Anda di halaman 1dari 18

2

MAKALAH PEMULIAAN TERNAK


PEMULIAAN PADA DOMBA PEDAGING

Disusun oleh :
Kelompok 6
Kelas F

Mega Febria 200110170172


Ramdan Agus S 200110170295
Rinaldi Riananda 200110170297
Larasati Aprilia 200110170306

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
SUMEDANG
2019
3

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT, karena atas

limpahan rahmat dan hidayah-Nya, makalah yang berjudul “Pemuliaan Pada

Domba Pedaging” dapat penyusun selesaikan. Makalah ini disusun dengan tujuan

untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemuliaan Ternak. Penyusunan makalah ini

diharapkan dapat memberikan informasi tentang pemuliaan pada domba pedaging.

Dalam pembuatan makalah ini, penyusun mengucapkan terima kasih kepada

Bapak Johar Arifin, S. Pt, MP. selaku dosen mata kuliah Pemuliaan Ternak yang

telah membimbing pembuatan makalah ini. Selain itu, ucapan terima kasih juga

penyusun tujukan kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pembuatan

makalah ini sehingga makalah ini dapat penyusun selesaikan.

Demikian, makalah ini penyusun hadirkan dengan segala kelebihan dan

kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun demi perbaikan

makalah ini sangat penyusun harapkan. Semoga makalah ini dapat memberikan

manfaat dan pengetahuan bagi pembaca.

Sumedang, April 2019

Penyusun
4

DAFTAR ISI

Bab Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................. ii

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 1
1.3 Maksud dan Tujuan.................................................................... 2

II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1 Pemuliaan Ternak ...................................................................... 3
2.2 Domba........................................................................................ 4
2.3 Ukuran-ukuran Tubuh ............................................................... 4
2.4 Indeks Morfologi ....................................................................... 5

III PEMBAHASAN

3.1 Kebijakan Perwilayahan ............................................................. 6


3.2 Pelestarian Ternak Dengan Pola PIR .......................................... 7
3.3 Strategi pemuliaan pada domba .................................................. 7

IV KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan ................................................................................. 13
4.2 Saran ........................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 14


1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ternak lokal atau asli Indonesia merupakan salah satu kekayaan nasional

yang tidak kecil artinya, baik dilihat dari segi sumber pendapatan, sumber protein

hewani yang murah dan mudah, maupun sebagai sumber tenaga kerja. Banyak

diantara ternak lokal atau asli Indonesia yang perkembangannya tidak terlalu

menggembirakan, bahkan bila tidak segera ditangani dikhawatirkan mengalami

kepunahan. Upaya untuk mempertahankan kelestarian dan kemurnian ternak asli

perlu ditangani, karena dalam jenis ternak asli mungkin terkandung gen-gen yang

belum tentu dimiliki oleh jenis-jenis ternak impor.

Salah satu di antara plasma nutfah hewani yang perlu dipertahankan

eksistensinya adalah ternak domba. Disamping sebagai penghasil daging, kulit,

susu, wol, dapat juga dipakai sebagai bahan penelitian atau sebagai bahan rakitan

untuk menciptakan kultivar-kultivar (bangsa-bangsa) unggul baru. Untuk mencapai

tujuan ini, diperlukan rumusan kebijaksanaan dan program yang dapat mendorong

partisipasi masyarakat yang terlibat dalam pembangunan peternakan baik secara

langsung maupun tidak langsung, dengan memperhatikan kendala yang dihadapi.

1.2 Rumusan Masalah

(1) Bagaimana Kebijakan Perwilayahan

(2) Bagaimana Pelestarian Ternak Dengan Pola PIR

(3) Bagaimana Strategi pemuliaan pada domba


2

1.3 Maksud dan Tujuan

(1) Untuk mengetahui kebijakan perwilayahan

(2) Untuk mengetahui pelestarian ternak dengan pola PIR

(3) Untuk mengetahui strategi pemuliaan pada domba


3

II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Pemuliaan Ternak

Pemuliaan ternak adalah usaha jangka panjang dengan suatu tantangan

utama adalah memperkirakan ternak macam apa yang menjadi permintaan di masa

mendatang serta merencanakan untuk menghasilkan ternak-ternak yang diharapkan

tersebut (Warwick, dkk. 1990). Seleksi atau peningkatan mutu genetik dilakukan

pada kelompok-kelompok tertentu kemudian disebarkan pada kelompok lain

(Wiener 1999). Struktur ternak bibit umumnya berbentuk piramida yang terbagi

menjadi tiga strata (tiers) yaitu pada puncak piramida kelompok elit (nucleus),

kelompok pembiak (multiplier), dan paling bawah kelompok niaga (Nicholas 1993;

Warwick dkk. 1990; Wiener 1999).

