Anda di halaman 1dari 26

CA COLORECTAL

Laporan kasus ini dibuat untuk melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di
bagian Ilmu Kesehatan Bedah RSUD dr. Pirngadi Medan

Oleh:

SUCI HANDAYANI (1410070100031)

Pembimbing:
dr. Azwarto Lubis, Sp.B

SMF ILMU KESEHATAN BEDAH


RSUD DR. PIRNGADI DR. PIRNGADI MEDAN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Dokter Pembimbing,

dr. Azwarto Lubis, Sp.B


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “CA
KOLOREKTAL“ dalam rangka melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)
di Departemen Ilmu Kesehatan Bedah RSUD dr. Pirngadi Medan.
Penyusunan laporan kasus ini tidak lepas dari bimbingan, pengarahan dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu dengan rasa hormat penulis menyampaikan terimakasih kepada
dr. Azwarto Lubis, Sp.B atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti KKS di Departemen
Ilmu Kesehatan Bedah RSUD dr. Pirngadi Medan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan agar dapat
menjadi pedoman untuk perbaikan laporan kasus ini dikemudian hari.
Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu di kesehatan bedah
di klinikdan di masyarakat.

Medan, 17 Agustus 2019

Suci Handayani,
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker kolorektal (colo – rectal carcinoma) atau yang biasa disebut sebagai kanker
usus besar merupakan suatu tumor ganas terbayak diantara tumor lainnya yang menyerang
saluran pencernaan. Lebih dari 60 persen tumor ganas kolorektal berasal dari colon atau rectum.
Colon merupakan bagian lain dari usus besar yang terletak di atas pinggul. Rectum merupakan
bagian 15 cm terakhir dari usus besar dan terletak di dalam rongga panggul di tengah tulang
pinggul. Colon dan rectum adalah bagian dari usus besar pada sistem pencernaan yang disebut
dengan traktus gastrointestinal. Traktus gastrointestinal berfungsi sebagai penghasil energi bagi
tubuh dan membuang zat – zat yang tidak diperlukan tubuh.
Berdasarkan data Wisconsin Reporting System, kanker kolorektal menempati urutan
ketiga penyebab kematian tertinggi di dunia setelah kanker payudara dan kanker paru-paru yaitu
terdapat 9,5% kasus dari jumlah penduduk dunia yang meninggal akibat kanker kolorektal atau
mencapai 1,23 juta kematian pertahun (Wisconsin Cancer Reporting System, 2017: 8).
American Cancer Society memperkirakan pada tahun 2017 di U.S Amerika terjadi sebanyak
95.520 kasus baru kanker kolon yang didiagnosa dan sebanyak 39.910 kasus kematian yang
diperkirakan akan terjadi akibat kanker ini. Kasus kanker kolorektal di Indonesia pada
perempuan adalah terbanyak ketiga setelah kanker payudara dan kanker serviks. Sedangkan
pada laki-laki, ia menempati urutan kedua setelah kanker paru, diikuti yang ketiga kanker
prostat (American Cancer Society, 2017).
Dari data Globocan 2012, insiden kanker kolorektal di Indonesia adalah 12,8 per
100.000 penduduk usia dewasa, dengan mortalitas 9,5% dari seluruh kasus kanker. Saat ini,
kanker kolorektal di Indonesia menempati urutan nomor tiga (Globocan IARC, 2012), kenaikan
tajam yang diakibatkan oleh perubahan pada diet orang Indonesia, baik sebagai konsekuensi
peningkatan kemakmuran serta pergeseran ke arah cara makan orang Barat (Westernisasi) yang
lebih tinggi lemak serta rendah serat.
Sekitar 25% pasien kanker kolorektal baru terdiagnosa pada stadium lanjut saat kanker
sudah menyebar ke organ lain. Hal ini mengkhawatirkan, karena pengobatan jadi lebih sulit dan
mahal, serta tingkat keberhasilan juga menurun (Yayasan Kanker Indonesia, 2017). Pada tahap
awal, biasanya kanker tidak menunjukkan gejala, oleh karena itu pemeriksaan dini dapat
mempermudah penyembuhan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kolon dan Rektum


