Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH BAHASA INDONESIA

Penilaian Bahasa Indonesia Berdasarkan


Penggunaan Bahasa Indonesia

KELOMPOK :5
NAMA : Thobib Fahrizal (0718040006)
M. Abdul Qadir Arif. W (0718040011)
Rafi Febian Soelistijono (0718040027)

PROGRAM STUDI TEKNIK PENGELASAN


JURUSAN TEKNIK BANGUNAN KAPAL
POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2019-2020
DAFTAR ISI

Contents
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 5
1.3 Tujuan ................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 6
2.1 Hubungan Bahasa dengan nasionalisme ............................................................... 7
2.2 Pengaruh Penggunaan Bahasa Daerah terhadap Nasionalisme Warga Negara
Indonesia ..................................................................................................................... 8
2.3 Pengaruh Penggunaan Bahasa Asing terhadap Nasionalisme Warga Negara
Indonesia ................................................................................................................... 10
2.4 Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai Tolak Ukur untuk Menilai Nasionalisme
Warga Negara Indonesia ........................................................................................... 14
2.5 Upaya Warga Negara Indonesia dalam Menyeimbangan antara Penggunaan
Bahasa Daerah, Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing untuk Meningkatkan Rasa
Nasionalisme ............................................................................................................. 19
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 22
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 22
3.2 Saran ................................................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“Kami, putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa


Indonesia”, demikianlah bunyi alenia ketiga sumpah pemuda yang telah
dirumuskan oleh para pemuda yang kemudian menjadi pendiri bangsa dan negara
Indonesia. Bunyi alenia ketiga dalam ikrar sumpah pemuda itu jelas bahwa yang
menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Kita sebagai
bagian bangsa Indonesia sudah selayaknya menjunjung tinggi bahasa Indonesia
dalam kehidupan sehari-hari.

Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi manusia, karena dengan
bahasa kita dapat mengetahui informasi yang kita butuhkan, selain itu kita dapat
menyampaikan ide dan gagasan kita melalui bahasa. Oleh sebab itu, kita harus
mampu menguasai bahasa dan elemen – elemennya, seperti kosa kata, struktur
dan lain sebagainya. Bahasa muncul dan berkembang karena interaksi antar
individu dalam suatu masyarakat. Secara singkat sifat bahasa manusia yaitu
sebagai suatu sistem arbitary dari symbol suara yang digunakan oleh anggota
masyarakat untuk berkomunikasi dan mengenali satu sama lain.

Perubahan bahasa dapat terjadi bukan hanya berupa pengembangan dan perluasan,
melainkan berupa kemunduran sejalan dengan perubahan yang dialami
masyarakat. Berbagai alasan sosial dan politis menyebabkan banyak orang
meninggalkan bahasanya, atau tidak lagi menggunakan bahasa lain. Dalam
perkembangan masyarakat modern saat ini, masyarakat Indonesia cenderung lebih
senang dan merasa lebih intelek untuk menggunakan bahasa asing. Hal tersebut
memberikan dampak terhadap pertumbuhan bahasa Indonesia sebagai jati diri
bangsa. Bahasa Inggris yang telah menjadi raja sebagai bahasa internasional
terkadang memberi dampak buruk pada perkembangan bahasa Indonesia.
Kepopuleran bahasa Inggris menjadikan bahasa Indonesia tergeser pada tingkat
pemakaiannya.

Tumbuhnya paham nasionalisme bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari


situasi politik pada abad ke 20. Pada masa itu semangat menentang kolonialisme
Belanda mulai muncul di kalangan pribumi. Ada 3 pemikiran besar tentang watak
nasionalisme Indonesia yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan yakni
paham ke Islaman, marxisme dan nasionalisme Indonsia. Para analis nasionalis
beranggapan bahwa Islam memegang peranan penting dalam pembentukan
nasionalisme sebagaimana di Indonesia. Menurut seorang pengamat nasionalisme
George Mc. Turman Kahin, bahwa Islam bukan saja merupakan mata rantai yang
mengikat tali persatuan melainkan juga merupakan simbol persamaan nasib
menetang penjajahan asing dan penindasan yang berasal dari agama lain. Ikatan
universal Islam pada masa perjuangan pertama kali di Indonesia dalam aksi
kolektif di pelopori oleh gerakan politik yang dilakukan oleh Syarikat Islam yang
berdiri pada awalnya bernama Syarikat Dagang Islam dibawah kepemimpinan
H.O.S.Tjokoroaminoto, H.Agus Salim dan Abdoel Moeis telah menjadi organisasi
politik pemula yang menjalankan program politik nasional dengan mendapat
dukungan dari semua lapisan masyarakat.

Lahirnya nasionalisme bangsa Indonesia didorong oleh beberapa faktor Salah satu
contoh faktornya adalah Peranan Bahasa Melayu, di samping mayoritas beragama
Islam, bangsa Indonesia juga memiliki bahasa pergaulan umum (Lingua Franca)
yakni bahasa Melayu. Dalam perkembangannya, bahasa Melayu berubah menjadi
bahasa persatuan nasional Indonesia. Dengan posisi sebagai bahasa pergaulan,
bahasa Melayu menjadi sarana penting untuk menyosialisasikan semangat
kebangsaan dan nasionalisme ke seluruh pelosok Indonesia.

Oleh karena itu, dalam makalah ini kami ingin menjelaskan bagaimana
penggunaan bahasa dalam kehidupan sehar-hari menjadi tolak ukur nasionalisme
seorang warga negara.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang kami
ambil dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana hubungan antara penggunaan bahasa dengan nasionalisme?


