Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

ADVANCE NURSING PRACTICE II


“KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
FRAKTUR BASIS CRANII”

Dosen Pembimbing :
Suratmi., S.Kep., Ns., M.Kep

Disusun Oleh :
Kelompok 02 (VII-A)

1. Ayyinatul Muawwanah (14.02.01.1397) 6. Rizka Fatihatun Nisa’ (14.02.01.1428)


2. Dian Rosyidah (14.02.01.1403) 7. Vivi Fitrotun N (14.02.01.1438)
3. Lita Rafika Agustina (14.02.01.1411) 8. Vicki Charachev Y. S. (14.02.01.1437)
4. Moh. Octa Firmasyah (14.02.01.1416) 9. Ninda Junita (14.02.01.1881P)
5. Nunuk Cahayani (14.02.01.1420)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
LAMONGAN
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Disusun oleh kelompok 02

Telah disusun makalah berjudul :


Konsep Asuhan Keperawatan Fraktur Basis Craii.
Untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Advance Nursing Practice II yang telah
disetujui untuk dipresentasikan.

Lamongan, Oktober 2017

Mengetahui,
Dosen Pembimbing

Suratmi, S. Kep., Ns. M. Kep.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya penulis
akhirnya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu. Dan dengan mengucap puji
syukur atas curahan kasih karunia-Nya kepada penulis, terutama ilmu dan akal sehat
sehingga dengan ijin-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang
berjudul “KONSEP ASKEP FRAKTUR BASIS CRANII”. Makalah ini disusun sebagai
tugas mata kuliah “ADVANCE NURSING PRACTICE I”.
Dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari beberapa
pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Bpk. Drs. H. Budi Utomo, Amd.Kep., M.Kes, selaku ketua STIKES Muhammadiyah
Lamongan.
2. Bpk. Arifal Aris, S. Kep. Ns, M.Kes selaku ketua prodi S1 Keperawatan STIKES
Muhammadiyah Lamongan.
3. Suratmi., S.Kep., Ns., M.Kep., selaku pembimbing dan dosen mata kuliah Advance
Nursing Practice II.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini penuh
keterbatasan dan masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, saran yang konstruktif
merupakan bagian yang tak terpisahkan dan senantiasa kami harapkan demi
penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak. Allahumma Amin.

Lamongan, Oktober 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

MAKALAH................................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... ii

KATA PENGANTAR ............................................................................ iii

DAFTAR ISI ............................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2

1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 2

1.3.1 Tujuan umum.................................................................................... 2

1.3.2 Tujuan khusus ................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN TEORI .................................................................... 3

