Kesimpulan 19
DAFTAR PUSTAKA
iv
1
I
PENDAHULUAN
Sapi potong atau juga disebut sebagai sapi pedaging adalah jenis sapi yang
dikhususkan untuk dipelihara guna diambil manfaat dagingnya. Badan Pusat
Statistik (2021), total populasi sapi potong di Indonesia pada 2021 yaitu
18.053.710 ekor. Usaha peternakan sapi potong di Indonesia mempunyai prospek
yang sangat baik disebabkan konsumsi produk pangan asal ternak terus meningkat
seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan perekonomian nasional
serta kesadaran pemenuhan kebutuhan protein hewani. Waktu penggemukan sapi
potong biasanya adalah maksimal 6 bulan. Dalam jangka waktu kurang dari 6
bulan tersebut diharapkan terjadi pertumbuhan daging dan lemak.
1.2 Tujuan
II
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi potong merupakan salah satu ternak yang dipelihara dengan tujuan
utama sebagai penghasil daging. Ciri-ciri sapi potong memiliki tubuh besar,
kualitas dagingnya maksimum, laju pertumbuhan cepat, efisiensi pakan tinggi,
dan mudah dipasarkan (Pawere et al., 2012). Sapi potong merupakan salah satu
ternak ruminansia yang mempunyai kontribusi terbesar sebagai penghasil daging,
4
Beberapa sapi yang cukup populer di Indonesia adalah bangsa sapi tropis,
yaitu sapi Peranakan Ongole, sapi Madura, sapi Bali, dan sapi Brahman Cross
(BX).
Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara Bos sondaicus dan Bos
Indicus. Sapi tipe pedaging ini tersebar di wilayah Madura, Jawa Timur. Pada
dasarnya sapi Madura memiliki ciri yang menonjol sehingga dengan mudah bisa
dibedakan dengan bangsa sapi lain, khususnya sapi Bali. Pada sapi jantan dan
betina bewarna merah bata dan paha belakang bewarna putih. Hal yang
membedakan sapi Madura dan sapi Bali yaitu adanya punuk kecil. Berat badan
sapi Madura mencapai 350 Kg dengan hasil karkas 48% (Sudarmono&Bambang,
2008).
Sapi Bali yang merupakan keturunan dari sapi liar yang disebut banteng (Bos
bibos dan Bos sondaicus) dengan daerah penyebaran di wilayah Bali, Sulawesi,
NTB, dan NTT. Sapi bali adalah jenis sapi yang memiliki kemampuan beradaptasi
dengan lingkungan baru. Kemampuan tersebut merupakan faktor pendukung
keberhasilan budidaya sapi bali (Saptayani et al., 2015). Sapi ini termasuk tipe
pedaging dengan bentuk tubuh menyerupai banteng, tetapi ukuran tubuh lebih
kecil akibat daerah domestikasi. Warna tubuh pada sapi Bali yaitu merah bata, di
bagian keempat kakinya dari sendi kaki hingga kuku dan bagian bokongnya
bewarna putih. Rata-rata berat badan pada sapi jantan mencapai 450 Kg dan 300-
400 Kg pada sapi betina dengan persentase karkas 57% (Sudarmono&Bambang,
2008).
Sapi Brahman Cross (BX) merupakan sapi silangan antara sapi Brahman
keturunan Bos indicus dan sapisapi Eropa yang merupakan kelompok Bos Taurus
(Muslim et al., 2013). Fikar dan Ruhyadi (2010) menyatakan bahwa sapi ini
merupakan keturunan sapi zebu (Bos Indicus) yang berasal dari India. Sapi ini
telah diseleksi dan ditingkatkan mutu genetiknya di Amerika Serikat dan
6
III
PEMBAHASAN
Lama kebuntingan ini berbeda dari satu bangsa ternak ke bangsa ternak
lainnya. Lama kebuntingan sapi bali pada penelitian ini adalah adalah 284,4±5,7
hari dengan kisaran 278 sampai dengan 290 hari (Prasojo et al., 2010). Pada awal
kebuntingan, pertumbuhan fetus berjalan dengan sangat lambat. Fetus terbungkus
alantois yang berfungsi untuk melindungi fetus dan menjadi penghubung antara
induk dan fetus. Pertumbuhan fetus alantois, dan amnion ditandai dengan paling
sedikit analisis kuadrat untuk 254 konsepsi mulai dari 25 hingga 278 hari
kebuntingan. Sebelum usia kebuntingan 100 hari, peningkatan volume cairan
alantois dan berat membran chorio-allantoic mendahului berat fetus, berat
membran amnioallantoic, dan volume cairan (Eley et al., 1978).
Pada awalnya jumlah sel meningkat yang diikuti oleh diferensiasi dan
perkembangan berbagai sistem organ. Diferensiasi adalah suatu proses dimana
sel-sel embrional bersegregasi untuk membentuk banyak macam sel-sel khusus
pula, hal ini berlangsung hingga 32 hari. Pada awal diferensiasi Blastosit menekan
8
Pada dua per tiga awal kebuntingan, fetus berkembang dengan lambat dan
pada sepertiga akhir kebuntingan fetus berkembang dengan cepat. Pertumbuhan
massa fetus pada sepertiga masa kebuntingan mencapai 85% dari bobot lahirnya
(Feradis, 2010). Rataan bobot badan dan panjang fetus jantan pada umur gestasi 4
bulan secara berturut-turut 2,7 kg dan 40,22 cm, sedangkan pada fetus betina pada
9
umus gestasi 5 bulan rataannya sebesar 4,7 kg untuk berat badan dan 46,30 cm
untuk panjang badan (Souhoka et al., 2020). Hal ini didukung oleh pendapat
Hayawie et al. (2016), panjang fetus pada umur 250 hari yaitu 75,92 cm. Tingkat
pertumbuhan fetus maksimal pada 230 hari kehamilan dengan tingkat puncak
>200 g/hari. Tingkat pertumbuhan kemudian menurun menjadi <100 g/hari
hingga hari kelahiran (natal) (Eley et al., 1978).
penentuan apakah induk tersebut masih perlu dipertahankan atau diganti dengan
indukan yang baru. Beberapa hal yang dapat diukur pada parameter dimensi tubuh
yaitu dimensi kepala, leher, telinga, dan ekor (Tabel 1.).
Tavares et al. (2012), rata-rata berat sapih pada sapi potong jantan dan
betina mencapai 93 kg dan 87 kg pada umur sapih 205 hari. Sedangkan rata-rata
ADG pada periode pre-weaning yaitu 450-480 g/ekor/hari. Adanya perbedaan
ADG disebabkan oleh berat sapih, kondisi lingkungan, dan manajemen
pemeliharaan. Konsumsi susu dari induk juga berpengaruh, hal ini disebabkan
oleh pedet pada periode pre-weaning masih memiliki nafsu makan yang rendah
dan cenderung mengandalkan susu sebagai bahan utama untuk dikunsumsi. Bila
12
produksi susu rendah maka konsumsi susu pedet juga akan rendah yang berakibat
pada rendahnya berat sapih.
2021). Laju pertumbuhan ternak setelah disapih ditentukan oleh beberapa faktor.
Potensi pertumbuhan dari masing-masing individu ternak dan ketersediaan pakan
merupakan sekian dari banyak faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot
badan ternak (Hasnudi&Wahyuni, 2005; Dilaga et al., 2022). Pakan yang
berkualitas sangat dibutuhkan oleh ternak yang masih dalam tahap pertumbuhan
untuk menunjang kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhannya. Proses
pertumbuhan dan pencapaian dewasa kelamin pada ternak muda akan terhambat
apabila ternak tersebut dalam kondisi kekurangan energi yang tersedia dalam
pakannya, sehingga pemberian pakan yang kaya akan kandungan energi
sangat dibutuhkan (Sudarman et al., 2008; Dilaga et al., 2022).
Gambar 4. Proses transisi dari sel punca mesenkimal ke adiposit dan regulasi
transkripsi adipogenesis (diadaptasi dari Urrutia et al. (2020) dan Ambele et al.
(2020))
15
Lipogenesis adalah proses fisiologis sintesis asam lemak atau fatty acid
(FA) (Ladeira et al., 2016 dalam Nguyen et al., 2021). Agar sintesis lemak dapat
berlangsung, trigliserida harus dimasukkan ke dalam jaringan adiposa hewan dan
dikendalikan oleh status nutrisi. Pada ruminansia, asetat dan glukosa merupakan
prekursor utama untuk biosintesis FA. Asam lemak diangkut ke dalam sel oleh
tiga kelompok pengangkut asam lemak: translokase asam lemak protein
pengangkut asam lemak 1 (FATP1) atau protein pengikat asam lemak 4 (FABP4)
yang berasosiasi dengan asil-CoA sintase (Gambar 5A). Sintesis FA terjadi karena
aksi karboksilase ace tyl-CoA yang dikodekan oleh gen acetyl-CoA carboxylase
alpha (ACACA) dan asam lemak (Ladeira et al., 2016). Saat adiposit menyerap
asam lemak, stearoyl-CoA desaturase (SCD) akan memasukkan ikatan ganda
dalam rantai (Gambar 5B). Selama lipolisis, asam lemak perlu dioksidasi di
mitokondria melalui enzim transferase palmitoil karnitin (CPT1) (Bionaz et al.,
2012). Di dalam mitokondria, asilkarnitin rantai panjang diubah kembali menjadi
asil-KoA rantai panjang oleh CPT2, dan kemudian asil-KoA rantai panjang
memasuki jalur ÿ-oksidasi (Gambar 5C). Penyerapan lipogenesis dan FA akan
meningkatkan jumlah marbling (Ladeira et al., 2018; Nguyen et al., 2021).
4.1. Genetika
Bangsa sapi potong terdiri dari bangsa sapi subtropis (Bos taurus), zebu
(Bos indicus), dan banteng (Bos sondaicus). Tipe umum yang sesuai untuk kriteria
penggemukan terdapat pada Bos taurus sebab memiliki karakteristik yang baik
sebagai sapi pedaging dengan presentase karkas lebih dari 60% dibandingkan
dengan bangsa sapi lainnya (Sudarmono&Bambang, 2008). Selain itu Bos Taurus
memiliki pertumbuhan bobot badan yang lebih cepat dari Bos Indicus. Begitu
pula dengan umur, Bos Taurus memerlukan waktu yang relatif lebih cepat untuk
tumbuh dalam mencapai bobot badan tertentu (Yosita et al., 2012). Namun Bos
indicus dan Bos sondaicus juga memegang kendali dalam sifat toleran pada jenis
lingkungan yang panas dan jenis pakan yang kandungan serat kasarnya tinggi
(Sudarmono&Bambang, 2008).
4.2 Pakan
pertumbuhan dalam bentuk otot dan lemak sehingga sapi potong tampak lebih
gemuk (Sudarmono&Bambang, 2008).
4.3 Umur
Performa sapi potong biasanya diukur melalui bobot badan umur tertentu,
kecepatan pertumbuhan dan ukuran tubuh pada umur tertentu yang secara
ekonomis menguntungkan. Umur sapih dan umur potong menjadi faktor yang
memengaruhi pertumbuhan sapi potong Hal ini dikarenakan pada saat disapih
maka ternak akan mendapatkan nutrisi penuh yang berasal dari bahan pakan
(Hakim et al., 2010). Pertumbuhan sapi potong akan berhenti pada saat sapi
mencapai umur kedewasaan (Gambar 2). Pada umumnya pertumbuhan sapi
potong akan berhenti pada umur 4 tahun (Sudarmono & Bambang, 2008).
Sehingga umur potong pada sapi jantan diprioitaskan pada umur 2,5 tahun dan
dibawah 2,5 tahun untuk mendapatkan kualitas karkas lebih dari 50% (Zajulie et
al., 2015).
18
Sapi jantan tumbuh lebih cepat bila dibandingkan dengan sapi betina dan
pada umur yang sama lebih berat (Hamdani et al., 2017). Soeparno (2005)
menyatakan bahwa steroid kelamin seperti testosteron terlibat dalam pengaturan
pertumbuhan dan terutama bertanggung jawab atas perbedaan komposisi tubuh
antara jenis kelamin jantan dan betina. Pertumbuhan yang lebih cepat pada ternak
jantan disebabkan karena, adanya androgen yaitu suatu hormon kelamin yang
mengatur pertumbuhan, dimana androgen ini dihasilkan oleh sel-sel interstitial
dan kelenjar adrenal dan salah satu dari steroid. Androgen adalah testosteron yang
dihasilkan oleh testis. Fungsi dari androgen ialah menstimulasi sintesis protein
terutama didalam otot. Hormon kelamin jantan ini dapat mengakibatkan
pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ternak betina (Soeparno,
1992; Hamdani et al., 2017).
4.5 Hormon
peningkatan insulin like growth factor -1 (IGF-1) pada hari ke-27 setelah
ditanamkan (Reicchardt et al., 2021). Nichols et al. (2002), trenbolon asetat
(TBA) akan meningkatkan kadar IGF-1 dan meningkatkan jumlah sel satelit
sehingga otot sapi akan membesar. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamanga et al.
(2004), pemberian implan (TBA) pada sapi potong dapat meningkatkan
pembelahan level IGF-1 pada otot longissimus dorsi.
20
V. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Amam, A., Setyawan, H. B., Jadmiko, M. W., Harsita, P. A., Rusdiana, S., &
Luthfi, M. 2021. Pengaruh sumber daya manusia terhadap aksesibilitas
sumber daya usaha ternak sapi potong rakyat. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Peternakan Tropis. 8(1):57-65.