2. Bagaimana pengaruh penggunaan bahasa daerah terhadap nasionalisme
warga negara Indonesia?
3. Bagaimana pengaruh penggunaan bahasa asing terhadap nasionalisme
warga negara Indonesia?
4. Bagaimana penggunaan bahasa Indonesia menjadi tolak ukur untuk
menilai nasionalisme warga negara Indonesia?
5. Bagaimana cara warga negara Indonesia dalam menyeimbangan antara
penggunaan bahasa daerah, bahasa Indonesia dan bahasa asing dalam
upaya untuk meningkatkan rasa nasionalisme?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui hubungan antara penggunaan bahasa dengan nasionalisme.


2. Mengetahui pengaruh penggunaan bahasa daerah terhadap
nasionalisme warga negara Indonesia.
3. Mengetahui pengaruh penggunaan bahasa asing terhadap nasionalisme
warga negara Indonesia.
4. Mengetahui penggunaan bahasa Indonesia menjadi tolak ukur untuk
menilai nasionalisme warga negara Indonesia.
5. Mengetahui bagaimana cara warga negara Indonesia dalam
menyeimbangan antara penggunaan bahasa daerah, bahasa Indonesia
dan bahasa asing dalam upaya untuk meningkatkan rasa nasionalisme.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Bahasa dengan nasionalisme

Bahasa berfungsi sebagai sarana pikir, ekspresi, dan sarana komunikasi. Bahasa
sebagai sarana pikir dimana bahasa dapat menuntun masyarakat untuk bertindak
tertib dan santun, karena bahasa menuntun pemakainya. Bahasa sebagai sarana
ekspresi, bahasa membawa penggunanya kepada suasana kreatif, karena bahasa
sebagai sarana pengungkap pikiran tentang ilmu, teknologi, dan seni yang dapat
membentuk kecerdasan. Bahasa sebagai sarana komunikasi, bahwa bahasa
menciptakan suasana keakraban dan kebersamaan yang pada akhirnya memupuk
rasa kekeluargaan dalam masyarakat. Maka, bahasa membentuk pola pikir,
perilaku, kreativitas, dan menumbuhkan rasa kebersamaan dan
kesetiakawanan. Dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berkomunikasi
ataupun dalam berinteraksi dengan orang lain kita menggunakan bahasa
Indonesia. Dalam media cetak dan media elektronik, seperti Koran, majalah,
televisi dan radio juga menggunakan bahasa. Sehingga dapat dikatakan bahwa
kita tidak pernah terlepas dari penggunaan bahasa karena segala aspek dalam
kehidupan kita selalu berhubungan dengan penggunaan bahasa Indonesia, baik
dalam situasi formal dan tidak formal (Simanjuntak, 2011).

Jika nasionalisme didefinisikan sebagai paham yang berkaitan dengan


menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah bangsa (dalam bahasa
Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu kesatuan konsep identitas bersama, di
manakah letak hubungan antara nasionalisme dan bahasa? Benarkah sikap
nasionalisme ditandai dengan kecintaan pada bahasa bangsanya? Benarkah dari
ungkapan “bahasa menunjukkan bangsa” kita dapat menemukan signifikansi yang
relevan antara nasionalisme dan bahasa? Jika sebuah bahasa menandai suatu
bangsa dan adanya bahasa karena bangsa itu memakainya, antara bangsa dan
bahasa itu terdapat hubungan yang saling menentukan. Namun, masalahnya, fakta
sosiolinguistik menunjukkan bahwa tidak setiap bangsa mempunyai satu bahasa
kesatuan yang “menunjukkan bangsa” itu. Ada bangsa yang menggunakan
beberapa bahasa. Sementara itu, ada pula beberapa bangsa yang mempunyai satu
bahasa sebagai bahasa nasionalnya, tetapi bahasa itu bukan miliknya—bukan
berasal dari bahasa yang ada dalam masyarakat bangsa itu. Ada juga bangsa yang
memakai satu bahasa sebagai alat komunikasi resmi, tetapi bahasa resmi itu pun
digunakan oleh beberapa bangsa lainnya. (Harimansyah, 2012)

Bahasa bukanlah hanya sekadar aset semata, tetapi sebagai pondasi suatu bangsa.
Bahasa dipercaya sebagai salah satu pengikat yang dapat membangun
kebersamaan dan nasionalisme suatu kelompok komunitas, selain elemen ras, dan
agama. Tidak seperti yang terjadi di beberapa negara maju, Bapak pendiri bangsa
Indonesia tidak membangun bangsanya di atas elemen ras, mengingat
keanekaragam suku. Beberapa negara maju membangun nasionalismenya dengan
pendekatan ras, seperti politik apartheid yang menggambarkan dominasi ras kulit
putih atas kulit hitam. Ada juga yang menggeser suku aborigin atau Indian
(Arifah, 2014).

2.2 Pengaruh Penggunaan Bahasa Daerah terhadap Nasionalisme Warga Negara


Indonesia

Antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah mempunyai hubungan yang sangat
erat, tidak dapat dipungkiri adanya bahasa Indonesia yang muncul seiring dengan
perkembangan bahasa daerah itu sendiri. Karena bahasa daerah dan bahasa
Indonesia saling melengkapi. Terutama dalam hal berkomunikasi antar
masyarakat. Dengan adanya dua bahasa ini menimbulkan kedwibahasaan di
negara Indonesia.

