Anda di halaman 1dari 9

Nama : dr.

I Gusti Ngurah Agung Aditya Prayoga


NIM : 1871021004
Prodi : Ilmu Bedah

Topik Essay:
Menjadi Dokter Spesialis di Era BPJS

Dokter Spesialis merupakan dokter yang mengkhususkan diri dalam suatu bidang ilmu
kedokteran tertentu dimana dokter tersebut harus menjalani pendidikan profesi paska sarjana
atau spesialisasi. Pendidikan ini merupakan program pendidikan lanjut dari program
pendidikan dokter umum dan dokter gigi.

Lamanya program pendidikan spesialis berbeda-beda tergantung pada jenis pendidikan


spesialis yang diambil. Rata-rata dokter umum menamatkan program pendidikan spesialisnya
membutuhkan waktu antara 4 hingga 5 tahun. Total biaya yang dibutuhkan juga tidak sedikit,
berkisar sampai ratusan juta hingga milyaran rupiah. Selain biaya yang sangat mahal, dokter
umum yang menempuh program pendidikan spesialis tertentu juga ada yang tidak
diperbolehkan bekerja selama proses pendidikan berlangsung. Alasan yang dikemukakan
umumnya agar dokter tersebut dapat lebih berkonsentrasi pada program pendidikan.

Jika dokter umum lebih menjalani peran penting sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan
promotif dan pencegahan (preventif) penyakit, maka dokter spesialis lebih berperan dalam
pelayanan kuratif. Pelayanan kuratif disini dapat diartikan sebagai suatu kegiatan dan atau
serangkaian kegiatan pengobatan yang bertujuan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan
penderitaan akibat suatu penyakit, serta pengendalian kecacatan agar kualitas hidup penderita
dapat terjaga seoptimal mungkin.

Saat ini Indonesia memiliki sistem jaminan kesehatan nasional yang diselenggarakan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS Kesehatan secara resmi beroperasi sejak
tanggal 1 Januari 2014, sebagai transformasi dari PT Askes (Persero). Sebetulnya sejak tahun
2004 pemerintah sudah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan kemudian tahun 2011 pemerintah menetapkan Undang-
Undang nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta
menunjuk PT Askes (Persero) sebagai penyelenggara program jaminan sosial di bidang
kesehatan, sehingga PT Askes (Persero) bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan.

Negara hadir dalam memberikan jaminan dan pelayanan kesehatan melalui Program Jaminan
Kesehatan Nasional dan Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) untuk memastikan seluruh
penduduk Indonesia terlindungi oleh jaminan kesehatan yang adil, merata serta komprehensif.
Harapannya tentu adalah peningkatan kualitas kesehatan setiap penduduk Indonesia, namun
demikian sayangnya masih banyak kekurangan BPJS dalam penyelenggaraan jaminan
kesehatan yang tentunya masih memerlukan banyak evaluasi dan penyesuaian ke depannya.

Pada awal munculnya BPJS Kesehatan, sebagian masyarakat tentu ada yang apatis tetapi ada
juga yang menyambut baik. BPJS Kesehatan dianggap sebagai representasi negara ditengah-
tengah masyarakat yang membutuhkan jaminan kesehatan, sementara sisanya menganggap
BPJS Kesehatan merupakan program pemerintah yang mubazir dan celah korupsi yang baru.
Bagaimanapun BJPS Kesehatan tampaknya sama saja dengan asuransi kesehatan swasta
lainnya dengan kebijakan-kebijakan yang mereka tentukan sendiri.

Tentunya tidaklah salah jika BPJS Kesehatan sebagai badan penyelenggara kesehatan
menentukan sendiri kebijakan-kebijakan yang mereka gunakan. Sayangnya kebijakan tersebut
tidaklah diketahui oleh pihak masyarakat sebagai pengguna JKN dan institusi kesehatan
sebagai perpanjangan tangan BPJS Kesehatan. Misalnya saja, masyarakat pengguna JKN
sering beradu pendapat dengan tenaga medis di fasilitas kesehatan, karena kurangnya informasi
masyarakat tentang alur pelayanan JKN.

BPJS Kesehatan menggunakan alur rujukan berjenjang. Setiap peserta BPJS yang
membutuhkan pelayanan kesehatan harus menuju ke fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti
dokter umum atau puskesmas. Setiap peserta memiliki satu fasilitas kesehatan tingkat pertama
yang dituju sesuai ketentuan. Namun apabila dalam kondisi gawat darurat, peserta BPJS
Kesehatan boleh menuju Instalasi Gawat Darurat (IGD) di fasilitas kesehatan mana saja.

