Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-
Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini dengan judul makalah
tentang shalat. Telah menjadi tekad saya sejak awal untuk menyelesaikan makalah ini dengan
sebaik-baiknya. Oleh karena itu, saya mengerjakan makalah ini dengan sungguh-sungguh dan
memberikan berbagai informasi tentang maraton dan atletik yang saya ambil dari berbagai
sumber.

Makalah ini berjudul makalah tentang shalat di dalamnya membahas tentang shalat.
Sebagai makhluk yang lemah dan tak sempurna, saya mengharapkan kritik dan saran demi
kemajuan makalah ini. Saya mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dan kekurangan
dalam menyelesaikan makalah ini.

Bandung 14 februari 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata Shalat secara Etimologis, berarti do’a. Adapun shalat secara Terminologis, adalah
seperangkat perkataan dan perbuatan yang dilakukan dengan beberapa syarat tertentu.,
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Pengertian Shalat ini mencakup segala bentuk salat yang diawali dengan takbirt al-ihram dan
diakhi dengan salam. Digunakan kata shalat untuk ibadah ini, tidak jauh berbeda
dengan pengertian Etimologisnya. Sebab, di dalam shalat terkandung do’a-do’a berupa
permohonan, minta ampun, dan sebagainya.
Adapun yang menjadi landasan kefarduan shalat, diantaranya surat Al-baqarah ayat 45 dan
ayat 100: “ .. dirikanlah Shalat dan tunaikanlah zakat..’’ ; “ dan memohonlah pertolongan
dengan sabar dan shalat..”
Kewajiban Shalat dilandasi juga oleh Hadits Nabi yang secara Eksplisit, menyatakan bahwa
shalat termasuk rukun Islam.
‫ شها دة أن ال أله أ ال هللا و أن محمدا رسو ل هللا و أ قا م ا لصال ة و أيتا ء ا لزكاة وا لحج و صو‬: ‫بني السال م على خمس‬
‫م رمضا ن‬

“ Islam dibangun diatas lima dasar ( rukun ) ; syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
dan Muhammad utusan Allah, mendirikan Shalat, menunaikan zakat, haji ke Bait Allah, dan
puasa Ramadhan. ’’
Dalam Islam, Shalat menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadah lainnya.
Selain termasuk rukun islam, yang berarti tiang Agama, Shalat juga termasuk Ibadah yang
pertama diwajibkan Allah kepada Nabi Muhammad ketika Mi’raj.
Disamping itu, Shalat memiliki tujuan yang tidak terhingga. Tujuan Hakiki dari Shalat,
sebagaimana dikatakan Al-jaziri, adalah tanda hati dalam rangka mengagungkan Allah
sebagai pencipta. Disamping itu Shalat juga merupakan bukti takwa Manusia kepada
Khaliknya. Dalam salah satu ayat-Nya menyatakan bahwa Shalat bertujuan menjauhkan
orang dari keji dan munkar. (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 23-24)
Banyak hadits yang menyatakan tentang Hakikat shalat, misalnya: ”Sesungguhnya shalat itu
adalah tiang Agama. Barangsiapa menegakkannya, berarti Dia menegakkan Agama, dan
barangsiapa meninggalkannya, berarti dia merobohkannya”. Akan tetapi,hakikat shalat
bukan hanya tindakan dan ucapan tertentu, tetapi juga harus disertai dengan kesadaran hati.
(Shalat dalam Persfektif Sufi. 2002: 77)
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat di ambil rumusan masalah, yaitu sekitar Pembahasan
mengenai Macam-macam dari Shalat.
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya Makalah ini adalah selain untuk
memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata Kuliah Bahasa Indonesia, juga untuk
memaparkan Materi mengenai Macam-macam dari Shalat.

BAB II
PEMBAHASAN

Macam-Macam Shalat
1. Shalat Fardu (Shalat Lima Waktu)
Shalat yang yang diwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa dan berakal adalah lima kali
dalam sehari semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib shalat itu adalah pada malam Isra,
setahun sebelum tahun hijriyah.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang jumlah bilangan shalat yang
difardukan. Jumhur Ulama, termasuk Malik dan Syafi’i, berpendapat Bahwa jumlah shalat
yang wajib hanya lima, sebagai mana yang disebutkan dalam hadist tentang mi’raj, yaitu :
subuh, duhur, ashar, maghrib, dan isya. Disamping hadist mi’raj, terdapat hadist lain yang
meriwayatkan seorang arabiy datang kepada Nabi dan bertanya tentang islam. Beliau
bersabda : “ lima shalat sehar semalam ”. ketika orang itu bertanya lagi : “apakah ada yang
wajib bagiku selain itu ?” Nabi menjawab : ” tidak ada, kecuali engkau ber-tathawu.”
Namun, abu Hanifah dan para pengikutnya menganggap shalat witir termasuk shalat wajib,
sehingga bilangan shalat fardu ada enam. Ia melandasi pendapatnya dari hadist Nabi,
diantaranya berasal dari syu’aib, yang menyatakan bahwa nabi bersabda :
“Allah telah menambahkan sebuah shalat bagi kamu yaitu witir. Oleh kareana itu , hendaklah
kamu memeliharanya.”
Disamping itu, ada hadist dari Buraidah Al-Islamiy yang mengatakan bahwa Rasulullah
bersabda :
“shalat witir itu hak (benar) maka barang siapa tidak melakukannya, dia bukan dari (umat)
kami.”
a. Waktu-waktu Shalat
Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 103: “sesungguhnya shalat itu merupakan
kewajiban yang di tentukan waktunya bagi orang-orang beriman.”
Ketetapan hukum islam yang diperoleh dari nash al qur’an dan sunnah yag qath’i dan sharih
adalah bersifat universal dan fix, dan nerlaku berlaku untuk seluruh umat mansia sepanjang
masa. Namm, sesuai dengan asas-asas hukum islam yang fleksibel. Praktis, dan tidak
menyulitkan dalam batas jangkauan kemampan manusia sejalan dengan kemaslahatan umm
dan kemajuan zaman, dan sesuai pula dengan rasa keadilan, maka ketentuan waktu shalat
berdasarkan al qur’an surat al-isra ayaat 78 dan al-baqorah ayat 187 tidak berlaku untuk
seluruh daerah bumi, melainkan hanya berlaku di zone bumi yang noramal, yang perbedaan
waktu siang dan malamnya relatif kecil, yakni di daerah-daerah khatulistiwa (ekuator) dan
tropis (daerah khatulistiwa sampai garis paralel 45o dari garis lintang utara dan selatan).
Lebih dari tiga perlima bumi yang dihuni manusia termasuk di daerah yang normal, ialah
selruh Afrika, Timur tengah, India, Pakistan, Cina, Asean, Australia, dan seluruh Amerika
(Kecuali Canada dan sedikit daerah selatan dari Argentina- Chili), dan Oceania. Maka waktu
Shalat bagi masyarakat Islam yang tinggal di daerah-daerah normal tersebut adalah waktu
setempat ( local time) berdasarkan waktu terbit dan tenggelam matahari di daerah-daerah
yang bersangkutan yang perbedaan waktunya sekitar satu menit setiap jarak 15 mil.
Adapun waktu shalat bagi masyarakat islam yang tinggal diluar daerah khatulistiwa dan
tropis yakni di daerah-daerah diluar garis paralel 45o dari garis litang utara dan selatan yang
abnormal itu, karena perbedaan siang dan malamnya terlalu besar terutama di daerah sekitar
kutub yang 6 bulan dalam keadaan siang terus menerus dan 6 bulan berikutnya dalam
keadaan malam, adalah mengikuti waktu shalat di daerah normal yang terdekat yakni pada
garis paralel 45o dari garis lintang utara dan selatan.
Karena itu bagi masyarakat islam yang tinggal misalnya di negeri Belanda, Inggris, dan
negara-negara Skandivania mengikuti waktu shalatnya dengan waktu bordeaux (Prancis
bagian selatan), yang terletak di garis paralel 45o dari garis lintang utara. Demikian pula bagi
masyarakat Islam yang tinggal di Amerika Utara mengikuti waktu shalat dengan waktu
Halifax atau Portland (Canada).
Adapun dalil syar’i yang memberikan dispensasi (hukum rukhsah, istilah Fiqh) bagi
masyarakat Islam yang tinggal di daerah-daerah yang abnormal untuk mengikuti waktu shalat
dari daerah normal yang terdekat, antara lain menurut surat Al-baqarah ayat 286:
‫وسعها‬ ‫أال‬ ‫نفسا‬ ‫هللا‬ ‫يكلف‬ ‫ال‬
“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Masail
Fiqhiyyah. 1993: 274-275)
Adapun waktu bagi masing-masing shalat yang 5 waktu tersebut (Fiqih Islam. 2001: 61-
62) adalah sebagai beikut:

1. Shalat Dzuhur. Awal waktunya adalah setelah tergelincir matahari dari pertengaahan
langit. Akhir waktunya apabila bayang-bayang sesuatu telah sama dengan panjangnya
selain dari bayang-bayang ketika matahari menonggak (tepat diatas ubun-ubun).
2. Shalat Ashar. Waktunya dimulai dari habisnya waktu dzuhur; bayang-bayang sesuatu
lebih dari pada panjangnya selain dari bayang-bayang ketika matahari sedang
menonggak, sampai terbenam matahari.
3. Shalat Maghrib. Waktunya dari terbenam matahari sampai terbenam syafaq (mega)
merah.
4. Shalat Isya. Waktinya mulai dari terbenamnya syafaq merah (sehabis waktu maghrib)
sampai terbit fajar kedua
5. Shalat Shubuh. Waktunya mulai dari terbit fajar kedua sampai terbit matahari.
b. Syarat wajib shalat 5 waktu

1. Islam
2. Suci dari haid (Kotoran dan nifas)
3. Berakal
4. Baligh
5. Telah sampai dakwah (perintah rasul kepadanya)
6. Melihat atau Mendengar
7. erjaga (tidak tidur dan tidak lupa)

c.Syarat Sah Shalat

1. Suci dari hadats besar dan hadats kecil


2. Suci badan, pakaian, dan tempat dari najis
3. Menutup aurat
4. Mengetahui masuknya waktu shalat
5. Menghadap ke kiblat (ka’bah)

d. Rukun Shalat

1. Niat
2. Berdiri bagi yang mamapu
3. Takbiratul ihram
4. Membaca surat Fatihah
5. Ruku serta tuma’ninah
6. I’tidal serta tuma’ninah
7. Sujud dua kali dengan tuma’ninah
8. Duduk diantara dua sujud dengan tuma’ninah
9. Duduk akhir
10. Membaca Tasyahd akhir
11. Membaca Shalawat atas Nabi Muhammad
12. Memberi salam yang pertama (kanan)
13. Menertibkan rukun

e. Hal-hal yang membatalkan Shalat


1) Meninggalkan salah satu rukun
2) Meninggalkan salah satu syarat
3) Sengaja berbicara
4) Banyak bergerak
5) Makan dan minum

f. Niat dalam shalat


Shalat (Fiqih Niat. 2006: 260) merupakan ibadah yang tidak bisa di nalar dan para Ulama
telah menyepakati atas kewajiban ibadah ini.
Tidak sedikit Ulama yang mengatakan secara ijma’ tentang kewajiban niat dalam shalat.
Mereka tidak membedakan antara shalat fardhu dengan shalat lainnya., bahkan niat di
wajibkan dalam sujud tilawah dan sujud syukur karena kedua sujud tersebut merupakan suatu
ibadah.
Ada yang berpendapat bahwa shalat berbeda bentuknya dengan amalan biasa dan ibadah lain,
lalu kenapa juga harus memakai niat?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah niat dalam shalat bukanlah untuk membedakan shalat
dengan kebiasaan atau ibadah yang lain, namun untuk membedakan jenis shalat antara shalat
fardhu dan shalat tidak fardhu.
Imam syafi’i mengatakan bahwa Allah mewajibkan shalat, ada shalat fardhu dan ada shalat
tidak fardhu, Allah berfirman,
“ dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah
tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”(al-
Israa’: 79)