Dalam Seminar Pengembangan Bahasa Daerah (1976), yang merumuskan tujuaan


pembinaan dan pengembangan bahasa daerah sebagai berikut : (a) Di bidang
struktur bahasa, tujuannya ialah terbinanyabahasa daerah yang strukturnya
terpelihara dan sesuai dengan keperluan masa sekarang. (b) Dibidang pemakai,
tujuan pembinaan adalah agar kedwibahasaan itu tetap (stabil), yaitu pemakai itu
menguasai kedua bahasa itu seimbang, dan tidak menjadi ekabasahawan semata-
mata. Jumlah pemakai itu hendaknya tetap berkembang dan tidak sebaliknya
menyusut. (c) Di bidang pemakaian, pembinaan bertujuan agar bahasa daerah
dipergunakan secara penuh sesuai dengan fungsinya, dalam keseimbangan dengan
bahasa Indonesia seperti ditetapkan dalam Politik Bahasa Nasional. Jadi antara
bahasa Indonesia dan bahasa Daerah telah terjadi kontak sosial dan budaya yang
aktif. Jiwa bahasa Indonesia dan jiwa bahasa Daerah telah bertemu. Kedua bahasa
saling bersangkutan dan memperhatikan. Akhirnya kedua bahasa saling
mempengaruhi (Rusyana, 2013).

Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh


terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan berikutnya,
khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia. Sebagai contoh,
seorang anak memiliki ibu yang berasal dari daerah Sekayu sedangkan ayahnya
berasal dari daerah Pagaralam dan keluarga ini hidup di lingkungan orang
Palembang. Dalam mengucapkan sebuah kata misalnya “mengapa”, sang ibu yang
berasal dari Sekayu mengucapkannya ngape (e dibaca kuat) sedangkan bapaknya
yang dari Pagaralam mengucapkannya ngape (e dibaca lemah) dan di
lingkungannya kata “megapa” diucapkan ngapo. Ketika sang anak mulai
bersekolah, ia mendapat seorang teman yang berasal dari Jawa dan mengucapkan
“mengapa” dengan ngopo. Hal ini dapat menimbulkan kebinggungan bagi sang
anak untuk memilih ucapan apa yang akan digunakan (Rusyana, 2013).

Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman budaya dan bahasa
daerah merupakan keunikan tersendiri bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
yang harus dilestarikan. Dengan keanekaragaman ini akan mencirikan Indonesia
sebagai negara yang kaya akan kebudayaannya. Berbedannya bahasa di tiap-tiap
daerah menandakan identitas dan ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat
yang merantau ke ibukota Jakarta mungkin lebih senang berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa daerah dengan orang berasal dari daerah yang sama, salah
satunya dikarenakan agar menambah keakraban diantara mereka. Tidak jarang
pula orang mempelajari sedikit atau hanya bisa-bisaan untuk berbahasa daerah
yang tidak dikuasainya agar terjadi suasana yang lebih akrab. Beberapa kata dari
bahasa daerah juga diserap menjadi Bahasa Indonesia yang baku, antara lain kata
nyeri (Sunda) dan kiat (Minangkabau) (Rusyana, 2013).

Berikut beberapa dampak penggunaan bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia.


Adapun dampak positif dari bahasa daerah adalah Bahasa Indonesia memiliki
banyak kosakata, sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia, sebagai identitas
dan ciri khas dari suatu suku dan daerah dan menimbulkan keakraban dalam
berkomunikasi. Sedangkan dampak negatif dari bahasa daerah adalah bahasa
daerah yang satu sulit dipahami oleh daerah lain, warga negara asing yang ingin
belajar bahasa Indonesia menjadi kesulitan karena terlalu banyak kosakata dan
masyarakat menjadi kurang paham dalam menggunakan bahasa Indonesia yang
baku karena sudah terbiasa menggunakan bahasa daerah dan dapat menimbulkan
kesalahpahaman (Rusyana, 2013).

2.3 Pengaruh Penggunaan Bahasa Asing terhadap Nasionalisme Warga Negara


Indonesia

Zaman sekarang yang hanya bisa menggunakan satu bahasa saja sangatlah sulit
untuk bisa masuk dalam kompetisi global. Apalagi posisi negara kita yaitu sebagai
negara berkembang yang masih memerlukan bantuan dan kontribusi dari negara
lain khususnya negara maju. Perkembangan bahasa banyak dipengaruhi oleh
perkembangan zaman dan dari berbagai banyak pihak dan negara. pihak – pihak
tersebut ingin mengembangkan dan mendeterminasikan bahasanya sebagai suatu
bahasa yang dapat dikenal oleh semua pihak diseluruh belahan dunia
(Harimansyah, 2012)

Sehubungan dengan fakta sosiolinguistik tersebut, apakah nasionalisme orang


Amerika Serikat, Kanada, Belgia, atau Swiss patut dipertanyakan karena
menggunakan bahasa yang “bukan asli” miliknya? Dalam masalah itu, jika
nasionalisme dalam arti sempit dimaknai sebagai kebanggaan terhadap negara,
kita tidak berhak menilai siapa pun atas hal itu. Dalam penggunaan ragam lisan
dalam bahasa Indonesia, apakah karena seorang warga negara Indonesia
berbahasa Indonesia, tetapi berlogat Amerika dan kebetulan “bule” karena
berayah orang Amerika, berarti dia tidak cinta Indonesia? Rasa bangga dan cinta
ada di dalam hati. Bahasa atau logat seseorang dalam berbicara tidak
menunjukkan kadar nasionalisme. Demikian juga bukan suatu jaminan pasti jika
ada orang yang tinggal di wilayah negara Indonesia, berdarah asli Indonesia, dan
menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Indonesia asli seratus persen merasa
bangga terhadap Indonesia. Dari aspek bahasa sebagai identitas suatu bangsa,
bangsa Indonesia mungkin lebih mujur daripada Kanada, Belgia, atau India
(Harimasyah, 2012).

