Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS KASUS PERCERAIAN

Dosen Pengampu : Dr. Achmad Husen M.Pd

Hukum Islam

Disusun Oleh:

Kelompok 5

Dhymas Nur Fauzi ( 4115162245 )

Ika Oktaviani ( 4115161452 )

Rifqi Azhar Fadillah ( 4115162130 )

PPKn A/2016

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2019

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
dan inayah- Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Hasil Analisis
Kasus Perceraian sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Islam dengan dosen pengampu
Dr. Achmad Husen M.Pd

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua yang telah berkontribusi dalam pembuatan laporan ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki laporan ini.

Akhir kata, kami berharap semoga Laporan Hasil Analisis Kasus Perceraian ini dapat
memberikan manfaat terhadap pembaca.

Jakarta, 7 Juli 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 4

1.1. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 4

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................... 5

1.3. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 5

BAB II KAJIAN TEORI ............................................................................................... 6

2.1. Pengertian Perceraian.......................................................................................... 6

2.2. Sebab-sebab Putusnya Perkawinan ..................................................................... 8

2.3. Putusnya Perkawinan Dalam Islam .................................................................. 11

BAB III ANALISIS KASUS ....................................................................................... 17

A. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 748/Pdt.G/2019/PA.JS ...... 17

B. Analisis ................................................................................................................ 19

BAB IV PENUTUP ..................................................................................................... 21

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 21

B. Saran .................................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 22

3
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah salah satu hal yang sacral yang diidam-idamkan oleh setiap
individu. karna, perkawinan menyatukan dua insan dalam suatu ikatan yang sah melalui akad
nikah yang dianggap sebagai perjanjian suci dan kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah (sunah) serta guna menghalalkan
hubungan seksual agar tidak menjadi dosa.

Didalam perkawinan ada beberapa prinsip yang harus dipegang terguh oleh suami dan
istri yaitu, pergaulan yang makruf ( pergaulan yang baik) saling menjaga rahasia masing-
masing, pergaulan yang sakinah (pergaulan yang aman dan tentram),pergaulan yang
mengalami rasa Mawaddah ( saling mencintai) serta pergaulan yang rahma( rasa santun
menyatuni terutama pada masa tua.)

Islam telah mengartur sedemikian rupa perkawninan, agar para umat mengikuti
petunjuk tersebut agar tercipta tujuan pernikahan sebagamana dimaksud oleh Allah SWT.
Namun, dalam perjalananya tidak sedikit pasangan yang tidak mampu mencapai tujuan dari
perkawinan itu sendiri ingga memilih untuk mengakhiri hubungan perkawinanya dengan
perceraian. Perceraian merupakan sesuatu yang dapat timbul atau terjadi karena adanya suatu
ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan seperti halnya disebutkan dalam KHI yang menyebutkan
bahwa “Perkawinan bertujuan untuk meweujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahma, dan juga aturan tentang perkawinan terdapat dalam Undang - undang
No, 1 tahun 1974. Adanya pengaturan tentang perkawinan ini adalah untuk memberikan
perlindungan hukum bagi adanya hubungan yang dilakukan oleh seorang laki - laki dan
perempuan dalam suatu ikatan resmi yang sering disebut dengan ikatan perkawinan

Meskipun telah diatur sedemikian rupa, adanya perkawinan berakibat pada adanya
suatu perceraiaan. Perceraiaan adalah ikatan perkawinan yang diputus kembali. Sehingga
dalam perkawinan tersebut ada sebab - sebab yang menimbulkan suatu perceraian. Meskipun
memungkinkan terjadi, perceraian harus dilakukan di hadapan pengadilan dan didasarkan atas
alasan - alasan serta yang diupayakan untuk damai oleh hakim melalui nasihat – nasihat.

4
1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari perceraian ?

2. Bagaimana analisis kasus perceraian berdasarkan hasil Putusan Pengadilan Agama


Jakarta Selatan Nomor 748/Pdt.G/2019/PA.JS ?

1.3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
mengetahui pengertian dari perceraian serta menganalisis kasus perceraian.

