Anda di halaman 1dari 28

PERBEDAAN LAJU PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

PRENATAL DAN POSTNATAL PADA SAPI POTONG

Oleh:

KARINA NATASYA JUANDITA


200120220003

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
SUMEDANG
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan kemudahan, kelancaran, dan berkat karunia-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Perbedaan Laju

Pertumbuhan dan Perkembangan Prenatal dan Postnatal pada Sapi Potong”.

Dalam penulisan, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak

kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun demi kesempurnaan laporan yang akan datang. Semoga makalah ini

dapat bermanfaat, terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb.

Sumedang, 1 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Bab halaman
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 3


2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan 3
2.2 Sapi Potong 3
2.3 Jenis-jenis Sapi Potong di Indonesia 4
2.3.1 Sapi Peranakan Ongole 4
2.3.2 Sapi Madura 4
2.3.3 Sapi Bali 5
2.3.4 Sapi Brahman Cross 5

III. PEMBAHASAN 7
3.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Prenatal 7
3.2 Perkembangan dan Perkembangan Postnatal 9
3.2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Periode Pre-weaning 10
3.2.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Periode Post-weaning 12

IV. Faktor pertumbuhan dan perkembangan 16


4.1 Genetik 16
4.2 Nutrisi 17
4.3 Umur 17
4.4 Jenis kelamin 18

iii
4.5 Hormon 18

V. Kesimpulan 19

DAFTAR PUSTAKA

iv
1

I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sapi potong atau juga disebut sebagai sapi pedaging adalah jenis sapi yang
dikhususkan untuk dipelihara guna diambil manfaat dagingnya. Badan Pusat
Statistik (2021), total populasi sapi potong di Indonesia pada 2021 yaitu
18.053.710 ekor. Usaha peternakan sapi potong di Indonesia mempunyai prospek
yang sangat baik disebabkan konsumsi produk pangan asal ternak terus meningkat
seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan perekonomian nasional
serta kesadaran pemenuhan kebutuhan protein hewani. Waktu penggemukan sapi
potong biasanya adalah maksimal 6 bulan. Dalam jangka waktu kurang dari 6
bulan tersebut diharapkan terjadi pertumbuhan daging dan lemak.

Ternak sapi seperti halnya makhluk hidup lainnya mengalami pertumbuhan


dan perkembangan. Proses pertumbuhan dan perkembangan yang dialami sapi
potong dimulai saat terjadinya pembuahan hingga berhenti saat sapi telah
mencapai kedewasaan. Tiap jenis sapi potong memiliki laju pertumbuhan dan
perkembangan yang berbeda-beda, namun pada dasarnya akan tetap menampilkan
proses yang sama secara umum yaitu saat awal pertumbuhan berlangsung cepat,
kemudian kembali menurun, dan kemudian berhenti (Sudarmono&Bambang,
2008). Maka berdasarkan penjelasan tersebut terdapat perlunya pengetahuan
mengenai perbedaan laju pertumbuhan dan perkembangan pada sapi potong yang
akan dijelaskan melalui masing-masing fase yaitu pada saat sebelum kelahiran
(prenatal) dan sesudah kelahiran (postnatal).
2

1.2 Tujuan

Tujuan dari makalah “Perbedaan Laju Pertumbuhan dan Perkembangan


Prenatal dan Postnatal pada Sapi potong,” yaitu:

1. mengetahui perbedaan laju pertumbuhan dan perkembangan prenatal dan


postnatal pada sapi potong;

2. mengetahui faktor yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan


prenatal dan postnatal pada sapi potong.
3

II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot badan,


bentuk, dimensi dan komposisi tubuh termasuk perubahan-perubahan komponen
tubuh dan organ (Soeparno, 2005). Pengertian pertumbuhan secara umum adalah
pertambahan bobot badan dalam waktu tertentu, sedangkan perkembangan adalah
perubahan bentuk ternak yang timbul dari perbedaan kecepatan pertumbuhan
komponen-komponen tubuh seperti saraf, tulang, otot, dan lemak. Pertumbuhan
dapat diukur berdasarkan pertambahan bobot badannya (Murti, 2002).

Murti (2002) menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan ternak tidak tetap,


tergantung pada tahapan perkembangan. Pertumbuhan sebelum kelahiran
(prenatal) terdiri atas tiga masa: a) periode zigot, b) periode embrional, c) periode
fetus atau janin. Pertumbuhan ternak setelah kelahiran (postnatal) dapat
mempunyai tahap cepat dan tahap lambat, tahap tumbuh cepat terjadi sebelum
pubertas dan tahap tumbuh lambat terjadi setelah pubertas dan batas antara kedua
tahap ini disebut titik belok atau titik infleksi (Sampurna, 2013). Riyanto &
Purbowati (2009), pertumbuhan bobot badan sapi ditentukan oleh berbagai faktor
antara lain jenis sapi, jenis kelamin, umur, ransum yang diberikan, dan teknis
pemeliharaannya.