Bangsa Indonesia sudah mengenal bahasa asing terjadi sejak abad ke-7 ketika para
saudagar Cina berdagang ke Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan
Timur, bahkan sampai juga ke Maluku Utara. Pada saat Kerajaan Sriwijaya
muncul dan kukuh, Cina membuka hubungan diplomatik dengannya untuk
mengamankan usaha perdagangan dan pelayarannya. Pada tahun 922 musafir
Cina melawat ke Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur. Sejak abad ke-11 ratusan
ribu perantau meninggalkan tanah leluhurnya dan menetap di banyak bagian
Nusantara (Kepulauan Antara, sebutan bagi Indonesia). Yang disebut dengan
bahasa Tionghoa adalah bahasa di negara Cina (banyak bahasa). Empat di antara
bahasa-bahasa itu yang di kenal di Indonesia yakni Amoi, Hakka, Kanton, dan
Mandarin. Kontak yang begitu lama dengan penutur bahasa Tionghoa ini
mengakibatkan perolehan kata serapan yang banyak pula dari bahasa Tionghoa,
namun penggunaannya tidak digunakan sebagai perantara keagamaan, keilmuan,
dan kesusastraan di Indonesia sehingga ia tidak terpelihara keasliannya dan sangat
mungkin banyak ia berbaur dengan bahasa di Indonesia. Contohnya anglo, bakso,
cat, giwang, kue/ kuih, sampan, dan tahu.

1. Hubungan dengan penutur Arab dan Persia.


Bahasa Arab dibawa ke Indonesia mulai abad ketujuh oleh saudagar dari Persia,
India, dan Arab yang juga menjadi penyebar agama Islam. Kosakata bahasa Arab
yang merupakan bahasa pengungkapan agama Islam mula berpengaruh ke dalam
bahasa Melayu terutama sejak abad ke-12 saat banyak raja memeluk agama Islam.
Kata-kata serapan dari bahasa Arab misalnya abad, bandar, daftar, edar, fasik,
gairah, hadiah, hakim, ibarat, jilid, kudus, mimbar, sehat, taat, dan wajah. Karena
banyak di antara pedagang itu adalah penutur bahasa Parsi, tidak sedikit kosakata
Parsi masuk ke dalam bahasa Melayu, seperti acar, baju, domba, kenduri, piala,
saudagar, dan topan.

2. Hubungan dengan penutur Portugis

Bahasa Portugis dikenali masyarakat penutur bahasa Melayu sejak bangsa


Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511 setelah setahun sebelumnya ia
menduduki Goa. Portugis dikecundangi atas saingan dengan Belanda yang datang
kemudian dan menyingkir ke daerah timur Nusantara. Meski demikian, pada abad
ke-17 bahasa Portugis sudah menjadi bahasa perhubungan antaretnis di samping
bahasa Melayu. Kata-kata serapan yang berasal dari bahasa Portugis seperti
algojo, bangku, dadu, gardu, meja, picu, renda, dan tenda.

3. Hubungan dengan penutur Belanda.

Belanda mendatangi Nusantara pada awal abad ke-17 ketika ia mengusir Portugis
dari Maluku pada tahun 1606, kemudian ia menuju ke pulau Jawa dan daerah lain
di sebelah barat. Sejak itulah, secara bertahap Belanda menguasai banyak daerah
di Indonesia. Bahasa Belanda tidak sepenuhnya dapat menggeser kedudukan
bahasa Portugis karena pada dasarnya bahasa Belanda lebih sukar untuk
dipelajari, lagipula orang-orang Belanda sendiri tidak suka membuka diri bagi
orang-orang yang ingin mempelajari kebudayaan Belanda termasuklah bahasanya.
Hanya saja pendudukannya semakin luas meliputi hampir di seluruh negeri dalam
kurun waktu yang lama (350 tahun penjajahan Belanda di Indonesia). Belanda
juga merupakan sumber utama untuk menimba ilmu bagi kaum pergerakan. Maka
itu, komunikasi gagasan kenegaraan pada saat negara Indonesia didirikan banyak
mengacu pada bahasa Belanda. Kata-kata serapan dari bahasa Belanda seperti
abonemen, bangkrut, dongkrak, ember, formulir, dan tekor.

4. Hubungan dengan penutur Inggris

Bangsa Inggris tercatat pernah menduduki Indonesia meski tidak lama. Raffles
menginvasi Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1811 dan beliau bertugas di
sana selama lima tahun. Sebelum dipindahkan ke Singapura, dia juga bertugas di
Bengkulu pada tahun 1818. Sesungguhnya pada tahun 1696 pun Inggris pernah
mengirim utusan Ralph Orp ke Padang (Sumatra Barat), namun dia mendarat di
Bengkulu dan menetap di sana. Di Bengkulu juga dibangun Benteng Marlborough
pada tahun 1714-1719. Itu bererti sedikit banyak hubungan dengan bangsa Inggris
telah terjadi lama di daerah yang dekat dengan pusat pemakaian bahasa Melayu.

5. Hubungan dengan penutur Jepang

Pendudukan Jepang di Indonesia yang selama tiga setengah tahun tidak


meninggalkan warisan yang dapat bertahan melewati beberapa angkatan. Kata-
kata serapan dari bahasa Jepang yang digunakan umumnya bukanlah hasil
hubungan bahasa pada masa pendudukan, melainkan imbas kekuatan ekonomi
dan teknologinya.