5
BAB II KAJIAN TEORI

2.1. Pengertian Perceraian

2.1.1. Secara Umum

Pengertian Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim
pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu
dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta sebab akibat-akibat yang mungkin
timbul setelah suami-istri itu perkawinannya putus. Kemudian tidak kalah urgensinya adalah
alasan-alasan yang mendasari putusnya perkawinan itu serta sebab-sebab apa terjadi
perceraian.

Perceraian merupakan bagian dari perkawinan. Karena itu perceraian senantiasa diatur
oleh hukum perkawinan. Hukum perkawinan di Indonesia tidak hanya satu macam, tetapi
berlaku berbagai peraturan hukum perkawinan untuk pelbagai golongan warga negara dan
untuk pelbagai daerah. Hal ini disebabkan oleh ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam Pasal
163 IS (Indische Staatsregeling) yang telah membagi golongan penduduk Indonesia menjadi
tiga golongan, yaitu : golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Indonesia Asli
(Bumiputera).

Perceraian hanya dapat terjadi apabila dilakukan di depan pengadilan, baik itu suami
karena suami yang telah menjatuhkan cerai (thalaq), ataupun karena istri yang menggugat cerai
atau memohonkan hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam ajaran agama Islam,
perceraian telah dianggap sah apabila diucapkan seketika itu oleh si suami, namun harus tetap
dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang
timbul sebagai dari akibat hukum atsa perceraian tersebut

Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Artinya, harus ada
alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan sebuah perceraian. Itu sangat
mendasar, terutama bagi pengadilan yang notabene berwenang memutuskan, apakah sebuah
perceraian layak atau tidak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut
konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian.
Misalnya soal hak asuh anak, serta pembagian harta gono-gini.

6
Perceraian adalah hal yang tidak diperbolehkan baik dalam pandangan Agama maupun
dalam lingkup Hukum Positif. Agama menilai bahwa perceraian adalah hal terburuk yang
terjadi dalam hubungan rumah tangga. Namun demikian, Agama tetap memberikan
keleluasaan kepada setiap pemeluk Agama untuk menentukan jalan islah atau terbaik bagi
siapa saja yang memiliki permasalahan dalam rumah tangga, sampai pada akhirnya terjadi
perceraian. Hukum Positif menilai bahwa perceraian adalah perkara yang sah apabila
memenuhi unsur-unsur cerai, diantaranya karna terjadinya perselisihan yang menimbulkan
percek-cokan yang sulit untuk dihentikan, atau karna tidak berdayanya seorang suami untuk
melaksanakan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.

Umumnya proses pengajuan gugatan perceraian ditempuh melalui sejumlah tahapan,


yaitu sebagai berikut :

1. Mengajukan permohonan atau gugatan perceraian.

2. Pengadilan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah


permohonan tersebut diajukan, harus memanggil pasangan suami-istri
terkait untuk dimintai penjelasan atas alasan gugatan perceraian yang
diajukan. Namun sebelumnya, pengadilan harus mengupayakan jalan
perdamaian.

3. Proses persidangan mulai dari pengajuan gugatan sampai dengan


putusan.

4. Tahap eksekusi

2.1.2. Menurut Islam

Islam telah mengatur segala sesuatu dalam al Quran. Tidak hanya aturan dalam
beribadah, seperti sholat, zakat, puasa, haji dan lain-lain, Islam juga memberi aturan pada
manusia dalam kehidupannya bersosialisasi. Bahkan, al Quran juga mengatur adab dan aturan
dalam berumah tangga, termasuk bagaimana jik ada masalah yang tak terselesaikan dalam
rumah tangga tersebut.

Islam memang mengizinkan perceraian, tapi Allah membenci perceraian itu. Itu artinya,
bercerai adalah pilihan terakhir bagi pasangan suami istri ketika memang tidak ada lagi jalan
keluar lainnya. Dalam surat al Baqarah ayat 227 disebutkan, “Dan jika mereka berketetapan

7
hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” Ayat
tentang hukum perceraian ini berlanjut pada surat al Baqarah ayat 228 hingga ayat 232.

Dalam ayat-ayat surat al Baqarah di atas, diterangkan aturan-aturan mengenai hukum


talak, masa iddah bagi istri, hingga aturan bagi wanita yang sedang dalam masa iddahnya. Dari
sini kita bisa mengetahui bahwa agama Islam memberi aturan yang sangat lengkap tentang
hukum perceraian. Tentu saja aturan-aturan ini sangat memperhatikan kemaslahatan pihak
suami dan istri dan mencegah adanya kerugian di salah satu pihak.