2.2 Sapi Potong

Sapi potong merupakan salah satu ternak yang dipelihara dengan tujuan
utama sebagai penghasil daging. Ciri-ciri sapi potong memiliki tubuh besar,
kualitas dagingnya maksimum, laju pertumbuhan cepat, efisiensi pakan tinggi,
dan mudah dipasarkan (Pawere et al., 2012). Sapi potong merupakan salah satu
ternak ruminansia yang mempunyai kontribusi terbesar sebagai penghasil daging,
4

serta untuk pemenuhan kebutuhan pangan khususnya protein hewani. Berdasarkan


Rencana Strategis Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2010-2014
(Ditjen PKH 2011), daging sapi merupakan 1 dari 5 komoditas bahan pangan
yang ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014 sebagai komoditas strategis (Susanti et
al., 2014). Daging sapi sebagai sumber gizi protein hewani diperlukan untuk
menunjang kecerdasan, di samping diperlukan untuk menunjang daya tahan
tubuh. Namun konsumsi daging sapi di Indonesia masih sangat rendah, sehingga
peternak perlu meningkatkan produksi daging (Sudarmono&Bambang, 2008).

2.3 Jenis-Jenis Sapi Potong di Indonesia

Beberapa sapi yang cukup populer di Indonesia adalah bangsa sapi tropis,
yaitu sapi Peranakan Ongole, sapi Madura, sapi Bali, dan sapi Brahman Cross
(BX).

2.3.1 Sapi Peranakan Ongole

Sapi Peranakan Ongole (PO) dikembangkan sekitar tahun 1930 dengan


menyilangkan sapi Jawa (dalam beberapa laporan, sapi lokal di Jawa) dan Sapi
Sumba Ongole, sapi lokal yang berkembang biak di Pulau Sumba, Indonesia yang
merupakan keturunan sapi Ongole (Astuti, 2004). Bukti hibridisasi ini telah
diungkapkan oleh beberapa analisis molekuler, meskipun studi terutama
menyebutkan introgresi Bos indicus–Bos javanicus (Sudrajad et al., 2020). Sapi
PO disukai oleh peternak karena memiliki tingkat keberhasilan kebuntingan yang
lebih baik dibandingkan dengan sapi keturunan subtropis (Subiharta et al., 2013).
Sapi PO tahan terhadap cuaca panas dan penyakit, serta dapat memanfaatkan
hijauan berkualitas rendah. Sapi PO memiliki kemampuan beradaptasi yang
tinggi dan kinerja reproduksi di daerah tropis dan membutuhkan masukan
eksternal (Volkandari et al. 2021). Oleh karena itu, sapi PO sangat berharga untuk
pengembangan peternakan di Indonesia, produsen daging sapi terbesar di Asia
Tenggara (Soedjana dan Priyanti 2017).
5

2.3.2 Sapi Madura

Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara Bos sondaicus dan Bos
Indicus. Sapi tipe pedaging ini tersebar di wilayah Madura, Jawa Timur. Pada
dasarnya sapi Madura memiliki ciri yang menonjol sehingga dengan mudah bisa
dibedakan dengan bangsa sapi lain, khususnya sapi Bali. Pada sapi jantan dan
betina bewarna merah bata dan paha belakang bewarna putih. Hal yang
membedakan sapi Madura dan sapi Bali yaitu adanya punuk kecil. Berat badan
sapi Madura mencapai 350 Kg dengan hasil karkas 48% (Sudarmono&Bambang,
2008).

2.3.3 Sapi Bali

Sapi Bali yang merupakan keturunan dari sapi liar yang disebut banteng (Bos
bibos dan Bos sondaicus) dengan daerah penyebaran di wilayah Bali, Sulawesi,
NTB, dan NTT. Sapi bali adalah jenis sapi yang memiliki kemampuan beradaptasi
dengan lingkungan baru. Kemampuan tersebut merupakan faktor pendukung
keberhasilan budidaya sapi bali (Saptayani et al., 2015). Sapi ini termasuk tipe
pedaging dengan bentuk tubuh menyerupai banteng, tetapi ukuran tubuh lebih
kecil akibat daerah domestikasi. Warna tubuh pada sapi Bali yaitu merah bata, di
bagian keempat kakinya dari sendi kaki hingga kuku dan bagian bokongnya
bewarna putih. Rata-rata berat badan pada sapi jantan mencapai 450 Kg dan 300-
400 Kg pada sapi betina dengan persentase karkas 57% (Sudarmono&Bambang,
2008).

2.3.4 Sapi Brahman Cross

Sapi Brahman Cross (BX) merupakan sapi silangan antara sapi Brahman
keturunan Bos indicus dan sapisapi Eropa yang merupakan kelompok Bos Taurus
(Muslim et al., 2013). Fikar dan Ruhyadi (2010) menyatakan bahwa sapi ini
merupakan keturunan sapi zebu (Bos Indicus) yang berasal dari India. Sapi ini
telah diseleksi dan ditingkatkan mutu genetiknya di Amerika Serikat dan
6

Australia, sehingga menghasilkan sapi Brahman Cross. Sapi bakalan Brahman


Cross impor yang dipelihara dan di gemukkan di Indonesia banyak berasal dari
Australia. Ciri khas yang membedakan sapi Brahman Cross dengan bangsa yang
lain ialah ukuran tubuh besar, dengan kedalaman tubuh sedang, warna abu-abu
muda, tapi ada pula yang merah atau hitam. Warna pada jantan lebih gelap
daripada yang betina. Sapi BX jantan mampu mencapai berat badan 298,42 Kg
dan pada betina 274,78 Kg. Sapi BX telah mulai dikembangkan di Indonesia dan
telah beradaptasi dengan lingkungan dan manajemen setempat sehingga perlu di
lindungi dan dilestarikan (Depison et al., 2020).
7

III
PEMBAHASAN

3.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Prenatal

Pertumbuhan sebelum lahir (prenatal) terjadi saat embrio, meliputi


pembelahan sel dan pertambahan jumlah sel tubuh (hiperplasia) serta terjadi
perubahan fungsi sel menjadi sistem-sistem organ tubuh. Nugraha et al. (2016),
Embrio juga mengalami perkembangan sel menjadi lebih besar (hipertropi)
sehingga membutuhkan asupan nutrisi yang lebih banyak. Pertumbuhan fase ini
dimulai sejak terjadinya konsepsi, yakni saat bertemuya ovum dan sperma yang
disebut dengan fertilisasi. Pada saat itulah titik tolak kehidupan dan sekaligus
pertumbuhan dimulai dan terus berlangsung di dalam kandungan induk sampai
saaat kelahiran (natal) (Sudarmono&Bambang, 2008).