Niat berfungsi untuk membedakan jenis shalat dan tingkatan shalat tersebut, sehingga shalat
dngan memakai niatlah yang di terima olah Allah.
2. Shalat Sunnah
Selain shalat fardhu, ada juga yang di namakan dengan shalat sunnah yang diatur tersendiri,
baik waktu maupun pelaksanaannya. Dikatakan orang, bahwa hikmah adanya ajaran shalat
sunnah sehabis shalat fardhu itu adalah agar menjadi penambah shalat fardhu yang mungkin
kurang tanpa di sengaja seperti kurang adabnya dan shalat sunnah sebelum shalat fardhu agar
lebih konsentrasi dalam memasuki shalat fardhu itu dengan hati yang lapang mengerjakannya
dan siap menghadapinya.
Sengaja di syariatkan shalat sunnat juga ialah untuk menambal kekurangan yang mungkin
terdapat pada shalat-shalat fardhu, juga karena shalat itu mengandung keutamaan yang tidak
terdapat pada ibadah-ibadah lain.
Dari Abu Hurairah r.a. diceritakan bahwa Nabi SAW bersabda, yang artinya:
“sesungguhnya yang pertama-tama akan di hisab dari amal perbuatan manusia pada hari
kiamat atu ialah shalat. Tuhan berfirman kepada Malaikat, sedangkan Ia adalah Maha Lebih
Mengetahui: “periksalah shalat hamba-Ku, cukupkah atau rangkah?” maka jiakalau terdapat
cukup, dicatatlah cukup. Tetapi jikalau terdapat kekerangan, tuhan berfirman pula;
“periksalah lagi, apakah hambah-Ku itu mempunyai amalan shalat sunnah ? Jikalau terdapat
ada shalat sunahnya, lalu tuhan berfirman lagi: ‘ cukupkanlah kekurangan shalat fard
hambahku itu dengan shalat sunnahnya” selanjutnya diperhitungkanlah amal pebuatan itu
menurut cara demikian”.

Macam-macam Shalat Sunnah:

A Shalat ‘Idain
Shalat ‘idain (Shalat dua hari Raya) termasuk sunah muakadah yang disyari’atkan
berdasarkan al qur’an, as-sunnah, dan ijma’. Dalil al-Qur’an dapat dijumpai dalam Q.S Al
Kautsar ayat 2 yang artinya:” maka dirikanlah shalat, karena tuhanmu; dan berkorbanlah.”
shalat dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai perintah shalat idul adha namun, perintah itu
tidak menunjukan wajib, sebab ada hadist riwayat bukhori dan muslim bahwa seseorang
(‘arabiy) setelah mendapatkan penjelasan tentang kewajiban shalat fardu, bertanya kepada
Nabi : “apakah masih ada shalat yang wajib atasku selain itu ?” beliau menjawab : “tidak,
kecuali bila engkau hendak melakukan tatthawu.” (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001:
48)
Hadits Nabi Saw.:
‫قا ل رسو ل هللا صلى هللا عليه و سلم أ لفطر يوم يفطر ا لنا س و االضحى يوم‬: ‫عن عا ئشة رضي ا هلل عنها قا لت‬
( ‫يضحى ا لناس ) روه ا لتر مذي‬

Artinya: Dari Aisyah r.a. dia berkata: Rasulullah Saw. Bersabda : Fithri itu ialah hari orang-
orang berbuka puasa dan Adha itu ialah hari orang-orang berqurban. (H.R.At Turmudziy)
Dalam Hadits tersebut terkandung dalil bahwa yang perlu di perhatikan dalam penetapan
hari raya itu ialah kesepakatan orang banyak dan orang yang hanya sendirian mengetahui
Hari raya dengan melihat Bulan, harus atasnya di cocokkan dengan oranglain dan dia harus
mengikuti keputusan orang banyak dalam penentuan shalat Hari raya, berbuka dan
berkurban. (Terjemahan Subulus salam. 1991: 259)
Pelaksanaan shalat ‘Idain (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 48) ini, menrut
kesepakan ulama, dituntut secara berjama’ah. Abu Hanifah dan ulama lainnya mengatakan
tuntutan melakukan shalat ‘id hanya ditunjukan kepada orang yang bertempat tinggal di kota.
Namun, menurut Syafi’i, tuntutan itu berlaku secara luas, meliputi orang musafir, perempuan
dan budak bahkan orang yang sedirian. Waktu shalat ‘id itu sejak matahari sampai kepada
waktu zawal, dan sebaiknya dilaksanakan setelah matahari naik setinggi tombak.

B. Shalat Istisqa
Shalat istisqa (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 49) dilakukan dalam rangka memohon
turunnya hujan. Ulama sepakat, bila kebutuhan akan air menjadi sulit karena lama tidak turun
hujan, disunahkan melakukan istisqa, pergi keluar kota, berdo’a, memohon agar Allah
menurunkan hujan. Mayoritas mereka memasukan shalat sebagai istisqa dari upacara istisqa
itu, namun Abu Hanifah tidak memandang demikian.
Hukum shalat Istisqa adalah sunnah muakkad, yaitu apabila shalat itu dilaksanakan ketika
membutuhkan air, dengan tata cara- tata caranya. ( Fiqih empat Madzhab. 1994: 318)
Dalam kitab “al hudan nabawiy” telah dihitung macam-macam cara nabi saw, melakukan
minta hujan itu.
Pertama : keluarnya Nabi saw. menuju tempat shalatnya dan khutbahnya sambil memohon.
Kedua : beliau meminta hujan itu pada hari jum’at di atas mimbar sewaktu tengah
khutbahnya.
Ketiga : beliau berdo’a minta hujan di atas mimbar di madinah, dengan do’a minta hujan saja
bukan pada hari jum’at tanpa melakukan shalat meminta hujan.
Keempat : bahwa beliau meminta hujan sewaktu beliau duduk dalam mesjid, beliau
mengangkat tangannya sambil berdo’a kepada Allah SWT.
Kelima : bahwa nabi saw. Pernah berdo’a minta hujan itu dengan duduk pada batu licin dekat
zaura (nama tempat yang menjadi pasar pada masa utsman) yaitu suatu tempat di luar pintu
mesjid
Keenam : beliau pernah berdo’a minta hujan pada suatu peperangan, karena sumber mata air
sudah dahulu dikuasai oleh kafir musyrik (musuhnya). Lalu mulai saat itu juga pada daerah
yang dikuasai Nabi saw. diturunkan hujan. (Terjemahan Subulus salam. 1991: 316)
C. Shalat Tahiyat masjid
Orang yang masuk masjid disunatkan melakukan salat dua raka’at, sebelum duduk, sebagai
penghormatan (tahiyat) masjid, sesuai hadits Nabi:” jika seseorang diantara kamu datang ke
masjid, maka hendaklah ia melakukan shalat dua raka’at.’’ Tatapi, jika ia masuk ketika shalat
jama’ah akan dimulai, ia tidak di tuntut lagi melakukannya. Lagipula, penghormatan terhadap
masjid itu telah tercapai dengan melekukan shalat wajib tersebut.
Jika seseorang masuk ke masjid pada hari jum’at ketika Imam sedang menyampaikan
khotbah, hendaklah ia melakukan shalat tahiyatul masjid dengan ringkas. Dalam suatu
riwayat dikatakan:” apabila seseorang diantara kamu datang ketika Imam sedang berkhotbah,
maka hendaklah ia shalat dua raka’at, dan hendaklah ia melakukannya dengan ringkas.”
(Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 50)
Sabda Rasulullah Saw:
‫ رواه البخارى‬. ‫عن أ بى قتادة قال رسول هللا صلى ا هلل عليه و سلم أذا دخل أحدكم ا لمسجد فال يجلس حتى يصلى ركعين‬
‫و مسلم‬

Dari Abu Qatadah, “Rasulullah Saw. Berkata, ‘Apabila salah seorang diantara kamu masuk
ke mesjid, maka janganlah duduk sebelum shalat dua rakaat dahulu’.“ (Riwayat Bukhari dan
Muslim) dalam (Fiqih Islam. 2001: 146)
D. Shalat Dhuha
Shalat Dhuha ialah shalat sunnat dua rakaat atau lebih. Sebanyak-banyaknya dua belas rakaat.
Shalat ini dikerjakan ketika waktu dhuha, yaitu waktu matahari naik setinggi tombak yaitu
kira-kira pukul 8 atau pukul 9 sampai tergelincir matahari.
Dari Abu Hurairah, Ia berkata,”Kekasihku (Rasulullah saw.) telah berpesan kepadaku tiga
macam pesan: (1) Puasa tiga hari setiap bulan, (2) Shalat Dhuha dua rakaat, dan (3) Shalat
Witir sebelum tidur.” (Riwayat Bukhari dan Muslim) dalam (Fiqh Islam. 2001: 147)
Shalat Dhuha hukumnya Sunnat menurut pendapat tiga Imam Madzhab. Malikiyyah
menyangkal pendapat itu. Mereka berpendapat bahwa shalat Dhuha itu hukumnya mandub
muakkad, bukan sunnat. Adapun waktunya adalah sejak matahari menyingsing sebatas
ketinggian satu tombak hingga tergelincir (zawal). Yang lebih utama hendaknya ia memulai
shalat itu setelah seperempat siang. Batas minimal shalat dhuha adalah dua rakaat.
Sedangkan maksimalnya 8 rakaat. Apabila Ia menambah jummlah rakaatnya lebih dari batas
itu karena sengaja dan tahu dengan berniat shalat dhuha, maka selebihnya dari 8 rakaat itu
tidak sah. Sedangkan apabila hal tersebut ia lakukan karena lupa dan tidak tahu, maka
menurut Syafi’iyah dan Hanabillah ia sah sebagai shalat nafilah mutlak.(Fiqih empat
Madzhab. 1994: 269)
E. Shalat Tahajud
Shalat sunnah tahajud utama dilakukan pada waktu malam setelah tidur terlebih dahulu.
Keutamaan ini terkait dengan beratnya melakukan shalat setelah tidur dan juga terkait dengan
pelaksanaannya pada saat manusia sedang tidur dan lalai mengingat Allah. Waktu yang
terbaik baginya pada akhir malam sesuai dengan ayat 17-18 dari Surat Al-dzariyyat.” Mereka
sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir malam-malam mereka memohon (kepada
Allah).”
Bila malam dibagi tiga, maka sepertiga bagian setelah tengah malam merupakan waktu
terbaik. Sebagaimana diriwayatlkan Umar bahwa shalat yang paling disukai Allah adalah
shalat Nabi Daud. Ia tidur sepuluh malam, kemudin bangkit berdiri (shalat) sepertiganya, dan
tidur lagi seperenamnya. (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 49)
Sabda Rasulluh Saw.:
.‫عن أ بي هريرة لما سئل ا لنبى صلى ا هلل عليه و سلم أ ى ا لصالة افضل بعد ا لمكتوبة ؟ قا ل ا لصالة فى جوف ا لليل‬
‫روه مسلم و غيره‬

Dari Abu Hurairah, tatkala Nabi Saw. Ditanya orang,’ Apakah shalat yang lebih utama selain
dari shalat fardhu yang lima?’ Jawab Beliau,” Shalat pada waktu tengah malam.” (Riwayat
Muslim dan lainnya) dalam ( Fiqih islam. 2001: 148)

F. Shalat Rawatib

Shalat Sunnah Rawatib ialah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat
fardhu. Seluruh shalat sunnah rawatib ini ada 22 raka’at, yaitu:
a) 2 raka’at sebelum shalat shubuh (sebelum shalat shubuh tidak ada sunnah ba’diyah)
b) 2 raka’at sebelum shalat zhuhur, 2 atau 4 ra’kaat sesudah shalat dzuhur)
c) 2 raka’at atau 4 raka’at sebelum shalat ashar (sesudah shalat ashar tidak ada sunnah
ba’diyah)
d) 2 raka’at sesudah shalat maghrib
e) 2 raka’at sebelum shalat isya
f) 2 raka’at sesudah shalat isya
Di antara shalat-shalat tersebut ada yang di namakan “sunnah muakkad” artinya sunnah
yang sangat kuat, yaitu:
a) 2 raka’at sebelum shalat dzuhur, dengan niatnya:
‫كبر‬ ‫أ‬ ‫هلل‬ ‫ا‬ . ‫تعلى‬ ‫هلل‬ ‫قبلية‬ ‫ركعتين‬ ‫لظهر‬ ‫ا‬ ‫سنة‬ ‫صلى‬ ‫أ‬
Artinya:
“ aku niat shalat sunnah sebelum dzuhur dua raka’at karena Allah Ta’ala. Allahu akbar.”
b) 2 raka’at sesudah dzuhur
c) 2 raka’at sebelum ashar
d) 2 raka’at sesudah maghrib
e) 2 raka’at sebelum isya
f) 2 raka’at sesudah isya
Shalat-shalat tersebut, yang dikerjakan sebelum shalat fardhu dinamakan
“Qabliyyah”, dan yang dikerjakan sesudah shalat fardhu dinamakan “Ba’diyyah”.
Ketentuan-ketetuan shalat Rawatib:
a) Niatnya menurut macam shalatnya
b) Tidak dengan adzan dan iqamah
c) Dikerjakan tidak dengan berjama’ah
d) Bacaannya tidak dinyaringkan
e) Jika lebih dari dua raka’at, tiap-tiap dua raka’at satu salam
f) Diutamakan sebaiknya tempat mengerjakan pindah bergeser sedikit dari tempat shalat
fardhu yang baru dikerjakan. (Risalah Tuntunan shalat lengkap. 2011: 80-83)

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata Shalat secara Etimologis, berarti do’a. Adapun shalat secara Terminologis, adalah
seperangkat perkataan dan perbuatan yang dilakukan dengan beberapa syarat tertentu,
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Shalat yang yang diwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa dan berakal adalah lima kali
dalam sehari semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib shalat itu adalah pada malam Isra,
setahun sebelum tahun hijriyah.
Selain shalat fardhu, ada juga yang di namakan dengan shalat sunnah yang diatur tersendiri,
baik waktu maupun pelaksanaannya. Dikatakan orang, bahwa hikmah adanya ajaran shalat
sunnah sehabis shalat fardhu itu adalah agar menjadi penambah shalat fardhu yang mungkin
kurang tanpa di sengaja seperti kurang adabnya dan shalat sunnah sebelum shalat fardhu agar
lebih konsentrasi dalam memasuki shalat fardhu itu dengan hati yang lapang mengerjakannya
dan siap menghadapinya.
Macam-macam dari shalat sunnah itu sendiri adalah diantaranya shalat Jama’ah, shalat
’Idain, shalat Istisqa, shalat Tahiyatul masjid, shalat Dhuha, shalat Tahajud, shalat Jum’at,
shalat Rawatib.
B. Saran
Saya hanyalah seorang manusia biasa yang tidak pernah sirna dari kekhilafan, karena
kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Karena dalam pembuatan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, maka selayaknya saya mengharapkan kritik ataupun saran yang
membangun kepada para Pembaca agar saya bisa memperbaiki dalam pembuatan makalah
selanjutnya supaya bisa menjadi lebih baik di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziri, Abdurrahman. 1994. Fiqih Empat Madzhab. Jakarta: Darul Ulum Press.
Asyqar, U. Sulaiman. 2006. Fiqih Niat. Jakarta: Gema Insani.
Asyur, A. Isa. 1995. Fiqih Islam Praktis Bab: Ibadah. Solo: Pustaka Mantiq.
Gymnastiar, Abdullah, dkk. 2002. Salat dalam Persfektif Sufi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Jauziyah I. Qayyim. 2003. Rahasia Dibalik Shalat. Jakarta: Pustaka Azam.
Muhammad, A. Bakar. 1991. Terjemahan Subulussalam II. Surabaya: Al-Ikhlas.
Rifa’i, Muhammad. 2001. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha
Putra.
Sabiq, Sayyid. 1993. Fiqih Sunnah jilid 2. Bandung: Al-Ma’arif.
Tafsir, Ahmad. 2001. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. Remaja. Rosdakarya.
Zuhdi, M. Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyyah. Jakarta: CV. Haji Masagung.
http://sahabattmoeslim.blogspot.co.id/2016/05/doa-sholat-hajat.html
SHALAT MEMILIKI SEKIAN BANYAK KEUTAMAAN, DI ANTARANYA:

1. Dengan shalat, Allâh akan meninggikan derajat dan menghapuskan kesalahan

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Tsaubân Radhiyallahu anhu :

ً‫ع ْنكَ ِبهَا َخ ِط ْيئَة‬


َ ‫س ُج ُد ِلِلِ إِ ََّل َرفَعَكَ هللاُ ِبهَا د ََرجَةً َو َح َّط‬
ْ َ ‫ َف ِإنَّكَ ََل ت‬، ِ‫س ُج ْو ِد ِلِل‬
ُّ ‫علَ ْيكَ ِب َكثْ َر ِة ال‬
َ .

“Engkau harus memperbanyak sujud (shalat).Sesungguhnya engkau tidak bersujud sekali saja
kepada Allâh, kecuali dengan sujud itu Allâh akan mengangkatmu satu derajat dan
menghapuskan satu kesalahan darimu.”[1]

2. Shalat menjadi salah satu sebab masuk Surga sekaligus menjadi teman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami Radhiyallahu anhu , ia bercerita, “Aku pernah bermalam
bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudhu’ dan
keperluan Beliau. Beliau pun bersabda kepadaku, ‘Mintalah!’ Maka saya katakan, ‘Aku
minta agar aku bisa menemanimu di surga.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Adakah yang lain selain itu?’ Aku menjawab, ‘Hanya itu saja.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

ُّ ‫سكَ بِ َكثْ َر ِة ال‬


‫س ُج ْو ِد‬ َ ‫فَأ َ ِعنِِّ ْي‬.
ِ ‫ع َل ٰى نَ ْف‬

Bantulah aku untuk mengabulkan permintaanmu dengan banyak bersujud.[2]

3. Berjalan menuju masjid akan dicatat baginya kebaikan-kebaikan, ditinggikan


beberapa derajat, dan dihapuskan kesalahan-kesalahan

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ً‫ض هللاِ كَانَتْ َخ ْط َوتَاهُ إِحْ دَا ُه َما تَـ ُح ُّط َخ ِط ْيئَة‬ َ َ‫ت هللاِ ِليَ ْق ِض َي فَ ِر ْيض ًَة ِم ْن ف‬
ِ ِ‫ـرائ‬ ٍ ‫ـي بَ ْيتِ ِه ث ُ َّم َمشَى إِلَى َب ْي‬
ِ ‫ت ِم ْن بُيُ ْو‬ ْ ِ‫َم ْن ت َ َطه ََّر ف‬
ً‫ َو ْاْل ُ ْخ َرى تَ ْرفَ ُع د ََرجَة‬.

Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian berangkat ke rumah Allâh (ke masjid) untuk
menunaikan salah satu kewajiban yang diperintahkan Allâh maka salah satu dari tiap-tiap
dua langkahnya akan menghapuskan kesalahan dan yang lainnya akan meninggikan
derajat.[3]

4. Akan disediakan jamuan di surga setiap kali seorang Muslim berangkat ke


masjid untuk shalat

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫غدَا أَ ْو َرا َح‬ َ َ ‫س ِج ِد أ َ ْو َرا َح أ‬


َ ‫ع َّد هللاُ لَهُ فِـي ا ْلـ َجنَّ ِة نُ ُز ًَل ُكلَّ َما‬ ْ ‫غدَا إِلَى ا ْل َم‬
َ ‫ َم ْن‬.

Barangsiapa berangkat ke masjid pada pagi atau sore hari, maka Allâh akan menyediakan
baginya jamuan di Surga, setiap kali datang pada pagi atau sore hari.[4]
5. Pahala orang yang berangkat menunaikan shalat sama seperti pahala orang
yang berhaji dengan ihram

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِّ َ‫… َم ْن َخ َر َج ِم ْن بَ ْيتِ ِه ُمت َ َط ِه ًِّرا إِلَى ص َََل ٍة َم ْكت ُْوبَ ٍة ؛ فَأَجْ ُرهُ َكأَجْ ِر ا ْلـح‬
‫اجِ ا ْل ُمحْ ِر ِم‬

Barangsiapa keluar dari rumahnya dalam keadaan suci untuk mengerjakan shalat wajib
maka pahalanya adalah seperti pahala orang yang menunaikan ibadah haji dengan ihram[5]

6. Barangsiapa berangkat ke masjid, lalu ia mendapati orang-orang telah selesai


mengerjakan shalat berjama’ah, maka baginya pahala orang yang mengerjakan
shalat berjama’ah

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫أَ ْع َطاهُ هللا‬، ‫صلَّ ْوا‬ َ ‫سنَ ُوض ُْو َءهُ ث ُ َّم َرا َح فَ َو َج َد ال َّن‬
َ ‫اس قَ ْد‬ َّ ‫ َم ْن ت َ َو‬ ‫ص ٰذ ِلكَ ِم ْن‬
َ ْ‫ضأ َ فَأَح‬ ُ ُ‫ ََل يَ ْنق‬، ‫ِمثْ َل أَجْ ِر َم ْن ص َََّل َها َو َحض ََر َها‬
َ ‫أَجْ ِر ِه ْم‬.
‫ش ْيئًا‬

Barangsiapa wudhu’ lalu membaguskan wudhu’-nya.Kemudian menuju masjid tapi ia dapati


orang-orang telah shalat, maka Allâh Azza wa Jalla memberinya pahala orang yang shalat
dan menghadirinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.”[6]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan shalat. Semoga
Allâh memberikan taufiq kepada kita agar dapat mengerjakan shalat dengan sebaik-baiknya
dan mendapatkan keutamaannya.[7]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647,
081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Shahih: HR. Muslim (no. 488 (225)).

[2] Shahih: HR. Muslim (no. 489).

[3] Shahih: HR. Muslim (no. 666) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.

[4] Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 662) dan Muslim (no. 669) dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu

[5] Hasan: HR. Abu Dawud (no. 558) dari Abu Umâmah Radhiyallahu anha. Dihasankan
oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (no. 320).

[6] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 564) dan an-Nasa-i (II/111). Lihat Takhrîj Hidâyatur
Ruwât (II/15, no. 1103) dan Shahîh Sunan Abi Dawud (III/ 99, no. 573).

[7] Dinukil dari Shalâtul Mu’min (I/135-139) dengan diringkas, karya Syaikh DR. Sa’id bin
‘Ali bin Wahf al-Qahthani‫حفظه هللا تعالى‬.
Sumber: https://almanhaj.or.id/5605-keutamaankeutamaan-shalat.html

Ada beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallaahu alaihi wasallam yang
merupakan peringatan bagi orang yang meninggalkan shalat dan mengakhirkannya dari
waktu yang semes-tinya, diantaranya:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturut-kan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kerugian.” (Maryam:
59)

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya.”
(Al-Ma’un: 4-5)

3. Sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam: “(Yang menghilangkan pembatas)


antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan
shalat.” (HR. Muslim)
4. Sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:

“Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafik) adalah shalat, barangsiapa
meninggalkannya maka sesungguhnya ia telah kafir.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan An-
Nasai, hadits shahih)

5. Pada suatu hari, Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam

berbicara tentang shalat, sabda beliau:

“Barangsiapa menjaga shalatnya maka shalat tersebut akan menjadi cahaya, bukti dan
keselamatan baginya pada hari Kiamat nanti. Dan barangsiapa tidak men-jaga shalatnya,
maka dia tidak akan memiliki cahaya, tidak pula bukti serta tidak akan selamat. Kemudian
pada hari Kiamat nanti dia akan

(dikumpulkan) ber-sama-sama dengan Qarun, Fir’aun, Haman dan Ubay Ibnu


Khalaf.” (HR. Ahmad, At-Thabrani dan Ibnu Hibban, hadits shahih)

Hal Yang Makruh Dalam Shalat


1. Melirik atau menoleh (Al-Iltafat) tanpa keperluan tertentu dalam shalat.

ْ ‫ ه َهو‬: ‫صالَ ِة ؟ فَقَال‬


ٌ َ‫اختِال‬
‫س‬ ِ ‫سلَ َم ع َْن ا ِال ْلتِفَا‬
َ ‫ت فِي ال‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َ ‫صلَى‬
َ ‫ّللاه‬ َ ‫سأ َ ْلته النَ ِب َي‬
َ : ْ‫ع ْنهَا قَا َلت‬ َ ‫عن عَائِشَةَ َر ِض َي‬
َ ‫ّللاه تَعَالَى‬
)‫صال ِة العَ ْب ِد (رواه البخاري‬ ْ َ َ
َ ‫ش ْيطانه ِم ْن‬
َ ‫سهه ال‬ ْ
‫يَخت َ ِل ه‬

berdasarkan hadits ‘Aisyah ra: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang menoleh dalam
shalat.”. Beliau bersabda: “Itu adalah pencurian yang dilakukan setan dari shalat seorang
hamba.”( HR Bukhari).

2. Mengangkat pandangan, baik ke arah langit atau kemanapun, merupakan salah satu dari
pada perbuatan makruh dalam shalat.

‫اء فِي‬
ِ ‫س َم‬ َ ‫ َما َبا هل أ َ ْق َو ٍام يَ ْرفَعهونَ أَ ْبص‬: ‫سلَ َم قَا َل‬
َ ‫َار هه ْم إِلَى ال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫صلَى اللَهم‬ َ ‫ع ْنهه أَنَ النَبِ َي‬ َ َ‫عَنَ أَن‬
َ ‫س ْبنَ َمالِكٍ َر ِض َي هللاه‬
) ‫ار هه ْم (رواه البخاري‬ ‫ص ه‬ َ ‫الص ََال ِة لَيَ ْنتَ ههنَ ع َْن ذَ ِلكَ أ َ ْو لَت ْهخ َط َفنَ أ َ ْب‬

Dari Anas ra: Rasulullah saw bersabda: “Apa yang membuat orang-orang itu mengangkat
penglihatan mereka ke langit dalam shalat mereka? Hendak-lah mereka berhenti dari hal itu
atau (kalau tidak), niscaya akan tersambar penglihatan mereka.” (HR Bukhari)

3. Sholat dengan tangan di pinggang. Yaitu seseorang sholat dengan bertolak pinggang.

َ ‫سلَ َم نَهَى ع َِن ا ْل َخص ِْر فِي ال‬


)‫صالَ ِة (رواه الشيخان‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ص َلى‬
َ ‫ّللاه‬ َ ِ‫ّللا‬ ‫ع ْنهه أَنَ َر ه‬
َ ‫سو َل‬ َ ‫ع َْن أ َ ِبي ه َهري َْرةَ َر ِض َي هللاه‬

Dari Abi Hurairah Ra, ia berkata : Rasulullah saw melarang seseorang sholat dengan
meletakan tangannya pada perutnya (bertolak pinggang). ( HR Bukhari Muslim )

4. Mengusap rambut yang terurai atau melipatkan lengan baju yang terulur tanpa sebab. Hal
juga merupakan perbuatan makruh dalam shalat.

‫شعرهه و‬
َ ‫هف‬
َ ‫أن يَك‬ ٍ ‫س ْبعَ ِة أَ َرا‬
ْ ‫ب َونَهَي‬ َ ‫علَى‬
َ ‫س هج َد‬ ْ ‫س َل َم أَ َم َر‬
ْ َ‫أن ي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫صلَى‬
َ ‫ّللاه‬ َ ِ‫ّللا‬ ‫ع ْن هه َما أَنَ َر ه‬
َ ‫سو َل‬ َ ‫اس َر ِض َي هللاه‬
ٍ َ‫عب‬
َ ‫ع َِن اب ِْن‬
)‫ثوبَهه (رواه الشيخان‬

Dari Ibnu Abbas: “Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan dan tidak
boleh menaikkan rambut (yang terulur) atau melipat baju.” (HR Bukhari Muslim)

5. Shalat sambil menahan buang air kecil atau besar, atau menahan kentut. Hal ini bisa
mengganggu ketenangan hati dalam shalat.

6. Shalat di depan hidangan makanan. Hal ini juga termasuk perbuatan makruh dalam shalat,
Jika memungkinkan baginya untuk mendahulukan makan kemudian melaksanakan shalat, itu
akan lebih baik, namun jika tidak memungkinkan karena sempitnya waktu, maka hal itu
termasuk udzur baginya.

ِ َ‫ض َر ِة َط َعام َو الَ ه َهو يهدَافِعههه األَ ْخبَث‬


‫ان‬ َ َ‫ ال‬: ‫سلَ َم قَا َل‬
ْ ‫صالَةَ ِب َح‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫صلَى‬
َ ‫ّللاه‬ َ ِ‫ّللا‬ ‫ع ْنهَا أَنَ َر ه‬
َ ‫سو َل‬ َ ‫عن عَائِشَةَ َر ِض َي‬
َ ‫ّللاه ت َ َعالَى‬
)‫(رواه مسلم‬

Dari Aisyah ras Rasulullah saw bersabda: “Janganlah shalat dekat dengan hidangan makanan
dan janganlah shalat sambil menahan keluarnya sesuatu dari dua jalan (buang air kecil dan
besar). (HR Muslim)
Iklan

Waktu terlarang untuk shalat ada lima:

 Dari shalat Shubuh hingga terbit matahari terbit.


 Dari matahari terbit hingga matahari meninggi (kira-kira 15 menit setelah matahari terbit).
 Ketika matahari di atas kepala tidak condong ke timur atau ke barat hingga matahari
tergelincir ke barat.
 Dari shalat Ashar hingga mulai tenggelam.
 Dari matahari mulai tenggelam hingga tenggelam sempurna. (Lihat Minhah Al-‘Allam fii
Syarh Bulugh Al-Maram, 2: 205)

Dari kesimpulan Imam Nawawi di atas, waktu terlarang untuk shalat hanya berlaku untuk
shalat sunnah mutlak yang tidak punya sebab, sedangkan yang punya sebab masih
dibolehkan.

Sumber : https://rumaysho.com/15797-lima-waktu-terlarang-shalat.html

WAKTU YANG DILARANG SHALAT

Ustadz saya igin bertanya tentang waktu- waktu yang diharamkan untuk
mengerjakan shalat, akapan saja itu ? Dan apakah semua shalat secara mutlak terlarang ?

Jawaban

Para ulama menyebutkan ada beberapa waktu yang terlarang mengerjakan shalat di
dalamnya, waktu- waktu tersebut adalah :

1. Setelah shalat shubuh hingga matahari agak meninggi.

Setelah waktu shubuh tidak ada shalat sunnah sampai waktu yang dibolehkan, yakni
setelah matahari terbit dan agak meninggi. Tingginya matahari sebagaimana di sebutkan di
dalam hadits adalah setinggi satu tombak atau dua tombak. Kalau dikira-kira dengan
waktu, tingginya matahari yang sudah membolehkan dikerjakannnya shalat adalah 10
menit setelah terbit.

2. Ketika matahari Terbit


Yakni waktu ketika secara kasat mata matahari terlihat sedang proses terbit di ufuk timur .

3. Ketika Matahari tepat berada diatas (istiwa)

Waktu ini adalah ketika matahari posisinya sedang tepat berada di atas langit atau di
tengah- cakrawala.

4. Setelah waktu Ashar sampai Matahari terbenam

Tidak ada shalat sunnah setelah dikerjakannya shalat Ashar. Shalat disini adalah shalat
Asharnya seseorang yang ia kerjakan, bukan shalat Ashar yang dikerjakan berjama’ah di
masjid.

5. Ketika matahari terbenam.

Waktu ini adalah ketika langit di sore hari menguning hingga matahari sempurna terbenam,
yakni masuknya waktu maghrib

Keterangan

Sebenarnya 5 waktu terlarangnya mengerjakan shalat yang telah disebutkan diatas, bisa
dikatakan 3 waktu saja. Karena nomor 2 tercakup oleh nomor 1 dan nomor 5 tercakup oleh
nomor 4. Sehingga dalam kitab-kitab fiqih kebanyakannya menyebutkan bahwa waktu
yang dilarang untuk shalat itu ada tiga waktu.1[1]

Dalil-dalilnya

Penetapan terlarangnya dikerjakan shalat pada waktu-waktu tersebut berdasarkan


dalil dalil hadits berikut ini :

َ‫صالَةِ بَ ْعد‬ َ ‫سلَّ َم َن َهى‬


َّ ‫ع ِن ال‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َوآ ِل ِه َو‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫ أ َ َّن النَب‬، ُ‫ع ْنه‬
َ ُ‫ي هللا‬ َ ‫ض‬ َ ‫ع ْن أَبِي‬
ِ ‫هري َْرة َ َر‬ َ
‫س‬ُ ‫ش ْم‬ ْ َ ‫صبْحِ َحتَّى ت‬
َّ ‫طـلُ َع ال‬ ُّ ‫س َو َب ْعدَ ال‬ َّ ‫ب ال‬
ُ ‫ش ْم‬ َ ‫ص ِر َحتَّى ت َ ْغ ُر‬
ْ ‫ال َع‬
Dari Abu Hurairah , sesungguhnya Nabi shalallahu’alaihi wassalam melarang shalat setelah
ashar sampai matahari tenggelam dan setelah shalat subuh sampai terbit matahari. (HR.
Muslim)

‫ي‬ َ ‫ص ِله‬
َ ُ‫َّللا َي ْن َهانَا أ َ ْن ن‬ ُ ‫ت َكانَ َر‬
ِ ‫سو ُل ه‬ ٍ ‫عا‬ َ ‫سا‬
َ ‫ث‬ ُ َ‫ ثَال‬: ‫ع ْنهُ قَا َل‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ام ٍر َر‬ ِ ‫ع‬ َ ‫ع ْقبَةَ اب ِْن‬ ُ ‫ع ْن‬ َ
‫ير ِة‬ َّ ‫ َو ِحينَ َيقُو ُم قَا ِئ ُم‬.‫ازغَة َحتَّى ت َ ْرت َ ِف َع‬
َ ‫الظ ِه‬ ِ ‫س َب‬ ُ ‫ش ْم‬ ْ َ ‫ ِحينَ ت‬:‫ِفي ِه َّن أَ ْو أ َ ْن نَ ْقب َُر ِفي ِه َّن َم ْوتَانَا‬
َّ ‫طلُ ُع ال‬
َ ‫ب َحتَّى ت َ ْغ ُر‬
‫ب‬ ِ ‫س ِل ْلغُ ُرو‬ َّ ‫هف ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ُ ‫ َو ِحينَ تضي‬.‫س‬ ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫َحتَّى ت َ ِمي َل ال‬
‘Uqbah bin ‘Amir berkata : “Ada tiga waktu di mana Nabi shalallahu’alaihi wassalam
melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan
jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah
hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat)

[1] Ibnu Abidin (1/246), al Mughni (1/753), Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (71/180).
sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-
benar tenggelam.” (HR. Muslim)

Hukumnya

Hukum mengerjakan shalat pada waktu-waktu tersebut adalah makruh, bukan haram.
Berkata al Imam An Nawawi rahimahullah, “Umat sepakat tentang dibencinya shalat yang dikerjakan
tanpa sebab pada waktu-waktu terlarang tersebut.”2[2]

Shalat apa saja yang dilarang ?

Menurut kalangan ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah seluruh shalat sunnah mutlak terlarang
dikerjakan kecuali dua rakaat thawaf. Mereka berdalil dengan keumuman larangan yang disebutkan
dalam hadits-hadits diatas.

Sedangkan kalangan mazhab Syafi’iyyah dan mazhab Hanabilah berpendapat bahwa yang
dilarang adalah shalat-shalat sunnah yang dikerjakan tanpa sebab. Adapun yang memiliki sebab
seperti shalat tahiyatul masjid bagi orang yang masuk masjid, shalat sunnah dua rakaat setelah
wudhu, qadha shalat, gerhana dan semisalnya itu dibolehkan.3[3]

Dalil pendapat ini adalah hadits –hadits berikut ini :

َ ُ‫صالَة فَ ْلي‬
‫ص ِهل ِإذَا ذَ َك َرهَا الَ َكفَّ َرة َ لَ َها ِإالَّ ذ ِل َك‬ َ ‫َم ْن نَس‬
َ ‫ِى‬
“Barangsiapa lupa terhadap suatu shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ingat. Tidak ada kaffarat
baginya kecuali (shalat) itu.” (Mutafaqqun ‘alaih)

َ ‫ص ِله‬
.‫ي َر ْك َعتَي ِْن‬ ْ ‫ِإذَا دَ َخ َل أ َ َحدُ ُك ُم ْال َمس ِْجدَ فَالَ َي ْج ِل‬
َ ُ‫س َحتَّى ي‬
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk hingga shalat dua
raka’at.”(Mutafaqqun ‘alaih)

Demikian, Wallahu a’lam.

[3] Bidayatul Mujtahid (1/350).


[2] Al Minhaj (6/351), Fathul Bari (2/78), Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (71/180).

Anda mungkin juga menyukai