Di fasilitas kesehatan tingkat pertama tentunya tidak semua jenis penyakit bisa ditangani.
Untuk penyakit yang berat dan kronis yang memerlukan penanganan spesialistik, maka akan
di rujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut yaitu rumah sakit untuk bertemu dengan dokter
spesialis dan melanjutkan rencana pengobatan.
Untuk alur berjenjang seperti ini saja, banyak peserta BPJS Kesehatan yang tidak mengetahui
secara benar sehingga menimbulkan perbedaan persepsi antara masyarakat dengan petugas
kesehatan. Tak jarang adu pendapat sering terjadi di area rumah sakit. Misalnya peserta BPJS
yang ingin langsung bertemu spesialis tetapi tidak membawa kartu atau surat rujukan dari
fasilitas tingkat pertama.

Penyakit kronis sendiri merupakan penyakit yang memerlukan rencana pengobatan jangka
panjang, contohnya diabetes mellitus, gagal ginjal, atau penyakit jantung. Jenis-jenis penyakit
seperti tentunya memerlukan penanganan oleh dokter spesialis. Penderita juga perlu untuk
menjalani kontrol secara teratur sesuai yang telah dijadwalkan oleh dokter. Sistem rujukan
berjenjang memang baik untuk menyaring jenis-jenis penyakit, sehingga fasilitas kesehatan
tingkat lanjut hanya perlu menangani penyakit kronis atau penyakit dengan komplikasi. Namun
di sisi lain, kondisi ini membuat rumah sakit terutama yang bertipe A harus melayani banyak
pasien yang tentunya menambah beban kerja dokter spesialis.

Rumah sakit tipe A merupakan rumah sakit yang mendapat tanggungan per penyakit paling
tinggi dibandingkan rumah sakit dengan tipe dibawahnya, yaitu tipe B, C dan D. Sistem
pertarifan per paket sesuai jenis penyakit seperti ini disebut dengan sistem Indonesia Case-
Based Group (INA-CBGs). Sistem ini sudah menghitung layanan kesehatan yang diterima
sesuai jenis penyakit sampai pasien dinyatakan sembuh.

Sistem seperti ini tak jarang menyulitkan dokter spesialis untuk melakukan pelayanan
kesehatan sesuai keilmuan dan kompetensinya. Apabila dokter spesialis tersebut bekerja di
rumah sakit selain tipe A, maka besaran tanggungan penyakit yang ditanggung tentunya lebih
kecil. Kondisi ini membuat dokter spesialis membuat penghematan dalam memberikan
pelayanan kesehatan. Biasanya ada beberapa cara yang sering dilakukan agar penyakit pasien
bisa ditangani sesuai besaran tanggungan paket penyakitnya, misalnya dengan menghemat
pemeriksaan penunjang, penggunaan obat generik, penghematan penggunaan alat medis, dan
berbagai cara lainnya.

Kondisi seperti ini tentunya beresiko membuat dokter spesialis melakukan penanganan medis
di bawah standar keilmuan dan kompetensinya sehingga justru membahayakan kondisi pasien.
Dokter spesialis di rumah sakit di bawah tipe A juga cenderung akan merujuk pasien dengan
komplikasi ke rumah sakit tipe A dengan alasan tanggungannya lebih besar. Pasien yang
mendapat penanganan penyakit lebih besar dari besaran tanggungan penyakit yang seharusnya
diterima akan membebani keuangan rumah sakit. Resiko ini membuat dokter spesialis
cenderung menghindari menangani pasien dengan komplikasi di rumah sakit yang bukan tipe
A. Akibatnya tentu sudah bisa ditebak, rumah sakit tipe A kewalahan menangani jumlah pasien
yang terus membludak.

Setelah berjalan beberapa lama, kondisi ini mulai berubah. Rumah sakit tipe B dan tipe C mulai
‘terbiasa’ melayani pasien BPJS Kesehatan. Rumah sakit bisa melakukan pengklaiman dengan
baik dan mendapat keuntungan. Pengguna BPJS Kesehatan juga semakin banyak yang
berperan dalam menambah volume kunjungan pasien.

Sistem rujukan berjenjang dengan beberapa perubahan kebijakan dari pihak BPJS Kesehatan
baru-baru ini, membuat pasien kesulitan. Fasilitas tingkat pertama diharuskan merujuk pasien
ke rumah sakit tipe C. Sebelumnya, fasilitas tingkat pertama boleh merujuk pasien ke rumah
sakit tipe B atau tipe C. Fasilitas kesehatan tingkat pertama umumnya akan merekomendasikan
rumah sakit yang terdekat atau memilih rumah sakit rujukan berdasarkan pertimbangan
ketersediaan dokter spesialis.

Sekarang fasilitas tingkat pertama harus merujuk pasien ke rumah sakit tipe C terlebih dahulu,
sehingga pada beberapa pasien kondisi seperti memberatkan dari sisi waktu dan jarak tempuh,
misalnya jarak antara rumah dengan rumah sakit yang jauh. Kebijakan seperti ini memang tidak
terlalu berpengaruh kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama, namun pada rumah sakit tipe B
yang nyari memiliki fasilitas yang sama dengan rumah sakit tipe C. Rumah sakit tipe B
mengalami penurunan jumlah pasien yang berimbas pada penurunan pendapatan rumah sakit.

Masalah klaim yang sulit dan lama juga menjadi permasalahan yang dihadapi. Rumah sakit
yang telah selesai menangani pasiennya akan mengajukan klaim kepada BPJS Kesehatan.
Selama ini petugas kesehatan rumah sakit sering mengeluhkan pengajuan klaim yang sulit dan
waktu pembayaran yang lama. BPJS Kesehatan pun berkilah bahwa pembayaran telah
dilakukan sesuai diagnosis penyakit berdasarkan resume medis dan laporan yang diterima
pihak BPJS Kesehatan. Adapun masalah pembayaran klaim yang lama mungkin memang
berkaitan dengan keadaan finansial ditubuh BPJS Kesehatan itu sendiri.
Pada awal ditetapkannya JKN dengan BPJS Kesehatan, rumah sakit yang tidak bisa beradaptasi
dengan kebijakan BPJS banyak yang gulung tikar. Kondisi ini disebabkan oleh terpuruknya
keuangan rumah sakit sebagai imbas dari tidak dibayarnya klaim BPJS. Kondisi ini tentunya
sangat menyedihkan, dimana program pemerintah sendiri justru menghancurkan rumah sakit
terutama rumah sakit swasta. Tampaknya hal ini karena kurangnya promosi kebijakan yang
dibuat oleh BPJS, sehingga banyak rumah sakit yang tidak bisa melakukan pengklaiman.

Masalah dalam pengklaiman dana BPJS menjadi masalah pelik yang dihadapi oleh rumah sakit.
Rumah sakit tentu bergantung kepada pembiayaan pasien sebagai penunjang finansialnya.
Semakin banyak pengguna BPJS yang tidak terbayarkan klaimnya, membuat rumah sakit
berpotensi mengalami kerugian. Kondisi seperti ini bahkan membuat beberapa rumah sakit
mengalami kerugian bahkan ada yang sampai berhenti beroperasi.

Rumah sakit tentu mengatur strategi agar klaimnya dapat terbayarkan. Strategi tersebut antara
lain dengan cara melakukan pelatihan-pelatihan kepada dokter untuk mengisi rekam medis
dengan benar atau dengan memperkerjakan staff khusus dalam pengkodingan diagnosis agar
diterima oleh BPJS Kesehatan. Untuk dokter sendiri, rumah sakit betul-betul menekankan pada
diagnosis. Dokter harus memperhatikan betul-betul diagnosis yang ditulis di rekam medis
pasien, agar sesuai dengan besaran tanggungannya nanti sesuai dengan besar biaya yang telah
dikeluarkan dalam mengobati pasien. Salah sedikit saja, klaim bisa tidak dibayarkan oleh BPJS
Kesehatan, atau besaran tanggungan yang jumlahnya kurang. Syukur-syukur besaran
tanggungan melebihi jumlah biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit. Setidaknya ada
keuntungan yang diperoleh rumah sakit. Namun alih-alih untung, klaim dibayar tepat waktu
saja sudah bersyukur.

Dokter spesialis juga menghadapi tantangan yang tidak kalah berat ketika bekerja melayani
pasien dengan tanggungan BPJS. Pasien yang berobat di rumah sakit di bawah tipe A memiliki
tanggungan yang lebih rendah. Biaya perawatan dan pengobatan pasien diusahakan agar
seefektif mungkin. Kesulitan muncul saat biaya menjadi masalah yang juga hasur dihadapi oleh
dokter spesialis ketika melakukan pengobatan. Biaya pemeriksaan dan pegobatan yang
melebihi tanggungan klaim pasien menjadi momok. Dokter spesialis harus mempertimbangkan
betul pemeriksaan penunjang apa saja yang diperlukan serta pengobatan apa saja yang betul-
betul diperlukan. Yang menjadi masalah saat dokter spesialis terpaksa mengurangi
pemeriksaan dan pengobatan yang sebetulnya diperlukan, karena besarnya biaya pengobatan
pasien yang melebihi bsarnya tanggungan.

Dokter spesialis pun harus memutar otak agar penggunaan biaya lebih efisien namun tujuan
pengobatan dapat tercapai. Cara tersebut antara lain memilah pemeriksaan penunjang yang
betul-betul diperlukan, penggunaan obat generik, penggunaan alat kesehatan yang lebih
terjangkau, lama rawat inap yang sesuai target, dan tentunya penulisan diagnosis yang lengkap
dan sesuai.

Pemilahan pemeriksaan penunjang disatu sisi memang bermanfaat untuk menekan angka biaya
pengobatan pasien, namun disisi lain bisa menjadi pisau bermata dua, yang justru akhirnya
malah membahayakan pasien. Dokter spesialis yang takut melakukan pemeriksaan penunjang
karena memikirkan biaya tanggungan pasien, sehingga tidak melakukan pemeriksaan
penunjang yang sebetulnya diperlukan, dapat membahayakan kondisi pasien. Diagnosis
penyakit lain yang seharusnya bisa segera ditegakkan malah terlewatkan.

Dokter spesialis yang familiar menggunakan obat dengan brand tertentu terpaksa
menggunakan obat generik untuk menekan biaya pengobatan pasien. Tidak bisa dipungkiri
bahwa kenyataannya obat yang ber-merk lebih efektif dibandingkan dengan obat generik,
walaupun kandungannya sama. Obat ber-merk cenderung lebih mahal karena ditambah
kandungan pendukungnya, biaya distribusi dan biaya promosi. Namun saat ini beberapa obat
ber-merk yang masuk ke rumah sakit melampirkan harga sesuai E-Catalog yang lebih murah
karena dijual dengan harga satuan terkecil.

Rumah sakit juga pada praktiknya menggunakan alat kesehatan yang berbeda untuk pasien
pengguna BPJS Kesehatan dan pasien umum. Walaupun jenis alat kesehatan yang digunakan
sama namun merk yang digunakan berbeda. Para petugas kesehatan pun banyak yang mengaku
ada perbedaan antar keduanya. Alat kesehatan yang digunakan untuk pasien pengguna BPJS
Kesehatan harganya cenderung lebih terjangkau, namun kualitasnya juga tidak sebaik alat
kesehatan yang digunakan untuk pasien umum.

Setiap diagnosis penyakit tertentu, rumah sakit atau dokter menetapkan lamanya rawat inap.
Pasien yang di rawat inap sudah mendapat jatah lamanya rawat inap sesuai diagnosisnya.
Lamanya rawat inap disini tampaknya hanya mempertimbangkan aspek klinis saja, padahal
indikasi sosial juga cukup sering menjadi alasan pasien di rawat di rumah sakit. Apabila
ternyata pasien membutuhkan perawatan yang lebih lama di rumah sakit, dokter spesialis harus
menuliskan diagnosis baru yang menjadi alasan bertambahnya lama rawat inap pasien.

Terakhir yaitu dengan penulisan diagnosis penyakit yang benar dan detail. Diagnosis yang
lengkap akan menambah severity atau tingkat keparahan penyakit pasien dan tanggungan klaim
semakin sesuai. Diagnosis yang dibuat adalah diagnosis klinis, diagnosis laboratorium, dan
diagnosis kerja. Semua diagnosis ditulis selengkap-lengkapnya. Rekam medis dan dokumen-
dokumen lain dilengkapi agar proses klaim bisa lancar. Perputaran uang rumah sakit lebih cepat
sehingga mengantisipasi kerugian yang dialami oleh rumah sakit.

Dalam era BPJS saat ini tentunya pemerintah masih terus berupaya agar derajat kesehatan
meningkat. Promosi kesehatan dan deteksi dini penyakit yang menjadi ujung tombak pelayanan
fasilitas kesehatan tingkat satu seperti puskesmas, harus dimaksimalkan. Pemerintah dan pihak
BPJS Kesehatan tampaknya harus memberikan proporsi biaya yang lebih kepada fasilitas
kesehatan tingkat pertama agar bisa lebih melakukan kegiatan promosi kesehatan serta
mendeteksi penyakit secara dini, sehingga aspek preventif bisa berjalan maksimal.

Diantara tantangan yang dihadapi dokter spesialis di rumah sakit, ada berita mengenai kecilnya
tarif seorang dokter spesialis dalam merawat pasien pengguna BPJS Kesehatan. Hal ini tak
jarang menjadi keluhan oleh dokter dari dokter itu sendiri, dimana kecilnya tariff tidaklah
sebanding dengan kualitas pelayanan yang diberikan. Walaupun tarifnya kecil, pihak BPJS
Kesehatan seolah tidak peduli. Masyarakat pun tetap menuntut pelayanan professional dari
dokter tanpa tahu kecilnya tarif dokter.

Organisasi dokter yaitu Ikatan Dokter Indonesia sudah pernah memprotes kondisi ini. Namun
tindak lanjutnya sampai mana, juga tidak ada yang mengetahui secara pasti. Yang jelas rumah
sakit tetap jalan terus dan dokter tetap bekerja untuk melayani. Ditengah protesnya dokter
masih harus tetap melakukan kewajibannya dalam melayani pasien yang membutuhkan. Tidak
diketahui secara pasti alasan kecilnya tarif dokter, apakah karena profesi dokter yang
dipandang sebagai profesi yang mulia sehingga tidak etis rasanya jika dokter dibayar lebih
tinggi?. Entahlah. Namun yang pasti akan sangat tidak etis juga jika seorang dokter menolak
pasiennya karena pasiennya pengguna BPJS Kesehatan.
Kenyataannya menjadi dokter spesialis di era BJPS Kesehatan tetap gampang-gampang susah.
Pihak manajemen rumah sakit dan dokter biasanya akan bekerja sama dengan baik agar sama-
sama bisa bertahan hidup ditengah kebijakan-kebijakan BPJS Kesehatan. Karena mau tidak
mau, suka tidak suka, pada akhirnya mereka harus mengikuti kebjiakan dan aturan main yang
ditetapkan oleh pihak BPJS Kesehatan. Kerjasama antara rumah sakit dan dokter yang terjalin
baik, umumnya akan menghasilkan suatu upaya dalam menghadapi kebijakan BPJS,
memudahkan pengklaiman, namun tetap melakukan upaya pengobatan yang optimal. Asalkan
tidak fraud dan mengikuti aturan yang berlaku, rumah sakit dan dokter masih bisa menikmati
keuntungan yang seharusnya menjadi hak mereka.

Pada akhirnya, era BPJS Kesehatan yang berawal dari keterpaksaan menjadi suatu keharusan.
Setiap elemen bangsa ini harus berperan aktif dalam meningkatkan taraf kesehatan. Masyarakat
di negara ini harus terjamin kesehatannya dari sejak dalam kandungan hingga kematian datang.
Yang menjamin adalah negara dan pemerintah, terutama bagi masyarakat yang kurang mampu.
Masyarakat juga turut serta menyukseskan program Jaminan Kesehatan Nasional dengan
menjadi peserta BPJS Kesehatan yang teratur membayar iuran.

Pihak BPJS juga sebaiknya terus bekerja secara professional, memperbaiki diri dengan
melakukan audit internal, peninjuan ke lapangan, agar mengetahui dengan sebenar-benarnya
kebutuhan masyarakat dan fasilitas kesehatan. Dengan ini diharapkan BPJS Kesehatan dapat
memberikan kebijakan yang baik untuk masyarakat sebagai peserta BPJS dan pasien, serta para
tenaga kesehatan yang bekerja melayani pasien. Karena masyarakat dan tenaga kesehatan juga
sama-sama menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang dilindungi hak dan kewajibannya.

Dokter spesialis yang bekerja di rumah sakit diharapkan tetap bekerja melayani pasien dengan
baik, tanpa membedakan pasiennya apakah pasien umum atau pasien BPJS Kesehatan.
Koordinasi yang baik antara rumah sakit yang menerima pasien dan dokter spesialis yang
bekerja melayani harus tetap dijaga, agar bersama-sama dapat bertahan di era BPJS. Di era
seperti ini, keuntungan tidaklah semata-mata menjadi prioritas utama dalam melakukan
pelayanan kesehatan, tapi melayani masyarakat yang membutuhkanlah yang utama. Hal ini
harusnya dipahami betul oleh pihak rumah sakit dan dokter. Rumah sakit tetap mengjinkan
dokter melakukan pelayanan sesuai fasilitas dan kompetensinya, namun juga mampu
mencegah kerugian yang akan dialami oleh rumah sakit. Koordinasi dan fleksibilitas keduanya
dalam melayani pasien di era BPJS merupakan salah satu solusi dalam menjaga eksistensi
rumah sakit dan profesionalisme dokter.

Denpasar, September 2018

Anda mungkin juga menyukai