Parameter genetik yang penting diketahui dalam menyusun program

pemuliaan diantaranya adalah nilai heritabilitas dan korelasi genetik antar sifat.

Heritabilitas adalah suatu koefisien yang menggambarkan berapa bagian dari

keragaman fenotipik total yang disebabkan oleh pengaruh kelompok gen yang

beraksi secara aditif, sedangkan korelasi genetik adalah korelasi yang lebih banyak

dipengaruhi oleh gen-gen yang beraksi secara pleiotropik (Martojo 1992), kedua

nilai ini berperan di dalam pelaksanaan seleksi.

Nilai heritabilitas dan korelasi genetik dapat dihitung dengan berbagai

cara, rancangan untuk menghitung heritabilitas dan korelasi genetik dapat sama.

Pendugaan terhadap besarnya nilai heritabilitas akan berbeda-beda tergantung pada

metoda yang digunakan, ragam genetik populasi, pengambilan contoh dan

banyaknya data serta kondisi populasi tempat heritabilitas dihitung (Lasley 1972;

Falconer 1981; Warwick et al. 1990).


4

2.2 Domba

Secara umum domba asli Indonesia diklasifikasikan ke dalam tiga jenis

yaitu domba ekor tipis (Javanese thin tailed) atau domba lokal, domba ekor sedang

atau domba Priangan (Priangan of West Java) yang dikenal dengan nama domba

Garut dan domba ekor gemuk (Javanese fat tailed) (Mulyaningsih, 1990). Asal

domba tersebut tidak diketahui pasti, diasumsikan bahwa domba ekor tipis berasal

dari India, sedangkan domba ekor gemuk berasal dari Somalia-Arab (Williamson,

1993).

2.3 Ukuran-ukuran Tubuh.

Penampilan seekor hewan adalah hasil dari suatu proses pertumbuhan

yang berkesinambungan dalam seluruh hidup hewan tersebut. Setiap komponen

tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan atau perkembangan yang berbeda-beda

karena pengaruh genetik maupun lingkungan (Diwyanto, 1982). Ukuran

permukaan dan bagian tubuh hewan mempunyai banyak kegunaan, karena dapat

menaksir bobot badan dan karkas serta memberi gambaran bentuk tubuh hewan

sebagai ciri suatu bangsa tertentu. Penggunaan ukuran-ukuran tubuh dilakukan

berdasarkan ukuran yang umum pada ternak, yaitu sifat kuantitatif untuk dapat

memberikan gambaran eksterior seekor domba dan mengetahui

perbedaanperbedaan dalam populasi ternak ataupun digunakan dalam seleksi.

Pengaruh genetik dan lingkungan menyebabkan timbulnya keragaman pada

pengamatan dalam berbagai sifat kuantitatif. Keragaman merupakan suatu sifat

populasi yang sangat penting dalam pemuliaan terutama dalam seleksi (Mulliadi

1996). Seleksi akan efektif bila terdapat tingkat keragaman yang tinggi (Martojo,

1990). Ukuran permukaan tubuh hewan memiliki banyak kegunaan seperti untuk

menaksir bobot badan dan memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri
5

khas suatu bangsa (Doho, 1994). Ukuran tubuh dewasa pada domba lokal untuk

betina adalah tinggi badan 57 cm, bobot badan 25-35 kg, sedangkan pada jantan

tinggi badan mencapai 60 cm dan bobot badan 40-60 kg dengan rata-rata bobot

potong 19 kg. (Devendra dan McLeroy 1982).

2.4 Indeks Morfologi

Keragaman sifat morfologi dapat terjadi karena adanya proses mutasi

akibat seleksi, perkawinan silang atau bencana alam yang dapat berakibat hilang

atau hanyutnya gen tertentu. Populasi yang besar dengan tingkat keragaman yang

cukup tinggi, baik dalam bangsa maupun antar bangsa menjadikan domba-domba

di Indonesia beragam bentuk dan pola warnanya. Perbedaan bobot badan, struktur

tubuh, pola warna bulu dan kepadatan wol adalah contoh karakteristik morfologis

yang berlainan antar agroekosistem yang dapat dijadikan sebagai gambaran

spesifikasi suatu bangsa ternak. (Suparyanto dkk, 1999).


6

III

PEMBAHASAN

3.1 Kebijakan Perwilayahan

3.1.1 Wilayah sumber bibit

Wilayah sumber bibit merupakan wilayah pengembangan ternak domba

secara murni. Pada wilayah sumber bibit dilakukan pelestarian secara in-situ

dengan menutup wilayah tersebut terhadap pemasukan bangsa domba lain maupun

bangsa yang sama dari wilayah lain. Pelestarian ex-situ dapat dilakukan dengan

menetapkan pulau atau wilayah tertentu diluar habitat aslinya menjadi sumber bibit

bangsa murni.

Upaya perbaikan mutu genetik untuk peningkatan produktivitas domba

dilakukan melalui program seleksi dalam bangsa. Dalam upaya mempertahankan

mutu genetik di berbagai daerah sumber bibit perlu dilakukan :

(1) Perhitungan secara tepat jumlah serta mutu bibit yang dapat dikeluarkan,

seimbang dengan jumlah mutu bibit yang perlu dipertahankan sebagai

ternak pengganti.

(2) Penentuan standart mutu bibit lokal maupun nasional yang sesuai dengan

karakteristik bangsa domba lokal dengan melibatkan asosiasi-asosiasi

peternakan rakyat.

(3) Pelestarian dengan teknologi mutakhir, misalnya dengan pengawetan semen

dan embrio melalui proses pembekuan dan penyimpanannya pada bank

plasma nutfah, didukung oleh program inseminasi buatan (IB) dan embrio

transfer (ET) yang terencana dan dianggap layak, merupakan kemungkinan

lain yang perlu mendapat perhatian pemerintah dan swasta.


7

3.1.2 Wilayah produksi

Wilayah produksi berfungsi sebagai wilayah pengembangbiakan untuk

tujuan komersil, yang memungkinkan menggunakan teknik-teknik perkawinan

silang dan penggemukan. Persilangan (Crossbreeding) merupakan salah satu cara

untuk peningkatan mutu genetik domba yang pada akhirnya meningkatkan

produktivitas. Usaha “ranch” dan penggemukan dapat dilakukan terhadap bangsa

murni maupun hasil persilangan. Umumnya usaha penggemukan menguntungkan

bila didukung oleh kebijaksanaan harga bibit yang menarik.

3.1.3 Wilayah konservasi

Wilayah konservasi hanya dibutuhkan untuk menangkarkan bangsa domba

asli yang masih ada atau mengembangbiakan hasil dari wilayah sumber bibit.

3.2 Pelestarian Ternak Dengan Pola PIR

Melalui pola PIR, diharapkan program seleksi dapat dijalankan dengan

pengendalian pada pemilikan pejantan unggul, yaitu dengan penggunaan Uji

Performa dan Uji Zuriat. Untuk pemilikan induk ditekankan pada kemurnian

bangsanya dan performa reproduksinya.

3.3 Strategi Pemuliaan Pada Domba

Pemuliaan ternak harus diawali dengan perbaikan kondisi lingkungan

kemudian dilanjutkan dengan perbaikan potensi genetik. Sebelum menentukan

program pemuliaan, perlu ditentukan aspek produksi dan reproduksi yang

diharapkan. Perbaikan genetik dapat dilakukan dengan cara seleksi dan persilangan

(cross breeding).

Seleksi adalah pemilihan secara sistematis induk dan pejantan sebagai tetua

untuk generasi selanjutnya. Persilangan adalah perkawinan antar ternak yang


8

memiliki hubungan kekerabatan lebih jauh dari rataan hubungan kekerabatan

kelompok asal ternak. Keuntungan utama persilangan adalah hybrid vigor atau

heterosis, yaitu jika seekor induk dikawinkan dengan pejantan dari bangsa yang

berbeda, turunannya akan lebih baik performanya untuk sifat-sifat tertentu daripada

tetuanya. Keuntungan yang diperoleh dari hasil persilangan adalah :

(1) Heterosis yang memungkinkan diperolehnya rataan produksi yang lebih

baik dari tetuanya seperti pada bobot lahir, produksi susu induk, laju

pertumbuhan, bobot sapih, dan bobot potong.

(2) Memperbaiki salah satu sifat yang kurang baik dari salah satu bangsa.

(3) Meningkatkan daya hidup dengan diperolehnya daya adaptasi yang lebih

baik dan tahan terhadap penyakit.

(4) Menurunkan mortalitas, terutama pada periode pra-sapih dengan bobot lahir

dan produksi susu yang lebih tinggi.

(5) Meningkatkan daya reproduksi seperti dalam pencapaian dewasa kelamin

dan dewasa tubuh yang lebih cepat.

(6) Menghilangkan atau mengurangi sifat lethal.

Pada periode pra-sapih pada domba, heterosis akan meningkatkan bobot

lahir 3,2%; bobot sapih 5,0%; dan pertambahan bobot badan 5,3% (Rae, 1982).

Perlu diingat bahwa dalam persilangan yang telah stabil, ketika crossbreed

dikawinkan dengan crossbreed, hybrid vigor akan hilang. Kemajuan potensi

genetik akan lebih cepat tercapai jika program pemuliaan dilakukan dengan

persilangan yang diiringi dengan seleksi (Gatenby, 1991). Persilangan dapat

dilakukan dengan perkawinan dua bangsa domba atau lebih (Noor, 1996).

Dalam program persilangan, perlu diperhatikan pengendalian terhadap

penyebaran domba hasil persilangan. Penyebaran yang tidak terkendali dapat

mengakibatkan hilangnya kemurniaan seluruh populasi bangsa domba yang


9

disilangkan. Menurut Mason dan Buvanendran (1982) ada tiga cara untuk

memperbaiki produksi dan kualitas daging domba di daerah tropis, tergantung pada

lingkungan dan manajemennya, yaitu :

(1) Pada daerah tropis basah panas, seleksi domba lokal tipe rambut, atau

menyilangkan dengan domba tipe rambut tropis lainnya, terutama yang

prolifik untuk menghasilkan bangsa baru.

(2) Pada daerah tropis kering, seleksi dari bangsa domba tipe wol kasar, atau

menyilangkan dengan tipe wol kasar lainnya dari daerah yang mempunyai

iklim serupa.

(3) Pada daerah tropis basah atau sub tropis, grading domba lokal dengan

bangsa pejantan persilangan (unggul x lokal) atau dengan bangsa baru dari

komposisi genetik tersebut.

Di Indonesia, khususnya Sumatera yang daerahnya termasuk beriklim tropis

basah panas, dengan potensi domba lokalnya bertipe wol kasar, cara yang dianggap

paling baik adalah persilangan dengan bangsa tipe rambut tropis lainnya. Menurut

Subandryo dkk. (1996) dasar pertimbangan persilangan ini adalah :

(1) Sebagai cara terbaik untuk menghilangkan wol yang dapat menyebabkan

cekaman panas dan lambatnya pertumbuhan pada domba lokal.

(2) Untuk mencapai bobot potong 40-45 kg.

(3) Pembentukan domba komposit untuk mempertahankan heterosis sifat

pertumbuhan.

Secara umum strategi breeding pada ternak domba dapat dilakukan dengan

memperhatikan hal-hal berikut :

(1) Penentuan arah, tujuan dan sasaran dalam mengelola (pelestarian,

pemanfaatan, dan penelitian) berbagai jenis bangsa domba. Program


10

breeding maupun pelaksanaannya harus disesuaikan dengan bangsa ternak,

lingkungan dan kondisi petani, serta permintaan pasar.

(2) Oleh karena sebagian besar ternak domba dikuasai oleh peternak kecil,

maka strategi breeding harus diarahkan untuk pemberdayaan peternak

domba dalam memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal dan

berkesinambungan.

(3) Perlu ditetapkan kawasan pelestarian, pengembangan, maupun pembibitan

bersama-sama instansi terkait, terutama Pemda, lembaga penelitian dan

perguruan tinggi setempat. Perlu mendapat perhatian bahwa otonomi daerah

yang hanya mementingkan pendapatan daerah akan membuat kebijakan

yang dapat menguras sumberdaya genetik ternak.

(4) Perlu ditetapkan parameter yang akan dipertahankan, dihilangkan, atau

dimanfaatkan dalam program pemuliaan dan pengembangan. Misalnya saja

fertilitas, efisiensi penggunaan pakan, daya adaptasi, kualitas karkas, dll.

(5) Domba komposit yang telah dihasilkan oleh Balitnak, diharapkan dapat

segera dikembangkan melalui UPT pusat maupun daerah, atau secara

langsung dikembangkan dengan mitra swasta dan kelompok peternak.

Untuk pengembangannya dapat memanfaatkan teknologi IB, karena

pejantan yang dihasilkan jumlahnya terbatas. Sedangkan perkembangan

selanjutnya, sebaiknya dilakukan dengan cara kawin alam, karena alasan

kepraktisan dan efisiensi.

(6) ‘Conservation by management’ yang dianjurkan FAO dapat diadopsi untuk

mengelola domba lokal kita, sehingga petani tidak merasa dirugikan. Untuk

menetapkan wilayah mana saja yang harus dilakukan pemurnian, seberapa

besar skala minimal (ukuran populasi efektif) yang harus dipertahankan,

serta siapa saja yang harus terlibat dan bertanggung jawab, perlu dibicarakan
11

dengan seksama agar program nasional tidak merugikan masyarakat dan

tidak bertentangan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Rencana

perubahan kebijakan pelestarian atau pemurnian ternak yang sudah berjalan,

harus dianalisa secara ilmiah dan komprehensif serta memposisikan

peternak sebagai subjek.

(7) Pengelolaan domba sebagai sumberdaya genetik ternak komersial dalam

jangka panjang harus dilakukan dengan cara membentuk, mendorong dan

memberdayakan asosiasi peternak domba. Dalam hal ini pemerintah hanya

sekedar memfasilitasi, memberi bantuan teknis dan dukungan kebijakan.

Untuk ternak domba peran pemerintah untuk sementara masih dominan,

karena ternak ini sebagian besar dipelihara rakyat kecil dan tidak ada swasta

yang tertarik untuk melakukan kegiatan breeding. Perhitungan secara

parsial menunjukkan bahwa kegiatan breeding pada ternak kecil dan ternak

potong tidak memberikan margin yang cukup merangsang investor.

(8) Dalam pelaksanaan pengelolaan domba sebagai bagian dari SDG ternak

dalam era desentralisasi sebagian besar menjadi tanggung jawab Pemda.

Akan tetapi karena program pemuliaan memerlukan skala yang memadai,

maka tetap diperlukan program nasional (program payung) yang

pelaksanaannya dikoordinasikan melalui jaringan kerjasama yang baik.

Oleh karena itu peran Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan dan

Komisi Bibit Nasional masih sangat strategis dalam memberikan dukungan

kebijakan, dan bantuan teknis dari lembaga penelitian maupun perguruan

tinggi masih sangat diperlukan.

(9) Pada waktu yang singkat diharapkan sudah dapat disusun rencana kerja dari

masing-masing UPT yang sifatnya integratif dan operasional. Luaran hasil

penelitian dari UPT lingkup Puslitbang Peternakan diharapkan dapat


12

ditindak lanjuti oleh UPT lainnya untuk pengembangannya. Demikian pula

dalam pelaksanaan penelitian terutama untuk menjaring calon pejantan atau

replacement stock, diperlukan kerjasama antara UPT terkait, perguruan

tinggi, peternak dan asosiasi.

(10) Pemanfaatan bioteknologi modern dalam pengelolaan plasma nutfah ternak

domba. Dengan bioteknologi modern dilakukan rekayasa genetik dengan

keuntungan yaitu merekayasa ternak baru (dengan sifat baru) dengan

menggunakan teknologi DNA rekombinan, dimungkinkan untuk

memindahkan gen dari satu organisme ke dalam organisme lain yang

bahkan tidak memiliki hubungan kekerabatan sama sekali, dan merupakan

terobosan yang sangat luar biasa, yang sebelumnya tidak mungkin

dilaksanakan melalui metode persilangan secara konvensional. Diharapkan

dengan bioteknologi modern hasil modifikasi ternak dapat diperoleh lebih

cepat, transfer gen dapat dilakukan dengan sangat terkendali, dan dapat

diperoleh peningkatan produktivitas, mutu, dan perbaikan lingkungan. Pada

domba pedaging misalnya, dapat digunakan penanda molekuler untuk

mendeteksi adanya gen mayor FecJF yang mengatur sifat beranak banyak

(prolifik) pada domba.


13

IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

(1) Kebijakan Perwilayahan meliputi wilayah sumber bibit yaitu wilayah

pengembangan ternak domba secara murni, wilayah produksi yaitu wilayah

pengembangbiakan untuk tujuan komersil, dan wilayah konservasi yaitu

pengembangbiakan hasil dari wilayah sumber bibit.

(2) Program seleksi dapat dijalankan dengan pengendalian pada pemilikan

pejantan unggul, yaitu dengan penggunaan Uji Performa dan Uji Zuriat

melalui pola PIR.

(3) Pemuliaan pada domba atau perbaikan genetik pada domba dapat dilakukan

dengan cara seleksi dan persilangan (cross breeding).

4.2 Saran

Untuk dapat meningkatkan produktivitas ternak dan pelestarian sumberdaya

genetik ternak, maka dibutuhkan kebijakan konservasi dan strategi pemuliaan yang

tepat. Persoalan ternak bukan hanya persoalan pemerintah belaka, tetapi juga

persoalan semua pemangku kepentingan (stakeholder) yang meliputi, pemerintah,

peternak, swasta, perguruan tinggi maupun organisasi non-pemerintah lainnya.


14

DAFTAR PUSTAKA

Devendra, C. and G.B. McLeroy. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropic.
Longman, New York.

Dwiyanto, K. 1982. Pengamatan Fenotip Domba Priangan serta Hubungan antara


beberapa Ukuran Tubuh dengan Bobot Badan. Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Doho, S.R. 1994. Parameter fenotipik beberapa sifat kualitatif dan kuantitatif pada
domba Ekor Gemuk. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Falconer, D.S. 1981.“Introdution to Quantitative Genetic’s”.2nd .ed. Longmen,


Essex, United Kingdom (The 1st edition of this book published in 1960 has
the same chapter headings and much of the same material).

Gatenby R M. 1991. Sheep. The Tropical Agriculturalist. MacMillan Education


LTD London. UK Cooperation with CTA Wageningen. Netherlands.

Lasley. 1972. Genetics of Livestock Improvement. Third Edition Printice-Hall of


India Private Limited, New Delhi.

Martojo, H.1992. Peningkatan mutu genetik ternak. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mason I L, Buvanendran V. 1982. Breeding Plans For Ruminant Livestock in The


Tropics. Animal Production and Health Paper. Food and Agriculture
Organization of The United Nation. Roma.

Mulliadi, D. N. 1996. Sifat fenotipik domba Priangan di kabupaten Pandeglang


dan Garut. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mulyaningsih, N. 1990. Domba Garut sebagai sumber plasma nutfah ternak.


Plasma Nutfah Hewan Indonesia. Komisi Pelestarian Plasma Nutfah
Indonesia. Bogor : 42-49.

Noor R R. 1996. Genetika Ternak. PT Penebar Swadaya, Jakarta.

Rae A L. 1982. Breeding. Dalam : Coop I E (Ed). Worl Animal Science (Sheep
and Goat Production). Pp. 15-55. Elsevier Scientific Publishing
Company. Amsterdam – Oxford – New York.

Subandryo, Setiadi B, Rangkuti M, Diwyanto K, Doloksaribu M, Batubara L P,


Romjali E, Eliaser S, Handiwirawan E. 1998. Performa domba Komposit
hasil persilangan antara domba lokal Sumatera dengan domba Rambut
15

generasi pertama dan kedua. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol. 3, No.
2: 78-86. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Balai Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Warwick, E.J., J.M. Astuti dan W. Hardjosubroto, 1990. Pemuliaan ternak. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta

Williamson dan Payne. 1993. Pengantar Peternakan di daerah Tropis. Gajahmada


University Press. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai