OLEH:
KELOMPOK 4 :
PRODI : FISIKA C
DOSEN : LETMI DWIRIDAL,M.Si
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan shalat adalah persoalan fundamental dan signifikan dalam Islam. Dalam
menunaikan kewajiban shalat, kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan.
Sesungguhnya salat ini adalah kewajiban yang ditentukan waktu-waktunya atas orang-orang yang
beriman. Dan dalam Islam salat merupakan kedudukan yang sangat agung karena shalat
merupakan tiang agama.(Sa’id,2008:171)
Konsekuensi logis dari surat An-Nisa’ ayat 103 adalah bahwa shalat lima waktu tidak
bisa dilakukan dengan sembarang waktu, akan tetapi harus mengikuti waktu-waktu yang
telah ditentukan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis.Namun dalam realita banyak
masyarakat dalam beribadah terutama shalat masih terpaku dengan pendapat para ulama’,
sedangkan para ulama’ juga masih banyak perbedaan pendapatan tentang waktu
shalat.(Susikman,2001:73)
Dalam berbagai ayat Al Qur’an disebutkan bahwa perintah shalat itu sebenarnya telah
diwahyukan sejak lama oleh para Nabi dan Rasul sebagai ibadah utama untuk berkomunikasi
dengan Allah. Namun pada umumnya, para ulama’ sepakat bahwa perintah shalat 5 waktu
adalah mu’jizat Rasulullah sepulang dari sebuah perjalanan yang fenomenal yakni Isra’
Mi’raj.
Shalat yang diwajibkan sehari semalam ada lima waktu. Mengenai
waktupelaksanaannya, Allah sudah memberikan isyarat tentang waktu-waktu tersebutdalam
firmannya, karena jika ibadah shalat misalnya harus di laksanakan sesuaidengan ketentuan
waktunya tersebut.
Secara syar’i, kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudahditentukan
sebagaimana Firman Allah dalam surat an Nisa’ (4): 103, yaitu
Dari ketentuan yang termuat dalam Al-Qur’an dan Hadis dipahami bahwaketentuan
shalat tersebut berkaitan dengan posisi matahari pada bola langit. Karenazenith (Bu’du Assumti),
Zm = 90 – h. Fenomena (morning twilight), matahari terbit (Sunset), dan akhir senja
berkaitan dengan jarak zenith matahari.
Dalam permasalahan shalat para ulama’ fiqh memberikan batasan-batasan waktu
salat dengan berbagai cara atau metode untuk menentukan waktu-waktu shalat tersebut. Ada
sebagian mereka menentukan waktu shalat adalah dengan menggunakan cara melihat
langsung pada tanda-tanda alam sebagaimana secara tekstual tertuang dalam Hadis-Hadis
Nabi tersebut, seperti menggunakan alat bantu tongkat istiwa’ atau miqyas atauhemispherium
. Ini adalah metode yang digunakan oleh “madzhab” rukyahdalam persoalan penentuan
waktu-waktu shalat. Sehingga waktu-waktu shalat yang ditentukan disebut dengan al-Auqat
al-Mar’iyyah atau al-Waqtual-Mar’ySedangkan sebagian yang lain mempunyai pemahaman
secara kontekstual.
Awal dan akhir waktu shalat ditentukan berdasarkan posisi matahari dilihat darisuatu
tempatdi bumi, sehingga metode atau cara yang dipakai adalah hisab(menghitung waktu
salat). Hakikat hisab waktu salat adalah menghitung kapanmatahari akan menempati posisi-
posisi seperti tersebut dalam nash-nash waktusalat itu. Pemahaman inilah yang dipakai oleh
“madzhab” hisab dalam persoalanpenentuan waktu salat. Dengan cara hisab inilah, nantinya
lahir jadwal waktu salatabadi atau jadwal salat sepanjang masa. Walaupun di dalam masjid
tersebut jugaterdapat jadwal waktu salat abadi yang biasa dipakai sebagai pedoman di saat ini
Dalil yang dijadikan landasan dalam menentukan waktu salat lima waktu bersifat
interpretatif. sehingga implikasinya muncul pebedaan dalam menetapkan waktu salat. Salat
yang diwajibkan kepada kita sehari semalam ada lima waktu. Mengenai waktu
pelaksanaannya, Allah hanya memberikan isyarat, antara lain terlihat pada al-Quran yang
berbuny
Waktu salat relatif terhadap peredaran semu matahari. Waktu salat dari hari
ke hari, dan antara tempat satu dan lainnya bervariasi. Waktu salat sangat berkaitan
dengan peristiwa peredaran semu matahari relatif terhadap bumi. Pada dasarnya,
untuk menentukan waktu salat, diperlukan letak geografis, waktu (tanggal), dan
ketinggian. (Ahmad Izzudin,2006:56-57)
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu waktu shalat ?
