NIM : 1819720028
ANGKATAN : XXIV
3. Biaya berobat dalam pelayanan kesehatan sangat menyerap biaya pemerintah maupun anggaran
keluarga, Apa solusi anda terhadap masalah ini ?
Jawab :
Solusi yang diambil terhadap biaya berobat dalam pelayanan kesehatan sangat menyerap
biaya pemerintah maupun anggaran keluarga adalah usaha pencegaha sebelum terjadinya
sakit (prefentif) dengan cara hidup sehat dan usaha ikut asuransi kesehatan yang mencakup
biaya rawat jalan, dan rawat inap seperti BPJS.
4. Program kesehatan apa saja yang perlu mendapatkan prioritas pendanaan oleh pemerintah
daerah? Jelaskan !
Jawab :
1. Menurunkan angka kematian ibu dan anak,
Ada beberapa cara menurunkan angka kematian ibu dan anak sbb:
1. Tenaga kesehatan diperbanyak di daerah terpencil yang memang jangkauan
pelayanannya masih dirasa kurang.
Di pulau Jawa, kata Anung, masih dirasa kurang untuk beberapa hal tertentu. "Karena
memang, yang hamil di pulau Jawa ini sangat banyak. Lebih banyak dibandingkan
daerah-daerah lain," kata Anung menjelaskan.
2. Melengkapi sarana dan prasarana yang ada di fasilitas kesehatan. Baik fasilitas
kesehatan dasar atau rujukan.
3. Obat akan disediakan dalam satu kesatuan dengan sistem layanan kesehatan.
Jika sebelumnya obat untuk para ibu yang mengalami preeklampsia masih sedikit,
sekarang tidak hanya jumlah obat yang diperbanyak, tenaga kesehatan juga akan dilatih.
4. Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kehamilan.
Anang sendiri selalu mengatakan bahwa jangan jadikan kehamilan sebagai akibat dari
perkawinan. Tapi, jadikan kehamilan sebagai salah satu tujuan dari perkawinan.
"Artinya, kita harus menyiapkan segala sesuatunya. Kalau dalam bahasa Jawa, bebet dan
bobot itu harus jelas dulu," kata Anung.
Bebet yang dimaksud Anung adalah semua keperluan harus dipersiapkan sebelum anak
lahir. Begitu anak lahir, sebagai orangtua, sudah harus tahu akan membawa sang anak ke
arah mana.
Untuk masalah satu ini, Anung memberikan contoh terkait fenomena menarik tentang
kematian ibu di beberapa daerah.
5. Jelaskan faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan jika akan mendirikan unit pelayanan
kesehatan ?
Jawab :
Fktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan jika akan mendirikan unit pelayanan
kesehatan adalah :
1. Menentukan target pasien
2. Memilih lokasi unit pelayanan kesehatan yang strategis
Lokasi strategis akan sangat menunjang dalam kesuksesan bisnis, termasuk lokasi unit
pelayanan kesehatan karena mudah dicari. Namun Anda tidak perlu khawatir karena unit
pelayanan kesehatan ang sukses bukan ditentukan dari lokasinya saja. Tempat yang kurang
strategis juga bisa mendatangkan pasien ke unit pelayanan kesehatan dengan
fitur Assist.id yang memudahkan pasien untuk menemukan dengan bantuan Google Map.
Jadi tidak perlu khawatir tidak mendapatkan pasien dengan lokasi unit pelayanan kesehatan
yang kurang strategis.
3. Mempersiapkan surat izin usaha
Dalam mendirikan usaha unit pelayanan kesehatan tentu harus memiliki izin operasi. Hal
ini diperlukan agar pemilik unit pelayanan kesehatan terhindar dari penggusuran,
penutupan paksa ataupun hal yang tak diinginkan lainnya di kemudian hari. Pasien juga
akan lebih percaya pada klinik yang memiliki surat izin beroperasi.
4. Sarana dan Prasarana klinik
Tentu kemampuan dokter dalam mendiagnosa pasien tidak bisa dimanfaatkan secara
maksimum. Dan pasien tidak merasa nyaman dengan hal tersebut. Ada baiknya unit
pelayanan kesehatan memenuhi kebutuhan mendasar sebelum membuka unit pelayanan
kesehatan.
5. Melakukan promosi
Ada banyak cara promosi yang dapat dilakukan, seperti ikut mensponsori berbagai macam
acara, melakukan promosi dengan mengandalkan media online dan lain sebagainya.
