PENDAHULUAN
Campak biasanya ditandai dengan demam tinggi (>400C) pada awal proses
infeksi. Malaise, turunnya nafsu makan, mata merah, hidung berair, dan batuk
terkadang menyertai demam yang dialami. Gejala khas sering disebut 3C : coryza
(hidung berair), conjunctivitis (mata merah), dan cough(batuk). Selain itu, terdapat
tanda khas yang disebut kopliks spots (bercak putih-kebiruan khas pada mulut, nampak
seperti butiran pasir) muncul pada hari ke 2 – 3 setelah ruam muncul, atau terkadang
pada hari 3 – 5. Gejala komplikasi dapat muncul apabila tidak dilakukan tatalaksana,
meliputi diare, otitis, pneumonia, trombositopenia, dan ensefalitis.3,4
Penularan campak terjadi melalui 2 jalur utama, yaitu penularan melalui droplet
yang ada di udara (dapat bertahan hingga 2 jam), serta melalui kontak langsung dengan
cairan sekresi hidung tenggorok individu terinfeksi. Virus campak memerlukan waktu
sekitar 10 hari masa inkubasi. Pada individu yang terinfeksi, infeksi dapat terjadi
bahkan beberapa hari sebelum adanya gejala. Penyakit ini sangat berpotensi menjadi
wabah apabila cakupan imunisasi rendah dan kekebalan kelompok/herd immunity tidak
terbentuk. Apabila seseorang terkena campak, 90% orang yang berinteraksi erat
dengan penderita dapat tertular jika mereka belum kebal terhadap campak.8,9
1
Usaha berbagai pihak untuk menangani penyakit campak sudah berlansung
cukup lama. Imunisasi campak menjadi program wajib di berbagai negara. WHO telah
membuat target agar campak tereliminasi/tereradikasi dari 5 wilayah WHO pada tahun
2020. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menggalakkan imunisasi campak
(yang sejak tahun 2017 di Indonesia telah dikombinasi menjadi vaksin MR (measles –
rubella). Imunisasi ini bertujuan untuk membentuk kekebalan tubuh, dan juga herd
immunity yang dapat dicapai apabila cakupan imunisasi mencapai >96%10. Program
imunisasi ini membantu menurunkan angka kejadian campak dunia dari 4.211.431
kasus pada tahun 1980 menjadi 55.719 kasus pada tahun 2014 di seluruh dunia.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
B. EPIDEMIOLOGI
3
Kegiatan surveilans yang dilakukan setiap tahun melaporkan lebih dari 11.000
kasus suspect Campak. Hasil konfirmasi laboratorium terhadap kasus tersebut,
diketahui bahwa 12 – 39% di antaranya adalah Campak pasti (confirmed). Dalam
kurun waktu tahun 2010-2015, diperkirakan terdapat 23.164 kasus Campak dan
30.463 kasus Rubella. Jumlah kasus ini diperkirakan masih rendah dibanding angka
sebenarnya di lapangan, mengingat masih banyaknya kasus yang tidak terlaporkan,
terutama dari pelayanan swasta serta kelengkapan laporan surveilans yang masih
rendah. Jumlah kasus Campak yang dilaporkan dapat dibandingkan antara satu
wilayah dengan wilayah lainnya dengan menggunakan Incidence Rate. Incidence Rate
Campak diperoleh dengan membagi jumlah kasus Campak dengan jumlah penduduk
di wilayah tertentu lalu dikalikan dengan konstanta 100.000. Incidence rate Campak
menggambarkan rate penderita Campak di tiap 100.000 penduduk.19
Incidence Rate Campak per 100.000 penduduk di Indonesia pada tahun 2011-
2017 menunjukkan kecenderungan penurunan, dari 9,2 menjadi 5,6 per 100.000
penduduk. Namun demikian, Incidence rate cenderung naik dari tahun 2015 sampai
dengan 2017, yaitu dari 3,2 menjadi 5,6 per 100.000 penduduk. Kasus Campak dalam
tiga tahun terakhir juga menunjukkan peningkatan dibeberapa provinsi. Namun ada
juga beberapa provinsi yang mengalami penurunan.19
4
Gambar 2. Distribusi kasus campak tahun 2015-2017.19
5
Gambar 3. Jumlah kasus campak menurut bulan tahun 2015-2017. 19
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa kasus Campak tidak tergantung
musim. Pola yang dapat diidentifikasi adalah jika terjadi peningkatan kasus, maka
akan diiringi dengan peningkatan kasus pada KLB. 19
KLB Campak dalam tiga tahun terakhir hampir di setiap provinsi dengan
jumlah provinsi melaporkan KLB meningkat dari 27 provinsi tahun 2015 menjadi 30
provinsi tahun 2017. Peningkatan ini di antaranya disebabkan perbaikan kewaspadaan
dini terhadap kasus Campak, yaitu petugas lebih cepat menangkap adanya
peningkatan kasus. Kecepatan dalam mendeteksi kasus ditindaklanjuti dengan upaya