2. Bagaimana dasar hukum waktu shalat?
3. Apa saja istilah-istilah astronomi dalam hisab waktu shalat ?
4. Bagaimana waktu-waktu shalat menurut syar’i dan sains?
5. Apa saja hikmah yang dapat kita ambil dalam penentuan waktu shalat?
C. Tujuan
1. Menentukan waktu shalat
2. Untuk mengetahui dasar dasar hukum waktu shalat
3. Untuk mengetahui istilah istilah astronomi dalam hisab waktu shalat
4. Untuk mengetahui waktu-waktu shalat menurut syar’i dan sains
5. Mengambil hikmah dalam penentuan waktu shalat
D. Manfaat
Menambah pengetahuan kita tentang cara menentukan waktu shalat berdasarkan
dataastronomi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN WAKTU
secara bahasa waktu berasal dari bahasa arab yaitu وقت,secara istilah
Waktu atau masa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) adalah seluruh
rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung.
Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval antara dua buah keadaan/kejadian,
atau bisa merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian. (KBBI ,1997)
Untuk mengukur skala waktu yang berlangsung sangat cepat ,kebanyakan
orang menggunakan satuan mili detik (seperseribu detik), mikro detik (seper satu
juta detik), nano detik (nanoseconds), piko detik (picoseconds), dst.
Dalam dunia fisika, dimensi waktu dan dimensi ruang (panjang, luas, dan
volume) merupakan besaran pengukuran yang mendasar, selain juga massa dari
suatu benda (time, length and mass). Gabungan dari waktu, ruang dan massa ini
dapat dipakai untuk menceritakan dan menjelaskan misteri alam semesta secara
kuantitatif (berdasarkan hasil pengukuran). Misalnya tenaga (energi) dinyatakan
dalam satuan ukuran kg*(meter/detik)kuadrat atau yang sering kita kenal sebagai
satuan watt*detik atau joule.
Kata shalat menururt bahasa arab berarti do’a. Abu Bakar bin Hasan al-
Kasynawy berpendapat bahwa pengertian shalat secara syara’ atau terminologi
adalah perkataan dan perbuatan khusus yang diawali dengan takbir dan diakhiri
dengan salam. Dalam referensi lain mengatakan bahwa shalat adalah suatu
ibadah yang mengandung ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul
ikhram dan diakhiri salam dengan syarat-syarat tertentu.(Abu Bakar:94)
Adapun yang dimaksud dengan waktu-waktu shalat disini adalah
sebagaimana yang biasa diketahui oleh masyarakat, yaitu waktu-waktu shalat
lima waktu (Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan Subuh) ditambah dengan
Imsak, Terbit Matahari, dan waktu Dhuha.
Waktu-waktu pelaksanaan shalat telah diisyaratkan oleh Allah swt.
dalam ayat-ayat al-Qur’an, yang kemudian dijelaskan oleh Nabi saw. dengan
amal perbuatannya sebagaimana hadits-hadits yang ada. Hanya saja waktu-
waktu shalat yang ditunjukkan oleh al-Qur’an maupun al-Hadits hanya berupa
fenomena alam, yang kalau tidak menggunakan ilmu falak tentunya akan
mengalami kesulitan dalam menentukan awal waktu shalat. Untuk menentukan
awal waktu Dhuhur misalnya, kita harus keluar rumah untuk melihat matahari
berkulminasi. Begitu juga dengan waktu-waktu shalat yang lainnya.
1. FAJR: Starts with the dawn or morning twilight. Fajr ends just before
sunrise.
2. ZUHR: Begins after midday when the trailing limb of the sun has
passed the meridian. For convenience, many published prayer
timetables add five minutes to mid-day (Zawal) to obtainthe start of
Zuhr. Zuhr ends at the start of Asr time.