Lama kebuntingan ini berbeda dari satu bangsa ternak ke bangsa ternak
lainnya. Lama kebuntingan sapi bali pada penelitian ini adalah adalah 284,4±5,7
hari dengan kisaran 278 sampai dengan 290 hari (Prasojo et al., 2010). Pada awal
kebuntingan, pertumbuhan fetus berjalan dengan sangat lambat. Fetus terbungkus
alantois yang berfungsi untuk melindungi fetus dan menjadi penghubung antara
induk dan fetus. Pertumbuhan fetus alantois, dan amnion ditandai dengan paling
sedikit analisis kuadrat untuk 254 konsepsi mulai dari 25 hingga 278 hari
kebuntingan. Sebelum usia kebuntingan 100 hari, peningkatan volume cairan
alantois dan berat membran chorio-allantoic mendahului berat fetus, berat
membran amnioallantoic, dan volume cairan (Eley et al., 1978).

Pada awalnya jumlah sel meningkat yang diikuti oleh diferensiasi dan
perkembangan berbagai sistem organ. Diferensiasi adalah suatu proses dimana
sel-sel embrional bersegregasi untuk membentuk banyak macam sel-sel khusus
pula, hal ini berlangsung hingga 32 hari. Pada awal diferensiasi Blastosit menekan
8

dinding uterus saat ia berkembang, akibatnya blastosit melekat dan membentuk


plasenta tipe difusa atau kotiledon. Sel pada satu kutub blastosit akan membentuk
3 lapisan sel yang terpisah. Yaitu lapisan dalam (endoderm) yang akan
membentuk dinding usus, kelenjar-kelenjar, dan vesica urinaria. Lapisan kedua
yaitu lapisan terluar (ektoderm) yang akan membentuk medulla adrenal, otak,
sumsum tulang belakang, dan sistem syaraf. Sel-sel ektodermal yang terletak
lateral dari ektoderm neural akan membentuk adenohypophysa, kulit, dan semua
derivatnya termasuk kelenjar mamae, kuku, dan rambut. Lapisan terakhir adalah
mesoderm yang terletak antara ektoderm dan endoderm, lapisan ini akan
membentuk jaringan ikat, sistem vaskular, tulang, dan otot. Sel kelamin primer
bahkan mungkin berasal dari mesoderm atau ektoderm (Feradis, 2010).

Embrio kemudian berkembang menjadi fetus akan berkembang mengikuti


suatu pola tertentu. Pembentukan organ (organogenesis) pada sapi potong
berlangsung sejak minggu ke-2 hingga ke-6 masa kebuntingan. Selama periode ini
saluran pencernaan, paru-paru, pankreas akan berkembang. Pada hari ke-21
jantung mulai berdenyut dan sirkulasi darah mulai berlangsung. Sesudah dimulai
organogenesis terdapay peningkatan pertumbuhan fetus secara cepat. Hal ini
berlangsung akibat bertambhanya pertambahan jumlah sel dan pembesaran ukuran
sel. Berbagai organ fetus bertambah menurut kecepatan yang berbeda. Pola
pertumbuhan fetus berlangsung mengikuti suatu disiplin yang definitif, misalnya
pada waktu lahir pada bagian kepala, kaki, dan seperempat bagian depan tubuh
relatif lebih berkembang dibandingkan dengan otot-otot. Pertumbuhan kerangka
tubuh sapi potong berlangsung seragam, namun pada beberapa dimensi bertambah
secara cepat yang mengakibatkan perubahan proporsi tubuh (Feradis, 2010).

Pada dua per tiga awal kebuntingan, fetus berkembang dengan lambat dan
pada sepertiga akhir kebuntingan fetus berkembang dengan cepat. Pertumbuhan
massa fetus pada sepertiga masa kebuntingan mencapai 85% dari bobot lahirnya
(Feradis, 2010). Rataan bobot badan dan panjang fetus jantan pada umur gestasi 4
bulan secara berturut-turut 2,7 kg dan 40,22 cm, sedangkan pada fetus betina pada
9

umus gestasi 5 bulan rataannya sebesar 4,7 kg untuk berat badan dan 46,30 cm
untuk panjang badan (Souhoka et al., 2020). Hal ini didukung oleh pendapat
Hayawie et al. (2016), panjang fetus pada umur 250 hari yaitu 75,92 cm. Tingkat
pertumbuhan fetus maksimal pada 230 hari kehamilan dengan tingkat puncak
>200 g/hari. Tingkat pertumbuhan kemudian menurun menjadi <100 g/hari
hingga hari kelahiran (natal) (Eley et al., 1978).

