Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TEKNOLOGI PENETASAN
Taatalaksana Penetasan Telur

DISUSUN OLEH :
.
INDAH KOMALASARI 200110160028
FARHAN FAOZI 200110160042
INTAN HARTINI 200110160139
YAYAN SEPTIANA 200110160264
CHRISTINA YOHANA F M 200110170013
WIWIN ANGGRAENI 200110170018
AULIA NABILLA HANNANI 200110170131
MUHAMAD IBNU AFRIAN 200110170194
FIRDANIA ALDA ELSADIANA 200110170261
RAMDAN AGUS SAPUTRA 200110170295

FAKULTAS PERTERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga penyusun berhasil

menyelesaikan makalah ini yang berjudul “TATA LALAKSANA PENETASAN

TELUR AYAM”. Makalah ini berisi tentang tata laksana penetasan telur ayam.

Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi yang diperlukan. Makalah

ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah teknologi penetasan.

Terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pengerjaan

maklah ini, semoga makalah ini dapat diterima dengan baik oleh semua pihak dan

bermanfaat bagi kita semua.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,

oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak kami harapkan

agar lebih baik lagi dalam pengerjaan makalah berikutnya.

Jatinangor, 2 April 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Bab Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................ ii

DAFTAR ISI ............................................................................... iii

I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 2
1.3 Maksud dan Tujuan ........................................................................ 2
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ayam Petelur ............................................................................................. 3
2.2 Penetasan .................................................................................. 3
2.3 Telur Tetas ............................................................................. 4
2.4 Mesin Tetas ............................................................................ 4
III ISI
3.1 Tatalaksana Sebelum Telur Masuk Ke Bagian Setter .................. 5
3.2 Tatalaksana Bagian Setter Pada Mesin Tetas................................ 6
3.3 Tatalaksana Transfer ....................................................................... 8
3.4 Tatalaksana Bagian Hatcher Pada Mesin Tetas .................... 8
3.5 Penanganan Anak Ayam Setelah Menetas .................................... 9
IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan............................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 12

iii
1

I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Unggas merupakan hewan yang sengaja dibudidayakan untuk diambil
daging dan telurnya yang mempunyai ciri fisik hampir seluruh tubuhnya
ditumbuhi oleh bulu. Salah satu ternak yang paling digemari untuk diternakkan
diantaranya adalah ayam. Ayam merupakan genus Gallus yang berkembangbiak
dengan cara bertelur. Telur merupakan cikal bakal dari calon anak ayam yang
didalam telur tersebut mengandung banyak kandungan zat gizi yang diperlukan
oleh pertumbuhan embrio selama didalam telur. Telur yang akan ditetaskan harus
berasal dari telur yang fertil atau dibuahi oleh pejantan. Selain itu, masih banyak
faktor yang mempengaruhi telur yang akan ditetaskan. Sedangkan telur yang tidak
dibuahi oleh pejantan disebut dengan telur konsumsi artinya telur tersebut tidak
dapat menetas meskipun ditetaskan.
Untuk meningkatkan populasi ternak unggas seperti ayam, itik dan entok.
Maka diperlukan cara penetasan telur yang tepat untuk dapat mengerami jumlah
telur yang banyak dalam waktu yang bersamaan. Pengeraman telur ini dapat
terjadi pada unggas jika sifat mengeraminya telah muncul. hal ini dapat berakibat
menurunkan hasil produksi ternak unggas. Maka dibutuhkan alat yang dapat
meningkatkan produksi seperti mesin tetas. Penetasan menggunakan mesin tetas
(secara buatan) memiliki prinsip yaitu menetaskan telur tetas dengan
menggunakan mesin tetas yang meniru penetasan alami dan manusia yang
bertanggung jawab atas seluruh prosesnya. Lamanya proses penetasan tergantung
dari besar kecilnya telur yang akan ditetaskan.
Saat ini, dengan adanya alat penetas buatan akan mempermudah
perbanyakan populasi unggas ini. Walaupun masih dalam bentuk yang sederhana,
tetapi Indonesia sudah mampu membuatnya. Mulai dari kapasitas seratus hingga
ribuan, karena memang prinsipnya sederhana.
2

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana tatalaksana sebelum telur masuk ke bagian setter.
2. Bagaimana tatalaksana bagian setter paada mesin tetas.
3. Bagaimana tatalaksana transfer.
4. Bagaimana tatalaksana bagian hatcher pada mesin tetas.
5. Bagaimana penanganan anak ayam setelah menetas.