Di antara bahasa-bahasa di atas, ada beberapa yang tidak lagi menjadi sumber
penyerapan kata baru yaitu bahasa Tamil, Parsi, Hindi, dan Portugis. Kedudukan
mereka telah tergeser oleh bahasa Inggris yang penggunaannya lebih mendunia.
Walaupun begitu, bukan bererti hanya bahasa Inggris yang menjadi rujukan
penyerapan bahasa Indonesia pada masa yang akan datang. Bahasa Indonesia
adalah bahasa yang terbuka. Maksudnya ialah bahwa bahasa ini banyak menyerap
kata-kata dari bahasa lainnya. Asal Bahasa Jumlah Kata: arab 1.495 kata, belanda
3.280 kata, tionghoa 290 kata, hindi 7 kata, inggris 1.610 kata, parsi 63 kata,
portugis 131 kata, sanskerta-Jawa Kuno 677 kata, dan tamil 83 kata (Danie,
2013).

Pengaruh bahasa asing sangat berdampak dalam perkembangan bahasa Indonesia.


Berikut beberapa contoh negatif adanya bahasa asing dalam perkembangan bahasa
Indonesia: anak-anak mulai mengentengkan/menggampangkan untuk belajar
bahasa Indonesia, rakyat Indonesia semakin lama kelamaan akan lupa kalau
bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan, anak-anak mulai menganggap
rendah bacaan Indonesia, lama-kelamaan rakyat Indonesia akan sulit
mengutarakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan mampu melunturkan
semangat nasionalisme dan sikap bangga pada bahasa dan budaya sendiri (Danie,
2013).

Sedangkan dampak positif bahasa asing bagi perkembangan anak antara lain :
mampu meningkatkan pemerolehan bahasa anak, semakin banyak orang yang
mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris maka akan semakin cepat pula
proses transfer ilmu pengetahuan, menguntungkan dalam berbagai kegiatan
(pergaulan internasional, bisnis, sekolah), dan anak dapat memperoleh dua atau
lebih bahasa dengan baik apabila terdapat pola sosial yang konsisten dalam
komunikasi, seperti dengan siapa berbahasa apa, di mana berbahasa apa, atau
kapan berbahasa apa (Danie, 2013).

2.4 Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai Tolak Ukur untuk Menilai


Nasionalisme Warga Negara Indonesia

Secara formal sampai saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan,
yaitu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, bahasa Indonesia berhasil mendudukkan
diri sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Keenam kedudukan ini mempunyai
fungsi yang berbeda, walaupun dalam praktiknya dapat saja muncul secara
bersama-sama dalam satu peristiwa, atau hanya muncul satu atau dua fungsi saja
(Kirman:2009)

Bahasa Indonesia dikenal secara luas sejak “Soempah Pemoeda”, 28 Oktober


1928, yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pada saat itu
para pemuda sepakat untuk mengangkat bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa
Indonesia. Para pemuda melihat bahwa bahasa Indonesialah yang berpotensi dapat
mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku vangsa atau etnik.
Pengangkatan status ini ternyata bukan hanya isapan jempol. Bahasa Indonesia
bisa menjalankan fungsi sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Dengan
menggunakan bahasa Indonesia rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang berbagai
etnis terpupuk. Kehadiran bahasaIndonesia di tengah-tengah ratusan bahasa
daerah tidak menimbulkan sentimen negatif bagi etnis yang menggunakannya.
Sebaliknya, justru kehadiran bahasa Indonesia dianggap sebagai pelindung
sentimen kedaerahan dan sebagai penengah ego kesukuan (Kirman:2009)

Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang


mempunyai latar belakang budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia
justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meinggalkan
identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar
belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di
atas kepentingan daerah dan golongan (Kirman:2009)

Latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda berpotensi untuk


menghambat perhubungan antardaerah antarbudaya. Tetapi, berkat bahasa
Indonesia, etnis yang satu bisa berhubungan dengan etnis yang lain sedemikian
rupa sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Setiap orang Indonesia apa
pun latar belakang etnisnya dapat bepergian ke pelosok-pelosok tanah air dengan
memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Kenyataan ini membuat
adanya peningkatan dalam penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia dalamn
fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah antarbudaya. Semuanya terjadi
karena bertambah baiknya sarana perhubungan, bertambah luasnya pemakaian
alat perhubungan umum, bertambah banyaknya jumlah perkawinan antarsuku, dan
bertambah banyaknya perpindahan pegawai negeri atau karyawan swasta dari
daerah satu ke daerah yang lain karena mutasi tugas atau inisiatif sendiri
(Kirman:2009)

Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai


lambang kebanggaan nasional atau lambang kebangsaan. Bahasa Indonesia
mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan. Melalui
bahasa nasional, bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya
yang dapat dijadikan pegangan hidup. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa
Indonesia dipelihara dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia. Rasa kebanggaan
menggunakan bahasa Indonesia ini pun terus dibina dan dijaga oelh bangsa
Indonesia. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung tinggi
di samping bendera nasional, Merah Putih, dan lagu nasional bangsa Indonesia,
Indonesia Raya. Dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentulah harus
memiliki identitasnya sendiri sehingga serasi dengan lambang kebangsaan
lainnya. Bahasa Indonesia dapat mewakili identitasnya sendiri apabila masyarakat
pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih
dari unsur-unsur bahasa lain, yang memang benar-benar tidak diperlukan,
misalnya istilah/kata dari bahasa Inggris yang sering diadopsi, padahal istilah.kata
tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia (Kirman:2009).

Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya,


bahasa Indonesia telah berhasil pula menjalankan fungsinya sebagai alat
pengungkapan perasaan. Kalau beberapa tahun yang lalu masih ada orang yang
berpandangan bahwa bahasa Indonesia belum sanggup mengungkapkan nuansa
perasaan yang halus, sekarang dapat dilihat kenyataan bahwa seni sastra dan seni
drama, baik yang dituliskan maupun yang dilisankan, telah berkembang demikian
pesatnya. Hal ini menunjukkan bahwa nuansa perasaan betapa pun halusnya dapat
diungkapkan secara jelas dan sempurna dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Kenyataan ini tentulah dapat menambah tebalnya rasa kesetiaan kepada bahasa
Indonesia dan rasa kebanggaan akan kemampuan bahasa Indonesia
(Kirman:2009).

Dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, bertambah pula kedudukan


bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam
kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dipakai dalam segala
upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun tulis.
Dokumen-dokumen, undang-undang, peraturan-peraturan, dan surat-menyurat
yang dikeluarkan oleh pemerintah dan instansi kenegaraan lainnya ditulis dalam
bahasa Indonesia. Pidato-pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa
Indonesia. Hanya dalam kondisi tertentu saja, demi komunikasi internasional
(antarbangsa dan antarnegara), kadang-kadang pidato kenegaraan ditulis dan
diucapkan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Warga masyarakat pun
dalam kegiatan yang berhubungan dengan upacara dan peristiwa kenegaraan harus
menggunakan bahasa Indonesia. Untuk melaksanakan fungsi sebagai bahasa
negara, bahasa perlu senantiasa dibina dan dikembangkan. Penguasaan bahasa
Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan dalam
pengembangan ketenagaan, baik dalam penerimaan karyawan atau pagawai baru,
kenaikan pangkat, maupun pemberian tugas atau jabatan tertentu pada seseorang.
Fungsi ini harus diperjelas dalam pelaksanaannya sehingga dapat menambah
kewibawaan bahasa Indonesia (Kirman:2009).

Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia


bukan saja dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan
masyarakat luas, dan bukan saja dipakai sebagai alat perhubungan antardaerah dan
antarsuku, tetapi juga dipakai sebagai alat perhubungan formal pemerintahan dan
kegiatan atau peristiwa formal lainnya. Misalnya, surat-menyurat antarinstansi
pemerintahan, penataran para pegawai pemerintahan, lokakarya masalah
pembangunan nasional, dan surat dari karyawan atau pagawai ke instansi
pemerintah. Dengan kata lain, apabila pokok persoalan yang dibicarakan
menyangkut masalah nasional dan dalam situasi formal, berkecenderungan
menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi, di antara pelaku komunikasi tersebut
terdapat jarak sosial yang cukup jauh,misalnya antara bawahan – atasan,
mahasiswa – dosen, kepala dinas – bupati atau walikota, kepala desa – camat, dan
sebagainya (Kirman:2009).

Akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, Pasal 36, UUD 1945,
bahasa Indonesia pun kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya dan bahasa
ilmu. Di samping sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam hubungannya
sebagai bahasa budaya, bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat yang
memungkinkan untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional
sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas
sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah. Saat ini bahasa
Indonesia dipergunakan sebagai alat untuk menyatakan semua nilai sosial budaya
nasional. Pada situasi inilah bahasa Indonesia telah menjalankan kedudukannya
sebagai bahasa budaya. Di samping itu, dalam kedudukannya sebagai bahasa
ilmu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuna
dan teknologi (iptek) untuk kepentingan pembangunan nasional. Penyebarluasan
iptek dan pemanfaatannya kepada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
negara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penulisan dan
penerjemahan buku-buku teks serta penyajian pelajaran atau perkuliahan di
lembaga-lembaga pendidikan untuk masyarakat umum dilakukan dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak
lagi bergantung sepenuhnya kepada bahasa-bahasa asing (bahasa sumber) dalam
usaha mengikuti perkembangan dan penerapan iptek. Pada tahap ini, bahasa
Indonesia bertambah perannya sebagai bahasa ilmu. Bahasa Indonesia oun dipakai
bangsa Indonesia sebagai alat untuk mengantar dan menyampaian ilmu
pengetahuan kepada berbagai kalangan dan tingkat pendidikan (Kirman:2009).
Bahasa Indonesia berfungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga
pendidikan, mulai dari lembaga pendidikan terendah (taman kanak-kanak) sampai
dengan lembaga pendidikan tertinggi (perguruan tinggi) di seluruh Indonesia,
kecuali daerah-daerah yang mayoritas masih menggunakan bahasa daerah sebagai
bahasa ibu. Di daerah ini, bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa pengantar
di dunia pendidikan tingkat sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga (kelas tiga).
Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia. Karya-karya ilmiah di
perguruan tinggi (baik buku rujukan, karya akhir mahasiswa – skripsi, tesis,
disertasi, dan hasil atau laporan penelitian) yang ditulis dengan menggunakan
bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah mampu sebagai
alat penyampaian iptek, dan sekaligus menepis anggapan bahsa bahasa Indonesia
belum mampu mewadahi konsep-konsep iptek (Kirman:2009).

2.5 Upaya Warga Negara Indonesia dalam Menyeimbangan antara Penggunaan


Bahasa Daerah, Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing untuk Meningkatkan Rasa
Nasionalisme

Masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual adalah masyarakat yang


mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat aneka bahasa ini terjadi karena
beberapa etnik ikut membentuk masyarakat, sehingga dari segi etnik bisa
dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society) (Indah, 2014).

Kebanyakan bangsa di dunia memiliki lebih dari satu bahasa yang digunakan
sebagai bahasa ibu dalam wilayah yang dihuni bahasa itu. Termasuk di dalam
negara-negara tersebut adalah Indonesia. Indonesia sendiri memiliki lebih dari
500 bahasa yang digunakan sebagai bahasa ibu di setiap dearah yang memiliki
penggunanya masing-masing.

