Anda di halaman 1dari 47

TEKNIK PEMERIKSAN CT SCAN KEPALA DENGAN INDIKASI

STROKE DI INSTALASI RADIOLOGI RSUD dr. SOESELO SLAWI

Laporan Kasus

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Kerja Lapangan 3

Disusun Oleh:

Yanuar Seso Adhe Widodo

P1337430215036

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV TEKNIK RADIOLOGI

JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG

2017
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus ini telah diterima, diperiksa dan disetujui untuk memenuhi

tugas mata kuliah Praktik Kerja Lapangan (PKL) 3 atas mahasiswa Jurusan

Radiodiagnostik dan Radioterapi Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang yang

bernama :

Nama : Yanuar Seso Adhe Widodo

NIM : P 1337430215036

Kelas : 3B

Dengan judul laporan “ TEKNIK PEMERIKSAN CT SCAN KEPALA

DENGAN INDIKASI STROKE DI INSTALASI RADIOLOGI RSUD dr.

SOESELO SLAWI ”

Slawi, Oktober 2017

Mengetahui Pembimbing

Dr.Endah Pancawati Teguh Gunawan, S.ST

NIP. 19611125 198901 2 001 NIP. 19750818 200012 1002

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT atas

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus

dengan judul “TEKNIK PEMERIKSAN CT SCAN KEPALA DENGAN

INDIKASI STROKE DI INSTALASI RADIOLOGI RSUD dr. SOESELO

SLAWI ”. Penulisan laporan kasus tersebut bertujuan untuk memenuhi tugas

Praktik Kerja Lapangan 3.

Dalam penulisan laporan kasus tersebut penulis menemui beberapa kendala,

untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Rini, S.Si, M.Kes selaku ketua jurusan Teknik Radiodiagnostik dan

Radioterapi Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang,

2. Ibu Siti Masrochah, S.ST, M.Si selaku ketua prodi D-IV Teknik Radiologi

Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang,

3. Dr. Endah Pancawati, selaku kepala Instalasi Radiologi RSUD dr. Soeselo

Slawi,

4. Bapak Suherinomo, Amd.Rad selaku kepala Ruang Instalasi Radiologi

RSUD dr. Soeselo

5. Bapak Teguh Gunawan ,S.ST selaku Clinical Instruktur Instalasi

Radiologi RSUD dr. Soeselo Slawi,

6. Seluruh radiografer dan staf karyawan di Instalasi Radiologi RSUD dr.

Soeselo Slawi,

iii
7. Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan dan doa kepada

penulis,

8. Teman sejawat Utpadita Christ Kohan Raray yang telah menjadi sahabat

bahkan saudara baru selama penulis menimba ilmu praktik klinik di RS

Dr. Soeselo Slawi

Penulis menyadari dalam pembuatan laporan kasus ini masih terdapat

kekurangan, untuk itu penulis mohon saran dan masukan dari semua pihak.

Penulis berharap laporan kasus ini dapat bermanfaat untuk mahasiswa dan

dijadikan studi bersama.

Slawi, Oktober 2017

Yanuar Seso Adhe Widodo

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii

KATA PENGANTAR ............................................................................... iii

DAFTAR ISI .............................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................... 3

1.3. Tujuan Penulisan ................................................................. 3

1.4. Manfaat Penulisan ............................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 4

2.1. Anatomi dan Fisiologi ......................................................... 4

2.2 Patologi Stroke .................................................................... 13

2.3 Komponen CT Scan ............................................................ 19

2.4 Parameter CT Scan .............................................................. 22

2.5 Teknik pemeriksaan CT Scan Kepala ................................. 28

2.6 Anatomi Otak ...................................................................... 30

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 31

3.1. Paparan Kasus ..................................................................... 31

3.2. Teknik Pemeriksaan ............................................................ 32

3.3. Hasil Radiograf .................................................................... 34

3.4. Evaluasi Hasil Radiograf ..................................................... 34

v
3.5. Pembahasan ......................................................................... 35

BAB IV PENUTUP ................................................................................... 38

4.1. Kesimpulan .......................................................................... 38

4.2. Saran .................................................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 39

LAMPIRAN ............................................................................................... 40

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cranium atau tulang tengkorak merupakan puncak dari kolum vertebrae

yang terdiri dari 22 tulang yang berbeda dan dibagi kedalam 2 bagian, yaitu 8

tulang cranial dan 14 tulang facial. Tulang cranial (crani- = mengenai otak)

membentuk cavum cranii yang membungkus dan melindungi otak.

Kedelapan tulang cranial adalah tulang frontal, dua buah tulang parietal, dua

buah tulang temporal, tulang occipital, tulang sphenoid, dan tulang ethmoid.

Tulang facial berjumlah 14 buah yang membentuk wajah. Keempat belas

tulang tersebut adalah dua buah tulang maxilla, dua buah tulang zygomatic,

tulang mandibular, dua buah tulang lacrimal, dua buah tulang palatine, dua

buah tulang conchae nasal inferior, tulang vomer, dan tulang nasal yang

mendasari suatu organ yaitu organ hidung atau dengan nama latin nasal .

Tulang cranial berfungsi sebagai wadah pelindung bagi otak, sedangkan

tulang facial berfungsi sebagai pembentuk tulang wajah sekaligus melindungi

system respiratori dan system digestive bagian atas. (Ballinger, 2016).

Stroke adalah suatu kejadian rusaknya sebagian dari otak. Terjadi jika

pembuluh darah arteri yang mengalirkan darah ke otak tersumbat, atau jika

robek atau bocor. Stroke, atau cerebrovascular accident (CVA), adalah

hilangnya fungsi-fungsi otak dengan cepat, karena gangguan suplai darah ke

otak. Hal ini dapat terjadi karena iskemia (berkurangnya aliran darah)

dikarenakan oleh penyumbatan (thrombosis, arterial embolism), atau

1
adanya haemorrhage (pendarahan). Stroke iskemik yang biasanya disebabkan

oleh diabetes menjadi mayoritas pada penderita stroke dan bisa mencapai 85

persen, sedangkan stroke pendarahan hanya 15 persen, tetapi stroke

pendarahan dapat menyebabkan kematian pada 40 persen pasiennya. Yang

perlu diperhatikan juga adalah stroke iskemik ringan yang gejalanya mirip

stroke, tetapi akan hilang dengan sendirinya dalam 24 jam (transient ischemic

attacks (TIA)). Hal ini terjadi karena penyumbatan pembuluh darah hanya

terjadi sementara. Tetapi bagaimanapun, jika hal ini terjadi, maka

kemungkinan terjadinya stroke berikutnya yang lebih berat dapat terjadi. Di

Indonesia, stroke terjadi pada 12 dari 1.000 orang dan satu dari 7 pasien yang

mengalami stroke akan meninggal (Neil R. Sims, 2010).

Salah satu modalitas imejing yang dapat mendiagnosis adanya stroke

adalah Computed Tomography atau biasa disebut CT Scan. Pada CT-

scan tersebut memiliki prosedur pencitraan diagnostik yang menggunakan

kombinasi dari sinar-x dan teknologi komputer untuk menghasilkan gambar

penampang (yang sering disebut irisan atau slice), baik horisontal maupun

vertikal dari tubuh. Generasi terbaru dari CT-scan yaitu MSCT-scan (Multi

Slice Computed Tomography Scanning) yang mampu menghasilkan gambar

secara detail dari bagian tubuh manusia

seperti cranium, cardiovascular, cardiac, otak, abdomen, colon dan

sebagainya. Multi Slice CT-scan dengan kecepatannya merupakan generasi

CT-scan canggih dengan peningkatan kecepatan yang sangat signifikan dari

2
generasi terdahulu, sehingga penegakan diagnosa dapat lebih akurat (Sofiana,

2013).

Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mengkaji lebih lanjut tentang

pemeriksaan CT Scan Kepala dengan indikasi Stroke dan mengangkatnya

sebagai laporan kasus dengan judul “TEKNIK PEMERIKSAN CT SCAN

KEPALA DENGAN INDIKASI STROKE DI INSTALASI RADIOLOGI

RSUD dr. SOESELO SLAWI ”.

1.2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana prosedur pemeriksaan CT Scan Kepala dengan indikasi Stroke

di Instalasi Radiologi RSUD dr. Soeselo Slawi?

1.3. Tujuan Penulisan

a. Tujuan umum :

Memenuhi tugas Praktik Kerja Lapangan 3

b. Tujuan khusus

Mengetahui prosedur pemeriksaan CT Scan Kepala dengan indikasi Stroke

di Instalasi Radiologi RSUD dr. Soeselo Slawi

1.4. Manfaat penulisan

a. Manfaat bagi penulis adalah menambah pengetahuan tentang teknik

pemeriksaan CT Scan Kepala dengan indikasi Stroke

b. Manfaat bagi masyarakat adalah menambah wawasan dan ilmu

pengetahuan tentang pemeriksaan CT Scan Kepala dengan indikasi Stroke

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi

Menurut Gray (2004), kepala merupakan bagian terpenting dari tubuh

yang terdiri dari tulang tengkorak (cranium), otak (cerebral), dan organ-organ

penting seperti mata, telinga, hidung dan mulut.

2.1.1 Cranium

Cranium atau tulang tengkorak merupakan puncak dari kolum

vertebrae yang terdiri dari 22 tulang yang berbeda dan dibagi kedalam

2 bagian, yaitu 8 tulang cranial (Gambar 2.1) dan 14 tulang

facial(Gambar 2.2). Tulang cranial berfungsi sebagai wadah pelindung

bagi otak, sedangkan tulang facial berfungsi sebagai pembentuk tulang

wajah sekaligus melindungi system respiratori dan system digestive

bagian atas. (Ballinger, 2016).

Tulang cranial yang berfungsi sebagai pelindung otak atau cerebral

dibagi atas 2 bagain, yaitu calvarium (tutup kepala) dan base (dasar

kepala).

4
Gambar 2.1 Tulang Cranial (Ballinger,2016)

Gambar 2.2 tulang facial (Ballinger,2016)

5
2.1.2 Cerebral (Otak)

Menurut Damasio (2005), cerebral atau otak merupakan struktur pusat

pengaturan yang memiliki volume sekitar 1.350cc dan terdiri atas 100

juta sel saraf atau neuron. Cerebral mengatur dan mengkoordinir

sebagian besar gerakan, prilaku, dan fungsi tubuh seperti detak

jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh dan suhu tubuh.

Cerebral terdiri dari dua bagian utama yaitu Cerebrum (otak besar) dan

Cerebellum (otak kecil). Adapun penjelasan kedua bagian tersebut

ialah:

a. Cerebrum

Cerebrum, bagian terbesar otak manusia, dibagi menjadi dua

bagian yang sama, hemisfer serebri kiri dan kanan (Gambar 2.3).

Keduanya saling berhubungan melalui korpus kalosum, suatu pita

tebal yang diperkirakan terdiri dari 300 juta akson neuron yang

berjalan di antara kedua hemisfer. Korpus kalosum adalah "jalan

layang informasi" tubuh. Kedua hemisfer berkomunikasi dan saling

bekerja sama melalui pertukaran informasi instan lewat koneksi

saraf ini. (Sherwood, 2011).

6
Gambar 2.3 Hemisfer Serebrum (Sherwood,2011)

Berdasarkan sistem fungional nya, yang dijelaskan oleh

Sherwood (2011), cerebrum dibagi kedalam lobus-lobus yang

dinamakan berdasarkan letak anatomisnya dengan tulang cranium.

Masing-masing lobus memiliki fungsional kerja masing-masing

(Gambar 2.4), seperti:

1) Lobus oksipitalis yang terletak di posterior (di kepala

belakang), melaksanakan pemrosesan awal masukan

penglihatan.

2) Lobus temporalis yang terletak di lateral (di kepala samping)

mempresepsikan sensasi suara.

3) Lobus parietalis yang terletak di belakang sulkus sentralis di

masing-masing sisi. Lobus ini berperan dalam menerima dan

memproses masukan sensorik.

7
4) Lobus frontalis yang terletak di kepala bagian depan. Lobus

parietalis terutama berperan dalam tiga fungsi utama: (1)

aktivitas motorik volunter, (2) kemampuan berbicara, dan (3)

elaborasi pikiran.

Gambar 2.4 Pembagian lobus dalam cerebrum(F.Netter,2014)

b. Cerebellum

Sherwood (2011) juga menjelaskan di serebelum ditemukan

lebih banyak neuron individual daripada di bagian otak lainnya,

dan hal ini menunjukkan pentingnya struktur ini. Serebelum terdiri

dari tiga bagian yang secara fungsional berbeda dengan peran

berbeda yang terutama berkaitan dengan kontrol bawah sadar

aktivitas motorik (Gambar 2.5). Secara spesifik, bagian-bagian

screbelum melakukan fungsi-fungsi berikut:

1) Vestibuloserebelum penting untuk mempertahankan

keseimbangan dan kontrol gerakan mata.

8
2) Spinoserebelum meningkatkan tonus otot dan

mengoordinasikan gerakan volunter terampil. Bagian otak ini

sangat penting dalam memastikan waktu yang tepat kontraksi

berbagai otot untuk mengoordinasikan gerakan yang

melibatkan banyak sendi. Sebagai contoh, gerakan sendi bahu,

siku, dan pergelangan tangan anda harus sinkron bahkan ketika

anda melakukan gerakan sederhana seperti mengambil pensil.

Ketika daerah-daerah korteks motorik mengirim pesan ke otot-

otot untuk mengeksekusi gerakan tertentu, spinoserebelum

diberi informasi tentang perintah motorik yang diinginkan.

Bagian ini juga menerima masukan dari reseptor-reseptor

perifer tentang gerakan tubuh dan posisi yang sebenarnya

terjadi.

3) Serebroserebelum berperan dalam perencanaan dan inisiasi

aktivitas volunter dengan memberikan masukan ke daerah

motorik korteks. Ini juga merupakan bagian serebelum yang

menyimpan ingatan procedural.

9
Gambar 2.5 Pembagian Cerebelum ( Merah =

vestibuloserebelum,ungu = spinoserebelum, hijau =

serebroserebelum) (Sherwood,2011)

c. Meninges (Lapisan Otak)

Meninges, adalah tiga membran yang membungkus susunan saraf

pusat, dari lapisan terluar hingga terdalam; dura mater, arakhnoid mater,

dan pia mater. (Gambar 2.6). Berikut ini penjelasn dari ketiga membrane

pembungkus saraf pusat:

1) Dura mater adalah pembungkus inelastik kuat yang terdiri dari dua

lapisa (dura artinya "kuat"). Lapisan-lapisan ini biasanya melekat

erat, tetapi di beberapa tempat keduanya terpisah untuk

membentuk rongga berisi darah, sinus dural, atau rongga yang

lebih besar, sinus venosus. Darah vena yang berasal dari otak

mengalir ke sinus ini untuk dikembalikan ke jantung. Cairan

serebrospinal juga masuk kembali ke darah di salah satu dari sinus-

sinus ini. (Sherwood, 2011)

10
2) Arakhnoid mater adalah lapisan halus kaya pembuluh darah

dengan penampakan "sarang laba-laba' (arahhnoid artinya "seperti

labalaba'). Ruang antara lapisan arachnoid dan pia mater di

bawahnya, ruang subarakhnoid, terisi oleh CSS. Penonjolan

jaringan arakhnoid, vili arakhnoid, menembus celah-celah di dura

di atasnya dan menonjol ke dalam sinus dura. CSS direabsorpsi

menembus permukaan vilus-vilus ini untuk masuk ke sirkulasi

darah di dalam sinus. (Sherwood, 2011)

3) Pia mater, adalah yang paling rapuh (pia artinya "lembut").

Lapisan ini memiliki banyak pembuluh darah dan melekat erat ke

permukaan otak dan medula spinalis, mengikuti setiap tonjolan dan

lekukan. Di daerah-daerah tertentu, lapisan ini masuk jauh ke

dalam otak untuk membawa pembuluh darah berkontak erat

dengan sel-sel ependim yang melapisi ventrikel. Hubungan ini

penting dalam pembentukan CSS, suatu topik yang kini akan kira

bahas. (Sherwood, 2011)

Gambar 2.6 Lapisan Otak (Sherwood,2011)

11
d. Sistem Ventrikel

Ventrikel terdiri dari empat rongga yang saling berhubungan di

dalam interior otak serta juga bersambungan dengan kanalis sentralis

sempit yang membentuk terowongan di bagian tengah medulla spinalis

(Gambar 2.7). Sel-sel ependim yang melapisi ventrikel ikut membentuk

cairan serebrospinal. Sel-sel ependim adalah salah satu dari beberapa jenis

sel yang memiliki silia. Gerakan silia sel ependim ikut berperan

mengalirkan cairan serebrospinal di seluruh ventrikel. Sel ini berfungsi

sebagai sel punca neuron dengan potensi membentuk tidak saja sel glia

lain tetapi juga neuron. (Sherwood, 2011).

Gambar 2.7 Sistem Ventrikel (F.Netter,2014)

e. Catatan Klinis

Meskipun banyak bahan dalam darah tidak pernah berkontak langsung

dengan jaringan otak, namun otak, dibandingkan dengan jaringan lain,

sangat bergantung pada pasokan darah yang konstan. Otak akan

mengalami kerusakan jika organ ini tidak mendapat pasokan O, lebih dari

12
4 sampai 5 menit atau penyaluran glukosanya terputus lebih dari 10

sampai 15 menit. (Sherwood, 2011).

2.2. Patologi Stroke

Stroke adalah suatu kejadian rusaknya sebagian dari otak. Terjadi jika

pembuluh darah arteri yang mengalirkan darah ke otak tersumbat, atau jika

robek atau bocor. Stroke, atau cerebrovascular accident (CVA), adalah

hilangnya fungsi-fungsi otak dengan cepat, karena gangguan suplai darah ke

otak. Hal ini dapat terjadi karena iskemia (berkurangnya aliran darah)

dikarenakan oleh penyumbatan (thrombosis, arterial embolism), atau

adanya haemorrhage (pendarahan). Stroke iskemik yang biasanya disebabkan

oleh diabetes menjadi mayoritas pada penderita stroke dan bisa mencapai 85

persen, sedangkan stroke pendarahan hanya 15 persen, tetapi stroke

pendarahan dapat menyebabkan kematian pada 40 persen pasiennya. Yang

perlu diperhatikan juga adalah stroke iskemik ringan yang gejalanya mirip

stroke, tetapi akan hilang dengan sendirinya dalam 24 jam (transient ischemic

attacks (TIA)). Hal ini terjadi karena penyumbatan pembuluh darah hanya

terjadi sementara. Tetapi bagaimanapun, jika hal ini terjadi, maka

kemungkinan terjadinya stroke berikutnya yang lebih berat dapat terjadi. Di

Indonesia, stroke terjadi pada 12 dari 1.000 orang dan satu dari 7 pasien yang

mengalami stroke akan meninggal.

Karenanya, daerah yang terkena stroke tidak dapat berfungsi seperti

seharusnya. Gejala-gejalanya termasuk: hemiplegia(ketidakmampuan untuk

13
menggerakkan satu atau lebih anggota badan dari salah satu sisi

badan, aphasia (ketidakmampuan untuk mengerti atau berbicara), atau tidak

mampu untuk melihat salah satu sisi dari luas pandang (visual field). Stroke

memerlukan tindakan darurat medis (medical emergency) pada masa emasnya

(golden period) yang maksimum hanya berlangsung beberapa jam saja setelah

terjadinya stroke. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya kerusakan

tetap atau kerusakan yang lebih parah. Dan jika tidak ditangani, bahkan bisa

mengakibatkan kematian. Stroke adalah penyebab ketiga terbesar kematian

dan yang yang pertama dalam menyebabkan kecacatan pada dewasa di

Amerika Serikat dan Eropa.

Faktor-faktor yang meningkatkan risiko terjadinya stroke

adalah: usia, tekanan darah tinggi, stroke

sebelumnya, diabetes, kolesteroltinggi, merokok, atrial

fibrillation, migraine dengan aura, dan thrombophilia (cenderung thrombosis).

Dari semua faktor-faktor tersebut yang paling mudah dikendalikan adalah

tekanan darah tinggi dan merokok. 80 persen stroke dapat dihindari dengan

pengelolaan faktor-faktor risiko.

2.2.1. Klasifikasi

Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke iskemik maupun

stroke hemorragik. Sebuah prognosis hasil sebuah penelitian di Korea

menyatakan bahwa, 75,2% stroke iskemik diderita oleh kaum pria

dengan prevalensi berupa hipertensi, kebiasaan merokok dan

konsumsi alkohol. Berdasarkan sistem TOAST, komposisi terbagi

14
menjadi 20,8% LAAS, 17,4% LAC, 18,1% CEI, 16,8% UDE dan

26,8% ODE.

Deteksi secepatnya dalam masa 'Golden Period' beberapa jam

setelah serangan stroke sangat berarti bagi kesehatan pasien pasca

stroke. Stroke iskemik, karena penyumbatan harus diberikan obat

pengencer darah untuk melancarkan sumbatan dalam waktu tidak

lebih dari 3 jam setelah serangan stroke, sedangkan stroke hemorragik

dimana terjadi pendarahan harus segera dilakukan pembedahan untuk

membersihkan darah dari otak. Jika terlambat penangannya, maka

pasien akan menderita pasca stroke yang lebih berat (Neil R.Sims.

2010).

a. Stroke hemorragik

Dalam stroke hemorragik, pembuluh darah pecah sehingga

menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke

dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Pendarahan dapat

terjadi di seluruh bagian otak seperti caudate putamen; talamus;

hipokampus; frontal, parietal, dan occipital cortex; hipotalamus;

area suprakiasmatik; cerebellum; pons; dan midbrain. Hampir 70

persen kasus stroke hemorrhagik menyerang penderita hipertensi.

Stroke hemorragik terbagi menjadi subtipe intracerebral

hemorrhage (ICH), subarachnoid hemorrhage (SAH),cerebral

venous thrombosis, dan spinal cord stroke. ICH lebih lanjut terbagi

15
menjadi parenchymal hemorrhage, hemorrhagic infarction, dan

punctate hemorrhage.

b. Stroke iskemik

Dalam stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di

sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Darah

ke otak disuplai oleh dua arteria karotis interna dan dua arteri

vertebralis. Arteri carotis interna merupakan cabang dari arteri

carotis communis sedangkan arteri vertebralis merupakan cabang

dari arteri subclavia.

2.2.2. Patofisiologi

Hingga saat ini patofisiologi stroke merupakan studi yang sebagian

besar didasarkan pada serangkaian penelitian,terhadap berbagai proses

yang saling terkait, meliputi kegagalan energi, hilangnya homeostasis

ion sel, asidosis, peningkatan kadar Ca2+ sitosolik, eksitotoksisitas,

toksisitas dengan radikal bebas, produksi asam arakidonat,

sitotoksisitas dengan sitokina, aktivasi sistem komplemen, disrupsi

sawar darah otak, aktivasi sel glial dan infiltrasi leukosit.

Pusat area otak besar yang terpapar iskemia akan mengalami

penurunan aliran darah yang dramatis, menjadi cedera dan memicu

jenjang reaksi seperti lintasan eksitotoksisitas yang berujung kepada

nekrosis yang menjadi pusat area infark dikelilingi oleh

penumbra/zona peri-infarksi. Menurut morfologi, nekrosis merupakan

16
bengkak seluler akibat disrupsi inti sel, organel, membran plasma, dan

disintegrasi struktur inti dan sitoskeleton.

Di area penumbra, apoptosis neural akan berusaha dihambat oleh

kedua mekanisme eksitotoksik dan peradangan,oleh karena sel otak

yang masih normal akan menginduksi sistem kekebalan turunan untuk

meningkatkan toleransi jaringan otak terhadap kondisi iskemia, agar

tetap dapat melakukan aktivitas metabolisme. Protein khas CNS

seperti pancortin-2 akan berinteraksi dengan protein modulator aktin,

Wiskott-Aldrich syndrome protein verprolin homologous-1 (WAVE-

1) dan Bcl-xL akan membentuk kompleks protein mitokondrial untuk

proses penghambatan tersebut (Mergenthaler P, 2004).

Riset terkini menunjukkan bahwa banyak neuron di area penumbra

dapat mengalami apoptosis setelah beberapa jam/hari sebagai bagian

dari proses pemulihan jaringan pasca stroke dengan 2 lintasan, yaitu

lintasan ekstrinsik dan lintasan intrinsik.

Iskemia tidak hanya mempengaruhi jaringan parenkima otak,

namun berdampak pula kepada sistem ekstrakranial. Oleh karena itu,

stroke akan menginduksi imunosupresi yang dramatis melalui aktivasi

berlebih sistem saraf simpatetik, sehingga memungkinkan terjadinya

infeksi bakterial seperti pneumonia (Mergenthaler P, 2004)

2.2.3. Pencegahan

Dalam manusia tanpa faktor risiko stroke dengan umur di bawah

65 tahun, risiko terjadinya serangan stroke dalam 1 tahun berkisar

17
pada angka 1%.Setelah terjadinya serangan stroke ringan atau TIA,

penggunaan senyawa anti-koagulan seperti warfarin, salah satu obat

yang digunakan untuk penderita fibrilasi atrial,akan menurunkan

risiko serangan stroke dari 12% menjadi 4% dalam satu tahun.

Sedangkan penggunaan senyawa anti-keping darah seperti aspirin,

umumnya pada dosis harian sekitar 30 mg atau lebih, hanya akan

memberikan perlindungan dengan penurunan risiko menjadi

10,4%. Kombinasi aspirin dengan dipyridamole memberikan

perlindungan lebih jauh dengan penurunan risiko tahunan menjadi

9,3%.

Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya stroke adalah dengan

mengidentifikasi orang-orang yang berisiko tinggi dan mengendalikan

faktor risiko stroke sebanyak mungkin, seperti kebiasaan merokok,

hipertensi, dan stenosis di pembuluh karotid, mengatur pola makan

yang sehat dan menghindari makanan yang mengandung kolesterol

jahat (LDL), serta olaraga secara teratur. Stenosis merupakan

efek vasodilasi endotelium yang umumnya disebabkan oleh

turunnya sekresi NO oleh sel endotelial, dapat diredam asam

askorbatyang meningkatkan sekresi NO oleh sel endotelial melalui

lintasan NO sintase atau siklase guanilat, mereduksi nitrita menjadi

NO dan menghambat oksidasi LDL di lintasan aterosklerosis.

Beberapa institusi kesehatan seperti American Heart

Association atau American Stroke Association Council, Council on

18
Cardiovascular Radiology and Intervention memberikan panduan

pencegahan yang dimulai dengan penanganan saksama

berbagai penyakit yang dapat ditimbulkan oleh aterosklerosis,

penggunaan senyawa anti-trombotik untuk kardioembolisme dan

senyawa anti-keping darah bagi kasus non-kardioembolisme,diikuti

dengan pengendalian faktor risiko seperti arterial dissection, patent

foramen ovale, hiperhomosisteinemia, hypercoagulable states, sickle

cell disease; cerebral venous sinus thrombosis; stroke saat kehamilan,

stroke akibat penggunaan hormon pasca menopause, penggunaan

senyawa anti-koagulan setelah terjadinya cerebral hemorrhage;

hipertensi,hipertensi, kebiasaan merokok, diabetes, fibrilasi

atrial, dislipidemia, stenosis karotid, obesitas, sindrom metabolisme,

konsumsi alkohol berlebihan, konsumsi obat-obatan berlebihan,

konsumsi obat kontrasepsi, mendengkur, migrain,

peningkatan lipoprotein dan fosfolipase (Sauerbeck LR. 2006).

2.3. Komponen CT Scan

Menurut Bontrager’s (2018) Sistem CT terdiri dari tiga komponen utama

yaitu gantry, komputer, dan operator console. Sistem ini mencakup perangkat

komputasi dan pencitraan yang sangat kompleks. Bagian berikut ini

memberikan pengantar yang luas untuk topik yang sangat teknis.

19
2.3.1. Gantry

Gantry terdiri dari tabung sinar-x, detektor array, dan kolimator.

Bergantung pada spesifikasi teknis unit, gantry biasanya dapat

disudutkan 30 ° ke setiap arah, seperti yang dibutuhkan seperti

pemeriksaan CT kepala atau tulang belakang. Bukaan tengah di

gantry adalah aperture. Meja CT (kadang-kadang disebut

couchpasien) dihubungkan secara elektronik ke gantry atau gerakan

terkontrol selama pemindaian. Anatomi pasien di dalam aperture

adalah area yang sedang dipindai pada saat itu.

2.3.2. X-Ray Tube

Tabung sinar-x mirip dengan tabung radiografi umum dalam

konstruksi dan operasi. Namun, modifikasi desain sering diperlukan

untuk memastikan bahwa tabung mampu menahan kapasitas panas

tambahan karena waktu exposure yang meningkat.

2.3.3. Detektor array

Detektor padat dan terdiri dari dioda ditambah dengan bahan kristal

scintillator (cadmium tungstate atau rare earth oxide ceramic crystals).

Detektor solid state mengubah energi sinar-x yang ditransmisikan

menjadi cahaya, yang diubah menjadi energi listrik dan kemudian

menjadi sinyal digital. Rangkaian detektor mempengaruhi dosis pasien

dan efisiensi unit CT.

20
2.3.4. Kolimator

Kolimasi pada CT penting karena mengurangi dosis pasien dan

meningkatkan kualitas gambar. Pemindai CT generasi sekarang

umumnya menggunakan satu kolimator-prepatient (pada tabung sinar-

x), yang membentuk dan membatasi sinar. Ketebalan slice pada unit

CT multidetektor modern ditentukan oleh ukuran pada baris detektor

yang digunakan.

2.3.5. Komputer

Komputer CT membutuhkan dua jenis perangkat lunak yang sangat

canggih-satu untuk sistem operasi dan satu untuk aplikasi.

Sistem operasi mengelola perangkat keras, sedangkan aplikasi

mengelola preprocessing, rekonstruksi gambar, dan berbagai macam

operasi pasca-pengolahan. Komputer CT harus memiliki kecepatan

dan kapasitas memori yang besar. Sebagai contoh, pertimbangkan

bahwa satu potongan CT (gambar) dengan matriks 512 × 512,

komputer secara bersamaan harus melakukan perhitungan 262.144

matematis per irisan.

2.3.6. Operator Console

Komponen operator console mencakup monitor single atau dual ,

keyboard, mouse, , tergantung pada sistem . Konsol operator

memungkinkan teknolog untuk mengontrol parameter pemeriksaan,

yang disebut protokol, dan melihat atau memanipulasi gambar yang

dihasilkan. Protokol, yang telah ditentukan atau setiap prosedur,

21
mencakup faktor seperti kilovoltage, milliamperage, pitch, field of

view, slice thickness , pengindeksan tabel, rekonstruksi algoritma, dan

jendela display. Parameter ini dapat dimodifikasi oleh teknolog, jika

diperlukan, berdasarkan presentasi pasien atau riwayat klinis.

2.3.7. Jaringan dan Pengarsipan

Jaringan workstation komputer, sebuah setup dimana workstation

berada di lokasi lain atau digunakan oleh ahli radiologi atau teknolog.

Workstation ini mungkin berada dalam departemen pencitraan atau

mungkin berada di daerah terpencil dengan transmisi data secara

elektronik.

Pengarsipan gambar atau sebagian besar sistem CT melibatkan

penggunaan media digital yang tersimpan dalam arsip PACS (picture

archiving and communications system). Gambar yang tidak tersimpan

pada PACS dapat menggunakan kombinasi optical disk dan hard disk

drive atau penyimpanan data berkapasitas tinggi secara permanen.

Printer laser juga bisa digunakan untuk mencetak gambar atau

penyimpanan hard copy. Interpretasi temuan pemeriksaan umumnya

dilakukan oleh radiologis pada workstation beresolusi tinggi.

2.4. Parameter CT Scan

Gambar pada CT Scan dapat terjadi sebagai hasil dari berkas sinar-X yang

mengalami perlemahan setelah menembus obyek, ditangkap detektor dan

dilakukan pengolahan dalam komputer. Penampilan gambar yang baik

22
tergantung kualitas gambar yang dihasilkan sehingga aspek klinis dari gambar

tersebut dapat dimanfaatkan untuk menegakkan diagnosa.

Pada CT Scan dikenal beberapa parameter untuk pengontrolan eksposi dan

output gambar yang optimal (Bushberg,2003). Adapun parameter tersebut

adalah :

2.4.1. Slice thickness

Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan dari obyek

yang diperiksa. Nilainya dapat dipilih antara 1 mm – 10 mm sesuai

dengan keperluan klinis. Slice thickness yang tebal akan

menghasilkan gambaran dengan detail yang rendah sebaliknya dengan

slice thickness yang tipis akan menghasilkan gambaran dengan detail

yang tinggi. Slice thickness yang tebal akan menimbulkan gambaran

yang mengganggu seperti garis-garis dan apabila slice thickness

terlalu tipis akan menghasilkan noise yang tinggi

2.4.2. Scan Range

Scan range adalah perpaduan atau kombinasi dari beberapa slice

thickness, yang bermanfaat untuk mendapatkan ketebalan potongan

yang berbeda pada satu lapangan pemeriksaan.

2.4.3. Faktor Eksposi

Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

eksposi, meliputi tegangan tabung (KV), arus tabung (mA) dan waktu

(s). Besarnya tegangan tabung dapat dipilih secara otomatis pada

setiap pemeriksaan (Jaengsri, 2004).

23
Tegangan tabung (KV) yaitu beda potensial antara tabung katoda

dan anoda. Semakin tinggi awan elektron yang dihasilkan maka akan

semakin kuat menembus anoda sehingga daya tembus yang

dihasilkan akan semakin besar.

Arus tabung (mA) yaitu kuat lemahnya arus yang dihasilkan

sinar-X, apabila arus tabung besar maka elektron yang dihasilkan akan

semakin besar.

Waktu (s) yaitu lamanya waktu eksposi, sangat berpengaruh

terhadap jumlah elektron. mAs berpengaruh terhadap jumlah elektron

dan kuantitas sinar-X.

2.4.4. Field of View (FOV)

Field of View (FOV) adalah diameter maksimal dari gambar yang

akan direkonstruksi. Besarnya bervariasi dan biasanya berada pada

rentang 12 cm sampai dengan 50 cm. Field of View (FOV) kecil

akan meningkatkan detail gambar (resolusi) karena field of view

(FOV) yang kecil mampu mereduksi ukuran pixel, sehingga dalam

rekonstruksi matriks hasilnya lebih teliti.

Field of View (FOV) kecil, antara 100 mm sampai dengan 200 mm

akan meningkatkan resolusi sehingga detail gambar dan batas objek

akan tampak jelas. Field of View (FOV) kecil akan menyebabkan

noise meningkat (Nesseth, 2000).

24
Field of View (FOV) sedang, yaitu 200 mm diharapkan gambar

yang dihasilkan memiliki spasial resolusi yang baik, noise serta

artefak sedikit.

Field of View (FOV) besar, antara 350 mm sampai dengan 400

mm akan menghasilkan spasial resolusi yang rendah karena pixel

menjadi besar akibat dilakukannya magnifikasi. Field of View (FOV)

besar akan menyebabkan noise berkurang dan kontras resolusi

meningkat serta dapat dihindari munculnya streak artifact (Genant,

1982).

2.4.5. Gantry Tilt

Gantry tilt adalah sudut yang dibentuk antara bidang vertikal

dengan gantry (tabung sinar-X dengan detektor). Rentang gantry tilt

antara -300 sampai +300. Gantry tilt bertujuan untuk keperluan

diagnosa dari masing-masing kasus yang dihadapi.

2.4.6. Pitch

Pitch adalah jangka waktu yang berhubungan dengan suatu

kecepatan dan jarak. Pada CT Scan helical, pitch didefinisikan sebagai

jarak (mm) pergerakan meja CT Scan selama satu putaran tabung

sinar-X. Pitch digunakan untuk menghitung pitch ratio, yang mana

merupakan suatu rasio pada pitch untuk slice thickness/beam

collimation.

Saat jarak pergerakan meja selama satu putaran penuh, tabung

sinar-X sama dengan slice thickness/ beam collimation, pitch ratio

25
(pitch) yaitu 1:1 atau sederhananya 1. Suatu pitch dengan nilai 1

menghasilkan kualitas gambar terbaik dalam CT Scan helical. Pitch

ditingkatkan untuk meningkatkan volume coverage dan kecepatan

proses scanning. Nilai pitch berada dalam range 0 sampai dengan 10,

sedangkan pitch faktor antara 1 dan 2.

2.4.7. Rekonstruksi Matriks

Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom dari picture

element (pixel) dalam proses perekonstruksian gambar. Rekonstruksi

matriks ini merupakan salah satu struktur elemen dalam memori

komputer yang berfungsi untuk merekonstruksi gambar. Pada

umumnya matriks yang digunakan berukuran 512x512 yaitu 512 baris

dan 512 kolom. Pada pemeriksaan CT Scan ukuran matriks

disesuaikan dengan alat yang tersedia. Rekonstruksi matriks

berpengaruh terhadap resolusi gambar. Semakin tinggi matriks yang

dipakai maka semakin tinggi detail gambar yang dihasilkan.

(Bushberg, 2003)

2.4.8. Rekonstruksi Algorithma

Rekonstruksi algorithma adalah prosedur matematis yang

digunakan dalam merekonstruksi gambar. Penampakan dan

karakteristik dari gambar CT Scan tergantung dari kuatnya algorithma

yang dipilih. Semakin tinggi rekonstruksi algorithma yang dipilih

maka semakin tinggi resolusi gambar yang dihasilkan. Dengan adanya

26
metode ini maka gambaran seperti tulang, soft tissue, dan jaringan-

jaringan lain dapat dibedakan dengan jelas pada layar monitor.

2.4.9. Window Width

Window Width adalah nilai computed tomography yang dikonversi

menjadi gray scale untuk ditampilkan ke TV monitor. Setelah

komputer menyelesaikan pengolahan gambar melalui rekonstruksi

matriks dan algorithma maka hasilnya akan dikonversi menjadi skala

numerik yang dikenal dengan nama nilai computed tomography. Nilai

ini mempunyai satuan HU (Hounsfield Unit).

Dasar pemberian nilai ini adalah air dengan nilai 0 HU, jaringan

lunak 140 HU sampai dengan 400 HU, untuk tulang mempunyai nilai

+1000 HU kadang sampai +3000 HU. Sedangkan untuk kondisi udara

nilai yang dimiliki -1000 HU. Jaringan atau substansi lain dengan

nilai yang berbeda tergantung dari nilai perlemahannya. Jadi

penampakan tulang pada monitor menjadi putih dan udara menjadi

hitam. Jaringan dan substansi lain akan dikonversi menjadi warna abu-

abu bertingkat yang disebut gray scale. Khusus untuk darah yang

semula dalam penampakannya berwarna abu-abu dapat menjadi putih

apabila diberi media kontras (Rasad, 2011).

2.4.10. Window Level

Window Level adalah nilai tengah dari window yang digunakan

untuk penampilan gambar. Nilainya dapat dipilih dan tergantung pada

karakteristik perlemahan dari struktur obyek yang diperiksa. Window

27
Level menentukan densitas (derajat kehitaman) gambar yang

dihasilkan. Untuk jaringan lunak 30 HU sampai dengan 40 HU,

sedangkan untuk tulang 200 HU sampai dengan 400 HU.

Gambar 2.8. Hubungan antara nomor CT dan gray scale(Seeraam,2009)

2.5. Teknik Pemeriksaan CT Scan Kepala

Letakan pasien pada posisi supine dengan penahan kepala.

Pastikan pasien tersebut tidak berrotasi atau miring. Atur meja

pemeriksaan sehingga coronal alignment light tepat berada pada

pertengahan midcoronal plane. Lakukan topogram. Tentukan

lokasi scan dari basis cranii ke vertex. Sudut gantry disesuaikan

dengan basis cranii (tulang occipital) (foramen magnum) dan

tulang frontal ( roof of orbit) (Ballinger, 2013).

28
Gambar.2.9 Scanogram Skull

2.5.1. Indikasi ( Bontrager,2018)

Indikasi umum untuk pemeriksaan CT Scan Kepala dalah sebagai

berikut:

a. Tumor – lesi metastasi,meningioma,glioma

b. Sakit kepala

c. Patologi peredaran darah - cerebrovascular accident(CVA),

aneurysm, arteriovenous malformation (AVM)

d. Inflamasi atau infeksi – meningitis , abses

e. Trauma – epidural dan subdural hematoma, fraktur

f. Gangguan degeneratif – brain atrophy

g. Kelainan bawaan

h. Hidrosefalus

2.5.2. Parameter scan

a. Rentang anatomical scan : Basis cranii hingga ke vertex

b. Tipe scan : Axial sequential

c. Lokalisir scan : Anteroposterior atau lateral

d. kVp : 120

29
e. mAs : 250 otomatis

f. Field of view : 22 cm

g. Ketebalan irisan scan : 5 mm

h. Ketebalan irisan recon : 2.5 mm

i. Kemiringan gantry : Sejajar dengan basis cranii

j. Inti recon : Medium average

2.6. Anatomi Otak

Ini adalah salah satu anatomi otak dengan potongan axial.

Gambar 2.10. Anatomi otak potongan axial (T.B. Moeller,2007)

30
BAB III

Profil Kasus dan Pembahasan

3.1. Profil Kasus

Pada tanggal 19 September 2017, pasien dengan inisial Tn. Hd datang ke

Instalasi Radiologi RSUD dr. Soeselo Slawi dengan di antar oleh perawat

menggunakan brankart. Pada lembar permintaan tersebut tertulis permintaan

pelayanan radiologi untuk di lakukan pemeriksaan CT Scan Kepala(Lampiran

1).

Prosedur pemeriksaan ct-scan kepala yang dilakukan di RSUD dr. Soeselo

Slawi dibedakan atas dua SPO, yaitu pada kasus trauma dan non-trauma atau

rutin. Pada kasus trauma, diperlukannya rekonstruksi gambar untuk

penambahan informasi diagnostic, seperti perhitungan volume perdarahan dan

pembuatan tampilan 3D dari struktur tulang. Oleh sebab itu, penulis

bermaksud untuk membahas prosedur dan teknik pemeriksaan CT-

Scan Kepala dengan klinis Stroke. Berikut adalah identitas pasien :

Nama : Tn. Hd

Umur : 48 th

Jenis Kelamin : Pria

Alamat : Slawi

Tanggal pemeriksaan : 19 September 2017

Unit : Rawat inap ( R. Palm )

31
Diagnosa : Stroke

Pemeriksaan : CT-Scan Kepala

3.2. Prosedur Pemeriksaan

3.2.1. Perisiapan Alat dan Bahan

a. Pesawat CT-Scan

Merk : Siemens

Tipe : Somato Emotion 16 slice

No seri : 253371144

No tabung : M-CT-172

kV /mA maks: 140kV / 240 mA

b. Printer film radiografi

Merk : Kodak

Model : Carestream Dry View 5700

c. Film radiografi

Merk : Kodak

Model/ukuran : DryView Film (35 x 43 cm)

d. Hand dan Body starp

e. Head cleam

f. Pengganjal kepala

g. Selimut

32
3.2.2. Persiapan Pasien

Tidak ada persiapan khusus, hanya saja pasien harus melepaskan

benda logam di sekitar kepala agar tidak mengganggu hasil gambaran

radiograf. Instruksikan kepada pasien agar tidak selama pemeriksaan

berjalan.

3.2.3. Teknik Pemriksaan

a. Posisi paien : Posisi pasien supine (head first) dan menempatkan

kepala pasien pada head holder. Kedua lemgan di letakkan di

samping tubuh.

b. Posisi Objek : Tempatkan kepala pasien pada head holder. Atur

kepala sehingga MSP kepala sejajar dengan lampu indikator

longitudinal dan lampu indikator horizontal setinggi MAE. Kepala

di fiksasi dengan head cleam. Central point lampu indikator 3 jari

superior kepala. Tubuh pasien di fiksasi dengan body strap agar

selama pemeriksaan tidak bergerak. Dan pasien diberi selimut agar

lebih nyaman mengingat ruangan pemeriksaan yang ber-AC

c. Parameter Scaning

Protocol : Head Routine

Range : Range 1(Basis Cranii sampai Petrosum)

Range 2 (Petrosum sampai ke vertek)

Slice thickness : Base (5.0 mm)

Cerebrm (10.0mm)

Kv : 130 kVp

33
mA : 25

Scan time : 3.4 s

Pitch : 0.55

3.3. Hasil Radiograf

3.4. Evaluasi Radiograf

Adapun hasil bacaan Dokter Radiolog sebagai berikut (Lampiran 2):

 Tampak lesi hiperdens (vol 19.78 cc) dengan perifokal odema pada

nukleus lentiformis dan kapsula eksterna kanan.

34
 Tampak lesi hiperdens lakuner pada globus palidus kiri

 Diferensiasi subtansia alba dan subtansia grisea tampak normal

 Sulkus kortikalis dan fisura sylvii tampak normal

 Ventrikel lateral kana, kiri, III dan IV tampak normal

 Cisterna tampak normal

 Tak tampak midline shifting

 Batang otak dan cerebellum baik.

KESAN

 ICH dengan perifokal pada nukleus lentiformis dan kapsula eksterna

kanan

 Infark lakuner pada globus palidus kiri

 Tak tampak SOL maupun tanda peningkatan tekanan intrakranial

3.5.Pembahasan

Prosedur pemeriksaan CT Scan Kepala dengan indikasi Stroke di Instalasi

Radiologi RDUD dr. Soeselo Slawi hampir sama dengan prosedur yang ada

dalam teori. Perbedaan yang ada di lakukan karena kondisi alat dan pasien.

Secara umum teknik pemeriksaannya sama dengan Ballinger (2016) yaitu

Posisi pasien supine (head first) dan menempatkan kepala pasien pada head

holder. Kedua lemgan di letakkan di samping tubuh. MSP kepala sejajar

dengan lampu indikator longitudinal dan lampu indikator horizontal setinggi

MAE. Kepala di fiksasi dengan head cleam. Central point lampu indikator 3

jari superior kepala. Tubuh pasien di fiksasi dengan body strap agar selama

35
pemeriksaan tidak bergerak. Dan pasien diberi selimut agar lebih nyaman

mengingat ruangan pemeriksaan yang ber-AC.

Proses scaning dilakukan setelah radiografer memasukan data pasien dan

mengatur parameter yang akan digunakan. Protokol yang digunakan adalah

Head Routin. Dengan parameter antara lain slice thickness untuk base 5.0 mm

dan cerebrum 10.0 mm, 130 kVp, mAs 25, scan time 10.41 s.

Setelah selesai scaning selanjutnya gambar di rekontruksi dengan 3D-

MPR dengan slice thickness 1.5 mm, recon increment 1.0 mm dan kernel

H31s medium smooth+ . Untuk range 1 (basis cranii sampai petrosum)

menggunakan window base orbita sedangkan range 2 ( petrosum sampai

vertex) menggunakan window cerebrum. Citra yang sudah di recon kemudian

di masukan ke dalam 3D MPR. Tujuannya adalah untuk mensimetriskan citra

dan objek. Setelah semua simetris kemudian di buatlah scanogram.

Ada perbedaan pada pemeriksaan CT Scan Kepala biasanya dengan

pemeriksaan CT Scan Kepala dengan indikasi Stroke. Ternyata terdapat

gumpalan darah pada pasien tersebut. Sehingga perlu di hitung volume

darahnya. Penghitungan volume darah tersebut di hitung dengan menu bar

volume dan setelah di hitung ternyata volumenya 19.78 cc.

36
Citra Potongan sagital Hasil penghitungan Volume darah

37
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan laporan kasus “ Teknik Pemeriksaan CT Scan

Kepala dengan Indikasi Stroke di Instalasi Radiologi RSUD dr. Soeselo

Slawi” penulis menarik kesimpuan sebagai berikut :

4.1.1. Teknik Pemeriksaan CT Scan Kepala dengan Indikasi Stroke di

Instalasi Radiologi RSUD dr. Soeselo Slawi menggunakan protocol

Head Routine. Posisi pasien supine (head first). Scaning

menggunakan 2 range yaitu range 1 (basis cranii sampai ke petrosum)

dengan slice thickness 5.0m dan range (petrosum sampai ke vertex).

Proses rekontruksi menggunakan 3D-MPR dengan slice thickness 1.5

mm dan recon increment 1.0 mm. Perhitungan volume darah

menggunakan menu bar volume. Di dapat hasil 19.78 cc

4.2. Saran

Saran yang dapat penulis sampaikan pada laporan kasus ini yaitu untuk

mahasiswa praktik agar dapat memahami dengan seksama teknik pemeriksaa

CT Scan Kepala dengan Indikasi Stroke untuk bekal saat penanganan pasien

kedepannya.

38
DAFTAR PUSTAKA

Bruce W. Long. 2016. Merrill’s Atlas of Radiographic Positioning and


Procedure. Volume 2. Edisi 13. Elsevier. USA

John P. Lampignano. 2018. Radiographic Positioning and Related Anatomy. Edisi


8. Mosby. USA

Rasad, Sjahrir. 2011. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi: 6.


Terjemahan: dr. Brahm U. Pendit. Editor: dr. Nella Yesdelita. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Netter, Frank H. 2014. Atlas of Human Anatomy. Six Edition. Philadelphia, USA:
Saunders Elsevier.
Damasio, Hanna. 2005. Human Brain Anatomy in Computerized Images. Second
Edition. New York, USA: Oxford University Press.
Neil R.Sims. 2010. Mitochondria, oxidative metabolism and cell death in strok.
Diakses tanggal 22-09-2017 pukul 21:30 WIB

Mergenthaler P. 2004. Pathophysiology of stroke: lessons from animal


models.Diakses tanggal 22-09-2017 pukul 21:56 WIB

Sauerbeck LR. 2006. Primary stroke prevention. Diakses tanggal 22-09-2017


pukul 22:17 WIB

Seeram, Euclid. Computed tomography : Physical principles, Clinical


applications, and Quality control.3rd ed. Philadelphia , 2009, Saunders
Elsevier
T.B Moeller. 2007. Pocket Atlas Of Sectional Anatomy. Volume 1. Edisi 3.
Thieme. New York

39
LAMPIRAN

Lampiran 1

40
Lampiran 2

41

Anda mungkin juga menyukai