Anda di halaman 1dari 8

MATERI SANLAT

FIQIH SHOLAT BAGIAN I

A. PENDAHULUAN
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt. Karena atas limpahan nikmat
dan karunianya, Alhamdulillah kita senantiasa diberi kesehatan da nada dalam perlindungan
Allah Swt. Selanjutnya sholawat beserta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan kita nabi besar Muhammad Saw, berikut para keluarga, sahabat dan kita sekalian
sebagai umatnya.
Pada kesempatan kali ini kita akan masih akan membahas tentang ilmu fiqih,
yaitu mengenai bab sholat. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya Ibadah shalat
memiliki kedudukan yang utama dalam keseluruhan ibadah kepada Allah Swt. Shalat adalah
suatu ibadah harian yang harus dilakukan setiap muslim, yaitu minimal lima kali dalam
sehari-semalam dan pelaksanaannya tidak dapat diwakilkan dalam kondisi apapun. Shalat
akan mendatangkan ketenangan bagi pelakunya. Tujuan utama shalat dalam agama Islam
adalah menciptakan kesadaran akan Allah atas keberadaan-Nya. Mukhtar (2003; 23)
mengungkapkan bahwa dampak besar dari shalat adalah mendekatkan diri kepada Allah,
memperkuat jiwa dan motivasi, menyatakan Kemaha tinggian Allah, menimbulkan
ketenangan jiwa, menjauhkan diri dari kelalaian mengingat Allah, melatih kedisiplinan,
mengajarkan kebijaksanaan, mengajarkan berpikir positif, amanah dan jujur.
Banyak ayat dan hadits yang menerangkan atas diwajibkannya shalat, namun
yang menjadi pertanyaan, apakah shalat itu sendiri menjadi tujuan, atau apakah Allah
mewajibkan hamba-Nya shalat tanpa memiliki tujuan, atau terkandung di dalamnya tujuan-
tujuan suci? Ketika Allah memerintahkan setiap hamba-Nya untuk melaksanakan shalat,
pasti di dalamnya memiliki tujuan-tujuan suci. Kita bisa lihat dalam Al-Qur‟an, dengan
tegas Allah berfirman dalam Q.S Al-Ankabut: ayat 45.

Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya
dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Pada ayat tersebut di atas seakan-akan Allah Swt menegaskan bahwasanya keji
dan munkar adalah tujuan pokok dalam ibadah shalat, bahkan dalam ayat yang lain Allah
mengkategorikan orang yang melaksanakan shalat itu sebagai orang sukses dan beruntung,
“Sungguh beruntung (sukses) orang-orang yang beriman, (yaitu) mereka adalah orang-orang
yang khusuk dalam shalatnya." (Q.S Al Mu‟minun :1). Dan banyak ayat-ayat Al Qur‟an
yang membicarakan tentang ibadah shalat.
B. PENGERTIAN SHOLAT
Shalat secara bahasa bermakna doa. Pemaknaan semacam ini dapat kita simak
pada ayat Q.S. At-Taubah (9:103):

Artinya: ………. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. At-Taubah (9):103)
Adapun secara istilah, Syekh Muhammad bin Qasim al-Gharabili (w. 918H) dalam kitab
Fathul Qarib (Surabaya: Harisma, 2005), hal. 11 menyebutkan:
ٌ
‫مختتمة بالتسليم ب َشرائ َط‬ ،‫تح ٌة بالتكبير‬
َ ‫ أقوا ٌل وأفعال مُف َت‬:‫ كما قال الرافعي‬- ‫وشرعا‬
‫مخصوص ٍة‬
“Dan secara (istilah) syara‟–sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ar-Rofi‟i, (shalat
ialah) rangkaian ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir, diakhiri dengan salam,
beserta syarat-syarat yang telah ditentukan”.
Dari dua pemaknaan tersebut kita bisa menemukan titik temu yakni di dalam
shalat yang kita kenal, memang terdapat banyak sekali terkandung doa. Shalat yang
difardhukan secara individual kepada setiap mukmin yang mukalaf berjumlah lima waktu
setiap hari dan malam sebagaimana yang telah kita ketahui secara pasti dalam agama Islam.
Maka dihukumi kafir bagi orang yang menentangnya. Shalat lima waktu ini tidak terkumpul
selain pada Nabi kita Muḥammad s.a.w.. Shalat lima waktu difardhukan pada malam Isra‟
setelah 10 tahun kenabian lebih 3 bulan. Tepatnya, terjadi pada malam 27 bulan Rajab.
Shalat Shubuh dari malam itu tidak diwajibkan sebab belum mengetahui tata caranya,
demikian apa yang dikemukakan oleh Syaikh Zainuddin bin „Abdul „Aziz bin Zainuddin bin
„Ali Al Malibari Al Fannani Asy Syafi‟i, dalam kitab fathul muin.
C. Nama dan Waktu Shalat Wajib
Sebagai mana yang sudah disebutkan di atas bahwasanya sholat yang difardlukan
ada lima dalam sehari semalam. Masing-masing dari sholat tersebut wajib di laksanakan
sebab masuknya awal waktu dengan kewajiban yang diperluas (tidak harus segera
dilakukan) hingga waktu yang tersisa hanya cukup digunakan untuk melakukannya, maka
saat itu waktunya menjadi sempit (harus segera dilakukan). Berikut akan dijelaskan
mengenai nama dan waktu sholat wajib, yaitu:
1) Sholat Dhuhur
Imam an Nawawi berkata, “sholat ini disebut dengan Dhuhur karena
sesungguhnya sholat ini nampak jelas di tengah hari.” Awal masuknya waktu sholat
Dhuhur adalah saat tergelincirnya, maksudnya bergesernya matahari dari tengah
langit, tidak dilihat dari kenyataannya, namun pada apa yang nampak oleh kita.
Pergeseran tersebut bisa diketahui dengan bergesernya bayang-bayang ke arah timur
setelah posisinya tepat di tengah-tengah, yaitu puncak posisi tingginya matahari.
Dan batas akhirnya waktu sholat Dhuhur adalah ketika bayang-bayang setiap
benda seukuran dengan bendanya tanpa memasukkan bayang-bayang yang nampak
saat zawal (gesernya matahari).
2) Sholat Ashar
Disebut dengan sholat Ashar, karena pelaksanaannya mendekatii waktu
terbenamnya matahari. Permulaan waktunya adalah mulai dari bertambahnya
bayangan dari ukuran bendanya. Sholat Ashar memiliki lima waktu. Salah satunya
adalah waktu fadlilah, yaitu mengerjakan sholat di awal waktu.
Yang kedua adalah waktu ikhtiyar. Waktu ini diisyarahi oleh mushannif dengan
ucapan beliau, akhir waktu Ashar di dalam waktu ikhtiyar adalah hingga ukura
bayang-bayang dua kali lipat ukuran bendanya.
Yang ketiga adalah waktu jawaz. Waktu ini diisyarahi oleh mushannif dengan
ucapan beliau, dan di dalam waktu jawaz hingga terbenamnya matahari.
Yang ke empat adalah waktu jawaz tanpa disertai hukum makruh. Yaitu sejak
ukuran bayang-bayang dua kali lipat dari ukuran bendanya hingga waktu ishfirar
(remang-remang).
Yang ke lima adala waktu tahrim (haram). Yaitu meng-akhirkan pelaksanaan
sholat hingga waktu yang tersisa tidak cukup untuk melaksanakan sholat.
3) Sholat Maghrib
Disebut dengan sholat Maghrib karena dikerjakan saat waktu terbenamnya
matahari. Waktu sholat Maghrib hanya satu. Yaitu terbenamnya matahari,
maksudnya seluruh bulatan matahari dan tidak masalah walaupun setelah itu masih
terlihat sorotnya, dan kira-kira waktu yang cukup bagi seseorang untuk melakukan
adzan, wudlu‟ atau tayammum, menutup aurat, iqomah sholat dan sholat lima rokaat.
Ketika kadar waktu di atas sudah habis, maka waktu maghrib sudah keluar. Ini
adalah pendapat Qaul Jadid imam As-Syafi‟i, Sedangkan dalam Qaul Qadim, dan
diunggulkan oleh imam an Nawawi, adalah sesungguhnya waktu sholat Maghrib
memanjang hingga terbenamnya mega merah.
4) Sholat Isya’
Isya‟ dengan terbaca kasroh huruf „ainnya adalah nama bagi permulaan petang.
Sholat ini disebut dengan nama tersebut karena dikerjakan pada awal petang.
Permulaan waktu Isya‟ adalah ketika terbenamnya mega merah. Adapun negara yang
tidak terbenam mega merahnya, maka waktu Isya‟ bagi penduduknya adalah ketika
setelah ternggelamnya matahari, sudah melewati masa tenggelamnya mega merah
negara yang terdekat pada mereka.
Sholat Isya‟ memiliki dua waktu. Salah satunya adalah waktu Ikhtiyar, dan di
isyarahkan oleh mushannif dengan ucapan beliau, “akhir waktu ikhtiyar sholat Isya‟
adalah memanjang hingga seperti malam yang pertama. Yang kedua adalah waktu
jawaz. Dan Abu Abdillah Muhammad bin Qasim bin Muhammad Al-Ghazi ibn Al-
Gharabili memberi isyarah tentang waktu ini dengan ucapan beliau, “dan di dalam
waktu jawaz hingga terbitnya fajar kedua, maksudnya fajar Shodiq, yaitu fajar yang
menyebar dan membentang sinarnya di angkasa.
Adapun fajar Kadzib, maka terbitnya / muncul sebelum fajar Shodiq, tidak
membentang akan tetapi memanjang naik ke atas langit, kemudian hilang dan di ikuti
oleh kegelapan malam. Dan tidak ada hukum yang terkait dengan fajar ini. Asy
Syekh Abu Hamid menjelaskan bahwa sesungguhnya sholat Isya‟ memiliki waktu
Karahah, yaitu waktu di antara dua fajar.
5) Sholat Subuh
Secara bahasa, Subuh memiliki arti permulaan siang (pagi). Disebut demikian
karena dikerjakan di permulaan siang (pagi). Seperti halnya sholat Ashar, sholat
Subuh juga memiliki lima waktu. Salah satunya adalah waktu fadlilah. Yaitu awal
waktu. Yang kedua adalah waktu ikhtiyar. “awal waktu sholat Subuh adalah mulai
terbitnya fajar kedua, dan akhirnya di dalam waktu ikhtiyar adalah hingga isfar, yaitu
waktu yang sudah terang.
Yang ketiga adalah waktu jawaz. Dan mushannif mengisarahkannya dengan
ucapan beliau, “dan di dalam waktu jawaz, maksudnya disertai dengan hukum
makruh adalah hingga terbitnya matahari. Dan yang ke empat adalah waktu jawaz
tanpa disertai hukum makruh adalah sampai terbitnya mega merah. Dan yang ke lima
adalah waktu tahrim (haram), yaitu mengakhirkan pelaksanaan sholat hingga waktu
yang tersisa tidak cukup untuk melaksanakan sholat.
D. SYARAT SHOLAT
Syarat secara bahasa adalah bermakna tanda. Dan secara syara‟ adalah sesuatu
yang menentukan sahnya sholat, namun bukan termasuk sebagian dari sholat. Dengan
qoyyid ini, maka mengecualikan rukun. Karena sesungguhnya rukun adalah sebagian dari
sholat. Adapun yang termasuk syarat wajib shalat adalah:
1. Islam
Orang yang kafir tidak diwajibkan untuk shalat, tetapi diakhirat tetap terkena
siksaan karena meninggalkan shalat selain siksaan karena kekafirannya. Hal ini
sebagaimana firman Allah:

َ ‫ك م َِن ْالم‬
‫ُصلِّيْن‬ ُ ‫ َقالُ ْوا لَ ْم َن‬. ‫َما َسلَ َك ُك ْم فِي َس َق َر‬
Artinya: “Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) saqar? Mereka
menjawab “Dahulu kami tidak temasuk orang-orang yang melaksanakan shalat.”

Orang kafir yang masuk islam tidak wajib mengqodho‟ shalat yang tidak
dikerjakan sebelum masuk islam. Allah berfirman:

َ َ‫قُ ْل لِلَّ ِذي َْن َك َف ُر ْوا إِنْ َي ْن َته ُْوا ي ُْغ َفرْ لَ ُه ْم َما َق ْد َسل‬
‫ف‬
Artniya: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-
kawannya) “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni
dosa-dosa mereka yang telah lalu.”

Adapun orang murtad, maka tetap wajib mengerjakan shalat tetapi tidak sah,
sehingga ketika kembali memeluk islam, maka wajib mengqodho‟ segala kewajiban
yang telah ditinggalkan selama murtad.
2. Baligh
Orang yang belum baligh, maka tidak diwajibkan untuk shalat. Tetapi orang tua
wajib memerintahkan anaknya yang berumur 7 tahun untuk shalat, dan wajib memukul
anaknya ketika telah menginjak usia 10 tahun jika tidak mau mengerjakan shalat. Nabi
Muhammad sallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

‫ُم ُر ْوا أَ ْو ََلدَ ُك ْم ِبالص َََّل ِة َو ُه ْم أَ ْب َنا ُء َسب ٍْع َو اضْ ِرب ُْو ُه ْم َعلَى َترْ ِك َها َو ُه ْم أَ ْب َنا ُء َع ْش ٍر َو‬
َ ‫َفرِّ قُ ْوا َب ْي َن ُه ْم فِي ْال َم‬
‫ضا ِج ِع‬
Artinya: “Perintahlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat sedang mereka
berumur 7 tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat sedang mereka
berumur 10 tahun dan pisahkan antara mereka dalam tempat tidur.”
3. Berakal
Orang gila, pingsan dan mabuk yang tidak disengaja maka tidak terkena
kewajiban shalat.
4. Bersih dari haidh dan nifas
Orang yang haidh atau nifas, tidak terkena kewajiban untuk shalat. Jika mereka
tetap memaksa untuk shalat maka shalatnya tidak sah dan berdosa. Selain tidak
diwajibkan shalat ketika shalat, juga tidak diwajibkan mengqodho‟ shalat. Jika
mengqodho‟ shalat yang ditinggalkan ketika haidh atau nifas, maka sebagian ulama‟
mengatakan haram hukumnya dan tidak sah. Tetapi sebagian ulama‟ lain berpendapat,
jika perempuan yang haidh atau nifas mengqodho shalat yang ditinggalkan ketika haidh
atau nifas, maka shalatnya tetap sah akan tetapi makruh hukumnya.
5. Sampainya dakwah islam
Suatu daerah yang berpenduduk muslim, hanya saja dakwah islam tidak sampai
kepada mereka, sehingga mereka tidak mengetahui hukum shalat dan kewajiban yang
lainnya, maka mereka tidak terkena kewajiban shalat. Ketika dakwah islam sampai
kepada mereka maka mereka tidak wajib mengqodho‟ shalatnya.
6. Selamatnya panca indera
Seorang yang terlahir dalam keadaan buta dan tuli, meski bisa bicara, maka tidak
terkena kewajiban shalat. Jika panca indera menjadi normal, maka tidak diwajibkan
untuk mengqodho‟ shalat.
Adapun syarat sahnya sholat adalah:
1. Waktunya telah tiba. Jadi, shalat tidak di wajibkan sebelum waktunya tiba, karena dalil-
dalil berikut: firman Allah SWT dalam surat an-Nisa‟ ayat 103 yang berbunyi:

ۡ‫ٱط َم ۡأ َنن ُتم‬


ۡ ‫ُودا َو َعلَ ٰى ُج ُنوب ُكمۡۚۡ َفإ َذا‬
ِ ِ ٗ ‫ٱّلل ِق ٰ َي ٗما َوقُع‬ ۡ
َ َّ ‫صلَ ٰو َة َفٲذ ُكرُ و ْا‬
َّ ‫ض ۡي ُت ُم ٱل‬ َ ‫َفإِ َذا َق‬
٣٠١ ‫ِين ِك ٰ َت ٗبا م َّۡوقُ ٗوتا‬
َ ‫صلَ ٰو َة َكا َن ۡت َعلَى ۡٱلم ُۡؤ ِمن‬ َّ ‫صلَ ٰو ۚۡ َة إِنَّ ٱل‬
َّ ‫َفأَقِيمُو ْا ٱل‬
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu
berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa
aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (an-Nisa‟: 103)
Penetapan waktu adalah pembatasan. Allah SWT telah menentukan waktu-waktu shalat.
Artinya, Allah SWT menentukan waktu-waktu shalat di sepanjang rentang waktu. Kaum
Muslimin telah berijma‟ bahwa shalat lima waktu itu memiliki waktu-waktunya yang
khusus dan terbatas, shalat tidak diterima jika dilakukan sebelum waktunya.
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a berkata, “shalat memiliki waktu-waktu yang
telah dipersyaratkan oleh Allah. Maka shalat tidak sah, melainkan dengan syarat itu.
Maka, shalat wajib dilakukan dengan tibanya waktu. Allah SWT berfirman dalam surah
al-Isra‟ ayat 78 yang berbunyi:

‫ان ۡٱل َف ۡج ِر‬


َ ‫ان ۡٱل َف ۡج ِر إِنَّ قُ ۡر َء‬ َّ ‫أَق ِِم ٱل‬
ِ ‫صلَ ٰو َة لِ ُدلُوكِ ٱل َّش ۡم‬
َ ‫س إِلَ ٰى َغ َس ِق ٱلَّ ۡي ِل َوقُ ۡر َء‬
٨٧ ‫ُودا‬ ٗ ‫ان َم ۡشه‬ َ ‫َك‬
Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat)”. (al-Isra‟: 78)
2. Suci dari hadas besar dan hadas kecil. Yang dimaksud dengan hadas besar ialah keadaan
diri seseorang tidak bersih dan baru dinyatakan bersih apabila ia telah mandi, yaitu
perempuan yang baru selesai haid dan nifas, laki-laki atau perempuan selesai bersetubuh,
keluar mani dan baru masuk Islam. Sedangkan hadas kecil ialah keadaan diri seseorang
dalam sifat tidak bersih dan baru menjadi bersih bila ia telah berwudhu‟ ketika: bangun
dari tidur, keluar sesuatu dari badan melalui dua jalan (keluar angin, kencing atau buang
air besar), dan lain-lain. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah r.a,
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a, beliau berkata, “Rasulullah SAW telah bersabda,
“Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian, apabila ia berhadats
(tidak mempunyai wudhu) sampai dia berwudhu”. (HR. Abu Daud)
3. Suci badan, pakaian dan tempat dari najis. Orang yang shalat harus bersih badannya,
pakaiannya dan tempat shalatnya dari najis. Yang disebut najis itu adalah setiap kotoran
seperti urine dan tinja dan segala sesuatu yang dilarang untuk konsumsi seperti: darah,
khamar dan lainnya. Kotoran yang melekat di badan atau pakaian atau tempat shalat
harus dibersihkan dengan air. Sebagaimana dalam firman Allah SWT,

٤ ‫ك َف َطه ِّۡر‬
َ ‫َو ِث َيا َب‬
Artinya: “Dan bersihkanlah pakaianmu.” (Al-Muddassir : 4)
Najis yang sedikit atau yang sukar memeliharanya (menjaganya), seperti: nanah bisul,
darah khitan dan darah berpantik yang ada di tempatnya diberi keringan untuk dibawa
shalat. Kaidah: “kesukaran itu membawa kemudahan”.
4. Menutup aurat. Aurat ditutup dengan sesuatu yang dapat menghalangi terlihatnya warna
kulit. Aurat laki-laki antara pusat sampai lutut, sedangkan aurat perempuan seluruh
badannya kecuali muka dan dua tapak tangan. Firman Allah SWT:

‫ٱش َربُو ْا َو ََل ُت ۡس ِرفُ ٓو ۚۡ ْا إِ َّن ُهۥ ََل‬


ۡ ‫۞ ٰ َي َبن ِٓي َءا َد َم ُخ ُذو ْا زي َن َت ُكمۡ عِ ندَ ُك ِّل َم ۡس ِجدٖ َو ُكلُو ْا َو‬
ِ
١٣ ‫ِين‬ َ ‫ُيحِبُّ ۡٱلم ُۡس ِرف‬
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orangorang yang berlebih-lebihan.”. (Al-A‟raf: 31)
Yang dimaksud dengan “pakaian” dalam ayat ini ialah pakaian untuk shalat. Jadi, tidak
sah shalatnya orang yang terbuka auratnya, sebab hiasan dalam pakaian ialah pakaian
yang menutupi aurat. Rasulullah SAW pernah ditanya tentang shalatnya wanita dengan
menggunakan baju besi dan kerudung tanpa kain luar, maka beliau bersabda, “jika baju
besi menutupi bagian luar kedua telapak kakinya, maka boleh”.
5. Menghadap kiblat (ka‟bah), sebab shalat tidak sah tanpa menghadap kiblat. Sebagaimana
Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 144.

‫ك َش ۡط َر‬ َ ‫ض ٰى َه ۚۡا َف َو ِّل َو ۡج َه‬


َ ‫ك ق ِۡب َل ٗة َت ۡر‬
َ ‫ك فِي ٱل َّس َمآ ِء َفلَ ُن َولِّ َي َّن‬َ ‫ب َو ۡج ِه‬ َ ُّ‫َق ۡد َن َر ٰى َت َقل‬
‫ب‬ َ ‫ِين أُو ُتو ْا ۡٱل ِك ٰ َت‬
َ ‫ث َما ُكن ُتمۡ َف َولُّو ْا وُ جُ و َه ُكمۡ َش ۡط َرهُۥۗ َوإِنَّ ٱلَّذ‬ ُ ‫ۡٱل َم ۡس ِج ِد ۡٱل َح َر ۚۡام َو َح ۡي‬
ِ
٣٤٤ ‫ون‬ َّ ‫ُون أَ َّن ُه ۡٱل َح ُّق مِن رَّ ب ِِّه ۡۗم َو َما‬
َ ُ‫ٱّللُ ِب ٰ َغف ٍِل َعمَّا َي ۡع َمل‬ َ ‫لَ َي ۡعلَم‬
Artinya: “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh
kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan
sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al Kitab (Taurat dan Injil)
memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. al-
Baqaarah: 144)
E. RUKUN SHOLAT
Sebelum menyebutkan rukun-rukun sholat, perlu kiranya dijelaskan tentang apa
arti dari “rukun” itu sendiri. Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqh al-Manhaji
„ala Madzhab al-Imâm al-Syâfi‟i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz I, hal. 129, menjelaskan
makna rukun sebagai berikut:
‫ فأجزاء الصالة إذا أركانها‬،‫ كالجدار من الغرفة‬،‫ ركن الشيء ما كان جزءاً أساسيا ً منه‬:‫معني الركن‬
‫ وال يتكامل وجود الصالة وال تتوفر صحتها إال بأن يتكامل فيها جميع‬.‫كالركوع والسجود ونحوهما‬
‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫أجزائها بالشكل والترتيب الواردين عن رسول هللا‬
“Makna rukun. Rukun sesuatu ialah bagian mendasar dari sesuatu tersebut, seperti
tembok bagi bangunan. Maka bagian-bagian shalat adalah rukun-rukunnya seperti ruku‟
dan sujud. Tidak akan sempurna keberadaan shalat dan tidak akan menjadi sah kecuali
apabila semua bagian shalat tertunaikan dengan bentuk dan urutan yang sesuai
sebagaimana telah dipraktekkan oleh Nabi SAW”
Secara singkat bisa kita artikan bahwa rukun shalat adalah bagian penyusun dari shalat
tersebut. Ada berbagai macam versi tentang berapa rukun shalat. Namun demikian,
perbedaan versi tersebut tidaklah bersifat substansial, namun hanya persoalan teknis belaka,
seperti mislanya ada ahli fiqih yang menyebutkan rukun thuma‟ninah (“tak bergerak
sejenak”) hanya sekali saja meskipun letaknya di berbagai tempat, dan ada yang
menyebutkannya secara terpisah-pisah. Juga ada di antaranya yang menyatakan bahwa niat
keluar dari shalat merupakan rukun, namun ada juga yang menyatakan bahwa hal tersebut
secara otomatis termaksudkan dalam rukun salam pertama. Di antara yang secara sangat
terperinci menyebutkan rukun-rukun shalat ialah penjelasan Imam Abu Suja‟ dalam Matan
al-Ghâyah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), hal. 9:
‫فصل" وأركان الصالة ثمانية عشر ركنا النية والقيام مع القدرة وتكبيرة اإلحرام وقراءة الفاتحة‬
‫وبسم هللا الرحمن الرحيم آية منها والركوع والطمأنينة فيه والرفع واعتدال والطمأنينة فيه والسجود‬
‫والطمأنينة فيه والجلوس بين السجدتين والطمأنينة فيه والجلوس األخير والتشهد فيه والصالة على‬
‫النبي صلى هللا عليه وسلم فيه والتسليمة األولى ونية الخروج من الصالة وترتيب األركان على ما‬
‫ذكرناه‬
“Pasal, Rukun-rukun shalat ada 18, yakni: 1. Niat 2. Berdiri bagi yang mampu 3.
Takbiratul ihrâm, 4. Membaca surat al-Fatihah; dimana Bismillâhirrahmânirrahîm
merupakan bagian ayatnya 5. Ruku‟, 6. Thuma‟ninah 7. Bangun dari ruku‟ dan I‟tidal 8.
Thuma‟ninah, 9. Sujud 10. Thuma‟ninah 11. Duduk diantara dua sujud 12. Thuma‟ninah
13. Duduk untuk tasyahhud akhir 14. Membaca tasyahhud akhir 15. Membaca shalawat
pada Nabi SAW saat tasyahhud akhir 16. Salam pertama 17. Niat keluar dari shalat 18.
Tertib; yakni mengurutkan rukun-rukun sesuai apa yang telah dituturkan.”
Demikian penjelasan tentang Sholat bagian I, insyaAllah nanti kita sambung lagi
pada pertemuan berikutnya. semoga kita senantiasa bisa istiqamah melaksanakan shalat
sesuai apa yang telah ditauladankan oleh Nabi Muhammad SAW, dan dilaksanakan tepat
waktu. Lebih-lebih di bulan suci ramadhan ini semoga kita senantiasa dilimpahkan taufiq
dan hidayah oleh Allah sehingga kita bisa mengisi bulan suci ini dengan berbagai macem
ibadah, salah satunya ibadah sholat tarawih dan sholat yang lainnya. Amiin. Dan Jika ada
yang belum dimengerti dan difahami dari pemaparan materi di atas, silahkan disampaikan
langsung kepada guru pendamping, baik melalui googleclassrom maupun pesan whatsap,
trimakasih. Wallahu a‟lam bi shawab.

Referensi
1. Abu Abdillah Muhammad bin Qasim bin Muhammad Al-Ghazi ibn Al-Gharabili, Fathul
Qarib Al-Mujib Bab sholat
2. Syaikh Zainuddin bin „Abdul „Aziz bin Zainuddin bin „Ali Al Malibari Al Fannani Asy
Syafi‟i, dalam kitab fathul muin
3. https://islam.nu.or.id/post/read/82651/makna-dan-hikmah-shalat

Anda mungkin juga menyukai