Keanekabahasaan dalam suatu negara selalu menimbulkan masalah atau paling


tidak mengandung potensi akan timbulnya masalah. Meskipun Indonesia hanya
memiliki satu bahasa sebagai bahasa Nasional, namun bahasa daerah di Indonesia
sangat beragam. Masing-masing bahasa daerah tersebut menjadi bahasa ibu bagi
masing-masing penduduk di daerah tertentu. Dengan kata lain, masing-masing
bahasa memiliki masing-masing pengguna bahasa yang berbeda satu sama lain.
Sebuah negara kadang-kadang hanya mengenal satu dua bahasa, tetapi banyak
negara yang secara linguistik terpilah pilah, sehingga tidak mustahil setiap anak
menjadi dwibahasawan (blingual) atau anekabahasawan (multilingual) (Indah,
2014).

Masalah yang timbul adalah setiap anak-anak diwajibkan menggunakan Bahasa


Indonesia sebagai bahasa pengantar di bidang pendidikan, sedangkan di lain pihak
mereka kembali menggunakan bahasa daerah mereka ketika tidak berada di
bangku sekolah. Inilah yang terjadi pada beberapa dekade yang lalu, dimana
Bahasa Indonesia belum berkembang dengan baik sebagai bahasa Nasional.
Sebaliknya, apa yang terjadi saat ini adalah Bahasa Indonesia menjadi bahasa
pengantar yang digunakan baik di bidang formal maupun informal, dalam artian,
bahasa ini juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari (Indah, 2014).

Berdasarkan pentingnya bagi nasionalisme, maka perkembangan rasa nasion tersa


lebih sulit bagi negara anekabahasa dari pada negara ekabahasa. Negara
anekabahasa ini dapat mendekati masalah ini dengan dua cara: 1) mereka dapat
berusaha mengembangkan bahasa nasional, atau 2) mereka dapat mencoba
mengembangkan nasionalisme tidak berdasarkan bahasa. Sebagian besar negara
mengambil cara pertama termasuk Indonesia. Untuk itulah, Pemerintah Indonesia
mulai menggalakkan pentingnya berbahasa Indonesia bagi setiap warganya di
seluruh penjuru negeri. Namun, masalah yang muncul adalah bagaimana warga
yang bukan penutur asli bahasa X harus menyesuaikan dengan menggunakan
bahasa tersebut dengan baik. Selain itu, bagaimana cara mereka menggunakan
bahasa nasional yang baik namun tetap mempertahankan eksistensi bahasa ibu
mereka. Hal ini bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini menyangkut pada
pergeseran bahasa, pemertahanan bahasa, dan sikap berbahasa.
Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur
atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat dari suatu masyarakat
tutur ke masyarakat tutur lain. Kalau seorang atau sekelompok orang penutur
pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan
mereka, maka akan terjadilah pergeseran bahasa ini (Indah, 2014).

Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi
harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang
imigran/ transmigran untuk mendatanginya. Telah menunjukkan terjadinya
pergeseran bahasa para imigran di Amerika. Keturunan ketiga atau keempat dari
para imigran itu sudah tidak mengenal lagi bahasa ibunya.

Pemertahanan bahasa nasional baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing tidak
dapat berjalan dengan baik tanpa adanya peran dan kontribusi pengguna bahasa
daerah itu sendiri. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini antara lain; 1)
kesetiaan bahasa yakni sikap yang mendorong masyarakat suatu bahasa
memepertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh
bahasa lain, 2) kebanggaan bahasa yakni sikap yang mendorong orang
mengembangkan bahasanya dan menggunakan sebagai lambang identitas dan
kesatuan masyarakat, 3) kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong orang
menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang
sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan
bahasa. Sebaliknya, apabila ketiga sikap ini mulai melemah dan tidak ada dalam
seorang pengguna bahasa, maka pengguna bahasa ini dapat dikatakan seorang
pengguna bahasa yang buruk. Sikap pengguna bahasa yang buruk ini dapat
digambarkan dengan rasa ke-takbangga-an terhadap bahasa yang dipakainya. Rasa
ketakbanggaan ini dipengaruhi oleh faktor gengsi, budaya, ras, etnis atau politik.
Sikap ini akan tampak dalam keseluruhan tindak tuturnya, seperti mereka tidak
merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib dan tidak
menggunakan kaidah yang berlaku (Indah, 2014).
Keberlangsungan suatu bahasa akan nihil hasilnya jika tidak ada peran serta dan
penggunaan bahasa yang baik oleh pengguna bahasa itu sendiri. Akan tetapi
pengguna bahasa memiliki caranya masing-masing untuk memilih bahasa apa
yang akan digunakan dan mana yang tidak. Sehingga, dari sejarahlah nanti kita
akan melihat apakah suatu bahasa akan tetap bertahan atau tidak. Begitu juga yang
terjadi dengan berbagai bahasa daerah sebagai bahasa etnik yang dimiliki oleh
Indonesia. Di tangan kita lah bahasa ini akan terus hidup dan berkembang. Namun
di tangan kita pula lah bahasa ini akan mati dan hanya akan ada dalam cerita dan
sejarah. Untuk itulah sebagai generasi yag bijak akan lebih baik jika kita terus
mewariskan warisan bahasa budaya ini hingga dapat dinikmati juga oleh anak
cucu dan generasi mendatang (Indah, 2014).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah adalah sebagai berikut.