2.1 Definisi Trauma Kepala ................................................................................ 3

2.2 Klasifikasi Trauma Kepala ............................................................................ 3

2.3 Etiologi Trauma Kepala ................................................................................ 5

2.4 Manisfestasi Klinis Trauma Kepala .............................................................. 5

2.5 Patofisiologi Trauma Kepala ......................................................................... 6

2.6 Pathway ......................................................................................................... 8

2.7 Penatalaksanaan Trauma Kepala ................................................................... 9

2.7.1 Medis (Kowalak, 2011) .................................................................... 9

2.7.2 Keperawatan (Kowalak, 2011) ....................................................... 10

2.8 Komplikasi Trauma Kepala......................................................................... 11

2.9 Pemeriksaan Penunjang Trauma Kepala ..................................................... 12

iv
v

2.10 Prognosis Trauma Kepala ......................................................................... 12

BAB III KONSEP KEPERAWATAN FRAKTUR BASIS CRANII 13


3.1 Pengkajian ................................................................................................... 13

3.1.1 Identitas .......................................................................................... 13

3.1.2 Riwayat Kesehatan ......................................................................... 13

3.1.3 Pemeriksaan Primer ........................................................................ 13

3.1.4 Pemeriksaan Sekunder.................................................................... 14

3.2 Diagnosa Keperawatan ................................................................................ 17

3.3 Intervensi Keperawatan ............................................................................... 18

BAB IV PENUTUP ................................................................................ 22

4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 22

4.2 Saran ............................................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 23


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik,
keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang (Nurarif & Kusuma, 2013). Salah satu
fraktur yang sering terjadi yaitu fraktur basis cranii. Fraktur basis cranii adalah suatu
fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini sering kali disertai
dengan robekan pada duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racun eyes sign (fraktur basis
krani fossa anterior), atau othorhea dan battle sign (fraktur crani fossa media) (Kowalak,
2011).
Cedera pada susunan saraf pusat masih merrupakan penyebab utama tingginya
angka morbiditas dan mortalitas pada usia muda di seluruh dunia. Pada tahun 1998
sebanyak 148.000 orang di amerika meninggal akibat berbagai jenis cedera.Trauma
kapitis menyebabkan 50.000 kematian.Insiden rata-rata (gabungan jumlah masuk rumah
sakit dan tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000 penduduk.Sebanyak 22% pasien
trauma kapitis meninggal akibat cederannya.Sekitar 10.000 – 20.000 kejadian medulla
spinalis setiap tahunnya (Kowalak, 2011).
Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus fraktur linear
sederhana, yang merupakan jenis yang paling umum, terutama pada anak usia dibawah 5
tahun. Fraktur tulang temporal sebanyak 15-48% dari seluruh kejadian fraktur tulang
tengkorak, dan fraktur basis crani sebesar 19-21%. Fraktur depresi antara lain
frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada daerah-daerah lain (10%).
Sebagian besar fraktur depresi merupakan fraktur terbuka (75-90%). Insiden fraktur
tulang tengkorak rata-rata 1 dari 6.413 penduduk (0,02%), atau 42.409 orang
setiaptahunnya. Sejauh ini fraktur linear adalah jenis yang banyak, terutama pada anak
usia dibawah 5 tahun amerika serikat.
Akibat dari fraktur basis cranii akan menimbulkan beberapa masalah, salah satunya
perdarahan otak. Oleh sebab itu perawat kedaruratan harus dapat mengkaji secara adekuat
pasien fraktur basis cranii dan memulai tindakan keperawatannya. Meskipun peran

1
2

perawat dalam program pencegahan amat penting, perannya dalam mengenali dan
merawat pasien fraktur basis cranii juga tidak kalah pentingnya (Oman, 2008).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka menjadi penting untuk menyusun makalah
tentang konsep fraktur basis cranii untuk mengetahui lebih dalam tentang karakteristik
fraktur basis cranii serta bagaimana penatalaksanaan keperawatan yang tepat. Sehingga
kejadian yang tidak diinginkan seperti adanya komplikasi lebih lanjut seperti angka
kesakitan dan angka kematian akibat fraktur ini dapat dikurangi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana konsep teori dari fraktur basis cranii ?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawaatan pada klien fraktur basis cranii ?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Advance Nursing Praktice I pada program studi S-1 Keperawatan di
STIKES Muhammadiyah Lamongan.

1.3.2 Tujuan khusus

Diharapkan Mahasiswa mampu :


1. Untuk mengetahui konsep teori dari fraktur basis cranii.
2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawtan pada klien fraktur basis cranii.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Fraktur Basis Cranii

Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi


pada dasar tengkorak yang tebal. Fraktur ini sering disertai
dengan robekan ada duramater. Fraktur basis crania sering
terjadi ada 2 lokasi anatomi tertentu yaitu region temporal dan
region occipital condylar (Kowalak, 2011).
Fraktur basis crania dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fraktur fossa anterior
dan fraktur fossa posterior. Fraktur basis crania meruakan yang aling serius terjadi karena
melibatkan tulang – tulang dasar tengkorak dengan komplikasi otorrhea cairan
serebrosinal ( cerebrospinal fluid ) dan rhinorrhea (Engram, 2007).
Beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan fraktur basis cranii adalah
suatu kondisi dimana suatu fraktur ada tulang tengkorak yang biasanya terjadi karena
adanya benturan secara langsung merupakan fraktur akibat benturan langsung ada daerah
dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita) transmisi energy yang berasal dari
benturan ada wajah atau mandibula.

2.2 Klasifikasi Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), fraktur basis cranii dapat diklasifikaikan sebagai berikut
:
1. Fraktur petrosa os temporal

Fraktur petrous os temporal ini meluas dari bagian skuamosa tulang temporal
terhadap piramida petrosa dengan sering keterlibatan sendi temporomandibular.
Fraktur oblik ini sering mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif akibat

3
4

dislokasi incudostapedial. Hematotimpanum dan otorea juga sering terjadi pada


fraktur oblik. Keterlibatan saraf fasialis kurang umum daripada pada fraktur
transversal.
2. Fraktur longitudinal os temporal

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian


squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan
tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau
posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media
dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal
merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal
dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,
berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur
dari kedua fraktur longitudinal dan transversal
3. Fraktur transversal os temporal

