Anda di halaman 1dari 17

Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

INDIGENISASI PENDIDIKAN:
Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

INDIGENIZING EDUCATION:
Rationalization toward Revitalization of
Ki Hadjar Dewantara Educational Praxis

Al Musanna
Program Pascasarjana STAIN Gajah Putih Takengon
Jl. Yos Sudarso No. 10. Takengon, Aceh Tengah
e-mail: win_moes@yahoo.co.id

Naskah diterima tanggal: 01-03-2017, disetujui tanggal: 10-04-2017

Abstract: This study aims to elaborate the educational concept and praxis of Ki Hadjar
Dewantara through the literature review of Ki Hadjar Dewantara’s works and relevant
contemporary sources. It finds that Ki Hadjar Dewantara put education as a prerequisite to
implementing fair and civilized social transformation and it must have root in the noble
treasure of national culture. In contemporary discourse, it is called indigenization.
Indigenization of education that Dewantara constructed requires critical and creative efforts
to encapsulate the essence of nation’s culture heritage by not ignoring the dynamic of
science, technology, and social changes. He considered education as the mindful and
systematic process to develop the noble character of students based on local values. In
addition, it should give attention to the development of potential learners a set of
competencies that equip learners to explore life in dignity. In conclusion, the main postulate
of the educational praxis of Ki Hajar Dewantara is interdependency of culture and education.

Keywords: educational indigenization, educational praxis, cultural identity, Ki Hadjar


Dewantara

Abstrak: Kajian ini bertujuan untuk mengungkap gagasan dan praktik (praksis) pendidikan
Ki Hadjar Dewantara. Kajian dilakukan melalui penelusuran karya Ki Hadjar Dewantara dan
literatur kontemporer yang relevan. Berdasarkan kajian yang dilakukan terungkap bahwa
Ki Hadjar Dewantara menempatkan pendidikan sebagai prasyarat untuk mewujudkan
transformasi sosial yang adil dan beradab. Menurut Ki Hadjar Dewantara, praksis pendidikan
harus berakar pada jati diri dan khazanah luhur budaya bangsa yang dalam beberapa dekade
terakhir populer disebut indigenisasi atau pribumisasi. Indigenisasi pendidikan menuntut
adanya upaya kritis dan kreatif untuk merangkum warisan luhur budaya bangsa sebagai
pondasi pendidikan dengan tidak menutup mata terhadap dinamika ilmu pengetahuan,
teknologi, dan perubahan sosial. Indigenisasi pendidikan yang telah diletakkan fondasinya
oleh Ki Hadjar Dewantara menempatkan pendidikan sebagai proses sadar dan sistematis
untuk mengembangkan karakter luhur yang berakar pada nilai-nilai budaya setempat dan
pada saat bersamaan memberi perhatian pada pengembangan kompetensi peserta didik
sehingga memiliki kapasitas menjalani kehidupan secara bermartabat sesuai tuntutan
zaman. Dengan demikian, postulat utama praksis pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah
interdependensi kebudayaan dan pendidikan.

Kata Kunci: Indigenisasi pendidikan, praksis pendidikan, jati diri kultural, Ki Hadjar
Dewantara

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 117


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

PENDAHULUAN di negara-negara berkembang menunjukkan


Lembaga pendidikan mengemban amanah untuk dominannya kecenderungan para pengambil
menyiapkan peserta didik agar mampu bertahan kebijakan untuk mengadopsi teori pendidikan
hidup dan membentuk karakter yang sesuai negara maju dan hanya sedikit memberi
dengan nilai-nilai yang berlaku secara lokal, perhatian pada penggalian khazanah kul-
nasional, dan global atau humanisasi (Tilaar, turalnya. Pilihan jalan pintas ini telah berdampak
2012). Institusi pendidikan berperan sebagai pada mengaburnya otensitas, kontekstualitas
pusat penghayatan, pengembangan, dan dan relevansi pendidikan di negara-negara
pembentukan jati diri kultural sebuah komunitas berkembang.
atau bangsa. Melalui pendidikan nasional setiap Dalam konteks pendidikan di Indonesia,
bangsa merancang strategi pengembangan salah seorang yang telah memberi kontribusi
sumber daya manusia yang mempunyai se- dalam pengembangan teori dan praktik
perangkat karakter dan kompetensi untuk pendidikan adalah Ki Hadjar Dew antara.
berperan aktif dalam perwujudan tatanan sosial Pemikiran dan karyanya telah memberi pijakan
yang adil dan beradab. Sistem pendidikan penting dalam diskursus pendidikan nasional
nasional pada hakikatnya merupakan pencer- pada masa pergerakan dan awal kemerdekaan.
minan dari upaya sadar sebuah bangsa untuk Gagasannya tentang dasar pendidikan yang
membangun keberlanjutan warisan budaya dan terangkum dalam semboyan: ing ngarso sung
jati diri sebagai bangsa berdaulat dan tulodo (pendidik berada di depan memberi
bermartabat. teladan); in madyo mangun karso (pendidik
Idealisme pendidikan nasional yang berakar selalu berada di tengah dan terus menerus
pada puncak-puncak budaya lokal dan warisan memprakarsai/memotivasi), dan tut wuri
intelektual bangsa belum terwujud sebagaimana handayani (pendidik selalu mendukung dan
mestinya. Studi kebijakan di sejumlah negara mendorong peserta didik untuk maju) telah
menunjukkan bahwa warisan luhur budaya lokal menjadi ungkapan yang sangat populer hingga
dan khazanah pemikiran tokoh pendidikan pra saat ini. Komitmen dan dedikasinya untuk
dan awal kemerdekaan yang mencerminkan mengembangkan jati diri kultural anak bangsa
semangat zaman (zetgeist) melawan impe- melalui pendidikan untuk mewujudkan negara
rialisme dan menekankan pentingnya kemandirian yang merdeka tidak dapat dinafikan (Musyafa,
masih sering terasing di tanah kelahirannya 2015). Meskipun demikian, praksis pendidikan
(Gopinathan, 2006; Bates, 2008). Impor pascaproklamasi menunjukkan bahwa gagasan
gagasan dan imitasi kebijakan pendidikan yang beliau lebih sering dijadikan slogan dan
minim kritik berlangsung secara masif di negara- semboyan yang kehilangan daya gugahnya
negara berkembang yang sedang berjibaku dalam mewarnai praksis pendidikan di tanah air
untuk melakukan modernisasi pendidikan (Sularto, 2016; Wangsalegawa, 2009). Menteri
(Indriyanto, 2009). Kecenderungan negara- Pendidikan dan Kebudayaan mengungkapkan
negara berkembang untuk menempatkan keprihatinannya karena tidak banyak yang
negara-negara yang dipandang modern sebagai mengenal Ki Hadjar Dewantara secara mendalam
acuan telah berdampak tidak proporsionalnya selain dari tanggal kelahirannya yang diperingati
perhatian untuk menggali dan meng- sebagai Hari Pendidikan Nasional (Sularto, 2016).
aktualisasikan keunggulan praksis pendidikan Padahal, pemikiran dan praktik pendidikan yang
berbasis kearifan lokal. Akibatnya, ruang telah dijalankan Ki Hadjar Dewantara melalui
akomodasi dan revitalisasi praksis pendidikan Perguruan Taman Siswa masih layak untuk
yang berakar pada khazanah warisan pemikir dipertimbangkan untuk memperkaya perspektif
nasional menjadi terkesampingkan (Bates, 2008; pengembangan pendidikan pada era kiwari ini.
Burden-Leahy, 2009). Studi Gopinathan (2006)

118 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Salah satu faktor tersisihnya teori dan sebagai basis indigenisasi pendidikan di tanah
praktik pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam air.
praksis pendidikan nasional disebabkan masih Kajian ini dilakukan melalui studi kepustakaan
terbatasnya kajian, sosialisasi, dan dukungan dan pembacaan ulang terhadap karya tulis Ki
para pengambil kebijakan. Kondisi ini secara Hadjar Dewantara dan tulisan pakar lainnya yang
langsung berimplikasi pada semakin kaburnya relevan dengan praksis indigenisasi pendidikan.
wawasan anak bangsa mengenai gagasan- Melalui kajian ini diharapkan dapat diformulasikan
gagasan cemerlang yang telah diwariskan Ki ide-ide dan praktik pendidikan yang telah
Hadjar Dewantara. Pada sisi lain, revolusi digagas Ki Hadjar untuk kemudian dikonteks-
teknologi informasi telah membuat akademisi tualisasikan dengan realitas pendidikan
dan praktisi pendidikan di tanah air begitu mudah kontemporer. Kajian ini diharapkan dapat
mengakses informasi terkait teori dan praktik memantik terjadinya dialog konstruktif untuk
pendidikan dari luar. Akademisi dan praktisi memperkaya perspektif akademisi dan praktisi
pendidikan sangat familiar terhadap gagasan pendidikan dalam pengembangan praksis
pendidikan yang didatangkan dari luar dan pendidikan di tanah air. Dengan demikian, studi
cenderung kurang percaya diri dengan warisan ini diharapkan mampu membuka ruang untuk
kulturalnya. Daslani (2008) menyatakan, “critics menumbuhkan apresiasi terhadap khazanah
says Indonesians generally suffer a tragic pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan
inferiority complex. They are quick to adore menjadikannya sebagai salah satu sumber dalam
anything that comes from abroad and melakukan sintesa kreatif untuk menjawab
downgrade even better things that originate tantangan pendidikan kontemporer yang
in their own country.” Kondisi ini berimplikasi semakin kompleks.
pada minimnya pemahaman dan apresiasi
kalangan akademisi dan praktisi pendidikan di KAJIAN LITERATUR DAN PEMBAHASAN
tanah air terhadap praksis pendidikan yang Hakikat Indigenisasi Pendidikan
digagas dan dipraktikkan para tokoh bangsa Indigenisasi atau pribumisasi telah menjadi topik
menjelang dan awal kemerdekaan. penting dan menarik perhatian sejumlah ilmuwan
Masalah yang menjadi fokus dari kajian ini sosial dalam beberapa dekade terakhir (Smith,
yaitu: a) Bagaimana pokok-pokok pikiran 2008; Dominelli dan Loakimidis, 2015; Ferguson,
pendidikan Ki Hadjar Dewantara tentang hakikat 2005; Alatas, 2010). Tumbuh dan ber-
pendidikan, dasar dan tujuan pendidikan, kembangnya gagasan dan praktik indigenisasi
kurikulum, model pembelajaran, dan evaluasi? berakar dari kejenuhan dan ketidakpuasan
b) Bagaimana historisitas perjuangan Ki Hadjar sejumlah intelektual terhadap dominasi atau
Dewantara dalam merumuskan dan meng- superioritas pengetahuan warisan penjajah.
aktualisasikan gagasan pendidikannya? dan c) Menurut penggagas indigenisasi, kolonialisme
Bagaimana rasionalitas indigenisasi pendidikan akademik yang mendominasi kajian sosial dan
nasional berbasis praksis pendidikan Ki Hadjar budaya merupakan kelanjutan dari kolonialisme
Dewantara? Dengan demikian, tujuan kajian ini politis (Yunong dan Xiong, 2015; Nguyen, et.al.,
adalah a) mengungkap pandangan Ki Hadjar 2009). Dominasi dan klaim superioritas
Dewantara terkait hakikat pendidikan, dasar epistimologi Barat yang menafikan kontribusi
dan tujuan pendidikan, kurikulum, model historis warisan intelektual kawasan selainnya
pembelajaran, dan evaluasi; c) mengungkap telah memantik minat sejumlah pakar untuk
historisitas perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam menggugat kemapanan tersebut. Indigenisasi
meruuskan dan mengaktualisasikan gagasan mengemuka sebagai wujud kesadaran dari
pendidikan; dan c) mengungkap rasionalitas teori sebagian akademisi bahwa produk ilmu
dan praktik pendidikan Ki Hadjar Dewantara pengetahuan tidak mungkin sepenuhnya

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 119


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

dibebaskan dari landasan epistimologisnya yang kekayaan perspektif yang berakar atau dimiliki
kontekstual (Bates, 2008). Premis objektivitas para pemangku budaya dimana pengetahuan
dan netralitas ilmu pengetahuan yang selama diimplementasikan (Wangsalegawa, 2009; Tikly,
beberapa dekade dipandang sebagai postulat 2004). Yan (2014) mengungkapkan bahwa
yang harus diterima mulai menuai kritik. Seruan indigenisasi merupakan proses seleksi dan
untuk menerima dan mengakui universalitas ilmu negosiasi terhadap pengetahuan sosial yang
pengetahuan tanpa menafikan pentingnya bersumber dari Barat sehingga memungkinkan
pengakuan dan penghargaan terhadap tersedianya ruang bagi warisan pengetahuan
diversitas sosial budaya semakin mendapat lokal untuk diintegrasikan sebagai bagian yang
tempat dalam diskursus akademik global memperkaya atau bahkan menggantikan model
beberapa dekade terakhir (Pearce, 2008). epistimologi yang Euro-sentris. Indigenisasi
Berbagai perspektif dikemukakan para pakar berpijak pada keyakinan bahwa setiap
dalam memaknai indigenisasi. Agussalim (2007) komunitas mempunyai perhatian untuk
memaknai indigenisasi sebagai modifikasi konsep mempertahankan eksistensinya dan jati
yang dibangun dari perspektif dan konteks Barat dirikulturalnya.
sehingga lebih sesuai dan memenuhi keperluan Menguatnya kampanye dan gerakan hak-
lokal. Pandangan tersebut menekankan bahwa hak budaya setiap komunitas untuk mem-
indigenisasi merupakan sebuah ikhtiar yang pertahankan dan melestarikan budayanya telah
dilakukan secara kritis dan kreatif untuk memberi kontribusi signifikan terhadap tumbuh
mengatasi kesenjangan aplikasi pengetahuan dan berkembangnya gerakan indigenisasi dalam
dan penyelesaian masalah yang bersumber dari berbagai bidang (Smith, 2008; Lauderdale,
luar sehingga memiliki pijakan yang lebih 2009). Gerakan yang menuntut persamaan dan
kontekstual. Ismailova (2004) menyatakan kesetaraan dalam mempertahankan dan
bahwa indigenisasi merangkum aktivitas melestarikan kebudayaan atau identitas sosial
intelektual untuk melakukan reklamasi dan masyarakat pribumi telah mencapai kemajuan
rehabilitasi terhadap khazanah masa lalu yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Salah
kelam akibat kolonisasi dalam berbagai aspek satu indikator keberhasilan gerakan kesetaraan
kehidupan masyarakat lokal. Dengan demikian, hak budaya terwujud dengan disahkannya
indigenisasi merupakan upaya membangun deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
perspektif yang berakar dari keragaman kerangka perlindungan hak masyarakat pribumi (Dorner &
epistimologis lokal yang sebelumnya dipandang Gorman, 2006; Moreira, 2009). Capaian
tidak relevan dengan tuntutan zaman. Melalui kebudayaan yang tumbuh dan berkembang
upaya tersebut, perspektif lokal yang dalam sebuah komunitas atau bangsa
sebelumnya menempati posisi inferior secara merupakan perwujudan dari respon kreatif yang
bertahap diharapkan mulai mendapat tempat mengandung nilai-nilai luhur yang tidak dapat
dalam diskursus akademis dan praktik pendidikan dinafikan keberadaannya dan dipandang penting
(Tikly, 2004; Alatas, 2010, Yan, 2014). untuk ditransmisikan secara berkelanjutan.
Indigenisasi mengemuka sebagai respon Meskipun terdapat perbedaan praktik pendidikan
terhadap dominasi epistimologis Barat. dalam berbagai komunitas lokal di berbagai
Indigenisasi bertujuan memodifikasi konsep yang belahan dunia, muara akhir praktik pendidikan
dibangun dari perspektif dan konteks dunia Barat adalah mempersiapkan dan membekali generasi
sehingga lebih sesuai dan memenuhi keperluan baru dengan seperangkat pengetahuan dan
lokal. Dengan kata lain, indigenisasi men- keterampilan yang diperlukan menjalani
cerminkan respon kreatif kalangan intelektual kehidupan sesuai dengan nilai bersama yang
yang merasakan ketidakadilan akibat dominasi berlaku dalam komunitas tersebut.
epistimologi yang Euro-sentris yang menafikan

120 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Diskursus indigenisasi pendidikan telah manusia secara komprehensif. Menurutnya


mendorong munculnya beragam pandangan pendidikan adalah “daya-upaya untuk
terkait strategi pelaksanaannya. Menurut memajukan bertumbuhnya budi pekerti
Agussalim (2007), indigenisasi dapat di- (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect)
klasifikasikan menjadi empat level: meta-teoretis dan tubuh anak” (Dewantara, 1962). Proses
(metatheoritical), teoretis (theoretical), empiris pendidikan harus memberi perhatian, perlakuan
(empirical), dan aplikasi (applied). Pada level dan tuntunan yang seimbang dalam pengem-
meta-teoretis, indigenisasi merujuk pada bangan karakter, intelek, dan jasmani anak didik
pengungkapan dan analisis pandangan dunia sehingga menghasilkan sumber daya manusia
(worldviews), ideologi, dan asumsi-asumsi paripurna. Ki Hadjar menegaskan bahwa
filosofis yang memayungi ilmu-ilmu sosial dan pendidikan merupakan upaya menuntun segala
produk-produknya. Pada tingkat teoretis, kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar
indigenisasi mengacu pada teori atau konsep mereka sebagai manusia dan anggota
yang dibangun dari pengalaman historis masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
masyarakat pribumi yang telah dipraktikkan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Tuntunan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi. mengisyaratkan bahwa perkembangan anak
Pada tingkat empiris, indigenisasi fokus untuk berada di luar kecakapan dan kehendak pendidik
mengkaji masalah-masalah aktual yang dihadapi karena anak memilik kodrat tersendiri. Ki Hadjar
komunitas lokal yang sebelumnya kurang Dewantara (1962) menyatakan, “kita kaum
mendapat perhatian, misalnya mengenai korupsi, pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya
imperialisme budaya dan lain-lain. Pada level atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar
aplikasi, indigenisasi termanifestasi pada langkah dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya)
spesifikasi kebijakan, program, dan solusi, serta hidup dan tumbuhnya itu.” Kutipan tersebut
kerjasama antar lembaga swadaya masyarakat menggambarkan perspektif beliau bahwa
dan pemerintah dalam menyosialisasikan dan pendidikan merupakan proses yang holistik dan
mengimplementasikan berbagai dimensi budaya integratif. Pengembangan berbagai dimensi
lokal dalam komunitas. manusiawi anak harus ditangani secara
berkelanjutan dan melibatkan sinergi orang tua,
Pokok-Pokok Pikiran Pendidikan Ki Hadjar guru, masyarakat, pengambil kebijakan di
Dewantara pemerintahan, dan lain-lain.
Luasnya spektrum perhatian Ki Hadjar Pendidikan merupakan bagian yang tidak
Dewantara terhadap pendidikan menyebabkan terpisahkan dari kebudayaan. pendidikan harus
pembahasan yang komprehensif terkait teori dan berpijak pada kebudayaan yang dinamis dan
praktik pendidikannya menjadi tidak mudah mengalami adaptasi secara berkesinambungan.
dilakukan. Pada bagian berikut tinjauan hanya Menurut Ki Hadjar, pendidikan dibangun dengan
difokuskan terkait perspektif Ki Hadjar menempatkan nilai seperti kehalusan rasa,
Dewantara mengenai hakikat pendidikan, dasar persaudaraan, sopan santun dalam tutur kata
dan tujuan pendidikan, kurikulum, model dan tindakan sebagai fondasinya. Dalam Kongres
pembelajaran, dan evaluasi. I Taman Siswa yang berlangsung pada tahun
1930, beliau dengan lugas menyatakan bahwa
Hakikat Pendidikan pendidikan harus berdasarkan garis hidup
Pendidikan menempati posisi strategis dalam bangsanya (kultural nasional) yang ditujukan
peningkatan kualitas dan kapasitas seseorang untuk keperluan prikehidupan (maatschappelijk)
untuk mengarungi kehidupan. Ki Hadjar yang dapat mengangkat derajat negara dan
menempatkan pendidikan sebagai aktivitas yang rakyatnya agar dapat bersama-sama dengan
kompleks dan mencakup pengembangan kualitas bangsa lain untuk kemulian segenap manusia di

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 121


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

seluruh dunia (Sularto, 2016). Dengan demikian, perasaan inferior dikalangan penduduk pribumi
kesadaran mengenai garis hidup bangsa dengan dan ditujukan untuk menghasilkan pegawai
kekayaan khazanah budaya luhurnya harus rendahan yang dapat dibayar murah. Untuk itu,
ditempatkan sebagai esensi yang mewarnai teori Ki Hadjar Dewantara (1962) menyatakan bahwa
dan praktik pendidikan. pendidikan dalam Republik Indonesia harus
berdasar kebudayaan serta kemasyarakatan
Dasar Pendidikan bangsa Indonesia tanpa menutup diri dari
Pendidikan hadir dan berlangsung dalam konteks dinamika budaya global. Penekanan pada
sosial-budaya. Pendidikan harus menempatkan kebudayaan nasional bertujuan agar bangsa
kebudayaan sebagai fondasinya. Kebudayaan Indonesia tidak larut dan hanyut dalam pusaran
dan pendidikan bersifat inter-relasional. internasionalisasi sehingga kehilangan
Kebudayaan menyediakan kerangka nilai dimana identitasnya sebagai rakyat dari bangsa yang
konsep dan aksi pendidikan diletakkan. Pada berdaulat (Dewantara, 1967). Imperialisme
saat bersamaan, pendidikan berperan budaya senantiasa harus diwaspadai.
memperkaya dan mengembangkan kebudayaan. Kemerdekaan akan kehilangan makna apabila
Sejalan dengan hal tersebut, Ki Hadjar rakyat terus mengekor pada kebudayaan
memandang bahwa pendidikan Indonesia harus bangsa-bangsa lain. Menurut Ki Hadjar
dibangun berdasar filosofi nilai-nilai luhur bangsa. Dewantara (2009) imperialisme tidak saja ada
Ketika berpidato dalam Sidang Komite Nasional dalam bidang kenegaraan, tetapi juga dalam
Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 03 Maret bidang kebudayaan.
1947 di Malang beliau menegaskan bahwa
apabila dalam usaha kebudayaan, pendidikan Tujuan Pendidikan
dan pengajaran di Indonesia merdeka hanya Ki Hadjar memaknai pendidikan sebagai proses
sanggup meneruskan cara dan adat lama saja pemberian tuntunan untuk menumbuh-
[warisan kolonial], maka tidak perlu adanya kembangkan potensi anak. Dalam istilah tuntunan
revolusi. Bahkan, dengan ungkapan yang sangat tergambar bahwa tujuan pendidikan mengarah
tajam beliau memandang apabila bangsa pada pendampingan anak dalam proses
Indonesia hanya menjadi pelanjut warisan penyempurnaan ketertiban tingkah lakunya.
kolonial, maka lebih baik Bung Tomo disuruh Dalam artikel berjudul “Sifat dan Maksud
pulang saja untuk bertani misalnya, dan Pendidikan” yang dipublikasikan pada tahun
pemuda-pemuda Indonesia disuruh kembali saja 1942, beliau mengemukakan bahwa tujuan
untuk meneruskan pelajarannya di sekolah- pendidikan ialah kesempurnaan hidup manusia
sekolah (Dewantara, 1962). sehingga dapat memenuhi segala keperluan lahir
Ki Hadjar telah merumuskan lima asas Taman dan batin yang diperoleh dari kodrat alam
Siswa. Pada Kongres Taman Siswa pada tahun (Dewantara, 2009). Rumusan tujuan pendidikan
1947, lima asas tersebut dinamakan Pancadarma Ki Hadjar diakomodasi dalam Undang-Undang
yang terdiri dari: kemerdekaan, kodrat alam, Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar
kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Pasal 3
(Sularto, 2016). Melalui rumusan Pancadarma Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa
tersebut, Ki Hadjar telah melakukan tindakan tujuan pendidikan dan pengajaran ialah
revolusioner dan menyampaikan kritik terhadap membentuk manusia susila yang cakap dan
sekolah-sekolah yang didirikan pemerintahan warga negara yang demokratis serta
kolonial. Sekolah yang didirikan pemerintah bertanggungjawab tentang kesejahteraan
kolonial sebagai salah satu dari manifestasi masyarakat dan tanah air (Direktorat Jenderal
kebijakan politik etis dipandang sebagai Pendidikan Tinggi, 1982). Sejalan dengan tujuan
instrumen kontrol sosial untuk menanamkan pendidikan tersebut, Ki Hadjar menegaskan

122 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

pendidikan mengemban misi agung dalam fleksibel sehingga memberi ruang penyesuaian
pengembangan budi pekerti peserta didik. sesuai kebutuhan individu anak dan masyarakat;
Seseorang yang mempunyai kecerdasan budi 3) kurikulum harus relevan dengan kebutuhan
pekerti mempunyai kemampuan untuk masyarakat lokal; 4) kurikulum harus
senantiasa mempertimbangkan, merasakan, dan menunjukkan keterkaitan teori dan praktik,
menggunakan ukuran dalam bertindak. Budi sebab lulusan Perguruan disiapkan menjalani
pekerti yang dimiliki seseorang dapat kehidupan di tengah masyarakat; 5) kurikulum
memandunya mengambil keputusan atau disusun dengan mengakomodir perkembangan
menentukan secara mandiri tindakan yang dan minat peserta anak didik.
dipilihnya secara bijaksana (Dewantara, 1962). Gagasan kurikulum Ki Hadjar yang
Konsep pendidikan yang diarahkan pada diimplementasikan di Taman Siswa menunjukkan
pengembangan kompetensi peserta didik dengan kedalaman wawasan dan komitmen beliau untuk
memaksimalkan potensi alami peserta didik mengembangkan sumber daya manusia
dengan mengoptimalkan daya-daya yang berada Indonesia yang berkarakter. Pandangan tersebut
di sekelilingnya merupakan pandangan yang sejalan dengan perspektif terbaru yang
semakin mendapat tempat dalam diskursus memaknai kurikulum sebagai representasi
pendidikan kontemporer. Pendidikan tidak simbolik filosofi, budaya, politik, dan ekspresi
semestinya dibatasi pada pengembangan satu komunitas atau suatu bangsa mengenai
dimensi akademik atau lebih sempit lagi pada hal-hal yang dinilai penting untuk dikuasai
dimensi pengetahuan (kognitif) semata. Undang- peserta didik (Sparapani, dkk., 2014; Asher,
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem 2009). Kurikulum berisi kumpulan gagasan dan
Pendidikan Nasional menegaskan bahwa aktivitas untuk mentransmisikan dan
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana mentransformasikan hal-hal terpilih yang
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses dipandang bernilai untuk dikenang dari masa lalu,
pembelajaran agar peserta didik secara aktif keyakinan pokok mengenai kondisi saat ini, dan
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki harapan mengenai masa depan. Kurikulum
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, diposisikan sebagai pemilihan aspek-aspek yang
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta dipandang penting dalam mempersiapkan
keterampilan yang diperlukan dirinya, peserta didik menghadapi tantangan kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara (Republik dan merepresentasikan dimensi subyektif dan
Indonesia, 2003) rasional para pengembang kurikulum (Li, 2009;
Goodson & Cricks, 2009). Sejalan dengan itu,
Kurikulum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Istilah kurikulum belum digunakan Ki Hadjar dan Sistem Pendidikan Nasional memaknai kurikulum
tokoh-tokoh pendidikan di tanah air menjelang sebagai seperangkat rencana dan pengaturan
dan di awal kemerdekaan dalam tulisan- mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta
tulisannya. Padanan kata kurikulum yang cara yang digunakan sebagai pedoman
digunakan untuk merangkum aktivitas penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
perencanaan dan pelaksanaan pendidikan adalah mencapai tujuan pendidikan tertentu (Republik
leerplan (bahasa Belanda). Meskipun demikian, Indonesia, 2003).
penelitian Wangsalegawa (2009) menunjukkan
bahwa gagasan Ki Hadjar dan praktik yang Metode Pembelajaran
dijalankan di Perguruan Taman Siswa men- Pembelajaran merupakan aktivitas inti dalam
cerminkan prinsip-prinsip kurikulum sebagai pendidikan. Interaksi yang melibatkan pendidik,
berikut: 1) mata pelajaran disajikan berkaitan peserta didik dan transformasi materi atau
(interrelated); 2) kurikulum disusun secara bahan kajian terselenggara melalui pem-

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 123


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

belajaran. Melalui pembelajaran, guru berupaya menjadi model pembelajaran yang mencerahkan
mengembangkan iklim atau suasana interaksi jiw a anak. Filosofi among menempatkan
yang memungkinkan potensi atau kodrat alam pembelajaran sebagai arena ruang aktualisasi
anak menemukan ruang artikulasinya. Ki Hadjar peserta didik. Among sebagai sistem praksis
memperoleh inspirasi dalam pendirian dan pendidikan di Perguruan Taman Siswa
pelaksanaan Perguruan Taman Siswa dari menempatkan pendidik sebagai mitra yang
pandangan Friedrik Frobel (1782-1852) memberi ruang kebebasan agar anak bisa
mengenai kodrat anak, Maria Montessori (1870- bergerak menurut kemauannya, sementara
1952) yang mementingkan permainan untuk pamong akan bertindak (kalau perlu dengan
perkembangan anak dan Rabindranath Tagore paksaan) apabila kemauan tersebut mem-
(1861-1941) dengan konsep pesanggrahannya bahayakan diri anak (Sularto, 2016).
dalam berfokus pada hidup kemanusiaan yang
religius (Sularto, 2016). Konsep dan praktik Evaluasi
pendidikan Ki Hadjar menempatkan suasana Evaluasi berfungsi memetakan sejauhmana
yang menyenangkan dan konteks sosial budaya usaha pendidikan telah mencapai tujuan. Ki
sebagai fondasinya. Menurutnya, pembelajaran Hadjar mengingatkan pentingnya penilaian
di sekolah tidak boleh berjarak atau tercerabut dilakukan dengan mempertimbangkan secara
dari lingkungan sosial budayanya. Nilai-nilai seksama kondisi mental anak sehingga tidak
budaya dan persoalan aktual dalam masyarakat berimplikasi negatif untuk tumbuh kembang
perlu diperkenalkan sejak dini kepada anak potensi anak. Ketika menyampaikan pidato
sehingga terbangun kepekaan dan sikap sambutan penerimaan gelar Doktor Honoris
responsif terhadap lingkungan sekitarnya Causa di Universitas Gadjah Mada, Ki Hadjar
(Yamin, 2009; Wangsalegawa, 2009). Dewantara (2009: 168) menyatakan, “Anak-
Metode pembelajaran di Taman Siswa anak dan pemuda-pemuda kita sukar dapat
bertumpu pada konsep among. Melalui konsep belajar dengan tentram karena dikejar-kejar oleh
among, Ki Hadjar menempatkan guru sebagai ujian-ujian yang sangat keras dalam tuntutan-
penuntun untuk membantu anak menemukan tuntutannya. Mereka belajar tidak untuk
arah perkembangannya (Sularto, 2016). Dalam perkembangan hidup kejiwaannya; sebaliknya,
konsep among, guru dituntut menempatkan diri mereka belajar untuk dapat nilai-nilai yang tinggi
sebagai pendamping dan contoh pertama dari dalam school raport atau untuk ijazah.” Ujian
kebiasaan-kebiasaan baik yang hendak harus dikembalikan pada fungsi awalnya sebagai
ditumbuhkembangkan menjadi karakter anak alat menentukan tercapai atau tidaknya tujuan.
didik. Konsep among mengisyaratkan perlunya Penilaian semestinya dipahami sebagai bagian
perhatian yang proporsional untuk mengem- dari proses pengambilan keputusan untuk
bangkan kemampuan atau pengetahuan menetapkan langkah-langkah lanjutan untuk
praktikal anak dan pada saat bersamaan juga meningkatkan kualitas pembelajaran dan
memberi ruang pada internalisasi nilai-nilai pendidikan. Evaluasi tidak semestinya
kultural, nasionalisme, kedisiplinan, dan lain-lain ditempatkan sebagai alat menghukum
(Wangsalegawa, 2009). Model pembelajaran seseorang. Evaluasi semestinya dikembalikan
among mencerminkan relasi pendidik dan anak pada fungsi awalnya sebagai sarana memperoleh
didik berlangsung dalam nuansa kekeluargaan informasi yang dijadikan bahan pertimbangan
penuh kehangatan yang bersumber dari tradisi untuk perbaikan berkelanjutan.
luhur bangsa Indonesia (Yamin, 2009). Ki Hadjar Ki Hadjar menekankan pentingnya konteks
menegaskan bahwa model pembelajaran kolonial sosial budaya dalam evaluasi di institusi
yang bertumpu pada perintah dan pemaksaan pendidikan. Sejalan dengan konsepsi yang
(order and enforcement) perlu direkonstruksi ditawarkannya tersebut dalam beberapa dekade

124 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

terakhir model evaluasi yang berpijak dan Batavia. Namun, karena sakit berkepanjangan
memperhatikan dimensi sosial dan budaya ia tidak dapat menyelesaikan studinya
semakin mendapat ruang artikulasi dalam (Wangsalegawa, 2009).
diskursus pendidikan kontemporer (Abma, 2006; Pada bulan Mei 1908, Dr. Wahidin
Musanna, 2010). Perkembangan model evaluasi Soedirohusodo membentuk organisasi pelajar
tanggap budaya (culturally responsive yang diberi nama Budi Utomo. Menurut Ricklefs
evaluation) menunjukkan telah terjadinya (2010) nama Jawa ini (seharusnya dieja budi
pergeseran yang mengarah pada semakin utama) diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda
diakuinya gagasan yang diletakkan oleh Ki oleh organisasi tersebut sebagai het schoone
Hadjar mengenai pentingnya dimensi sosial streven (ikhtiar yang indah). Budi Utomo juga
budaya mendapat perhatian dalam praktik berarti cendekiawan, watak atau kebudayaan
evaluasi pendidikan (Musanna, 2012). yang mulia. Organisasi ini mempunyai perhatian
pada pendidikan, khususnya untuk kalangan
Historisitas Praksis Pendidikan Ki Hadjar priyayi Jawa yang meliputi penduduk Jawa dan
Dewantara Madura. Pada tahun 1909, beliau dan Dr. Cipto
Gagasan atau ide senantiasa lahir dalam Mangunkusumo mengundurkan diri karena
konteks. Kemunculan teori senantiasa berkaitan perbedaan orientasi dengan kelompok
dengan realitas sosial dan merepresentasikan konservatif yang dipimpin Radjiman
semangat zaman. Kompleksitas tantangan, Wediodiningrat dan Mas Ngabei Dwijosewojo
realitas sosial budaya dan politik, serta (Latif, 2005). Kelompok konservatif berorientasi
pengalaman personal selalu memberi warna adat ini lebih mendukung misi mencapai
terhadap model tanggapan yang diberikan kemajuan kultural dalam kerangka nasionalisme
seseorang. Berikut dikemukakan kondisi sosio- Jawa dan mempertahankan mistisisme Jawa
kultural yang dihadapi Ki Hadjar Dewantara dan sebagai fokus keagamaan yang utama.
keterkaitannya dengan gagasan dan praktik Penonjolan etnosentrisme Jawa menyebabkan
pendidikan yang dikemukakannya. meluasnya apatisme dan frustrasi sejumlah
Ki Hadjar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta tokoh yang berpandangan progresif sehingga
pada tanggal 02 Mei 1889. Nama lahirnya adalah memantuk lahirnya perhimpunan pemuda pelajar
Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Beliau adalah berbasis etnis seperti Pagujuban Pasundan
putra Kanjeng Prabu Haryo Suryaningrat yang (1914), Jong Sumatran Bond (1917), Jong
bergelar Paku Alam III (Wangsalegawa, 2009). Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar
Pada jenjang pendidikan dasar, Suwardi Rukun (1919), dan lain-lain (Ricklefs, 2010).
mengenyam pendidikan pada Europe Largere Sejak tahun 1909 Suwardi aktif menyu-
School atau sekolah dasar yang diselenggarakan arakan kritik tertulis terhadap kebijakan
untuk anak-anak bangsa Eropa dan sejumlah pemerintahan kolonial. Kritiknya terhadap
kecil keturunan priyayi. Setelah menyelesaikan ketidakadilan pemerintah kolonial dan seruannya
pendidikan dasar pada tahun 1904, Suwardi kepada intelektual pribumi untuk bersatu
melanjutkan ke Kweekschool atau sekolah guru membangun kemandirian bangsa dimuat di surat
di Yogyakarta. Ketika menjalani pendidikan guru, kabar Sedyotomo yang terbit di Yogjakarta,
Suwardi bertemu dan menjalin hubungan baik Midden Java di Semarang, De Express, Pesona
dengan Dr. Wahidin Soedirohusodo yang aktif dan Het Tijdschrift di Bandung, Oetoesan Hindia
memfasilitasi kalangan priyayi untuk melanjutkan di Surabaya, dan Tjahaja Timoer di Malang
pendidikan melalui jalur beasiswa pada sekolah (Wangsalegawa, 2009). Pada tanggal 5 Oktober
dokter Jawa atau School tot Ovleiding van 1912 bertempat di Semarang, Suwardi bersama
Indische Artsen (STOVIA). Pada tahun 1905- Dr. Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker
1910 Suwardi mengikuti pendidikan dokter di yang dikenal sebagai Tiga Serangkai mendirikan

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 125


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Indische Partij atau Partai Hindia (Latif, 2005). telah direnggut secara sewenang-wenang oleh
Partai ini menjadi organisasi non-Eropa yang penjajah.
paling radikal sehingga pada tahun 1913 Diskriminasi dan kesenjangan akses
Gubernur Jenderal Idenburg melarang partai ini pendidikan telah menginspirasi Ki Hadjar untuk
dan memutuskan mengasingkan Tiga Serangkai mendedikasikan hidupnya dalam bidang
(Suwardi ke Bangka, Dr. Cipto ke Banda Neira, pendidikan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, model
dan Dowes Dekker ke Timor, Kupang). Setelah pendidikan Hindia-Belanda yang diterapkan sejak
melalui negoisasi dengan pemerintah kolonial, penghujung abad ke-19 melalui kebijakan Politik
ketiga tokoh tersebut akhirnya diasingkan ke Etis tidak memadai untuk mengembangkan
Belanda yang berlangsung sejak 1914-1919. kapasitas generasi muda yang dibutuhkan
Pengasingan tidak berhasil membungkam sebuah bangsa berdaulat. Pada tanggal 3 Juli
sikap kritis dan perlawanan Suwardi dan kawan- 1922, Ki Hadjar bersama rekan-rekan
kaw annya. Pengasingan justru menempa seperjuangannya mendirikan Perguruan Taman
Suwardi untuk tampil menjadi sosok yang Sisw a (National Onderwijs Instituut
dihormati karena konsistensi dan semangat Tamansiswa) di Yogyakarta. Istilah perguruan
belajarnya yang luar biasa. Dalam masa mencerminkan kehendak untuk mewujudkan iklim
pengasingan, beliau berkecimpung sebagai pembelajaran yang sinergis antara guru dan
pegawai di Biro Pers Belanda (Nederlandsch peserta didik dalam suatu tempat layaknya
Correspondentie Bureau). Untuk mengasah keluarga (Wangsalegawa, 2009; Sularto, 2016).
kemampuan jurnalistiknya, beliau belajar dan Penyelenggaraan Perguruan Taman Siswa
menimba pengalaman dari S. de Roode (Editor dihadapkan pada tantangan internal dan
Kepala koran Het Volk) dan Mr. Wiessing dari eksternal. Secara internal, kalangan modernis
koran De Nieuwe Groene. Pada masa ini pula memandang filosofi dan praktik di institusi
beliau mendirikan Biro Pers Indonesia atau pendidikan tersebut terlalu konservatif dan tidak
Indonesisch Pers Bureau (Wangsalaegawa, mendukung jiwa dinamis dan progresif. Secara
2009). Nama lembaga tersebut menjadi tonggak eksternal, pemerintah kolonial memandang
sebutan Indonesia di kalangan pergerakan. Pada Taman Siswa membahayakan stabilitas politik
sisi lain, kebijakan pengasingan Tiga Serangkai karena visi nasionalisnya. Pada tanggal 17
menuai kritik berbagai kalangan di negeri September 1932, Pemerintah kolonial berupaya
Belanda. Parlemen Belanda melalui persidangan mempersempit ruang gerak Taman Siswa dan
alot akhirnya merekomendasikan kepada sekolah swasta lainnya melalui kebijakan
pemerintah untuk mengizinkan ketiganya kembali Ordonansi Guru (Onderwijs Ordonantie) yang
ke Hindia-Belanda. Pada tanggal 17 Agustus menetapkan bahwa guru sekolah swasta harus
1917 Gubernur Jenderal Hindia-Belanda (Graaf memperoleh ijin mengajar dari pemerintah.
van Limburg Stirum) mengeluarkan izin kepada Taman Siswa sebagai institusi pendidikan
ketiga tokoh tersebut untuk pulang ke tanah independen terancam diklasifikasikan sebagai
air. Pada tanggal 15 September 1919 Ki Hadjar sekolah ilegal atau liar. Setelah melalui
dan keluarganya sampai di pelabuhan Tanjung perjuangan yang melibatkan banyak pihak,
Priok. Sebelum meninggalkan Belanda beliau kebijakan Ordonansi Guru akhirnya direvisi pada
menulis artikel berjudul “Terug naar het front” 13 Februari 1933 (Ricklefs, 2010).
atau Kembali ke Medan Juang yang Komitmen dan kiprah Ki Hadjar dalam
dipublikasikan koran Het Volk dan De Groene pengembangan pendidikan telah mengantar-
Amsterdam (Wangsalegawa, 2009). Judul kannya menduduki jabatan Menteri Pengajaran
tulisan tersebut mengisyaratkan komitmennya yang pertama pasca kemerdekaan. Jabatannya
untuk berada di depan menyadarkan rakyat sebagai Menteri pada Kabinet Presidensil
atas hak-hak politik dan sosial-budayanya yang berlangsung sangat singkat (18 Agustus 1945-

126 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

14 November 1945) sehingga tidak memberinya secara konsisten memperjuangkan praksis


waktu memadai untuk mengaktualisasikan visi pendidikan yang bertumpu pada pengembangan
dan misinya secara komprehensif. Program yang karakter luhur dan totalitas kompetensi peserta
berhasil dirumuskan Ki Hadjar selama menjabat didik dan menganut asas kerakyatan dan
sebagai Menteri adalah: Undang-undang menjunjung tinggi rasa kebangsaan
kewajiban belajar; 2) Pendidikan dan Pengajaran (nasionalisme Indonesia).
Nasional yang bersendikan pada agama dan Kiprah aktif Ki Hadjar Dewantara dalam
kebudayaan bangsa; 3) Perkembangan mencerdaskan kehidupan bangsa mendapat
kebudayaan bangsa; 4) Pendirian sekolah- apresiasi berbagai kalangan. Universitas Gadjah
sekolah swasta yang dibiayai oleh pemerintah; Mada menganugerahinya gelar Doktor Honoris
5) Susunan pelajaran, pengetahuan dan Causa bidang Kebudayaan pada tanggal 19
kepandaian umum yang sesuai dengan rencana Desember tahun 1956. Tanggal 28 November
pelajaran; 6) Susunan/sistem persekolahan; 7) 1959, Ki Hadjar ditetapkan sebagai Pahlawan
Ketentuan pelajaran bahasa dan kebudayaan; Nasional dan tanggal lahirnya ditetapkan
8) Ketentuan tentang Pendidikan Rakyat; 9) sebagai Hari Pendidikan Nasional berdasarkan
Pendirian Balai Bahasa Indonesia; 10) keputusan Presiden RI No. 316 tahun 1959
Pengiriman pelajar Indonesia ke luar negeri (Sularto, 2016). Ki Hadjar Dewantara wafat di
(Musyafa, 2015). Yogyakarta pada tanggal 26 April 1959 dan
Warisan Ki Hadjar yang telah merumuskan dimakamkan di Taman Wijaya Brata, Yogyakarta
teori pendidikan dan contoh nyata melalui
Perguruan Taman Siswa telah memberi kontribusi Rasionalitas Praksis Pendidikan Ki Hadjar
penting dalam sejarah pendidikan di tanah air. Dewantara sebagai Basis Indigenisasi
Taman Siswa secara berkelanjutan memperluas Pendidikan Nasional
kontribusinya pasca proklamasi kemerdekaan Pendidikan nasional merupakan pengeja-
dengan pembukaan berbagai cabang baru di wantahan hasrat bersama untuk mewujudkan
seluruh Indonesia. Taman Siswa memiliki 133 sumber daya manusia yang berkarakter dan
cabang yang tersebar di berbagai daerah dan kompeten. Untuk mewujudkan idealitas tersebut
menyelenggarakan pendidikan mulai dari jenjang diperlukan adanya upaya sistematis dan
TK, SD, SMP, SMA/SMK sampai Perguruan berkelanjutan untuk mengungkap nilai-nilai
Tinggi. Sularto (2016) menyebutkan bahwa pada substansial dari warisan bangsa untuk dijadikan
tahun 2014 terdapat sekitar 50.000 siswa dan landasan dari praksis pendidikan nasional.
3.000 pamong yang terdaftar pada Perguruan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dalam
Taman Siswa yang tersebar pada lima wilayah. sambutan buku Inspirasi Kebangsaan dari Ruang
Wilayah terbesar adalah Sumatera Barat, Kelas karya Sularto (2016) menyatakan bahwa
Sumatera Utara, dan Riau Kepulauan dengan “mempelajari, mengkaji, dan memahami
33 cabang dan 18.000 siswa; wilayah bimbingan pemikiran-pemikiran para tokoh pelopor
Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta pendidikan Indonesia akan memampukan kita
sebanyak 32 cabang dengan sekitar 15.000 memahami kemunculan dan tumbuhnya inspirasi
siswa; wilayah bimbingan Sumatera Selatan, kemerdekaan dari ruang-ruang pendidikan, serta
Lampung dan Bengkulu sebanyak 14 cabang menjadikannya bahan refleksi terhadap arah
dengan sekitar 4.000 siswa; wilayah Jawa Barat pendidikan Indonesia ke depan.” Kutipan
dan Jakarta sebanyak 14 cabang dengan 9.000 tersebut menegaskan bahwa minimnya
siswa; serta wilayah Jawa Timur dan Nusa kesadaran untuk mengapresiasi warisan
Tenggara Barat dengan 14 cabang dengan pemikiran masa lalu membuka ruang terjadinya
12.000 sisw a. Melalui berbagai jenjang pembenahan pendidikan yang bias dan tambal-
pendidikan tersebut, Perguruan Taman Siswa sulam. Ketidakpedulian terhadap gagasan yang