1. Bahasa bukanlah hanya sekadar aset semata, tetapi sebagai pondasi
suatu bangsa. Bahasa dipercaya sebagai salah satu pengikat yang dapat
membangun kebersamaan dan nasionalisme suatu kelompok
komunitas, selain elemen ras, dan agama. Tidak seperti yang terjadi di
beberapa negara maju, Bapak pendiri bangsa Indonesia tidak
membangun bangsanya di atas elemen ras, mengingat
keanekaragam suku. Nasionalisme didefinisikan sebagai paham yang
berkaitan dengan enciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah
bangsa dengan mewujudkan satu kesatuan konsep identitas bersama,
sikap nasionalisme ditandai dengan kecintaan pada bahasa bangsanya
karena dari ungkapan “bahasa menunjukkan bangsa” kita dapat
menemukan signifikansi yang relevan antara nasionalisme dan bahasa.
2. Penggunaan bahasa daerah memiliki dampak positif maupun negatif
terhadap bahasa Indonesia yang merupakan simbol dari nasionalisme
itu sendiri. Adapun dampak positif dari bahasa daerah adalah Bahasa
Indonesia memiliki banyak kosakata, sebagai kekayaan budaya bangsa
Indonesia, sebagai identitas dan ciri khas dari suatu suku dan daerah
dan menimbulkan keakraban dalam berkomunikasi.Sedangkan dampak
negatif dari bahasa daerah adalah bahasa daerah yang satu sulit
dipahami oleh daerah lain, warga negara asing yang ingin belajar
bahasa Indonesia menjadi kesulitan karena terlalu banyak kosakata dan
masyarakat menjadi kurang paham dalam menggunakan bahasa
Indonesia yang baku karena sudah terbiasa menggunakan bahasa
daerah dan dapat menimbulkan kesalahpahaman. Sehingga penggunaan
bahasa daerah tidak menurunkan semangat nasionalisme warga negara,
tapi malah memberikan warna tersendiri bagi keberagaman cara
pandang terhadap nasionalisme.
3. Dengan masyarakat lebih mementingkan bahasa asing, maka bahasa
Indonesia sebagai salah satu faktor pendukung rasa nasionalisme warga
negara akan lebih dikesampingkan. Bahasa asing memiliki dampak
positif dan negative terhadap bahasa Indonesia. Dampak positifnya,
bangsa Indonesia dapat mengikuti perkembangan internasional dengan
lancar. Dan dampak negatifnya, bahasa Indonesia sedikit demi sedikit
akan tergeser dengan bahasa inggris. Cara supaya sikap nasionalisme
berbahasa Indonesia tidak berkurang yaitu dengan tambahan pelajaran
untuk bahasa Indonesia dan bahasa daerah, lebih cinta terhadap bahasa
Indonesia, dll.
4. Secara formal sampai saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat
kedudukan, yaitu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa
negara, dan bahasa resmi. Dalam perkembangannya lebih lanjut,
bahasa Indonesia berhasil mendudukkan diri sebagai bahasa budaya
dan bahasa ilmu. Keenam kedudukan ini mempunyai fungsi yang
berbeda, walaupun dalam praktiknya dapat saja muncul secara
bersama-sama dalam satu peristiwa, atau hanya muncul satu atau dua
fungsi saja. Oleh karena itu, kebanggaan terhadap penggunaan bahasa
Indonesia secara baik dan formal menunjukkan tingginya rasa
nasionalisme seorang warga negara.
5. Pemertahanan nasionalisme melalui bahasa nasional baik dari bahasa
daerah maupun bahasa asing tidak dapat berjalan dengan baik tanpa
adanya peran dan kontribusi pengguna bahasa daerah itu sendiri. Sikap
positif terhadap bahasa Indonesia ini antara lain; 1) kesetiaan bahasa
yakni sikap yang mendorong masyarakat suatu bahasa
memepertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya
pengaruh bahasa lain, 2) kebanggaan bahasa yakni sikap yang
mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakan
sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, 3) kesadaran
adanya norma bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya
dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar
pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa.

3.2 Saran
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan
dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan agar
penulisan makalah-makalah selanjutnya dapat lebih baik dari makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Arifah. 2014. ”Bahasa dan Nasionalisme”.


Dalam http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/node/-2956.html. Dikunjungi pada 15
Oktober 2014.

Danie, Julianus. 2013. “Kajian Geografi Dialek Minahasa Timur Laut”. Dalam
http://sukabahasa.blogspot.com/kajian_geografi_dialek_minahasa_timur_laut.htm
l. Dikunjungi pada hari senin, 3 November 2014

Harimansyah, Ganjar. 2012. “Bahasa dan Nasionalisme”.


Dalam http://badanbahasa-.kemendikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/42.html.
Dikunjungi pada 15 Oktober 2014.

Indah. 2014. “Penggunaan Bahasa dalam Kehidupan Sehari-hari”.


Dalam http://carapedia.com/penggunaan_bahasa_dalam_kehidupan_sehari-
hari.html. Dikunjungi pada hari senin 3 November 2014

Kirman, Joko. 2009. “Fungsi Bahasa Indonesia”. Bandung: Dalam


http://jokokirman.blogspot.com/2009/fungsi_bahasa_indonesia.html. Dikunjungi
pada hari Senin, 3 November 2014.

Rusyana, Yus. 2013. “Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan”. Dalam
http://yusrusyana.com/bahasa_dan_sastra_dalam_gamitan_pendidikan.html. Diku
njungi pada hari Senin, 3 November 2014.

Simanjuntak, Rina Maralus. 2011. “Peran Bahasa dalam Meningkatkan


Nasionalisme”. Dalam http://rinasimanjuntaksastra.blogspot.com/2011/05/peran-
bahasa-dalam-meningkatkan.html Dikunjungi pada 15 Oktober 2014.

Anda mungkin juga menyukai