Astuti, M. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi Peranakan
Ongole (PO). Wartazoa. 14(3), 98-106.
Depison, D., Crisdayanti, S., Gushairiyanto, G., & Erina, S. 2020. Identifikasi
Karakteristik Morfometrik Sapi Bali dan Sapi Brahman Cross di
Kecamatan Pamenang Barat Kabupaten Merangin. Jurnal Peternakan
Sriwijaya. 9(2), 11-20.
Dilaga, S. H., Putra, R. A., Yanuarianto, O., & Amin, M. 2022. Pengaruh Sumber
Energi yang Berbeda dalam Formulasi Pakan terhadap Pertumbuhan Pedet
Jantan Sapi Bali Lepas Sapih. Jurnal Triton 13(1), 1-10.
Ditjen PKH. 2011. Data Statisik Peternakan Komputerisasi. Kementerian
Pertanian. Jakarta.
Eley, R. M., Thatcher, W. W., Bazer, F. W., Wilcox, C. J., Becker, R. B., Head,
H. H., & Adkinson, R. W. 1978. Development of the conceptus in the
bovine. Journal of Dairy Science. 61(4): 467-473.
Feradis, M. P. 2010. Bioteknologi reproduksi pada ternak. Alf. Bandung.
Fikar, S., & Ruhyadi, D. 2010. Beternak & Bisnis Sapi Potong. AgroMedia.
Greenwood, P. L., & Cafe, L. M. 2007. April. Growth and nutrition of cattle early
in life: long-term consequences for beef production. In Proceedings of the
British Society of Animal Science .262-262. Cambridge University Press.
Hakim, L., Ciptadi, G., & Nurgiartiningsih, V. A. 2010. Model rekording data
performans sapi potong lokal di Indonesia. Journal of Tropical Animal
Production. 11(2): 61-73.
Hamdani, M. D. I., Adhianto, K., & Husni, A. 2017. Ukuran-Ukuran Tubuh Sapi
Krui Jantan dan Betina di Kabupaten Pesisir Barat Lampung. Jurnal Ilmu
Ternak Universitas Padjadjaran. 17(2): 97-102.
Hocquette, J. F., Gondret, F., Baéza, E., Médale, F., Jurie, C., & Pethick, D. W.
2010. Intramuscular fat content in meat-producing animals: development,
22
Karnaen., dan Arifin, J. 2007. Kajian produktivitas sapi Madura. Jurnal Ilmu
Ternak Universitas Padjadjaran. 7(2).
Murti, T. W. 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Pasca Produksi Susu dan Tatalingkungan
Usaha persusuan. Yogyakarta.
Muslim, K. N., Nugroho, H., & Susilawati, T. 2013. Hubungan antara bobot
badan induk dan bobot lahir pedet sapi Brahman cross pada jenis kelamin
yang berbeda. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 23(1): 18-24.
Nguyen, D. V., Nguyen, O. C., & Malau-Aduli, A. E. 2021. Main regulatory
factors of marbling level in beef cattle. Veterinary and Animal Science. 14:
100219.
Nichols, W. T., Galyean, M. L., Thomson, D. U., & Hutcheson, J. P. 2002.
Effects of steroid implants on the tenderness of beef. The Professional
Animal Scientist. 18(3): 202-210.
Nugraha, H. Y., Sampurna, I. P., & Suatha, I. K. (2016). Pengaruh pemberian
pakan tambahan pada induk sapi bali terhadap ukuran dimensi panjang
pedet. Buletin Veteriner Udayana. 8(2): 159-165.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas
Indonesia Press. Jakarta
Park, S. J., Beak, S. H., Kim, S. Y., Jeong, I. H., Piao, M. Y., Kang, H. J., and
Baik, M. (2018). Genetic, management, and nutritional factors affecting
intramuscular fat deposition in beef cattle—A review. Asian-Australasian
journal of animal sciences. 31(7):1043.
Prasojo, G., Arifiantini, I., & Mohamad, K. 2010. Korelasi antara lama
kebuntingan, bobot lahir dan jenis kelamin pedet hasil inseminasi buatan
pada sapi bali. Jurnal Veteriner. 11(1): 41-45.
Riyanton, E. dan Purbowati, E. 2009. Sapi Potong Penebas Swadaya Jakarta.
Sampurna, I. P., Saka, I. K., Oka, I. G., & Sentana, P. 2013. Biplot Simulation of
Exponential Function to Determine Body Dimensions’ Growth Rate of
Bali Calf. Canadian Journal on Computing in Mathematics Natural
Sciences Engineering and Medicine. 4: 1923-1660.
23