penanggulangan, antara lain melalui kampanye Campak Rubella (MR) pada bulan
Agustus dan September tahun 2017 yang sangat signifikan mempengaruhi terjadinya
penurunan KLB.19
6
Gambar 4. Sebaran kasus dan frekuensi KLB campak tahun 2015-2017. 19
Dalam kurun waktu 2015-2017 juga terjadi KLB Rubella di beberapa provinsi
di Indonesia. KLB Rubella pada tahun 2017 dilaporkan di 19 provinsi dengan
frekuensi sebanyak 79 kali.19
Pada gambar terlihat distribusi atau sebaran KLB Rubella dalam 3 tahun
terakhir terlihat tahun 2017 merupakan sebaran KLB Rubella tertinggi dibandingkan
tahun 2015 dan 2016.19
7
C. ETIOLOGI
D. FAKTOR RESIKO
1. Usia saat imunisasi campak. Usia 9 hingga 11 bulan saat dilakukan imunisasi
campak merupakan faktor protektif terhadap kejadian campak. Sedangkan umur
12 dan lebih dari 12 bulan saat pemberian imunisasi campak merupakan faktor
risiko terhadap kejadian campak.23
2. Anak tidak pernah menerima vaksinasi.24
3. Tinggal dirumah yang tidak sehat.24
4. Rendahnya pengetahuan ibu.24
5. Riwayat berkunjung kerumah sakit atau kontak dengan penderita campak.25,26
6. Anak berusia kurang dari 24 bulan.27
7. Anak memiliki riwayat vaksinasi MMR yang tidak lengkap.27
8. Riwayat berpergian ke negara dengan wabah campak.27
9. Malnutrisi.28
8
E. PATOFISIOLOGI
9
Gambar 7. Respon imun yang terjadi pada pejamu setelah terinfeksi virus campak.29
10
Gambar 8. a. Skema perjalanan replikasi virus campak pada tubuh pejabu;
b. Manifestasi klinis yang nampak.29
Gejala klinis yang timbul pada pejamu setelah terinfeksi virus campak dapat
berupa koplik spot, demam, dan ruam kemerahan.29 Masa inkubasi campak adalah 7 –
14 hari. Setelah itu akan muncul koplik spot dan dilanjutkan dengan ruam kemerahan
sekitar 3 – 5 hari setelah terinfeksi (atau 2 – 3 hari setelah muncul koplik spot). Ruam
dimulai dari bagian wajah sampai menyebar ke bagian badan lalu ekstremitas.30
F. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi campak berkisar 10 hari (8-12 hari).7 Gejala klinis terjadi
setelah masa inkubasi, terdiri dari tiga stadium. Yaitu stadium prodromal, stadium
eksantem dan stadium penyembuhan.21
Stadium prodromal: berlangsung kirakira 3 hari (kisaran 2-4 hari), ditandai
dengan demam yang dapat mencapai 39,50 C ± 1,10 C. Selain demam, dapat timbul
gejala berupa malaise, coryza (peradangan akut membran mukosa rongga hidung),
konjungtivitis (mata merah), dan batuk. Gejala-gejala saluran pernapasan menyerupai
gejala infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus-virus lain.
Konjungtivitis dapat disertai mata berair dan sensitif terhadap cahaya (fotofobia).
Tanda patognomonik berupa enantema mukosa buccal yang disebut Koplik spots
yang muncul pada hari ke-2 atau ke-3 demam. Bercak ini berbentuk tidak teratur dan
kecil berwarna merah terang, di tengahnya didapatkan noda putih keabuan.
Timbulnya bercak Koplik ini hanya sebentar, kurang lebih 12 jam, sehingga sukar
terdeteksi dan biasanya luput saat pemeriksaan klinis.21
11
Gambar 9. Koplik’s Spot.5
12
Gambar 11. Ruam maculopapular pada campak, menyebar dari wajah menuju
badan dan ekstremitas.1
G. DIAGNOSIS BANDING
13
anak. Virus RNA masuk melalui traktus respiratorius, kemudian memasuki badan sel
inklusi intrasitoplasma pada epitel bronkial dan beberapa sel lain dalam tubuh.31
Terdapat tiga proses pada kawasaki disease yaitu fase necrotizing arteritis,
yaitu proses neutrofilik selama 2 minggu setelah onset demam. Pada fase ini, terjadi
proses penghancuran dinding arteri hingga ke tunika adventisia, hingga menyebabkan
anuerisma. Fase ini merupakan satu-satunya proses self-limited pada Kawasaki
disease. Fase kedua adalah vaskulitis subakut/kronik, yang ditandai dengan infiltrasi
tidak sinkron dari limfosit, sel plasma dan eosinophil dengan sedikit makrofag yang
mulai sejak 2 minggu setelah onset demam namun dapat berlangsung hingga hitungan
bulan sampai tahunan pada sebagian kecil pasien dan sangat berhubungan dengan fase
ketiga. Fase ketiga adalah proliferasi miofibroblastik luminal, ditandai dengan proses
miofibriblastik pada serivat sel otot polos yang dimulai sejak 2 minggu pertama dan
berlangsung hingga bulan sampai tahunan, dengan potensial terjadinya stenosis