3. ASR: The timing of ASR depends on the length of the shadow cast by
an object. According to the Shafi school of jurisprudence, Asr begins
when the length of the shadow of an object exceeds the length of the
object. According to the Hanafi School of jurisprudence, Asr begins
when the length of the shadow exceeds twice the length of the object. In
both cases, the minimum length of shadow (which occurs when the sun
passes the meridian) is subtracted from the length of the shadow before
comparing it with the length of the object.
4. MAGHRIB: Begins at sunset and ends at the start of Isha.
5. ISHA: Starts after dusk when the evening twilight disappears.
(Ibrahim,Norashikin:139)
1. Waktu Dhuhur
Waktu Dhuhur dimulai pada saat Zawal, kemudian matahari
bergeser dari tengah langit sampai panjang bayang-bayang sama dengan
panjang benda tegaknya. Awal waktu Dhuhur dirumuskan sejak seluruh
bundaran matahari meninggalkan meridian, biasanya diambil sekitar 2
menit setelah lewat tengah hari. Saaat berkulminasi atas pusat bundaran
matahari berada di meridian. Pada saat itu waktu pertengahan belum tentu
menunjukkan jam 12, melainkan kadang masih kurang atau bahkan sudah
lebih dari jam 12 tergantung pada nilai equation of time (e). Oleh
karenanya, waktu pertengahan pada saat matahari berada di meridian
(meridian pass) dirumuskan dengan MP=12-e. Sesaat setelah waktu inilah
sebagai permulaan waktu Dhuhur menurut waktu pertengahan dan waktu
itu pula lah sebagai pangkal hitungan untuk waktu-waktu shalat lainnya.
2. Waktu Ashar
Waktu Ashar dimulai saat bertambahnya bayang-bayang dari
panjang benda tegaknya dengan catatan tidak pada saat ada bayangan
ketika zawal sampai terbenamnya matahari atau pada musim panas.
Sedangkan pada musim selain panas waktu Ashar dimulai saat panjang
bayangan dua kali lipat dari panjang benda tegaknya. Panjang bayangan
yang terjadi saat matahari berkulminasi adalah sebesar tan ZM, dimana
ZM adalah jarak sudut antara Zenith dan Matahari ketika berkulminasi
sepanjang meridian yakni ZM = [φx – δo] (jarak antara zenith dan
matahari adalah sebesar harga mutlak lintang tempat dikurangi deklinasi
matahari.Oleh karena itu kedudukan matahari atau tinggi matahari pada
posisi awal waktu ashar ini dihitung dari ufuk sepanjang lingkaran vertikal
(has) dirumuskan: cotg has= tan zm + 1. (Siti,2011)
Z = Zenit
ZM
M = Posisi Matahari ketika
A berkulminasi
AB = Panjang Tongkat
BC = Panjang bayangan
tongkat ketikan matahari
berkulmina
CD = Panjangnya
C B sama dengan AB
BD =Panjang bayangan
pada waktu awal „as{ar
3. Waktu Maghrib
Waktu Maghrib dimulai dari terbenamnya matahari dan
berakhir sesaat sebelum hilangnya al-syafaq. Imam Syafi’i berkata
ketentuan Shalat Maghrib adalah tiga rakaat dikarenakan Jibril as.
menjadi imam dalam dua hari pada waktu yang sama. Al-syafaq
bermakna al-abyadh atau mega putih yang terlihat di ufuk setelah
mega merah, ini adalah pendapat Abu Hanifah. Sedangkan menurut
Imam Syafi’i al-syafaq bermakna al-syafaq al-ahmar atau mega
merah. Abu Hanifah berpendapat bahwa akhir waktu Maghrib
adalah ketika ufuk menghitam atau gelap. Waktu Maghrib dalam
ilmu falak berarti saat terbenam matahari seluruh piringan matahari
tidak kelihatan oleh pengamat.
Piringan matahari berdiameter 32 menit busur, setengahnya
berarti 16 menit busur. Selain itu di dekat horizon terdapat refraksi
yang menyebabkan kedudukan matahari lebih tinggi dari kenyataan
sebenarnya yang diasumsikan 34 menit busur. Koreksi
semidiameter (nishfu al-quthr) piringan matahari dan refraksi
terhadap jarak zenith matahari saat matahari terbit atau terbenam
sebesar 50 menit busur. Oleh karena itu terbit dan terbenam
matahari secara falak ilmiy didefinisikan bila jarak zenith matahari
mencapai Zm = 90 derajat 50 menit. Definisi itu untuk tempat pada
ketinggian di permukaan air laut atau jarak zenit matahari ZM = 91
derajat bila memasukkan koreksi kerendahan ufuk akibat tinggi
posisi pengamat 30 meter dari permukaan laut. Untuk penentuan
waktu Maghrib, saat matahari terbenam biasanya ditambah 2 menit
karena ada larangan melakukan shalat tepat pada saat matahari
terbit, terbenam, atau pada saat matahari berkulminasi. Adapun
untuk mengetahui nilai ketinggian matahari saat terbit atau
terbenam bisa menggunakan rumus sebagai berikut:
hoterbit/terbenam = - (ku + ref + sd). Ku merupakan singkatan
darikerendahan ufuk, ref merupakan singkatan dari refraksi, dan sd
merupakan singkatan dari semi diameter.(Imam
Kamaluddin,1995:222-223)
4. Waktu Isya’
Imam Syafi’i berpendapat bahwa waktu Isya’ dimulai saat
hilangnya al-syafaq al-ahmar atau mega merah di ufuk barat dan
keadaan alam sekitar sudah tidak terlihat suatu apapun.
Adapunwaktu Shalat Isya’ berakhir pada saat sepertiga
malam.Beliau mengambil riwayat dari Umar bin Khaththab, Abu
Hurairah, dan Umar bin Abdul Aziz.Pendapat lain mengatakan
bahwa waktu Isya’ dimulai ketika hilangnya al-syafaq dan berakhir
sebelum munculnya fajaryang kedua.Beberapa ulama juga ada yang
berbeda pendapat mengenai akhir waktu Isya’. Diantaranya adalah
al-Tsaury, Ashab Arra’yi, Ibnu al-Mubarrak, Ishaq bin Rahawaih,
dan Abu Hanifah berpendapat bahwa akhir waktu Shalat Isya’
adalah tengah malam. Sedangkan pendapat lainnya dikemukakan
oleh Abdullah bin Abbas, Atha’, Thawus, Ikrimah, dan Ahlu al-
Rifahiyyah berpendapat bahwa akhir waktu Shalat Isya’ adalah saat
terbitnyaFajar Shadiq.(Abi Abdullah Muhammad:92-93)
Ketika matahari terbenam di ufuk barat, permukaan bumi
tidak otomatis langsung menjadi gelap. Hal demikian ini terjadi
karena ada partikel-partikel berada di angkasa yang membiaskan
sinar matahari, sehingga walaupun sinar matahari sudah tidak
mengenai bumi namun masih ada bias cahaya dari partikel-
partikeltersebut.
Sedangkan waktu Isya’ dimulai dengan memudarnya cahaya
merah atau al-syafaq al-ahmar di bagian langit sebelah barat, yaitu
tanda masuknya gelap malam. Peristiwa ini dalam ilmu falak
dikenal sebagai akhir senja astronomi atau astronomicaltwilight.
Pada saat itu matahari berkedudukan -18 derajat di bawahufuk
(horizon) sebelah barat atau bila jarak zenith matahari bernilai108
derajat. Oleh sebab itu his = -18 derajat. Tinggi matahariwaktu
Isya’ juga bisa ditentukan dengan rumus lain yaitu: his= 17º + hₒ
terbit/terbenam.
Beberapa ahli astronomi berbeda pendapatmengenai nilai
ketinggian matahari untuk waktu Isya’. Di antaranya seperti Ibnu
Yunus yang berpendapat bahwa ketinggian matahari saat
eveningtwilight habis adalah 17 derajat di bawah ufuk. Al-
Birunimenggunakan ketinggian matahari 18 derajat di bawah ufuk
untuk menentukan Twilight baik itu morning twilight maupun
eveningtwilight. Ibn u’adh juga menggunakan 18 derajat di bawah
ufukuntuk menentukan twilight. Al-Marrakushi menentukan
ketinggian matahari saat berakhirnya evening twilight pada posisi
16 derajat di bawah ufuk. Sama halnya dengan Ibnu Yunus, Ibn Al-
Satir juga menggunakan 17 derajat untuk evening twilight. Masih
banyak yang lainnya yang mempunyai pendapat tersendiri
mengenaievening twilight.(David A.king,1986:366-337)
5. Waktu Subuh
Waktu Shalat Subuh dimulai saat munculnya fajar
shadiqhingga munculnya warna kekuningan di langit atas ufuk
timur.Imam Syafi’i berpendapat bahwa waktu Shalat Subuh dimulai
saatterangnya fajar akhir (fajar Shadiq) hingga terbitnya
matahari.Fajar dalam istilah arab bukanlah matahari. Sehingga
ketika disebutkan terbit fajar, bukanlah terbitnya matahari. Fajar
adalah cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk timur
yangmuncul beberapa saat sebelum matahari terbit.Cahaya fajar ini
lebih kuat dari pada cahaya senja. Cahaya ini mulai muncul di ufuk
timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada sekitar
18 derajat di bawah ufuk atau jarak zenith matahari = 108derajat.
Pendapat lain mengatakan bahwa terbitnya fajar shidiq atau cahaya
fajar dimulai pada saat posisi matahari 20derajat di bawah ufuk atau
jarak zenith matahari = 110 derajat. Untuk menentukan nilai
ketinggian matahari saat awal waktu Subuh bisa mengguakan
rumus sebagai berikut: hsub= -19 + ho terbit/terbenam.(Ayu:2011)
Langkah – langkah :
1. Koordinat lintang daerah tersebut (L) = -6,166667 derajat
2. Koordinat bujur daerah tersebut (B) = 106,85 Derajat
3. Zona waktu daerah tersebut (Z) = 7
4. Ketinggian lokasi dari permukaan laut (H) = 50 Meter
5. julian Day untuk 20 Maret 2014 pukul 12.00 UT. Dari tanggal tersebut
diperoleh nilai D =20, M = 3, Y = 2014.
a. A = INT(Y/100)
A = INT(2014/100)
A = 20
b.B (JD) = 2 + INT(A/4) – A
B (JD) = 2 + INT(20/4) – 20
B (JD) = -13
c. JD = 1720994,5 + INT(365,25*Y) + INT(30,6001(M + 1))+B+D
JD = 1720994,5 + INT(365,25*2014) + INT(30,6001(3 + 1)) + (-13) +20
JD = 2456729,0
d. Convert menjadi JD lokal JD lokal = JD – Z/24
JD lokal = 2456729,0 – 7/24
JD lokal = 2456728,708
Dari nilai JD tersebut, maka dapat dihitung sudut tanggal (T) untuk
menghitung Delta dengan rumus :
T = 2*PI*(JD – 2451545)/365,25
T= 2*3,14159265359*(2456728,708 – 2451545)/365,25
T = 89,17234781
1000*ET = -7555
ET = -7555/1000
ET = -7,555
8. Altitude matahari waktu subuh = 20 derajat.
Altitude matahari waktu Isya’ = 18 derajat
9. Tetapan panjang bayangan ashar = 1 (MazhabSyafi’i)
Dari data-data tersebut diatas, maka dapat waktu shalat sudah dapat dihitung
a. Waktu Zhuhur
Zhuhur = 12 + Z – B/15 – ET/60
Zhuhur = 12 + 7 – 106,85/15 – (-7,555/60)
Zhuhur = 12,0028
Kemudian nilai ini dikonfersi ke jam : menit:detik Jam = 12
b. Waktu Ashar
Ashar = Zhuhur + (Hour Angle Ashar)/15
Ashar = Zhuhur + ACOS(COS(HA))/15
Ashar = Zhuhur + ACOS(SIN (Altitude) – SIN (Lintang) * SIN
(Delta) / COS
(Lintang) * COS (Delta))/15
Ashar=Zhuhur+ACOS(SIN(ARCCOT(KA + TAN(ABS(Delta -
Lintang))))) -
SIN (Lintang) * SIN (Delta) / COS (Lintang) * COS (Delta))/15
Ashar = 12,0028 + ACOS(SIN(ARCCOT(1+ TAN(ABS((-0,107629)-
(-
0,003324704)))))) – SIN(-0,003324704) * SIN(-0,107629) / COS(-
0,003324704) * COS(-0,107629))/15
Ashar = 12,0028 + 47,60749529/15
Ashar = 15,17663
Kemudian nilai ini dikonfersi ke jam : menit:detik
15,17663 = 15 : 10 : 35
3. Waktu Maghrib
Maghrib = Zhuhur + (Hour Angle Maghrib)/15
Maghrib = Zhuhur + ACOS(COS(HA))/15
Maghrib = Zhuhur + ACOS(SIN (Altitude) – SIN (Lintang) * SIN
(Delta)] / [COS (Lintang) * COS (Delta))/15
Maghrib = Zhuhur + ACOS(SIN (0,8333 – 0,0347 * SQRT(H)) –
SIN(-
0,003324704) * SIN(-0,107629) / COS(-
0,003324704) * COS(-0,107629))/15
Maghrib = 12,0028 + ACOS(SIN (0,8333 – 0,0347 * SQRT(50)) –
SIN(-
0,003324704) * SIN(-0,107629) / COS(-0,003324704)
* COS(-0,107629))/15
Maghrib = 12,0028 + 91,09472347/15
Maghrib = 18,07578
Kemudian nilai ini dikonfersi ke jam : menit:detik
18,07578 = 18 : 04 : 32
4. Waktu Isya
Isya’ = Zhuhur + (Hour Angle Isya’)/15
Isya’ = Zhuhur + ACOS(COS(HA))/15
Isya’ = Zhuhur + ACOS(SIN (Altitude) –SIN (Lintang) * SIN
(Delta) /
COS (Lintang) * COS (Delta))/15
Isya’ = 12,0028 + ACOS(SIN (-18) – SIN(-0,003324704) * SIN(-
0,107629) / COS(- 0,003324704) * COS(-0,107629))/15
Isya’ = 12,0028 + 108,1165581/15
Isya’ = 19,21057
Kemudian nilai ini dikonfersi ke jam : menit: detik
19,21057 = 19 : 12 : 38
5. Waktu Subuh
Subuh = Zhuhur - (Hour Angle Subuh)/15
Subuh = Zhuhur - ACOS(COS(HA))/15
Subuh = Zhuhur - ACOS(SIN (Altitude) – SIN (Lintang) * SIN
(Delta) /
COS (Lintang) * COS (Delta))/15
Subuh = 12,0028 - ACOS(SIN (-20) – SIN(-0,003324704) * SIN(-
0,107629) / COS(-0,003324704) * COS(-0,107629))/15
Subuh = 12,0028 - 110,157568/15
Subuh = 4,658962
Kemudian nilai ini dikonfersi ke jam : menit : detik
4,658962 = 04 : 39 : 32 (Dede, Fitri, Feri,2015)
1. Tongkat istiwa
Tongkat istiwa adalah alat sederhana yang terbuat dari tongkat yang
ditancapkan tegak lurus pada bidang datar dan diletakkan di tempat tebuka agar
mendapat sinar matahari. Alat ini berguna untuk menentukan waktu matahari
hakiki, menentukan titik arah mata angin, dan menentukan tinggi matahari.
Z = Zenit
ZM
M = Posisi Matahari
A ketika berkulminasi
AB = Panjang Tongkat
BC = Panjang bayangan
tongkat ketikan matahari
berkulmina
CD = Panjangnya
sama dengan AB
BD =Panjang bayangan
pada waktu awal „as{a
2. Aplikasi menentukan masuknya waktu shalat dengan Menggunakan Arduino
Alat ini bisa menentukan waktu adzan dan waktu sholat otomatis sepanjang
masa. Teknik yang digunakan untuk menentukan jadwal sholat adalah menggunakan
metode hisab atau perhitungan yang didasarkan pada posisi lintang dan bujur. Oleh sebab
itu, alat ini bisa dipakai di mana saja dengan menyesuaikan lintan dan bujur yang cocok.
Alat ini merupakan hasil pengembangan dari source code program jadwal sholat otomatis
sepanjang masa dengan ariuno dan tanpa EEPROM.
Fitur-fitur yang ada dalam alat :
Jadwal adzan sepanjang masa, jadi tidak perlu diubah-ubah atau update
jadwal manual.
Otomatis menyalakan amplifier menjelang adzan, terutama saat alat
memutar murottal atau sholawat sebelum waktu adzan tiba.
Otomatis menyalakan murottal 15 menit sebelum waktu adzan, dan waktu
bisa disetting sesuai kebutuhan.
Alat sudah diisi dengan 114 surat dalam Al-Quran. Sehingga pembacaan
murottal akan berurutan / bergantian sesuai urutan murottal dari 1 - 114.
Jika sudah pada surat ke-114 (surat An-Nas), maka urutan kembali ke
surat ke-1 (Al-Fatihah).
Otomatis menyalakan sholawat tarhim sebelum adzan. Jadi, suara
murrottal akan berhenti dan diganti dengan suara tarhim.
Dalam situasi darurat, alat juga bisa difungsikan untuk memutar adzan
otomatis. Ada sekitar 13 suara adzan yang sudah dipasang pada alat ini,
baik lokal maupun dari timur tengah seperti makkah dan madinah.
Selain menggunakan suara murottal dan adzan dari alat, suara murottal
dapat diganti dengan suara cd, radio, atau audio lainnya dari alat lain.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, para ahli astronomi/falak berusaha
membuat rumus waktu shalat berdasarkan konsep posisi matahari di suatu daerah
berdasarkan posisi geografis dan ketinggian suatu tempat tesrebut di permukaan bumi.
Sehingga dengan adanya rumusan matematika ini dapat ditentukan posisi matahari tanpa
harus melihat secara langsung dimana posisi matahari berada.
Di bawah ini adalah parameter-parameter yang diperlukan dalam perhitungan:
L0=280,46607+36000,7698*U.
U = (JD – 2451545)/36525.
ET = (- (1789 + 237 * U) * sin(L0) – (7146 – 62 * U) * cos(L0) + (9934 – 14 * U) *
sin(2 * L0) – (29 + 5 * U) * cos(2 * L0) + (74 + 10 * U) * sin(3 * L0) + (320 – 4 * U) *
cos(3 * L0) – 212 * sin(4 * L0))/1000
Berdasarkan rumus di atas, nampak bahwa waktu shalat bergantung pada Hour Angle.
Rumus Hour Angle (HA) adalah:
COS(HA) = [SIN(Altitude) - SIN(Lintang) * SIN(Delta)] / [COS(Lintang) *
COS(Delta)]
Sehingga Hour Angle = ACOS(COS(HA))
Rumus Hour Angle di bergantung pada Altitude (sudut ketinggian) matahari dari ufuk.
Nilai Altitude inilah yang berbeda nilainya untuk setiap waktu shalat.
a. Untuk Ashar
Altitudenya = ARCCOT(KA + TAN(ABS(Delta – Lintang)))
dimana KA = 1 untuk Syafi'i dan 2 untuk Hanafi.
Lambang ABS menunjukkan nilai absolut atau nilai mutlak. Misalnya, ABS(–2) =
ABS(2) = 2.
b. Untuk Maghrib
Altitude = –0,8333 – 0,0347*SQRT(H)
dimana SQRT menunjukkan lambang akar pangkat dua,
dan H = ketinggian di atas permukaan laut. Angka –0,8333 akan dijelaskan di bawah.
c. Untuk Isya'
Altitude = minus(Sudut Isya').
Jika sudut Isya' diambil 18 derajat, maka Altitude Isya' = –18 derajat.
d. Untuk Shubuh, Altitude = minus(Sudut Shubuh).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kasynawy, Abu Bakar bin Hasan, Ashalul Madaarik Syarah Irsyadus Salak
FiFiqh Imam al-Aimmah Malik, juz 1, Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah,
t.t.
Al-Sirasiy, Imam Kamaluddin muhammad bin Abdul Wahid, Syarhu Fathu al-
Qadir, juz 1, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995.
Hambali, Slamet, Ilmu Falak 1 (Penentuan Awal Waktu Shalat dan Arah
KiblatSeluruh Dunia, Semarang: Program Pascasarjana IAIN
WalisongoSemarang, 2011.
Ibrahim,Norashikin, Mobile Qibla and Prayer Time Finder using External GPS
and Digital Compass ,Malaysia:Faculty of Electrical and Electronics
Engineering ,Faculty of Chemical and Natural Resources Engineering.
Mufarrohah, Siti, “Konsep Awal Waktu Shalat Ashar I mam Syafi’i dan Hanafi
(Uji Akurasi Berdasarkan Ketinggian Bayang-Bayang Matahari Di
Kabupaten Semarang)”, skripsi, Semarang: IAIN Walis ongo, 2011.
Muhammad Dede ,Mintarsih Fitri, Fahrianto Feri, Implementasi Algoritma Meeus
dalam Penentuan Waktu Shalat dan Pencarian Masjid Terdekat,Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ,2015