Kualitas pelayanan unit pelayanan kesehatan sangat menentukan reaksi pasien. Kualitas
pelayanan yang memuaskan dapat membuat pasien betah untuk konsultasi namun
sebaliknya apabila kualitas pelayanan kurang memuaskan maka, akan jarang dikunjungi
pasien.
6. Jika kita akan mendirikan klinik atau RS di daerah dengan tingkat ekonomi masyarakat yang
rendah, maka kebijakan tarif yang bagaimana yang cocok untuk pelayanan kesehatn di wilayah
tersebut ? Jelaskan !
Jawab :
Tarif rumah sakit merupakan aspek yang sangat diperhatikan oleh rumah sakit swasta juga
oleh rumah sakit milik pemerintah. Bagi sebagian rumah sakit pemerintah, tarif memang
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menkes atau Pemerintah Daerah. Hal ini
menunjukkan adanya kontrol ketat pemerintah sebagai pemilik terhadap rumah sakit
sebagai firma atau pelaku usaha. Akan tetapi disadari bahwa tarif pemerintah umumnya
mempunyai cost-recovery (pemulihan biaya) yang rendah. Apabila tarif mempunyai
tingkat pemulihan biaya rendah diberlakukan pada kelas pelayanan bawah (misal kelas III)
maka hal tersebut merupakan sesuatu yang layak, sehingga terjadi subsidi pemerintah bagi
masyarakat miskin untuk menggunakan pelayanan rumah sakit. Akan tetapi, apabila
tingkat pemulihan biaya ternyata juga rendah untuk kelas VIP misalnya, maka dapat terjadi
subsidi untuk masyarakat atas. Adanya kebijakan swadana telah memberikan wewenang
penetapan tarif pada direktur rumah sakit, khususnya untuk bangsal VIP dan kelas I yang
tidak banyak mempengaruhi orang miskin. Oleh karena itu, pemahaman mengenai konsep
tarif perlu diketahui oleh para manajer rumah sakit. Dalam ekonomi mikro, sudah dikenal
suatu titik keseimbangan yaitu harga berada pada equilibrium berdasarkan demand dan
supply. Pada sistem ekonomi yang berbasis pada keseimbangan pasar, jelas bahwa subsidi
pemerintah tidak dilakukan Bagian III 147 atau terbatas pada masyarakat miskin.
Akibatnya, tarif dibiarkan sesuai dengan permintaan pasar. Akan tetapi, hal ini dapat
menyebabkan terjadinya ketidakadilan yaitu masyarakat miskin sulit mendapatkan
pelayanan rumah sakit, sehingga subsidi perlu diberikan karena keadaan ini sangat penting
pada proses penetapan tarif rumah sakit pemerintah.
7. Bagaimana pendapat saudara tentang pasar layanan kesehatan sekarang di indonesia, silakan
di jelaskan berdasarkan berbagai perspektif ?
Jawab :
Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia masih menjadi PR yang perlu dibenahi
pemerintah. Baik dari segi pemerataan, regulasi, maupun integrasi antara sistem offline
dengan online. Founder dan Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies
(Chapters) Indonesia Luthfi Mardiansyah menuturkan, setidaknya terdapat 6 kendala yang
perlu dibenahi dan disikapi secepatnya.
Adapun kendala tersebut adalah sbb :
1. Konektivitas Kendala konektifitas menjadi penyebab utama sistem kesehatan digital
(E-Health) di Indonesia tidak berkembang, terutama di daerah-daerah terpencil yang
seharusnya butuh akses kesehatan yang sama dengan masyarakat kota. "Konektifitas
masih kendala. Satelit Palapa nantinya harus bisa menjangkau pulau di Timur. Tadi
saya sampaikan, di Jakarta saja masih ada area-area blackspot di beberapa tempat," kata
Founder dan Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (Chapters)
Indonesia Luthfi Mardiansyah di Jakarta, Senin (19/8/2019). Bila konektifitas sudah
merata di seluruh Indonesia, maka bisa dipastikan masyarakat bisa mendapat akses
kesehatan yang baik karena bisa berkonsultasi dengan dokter meski berjauhan. Pun
biayanya jauh lebih murah.
2. Kejelasan Regulasi Menurut sebuah survei dari Deloitte Indonesia, Bahar, dan Chapter,
sebesar 15,6 persen pengguna masih merasa tidak puas dengan adanya layanan kesehatan
digital. Ketidakpuasaan ini terjadi karena pengguna mengkhawatirkan keamanan data yang
diinput ke dalam layanan kesehatan digital tersebut. Pun belum adanya aturan tentang tata
cara pengantaran obat agar tidak terkontaminasi benda lain hingga sampai kepada pasien.
Baca juga : Survei: 84,4 Persen Masyarakat Puas dengan Layanan Kesehatan Digital "15,6
persen pengguna layanan tidak puas. Ini sesuatu yang harus kita sikapi, tidak puasnya
karena apa? Pertama, data privacy-nya bagaimana? Siapa yang simpan riwayat kesehatan
kita saat berobat melalui aplikasi, pemilik aplikasi atau rumah sakitnya?," ungkap Luthfi.
Selain keamanan data, yang masih menjadi masalah utama dalam perkembangan layanan
digital ini antara lain, terjadinya komunikasi yang kurang baik antara dokter dengan
penderita penyakit karena tidak memeriksa penyakit secara langsung. Apalagi secara
pengalaman, banyak dokter yang tidak terbiasa memeriksa penyakit hanya melalui telepon.
"Dokter tidak bisa melihat ekspresi pasien tentang apa yang dirasakan hanya melalui
ponsel. Dokter juga tak berpengalaman memeriksa pasien melalui aplikasi, meski saat ini
pelan-pelan banyak yang sudah terbiasa. Ditambah banyak juga dokter senior yang tidak
cakap menggunakan teknologi," ucap dia. Kendala-kendala soal regulasi di atas, tentu
menjadi kendala pada perkembangan e-health. Pemerintah hendaknya mengatur regulasi
tersebut secara cepat mengingat pengguna layanan kesehatan digital semakin bertumbuh.
3. Bonus Demografi Populasi Indonesia merupakan populasi ke-4 terbesar di dunia, yang
banyak didominasi oleh usia muda dan masyarakat ekonomi kelas menengah. Bonus
demografi ini menjadi kekuatan untuk Indonesia untuk bersaing di kancah global.
Sayangnya, bonus demografi ini tak dibarengi dengan pelayanan kesehatan yang baik.
Anak muda dan masyarakat yang dianggap mampu memajukan Indonesia justru jadi tak
terlindungi karena tidak ada pelayanan kesehatan yang baik. "Itu (bonus demografi) bisa
menjadi pemasalahan. Kalau hanya besar, tapi sistem kesehatan enggak mumpuni,
bagaimana? Apalagi sekarang usia muda sudah banyak yang kena penyakit berat, ini akan
jadi beban biaya kalau sistem kesehatannya enggak baik," pungkas dia.
5. Pelayanan Rendah Luthfi menilai, tingkat pelayanan rumah sakit di Indonesia relatif
rendah. Ini tercermin dari kendala masyarakat dalam mendapatkan layanan kesehatan di
beberapa rumah sakit. Pasien yang menderita penyakit berat diminta menanti pelayanan
hingga 1 bulan lamanya di rumah. "Prosesnya itu sendiri masih belum membantu. Sampai
hari ini masih kita lihat antrian panjang di beberapa rumah sakit. Mereka, pasien yang
menderita penyakit berat, harus menunggu 1 bulan di rumah, hal-hal tersebut yang mesti
kita sikapi dengan baik," ucap Luthfi. Akibatnya, banyak masyarakat di daerah Medan
yang akhirnya memilih Penang, Malaysia, untuk berobat ketimbang di Indonesia. "Pasien
kita yang lokasinya di Medan, mereka memilih nyebrang ke Penang. RS di Medan
memberikan rekomendasinya ke Penang. Sebetulnya bukan karena promosi mereka lebih
bagus, tapi memang pelayanan kita yang kurang," ungkap Luthfi.
6. Teknologi Tak Dimanfaatkan dengan Baik Teknologi yang ada tak dimanfaatkan
dengan baik untuk pelayanan kesehatan. Padahal, penggima internet di Indonesia
paling tinggi ketimbang negara lain. "Saya ambil contoh tentang iWatch. iWatch kita
pasang di tangan kita, itu bisa mendeteksi kondisi jantung dan kondisi sistem tubuh
lainnya. Tapi saat berobat, kita tidak memberitahukan kepada dokter kalau kita punya
rekam manual melalui Watch itu. Padahal kalau diberitahu, dokter bisa langsung
merekomendasikan pengobatan yang lebih tepat," pungkas Luthfi. Luthfi meyakini,
bila kendala di atas bisa diatasi dengan baik, sistem pelayanan di Indonesia akan lebih
merata dan terintegrasi baik offline maupun online.