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 127


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

telah diletakkan para pendahulu berpotensi dengan berbagai dinamikanya belum sepenuhnya
memperluas sikap pengagungan berlebihan mencerminkan falsafah hidup bangsa
dalam menempatkan praksis pendidikan dari luar sebagaimana diletakkan fondasinya oleh para
dan menjerumuskan generasi menjadi peniru tokoh bangsa menjelang dan awal kemerdekaan
yang dangkal. Keteguhan sikap dan kemampuan (Surakhmad, 2009). Orientasi pendidikan
diperlukan untuk melakukan negosiasi yang liberalistik dan materialistik yang berfokus pada
kreatif dalam pelestarian tradisi dan kemampuan pemenuhan kebutuhan pasar tenaga kerja
mengadaptasi dinamika ilmu pengetahuan dan menyebabkan misi pendidikan untuk membangun
teknologi yang sangat cepat (Dorner & Gorman, jati diri atau karakter bangsa menjadi tersisih
2006). dalam diskursus pendidikan. Pendidikan di
Praksis pendidikan Ki Hadjar Dewantara Indonesia telah menjalani proses yang amat
berfokus pada visi pengembangan sumber daya berlainan dengan perkembangan kebudayaan.
manusia yang memiliki karakter dan kompetensi Pendidikan di Indonesia bukan lagi persoalan
untuk mengisi kemerdekaan sebagai bangsa kebudayaan, melainkan lebih sebagai
yang berdaulat (Yamin, 2009; Musyafa, 2015; kepentingan politik di satu sisi dan kepentingan
Jones, 2005). Salah satu manifestasi kedaulatan ekonomi di sisi lain (Jones, 2005).
dalam pendidikan diindikasikan dengan Realitas pendidikan di tanah air menunjukkan
kemampuan akademisi dan praktisi pendidikan bahwa akademisi dan praktisi pendidikan lebih
dalam memberi warna pada teori dan praktik tertarik mengambil jalan pintas untuk
pendidikan yang berakar pada relitas kultural mengadopsi model pendidikan dari luar (Barat).
dan kontekstual. Pendidikan di era merdeka Tidak banyak intelektual yang terpanggil untuk
seyogianya tidak hanya melanjutkan warisan secara sungguh-sungguh berupaya mem-
pendidikan kolonial atau meniru model pendidikan formulasikan praksis pendidikan yang berpijak
yang ditiru dari luar tanpa sikap kritis. pada kekayaan khazanah pemikiran para pelopor
Keterkungkungan pada tradisi dan sikap rendah di tanah air. Rektor Unversitas Pendidikan
diri ketika berhadapan dengan modernitas Indonesia yang memberikan kata pengantar
merupakan mentalitas yang harus dipupus untuk untuk buku Etnopedagogy: Landasan Praktek
membangun pendidikan nasional. Surakhmad Pendidikan dan Pendidikan Guru menyatakan;
(2009) mengungkapkan bahwa pendidikan “...di antara kita ada miskonsepsi seolah-
nasional harus mampu menjadi benteng yang olah pendidikan yang terbaik itu adalah sistem
kuat dan menjadi motivator tumbuh dan pendidikan yang dikembangkan di dunia Barat
berkembangnya kekayaan serta kekuatan sehingga seringkali kita menelan mentah-mentah
budaya sebagai bentuk yang tinggi dari etik konsep Barat tanpa sikap kritis. Di antara kita
dan estetik bangsa. Pendidikan nasional akan selama ini silau dengan sistem pendidikan Barat
berfungsi secara optimal dalam mencerdaskan sehingga buta terhadap keunggulan lokal yang
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan lama terpendam dalam bumi kebudayaan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemer- Indonesia” (Alwasilah, Suryadi, Karyono, 2009:
dekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial iii).
apabila berakar pada realitas aktual dan Kutipan tersebut menyajikan potret buram
kontekstual masyarakat Indonesia. kaum terdidik dalam menempatkan khazanah
Ki Hadjar Dewantara adalah salah satu figur pemikiran para pionir pendidikan. Relatif abainya
penting yang meletakkan pilar praksis pendidikan institusi pendidikan untuk memperkenalkan
Indonesia. Revitalisasi praksis pendidikan Ki konsep pendidikan yang dikemukakan para tokoh
Hadjar Dewantara semakin penting di tengah pendidikan Indonesia berimplikasi pada
krisis fundamental pendidikan nasional. meluasnya perasaan rendah diri kalangan
Perjalanan pendidikan nasional pasca proklamasi terdidik di tanah air untuk meneliti dan

128 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

mengembangkan model pendidikan yang berpijak laman, transmisi sejarah dan kerangka
pada warisan kulturalnya (Wangsalegawa, pemahaman terhadap realitas kepada generasi
2009). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan muda. Institusi pendidikan berperan sebagai
mengungkapkan keprihatinannya terhadap agen pembudayaan (Williamson & Dalal, 2007;
fenomena keterpukauan masyarakat Indonesia Moreira, 2009). Indigenisasi tidak boleh
pada model pendidikan Finlandia tetapi tidak disimpangkan maknanya sebagai romantisme
banyak yang menyadari bahwa konsep historis yang mengandaikan hasrat untuk
pendidikan Finlandia sesungguhnya sudah kembali ke masa lalu. Masa lalu yang
banyak dituliskan Ki Hadjar Dewantara, Bapak dibayangkan sebagai realitas tanpa konflik dan
Pendidikan Indonesia, Menteri Pendidikan dan sepenuhnya ideal.
kebudayaan pertama, sejak hampir seabad yang Ki Hadjar Dewantara memiliki keyakinan yang
lalu (Sularto, 2016). teguh bahwa untuk mewujudkan bangsa yang
Indigenisasi pendidikan nasional melalui berdaulat dan bermartabat mempersyaratkan
pengungkapan kembali praksis pendidikan Ki transformasi mentalitas warga negara yang
Hadjar Dewantara bukanlah hal yang sama sekali menghargai warisan kultural dan intelektual
baru. Sejumlah ketentuan menegaskan bahwa bangsanya. Dalam Harian Kedaulatan Rakyat
pendidikan nasional harus berorientasi pada yang terbit pada 20 Mai 1953, Ki Hadjar
pengembangan jati diri budaya bangsa. Undang- Dewantara (2009:79) menegaskan, “apabila kita
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem tidak sanggup untuk mengadaptasikan segala
Pendidikan Nasional menegaskan bahwa puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan yang
pendidikan nasional adalah pendidikan yang terdapat di seluruh kepulauan kita, maka berarti
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang rakyat Indonesia pada saat ini belum mempunyai
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kebudayaan yang cukup bernilai untuk menghiasi
yang berakar pada nilai-nilai agama, hidup dan kehidupannya sebagai bangsa yang
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap merdeka.”
terhadap tuntutan perubahan zaman. Selain itu, Untuk itu, pendidikan nasional menempati
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang posisi sangat strategis dan menentukan dalam
Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan transmisi dan transformasi budaya (Williamson
Nasional menegaskan bahwa prioritas pendidikan & Dalal, 2007). Pendidikan adalah proses
diarahkan pada penyempurnaan kurikulum dan transformasi kebudayaan yang paling tepat
metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai- untuk mewariskan nilai-nilai kebudayaan pada
nilai budaya bangsa untuk membentuk daya warga bangsa (Goodson & Crick, 2009).
saing dan karakter bangsa. Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang
Tantangan indigenisasi pendidikan terletak tidak mencerabut masyarakat dari akar
pada komitmen untuk mengaktualisasikan dan kebudayaan yang menjadi pegangan dan
mengimplementasikannya. Keberanian untuk pedoman untuk melakukan tindakan. Pendidikan
mengenali dan memperlakukan secara bijak harus menjadi wahana bagi pengembangan dan
khazanah pemikiran masa lalu yang di- penumbuhan budaya bangsa.
padupadankan dengan kemampuan meman- Indigenisasi memanifestasikan komitmen
faatkan peluang dan tantangan masa kini pihak-pihak yang tidak puas terhadap dominasi
menjadi penentu keberlanjutan indigenisasi perspektif homogenisasi pendidikan yang telah
pendidikan. Indigenisasi pendidikan mem- berdampak pada kaburnya identitas budaya dan
persyaratkan adanya kesadaran bersama bahwa keragaman ekspresi budaya dalam pendidikan.
pendidikan merupakan aktivitas yang terkait Melalui indigenisasi pendidikan diharapkan agar
dengan konteks sosial dan berperan penting identitas lokal yang sebelumnya termarginalisasi
dalam mengembangkan serangkaian penga- dan inferior mengalami perubahan ke arah yang

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 129


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

lebih positif. Indigenisasi bertujuan menghapus menempatkan praksis pendidikan sebagai upaya
stigma dan pandangan stereotip terhadap untuk mengoptimalkan potensi peserta didik
kearifan lokal yang telah tertanam luas akibat yang harus berakar pada warisan luhur budaya
kolonisasi (Agussalim, 2007; Ismailova, 2004; bangsa. Pendidikan nasional mengemban
Yunong & Xiong, 2015; Biermann & Townsend- amanah mempersiapkan generasi anak bangsa
Cross, 2008). Indigenisasi meniscayakan yang memiliki karakter luhur dan kompeten.
tumbuhnya sikap tidak mudah terpukau oleh Salah satu model epistimologis untuk
budaya atau teori dari luar sebelum diuji secara mengembangkan pendidikan nasional yang
kritis. Keyakinan naif yang dianut akademisi dan berakar pada khazanah luhur budaya bangsa
praktisi pendidikan bahwa teori yang terbukti termanifestasi pada indigenisasi atau pribumisasi
efektif diterapkan di negara maju dengan pendidikan. Indigenisasi pendidikan berorientasi
sendirinya akan berhasil apabila diadopsi di pada pengembangan teori dan praktik
negara-negara berkembang. Nguyen, dkk. pendidikan yang kontekstual, responsif dan
(2009) setelah melakukan penelitian di sejumlah relevan dengan tuntutan dan kebutuhan
negara di Asia mengungkapkan masih kuatnya perkembangan zaman. Indigenisasi berangkat
mentalitas penurut di kalangan akademisi dan dari keyakinan bahwa kemerdekaan politik
praktisi pendidikan yang hanya mengekor pada mempersyaratkan kemerdekaan dalam ber-
hasil capaian dari Barat berimplikasi pada kebudayaan. Kemerdekaan dalam berkebu-
meluasnya mentalitas inferior atau disebutnya dayaan hanya mungkin diwujudkan apabila
mental colonialism. Keberanian untuk meng- pendidikan diformulasikan dari akal merdeka yang
ungkap dan merevitalisasi teori dan praktik sadar akan jati diri budayanya dan pemahaman
pendidikan yang berakar pada epistimologi dan mendalam terhadap dinamika sosial.
konteks dimana pendidikan tersebut berlangsung
merupakan keniscayaan untuk meningkatkan Saran
kebermaknaan dan relevansi pendidikan (Asher, Berdasarkan paparan dalam kajian ini, para
2009; Biermann & Townsend-Cross, 2008). akademisi dan praktisi pendidikan di tanah air
Sejalan dengan pandangan tersebut, Gopinathan hendaknya mulai memberi ruang dan perhatian
(2006) mengemukakan bahwa melalui lebih proporsional pada pengungkapan gagasan
indigenisasi diharapkan proses pendidikan lebih dan praktik pendidikan yang berpijak pada
akomodatif dan responsif dalam meng- khazanah pemikiran para pionir pendidikan di
integrasikan nilai kultural sehingga apresiasi tanah air. Keberanian untuk mengungkap secara
terhadap khazanah kearifan lokal berkembang kreatif warisan budaya bangsa yang dibarengi
secara simultan. sikap terbuka-kritis dalam memaknai dinamika
perkembangan teori dan praktik pendidikan
SIMPULAN DAN SARAN kontemporer menjadi prasyarat bagi pengem-
Simpulan bangan paradigma pendidikan nasional yang
Interdependensi kebudayaan dan pendidikan berjati diri dan responsif terhadap tuntutan
merupakan postulat utama praksis pendidikan zaman
Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara

130 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

PUSTAKA ACUAN
Abma. T. 2006. The Practice and Politics of Responsive Evaluation. American Journal of
Evaluation, 27(1), 31-43.
Agussalim. 2007. Indigenisasi Ilmu Pendidikan di Indonesia. Agussalim [Ed.]. Indonesia Belajarlah:
Membangun Pendidikan Indonesia. Semarang: Tiara Wacana
Alatas, S.F. 2010. Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap
Eurosentrisme. Bandung: Mizan.
Alwasilah, C., Suryadi, K., Karyono, T. 2009. Etnopedagogi: Landasan Praktek Pendidikan dan
Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat.
Asher, N. 2009. Considering Curriculum Questions and the Public Good in the Postcolonial,
Global, 21st-Century Context. Curriculum Inquiry, 39(1), 193-210.
Bates, R. 2008. Teacher Education in Global Context: Towards a Defensible Theory of Teacher
Education. Journal of Education of Teaching. 34(4), 277-293.
Biermann, S., Townsend-Cross. 2008. Indigenous Pedagogy as a Force for Change. The
Australian Journal of Indigenous Education. 37(1), 146-155.
Burden-Leahy, S.M. 2009. Globalisation and Education in the Postcolonial World: the Conundrum
of the Higher Education System of the United Arab Emirates. Comparative Education,
45(4), 525-544.
Daslani, P. 2008. Circulation of Top Brains Amid Inferiority Complex. Campus Asia, 1(1), 84-85
Dewantara, K.H. 1962. Karja Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama, Pendidikan. Yogyakarta:
Pertjetakan Taman Siswa.
Dewantara, K.H. 1967. Karja Ki Hadjar Dewantara: Bagian Kedua, Kebudajaan. Yogyakarta:
Pertjetakan Taman Siswa.
Dewantara, K.H. 2009. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perguruan Tinggi di Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dominelli, L., dan Loakimidis, V. 2015. Indigenisation and Globalisation: Rethinking Social Work’s
Approach to International Issues. International Social Work. 58(6), 777-779
Dorner, D.E., dan Gorman, G.E. 2006. Information Literacy Education in Asian Developing
Countries: Cultural Factors Affecting Curriculum Development and Programme Delivery.
International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA) Journal, 32(4):
281–293.
Ferguson. 2005. Beyond Indigenization and Reconceptualization: Towards a Global,
Multidirectional Model of Technology Transfer. International Social Wor, 48 (5), 519–535.
Goodson, I., dan Crick, R.D. 2009. Curriculum as Narration: Tales from the Children of the
Colonised. The Curriculum Journal, 20(3) , 225–236
Gopinathan. 2006. Challenging the Paradigm: Notes on Developing an Indigenized Teacher
Education Curriculum. Improving Schools, 9(3), 261–272.
Indriyanto, B. 2009. Respons Kebijakan Pendidikan terhadap Globalisasi. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, 15(1), 1-15
Ismailova, B. 2004. Curriculum Reform in Post-Soviet Kyrgyzstan: Indigenization of the History

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 131


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Curriculum. The Curriculum Journal, 15(3), 247-266.


Jones, T. 2005. Indonesian Cultural Policy 1950-2003: Culture, Institution and Government.
Dissertation. Faculty of Media, Society and Culture, Curtin University of Technology.
Kementerian Dalam Negeri. 2010. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan
Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Latif, Y. 2005. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-
20. Bandung: Mizan.
Lauderdale, P. 2009. Collective Indigenous Rights and Global Social Movements in the Face of
Global Development From Resistance to Social Change. Journal of Developing Societies,
25(3), 371–391
Li, X. 2009. A Daoist Perspective on Internationalizing Curriculum. Curriculum Inquiry, 39(1),
180-195
Moreira, C. 2009. Unspeakable Transgressions: Indigenous Epistemologies, Ethics, and
Decolonizing Academy/Inquiry. Cultural Studies-Critical Methodologies, 9(5), 647-660.
Musanna, A. 2010. Revitalisasi Kurikulum Muatan Lokal Untuk Pendidikan Karakter Melalui
Evaluasi Responsif. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 16 (Edisi Khusus III), 245-255.
Musanna, A. 2012. Quo Vadis Praksis Evaluasi Kurikulum: Studi Pendahuluan Terhadap Ranah
Kurikulum yang Terlupakan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 18(1), 1-11.
Musyafa, H. 2015. Sang Guru: Novel Biografi Ki Hadjar Dewantara, Kehidupan, Pemikiran, dan
Perjuangan Pendiri Tamansiswa (1889-1959). Bandung: Mizan Media Utama.
Nguyen, P., Elliot, J.G., Terlouw, C., Pilot, A. 2009. Neocolonalisme in Education: Cooperatif
Learning in Asia. Comparative Education, 45(1), 109-130
Pearce, S. 2008. Critical Reflection on Central Role of Indigenous Program Facilitators in
Education for Social Change. The Australian Journal for Indigenous Education, 36, 131-
137
Ricklefs, M.C. 2010. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008. Cet. III. Jakarta: Serambi.
Smith, K.E.I. 2008. Comparing State and International Protections of Indigenous Peoples’ Human
Rights. American Behavioral Scientist, 51(12), 1817-1835
Sparapani, E.F., Perez, D.C., Gould, D., Hillman, S. 2014. A Global Curriculum? Understanding
Teaching and Learning in the United States, Taiwan, India, and Mexico. SAGE Open, April-
June, 1-15
Sularto, ST. 2016. Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas: Willem Iskander, Ki Hadjar
Dewantara, dan Moh. Syafei. Jakarta: Kompas.
Surakhmad, W. 2009. Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Tikly, L. 2004. Education and New Imperialism. Journal of Comparative Education, 40(2), 173-
198
Tilaar, H.A.R. 2012. Kaleidoskop Pendidikan Nasional. Jakarta: Gramedia.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah
Wangsalegawa, T. 2009. Origins of Indonesian Curriculum: Theory and Practice. Dissertation.
Chicago: University of Illinois at Chicago.

132 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017


Al Musanna, Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Williamson, J. & Dalal, P. 2007. Indigenising the Curriculum or Negoitiating the Tension at the
Cultural Interface? Embedding Indigenous Perspectives and Pedagogies in a University
Curriculum. The Australian Journal of Indigenous Education, 36 (2), 51-59
Yamin, M. 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia: Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar
Dewantara. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Yan, M.C. 2014. Towards a Pragmatic Approach: A Critical Examination of Two Assumptions of
the Indigenization Discourse. China Journal of Social Work, 6(1), 14-24.
Yunong, H., dan Xiong, Z. 2015. A Reflection on the Indigenization Discourse in Social Work.
International Social Work, 51(5), 611–622.

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017 133

Anda mungkin juga menyukai