Anda di halaman 1dari 4

Pendet

Karya: Putu Wijaya

“Ini bukan hanya masalah tari pendet. Bukan hanya masalah orang Bali. Ini harga
diri kita sebagai bangsa. Kita tersinggung! Pulau direbut, hutan dicuri, TKI disiksa
bahkan ada yang mati. Warisan budaya, tarian, bahkan masakan diklaim sebagai
milik mereka. Ini sudah melanggar hukum. Satu kali oke, kedua kali masih oke,
tapi kalau sudah berkali-kali namanya menantang. Kalau dibiarkan nanti jadi
kebiasaan. Kita bisa dianggap bangsa kelas dua yang boleh diremehkan. Tidak!
Kita harus marah! Apa mau mereka memanas-manaskan tungku yang sudah
mendidih? Mentang-mentang kaya! Sakit hati karena pernah kita ganyang? Oke
sekarang kita juga sakit hati. Dan berkali-kali! Kepala sudah beku karena coba
dididingin-dinginkan. Kita tidak tahan lagi, kita harus ganyang!”.

“Sabar!” potong Amat menghentikan latihan pidato Ami, sebagai reaksi iklan
pariwisata Malaysia yang mengklaim tari pendet sebagai bagian warisan
budayanya.

“Sabar?”

“Tenang! Kita harus menyikapi semuanya dengan bijak.”

“Bapak masih mau bijak padahal sudah habis-habisan dibajak?”

“Ya, tapi coba lihat dari segi positipnya. Itu kan hanya iklan. Katanya yang buat
bukan orang setempat tapi dibuatkan oleh apa itu namanya, Discovery Channel?”

“Siapa pun yang membuat, tapi itu kan dipakai sebagai promosi negara? Negara
mesti bertanggungjawab. Kecuali kalau negara menganggap perbuatan mengklaim
punya negara lain itu bukan kejahatan. Itu namanya negara pencuri!”

“Stttttt ! Tenang Ami. Jangan cepat darah tinggi! Coba lihat segi positipnya!”

“Dalam kriminalitas tidak ada yang positip!”

“Ada! Dengerin! Justru itu bagus. Karena turis yang dipikat untuk pergi ke sana,
lama-lama akan tahu, tari pendet itu rumahnya bukan di situ, tapi di Bali. Kalau
mau nonton pendet, jangan ke situ, tapi ke Bali. Nah, jadi itu kan iklan gratis buat
kita? Promosinya dia yang bayar, manfatnya kita yang sikat!”

Ami melotot.

“Bapak sudah kena virus kapitalisme! Apa-apa selalu diukur dari kepentingan
dagang. Persetan dengan keuntungan! Pariwisata tidak berarti kita menjual
kehormatan! Harga diri harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan!
Bangsa yang tidak punya harga diri lagi, adalah bangsa budak? Bangsa kelas
kambing! Ekonomi kita memang lagi berantakan, pamor kita juga sedang pudar,
rakyat kita miskin hanya makan tempe dan tahu, tapi tidak berarti kita akan diam
saja kalau diinjak. Sekarang baru tarian dan lagu, lama-lama kepala kita akan
diambil. Kita sudah merebut kemerdekaan dengan revolusi berdarah, bukan
dihadiahkan seperti mereka. Kita harus bertindak sebelum terlambat!!”

“Tapi tari pendet kan sudah lama kurang ditarikan lagi, Ami. Untuk menyambut
tamu, sudah ada tari-tari baru yang diciptakan. Untung ada iklan itu yang
membuat kita jadi ingat kembali tari pendet. Kita harus bisa mengambil
hikmahnya. Kalau tidak ada klaim Malaysia atas tari pendet itu, kita mungkin
lama-lama sudah lupa!”

Ami bengong,. Ia melihat bapaknya seperti melihat hantu.. Hanya matanya yang
memancarkan amarah yang sudah tidak tertahankan. Kemudian tanpa menjawab
sepatah, pun, dia langsung pergi. Sampai malam, ia belum kembali. Hanya
pesannya di atas secarik kertas muncul, diantar oleh temannya.

“Ami nginap di rumah teman!”