3.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Postnatal

Pada hewan hidup, pertumbuhan tulang dapat dilihat dari perubahan


ukuran-ukuran tubuh. Pertumbuhan juga merupakan pertambahan massa tubuh
persatuan waktu yang dapat diukur dengan bobot badan dan pertambahan bobot
badan. Dengan demikian pertumbuhan ternak dapat diduga dengan
memperhatikan penampilan fisik dan bobot hidupnya. Pengukuran bobot badan
dan pertambahan bobot badan sangat umum dilakukan untuk kegiatan penelitian,
tapi kurang praktis dilakukan di lapangan, karena pertimbangan teknis kesulitan
dalam penimbangan. Dengan demikian, pola pertumbuhan ternak dapat diduga
atas dasar pengukuran ukuran-ukuran tubuh yang erat kaitannya dengan
pertumbuhan kerangka tubuh ternak (Saptayanti et al., 2015). Pada saat lahir
(natal) dan dimulainya kehidupan sesudah kelahiran (postnatal), bobot badan sapi
potong hanya sekitar 8%. Beberapa hal yang terbentuk setelah lahir ialah syaraf,
kerangka, dan otot. Bobot badan pedet saat lahir pun bervariasi, (Prasojo et al.,
2010) melaporkan bahwa bobot lahir pada Sapi Bali yaitu 18,4 kg. Pada bangsa
sapi luar seperti Shorthorn mencapai bobot lahir 30 kg dan Hareford 34 kg
(Sudarmono&Bambang, 2008).

Saptayanti et al. (2015), ukuran-ukuran dimensi tubuh ini berhubungan


dengan atau dapat dihubungkan dengan produktivitas ternak. Dimensi panjang
merupakan salah satu ukuran tubuh yang dapat digunakan sebagai indikator
produktivitas ternak karena dengan melihat dimensi panjang kita dapat melihat
keberhasilan suatu manajemen pemeliharaan dan dapat digunakan dalam
10

penentuan apakah induk tersebut masih perlu dipertahankan atau diganti dengan
indukan yang baru. Beberapa hal yang dapat diukur pada parameter dimensi tubuh
yaitu dimensi kepala, leher, telinga, dan ekor (Tabel 1.).

Tabel 1. Ukuran dimensi panjang pedet jantan dan betina

Sumber : Saptayanti et al., 2015.

3.2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Periode Pre-weaning

Pertumbuhan dan perkembangan didahului oleh tulang, otot, dan lemak


(Greenwood&Cafe, 2007). Menurut Sudarmono&Bambang (2008), pertumbuhan
dan perkembangan pada periode pre-weaning berfokus pada organ pencernaan.
Ternak sapi merupakan hewan ruminansia dan memiliki 4 bagian perut, pada anak
sapi (pedet) keempat bagian perut tersebut belum berfungsi secara optimal.
Bagian peurt pedet terdiri dari abomasum dan omasum sebesar 70%, sedangkan
rumen dan retikulum 30%, hal ini menunjukkan bahwa abomasum dan omasum
memegang kendali utama dalam proses pencernaan (Gambar 1).
Greenwood&Cafe (2007) juga melaporkan bahwa pada fase pre-weaning pedet
akan mengalami fase transisi menuju fase kedewasaan sehingga pada periode ini
terkait dengan kematangan pencernaan, metabolisme, dan sistem endokrin.
11

Gambar 1. Skema Saluran Pencernaan Sapi

Menurut Tavares et al. (2012), pertumbuhan pre-weaning sapi potong


dapat diukur berdasarkan berat lahir, berat sapih, umur sapih, dan average daily
gain (ADG). Berat lahir pada sapi potong terendah yaitu 17kg dan terendah 19kg.
Adanya perbedaan berat lahir pada suatu jenis sapi yang sama dapat diakibatkan
oleh umur induk. Sutan (1988) dalam Tavares et al. (2012) berpendapat bahwa
pedet yang lahir dari induk yang muda memiliki berat lahir yang lebih rendah, hal
ini dikarenakan induk muda masih dalam tahap pertumbuhan sehingga pada sata
bunting akan berkompetisi dengan fetus untuk memeroleh asupan nutrisi. Faktor
lain yang menyebabkan adanya perbedaan pada berat lahir yaitu jenis kelamin,
umur kebuntingan, dan nutrisi.

Tavares et al. (2012), rata-rata berat sapih pada sapi potong jantan dan
betina mencapai 93 kg dan 87 kg pada umur sapih 205 hari. Sedangkan rata-rata
ADG pada periode pre-weaning yaitu 450-480 g/ekor/hari. Adanya perbedaan
ADG disebabkan oleh berat sapih, kondisi lingkungan, dan manajemen
pemeliharaan. Konsumsi susu dari induk juga berpengaruh, hal ini disebabkan
oleh pedet pada periode pre-weaning masih memiliki nafsu makan yang rendah
dan cenderung mengandalkan susu sebagai bahan utama untuk dikunsumsi. Bila
12

produksi susu rendah maka konsumsi susu pedet juga akan rendah yang berakibat
pada rendahnya berat sapih.

3.2.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Sapi Potong Periode Post-Weaning

Pertumbuhan sapi potong sebelum dan sesudah disapih mempunyai arti


sangat penting dalam usaha ternak sapi, karena kedua hal tersebut erat
hubungannya dengan kemampuan untuk menghasilkan pertumbuhan yang efisien
(Karnaen&Arifin, 2007). Performa pertumbuhan pada umur sapih dan umur satu
tahun merupakan performa yang penting dalam sistem produksi sapi potong. Pada
umumnya pedet akan lepas sapih pada umur 3-6 bulan (Sulistiyoningtiyas et al.,
2017). Pada periode tersebut sapi potong sudah full terlepas dari induk dan asupan
nutrisinya berasal dari lingkungan. Sehingga saluran pencernaan pada sapi potong
mulai berfungsi (Sudarmono&Bambang, 2008).

Selama proses pertumbuhan dapat digambarkan dalam kurva sigmoid,


kurva ini menunjukkan pertumbuhan saat pembuahan berlangsung lambat, lalu
lajunya meningkat setelah kelahiran. Dari usia penyapihan hingga pubertas
pertumbuhan masih meningkat namun saat mencapai pubertas pertumbuhan mulai
melambat dan berhenti saat mencapai dewasa tubuh (Gambar 2)
(Sudarmono&Bambang, 2008). Sapi potong mengalami pubertas pada umur 510-
640 hari, pada saat itu asupan nutrisi yang masuk ke dalam tubuh tidak hanya
diprioritaskan untuk pertumbuhan tetapi juga untuk reproduksi (Karnaen&Arifin,
2007)

Pertumbuhan tubuh secara keseluruhan adalah hasil dari pertumbuhan


bagian tubuh yang berbeda-beda. Rangka tulang tumbuh paling utama, diikuti otot
dan lemak (Gambar 3). Penimbunan lemak terjadi pada saat hewan mencapai
kedewasaan tubuh, yakni setelah pembentukan jaringan tulang dan otot selesai
(Sudarmono&Bambang, 2008). Pertumbuhan tubuh sapi potong dapat dilihat
berdasarkan pertambahan bobot badan harian. Pertambahan bobot badan harian
sapi jantan mencapai 1,8 Kg/hari dan betina mencapai 1,4 Kg/hari (Amam et al.,
13

2021). Laju pertumbuhan ternak setelah disapih ditentukan oleh beberapa faktor.
Potensi pertumbuhan dari masing-masing individu ternak dan ketersediaan pakan
merupakan sekian dari banyak faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot
badan ternak (Hasnudi&Wahyuni, 2005; Dilaga et al., 2022). Pakan yang
berkualitas sangat dibutuhkan oleh ternak yang masih dalam tahap pertumbuhan
untuk menunjang kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhannya. Proses
pertumbuhan dan pencapaian dewasa kelamin pada ternak muda akan terhambat
apabila ternak tersebut dalam kondisi kekurangan energi yang tersedia dalam
pakannya, sehingga pemberian pakan yang kaya akan kandungan energi
sangat dibutuhkan (Sudarman et al., 2008; Dilaga et al., 2022).

Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Sapi Potong

Gambar 3. Grafik Pertumbuhan Karkas


14

Dalam mekanisme pertumbuhan sapi potong terdapat peran lemak


intramuskular atau intramuscular fat (IMF) yang merupakan jumlah lemak yang
terlihat yang terletak di antara serat otot rangka yang berbeda dalam potongan
yang sama (Hocquette et al., 2010). Menurut Park et al. (2018), kandungan lemak
intramuskular (IMF) pada otot rangka termasuk otot longissimus dorsi, juga
dikenal sebagai lemak marbling. Longissimus dorsi mengandung serat otot,
jaringan ikat atau matriks ekstraseluler, dan berbagai jenis sel lainnya termasuk
sel satelit, sel imun dan pembuluh darah. Di dalam tubuh sapi potong, lemak
terakumulasi di empat lokasi antara lain lemak visceral, lemak subkutan, lemak
intermuskular, dan IMF melalui adipogenesis dan lipogenesis.

Adipogenesis didefinisikan sebagai pertumbuhan dan perkembangan


jaringan adiposa (lemak) (Gambar 4). Diferensiasi dan biosintesis adiposit terjadi
selama tahap janin dan neonatal (Ladeira et al., 2018; Pethick et al., 2004 dalam
Nguyen et al., 2021). Pembentukan adiposit pada sapi potong dimulai sekitar tiga
bulan setelah pembuahan. Adiposit intramuskular pertama terbentuk pada 180 hari
kehamilan hingga tahap akhir penggemukan (Taga et al., 2011 dalam Nguyen et
al., 2021). Dengan demikian, tujuan penggemukan sapi potong dengan potensi
marbling yang tinggi adalah untuk meningkatkan ukuran adiposit intramuskular
yang tersimpan di antara serat otot rangka untuk mendapatkan daging sapi dengan
kualitas yang diinginkan (Nguyen et al., 2021).

Gambar 4. Proses transisi dari sel punca mesenkimal ke adiposit dan regulasi
transkripsi adipogenesis (diadaptasi dari Urrutia et al. (2020) dan Ambele et al.
(2020))
15

Lipogenesis adalah proses fisiologis sintesis asam lemak atau fatty acid
(FA) (Ladeira et al., 2016 dalam Nguyen et al., 2021). Agar sintesis lemak dapat
berlangsung, trigliserida harus dimasukkan ke dalam jaringan adiposa hewan dan
dikendalikan oleh status nutrisi. Pada ruminansia, asetat dan glukosa merupakan
prekursor utama untuk biosintesis FA. Asam lemak diangkut ke dalam sel oleh
tiga kelompok pengangkut asam lemak: translokase asam lemak protein
pengangkut asam lemak 1 (FATP1) atau protein pengikat asam lemak 4 (FABP4)
yang berasosiasi dengan asil-CoA sintase (Gambar 5A). Sintesis FA terjadi karena
aksi karboksilase ace tyl-CoA yang dikodekan oleh gen acetyl-CoA carboxylase
alpha (ACACA) dan asam lemak (Ladeira et al., 2016). Saat adiposit menyerap
asam lemak, stearoyl-CoA desaturase (SCD) akan memasukkan ikatan ganda
dalam rantai (Gambar 5B). Selama lipolisis, asam lemak perlu dioksidasi di
mitokondria melalui enzim transferase palmitoil karnitin (CPT1) (Bionaz et al.,
2012). Di dalam mitokondria, asilkarnitin rantai panjang diubah kembali menjadi
asil-KoA rantai panjang oleh CPT2, dan kemudian asil-KoA rantai panjang
memasuki jalur ÿ-oksidasi (Gambar 5C). Penyerapan lipogenesis dan FA akan
meningkatkan jumlah marbling (Ladeira et al., 2018; Nguyen et al., 2021).

Gambar 2. Proses Lipogenesi

Gambar 5. Proses Lipogenesis


16

4. Faktor Pertumbuhan dan Perkembangan

4.1. Genetika

Genetika berperan dalam memperbaiki perkembangan mutu sapi potong.


Hal mendasar dalam memperbaiki genetika sapi potong ialah dengan mengetahui
bangsa-bangsa sapi potong dan membandingkan untuk menemukan kriteria yang
cocok untuk memberikan keuntungan yang ekonomis. Hal ini dikarenakan tiap
bangsa sapi potong memiliki kekurangannya masing. Kriteria lainnya yaitu
mengetahui bentuk tubuh dan ukuran tubuh, bentuk dan ukuran tubuh memiliki
korelasi terhadap laju pertumbuhan, mutu, dan hasil akhir.
(Sudarmono&Bambang, 2008).

Bangsa sapi potong terdiri dari bangsa sapi subtropis (Bos taurus), zebu
(Bos indicus), dan banteng (Bos sondaicus). Tipe umum yang sesuai untuk kriteria
penggemukan terdapat pada Bos taurus sebab memiliki karakteristik yang baik
sebagai sapi pedaging dengan presentase karkas lebih dari 60% dibandingkan
dengan bangsa sapi lainnya (Sudarmono&Bambang, 2008). Selain itu Bos Taurus
memiliki pertumbuhan bobot badan yang lebih cepat dari Bos Indicus. Begitu
pula dengan umur, Bos Taurus memerlukan waktu yang relatif lebih cepat untuk
tumbuh dalam mencapai bobot badan tertentu (Yosita et al., 2012). Namun Bos
indicus dan Bos sondaicus juga memegang kendali dalam sifat toleran pada jenis
lingkungan yang panas dan jenis pakan yang kandungan serat kasarnya tinggi
(Sudarmono&Bambang, 2008).

4.2 Pakan

Faktor pakan sangat penting dalam proses pertumbuhan dan


perkembangan. Adapun bentuk pakan sapi potong terdiri dari hijauan dan
konsentrat. Asupan pakan yang masuk ke dalam tubuh nantinya akan digunakan
untuk hidup pokok, jika terdapat kelebihan nutrisi maka akan digunakan untuk
17

pertumbuhan dalam bentuk otot dan lemak sehingga sapi potong tampak lebih
gemuk (Sudarmono&Bambang, 2008).

Kandungan nutrien utama yang dibutuhkan dalam proses tumbuh-


kembang dan ada di dalam pakan yaitu protein, mineral dan vitamin, serta tdn.
Protein pada ransum digunakan untuk pembentukan jaringan tubuh dan dapat
diubah menjadi energi jika diperlukan, kebutuhan protein pada sapi potong yaitu
14-19% yang didapatkan melalui sumber protein nabati dan hewani. Kandungan
mineral dan vitamin juga berperan untuk memproduksi jaringan tulang dan
kekebalan tubuh (Sudarmono&Bambang, 2008). Serta TDN atau energi
merupakan total dari zat pakan yang paling dibutuhkan dan berasal dari protein,
karbohidrat dan lemak. Kelebihan energi akan disimpan dalam bentuk lemak
badan, tetapi sebaliknya jika pakan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan
energinya maka lemak tubuh akan dirombak untuk mencukupi kebutuhan energi
untuk hidup pokok ternak yang tidak tercukupi dari pakan (Parakkasi, 1999).

4.3 Umur

Performa sapi potong biasanya diukur melalui bobot badan umur tertentu,
kecepatan pertumbuhan dan ukuran tubuh pada umur tertentu yang secara
ekonomis menguntungkan. Umur sapih dan umur potong menjadi faktor yang
memengaruhi pertumbuhan sapi potong Hal ini dikarenakan pada saat disapih
maka ternak akan mendapatkan nutrisi penuh yang berasal dari bahan pakan
(Hakim et al., 2010). Pertumbuhan sapi potong akan berhenti pada saat sapi
mencapai umur kedewasaan (Gambar 2). Pada umumnya pertumbuhan sapi
potong akan berhenti pada umur 4 tahun (Sudarmono & Bambang, 2008).
Sehingga umur potong pada sapi jantan diprioitaskan pada umur 2,5 tahun dan
dibawah 2,5 tahun untuk mendapatkan kualitas karkas lebih dari 50% (Zajulie et
al., 2015).
18