arterial. 31
Gejala klinis yang muncul pada kawasaki disease adalah demam remiten lebih
dari 39°C, hingga mencapai 40°C yang berlangsung selama 1 hingga 3 minggu,
kemerahan hingga deskuamasi pada telapak tangan dan kaki (pada fase subakut),
indurasi yang terasa nyeri pada tangan atau kaki (pada fase akut), Beau’s line (1-2
bulan setelah onset demam), ruam kemerahan yang muncul pada hari kelima sejak
onset demam dimana ruam ini lebih ditandai dengan erupsi maculopapular yang
bersifat menyeluruh, konjuntivitis bilateral non-eksudat, eritem dan papilla
fungiformis yang prominen (strawberry tounge), limfadenopati servikalis. Selain itu,
didapatkan juga inflamasi pada arteri berukuran sedang dan inflamasi pada beberapa
organ saat fase febris akut, sehingga berhubungan dengan temuan klinis pada hepar
(hepatitis), paru-paru (pneumonia interstitial), traktus gastrointestinal (nyeri perut,
muntah, diare, hidrops kantong empedu), meninges (meningitis aseptic, iritabilitas),
jantung (miokarditis, perikarditis, valvulitis), traktus urinaria (pyuria), pankreas
(pankreatitis) dan kelenjar getah bening (limfadenopati).31
14
Gambar 12. Manifestasi klinis pada Kawasaki disease; a. Ruam: maculopapular,
eritroderma diffuse atau eritema multiforme-like b. Konjungtivitis c. Bibir kering,
strawberry tounge, ertitem pada oral dan mukosa faring d. eritema pada telapak
tangan e. eritema pada telapak kaki f. limfadenopati servikalis.31
Tatalaksana pada pasien Kawasaki disease dibagi menjadi dua, yaitu terapi
utama dan terapi adjuvant. Untuk terapi utama, dapat diberikan immunoglobulin
intravena (IVIG) 2g/kgBB untuk satu kali infus pada fase akut untuk mencegah
abnormalitas arteri. Selain IVIG dapat juga diberikan asam asetilsalisilat, yaitu agen
anti-inflamasi dan anti-platelet dengan total dosis 80-100mg/kgBB/hari yang
kemudian dibagi menjadi 4 dosis atau setiap 6 jam. Namun pemberian asam
asetilsalisilat pada pasien Kawasaki disease dapat meningkatkan resiko terjadinya
15
reye syndrome pada anak bila terjadi penggunaan asam asetilsalisilat yang memanjang
dengan dosis tinggi.31
Untuk terapi adjuvant, obat-obatan yang dipake adalah kortikosteroid
(metilprednisolon 30mg/kgbb dalam 1 kali pemberian bersamaan dengan IVIG;
prednisolone 2mg/kgbb/hari bersamaan dengan IVIG), infliximab, etanercept dosis
0,8 mg/kgBB/dosis bersamaan dengan IVIG). Untuk pemilihan obat alternative lain
dapat diberikan siklosporin dosis 3mg/kgBB/hari IV dibagi menjadi 2 dosis,
siklofosfamid (agen sitotoksik) dosis 2mg/kgBB/hari IV, dan pertukaran plasma
namun hanya diberikan pada pasien yang gagal dengan terapi medis lain.31
2. Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan visur flaviviridae
dan ditularkan melalui gigitan nyamuk (arthropod borne virus/arbovirus) oleh
nyamuk Aedes aegepty dan Aedes albopictus.32 Virus ini memiliki empat serotipe
yaitu Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4 dimana keempat serotipe ini ditemukan di
berbagai wilayah Indonesia.33
Nyamuk membawa virus dengue saat menggit manusia sebagai host. Virus
kemudian berpindah ke peredaran darah manusia, kemudian dimulai masa inkubasi
yaitu 3-14 hari untuk masa replikasi virus di dalam sel dendritik. Infeksi virus dengue
cenderung lebih asimptomatik pada anak berusia kurang dari 15 tahun, atau hanya
terdapat demam ringan yang berlangsung selama 5-7 hari. Dengue yang berat seperti
demam berdarah dengue atau dengue shock syndrome terjadi pada hari ketiga hingga
ketujuh. Fase penyembuhan dari demam dengue adalah pada hari ke-7 dan ke-10.
Demam dengue dapat terbagi menjadi beberapa fase yaitu demam dengue, demam
berdarah dengue dan dengue shock syndrome.34
Demam dengue ditandai dengan demam pada hari ketigadan menetap 5 hingga
7 hari. Demam dapat mencapai 41°C, leukopenia, trombositopeni, dan sepertiganya
dapat mengalami gejala hemoragik ringan seperi peteki, perdarahan gusi dan tes
tourniquet yang positif.34
Pada demam berdarah dengue adalah lanjutan dari demam dengue, dimana
demam berlangsung 2 hingga 7 hari, namun disertai dengan penurunan suhu hingga
mencapai normal atau lebih dikenal dengan kurva bifasik atau saddleback fever curve.
Saat demam berada pada kurva bifasik, pasien dengan demam berdarah dengue
memiliki trombositopeni yang progresif, muncul ruam bersifat diffuse, leukopeni,
limfadenopati, peningkatan hematokrit (meningkat 20% dari angka rujukan) dan kadar
16
albumin yang rendah (tanda hemokonsentrasi menuju syok), manifestasi perdarahan
yang lebih berat dan efusi yang progresif (efusi pleura atau perioneal). Limfositosis
dapat muncul sebelum onset syok, angka transaminerase dapat meningkat dan bisa
terjadi hepatomegali pada pasien. Titik kritis pada demam berdarah dengue adalah
adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
berlanjut menjadi dengue shock syndrome.34,35
Jika demam berdarah dengue tidak cepat tertangani, maka pasien dapat jatuh
kepada fase dengue shock syndrome dimana terdapat progesifitas penyakit dan
menyebabkan kegagalan sirkulasi, hipotensi,hipotermi, nyeri perut, muntah, dan
perbedaan tekanan darah yang sempit (<20 mmHg). Jika tidak ditangai dengan segera
maka pasien dapat meninggal dunia.34
Demam dengue adalah penyakit yang dapat resolusi dengan sendirinya. namun
jika demam dengue sudah berprogresif menjadi demam berdarah dengue bahkan
dengue shock syndrome maka harus segera diberi penanganan. Penanganan dapat
berupa penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran plasma, analgesik jika
perlu dan bed rest. Asetaminofen dapat digunakan untuk menurunkan demam. Jika
terdapat manifestasi perdarahan maka ditangai dengan manajemen proaktif. 34
17
3. Sifilis
Sifilis adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Treponema
pallidum. Karena manifestasi klinis dari sifilis yang dapat menyerupai infeksi lain,
sifilis disebut juga sebagai The Great Imitator and The Freat Mimicker. Sifilis dapat
terbagi menjadi tiga fase, yaitu sifilis primer, sifilis sekunder dan sifilis tersier.37
Fase pertama adalah sifilis primer atau sifilis aktif. Fase ini ditandai oleh ulkus
soliter atau dapat juga multiplel lesi pada genital atau bagian tubuh lain yang terlibat
dalam kontak seksual, juga terdapat limfadenopati regional 3 minggu setelah infeksi.
Ulkus yang muncul tidak terasa nyeri dan dapat resolusi secara spontan. Resolusi dari
lesi primer ini diikuti dengan manifestasi sekunder pada 6-8 minggu kemudian.37
Sifilis sekunder ditandai dengan demam, nyeri kepala dan ruam maculopapular
pada dada, bahu, lengan, punggung dan seringkali pada telapak tangan dan kaki.
Setelah fase sekunder, pasien akan mengalami fase laten hingga bertahun-tahun. Jika
tidak diobati, pasien sifilis akan berlanjut ke fase ketiga yaitu fase sifilis tersier.37
Pada sifilis tersier, dapat terjadi gangguan neurologi atau gangguan pada
jantung, juga terdapat manifestasi pada kulit seperti lesi visceral (gumma). Jika infeksi
ini sudah mengenai jantung maka infeksi dapat menyerang arkus aorta dan berlanjut
hingga terjadi aneurisma dilatasi, yang terjadi 10-30 tahun sejak infeksi pertama.37
18
Gambar 14. Manifestasi klinis dari sifilis primer, sekunder dan sifilis kongenital;
a. ulkus primer b. ulkus primer dengan ruam pada sifilis sekunder c. sifilis sekunder
pada wanita hamil dengan ruam di telapak tangan d. Ruam di telapak tangan pada
sifilis sekunder e. Bayi usia 3 bulan dengan sifilis kon genital f. Deskuamasi palmar
khas pada bayi dengan sifilis kongenital. 37
19
satu kali sehari selama 10-15 hari atau penisilin prokain intramuscular satu kali sehari
selama 10-15 hari. 37
4. Systemmic Lupus Erythematous (SLE)
Systemmic Lupus Erythematous (SLE) adalah penyakit autoimun yang
diturunkan secara heterogen yang dapat mengenai berbagai organ berbeda. Diagnosis
SLE ditentukan dari manifestasi klinis pada kulit, sendi, ginjal dan system saraf pusat,
dapat juga berdasarkan pemeriksaan paramtere serological seperti anibodi antinuclear.
Gejala klinis muncul bertahap tergantung dari stadium penyakitnya. Gejala yang
didapatkan pada SLE adalah adanya demam, rasa lelah, nyeri sendi arthritis pada
sendi besar dan kecil, deformasi sendi (Jaccoud arthropati), lupus nefritis, proteinuria,
kerusakan kardiovaskular (Libman-Sacks endocarditis) dan ruam pada kulit.38
Ruam pada kulit ini dibagi berdasarkan ruam spesifik LE dan ruam non
spesifik LE. Ruam spesifik LE yang sering didapatkan adalah ruam perkutaneus yang
berbentuk seperti kupu-kupu (butterfly rash) atau bisa juga didapatkan ruam
maculopapular di seluruh tubuh. Discoid lupus erythematous merupakan tanda dari
fase kronik, ditandai oleh plak eritem yang inflamasi dengan hyperkeratosis folikular
dan scarring yang kemudian berlanjut menjadi alopecia yang irreversible. Untuk ruam
non-spesifik LE ditandai dengan lesi kulit vascular seperti teleangiektasis periungual,
livedo racemose, Raynaud syndrome). Pada subacute cutaneous lupus erythematous
terdapat lesi simetris, annular, polisiklik dan atau lesi kulit papuloskuamois atau
psoriasiform tanpa scrring pada area yang terkena cahaya matahari seperti punggung,
dada dan permukaan ekstensor lengan atas.38
20
Gambar 15. a. Discoid Lupus Erythematous pada pipi kanan dan telinga b. Discoid
Lupus Erythematous pada kulit kepala berkonfluens c. Subacute Cutaneous Lupus
Erythematous pada punggung dan permukaan ekstensor lengan atas. d. Deformasi
pada sendi tanpa erosi secara radiologi (Jaccoud arthropathy).38
Tatalaksana pada SLE dapat menggunakan terapi lini pertama dan terapi
adjuvant. Untuk terapi lini pertama digunakan hydroxychloroquine atau klorokuin
dengan dosis 6-6,5 mg/kgBB/hari, AINS jika terdapat indikasi dana tau
glukokortikoid. Jika tidak terdapat respon dari glukokortikoid maka diberikan
azathioprine 2-3mg/kgBB.hari atau metroteksat 15-20 mg/minggu atau mofetil
mikofenolat 2gr/hari. Terapi adjuvant yang digunakan adalah Belimumab dengan
dosis 10mg/kgBB untuk dosis inisial kemudian setelah 14 hari dan setiap 4 minggu.38
5. Erupsi Obat
Erupsi obat merupakan efek samping dari penggunaan obat tertentu dan dapat
terjadi dari erupsi ringan hingga berat bahkan kematian. Erupsi obat terjadi karena
adanya peningkatan reaksi simpang obat (adverse drug reaction). Fixed drug eruption
(FDE) merupakan salah satu bentuk dari erupsi obat dan yang paling banyak terjadi
(63%) pada bayi dan anak.39
FDE ditandai dengan makula hiperpigmentasi dengan batas yang jelas,
berbentuk oval, soliter atau multupel, berwarna merah sampai coklat, dan dapat
21
terbentuk bula diatasnya, terletak di tempat yang sama bila meminum obat yang sama.
Saat muncul lesi, pada kulit didapatkan sensasi terbakar. Obat-obatan yang sering
menyebabkan DFE adalah phenolphthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin,
pyrazolone dan AINS.39
6. Erythema Infectiosum
Erythema Infectiosum adalah penyakit yang disebabkan oleh Parvovirus B19.
Erythema Infectiosum memiliki masa inkubasi selama 4-14 hari. Erythema
Infectiosum merupakan infeksi yang ditandai dengan demam ringan, malaise, sakit
tenggorokan, sakit kepala, coryza, nyeri perut, arthralgia, pruritus, mual dan ruam
pada muka yang disebut slapped cheek pada beberapa hari setelah onset demam.
Penyakit ini terdiri dari beberapa stadium.42,43
Pada stadium pertama, ruam muncul dengan gambaran slapped cheek
appearance yaitu ruam yang muncul hanya pada kedua pipi dan ditandai oleh sparing
pada nasal, perioral dan periorbital. Ruam tampak seperti luka bakar oleh sinar
matahari, tampak edem dan dapat menghilang dalam 2-4 hari.43
22
Gambar 17. Slapped cheeks pada erythema infectiosum.43
Pada stadium kedua, sekitar 1 hingga 4 hari setelah slapped cheek beresolusi
muncul ruam eritem maculopapular dengan pola retikular, lebih banyak terdapat pada
ekstremitas dan dada. Ruam tidak terasa gatal. Setelah 1 hingga 6 minggu, ruam
beresolusi namun dapat muncul kembali jika terdapat paparan sinar matahari, panas
atau stress.42,43
23
Pada stadium ketiga ruam terasa gatal terutama pada orang dewasa, dapat
hilang tumbul selama berminggu-minggu dengan faktor pencetus olahraga, iritasi,
stress, terpapar sinar matahari atau panas. Pada stadium ketiga pasien tidak dalam
masa infeksius ketika ruam muncul. 43
Tatalaksana pada Erythema Infectiosumadalah AINS untuk mengatasi demam,
malaise, nyeri kepala dan arthralgia serta antihistamin untuk pruritus. Terapi cairan,
oksigen dan tranfusi darah penting untuk fase akut krisis aplastic. Intravenous
immunoglobulin (IVIG) berguna untuk pasien immunicompromised dengan anemia
kronik. 42,43
7. Rubella
Rubella disebabkan virus rubella yang cenderung asimptomatik, manifestasi
klinis dan keparahan penyakit bervariasi berdasarkan usia. Komplikasi mayor dari
rubella adalah efek teratogenik yang didapat oleh wanita hamil, terutama pada usia
kehamilan awal yang dapat berlanjut menjadi sindrom rubella kongenital. Sindrom ini
terdiri dari tiga trias yaitu katarak kongenital, sensorineural hearing loss dan penyakit
jantung bawaan.44
Rubella ditularkan melalui droplet. Masa inkubasinya adalah 14-21 hari. gejala
prodromal jarang terlihat pada anak-anak dan lebih sering menyerang orang dewasa.