Tidak hanya di surat al Baqarah, di surat ath-Thalaq ayat 1-7 juga dibahas aturan-aturan
dalam berumah tangga. Di situ disebutkan tentang kewajiban suami terhadap istri hingga
bagaimana aturan ketika seorang istri berada dalam masa iddah. Dari beberapa ayat yang telah
dibahas, maka kita ketahui bahwa dalam Islam perceraian itu tidak dilarang, namun harus
mengikuti aturan-aturan tertentu

2.2. Sebab-sebab Putusnya Perkawinan

1. Sebab yang Merupakan Kehendak Allah

Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri memalui kematian dari salah satu
pihak pihak suami maupun pihak istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula
ikatan perkawinan antara suami dan istri.

2. Sebab yang Merupakan Hak Suami

Suami diberi hak untuk melaksanakan sesuatu perbuatan hukum yang akan menjadi
sebab pemutusannya. Perbuatan hukum itu disebut talaq. Ilustrasi mengenai perbuatan hukum
ini adalah seorang suami melontarkan ucapan kepada istri dengan salah satu kata: talaqa,
saraha, faraqa, atau yang semakna dengan itu. Bahkan bisa jadi menggunakan kata kiasan
semisal ”pulanglah kamu” yang disertai niat dalam hati bahwa kata itu dimaksudkannya untuk
pemutusan ikatan perkawinan mereka.

Masalah talak menjadi hak pihak suami oleh para ulama telah disepakati, karena khitab
atau pelaku kata talaqa dalam ayat alquran selalu laki - laki, jadi pelaku hukum talaq pun tentu
pihak suami. Hak talaq ini dapat digunakan unuk menjadi jalan keluar bagi kesulitan yang
dihadapi suami dalam melangsungkan situasi rukun damai dalam kehidupan rumah tangga.
Rumah tangga yang dibangun melalui akad nikah harus dilandasi dengan ras cinta kasih antara

8
dua pihak, sehingga apabila rasa cinta menjadi tidak ada diantara mereka dan sulit dipulihkan,
tetapi, yang ada kemudian hanya benci - membenci, terbukalah pintu yang memberi hak talaq
ini kepada suami (Kuzari, 1995).

Mengikuti ketentuan Pasal 19 peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 maka


penggunaan hak talaq oleh suami hanya diperkenankan apabila mempunyai alasan sebagai
berikut. Pasal 19 menyatakan:

Perceraiaan dapat terjadi karen alasan - alasan:

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan,

b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berurut - turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya,

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung,

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain,

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagi suami/istri

f) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan persengketaan dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

3. Sebab yang Merupakan Hak Istri

Istri diberikan hak untuk melakukan perbuatan hukum yang akan menjadi sebab
putusnya ikatan perkawinan. Perbuatan hukum tersebut adalah Khul’un, yang ilustrasinya
dapat dicontohkan sebagai berikut. Pihak istri meminta agar pihak suami bersedia memutus
ikatan perkawinan, bersedia menceraikan, dan pihak istri menyediakan jumlah pembayaran
yang besarnya disetujui oleh pihak suami (yang lazim paling besar tidak melebihi mahar). Bila
kedua belah pihak akur maka pemutusan demikian, walaupun suami dalam sigatnya
menggunakan kata talaq, dinamai khlu’ atau talaq khul’i.

9
Unsur pokok yang menentukan bentuk perbuatan hukum ini adalah adanya kesediaan
pihak istri membayar sejumlah harta kepada pihak suami. Bayarannya disebut ‘iwad. Kecuali
ada perbedaan prosedur talaq yang tidak membutuhkan qobul., tetapi khulu’ membutuhkan
qobul. Yang melakukan qobul bisa pihak suami bisa pihak istri, tergantung siapa yang
melakukan ijab dan bagaimana bunyi ijabnya.