Bu Amat kontan melabrak suaminya.

“Ini gara-gara Bapak!”

“Gara-gara aku?”

“Ya! Bapak salah!”

“Salahku apa?”

“Bapak melarang Ami marah sama Malaysia!”

“Aku tidak melarang, tapi ..

“Tapi melarang!”

“Memang. Karena ngomongnya sudah tidak karuan. Boleh marah, tapi jangan
sampai memaki-maki begitu!”

“Kenapa tidak. Kan sudah berapa kali kita dihina. Berapa TKW yang sudah babak
belur bahkan mati. Masak diam saja. Betul, kata Ami, sekarang baru tari-tarian,
kalau kita diam saja, nanti kepala kita akan diambil!”

“Jangan melebih-lebihkan begitu. Lagipula kita kan punya tetangga yang


mantunya orang Malaysia. Kalau mereka dengar, anak kita marah-marah sama
Malaysia, bisa-bisa mantunya tersinggung.”

“Memang itu maksud Ami! Makanya dia latihan pidato keras-keras di rumah. Biar
mereka dengar hati kita panas!”

“Tapi nanti kita malah berantem dengan tetangga.”


“Biarin! Lebih baik berantem sekarang, daripada nanti kalau sudah dendamnya
makin banyak!”

“Kalau begitu namanya tidak bijaksana.”

“Ngapaian bijak, kalau kita diinjak-injak. Bijak, sopan dan santun itu ada
batasnya. Kalau tidak, sama juga dengan budak. Apa kita ini budak?”

Amat terdiam.

“Sana jemput Ami dan minta maaf!”

Karena Bu Amat begitu serius, Amat menyerah. Dengan menekan perasaan, dia
pinjam sepeda tetangga dan menjemput Ami.

“Ami, Bapak disuruh minta maaf oleh Ibu kamu dan harap pulang. Tidak baik
anak perawan sebesar kamu nginap di rumah orang.”

Ami mengangguk.

“Bapak tidap perlu minta maaf.”

“Bapak minta maaf dan pulanglah.”

“Tidak. Bapak tidak usah minta maaf. Umpama seorang presiden dalam sebuah
negara, Bapak tidak boleh cepat marah kepada negara tetangga, meskipun jelas
negara itu sudah mengekspor kejahatan ke tempat kita. Karena kalau presiden
marah, bisa terjadi perang. Tapi harus ada yang marah, untuk mencegah jangan
sampai kejahatan itu berubah menjadi kebiasaan. Itu sebabnya Ami marah.
Meskipun Ami punya banyak teman-teman di Malaysia yang akan kaget karena
Ami marah. Tapi kepentringan Ami tidak ada artinya dengan kepentingan negara.
Jadi Ami harus marah. Bapak memang sudah sepantasnya bersikap bijak, karena
tetangga kita mantunya Malaysia, jadi kita harus menghormatinya, karena kita
adalah bangsa yang santun. Kita bukan bangsa penjahat!”

Amat tertegun.

“Jadi kamu mengerti, mengapa Bapak bersikap bijak?”

“Mengerti sekali. Bapak tidak boleh ikut marah. Nanti kita bisa berkelahi dengan
tetangga. Cukup Ami saja yang marah! Ini masalah strategi!”

Amat manggut-manggut.

“Bagus. Kalau begitu kamu dewasa Ami. Bapak bangga sekali. Sekarang mari
kita pulang.”

“Tidak.”
“Kenapa?”

“Karena Ami marah. Kalau Ami pulang, mantu tetangga kita, orang Malaysia itu
akan tidak percaya bahwa kelakuan negaranya sudah membuat harga diri bangsa
kita tersimnggung. Ini bukan hanya masalah tari pendet, bukan hanya masalah
orang Bali, tapi harga diri bangsa Indonesia!”

“Tapi bagaimana kalau dia tidak peduli?”

“Itu dia! Memang mereka tidak pernah peduli! Mereka selalu menganggap
persoalan kita adalah persoalan sepele. Itulah yang membuat Ami darah
tinggi!”kata Ami sambil menutup pintu keras-keras.

Anda mungkin juga menyukai