Gejala yang timbul adalah konjungtivitis, nyeri tenggorok, nyeri kepala, demam
ringan, anoreksia, mual, limfadenipati, dan forchheimer sign (muncul pada fase
prodromal aitu petechie berukurang besar pada palatum mole). Kemudian muncul
ruam 1 hingga 5 hari kemudian. Ruam berupa maculopapular diskret dengan ukuran
1-4 mm. Ruam muncul dari wajah dan leher lalu menyebar secara sentrifugal ke dada
dan ekstremitas dalam 24 jam. Ruam mulai menghilang dari wajah pada hari kedua
dan resolusi sempura pada akhir hari ketiga. 44
24
Gambar 19. Ruam pada rubella.44
Tidak ada tatalaksana pada rubella tanpa komplikasi. Namun jika rubella
dengan komplikasi maka dapat diberikan obat-obatan. Untuk pasien dengan ensefalitis
diberikan terapi cairan dan elektrolit serta terapi supportif; pasien dengan
trombositopeni cenderung self-limited; pasien dengan arthritis berat dapat diberikan
AINS.44
8. Roseola Infantum
Roseola infantum adalah penyakit yang disebabkan oleh Human Herpesvirus 6
dan menyerang anak usia kurang dari 3 tahun. Roseola infantum adalah penyakit yang
dapat resolusi secara spontan tanpa pengobatan. Pada umumnya, roseola infantum
bersifat laten pada pasien imunokompeten, namun dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas pada pasien imunokompromise.41,45
Gejala yang dialami oleh anak adalah onset demam tinggi yang berlangsung
hingga 5 hari, batuk, rinorea dan diare ringan. Setelah demam turun, muncul ruam
macula hingga maculopapular eritem yang menyebar mulai dari dada lalu ke seluruh
tubuh. Selain itu dapat juga muncul lesi karakteristik Nagayama spots yaitu papul
eritem pada mukosa palatum mole dan basis uvula yang muncul pada hari keempat
pada 75% pasien roseola.41,45
25
Gambar 20. Ruam roseola infantum. 45
26
Gejala klinis yang ditimbulkan scarlet fever adalah white strawberry tounge
yang kemudian menjadi red strawberry tonge setelah deskuamasi, demam, nyeri
tenggorokan 1 hingga 2 hari sebelum ruam muncul pada bagian atas dada kemudian
menyebar ke seluruh tubuh, menimbulkan bentukan circucmoral pallor pada telapak
tangan dan kaki. Ruam yang terbentuk berupa konfluens, eritematous, blanching,
macula, menyerupai sunburn dan sandpaper-like papules. Pada lipatan tubuh seperti
aksila dan fossa antecubiti terdapat erupsi eritematous dan nonblanching linear (Pasta
lines). 41
Tatalaksana dari scarlet fever adalah penisilin. Untuk pasien dengan alergi
penisilin dan sefalosporin dapat diberikan golongan makrolid seperti eritromisin,
azitromisin atau klindamisin. 41
H. TATALAKSANA
Sampai saat ini tidak terdapat antivirus khusus untuk virus campak.
Komplikasi berat akibat campak dapat dicegah melalui tindakan suportif dengan
memastikan asupan nutrisi dan cairan adekuat, mengatasi dehidrasi bila terjadi.
Antibiotik hanya diberikan bila dicurigai terdapat infeksi bakterial sekunder, atau
terdapat penyulit seperti radang telinga tengah, infeksi mata dan pneumonia.46
27
untuk pengobatan campak dan dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Campak
akut memicu kekurangan vitamin A dengan menipiskan simpanan vitamin A. World
Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian dosis vitamin A 200.000
IU sekali sehari selama 2 hari berturut-turut untuk semua anak usia 12 bulan atau
lebih yang menderita campak, sementara dosis yang lebih rendah diberikan untuk
anak yang lebih muda.27
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus adalah viral pneumonitis,
otitis media, dan diare.47,48 Infeksi campak sering menyebabkan turunnya respon
system imun pada beberapa minggu di awal infeksi, yang meningkatkan risiko
terjadinya infeksi sekunder bakteri dan virus. Trakeobronkhitis (‘measles croup’) dan
pneumonia adalah komplikasi campak yang paling sering terjadi akibat infeksi
sekunder bakteri. Ensefalitis adalah komplikasi yang lebih jarang terjadi, insidensinya
sekitar 0.05% sampai 0.1% dari seluruh kasus campak.47
28
Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE) adalah komplikasi yang paling jarang
sekaligus paling berat, insidensinya sekitar 0.01% kasus. SSPE muncul beberapa
tahun setelah terjadinya infeksi campak dengan gejala neuro-kognitif progresif yang
paling sering memicu terjadinya koma dan kematian. Risiko terjadinya SSPE
meningkat pada anak yang terserang campak pada usia kurang dari 1 tahun.47
Pasien imunokompromais (pasien yang melakukan transplantasi sumsum tulang
belakang, pasien dengan primary T-cell dysfunction, pasien AIDS, dan pasien acute
lymphoblastic leukemia (ALL)) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya
campak berat dan memanjang. Risiko terjadinya campak berat juga terjadi pada
pasien imunosupresi, seperti pasien dengan keganasan dan pasien yang mengonsumsi
steroid dosis tinggi.47
Sistem organ Komplikasi
Respiratori Otitis media, mastoiditis, croup (laryngotracheobronchitis),
tracheitis, pneumonia,pneumothorax, mediastinal
emphysema
Neurologi Kejang demam, encephalitis, post infeksi encephalitis,
inclusion body encephalitis pada penderita
imunokompromais, subacute sclerosing panencephalitis
(SSPE), Guillain-Barre’syndrome, Reye’s
syndrome,transverse myelitis
Gastrointestinal Diare (enteritis), mesenteric adenitis, appendisitis, hepatitis,
pankreatitis, stomatitis, noma (cancrum oris)
Oftamologi Keratitis, ulkus kornea, perforasi kornea, oklusi vena
sentralis, kebutaan
Hematologi Purpura trombositopenia, disseminated intravascular
coagulation (DIC)
Kardiovaskular Myocarditis, pericarditis
Dermatologi Severe desquamation, sellulitis
Lain-lain Hipokalsemia, myositis, nefritis, gagal ginjal, malnutrisi,
kematian
Tabel 1. Komplikasi campak pada sistem organ49,50,51
29
J. PROGNOSIS
Prognosis baik apabila pada anak dengan keadaan umum yang baik, tetapi
menjadi buruk pada anak dengan keadaan menderita penyakit kronis atau bila ada
komplikasi.49
K. PENCEGAHAN
Penyakit Campak dan Rubella tidak dapat diobati. Pengobatan yang diberikan
kepada penderita hanya bersifat supportif. Tetapi kedua penyakit ini bisa dicegah
dengan imunisasi. Sebuah penelitian cohort retrospektif menyimpulkan bahwa anak
yang tidak divaksin 35 kali lebih berisiko terkena campak dibandingkan anak-anak
yang memperoleh vaksin (relative risk, 35; 95 % confidence interval [CI], 34 to
37).51Penelitian lain mengafirmasi bahwa daerah yang menolak adanya vaksin, 2–22
kali lipat meningkatkan risiko terjadinya outbreak.50
Selama ini Indonesia memberikan imunisasi Campak sebagai salah satu
program imunisasi nasional. Mengingat besarnya perkiraan beban penyakit Rubella
dan tersedianya vaksin kombinasi Measles-Rubella (MR), maka diputuskan untuk
mengganti vaksin Measles dengan vaksin kombinasi Measles-Rubella, yang dimulai
dengan kegiatan imunisasi massal MR.52
30
menjadi sumber penularan. Cakupan yang tinggi dan merata minimal 95% akan
membentuk herd immunity dan memutus rantai penularan penyakit campak dan
rubella.52 Pemberian vaksinasi dapat menurunkan angka kematian melalui penurunan
jumlah komplikasi yang terjadi. 49,50
31
sampai dengan September 2017. Kampanye imunisasi tersebut bertujuan untuk untuk
memberikan kekebalan tambahan terhadap campak dan rubela sehingga dapat
mengurangi kasus dan kejadian KLB campak. Hal ini dibuktikan adanya penurunan
kasus dan tidak adanya laporan KLB Campak pada bulan Oktober 2017 sampai
dengan Maret 2018 di wilayah pelaksanaan imunisasi. Kampanye MR pada bulan
Agustus dan September tahun 2017 sangat signifikan terhadap terjadinya penurunan
KLB. Cakupan imunisasi campak secara nasional sebesar 87,80%, namun hasil yang
cukup baik ini terutama di Pulau Jawa.53
Untuk membentuk imunitas kelompok (herd immunity) yang dapat memutus
transmisi virus campak tidak dapat dicapai dengan pemberian dosis tunggal. Vaksin
campak dosis kedua diberikan untuk memberi kekebalan pada anak-anak yang gagal
berespon pada dosis pertama.51,52 WHO merekomendasikan vaksin dosis pertama
diberikan pada usia 12 bulan (9 bulan di negara dengan tingkat transmisi campak
yang tinggi) dan dosis kedua diberikan pada usia 15 sampai 18 bulan.54
Vaksin MMR dosis tunggal 95% efektif mencegah campak dan 92% efektif
mencegah transmisi campak dalam kontak rumah tangga. Jika vaksin diberikan pada
usia 9 bulan, 85% imunitas anak-anak akan terbentuk. Jika vaksin diberikan pada usia
12 bulan atau lebih, 95% imunitas anak-anak akan terbentuk. Jika dosis kedua
diberikan, lebih dari 99% imunitas akan terbentuk.54
32
Gambar 24. Efek Samping Vaksin MMR dan Kontraindikasi54,55
33
Gambar 25. Perbandingan Efek Samping MMR dan Komplikasi Campak54
Tingkat pendidikan maternal yang rendah, tingkat kemiskinan yang tinggi, dan
akses ke pelayanan antenatal yang masih kurang masih menjadi penyebab utama tidak
tercapainya target imunisasi di beberapa daerah di Indonesia. Untuk itu, diperlukan
peran aktif dari kebijakan pemerintah untuk memperbaiki akses kesehatan dan
meningkatkan jumlah tenaga kesehatan terutama di daerah terpencil.56
34
BAB III
PENUTUP
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Leung A, Hon K, Leong K dan Sergi C. Measles: a disease often forgotten but
not gone. Hong Kong Med J. 2018;24(5):512-520.
2. Brieger D, Edwards M, Mudgil P dan Whitehall J. Knowledge, attitudes and
opinions towards measles and the MMR vaccine across two NSW
cohorts. Australian and New Z J Pub Health. 2017;41(6):641-646.
3. Naim HY. Measles virus. Human Vaccines & Immunotherapeutics.
2015;11(1):21-26.
4. Gastañaduy P et al. A Measles Outbreak in an Underimmunized Amish
Community in Ohio. New England J of Med. 2016;375(14):1343-1354.
5. Lindberg C, Lanzi M, Lindberg K. Measles: still a significant health threat.
MCN Am J Matern Child Nurs. 2015;40:298- 305.
6. Gadler T, Martinez N, Ogg-Gress J. Recognizing measles, mumps, and rubella
in the emergency department. Adv Emerg Nurs J 2018;40:110-8.
7. Sood SB, Suthar K, Martin K, Mather K. Vaccine-associated measles in an
immunocompetent child. Clin Case Rep. 2017;5:1765-7.
8. Odei M. Measles is in the news yet again. J Family Med and Primary Care.
2018;7(6):1166.
9. Bowes J. Measles, misinformation, and risk: personal belief exemptions and
the MMR vaccine. Journal of Law and the Biosciences. 2016;3(3):718-725.
10. Majumder M S, Cohn EL, Mekaru SR, Huston JE dan Brownstein
JS. Substandard Vaccination Compliance and the 2015 Measles Outbreak.
JAMA Pediatrics. 2015;169(5), 494.
11. Yang YT, Barraza L dan Weidenaar K. Measles Outbreak as a Catalyst for
Stricter Vaccine Exemption Legislation. JAMA. 2015;314(12), 1229.
12. Marcdante KJ et al. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Update
Keenam. Jakarta: Elsevier. 2018
13. WHO. Measles [Internet]. WHO. 2018 [citied 15 September 2019]. Available
from: https://www.who.int/immunization/diseases/measles/en/
14. Mayo Clinic. Measles [Internet]. Mayo Clinic. 2019 [citied on 15 September
2019]. Available from: https://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/measles/symptoms-causes/syc-20374857
36
15. Kumar D, Sabella C.. Measles: Back again. Cleveland Clinic Journal of
Medicine. 2016;83(5), 340 – 344.
16. Melenotte C et al. Case Report Atypical measles syndrome in adults: still
around. BMJ. 2015; bcr2015211054.
17. WHO. Weekly epidemiological record [Internet]. WHO. 2017 [Citied on 15
September 2019]. Available from: http://www.who.int/wer
18. Oktaviasari KE. Relationship of Measles Immunization with Measles in East
Java. JBE. 2018;6(2):166.
19. Depkes RI. Situasi Campak dan Rubella di Indonesia [Internet]. Depkes. 2018
[citied 15 September 2019]. Available at: http://depkes.go.id/
20. Chen SSP. Measles [Internet]. Medscape. 2019. [citied 15 September 2019].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/966220
37
29. Rota, PA et al. Measles. Nature Reviews Disease Primers. 2016.
doi:10.1038/nrdp.2016.49
30. Tesini BL. Measles [Internet]. MSD Manual. 2019 [citied 15 September
2019]. Available on:
https://www.msdmanuals.com/professional/pediatrics/miscellaneous-viral-
infections-in-infants-and-children/measles
38
41. Butler DF. Fixed drug eruptions [Internet]. Medscape. 2019. [citied 15
September 2019]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1336702
42. Allmon A, Deane K dan Martin KL. Common skin rashes in children.
American Family Physician. 2015;92(3):212-216.
43. Zellman GL. Erythema infectiosum [Internet]. Medscape. 2019. [citied 15
September 2019]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1132078
44. Ezike E. Pediatric rubella [Internet]. Medscape. 2019. [citied 15 September
2019]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/968523
45. Gorman CR. Roseola infantum [Internet]. Medscape. 2019. [citied 15
September 2019]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1133023
46. WHO. Measles [Internet]. World Health Organization. 2019 [cited 2019 Sep
14]. Available from: https://www.who.int/en/news-room/fact-
sheets/detail/measles
47. Amirthalingam G et al. PHE National Measles Guidelines August 2017.
London: Wellington House. 2017
48. CDC. Measles Data and Statistics [Internet]. CDC. 2017 [citied 15 September
2019]. Available from: www.cdc.gov/measles/about/complications.html
49. Mariz D R. Diagnosis dan Tatalaksana Morbili. J Medula Unila. 2016;
4(3):40-45
50. Safdar dan Abad. The Reemergence of Measles. Curr Infect Dis Rep.
2015;17(51):1-8
51. Moss WJ. Measles. The Lancet. 2017;390(10111):2490–2502.
52. Kemenkes. Status Campak dan Rubella Saat ini di Indonesia [Internet].
Kemenkes. 2017 [citied 14 September 2019]. Available from:
www.kemenkes.go.id
53. IDAI. Apakah Infeksi Campak? [Internet]. IDAI. 2017 [citied on 14
September 2019]. Available from: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-
kesehatan-anak/apakah-infeksi-campak
54. Bester JC. Measles and Measles Vaccination. JAMA Pediatrics.
2016;170(12):1209
39
55. CDC. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases:
Measles [Internet]. CDC. 2015. [citied 15 September 2019]. Available from:
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/meas.pdf
56. Holipah, MA dan Kuroda Y. Determinants of immunization status among 12-
to 23-month-old children in Indonesia (2008-2013): a multilevel analysis.
BMC public health. 2018;18(1):288.
40