1.3 Maksud dan Tujuan


1. Mengetahui tatalaksana sebelum telur masuk ke bagian setter.
2. Mengetahui tatalaksana bagian setter paada mesin tetas.
3. Mengetahui tatalaksana transfer.
4. Mengetahui tatalaksana bagian hatcher pada mesin tetas.
5. Mengetahui penanganan anak ayam setelah menetas.
3

II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam Petelur


Ayam liar atau ayam hutan yang ada memang sudah dipelihara oleh
masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu sebagai bagian dari kehidupan mereka
yang memang saat itu sangat dekat dengan alam bebas. Umumnya ayam
dimanfaatkan sebagai ayam pedaging setelah habis masa produktifnya bertelurnya
(Rasyaf, 2008).

2.2 Penetasan
Penetasan merupakan proses perkembangan embrio di dalam telur sampai
telur pecah menghasilkan anak ayam. Penetasan dapat dilakukan secara alami oleh
induk ayam atau secara buatan menggunakan mesin tetas. Keberhasilan penetasan
buatan tergantung banyak faktor antara lain telur tetas, mesin tetas dan tata
laksana penetasan (Suprijatna et al., 2005). Penetasan telur ayam dapat dilakukan
secara alami menggunakan induk ayam buras atau unggas lainnya maupun secara
modern menggunakan mesin tetas (Cahyono, 2007).
2.2.1 Penetasan Alami
Menetaskan telur dengan induk, umumnya disebut pengeraman secara
alami. Penetasan alami hanya terjadi pada ayam dan wallet, untuk itik dan puyuh
tidak dilakukan oleh induknya melainkan seleksi oleh alam (Paimin, 2011).
Secara alami telur dierami oleh induknya untuk ditetaskan. Persiapan dan
perhatian yang diperlukan untuk penetasan alami adalah sarang pengeraman.
Bentuk sarang pengeraman mempengaruhi daya tetas telur (Cahyono, 2007).
2.2.2 Penetasan Buatan
Menetaskan telur dengan alat tetas buatan dilakukan bila ingin
memperoleh anak-anak ayam, itik, puyuh maupun wallet dalam jumlah banyak.
Prinsipnya penggunaan alat buatan merupakan tiruan dari sifat-sifat alamiah
unggas saat mengeram (Paimin, 2011). Prinsip kerja mesin penetasan telur adalah
menggantikan sumber panas dari induk hewan. Cara ini menuntut ketelitian dalam
4

mengontrol temperatur ruang mesin tetas. Sebagai sumber panas dapat


menggunakan lampu minyak tanah dan listrik (Cahyono, 2007).
2.3 Telur Tetas
Ayam yang dipelihara sebagai penghasil telur konsumsi umunya tidak
memakai pejantan dalam kandangnya karena telur konsumsi tidak perlu dibuahi.
Berbeda dengan ayam petelur yang dipelihara untuk tujuan penghasil telur tetas,
di dalam kandang perlu ada pejantan. Hal ini dimaksudkan agar telur yang
dihasilkan dapat dibuahi atau fertil karena telur yang steril tidak akan menetas
(Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Telur tetas merupakan telur fertil atau telah
dibuahi, dihasilkan dari peternakan ayam pembibit bukan dari peternakan ayam
petelur komersial yang digunakan untuk ditetaskan (Suprijatna et al., 2005).
2.4 Mesin Tetas
Mesin tetas merupakan sebuah peti atau lemari dengan konstruksi yang
dibuat sedemikian rupa sehingga panas yang ada di dalamnya tidak terbuang.
Suhu yang ada di dalam ruangan mesin tetas dapat diatur sesuai dengan ukuran
derajat panas yang dibutuhkan selama periode penetasan. Mesin tetas yang
banyak digunakan saat ini merupakan mesin tetas tipe basah dengan pemanas
listrik, minyak tanah atau kombinasi yang di dalam ruangannya terdapat udara
panas, baik tipe kotak atau tipe kabinet (Paimin, 2011). Mesin tetas berfungsi
mengganti peran induk unggas dalam penetasan telur untuk menghasilkan anak
unggas. Cara kerja mesin tetas pada prinsipnya meniru induk unggas pada waktu
mengerami telurnya. Untuk menciptakan kondisi yang ideal seperti pada
penetasan alami harus diperhatikan panas atau temperatur, kelembaban dan
sirkulasi udara dalam ruang mesin tetas (Suprijatna et al., 2005).
5

III
ISI

3.1 Tatalaksana Sebelum Telur Masuk Ke Bagian Setter

Sebelum telur memasuki mesin setter, ada beberapa hal yang harus

dilakukan dengan tujuan mendapatkan hasil yang baik. Hal yang perlu dilakukan

sebelum telur memasuki mesin setter adalah penyimpanan dan pre-warm atau

pre-heat.

A. Penyimpanan Telur Tetas

Telur tetas yang sudah diseleksi dan di grading kemudian dimasukkan

kedalam tray, posisi telur bagian tumpul di atas. Sesuai dengan pernyataan COBB

(2015) yang menyatakan tempatkan telur tetas dengan hati-hati ke dalam baki

setter (setter tray) atau nampan angkut (transport tray), ujung yang lebih kecil

(dan lancip) diletakkan diposisi bawah. Setelah disimpan didalam tray, biasanya

tray dimasukan kedalam trolley setter (rak setter) dan diberi label dimana isi label

tersebut adalah tanggal produksi telur, tanggal penyimpanan dan grade telur.

Setelah rak pada troli setter sudah terisi, troli tersebut dibawa kedalam cooling

room untuk disimpan selama beberapa hari sebelum HE dimasukkan ke mesin

setter.

Cooling room harus selalu dalam keadaan dingin agar mencegah pertumbuhan
embrio pada HE atau dorman. Menurut Suprijatna, dkk., (2005) telur yang

dorman adalah suatu keadaan berhenti tumbuh yang dialami telur sebagai

tanggapan atas suatu keadaan yang tidak mendukung pertumbuhan normal,

keadaan ini dilakukan untuk mencegah pertumbuhan dini embrio telur sebelum

dimasukkan ke mesin setter. Suhu pada cooling room berkisar antara 18-20°C dan
6

kelembaban nya yaitu 75%. Menurut COBB (2015) suhu ruang hatchery berkisar

antara 19-21°C.

B. Pre-heat atau Pre-warm

Pre-warming merupakan suatu adaptasi telur tetas terhadap suhu inkubasi.

Pre-warming bertujuan agar embrio telur tetas tidak mengalami shock temperatur

akibat dari perubahan temperatur yang tinggi atau ekstrim. Hal ini sesuai dengan

pendapat Sudaryani dan Santoso (2003) bahwa perbedaan suhu antara cooling

room dan setter sangat jauh sehingga perlu adanya penyesuaian suhu agar embrio

tidak mengalami shock/cekaman dan meghindari terjadinya sweating pada telur

tetas (keringat) yang mengakibatkan bakteri masuk melalui pori-pori telur. Selain

itu manfaat dari pre-warming adalah untuk menghemat dan mengurangi waktu

yang dibutuhkan telur untuk kembali ke suhu normal serta mampu menaikkan

hatchability untuk telur yang tersimpan lama di cooling room. Pre-warming

dilakukan di ruang khusus pre-warming dengan suhu 25-27oC. Namun menurut

Rahayu dkk., (2011), Pre-warming juga memiliki kerugian diantaranya:

1. Kemungkinan terjadinya kontaminasi selama proses pre warming.

2. Tidak seragamnya waktu penetasan.

3. Resiko telur retak pada saat perlakuan pre warming.

Kerugian tersebut jika selama proses pre-warming suhu ruangan tidak sesuai

standar yaitu 25-27oC sehingga telur mengalami sweating dan kurangnya

kebersihan pada ruang pre-warming. Resiko retak terjadi jika operator mendorong

trolley secara kasar.

3.2 Tatalaksana Bagian Setter Pada Mesin Tetas

Proses inkubasi pada setter berlangsung selama 18 hari untuk ayam. Mesin

setter dibagi menjadi dua berdasarkan proses setting yaitu Single Stage dan
7

Multiple Stage. Perbedaan dari kedua sistem tersebut hanya pada umur telur

inkubasi dimana sistem Single Stage dalam satu mesin berisi telur dengan umur

sama sedangkan untuk sistem Multiple Stage dalam satu mesin terdapat beberapa

telur dengan umur berbeda.

Dalam mesin setter terdapat beberapa bagian yang menunjang proses

inkubasi. Pada mesin yang digunakan di skala industri sumber panas biasanya

didapatkan dari boiler atau air panas yang mengalir pada pipa, pendingin

menggunakan chiller yang merupakan pipa dialiri air dingin dan terdapat kipas

yang berfungsi untuk meratakan suhu dan humidifier atau alat kelembaban.

Suhu pada mesin setter berkisar antara 37,5-37,8 oC dan kelembaban 50-

55% dengan supply udara segar 8 CFM per 1000 butir telur dan tekanan udara

positif 0.015 – 0.02 H2O (Cobb, 2015). Untuk temperature, biasanya menurun

jika telur sudah lama dalam mesin karena telur yang sudah tumbuh embrionya

mengaluarkan panas. Supply udara segar didapatkan dari inkubator melalui katup

inlet dan outlet mesin setter yang mengambil udara segar dan mengeluarkan udara

kotor sehingga ventilasi terarah dengan baik.

Selain suhu dan kelembaban, turning atau pemutaran telur adalah hal

terpenting yang menjadi indikator keberhasilan penetasan. Sesuai dengan

pernyataan Fadilah, dkk., (2007) bahwa keberhasilan hasil penetasan di dalam

inkubator dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, temperature, kelembaban,

sirkulasi udara, posisi dan pembalikan telur (turning), peneropongan telur

(candling), setter dan hatcher serta lama penetasan. Turning adalah cara atau

upaya penyebaran suhu secara merata kepada telur tetas hal inilah yang

menyebabkan embrio tidak menempel pada salah satu bagian sisi telur.
8

3.3 Proses Transfer

Transfer yaitu proses dimana perpindahan telur dari setter ke hatcher

dimana sebelum pindah ke hatcher telur akan dicandling untuk melihat telur fertil

dan infertil. Jika umur inkubasi pada mesin setter sudah mencapai 18 hari maka

dilakukan transfer. Proses transfer dilakukan dengan cara menarik rak telur mesin

setter untuk dipindahkan ke mesin hatcher.

Proses transfer dilakukan dengan tujuan melihat serta menseleksi telur dari

3 kriteria dimana biasanya adalah telur fertile yang akan masuk kedalam mesin

hatcher, telur infertile atau telur dingin dan telur explode atau telur yang

terkontaminasi oleh bakteri sehingga dapat meledak. Setelah proses transfer

selesai, maka telur akan dipindahkan ke dalam keranjang/basket hatcher dan

dimasukan kedalam rak atau trolley yang akan ditarik ke dalam mesin hatcher

untuk di inkubasi selama 3 hari sampai menetas.

3.4 Tatalaksana Bagian Hatcher Pada Mesin Tetas

Periode penetasan telur tetas pada mesin hatcher dilaksanakan selama 3

hari. Setelah inkubasi di mesin setter selama 18 hari dan melewati proses transfer

maka telur akan memasuki mesin hatcher. Set point mesin hatcher disetting pada

temperatur mulai dari 97,8oF atau sekitar 36,5oC dan menurun tiap telur sudah

menetas. Temperatur tersebut lebih rendah dari temperatur setter karena dalam

telur sudah ada embrio hidup yang mengeluarkan panas sendiri. Didalam Hatcher

Telur membutuhkan oksigen yang lebih banyak karena dalan proses pipping.

Kelembaban pada mesin Hatcher umur inkubasi 20 hari mengalami kenaikan

mengikuti banyak ayam yang menetas, setelah semua menetas kelembaban akan

turun dengan bertahap hingga bulu DOC kering. Hal ini sesuai dengan pendapat

Cobb (2015) yang menyatakan bahwa temperatur pada mesin hatcher lebih
9

rendah daripada mesin setter untuk mengurangi resiko pemanasan berlebih

sedangkan kelembaban yang lebih tinggi daripada mesin setter agar

mempermudah telur untuk proses pipping. Hal ini dikarenakan apabila

kelembaban tinggi akan membantu proses pipping.

Manajemen ventilasi dalam ruang hatcher dan mesin hatcher harus

dikelola dengan baik karena produksi panas dalam hatcher tinggi, untuk itu

diperlukan supply udara oksigen dari ruang hatcher. Ruang hatcher mendapatkan

udara segar dari AHU (Air Handling Unit). AHU inilah yang mengambil udara

dari luar lalu mendinginkan udara tersebut serta memasukannya ke dalam mesin

hatcher melalui katup inlet dan membuang udara kotor (CO2) melalui saluran

exhaust langsung ke luar hatchery. Kebutuhan udara segar di mesin hatcher ialah

16-20 CFM per 1000 butir telur.

Proses pada mesin hatcher selain diatas ialah hatch window. Hatch

Window adalah pengecekan persentase telur yang sudah menetas sehari sebelum

panen, dimana presentase ini menjadi acuan untuk kapan DOC dikeluarkan dari

mesin hatcher. Jarak penetasan bisa mencapai 24 – 28 jam. Semakin pendek jarak

penetasan maka semakin baik karena DOC yang telah menetas tidak menunggu

lama DOC lain yang belum menetas dalam hatcher. Jarak penetasan yang lama

bisa mengakibatkan DOC culling yaitu DOC red hock (kaki merah), DOC

dehidrasi dan small DOC (badan doc yang kecil) (Aviagen, 2011).

3.5 Penanganan Anak Ayam Setelah Menetas

Setelah umur 21 hari, biasanya telur akan menetas dan dilakukan

pemanenan yang disebut pull chick atau pull out. Pull Chick merupakan proses

pengeluaran (Pull Out) atau panen DOC dari mesin hatcher. Jika kondisi bulu

kering sudah 95% maka DOC dikeluarkan dari mesin hatcher. Sehari sebelum
10

panen, dilakukan perkirangan jam Pull Chick. Mesin hatcher yang esoknya akan

dipanen, dicek dan dilihat presentase telur yang telah menetas lalu diurutkan per

mesin hatcher agar penarikan DOC tepat waktu sehingga tidak ada DOC yang

terlalu lama dalam mesin hatcher. Timing Pull Chick yang tepat akan berkisar

504 – 506 jam. Pada kondisi ini, temperatur ruang Pull Out 22 – 24oC dan

kelembaban sebesar 60%. Menurut Sudarmono (2003), udara panas dan lembab

akan menyebabkan kekurangan cairan dan DOC mengalami panting karena

dehidrasi.

Setelah dilakukan pemanenan, biasanya DOC akan disimpan di ruangan

yang diberi ventilasi yang didapat dari fan. Tidak lama dari itu, dilakukan

pengeluaran DOC dari keranjang ke mesin konveyer yang nantinya akan

dimasukan ke dalam box DOC dengan melakukan proses grading terlebih dahulu

agar DOC sampai ke konsumen dalam keadaan baik.


11

IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Sebelum telur dimasukan ke mesin setter dilakukan penyimpanan terlebih

dahulu di cooling room dengan suhu 18-20°C dan melakukan pre-heat

dengan suhu 25-27°C

2. Proses inkubasi pada setter dilakukan dengan suhu 37,5-37,8°C dengan

kelembaban 50-55%. Pasokan udara 8 CFM/1000 butir telur dan dilakukan

turning atau pemutaran.

3. Proses transfer adalah proses pemindahan telur dari setter ke hatcher

dengan proses seleksi terlebih dahulu untuk 3 kriteria yaitu telur fertile,

infertile dan explode.

4. Proses inkubasi pada hatcher dilakukan dengan suhu 36,5°C dan dengan

kelembaban lebih tinggi daripada saat di setter dengan tujuan

memudahkan pipping.

5. Proses pull chick dilakukan setelah kondisi bulu kering 95%.


12

DAFTAR PUSTAKA

Aviagen Turkey. 2011. Measuring Egg Water Loss. www.aviagenturkey.com


(diakses 2 April 2019).
Cahyono, B. 2007. Sukses Beternak Pembibitan Ayam Buras. Pustaka Mina,
Jakarta.

COBB. 2015. Panduan Mangement Hachery. Link : https://www.cobb-


vantress.com/ (Diakses pada tanggal 2 April 2019, pukul 20.40 WIB

Fadilah, R. Polana, dan Agustin. 2007. Sukses Beternak Ayam Broiler.


Agromedia Pustaka, Jakarta.

Kartasudjana, R., 2001. Penetasan Telur. Departemen Pendidikan Nasional,


Jakarta.

Nuroso. 2010. Panen Ayam Pedaging dengan Produksi 2x Lipat. Cetakan Kedua,
Penebar Swadaya, Jakarta.

Paimin, F.B. 2011. Mesin Tetas. Penebar Swadaya, Depok.

Rasyaf, M. 2008. Panduan Betrenak Ayam Petelur. Penebar Swadaya, Depok.

Sudaryani, T. dan H. Santosa. 2003. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya,


Jakarta.

Suprijatna, Umiyati, Ruhyat., 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar


Swadaya. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai