Anda di halaman 1dari 18

PROPOSAL SKRIPSI

TINJAUAN FIKIH DAN ASTRONOMI TERHADAP PENENTUAN AWAL

WAKTU SHALAT ISYRAQ

Oleh :

Indah Aristya Ningrum


NIM 160204013

PROGRAM STUDI ILMU FALAK


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
MATARAM
2020

i
TINJAUAN FIKIH DAN ASTRONOMI TERHADAP PENENTUAN

AWAL WAKTU SHALAT ISYRAQ

A. Latar Belakang Masalah

Shalat yang merupakan rukun islam yang kedua. Keutamaan dari

perintah ajaran islam dan salah satu keharusan bagi seorang muslim untuk

mengerjakan sebagai amal ibadah, mendapat perhatian, dan prioritas utama

dalam islam. Pada umumnya umat islam hanya mengetahui bahwa kewajiban

melaksanakan shalat ada lima waktu yang telah ditetepkan oleh Allah SWT.1

Waktu masuknya shalat merupakan salah satu syarat sah nya

melaksanakan shalat, jika shalat dilaksanakan sebelum masuk waktu shalat

maka shalat yang dikerjakan pada saat itu tidak sah dan merupakan pekerjaan

yang sia-sia.2

Sebagai umat muslim tidak hanya mengutamakan ibadah shalat

fardhu, melainkan Allah SWT juga menganjurkan untuk menyempurnakan

dengan melakukan ibadah shalat sunnah. Banyak manfaat dan keutamaan dari

shalat sunnah yang dapat dipetik. Seperti sebagai penyempurna shalat fardhu,

menghapuskan kesalahan, membawa keberkahan, menaikan derajat dan

masih banyak keutamaan lainnnya. Sehingga shalat mempunyai kedudukan

yang sangat tinggi didalam islam. Shalat sunnah merupakan shalat yang

apabila dilaksanakan akan mendapat pahala jika ditinggalkan tidak akan

mendapat dosa. Shalat sunnah yang selama ini kita ketahui adalah : shalat

1
Muhammad Hadi Bashori, Pengantar Ilmu Falak, (Jakarta Timur, Pustaka Al-
Kausar,2015), hlm 153.
2
Ahmad Fadholi, ilmu falak Dasar, (Semarang, El-Wafa, 2017), hlm. 138.

1
qobliyah, shalat ba’diyah, shalat tahajjud, shalat witir, dan shalat dhuha.

shalat sunnah lain yang jarang dilakukan oleh umat islam adalah shalat

sunnah isyraq.

Dari banyaknya hadist – hadist yang dijelaskan dan d disebutkan

bahwa shalat sunnah isyraq dikerjakan sebelum waktu dhuha 10-15 menit

setelah terbitnya matahari dengan niat Shalat sunnah isyraq sedangkan untuk

shalat dhuha dikerjakan mulai terbitnya matahari setinggi tombak sampai 15

menit dan waktunya sampai sebelum shalat dzuhur dengan niat shalat sunnah

dhuha. Sesuai dengan hadis yang menunjukkan perkiraan ketinggian matahari

pada awal waktu dhuha Dari Ali bin Abi Thalib ra, berkata: ”Ketika Matahari

bergeser dari tempat terbitnya kadar kira satu tumbak atau dua tumbak seperti

kadar kira (tinggi Matahari)”. Sehingga diperkirakan memiliki waktu 15

menit setelah terbitnya matahari.

Dari ungkapan diatas terlihat jelas bahwa perbedaan antara kedua

shalat tersebut terletak pada waktu dilaksanakan. Namun menurut Imam

Hakim dalam kitab Al- Mustadrak, shalat isyraq adalah shalat dhuha yang

sama berdasarkan hadis yang menyebutkan bahwa shalat pada waktu isyraq

disebut juga dengan shalat awwabin, sedangkan shalat awwabin nama lain

dari shalat dhuha.3

Dalam ilmu astronomi praktis (Ilmu Falak) dalam menentukan syuruq

sebagai penanda awal dari masuknya shalat sunnah isyraq dan sunnah dhuha

sama, yang membedakan hanya waktu shalat dan rakaat shalatnya. Sehingga

tidak ada bedanya jika dilihat dari ketinggian matahari. Menurut David
3
Ibnu Hajar Al-Haitami, Fatwa al-Fiqiyaah al-Kubra, juz 1 hal.188.

2
Muhammad dikutip dalam buku ‘Shalat-shalat Tathawwu’, bahwa sholat

syuruq berarti sholat yang dikerjakan pada waktu matahari terbit, penyebutan

sholat ini juga berdasarkan hadits ibnu Abbas.

Namun dilihat dari pandangan Fikih dan Astronomi yang menyatakan

bahwa shalat dhuha dan isyraq itu berbeda dalam segi waktu. Shalat sunah

isyraq dijelaskan bahwa dilaksanakan pada waktu terbit matahari dengan

jumlah dua rakaat saja dengan ketentuan tertentu dan hanya bisa dilaksanakn

pada saat terbit matahari. Namun untuk shalat dhuha sendiri dilaksanakan

pada saat tinggi matahari sudah mencapai setinggi tompak dengan batasan

masuknya waktu zuhur, dan rakaat yang dikerjakan dari dua rakaat sampai

duabelas rekaaat. Dengan demikian untuk waktu pelaksanaan kedua shalat

sunnah ini berbeda, sehingga dalam astronomi pula harus ada perbedaan

dalam perhitungan waktu shalatnya dan penanda waktu shalatnya.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam penentuan awal waktu

sholat syuruq terdapat perbedaan dari segi kajian fikih yang menyebabkan

perhitungan astronominya juga akan berbeda, sehingga peneliti tertarik untuk

mengambil judul “TINJAUAN FIKIH DAN ASTRONOMI TERHADAP

PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT ISYRAQ”. judul ini diangkat

oleh peneliti karena dianggap layak dan sesuai berdasarkan syarat layaknya

sebuah judul untuk diteliti.

B. Rumusan Masalah

3
Dari latar belakang masalah ini yang telah peneliti paparkan di atas,

maka dapat dikemukakan pokok permasalahan dalam judul ini adalah:

1. Bagaimana tinjauan fikih terhadap awal waktu shalat Isyraq?

2. Bagaimana tinjauan Astromi terhadap penentuan awal waktu shalat

Isyraq?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan yang diharapkan dapat diambil dari hasil akhir, diantaranya adalah

sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui awal waktu shalat Isyraq menurut tinjauan fikih.

b. Untuk mengetahui awal waktu shalat Isyraq menurut tinjauan ilmu

astronomi.

2. Adapun manfaat yang diharapkan dapat di ambil dari hasil akhir,

diantaranya adalah sebagai berikut:

Secara garis besar manfaat dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu

manfaat yang bersifat teoritis dan praktis.

a. Manfaat secara teoritis

Peneliti berharap dengan adanya penelitian ini dapat menambah

wawasan atau pengetahuan sebagai hasil pengamatan langsung, serta

dapat memberikan motivasi bagi peneliti lain yang meneliti lebih lanjut

tentang hal-hal yang belum diungkapkan dalam penelitian ini, dan

diharapkan hasil penelitian ini juga dapat di duganakan sebagai refrensi

oleh peneliti selanjutnya.

b. Manfaat secara praktis

4
Dari hasil peneletian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi

masyarakat atau tokoh masyarakat yang belum mengetahui secara detail

tentang shalat sunnah isyaraq.

D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian

Ruang Lingkup Penelitian ini adalah difokuskan untuk mengetahui shalat

sunnah isyraq berdasarkan tinjauan hukum fikih dan ilmu astronomi dengan

perbedaan ulama lainnya ada yang menstatuskan shalat sunnah isyraq adalah

shalat sunnah dhuha dan ada yang mengatakan shalat isyraq adalah shalat

isyraq itu sendiri.

Setting penelitian ini adalah berlokasi di Lingkungan Gubuk Panaraga,

Kelurahan Cakranegara Barat, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram.

E. Telaah Pustaka

Namun demikian ada judul skripsi dan jurnal yang membahas tentang

awal waktu shalat sunnah isyraq ini antara lain yaitu :

1. Alimudin dengan judul “Perspektif Syar’i Dan Sains Awal Waktu Shalat”.4

Di dalam jurnal tersebut dapat ditarik lesimpulan dari dua sub

permasalahan tulisan ini adalah sebagai berikut : Menurut Syara’ dan

menurut Ilmu Astronomi. Menurut Syara’ waktu masuknya shalat Sunnah

isyraq apabila terbitnya fajar. Sedangkan menurut astronomi, awal waktu

isyraq yaitu dipahami ketika sejak terbitnya fajar shadik pendapat lainnya

mengatakan terbitnya fajar shadik dimulai pada saat posisi matahari 20

derjat dibawah ufuk.

4
Alimudidin, “Perspektif Syar’I Dan Sains Awal Waktu Shalat”, Al-daulah, Vol.
1/No.1/desember 2012, hlm.120

5
Perbedaan skripsi ini dengan jurnal ini mengkaji penbandingan awal

waktu shalat dalam perspektif syar’i dan sains sedangkan skripsi ini

membahas tentang awal waktu shalat Sunnah isyraq perspektif fikh dan

astronomi, dan persamaanya yaitu sama sama mengkaji tentang awal

waktu shalat.

2. Firdos dengan judul “formulasi awal waktu dhuha dalam perspektif fikih

dan ilmu falak”5. Skripsi ini berbicara mengenai bagaimana formulasi

penentuan awal waktu sholat dhuha yang dimana secara fikih tidak ada

kesepakatan kapan waktu pas-nya, di karenakan hadits-hadits mengenai

waktu itu hanya berupa perkiraan saja bukan berupa hasil yang final.

Ulama-ulama fikih berbeda pendapat tentangnya. Menurut imam nawawi

tinggi satu tumbak dalam penentuan waktu sholat dhuha adalah 3,36

meter. Sedangkan menurut Muhyiddin Khazin tinggi tumbak di dalam

hadits tersebut dikembalikan dengan tinggi tumbak yang pada umumnya

ada pada masyarakat yakni sekitar 2,5 meter. Pendapat lain disampaikan

oleh Abdurahman an-Naba’ dalam kitab fath al-rabbani dan Ibnu

Qudamah dalam kitab mughni ala muhtasar al haraqi yang mengatakan

waktu dhuha adalah sama ketika waktu ashar atau kita katakana bahwa

tinggi matahari ketika itu telah terbit sempurna dan melewati waktu

tahrim.

F. Kerangka Teori

1. Shalat Isyraq

5
Firdos “(Formulasi Awal Waktu Dhuha Dalam perspektif Fikih Dan Ilmu Falak)” (Skripsi yang
ditulis oleh Firdos mahasiswa UIn Walisongo Semarang (2015)

6
Pembagian waktu-waktu shalat tidak dijelaskan secara rinci dalam

al-Qur’an tetapi diperjelas dalam hadis-hadis. Dari hadis-hadis tentang

waktu shalat dan batasan waktu shalat yang kita kenal sekarang ini. Ada

sebagian ulama mengasumsikan bahwa cara menentukan waktu shalat

adalah dengan cara melihat secara langsung tanda-tanda alam sebagaimana

yang dijelaskan dalam hadis-hadis shahih, seperti melihat bayangan benda

yang tegak lurus atau dengan cara memperhitungkan posisi matahari.6

Kata “Isyraq” memiliki arti terbit. Dari kata ini dapat diambil

kesimpulan bahwa shalat Isyraq adalah shalat yang dilakukan saat

terbitnya matahari. Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa waktu shalat

isyraq dilaksanakan setelah Matahari terbit.

Adapun keutamaan ini hanya dapat diraih jika terpenuhi beberapa

persyaratan sebagai berikut: Pertama, Shalat subuh secara berjamaah.

Sehingga tidak tercakup di dalamnya orang sendirian. Zhahir kalimat

jamaah di hadis ini, mencakup jamaah di masjid, jamaah di perjalanan,

atau di rumah bagi yang tidak wajib jamaah di masjid karena udzur.

Kedua, duduk berdzikir. Jika duduk tertidur, atau ngantuk maka

tidak mendapatkan fadlilah ini. Termasuk berdzikir adalah membaca

Alquran, beristighfar, membaca buku-buku agama, memebrikan nasihat,

diskusi masalah agama, atau amar ma’ruf nahi mungkar.

Ketiga, duduk di tempat shalatnya sampai terbit matahari. Tidak

boleh pindah dari tempat shalatnya, jika dia pindah untuk mengambil
6
Kementrian Agama, Ilmu Falak Praktis, cetakan ke-1, (Jakarta: Sub Direktu Pembinaan
Syariah Dan Hisab Rukyat Direktorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah Durektorat
Jendral Bimbinga Masyarakat Islam Kementruan AgamaRepublikIndonesia, 2013), hlm. 80.

7
mushaf Alquran atau untuk kepentingan lainnya maka tidak mendapatkan

keutamaan ini. Karena keutamaan (untuk amalan ini) sangat besar, pahala

haji dan umrah “sempurna..sempurna..sempurna” sedangkan maksud

(duduk di tempat shalatnya di sini) adalah dalam

rangka Ar Ribath (menjaga ikatan satu amal dengan amal yang lain), dan

dalam riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kemudian duduk di tempat shalatnya.” Kalimat ini menunjukkan bahwa

dia tidak boleh meninggalkan tempat shalatnya. Dan sekali lagi, untuk

mendapatkan fadlilah yang besar ini, orang harus memberikan banyak

perhatian dan usaha yang keras, sehingga seorang hamba harus

memaksakan dirinya untuk sebisa mungkin menyesuaikan amal ini.

Keempat, shalat dua rakaat. Shalat ini dikenal dengan shalat isyraq.

Shalat ini dikerjakan setelah terbitnya matahari setinggi tombak. (Syarh

Zaadul Mustaqni’ oleh Syaikh Syinqithi 3:68)7

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa para ulama

berbeda pendapat dalam menstatuskan apakah shalat Dhuha dengan shalat

Isyraq adalah shalat yang sama atau berbeda. Menurut pendapat yang

mengatakan bahwa kedua shalat ini adalah sama maka niat shalat Isyraq

juga harus sama dengan niat shalat Dhuha dan jumlah rakaat shalat Isyraq

termasuk dalam hitungan rakaat shalat Dhuha, sehingga jumlah rakaat

shalat Isyraq dan shalat Dhuha ketika dikumpulkan tidak boleh melebihi

delapan rakaat. Namun ketika berpijak pada ulama yang mengatakan

7
Syarh Zaadul Mustaqni’ oleh Syaikh Syinqithi 3:68

8
bahwa kedua shalat ini berbeda, maka niat shalat Isyraq, batas waktu

shalat serta batasan hitungan rakaatnya juga berbeda.

Sedangkan Shalat dhuha adalah shalat yang dikerjakan pada saat

naiknya matahari setinggi tombak sampai waktu zawal (menjelang shalat

dzuhur).

Sholat dhuha dikerjakan dua rakaat salam – dua rakaat salam.

Jumlah rakaatnya minimal dua rakaat. Rasulullah kadang mengerjakan

sholat dhuha empat rakaat, kadang delapan rakaat. Karenanya banyak

ulama tidak membatasi jumlah rakaatnya.8

Tata caranya sama dengan sholat sunnah dua rakaat pada umumnya,

yaitu:

a. Niat sholat dhuha


b. Takbiratul ihram, lalu membaca doa iftitah
c. Membaca surat Al Fatihah
d. Membaca surat atau ayat Al Qur’an
e. Ruku’ dengan tuma’ninah
f. I’tidal dengan tuma’ninah
g. Sujud dengan tuma’ninah
h. Duduk di antara dua sujud dengan tuma’ninah
i. Sujud kedua dengan tuma’ninah
j. Berdiri lagi untuk menunaikan rakaat kedua
k. Membaca surat Al Fatihah
l. Membaca surat atau ayat Al Qur’an
m. Ruku’ dengan tuma’ninah
n. I’tidal dengan tuma’ninah
o. Sujud dengan tuma’ninah
p. Duduk di antara dua sujud dengan tuma’ninah
q. Sujud kedua dengan tuma’ninah
8
Tolhah Ma’ruf ,dkk fiqh ibadah panduan lengkap very ahlusunnah(Jawa Timur :
Lembaga Ta’lif Wannasyr) hlm. 131.

9
r. Tahiyat akhir dengan tuma’ninah
s. Salam

Demikian tata cara sholat dhuha. Setiap dua rakaat salam, diulang

sampai bilangan rakaat delapan atau yang dikehendaki. Setelah selesai

sholat dianjurkan berdoa. Bisa pula berdoa dengan doa shalat dhuha.

2. Tinggi Matahari Awal Waktu Shalat Isyraq

Perjalanan matahari dari ufuk timur kearah ufuk barat selalu mencapai

titik kulminasi yang di sebut dengan tengah hari, karena memang terjadi

batas seperdua dari siang hari. Titik tempuh yang dilalui oleh matahari dari

titik kulminasi terbagi menjadi 2 kali 12 jam. Dengan demikian kulminasi

adalah titik tertinggi posisi matahari dalam perjalanan hariannya.

Lingkaran perjalanan matahari dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian

busur siang yang berada diatas ufuk dan busur malam yang ada di bawah

ufuk.9

Jika diperhatikan, waktu terbit dan terbenam matahari setiap hari

selalu berubah meskipun kecil. Demikian pula posisi matahari saat ter\bit

dan terbenam. Bagi yang tinggal di dekat garis khatulistiwa, seperti di

Indonesia, akan mengamati perubahan posisi terbitnya matahari dengan

jelas. Suatu saat terbit tepat di arah timur (azimuth 90 derajat), di lain hari

sudah bergeser sedikit ke arah utara (azimuth kurang dari 90 derajat).

Kemudian kembali lagi tepat di arah timur, lalu bergeser sedikit ke arah

9
Tolha Hasyim Fanani dengan judul skripsi “Metode Penentual Awal Waktu Shalat Di
Masjid-Masjid Kabupaten Malang” (Skripsi, Jurusan Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah, Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2011). Hlm. 34.

10
selatan (azimuth lebih dari 90 derajat) dan kemudian kembali lagi tepat di

arah timur. Demikian pula dengan pergeseran tempat terbenamnya

matahari di ufuk barat.

Dari perjalanan matahari dapat dijadikan patokan untuk penentuan

awal waktu shalat termasuk awal waktu shalat sunnah. Matahari terbit

menjadi penanda awal waktu sunnah isyraq, menurut hadis Abdullah Bin

Harits waktu shalat sunnah isyraq adalah terbit matahari di tambah lima

belas meniti.

Matahari bisa dikatakan terbit jika seluruh piringan matahari sudah

berada di atas ufuk. Pada saat itu titik matahari berjarak sepanjang semi

diameter (SD) Matahari sebesar 32 menit busur, maka jarak dari ufuk ke
10
titik pusat pada saat itu adalah ½ *32’ = 16’. Sehingga dalam

Astronomi posisi matahari pada saat itu adalah 1 drajat di atas ufuk. Jika di

gabungkan dengan penjelasan hadis yang di sebut diatas jadi awal waktu

shalat isyaraq dapat di rumuskan (15 menit/ 4 ) 3.75˚ di atas ufuk.

3. Dalam Pandangan Astronomi

Dalam ilmu Astronomi, fenomena fajar (morning twilight) dapat

dibagi secara astronomi menjadi 3 bagian yaitu: fajar astronomi,fajar

nautika dan fajar sipil. Berbicara tentang fenomena fajar shadiq dalam

menentukan awal waktu subuh,kemudian terbitnya matahari, dan awal

waktu dhuha adalah sangat berkaitan pula dengan ketinggian matahari dari

10
Muhammad Hadi Bashori, Pengantar Ilmu Falak, hlm. 157.

11
ufuk juga ketinggian tempatnya. Oleh karna itu untuk terbitnya matahari

dibutuhkan semidiameter, refraklsi, dan kerendahan ufuk. Dan matahari

terbit adalah dimana keadaan piringan atas matahari yang terlihat

bersentuhan dengan ufuk yang terlihat.11 Fajar shadiq sebenarnya muncul

dengan cahaya putih tanpa warna (sesunggguhnya kebiruan, hanya tak

tampak sangat redup) karna sekitar hamburan atsmosfer tinggi. Ini disebut

fajar astronomi karna berdampak pada mulainya redup bintang-bintang

(Qs.52:49)

Berbeda dengan fajar kidzib cahaya yang menjulang tinggi karena

disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antar planet.

Fajar kidzib terjadi sebelum fajar shadiq.

4. Dalam Pandangan Fikiyyah

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

11
Sa’adoeddin Djambek. Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Masa,
Jakarta: Bulan bintang th.1974M/ 1394 H, hlm. 32.

12
Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research)

dengan menggunakan pendektan kualitatif. Pendekatan kualitatif

digunakan dalam penelitian karena menggunakan observasi awal waktu

shalat sunnah sebagai pengumpulan data. Dalam penelitian ini peneliti

bukan hanya menggunakan observasi namun menggunakan wawancara

kepada tokoh yang mengerti mengenai hadis tersebut.

Penelitian kualititaf berlandaskan pada filsafat postpositivisme,

digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai

lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen

kunci, pengambilan sempel sumber data dilakukan secara purposive

Sampling Purposive dan Snowball Sampling.

2. Kehadiran Peneliti

Kehadiran peneliti dalam penelitian ini sangatlah penting dan

dibutuhkan, karena kehadiran peneliti merupakan instrument dalam

penelitian lapangan. Hal ini dikarenakan peneliti sangat berperan penting

sebagai penggali data dan pencari informasi yang dibutuhkan yang terjun

langsung kelapangan untuk mewawancara narasumber,mencermati,dan

meneliti serta menelaah bagaimana perbedaan pada pandangan fikih dan

astronomi dengan ulama lainnya.

3. Lokasi Penelitian

13
Penelitian ini berlokasi Lingkungan Karang Kemong, Cakranegara

Barat.

4. Sumber dan jenis data

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber

yaitu Tinjauan Fikih Dan Astronomi Terhadap Penentuan Awal

Waktu Shalat Isyraq. Dalam penelitian ini data primer yang digunakan

oleh peneliti adalah wawancara agar mendapatkan informasi-

informasi yang dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana pandangan

narasumber pada perbedaan fikih dan astronomi dengan ulama lainnya

tentang shalat sunnah isyraq tersebut.

b. Data Skunder

Data skunder merupakan data pendukung yang diperoleh melalui

sebuah buku-buku ilmu falak, skripsi terdahulu yang berkaitan, dan

jurnal-jurnal yang membaas tentang waktu isyraq dan lain sebagainya.

5. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah merupakan langkah yang paling

strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah

mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka

peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang

telah ditetapkan.12

12
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif,Kualitatif dan R&D (Bandung Alfabeta,
2017) hlm. 224.

14
Adapun untuk memperoleh data, prosedur pengumpulan data yang

digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitian ini adalah

wawancara, dokumentasi, dan metode observasi.13

a. Metode Observasi

Observasi yang peneliti lakukan dalam menggali data yaitu

dengan cara melakukan pengamatan pada tinjauan Fikih dan

Astronomi terhadap Awal Waktu Shalat Isyraq tersebut di desa karang

kemong.

b. Metode Wawancara

Wawancara merupakan pertemuan antara dua orang atau lebih

untuk bertukar informasi dan ide melalui taya jawab, sehingga dapat

ditarik kesimpulan guna kebutuhan data dalam penelitian. 14

Wawancara yang digunakan peneliti dalam menggali data yaitu

dengan cara melakukan wawancara tidak terstruktur. Hal ini dilakukan

guna menciptakan suanasana yang akrab dengan penuh responden

sehingga data mudah diperoleh.

c. Dokumentasi

Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya barang-

barang tertulis atau benda tertulis seperti buku, majalah, dokumen,

catatan harian dan sebagainya. Dokumentasi adalah cara mencari data

13
Ibid hlm, 187.
14
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian,(CV. Pustaka Setia, Bandung, 2008) , hlm.
190.

15
mengenai hal-hal atau variabel yang berupa data, catatan-catatan, surat

kabar, buku, majalah, agenda dan lain sebagainya.15

Dokumentasi yang peneliti lakukan guna menggali data penelitian

ini yaitu dengan cara mengumpulkan data-data yang tidak bisa

diperoleh nelalui wawancara maupun melalui observasi, yaitu dengan

menggumpulkan foto-foto, video-video dan lain sebagainyayang

berkaitan dengan penelitian tersebut.

6. Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis

deskriptif dengan teknik induktif. Analisis deskriptif akan peneliti

gunakan untuk menganalisis data-data yang diperoleh dengan cara

pendekatan kualitatif, kemudian peneliti akan menarik sebuah

kesimpulan umum dengan menggunakan teknik induktif.

7. Keabsahan Data

Dalam penelitian ini, untuk lebih validnya data atau informasi yang

didapatkan demi keabsahan data dari hasil penelitian yang dilakukan,

maka peneliti menggunakan metode triangulasi artinya penggecekan data

dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu.

Mendapatkan informasi yang sejenis dari berbagai sumber yang berbeda,

sehingga peneliti dapat membandingkan dan mengecek balik

kepercayaan informasi yang didapatkan dalam penelitian ini.

H. Sistematika Pembahasan

15
Ibid, hlm. 206

16
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Hasil penelitian ini akan

dipaparkan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan, pada bab ini peneliti memuat latar belakang, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, kerangka teori,

metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB II : Tinajuan Fikih Dan Astronomi Terhadap Penentuan Awal Waktu

Shalat Isyraq di desa Karang Kemong. Bab ini meliputi, Profil Desa Karang

Kemong, Awal Waktu shalat Isyraq dalam pandangan Astronomi dan Fikih. .

BAB III : Tinjauan Fikih Dan Astronomi Terhadap Penentuan Awal Waktu

Shalat Isyraq. Bab ini meneliti kapan terjadinya shalat sunnah Isyraq dan

bagiamana tinjauan terhadap pandangan Fikih dan Astronomi.

BAB IV : yaitu penutup, yang merupakan rangkaian akhir dari sebuah

penelitian, hal ini penting sekali sebagai penegasan terhadap hasil penelitian

yang tercantum dalam bab II dan bab III. Sedangkan saran merupakan

harapan penulis kepada semua pihak yang terkait dalam masalah ini, agar

penelitian yang dilakukan oleh peneliti dapat memberikan konstriusi yang

maksimal.

17

Anda mungkin juga menyukai