4.4 Jenis Kelamin

Sapi jantan tumbuh lebih cepat bila dibandingkan dengan sapi betina dan
pada umur yang sama lebih berat (Hamdani et al., 2017). Soeparno (2005)
menyatakan bahwa steroid kelamin seperti testosteron terlibat dalam pengaturan
pertumbuhan dan terutama bertanggung jawab atas perbedaan komposisi tubuh
antara jenis kelamin jantan dan betina. Pertumbuhan yang lebih cepat pada ternak
jantan disebabkan karena, adanya androgen yaitu suatu hormon kelamin yang
mengatur pertumbuhan, dimana androgen ini dihasilkan oleh sel-sel interstitial
dan kelenjar adrenal dan salah satu dari steroid. Androgen adalah testosteron yang
dihasilkan oleh testis. Fungsi dari androgen ialah menstimulasi sintesis protein
terutama didalam otot. Hormon kelamin jantan ini dapat mengakibatkan
pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ternak betina (Soeparno,
1992; Hamdani et al., 2017).

4.5 Hormon

Menurut Johnson&Chung (2007), pada saat sapi potong mencapai dewasa


kelamin maka pertumbuhan maka sel satelit akan mengalami penurunan, maka
diperlukan growth promotor yang mampu merangsang pembelahan sel satelit
sehingga terjadinya hipertropi otot. Salah satu hal yang mengatur pertumbuhan
otot adalah insulin-like growth factor-1 (IGF-1). Sehubungan dengan
perkembangan lemak, insulin-like growth factor-1 adalah stimulator kuat konversi
preadiposit menjadi adiposit (Krehbiel et al., 2011). Hal ini sesuai dengan
pendapat Johnson&Chung (2007), IGF-1 akan mendorong diferensiasi otot.

Johnson&Chung (2007), penyerapan glukosa dalam adiposit intramuskular sapi


potong mungkin merupakan faktor yang penting untuk meningkatkan marbling.
IGF-1 tidak hanya menjadi stimulator dalam sintesis protein pada otot rangka
tetapi juga mengurangi laju degradasi protein. Peningkatan produksi IGF-1 oleh
serat otot terjadi setelah pemberian implan steroid yang akan meningkatkan
aktivitas pembelahan sel-sel satelit. Sapi yang diimplan anabolik mengalami
19

peningkatan insulin like growth factor -1 (IGF-1) pada hari ke-27 setelah
ditanamkan (Reicchardt et al., 2021). Nichols et al. (2002), trenbolon asetat
(TBA) akan meningkatkan kadar IGF-1 dan meningkatkan jumlah sel satelit
sehingga otot sapi akan membesar. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamanga et al.
(2004), pemberian implan (TBA) pada sapi potong dapat meningkatkan
pembelahan level IGF-1 pada otot longissimus dorsi.
20

V. KESIMPULAN

Kesimpulan dari makalah ini yaitu:


1. Pertumbuhan dan perkembangan sapi potong prenatal berfokus pada
pertumbuhan dan perkembangan fetus hingga menjadi individu dengan
proporsi tubuh yang lengkap. Sedangkan pada pertumbuhan dan
perkembangan prenatal berfokus pada pertumbuhan tulang, otot, dan lemak.
Pertumbuhan dan perkembangan ternak terjadi hingga ternak mengalami
kedewasaan di umur 4 tahun;
2. Salahsatu faktor yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ialah
genetik, pakan, umur, jenis kelamin, dan hormon.
21

DAFTAR PUSTAKA

Amam, A., Setyawan, H. B., Jadmiko, M. W., Harsita, P. A., Rusdiana, S., &
Luthfi, M. 2021. Pengaruh sumber daya manusia terhadap aksesibilitas
sumber daya usaha ternak sapi potong rakyat. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Peternakan Tropis. 8(1):57-65.
Astuti, M. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi Peranakan
Ongole (PO). Wartazoa. 14(3), 98-106.
Depison, D., Crisdayanti, S., Gushairiyanto, G., & Erina, S. 2020. Identifikasi
Karakteristik Morfometrik Sapi Bali dan Sapi Brahman Cross di
Kecamatan Pamenang Barat Kabupaten Merangin. Jurnal Peternakan
Sriwijaya. 9(2), 11-20.
Dilaga, S. H., Putra, R. A., Yanuarianto, O., & Amin, M. 2022. Pengaruh Sumber
Energi yang Berbeda dalam Formulasi Pakan terhadap Pertumbuhan Pedet
Jantan Sapi Bali Lepas Sapih. Jurnal Triton 13(1), 1-10.
Ditjen PKH. 2011. Data Statisik Peternakan Komputerisasi. Kementerian
Pertanian. Jakarta.
Eley, R. M., Thatcher, W. W., Bazer, F. W., Wilcox, C. J., Becker, R. B., Head,
H. H., & Adkinson, R. W. 1978. Development of the conceptus in the
bovine. Journal of Dairy Science. 61(4): 467-473.
Feradis, M. P. 2010. Bioteknologi reproduksi pada ternak. Alf. Bandung.
Fikar, S., & Ruhyadi, D. 2010. Beternak & Bisnis Sapi Potong. AgroMedia.
Greenwood, P. L., & Cafe, L. M. 2007. April. Growth and nutrition of cattle early
in life: long-term consequences for beef production. In Proceedings of the
British Society of Animal Science .262-262. Cambridge University Press.

Hakim, L., Ciptadi, G., & Nurgiartiningsih, V. A. 2010. Model rekording data
performans sapi potong lokal di Indonesia. Journal of Tropical Animal
Production. 11(2): 61-73.
Hamdani, M. D. I., Adhianto, K., & Husni, A. 2017. Ukuran-Ukuran Tubuh Sapi
Krui Jantan dan Betina di Kabupaten Pesisir Barat Lampung. Jurnal Ilmu
Ternak Universitas Padjadjaran. 17(2): 97-102.
Hocquette, J. F., Gondret, F., Baéza, E., Médale, F., Jurie, C., & Pethick, D. W.
2010. Intramuscular fat content in meat-producing animals: development,
22

genetic and nutritional control, and identification of putative markers.


Animal. 4(2): 303-319.
Johnson, B. J., & Chung, K. Y. 2007. Alterations in the physiology of growth of
cattle with growth-enhancing compounds. Veterinary Clinics of North
America: Food Animal Practic. 23(2), 321-332.

Karnaen., dan Arifin, J. 2007. Kajian produktivitas sapi Madura. Jurnal Ilmu
Ternak Universitas Padjadjaran. 7(2).
Murti, T. W. 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Pasca Produksi Susu dan Tatalingkungan
Usaha persusuan. Yogyakarta.
Muslim, K. N., Nugroho, H., & Susilawati, T. 2013. Hubungan antara bobot
badan induk dan bobot lahir pedet sapi Brahman cross pada jenis kelamin
yang berbeda. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 23(1): 18-24.
Nguyen, D. V., Nguyen, O. C., & Malau-Aduli, A. E. 2021. Main regulatory
factors of marbling level in beef cattle. Veterinary and Animal Science. 14:
100219.
Nichols, W. T., Galyean, M. L., Thomson, D. U., & Hutcheson, J. P. 2002.
Effects of steroid implants on the tenderness of beef. The Professional
Animal Scientist. 18(3): 202-210.
Nugraha, H. Y., Sampurna, I. P., & Suatha, I. K. (2016). Pengaruh pemberian
pakan tambahan pada induk sapi bali terhadap ukuran dimensi panjang
pedet. Buletin Veteriner Udayana. 8(2): 159-165.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas
Indonesia Press. Jakarta
Park, S. J., Beak, S. H., Kim, S. Y., Jeong, I. H., Piao, M. Y., Kang, H. J., and
Baik, M. (2018). Genetic, management, and nutritional factors affecting
intramuscular fat deposition in beef cattle—A review. Asian-Australasian
journal of animal sciences. 31(7):1043.
Prasojo, G., Arifiantini, I., & Mohamad, K. 2010. Korelasi antara lama
kebuntingan, bobot lahir dan jenis kelamin pedet hasil inseminasi buatan
pada sapi bali. Jurnal Veteriner. 11(1): 41-45.
Riyanton, E. dan Purbowati, E. 2009. Sapi Potong Penebas Swadaya Jakarta.
Sampurna, I. P., Saka, I. K., Oka, I. G., & Sentana, P. 2013. Biplot Simulation of
Exponential Function to Determine Body Dimensions’ Growth Rate of
Bali Calf. Canadian Journal on Computing in Mathematics Natural
Sciences Engineering and Medicine. 4: 1923-1660.
23

Saptayanti, N. N. J., Suatha, I. K., & Sampurna, I. P. 2015. Hubungan antara


dimensi panjang induk dengan pedet pada sapi bali. Buletin Veteriner
Udayana. 7(2): 129-136.
Sudarmono, A. S. dan Bambang, Y.S. 2008. Sapi potong. Niaga Swadaya.
Sudrajad, P., Subiharta, S., Adinata, Y., Lathifah, A. I., Lee, J. H., Lenstra, J. A.,
& Lee, S. H. (2020). An insight into the evolutionary history of Indonesian
cattle assessed by whole genome data analysis. PloS one, 15(11),
e0241038.
Susanti, Y., Priyarsono, D. S., & Mulatsih, S. (2014). Pengembangan peternakan
sapi potong untuk peningkatan perekonomian provinsi Jawa Tengah: suatu
pendekatan perencanaan wilayah. Jurnal Agribisnis Indonesia. 2(2): 177-
190.
Soedjana, T. D., & Priyanti, A. 2017. Competitiveness of Indonesian livestock
production among ASEAN countries.Wartazoa. 27(1):1-14
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Souhoka, D. F., Tagueha, A. D., & Rajab, R. 2020. Tingkat Insidensi Pemotongan
Sapi Betina Bunting Di Rumah Potong Hewan Kota Ambon. Agrinimal
Jurnal Ilmu Ternak Dan Tanaman, 8(1), 44-50.
Tavares, L., Baliarti, E., & Bintara, S. (2012). Pre weaning growth of Bali calves
at Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Bali. Buletin Peternakan. 36(3):
199-204.
Volkandari, S. D., Margawati, E. T., & Wulandari, A. S. 2021. Polymorphism of
Insulin-induced gene 1 (INSIG1) of three local beef cattle in Indonesia.
In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 88 (1).
Yosita, M., Santosa, U., & Setyowati, E. Y. (2012). Persentase karkas, tebal
lemak punggung dan indeks perdagingan Sapi Bali, Peranakan Ongole dan
Australian Commercial Cross. Students e-Journal. 1(1):15.
Zajulie, M. I., Nasich, M., Susilawati, T., & Kuswati, K. (2015). Distribusi
komponen karkas sapi Brahman Cross (BX) hasil penggemukan pada
umur pemotongan yang berbeda. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan
(Indonesian Journal of Animal Science). 25(1): 24-34.
24

Anda mungkin juga menyukai