Fraktur transversal tulang temporal tegak lurus terhadap sumbu panjang dari
piramida petrosa dan biasanya akibat trauma tumpul oksipital atau temporoparietal.
Fraktur ini melibatkan dari foramen magnum melalui fosa posterior, melalui
pyramid petrosa, termasuk kapsul otik dan ke dalam fosa kranial tengah. Kapsul
otik dan kanalis auditorius internal sering terlibat juga.
4. Fraktur condylar os oksipital
5

Fraktur condylar os oksipital dengan garis fraktur meluas di hampir segala arah di
bagian basal tengkorak mungkin dapat dilihat. Akhir-akhir ini, juga terdapat
peningkatan tren untuk menggolongkan fraktur tulang temporal menjadi
perenggangan kapsul otik (otic capsule sparing/OCS) dan kerusakan kapsul otik
(otic capsule disrupting/OCD), yang menunjukkan korelasi lebih baik terhadap
sekuel klinis (Ho dan Makishima, 2010). Fraktur OCS lebih sering terjadi (>90%)
daripada OCD, dan OCD berkaitan dengan tingginya insidensi cedera saraf fasialis
(30-50%), SNHL, dan kebocoran cairan serebrospinal (2-4 kali lebih tinggi
daripada OCS).

2.3 Etiologi Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), Etologi fraktur basis cranii dapat meliputi :


1. Kecelakaan kendaraan atau transportasi.
2. Kecelakaan terjatuh.
3. Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga.
4. Kejahatan dan tindak kekerasan.

2.4 Manisfestasi Klinis Fraktur Basis Cranii

Menurut Engram (2007), Tanda dan Gejala fraktur basis cranii berdasarkan
klasifikasi sebagai berikut :
1. Fraktur petrous os temporal
a. Otorrhea
b. Battle sign (Memar pada mastoids)
c. Rhinorrhea
d. Raccoon eyes (Memar di sekitar palpebral)
e. Kehilangan kesadaran dan GCS dapat bervariasi tergantung pada kondisi
patologis intracranial
6

2. Fraktur longitudinal os temporal


Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran
dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berangsung lebih dari 6 –
7 minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 6-7
minggu disebabkan karena hemotympanum dan oedema mukosa di fossa tmpany.
Facial palsy, nygtagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari
keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
3. Fraktur tranversal os temporal
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan lairin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen
(permanent neural hearing loss)
4. Fraktur condylar os oksipital
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius.Sebagian
besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada
dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang serviklis.Pasien ini juga
memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.

2.5 Patofisiologi Fraktur Basis Cranii

Fraktur basis crani merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-daerah
dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbital), tansmisi energy yang berasal dari
benturan pada wajah atau mandubula, atau efek “remote” dai benturan pada kepala
(“gelombang tekanan”) yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk
tengkorak) (Corwin, 2009).
Tipe dari fraktur basis crani yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura didasar tengkorak dimana spinal cord lewat.
Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring
fracture in komplit lebih sering dijumai. Kematian biasannya terjadi seketika kamu cedera
batan otak disertai denan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar
tengkorak (Corwin, 2009).
Fraktur basis crani telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan
dari arah mandibular atau wajah dan kubah tengkorak, atau akiat beban inersia pada
7

kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya baban inersia, misalnya, ketika
dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan
dengan sebuah objek misalnya pagar. Kemudian secara tiba – tiba mengalami percepaatan
gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum,
beban inersia tersebut kemudian menyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat
terjadi akibat paksa ruda paksa pada benturan tipe vertical, arah benturan dari inferior
diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari ara superior kemudian
diteruskan kearah acciput atau mandibular.
8

Kecelakaan
2.6 Pathway kendaraan/transportasi Kecelakaan olahraga
Kecelakaan terjatuh Kejahatan/tindak kekerasan

Fraktur Basis Cranii

Fraktur Petrosa os Fraktur Longitudinal Fraktur Transversal os Fraktur Condylar os


Temporal os temporal temporal temporal

Menembus kulit kepala

Tulang tengkorak

B1 (Breathing) B2 (Blood) B3 (Brain) B4 (Bladder) B5 (Bowel) B6 (Bone)

Keadaan stasioner Bradikardi Kekuatan dari coup Asupan cairan Meningen Aliran
Patah Tersisa Darah
Jaringan kranial Hipotensi Otak
tulang Kerusakan Jumlah urin menurun
tengkorak Mendorong otak meatus
Dekat tempat Penurunan Turgor kulit Menunjukkan
acusticus Sianosis
benturan Rhinorhoe curah jantung lubang
Menghantarkan
isi tengkorak Gangguan TIK Otot
Kusmaul Ottorhoe
Gangguan Edema pupil Eliminasi Urine
penglihatan Benturan
Sesak TIK Mual/muntah Hemiparase
Cedera sekunder Ketidakefektifan
Ketidakefektifan Gangguan Rasa Perfusi Jaringan Kekurangan Intoleransi
pola napas Nyaman (Nyeri) Kesadaran Otak Volume Cairan Aktivitas
9

2.7 Penatalaksanaan Fraktur Basis Cranii

2.7.1 Medis (Kowalak, 2011)

1. ABC
a. Airway dengan jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi kalau perlu dipasang oropharyngeal tube atau
nasopharyngeal tube.
b. Breathing dengan memberikan O2 dengan menggunakan alat bantu pernafasan
misalnya Nasal Kanul, Simple Mask/Rebreating Mask, Mask Nonrebreating,
Bag-Valve-Mask, dan Intubasi Endotrakea.
c. Circulation pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5
kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi
antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam
darah dan akan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan
perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa
dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
2. Medikasi
No Nama Obat Dosis Keterangan
1 Diuretik osmotik Dosisnya 0,5-1 g/kgBB, Untuk mencegah rebound
(manitol 20%) diberikan dalam 30 menit.
Pemberian diulang setelah
6 jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit
2 Loop diuretic Dosisnya 40 mg/hari IV Pemberiannya bersama
(furosemid) manitol, karena
mempunyai efek sinergis
dan memperpanjang efek
osmotik serum mannitol
3 Diazepam Dosisnya 10 mg IV dan Diberikan bila ada kejang
bisa diulang sampai 3 kali
bila masih kejang

9
10

4. Analgetik Dosisnya 325 atau 500 mg Untuk mengurangi


(asetaminofen) setiap 3 atau 4 jam, 650 mg demam serta mengatasi
setiap 4-6 jam, 1000 mg nyeri ringan sampai
setiap 6 sedang akibat sakit
kepala
5. Analgetik 30-60 mg, tiap 4-6 jam Untuk mengobati nyeri
(kodein) sesuai kebutuh ringan atau cukup parah
6. Antikonvulsan Dosisnya 200 hingga 500 Untuk mencegah
(fenitoin) mg perhati serangan epilepsi
7. Profilaksis Biasanya digunakan Tindakan yang sangat
antibiotic setelah 24 jam pertama, penting sebagai usaha
lalu 2 jam pertama, dan 4 untuk mencegah
jam berikutnya terjadinya infeksi pasca
operasi

3. Pembedahan
Evakuasi hematoma atau kraniotomi untuk mengangkat atau mengambil fragmen
fraktur yang terdorong masuk ke dalam otak dan untuk mengambil benda asing dan
jaringan nekrotik sehingga risiko infeksi dan kerusakan otak lebih lanjut akibat
fraktur dapat dikurangi.
4. Imobilisasi
Pada pasien cedera kepela berat mobilisasi bisa dilakukan dengan pemasangan
servical colar. Servical colar sendiri adalah alat penyangga tubuh khusus untuk
leher. Alat ini digunakan untuk mencegah pergerakan tulang servical yang dapat
memperparah kerusakan tulang servical yang patah maupun pada cedera kepala.
Alat ini hanya membatasi pergerakan minimal pada rotasi, ekstensi, dan fleksi.

2.7.2 Keperawatan (Kowalak, 2011)

1. Pengendalian tekanan IntraCranial


Mannitol efektif untuk mengurangi odema serebral dan TIK. Selain karena efek
osmotic, mannitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus
11

microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus mannitol


tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g/kg.
2. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg, baik dengan
mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP. Rehidrasi secara adekuat dan
mendukung kardiovaskuler dengan vasopressors dan inotropic untuk meningkatkan
MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak >70 mmHg.
3. Mengontrol hematocrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematocrit. Viskositas darah meningkat
sebanding dengan semakin meningkatnya hematocrit dan tingkat optimal sekitar
35%. Aliran darah otak berkurang jika hematocrit meningkat dari 50% dan
meningkat dengan tingkat hematocrit di bawah 30.
4. Pengaturan suhu
Demam dapat mempercepat deficit neurologis yang ada dan dapat memperburuk
kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar 6-9% maka
harus diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.
5. Kontrol cairan
NaCl 0,9% dengan osmolaritas 308 mosm/I, telah menjadi kristaloid pilihan dalam
manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9% saline membutuhkan 4 kali
volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik
6. Posisi kepala
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-30° dapat menurunkan TIK
danmeningkatkan venous return ke jantung.

2.8 Komplikasi Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), Komplikasi utama dari fraktur basis cranii yaitu :
1. Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK)
2. Perdarahan
3. Kejang
4. Infeksi (trauma terbuka)
5. Depresi pernapasan dan gagal napas
12

6. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-tulang pendengaran


7. Pasien dengan fraktur tulang tengkorak bisa terjadi bocornya cairan serebrospinal
(CSS) dari hidung (renorea) atau telinga (otorea) dan menyebabkan meningitis.
8. Sindrom vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis cranii yang
terkait dengan gangguan nervus IX, X, dan XI.
9. Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang banyak berdampak
terhadap nervus IX, X, dan XII.

2.9 Pemeriksaan Penunjang Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), pemeriksaan penunjang fraktur basis cranii yaitu :


1. Pemeriksaan laboratorium yang dilakuakan yaitu pemeriksaan neurologis lengkap,
pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid
2. CT Scan menunjukkan perdarahan intrakranial akibat ruptur pembuluh darah dan
pembengkakan. CT Scan juga membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital,
tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
3. MRI menunjukkan kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. MRI juga
memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik.
4. X-ray posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang
mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi Sinar x kepala dan
servikal untuk mendeteksi lokasi dan parahnya fraktur.
5. Pungsi lumbal meningitis bila pasien memperlihatkan tanda-tanda iritasi meningeal
(demam, rigiditas nukal, kejang). Pungsi lumbal merupakan kontraindikasi jika
terdapat lesi yang luas.

2.10 Prognosis Fraktur Basis Cranii

Pada fraktur basis cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda
tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini
mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotic untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis cranii posterior,
prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa posterior dapat mengakibatkan kompresi
batang otak (Corwin, 2009).
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN FRAKTUR BASIS CRANII

3.1 Pengkajian

3.1.1 Identitas

Meliputi nama, jenis kelamin (laki-laki beresiko dua kali lipat lebih besar daripada
risiko pada wanita), usia (bisa terjadi pada anak usia 2 bulan, usia 15 hingga 24 tahun,
dan lanjut usia), alamat, agama, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, dan diagnosa medis.

3.1.2 Riwayat Kesehatan

1. Keluhan Utama
Biasanya terjadi penurunan kesadaran, nyeri kepala, adanya lesi/luka dikepala.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien datang dengan keadaan penurunan kesadaran, konvulsi, adanya
akumulasi sekret pada saluran pernafasan, lemah, paralisis, takipnea.
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Biasanya klien memiliki riwayat jatuh.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada salah satu keluarga yang menderita penyakit yang sama sebelumnya.

3.1.3 Pemeriksaan Primer

1. Airway management/penatalaksanaan jalan napas:


a. Kaji obstruksi dengan menggunakan tangan dan mengangkat dagu (pada pasien
tidak sadar).
b. Kaji jalan napas dengan jalan napas orofaringeal atau nasofaringeal (pada pasien
tidak sadar).
c. Kaji adanya obstruksi jalan nafas antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan oto bantu pernafasan, sianosis.
d. Kaji jalan napas definitive (akses langsung melalui oksigenasi intratrakeal).

13
14

e. Kaji jalan napas dengan pembedahan (krikotiroidotomi).


2. Breathing/pernapasan:
a. Kaji pemberian O2.
b. Kaji nilai frekuensi napas/masuknya udara (simetris)/pergerakan dinding dada
(simetris)/posisi trakea.
c. Kaji dengan oksimetri nadi dan observasi.
3. Circulation/sirkulasi:
a. Kaji frekuensi nadi dan karakternya/tekanan darah/pulsasi apeks/JVP/bunyi
jantung/bukti hilangnya darah.
b. Kaji darah untuk cross match, DPL, dan ureum + elektrolit.
c. Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.

3.1.4 Pemeriksaan Sekunder

1. Penampilan atau keadaan umum


Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada gerakan, lemah, lemas.
2. Tingkat kesadaran
Kesadaran klien mengalami penurunan GCS <15.
3. Tanda-Tanda Vital
Suhu Tubuh : Biasanya meningkat saat terjadi benturan (Normalnya 36,5-
37,5°C)
Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak dengan tekanan darah
sistolik <90 mmHg (Normalnya 110/70-120/80 mmHg)
Nadi : Biasanya cepat dan lemah pada keadaan kesakitan dan TIK
meningkat (Normalnya 60-100 x/menit)
RR : Biasanya menurun saat TIK meningkat (Normalnya 16-22)
4. Pemeriksaan Nervus Cranial
a. Nervus I : Penurunan daya penciuman.
b. Nervus II : Pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
karena edema pupil.
15