Putusnya ikatan perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan dalam PP No. 9 tahun
1975 disebut dengan kata perceraian. Sehingga sama dengan penggunaan hak talaq oleh suami,
hak khulu’ oleh istri ini pun hanya diperkenankan apabila mempunyai alasan seperti yang
tersebut dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 itu.

4. Sebab Atas Putusan Pengadilan

Sesuai dengan kedudukannya, kekuasaan atau hak pengadilan berada di luar pihak -
pihak yang mengadakan akad sehingga dalam hal pemutusan hubungan ikatan perkawinan ini
pengadilan tidak bisa melakukan inisiatif. Keterlibatannya apabila salah satu pihak, baik pihak
suami atau pihak istri, mengajukan gugatan atau permohonan kepada pengadilan. Atau juga
karena kepentingan hukum yang memanggil, dalam hal ini pihak ketiga, di luar suami istri,
mengajukan sebagai perkara yang harus diadili oleh pengadilan. Pasal 23 UU Perkawinan
menentukan bahwa mereka yang berhak mengajukan kepengadilan untuk membatalkan
perkawinan selain suami dan istri (pihak yang berakad), adalah keluarga bergaris keturunan
lurus keatas dari mereka, dan pejabat yang berwenang. Dalam ketentuan bahwa pengadilan
tidak bisa melakukan inisiatif sebagaimana dikemukakan diatas, masih bisa ditentukan bahwa
dalam pemutusan ikatan perkawinan mereka, para pihak tersebut mngikatkan diri kepada
pengadilan.

Kemudian tergambar bahwa upaya untuk menghindar agar suami tidak menyakiti, tidak
membuat aniaya kepada istrinya, atau sebaliknya, yang paling tepat adalah melibatkan pihak
ketiga dalam melakukan perceraiaan yaitu pengadilan. Beberapa bentuk aniaya yang terdapat
dalam literatur fiqih dicontohkan diantaranya:

1) terabaikannya pemberian nafkah suami kepada istri

2) istri ditinggal pergi

3) salah satu pihak dihukum penjara

10
4) pemukulan jamaniah atau pemaksaan untuk berbuat dosa dan sebagainya

Keempat contoh diatas dapat menjadikan sebab untuk memutuskan ikatan perkawinan
menurut pandangan ulama. Tetapi tidak selalu demikian karena dalam kondisi tertentu conton
nomor 1, misalnya tidak dapat dijadikan sebab kalau ternyata masih ada harta benda yang
tersedia. Demikan juga contoh lainnya, pengadilanlah yang dapat menentukan apakah
perginya, hukumannya, pemukulan dan lain - lain telah memenuhi criteria yang membuat
mudarat atau tidak, sehingga kondisinya pada dua kemungkinan, antara bisa jadi cerai adalah
yang ma’ruf atau tetap terikat yang ma’ruf.

2.3. Putusnya Perkawinan Dalam Islam

Menurut hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain
karena adanya thalaq dari suami, karena adanya putusan hakim, dan karena putus dengan
sendirinya (karena kematian). Adapun yang menyebabkan putusnya perkawinan sebagaimana
yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut:

 Putusnya pernikahan karna thalaq (berarti melepaskan atau menanggalkan)

 Putusnya pernikahan karna khulu (berarti melepaskan atau mengganti)

 Putusnya pernikahan karena fashakh (memisahkan atau memutuskan)

 Putusnya perkawinan karena Li’an (laknat atau kutukan)

 Putusnya perkawinan karena Syiqaq ( perselisihan yang terus menerus antara suami
dan isteri.)

 Putusnya perkawinan karena Ila’(tidak melakukan suatu pekerjaan. ) o Putusnya


perkawinan karena Zihar( isterinya itu disamakan dengan ibunya sendiri.)

 Putusnya perkawinan karena kematian

Menurut undang-undang perkawinan ada beberapa hal yang dapat menyebabkan


putusnya hubungan perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 38 UU No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan yang berbunyi, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian,
atas keputusan pengadilan.

11
A. Talak

a. Hak Talak

Hukum islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan
seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam
mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan
pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan kebih kecil. Disamping
itu ada alasan lain mengapa suami diberikan kewenangan atau hak talak, yaitu diantaranya akad
nikah dipegang suami, suamilah yang menerima ijab dari pihak istri sewaktu akad nikah
dilaksanakan, suami wajib membayar mahar kepada isteri sewaktu akad nikah dan
membayar uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami kepada istrinya setelah suami mentalak
isterinya, suami wajib memberi nafkah isteri pada masa iddah apabila ia metalaknya

b. Syarat-syarat menjatuhhkan talak

Syarat seorang suami yang menjatuhkan talak ialah

1. Berakal sehat

2. Telah baliqh

3. Tidak karena paksaan

Para ahli fiqh bersepakat bahwa itulah syarat seorang suami menjatuhkan talak, seorang
suami menjatuhkan talak haruslah berakal sehat dan atas kehendak sendiri tidak dalam
pengaruh apapun.

Syarat seorang istri supaya sah ditalak suaminya ialah

1. Istri telah terikat dengan perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila akad
nikahnya diragukan kesahannya, maka isteri itu tidak dapat ditalak oleh suaminya

2. Isteri harus dalam keadaan suci yang belum dicampurinya oleh suaminya dalam
waktu suci itu

3. Istri yang sedang tidak hamil.

c. Syarat-syarat pada sighat talak

12
Sighat talak ialah perkataan/ucapan yang diucapkan oleh suami atau wakilnya di waktu
ia menjatuhkan talak pada isterinya. Sighat talak ini ada yang diucapkan langsung seperti “saya
jatuhkan talak saya kepadamu” adapula yang diucapkan secara sindiran (kinayah) seperti
“kembalilah pada orangtuamu” ini dinyatakan sah apanila ucapan suami itu disertai niat
menjatuhkan talak pada suaminya.

d. Jenis-jenis Talak

Menurut pasal 117 Kompilasi Hukum Islam, talak adalah ikrar suami dihadapan sidang
pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Jenis-jenis talak
menurut Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut :

• Talak Raj’i

Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri
dalam masa iddah.

• Talak Ba’in

➢ Talak Ba’in Shughraa

Talak ba’in shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru
dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. Talak ba’in shughraa sebagaimana tersebut
adalah :

1) Talak yang terjadi qabla al dukhul;

2) Talak dengan tebusan atau khuluk;

3) Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

➢ Talak Ba’in Kubraa

Talak ba’in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak
dapat dirujuk dan tidak dapat dinikah kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah
bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis
masa iddah.

13
• Talak Sunny

Talak sunny adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan kepada seorang
istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

• Talak Bid’i

Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri
dalam keadaan haid, atau istri dalm keadaan suci tapi sitri dicampuri pada waktu suci
tersebut.is-jenis Talak

B. Khulu

Dalam hukum islam cerai gugat disebut khulu, khulu berasal dari kata khalu al-s aub,
artinya meleas akaian, karena wanita adalah pakaian laki-laki dan sebaliknya. Para ahli fiqih
memberikan khulu yaitu perceraian dari pihak perempuan dengan tebusan yang diberikan ke
istri.4 Khulu adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan
imbalan sejumlah harta yang diserahkan kepada istri. Khulu disebut dalam Q.S albaqarah 2:229

C. Syiqaq

Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut isstilah fiqh berarti perselisihan suami istri
yang diselesaikan 2 orang hakam, satu orang dari pihak syamu dan satu orang dari pihak istri.
Pengangkatan hakam kalau terjadi syiqaq ini ketentuanya terdapat dalam al-quran surat an-nisa
ayat 35.

D. Fasakh

Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan, ini berarti bahwa perkawinan itu
diputuskan atau dirusakkan atau permintaan salah satu pihak oleh pengadilan agama.

Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang istri menuntut fasakh

1. Suami sakit gila

2. Suami menderita penyakit menular yang tidak mungkin sembuh

3. Suami tidak mau atau hilangnya kemampuan untuk berhubungan

14
4. Istri merasa tertipu dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami

5. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah kepada istri

6. Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita

E. Ta’liq Talak

Arti dari pada ta’liq ialah menggantungkan jadi pengertia ta’liq talaq ialah suatu talak
yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu
perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu. . ta’liq talaq ini diadakan dengan tujuan untuk
melindungi kepentingan si istri supaya tidak dianiaya suami. Ketentuan di perbolehkannya,
mengadakan ta’liq itu tercantum di dalam alquran suart An-Nisa ayat 128

F. Ila’

Ila ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan, sedangkan menurut
sulaiman rasyid, ila artinya sumpah suami yang tidak akan mencampuri istrinya dalam masa
yang lebih dari 4 bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya. Firman allah surat
al-baqarah ayat 226-227. Mengenai cara kembali dari sumpah ila tersebut dalam ayat diatas
ada 3 pendapat yaitu:

1. Kembali dengan mencampuri istri berarti mencabut sumpah,


apabila abis masa 4 bulan ia tidak mencampuri istrinya itu maka
jatuh talak bain.

2. Kembali dengan campur jika tidak halangan, jika ada halangan


boleh dengan lisan atau niat saja

3. Cukup kembali dengan lisan baik berhalangan atau tidak

G. Zihar

Zihar adalah prosedur talak, yang hampir sama denga ila, arti zihar ialah seorang suami
yang bersumpah bahwa istrinya baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah
seperti itu suami telah menceraikan istrinya. Ketentuan zihar diatur dalam al-quran suar al-
mujadalah ayat 2-4.

H. Li’an

15
Arti lian adalah laknat yang didalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat
tuhan apanila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Dalam hukum perkawinan sumpah
li’am dapat mengakibatkan putusnya perkawinan. Sedangkan menurut Abu-Bakar
mendefinisikan, kata li’an itu diambil dari sulasi mujarrad al-la’nu, karena sesungguhnya suami
mengucapkan pada kali yang kelima setelah bersumpah itu. Akibat li’an suami, timbul
beberapa hukum

1. Dia tidak disiska

2. Si istri wajib disiksa dengan siksaan zina

3. Suami istri bercerai selama-lamanya

4. Kalau ada anak, anak itu tidak dapat diakui suaminya

Untuk melepaskan si istri dari siksaan zina, dia boleh me li’an pula membalas li’an
suaminya itu.

I. Kematian

Putusnya perkawinan dapatpula disebabkan karena kematian suamip atau istri. Dengan
kematian salah satu pihak maka pihak lain berhak mendapatkan harta waris atas peninggalan
yang meninggal.

16
BAB III ANALISIS KASUS

A. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 748/Pdt.G/2019/PA.JS

Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah memeriksa dan mengadili perkara tertentu
pada tingkat pertama dalam sidang Majelis Hakim telah menjatuhkan putusan perkara Cerai
Talak antara :

Pemohon : umur 47 tahun, agama Islam, pendidikan D3, pekerjaan Wiraswasta, tempat
kediaman di Jakarta Selatan, sebagai Pemohon; melawan Termohon : umur 40 tahun, agama
Islam, pendidikan SLTA, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, tempat kediaman di Jakarta Barat,
sebagai Termohon;

Bahwa pernikahan yang telah berjalan dari tahun 1996 ini tengah goyah dan terjadi
pertengkaran dan perselisihan sejak Desember 2017 pernikahan Pemohon dan Termohon
sering terjadi pertengkaran dan perselisihan disebabkan Termohon diketahui sejak desember
2017 telah memiliki lakilaki idaman lain, dimana Pemohon melihat Termohon sedang
bermesraan dengan laki-laki idaman Termohon. Puncak pertengkaran dan perselisihan antara
Pemohon dan Termohon terjadi pada 25 Maret 2018 disebabkan Termohon pergi dengan laki-
laki idamannya menginggalkan Pemohon tanpa sepengetahuan dan seizin dari Pemohon
sebagai Sumai yang Sah, dan dalam pertengkaran tersebut antara Pemohon dan Termohon
sudah pisah ranjang dan sudah tidak lagi melakukan hubungan badan sebagaimana layaknya
suami istri.

Atas permasalahan dan kemelut rumah tangga yang dihadapi, Pemohon telah mencoba
memusyawarahkan dengan keluarga Pemohon dan Termohon untuk mencari penyelesaian dan
demi menyelamatkan perkawinan, namun usaha tersebut tidak berhasil. Ikatan perkawinan
antara Pemohon dan Termohon sebagaimana diuraikan diatas sudah sulit dibina untuk
membentuk suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah sebagaimana maksud
dan tujuan dari suatu perkawinan, sehingga lebih baik diputus karena perceraian. Pemohon
sanggup menanggung biaya yang timbul akibat perkara ini.

Pada hari sidang yang telah ditetapkan, Pemohon datang menghadiri setiao
persidangan, sedangkan Termohon tidak pernah datang menghadap dan tidak pula menyuruh
orang lain untuk menghadap sebagai wakil atau kuasanya yang sah, meskipun telah dipanggil
secara resmi dan patut dan tidak ternyata ketidakhadirannya tersebut disebabkan oleh suatu

17
halangan yang sah, maka perkara ini diperiksa tanpa hadirnya Termohon. Upaya perdamaian
dan mediasi tidak dapat dilaksanakan karena Termohon tidak pernah hadir di persidangan.

Untuk memperkuat dalil-dalil permohonannya, Pemohon membawa 2 orang saksi yang


telah dewasa dan bersumpah menurut tatacara agamanya dan keterangannya mengenai apa
yang dialaminya sendiri serta saling bersesuaian satu sama lain, maka kesaksian tersebut sah
dan memenuhi syarat sebagai alat bukti untuk bersaksi dalam sidang. Kedua saksi sepakat
menytakan mengetahui bahwa Termohon memiliki laki-laki idaman lain. Kedua saksi juga
menyatakan pernah menegur Termohon namun tidak di indahkan.

Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Majelis Hakim berpendapat


bahwa antara Pemohon dengan Termohon telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-
menerus dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, sehingga telah memenuhi
ketentuan sebagai diatur dalam pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 jo. Pasal
19 hurup f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto pasal 116 huruf f Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan permohonan Pemohon
tersebut telah sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al- Baqarah : 227.

Menimbang, bahwa atas dasar pertimbangan tersebut di atas, Pemohon telah dapat
membuktikan kebenaran dalil permohonannya, sedangkan permohonan Pemohon tidak
melawan hukum, oleh sebab itu permohonan Pemohon dapat dikabulkan tanpa hadirnya
Termohon dengan memberikan izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj”I
terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Jakarta Selatan setelah Putusan ini
berkekuatan Hukum tetap.

Berdasarkan ketentuan pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 1989 yang telah
diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan yang keduakalinya dengan
Undang undang nomor 50 tahun 2009 maka kepada Pemohon dibebankan untuk membayar
biaya perkara;

Mengingat ketentuan hukum Syara' dan Peraturanan Perundang-Undangan yang


berhubungan dengan perkara ini;

MENGADILI

1. Menyatakan Termohon yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
menghadap di persidangan, tidak hadir;

18
2. Mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek;

3. Memberi izin kepada Pemohon (PEMOHON) untuk menjatuhkan talak satu raj'i
terhadap Termohon (TERMOHON) di depan sidang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan setelah putusan berkekuatan hukum tetap;

4. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara hingga putusan ini
diucapkan sejumlah Rp. 571.000,- ( lima ratus tujuh puluh satu ribu rupiah)

B. Analisis

Berdasarkan putusan perkara perceraian tersebut, dapat kita lihat bahwa terjadinya
perceraian tersebut disebabkan oleh beberapa permasalahan dalam rumah tangga, diantaranya,

1. Termohon ( istri ) memiliki laki-laki idaman lain dan sering kali Pemohon ( suami )
memergoki sang istri sedang bermesraan dengan laki-laki lain. Hal ini didukung oleh
pengakuan dari kedua saksi dari Pemohon yang juga sering kali memergoki sang istri
dengan laki-laki lain. Kedua saksi telah mencoba menegur dan memintanya jangan
melakukan hal itu lagi, namun Termohon tidak mengindahkan.

2. Pemohon dan Termohon telah pisah tempat tinggal sejak pertengkaran hebat terakhir
pada tahun 2018.

Dari kedua permasalahan tersebut, Pemohon ( suami ) akhirnya mengajukan perceraian


ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Suami meminta kepada Pengadilan Jakarta Selatan
untuk menjatuhkhan Talak satu Raj’i terhadap istri yang telah memiliki laki-laki idaman lain.
Jika dianalisis berdasarkan teori, perceraian ini disebabkan oleh putusan pengadilan. Uniknya,
pihak laki-laki lah yang mengajukan gugatan ke pengadilan agama untuk memutus ikatan
perkawinannya. Padahal jika kita analisis kembali, seharusnya laki-laki bisa memutuskan
ikatan perkawinannya dengan mengucap Talak saja kepada istrinya. Suami diberi hak untuk
melaksanakan sesuatu perbuatan hukum yang akan menjadi sebab pemutusannya. Misalnya
melontarkan ucapan kepada istri dengan salah satu kata: talaqa, saraha, faraqa, atau yang
semakna dengan itu. Bahkan bisa jadi menggunakan kata kiasan semisal ”pulanglah kamu”
yang disertai niat dalam hati bahwa kata itu dimaksudkannya untuk pemutusan ikatan
perkawinan mereka. Namun pada kasus ini, pihak laki-laki hendak menggugatnya terlebih
dahulu di pengadilan agar lebih resmi secara hukum.

19
Dalam prosesnya, mediasi tidak dapat dilakukan oleh kedua pihak karena pihak
Termohon (istri) tidak datang sama sekali ke dalam persidangan. Pihak istri juga tidak
mengirim perwakilan untuk mendatangi sidang tersebut sehingga kesaksian yang didengar oleh
pengadilan hanyalah kesaksian dari pihak Pemohon (suami). Oleh karena itu, pengadilan hanya
mempertimbangkan kesaksiann-kesaksian dari pihak Pemohon (suami) sehingga pengadilan
mengabulkan permohonan pemohonan untuk bercerai. Putusan pengadilan ini sesuai dengan
bukti-bukti dan saksi yang ada dalam persidangan. Dengan tidak hadirnya satupun pihak
Termohon (istri), menunjukan bahwa ikatan pernikahan antara Pemohon dan Termohon sudah
tidak dapat dipersatukan kembali.

20
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Perceraian adalah cara terakhir dari kedua pasangan untuk memperbaiki kehidupannya.
Baik itu memperbaiki untuk bersama lagi ataupun berpisah hidup masing-masing. Lama nya
masa pernikahan bukan menjadi kunci untuk menghindari perceraian. Hal tersebut terbukti dari
kasus yang telah dianalisis dimana umur pernikahan dari Pemohon dan Termohon sudah masuk
tahun ke 22. Perceraian terjadi karena ketidakharmonisan antar pasangan yang berujung pada
pertengkaran hebat sehingga memilih untuk mencari pasangan lain. Pada dasarnya, perceraian
tidak hanya memiliki pengaruh buruk. Jika dilihat lebih luas, perceraian justru mencegah hal-
hal buruk dalam pernikahan yang sudah tidak harmonis terus berlanjut. Dengan bercerai, kedua
pihak akan lepas dari permasalahan rumah tangganya mereka. Bukan tidak mungkin masing-
masing dari mereka akan menemukan pasangan lain yang lebih baik sehingga memberi
pengaruh positif bagi kehidupan masing-masing. Karena terkadang jika cara terbaik sudah
tidak bisa memperbaiki hubungan yang hancur maka cara terkahirnya adalah berpisah.

B. Saran

Pernikahan yang diambang perceraian seharusnya masih bisa diselamatkan. Hal itu
dapat dilakukan dengan mediasi yang ditengahi oleh pihak pengadilan. Cara lain untuk
menghindari perceraian adalah saling berkomunikasi, saling terbuka antar pasangan, bersikap
lebih dewasa ataupun mengingat janji suci yang dulu diucap pada saat melangsungkan
pernikahan. Karena perceraian adalah sesuatu yang amat di benci Allah SWT. Oleh karena itu
perlu juga persiapan dalam mengarungi rumah tangga, tidak hanya persiapan secara financial,
namun bekal agama, mental dan kedewasaan sangat diperlukan guna mencegah hal - hal yang
tidak diinginkan khususnya perceraian.

21
DAFTAR PUSTAKA

Kompilasi Hukum Islam. Buku I. Hukum Perkawinan

Syarifuddin, A. (2009). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: AntaraFiqh Munakahat


dan Undang - undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Liberty

UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

http://mahkamaagung.go.id ( Putusan Nomor 748/Pdt.G/2019/PA.JS )

22

Anda mungkin juga menyukai