c. Nervus III, IV, VI : Penurunan lapang pandang, reflex cahaya menurun,


perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
d. Nervus V : Gangguan mengunyah karena terjadi anastesi daerah dahi.
e. Nervus VII, XII : Lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada
2/3 anterior lidah.
f. Nervus VIII : Penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh.
g. Nervus IX, X, XI : Jarang ditemukan.
h. Nervus XII : Jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartia.
5. Pemeriksaan Head to Toe
a. Pemeriksaan Kepala
Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran kranium, ada
deformitas, ada luka, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala)
Palpasi (ada nyeri tekan, ada robekan)
Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala tidak bersih, ada lesi, ada skuama, ada
kemerahan)
Wajah : Inspeksi (ekspresi wajah cemas dan menyeringai nyeri, keadaan
simetris, tidak ada lesi) Palpasi : (tidak ada kelainan sinus)
Rambut : Inspeksi (rambut tidak bersih, mudah putus, ada ketombe, ada uban)
Palpasi (rambut mudah rontok)
Mata : Inspeksi (simestris, konjungtiva warna pucat, sclera putih, pupil anisokor,
reflex pupil tidak teratur, pupil tidak bereaksi terhadap rangsangan cahaya,
gerakan mata tidak normal, banyak sekret) Palpasi (bola mata normal, tidak
ada nyeri tekan)
Hidung : Inspeksi (keadaan kotor, ada rhinorhoe (cairan serebrospinal keluar
dari hidung), ada pernafasan cuping hidung, tidak ada deviasi septum)
Palpasi sinus (ada nyeri tekan)
Telinga : Inpeksi (Simetris, kotor, fungsi pendengaran tidak baik, ada otorrhoe
(cairan serebrospinal keluar dari telinga), battle sign (warna biru atau
ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid), dan memotipanum
(perdarahan di daerah membrane timpani telinga)) Palpasi (tidak ada lipatan,
ada nyeri)
16

Mulut : Inspeksi (keadaan tidak bersih, tidak ada stomatitis, membran mukosa
kering pucat, bibir kering, lidah simetris, lidah bersih, gigi tidak bersih, gigi
atas dan bawah tanggal 3/2, tidak goyang, faring tidak ada pembekakan, tonsil
ukuran normal, uvula simetris, mual-muntah) Palpasi (tidak ada lesi, lidah
tidak ada massa)
Leher dan Tenggorok : Inspeksi dan Palpasi (Tidak ada pembesaran jvp, tidak
ada pembesaran limfe, leher tidak panas, trakea normal, tidak ditemukan kaku
kuduk)
b. Pemeriksaan Dada dan Thorak
 Paru-paru :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada batuk, nafas dada
cepat dan dangkal, sesak nafas, frekuensi nafas <16 x/menit.
Palpasi : Suara fremitus simetris, tidak ada nyeri tekan.
Perkusi : Sonor pada kedua paru.
Auskultasi : Suara nafas tidak baik, ada weezing.
 Jantung :
Inspeksi : Bentuk simetris, Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba pada V±2cm, tidak ada nyeri tekan, denyut nadi
Bradikardia
Perkusi : Pekak, batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri,
batas kanan ics 2 sternal kanan dan ics 5 axilla anterior kanan
Auskultasi : BJ I-II tunggal, tidak ada gallop, ada murmur, Irama nafas
tidak teratur, tekanan darah menurun
c. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Permukaan simetris, warna cokelat, permukaan normal
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, Hepar tidak teraba,
limpa tidak teraba, Ginjal tidak teraba, tidak ada ascites, tidak ada nyeri pada
Titik Mc. Burney.
Perkusi : Tidak ada cairan atau udara suara redup
d. Pemeriksaan Genetalia
Inspeksi : Terjadi penurunan jumlah urin dan peningkatan cairan
17

e. Pemeriksaan Ekstremitas
Inspeksi : Adanya perubahan-perubahan warna kulit, kelemahan otot, adanya
sianosis
Palpasi : Turgor buruk, kulit kering
6. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c. Pungsi lumbal untuk memastikan adanya meningitis bila pasien memperlihatkan
tanda-tanda iritasi meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang).
d. X-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang..
e. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
f. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial.
g. Screen Toxicologi : Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d cedera sekunder.


2. Ketidakefektifan pola napas b.d gangguan neurologis (mis. Fraktur basis cranii).
3. Kekurangan volume cairan b.d gangguan mekanisme regulasi.
4. Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi jantung.
5. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d agen cedera fisik.
6. Gangguan eliminasi urine b.d penyebab multipel.
7. Intoleran aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
18

3.3 Intervensi Keperawatan

Diagnose Rencana keperawatan


No
keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1 Ketidakefektifan NOC NIC
perfusi jaringan Tujuan: Manajemen Edema Serebral
otak b.d cedera Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda-tanda vital
sekunder keperawatan selama 2x24 2. Monitor adanya
diharapkan aliran darah kebingungan, perubahan
melalui pembuluh darah pikiran, keluhan pusing,
otak untuk mempertahankan pinsan
fungsi otak tercukupi 3. Monitor status neurologi
Dengan KH: dengan ketat dan bandingkan
1. Tekaran intracranial dengan nilai normal
dalam kisaran normal 4. Monitor karakteristik cairan
2. Tekanan darah sistolik serebrospinal : warna,
dalam kisaran normal kejernihan, konsistensi
3. Tekanan darah diastolic 5. Monitor TIK
dalam kisaran normal 6. Posisikan tinggi kepala
4. Tidak ada sakit kepala tempat tidur 30 derajat atau
5. Tidak ada penurunan lebih
tingkat kesadaran 7. Batasi cairan
8. Dorong keluarga/orang yang
penting untuk bicara pada
pasien
9. Kolaborasi pemberian obat
2 Ketidakefektifan Tujuan: Manajemen jalan napas
pola napas b.d Setelah dilakukan tindakan 1. O : Observasi TTV
gangguan keperawatan selama 2x24 2. O : Monitar aliran oksigen
neurologis (mis., diharapkan pola napas 3. N : Buka jalan napas dengan
trauma kepala) kembali efektif tekhnik chin lift atau jaw
Dengan KH: thrust
19

1. Kedalaman inspirasi 4. N : Posisikan pasien untuk


dalam kisaran normal memaksimalkan ventilasi
(RR : 16-24 x/menit) 5. N : Masukkan alat
2. Kepatenan jalan napas nasoparyngeal airway atau
dalam kisaran normal, oropharyngeal airway
klien tidak merasa 6. E : Informasikan pada pasien
tercekik, tidak ada suara dan keluarga tentang teknik
nafas abnormal relaksasi untuk memperbaiki
3. Frekuensi dan irama pola nafas
pernapasan dalam 7. C : Kolaborasi dengan dokter
keadaan normal dalam pemberian terapi obat
dan pemberian oksigen
3 Kekurangan Tujuan: Manajemen cairan
volume cairan b.d Setelah dilakukan tindakan 1. O : Obsersavi TTV
gangguan keperawatan selama 1x24 2. O : Monitor status hidrasi
mekanisme regulasi jam diharapkan kekurangan (mis., membrane mukosa
volume cairan teratasi. lembab denyut nadi adekuat,
Dengan KH: dan tekanan darah ortostatik)
1. Mempertahankan urine 3. N : Berikan cairan IV
output sesuai dengan usia 4. N : Pertahankan catatan
dan BB intake dan output yang akurat
2. Tidak ada tanda-tanda 5. E : Dorong pasien dan
dehidrasi, elastisitas keluarga untuk menambah
turgor kulit baik, intake oral misalnya minum
membran mukosa 6. C : Kolaborasi pemberian
lembab, tidak rasa haus cairan IV
yang berlebihan
3. TTV dalam batas normal
4 Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan Perawatan jantung
jantung b.d keperawatan selama …. 1. O : Monitor EKG, adakah
perubahan segmen ST
20

perubahan diharapkan penurunan curah 2. O : Monitor TTV


frekuensi jantung jantung teratasi 3. N : Atur periode latihan dan
Dengan KH: istirahat untuk menghindari
1. Tekanan darah sistol kelelahan
dan diastol dalam 4. N : Evaluasi adanya nyeri
kisaran normal (110/70- dada
120/80 mmHg) 5. O : Anjurkan untuk
2. Denyut nadi perifer menurunkan stress
dalam kisaran normal 6. C : Kolaborasi untuk
(60-100 x/menit) menyediakan terapi
3. Denyut jantung apikal antiaritmia sesuai kebijakan
dalam kisaran normal unit (mis., obat antiaritmia,
(16-24 x/menit) kardioversi, atau defibrilasi)
4. Tidak ada penurunan
kesadaran
5 Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
nyaman nyeri b.d keperawatan selama …. 1. O : Lakukan pengkajian nyeri
gejala terkait Diharapkan rasa nyaman secara komprehensif
penyakit kembali 2. N : Tingkatkan istirahat
Dengan KH: 3. N : Kontrol lingkungan yang
1. Mengontrol nyeri dapat mempengaruhi nyeri
(mengetahui penyebab seperti suhu ruangan,
nyeri, mengetahui cara pencahayaan, dan kebisingan
mengurangi nyeri) 4. E : Ajarkan tentang teknik
2. Rasa nyaman tidak non farmakologi
terganggu 5. C : Kolaborasi dengan dokter
3. Mengontrol gejala nyeri pemberian analgetik
6 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Irigasi kandung kemih
eliminasi urine b.d keperawatan selama …. 1. O : Lakukan penilaian kemih
penyebab multipel diharapkan gangguan yang komprehensif
eliminasi urine teratasi
21

Dengan KH: 2. N : Siapkan peralatan irigasi


1. Jumlah urin tidak yang steril, dan pertahankan
terganggu tekhnik steril setiap kali
2. Warna urin tidak tindakan
terganggu 3. N : Bersihkan sambungan
3. Tidak ada darah dalam kateter atau ujung Y dengan
urin kapas alcohol
4. Intake cairan dalam 4. N : Catat jumlah cairan yang
rentang normal digunakan, karakteristik
cairan, jumlah cairan yang
keluar
5. E : Ajarkan pasien atau
keluarga untuk mencatat urin
6. C : Kolaborasi dengan dokter
dengan penberian obat
7 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Terapi aktivitas
b.d keperawatan selama …. 1. O : Monitor respon fisik,
ketidakseimbangan diharapkan intoleransi emosi, social dan spiritual
antara suplai dan aktivitas teratasi 2. N : Bantu klien untuk
kebutuhan oksigen Dengan KH: mengidentifikasi aktivitas
1. Berpartisipasi dalam yang mampu dilakukan
aktivitas fisik tanpa 3. E : Bantu pasien dan keluarga
disertai peningkatan ttv untuk mengidentifikasi
2. Hemoglobin, hematocrit, kekurangan dalam
glukosa darah, serum beraktivitas
elektrolit darah tidak 4. C : Kolaborasi dengan Tenaga
terganggu Rehabilitasi Medik dalam
3. Mampu melakukan merencanakan program terapi
aktivitas sehari-hari yang tepat
secara mendiri
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Fraktur basis cranii adalah suatu kondisi dimana suatu fraktur ada tulang tengkorak
yang biasanya terjadi karena adanya benturan secara langsung merupakan fraktur akibat
benturan langsung ada daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita)
transmisi energy yang berasal dari benturan ada wajah atau mandibular. Penyebab dari
fraktur basis cranii yaitu Kecelakaan kendaraan atau transportasi, Kecelakaan terjatuh,
Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga, Kejahatan dan tindak kekerasan.
Manifestasi klinis dari fraktur basis cranii yang umum yaitu terjadi penurunan kesadaran,
nyeri hebat, dan adanya lesi. Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya Meningkatnya
tekanan intrakraial (TIK), Perdarahan, Kejang, Infeksi (trauma terbuka), Depresi
pernapasan dan gagal napas, dan paralisis otot-otot paralisis.
Penatalaksanan secara medis yaitu diantaranya dengan ABC untuk
mempertahankan jalan nafas, Pemberian obat-oabatan, dapat dilakukan pembedahan, dan
immobilisasi. Sedangkan penatalaksanaan keperawatan yaitu memantau ttv, adanya
perdarahan, riwayat cidera, rehidrasi cairan, serta mencegah infeksi akibat pembedahan.
Asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien trauma kepala mulai dari
pengkajian misalnya biodata, riwayat kesehatan, pengkajian primer, pengkajian sekunder,
dan pemeriksaan penunjang. Setelah itu ditentukan diagnosa keperawatan dan dilanjut
dengan intervensi keperawatan.

4.2 Saran
Diharapkan para pembaca memperbanyak literatur dalam pembuatan makalah agar
dapat membuat makalah yang baik dan benar. Terutama litelatur yang berhubungan
dengan penatalaksaan yang lebih efektif mengenai fraktur basis cranii karena di dalam
makalah ini penatalaksaannya masih banyak kekurangan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, F. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.


Jakarta: Salemba Medika.
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Engram, B. (2007). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.
Hidayat, & Alimul, A. A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Edisi 3.
Jakarta: Salemba Medika.
Kowalak, J. P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:
EGC.
Oman, K. S. (2008). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.
Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

23

Anda mungkin juga menyukai