Intestinum Crassum atau Usus besar adalah struktur tubular yang berukuran sekitar 30
hingga 40 cm saat lahir dan berukuran sekitar 150 cm pada orang dewasa, atau sekitar
seperempat panjang usus kecil. Usus besar dimulai pada katup ileocecal dan berakhir di bagian
distal di lubang anus (Gambar 2.1). Usus besar terdiri dari 4 segmen: caecum dan appendix
vermiform, kolon (bagian menaik, melintang, dan menurun), rectum, dan lubang anus. Diameter
usus besar terbesar di caecum (7,5 cm) dan tersempit di sigmoid (2,5 cm) dan mengembang di
bagian rectum, bagian proksimal dari lubang anus (Feldman dan Brandt, 2016)
Panjang usus besar adalah 1,5 m dengan diameter sebesar 6,5 cm, yang meluas dari
mulai ileus hingga ke anus. Berada dan melekat pada dinding perut posterior oleh mesokolon
yang merupakan lapisan rangkap dari peritoneum. Struktural dari usus besar terdiri dari empat
bagian, yaitu sekum, kolon, rektum dan kanal anus. Bagian yang terbuka dari sekum bergabung
dengan sebuah saluran panjang yang disebut kolon (saluran makanan), yang terbagi atas kolon
bagian ascending, transverse, descending dan sigmoid. Bagian dari kolon ascending dan
descending terletak retroperitoneal sedangkan bagian transverse dan sigmoid terletak
intraperitoneal (Tortora et al, 2008)

Gambar 1. Makroskopik karakteristik kolon


Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior. Arteri
mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari sekum sampai dua
pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika superior mempunyai tiga cabang
utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri
mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon
transversum sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga
cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea.
Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis media dan arteria
hemorroidalis inferior dan media. (Taylo, 2005)

2.2 Histologi Kolon dan Rektum


2.2.1 Kolon
Dinding kolon memiliki lapisan-lapisan dasar yang serupa dengan lapisan yang ada di
usus halus. Mukosa terdiri atas epitel selapis silindris, kelenjar intestinal, lamina propria, dan
muskularis mukosa. Submukosa di bawahnya mengandung sel dan serat jaringan ikat, berbagai
pembuluh darah dan saraf. Muskularis eksterna dibentuk oleh dua lapisan otot polos. Serosa
(peritoneum viscerale dan mesenterium) melapisi kolom transversum dan kolom sigmoid.
Kolon tidak memiliki vili atau plika sirkularis, dan permukaan luminal mukosa licin. Di kolon
yang tidak melebar, mukosa dan submukosa memperlihatkan banyak lipatan temporer. Di
lamina propria dan submukosa kolon dijumpai nodulus limfoid.
2.2.2 Rektum
Histologi rektum bagian atas mirip dengan kolon. Epitel permukaan lumen dilapisi oleh
sel selapis silindris dengan limbus striatus dan sel goblet. Kelenjar intestinal, sel adiposa, dan
nodulus limfoid di dalam lamina propria serupa dengan yang ada di kolon. Kelenjar intestinal
lebih panjang, lebih rapat, dan terisi oleh sel goblet. Di bawah lamina propria adalah muskularis
mukosa. Lipatan longitudinal di rektum bagian atas dan kolon temporer. Lipatan ini memiliki
bagian tengah submukosa yang dilapisi oleh mukosa.

Taenia coli di kolon berlanjut ke dalam rektum, tempat muskularis eksterna terdiri atas
lapisan otot polos sirkular dalam dan longitudinal luar. Di antara kedua lapisan otot polos
terdapat ganglion parasimpatis pleksus mienterikus (Auerbach). Adventisia menutupi sebagian
rektum, dan serosa menutupi sisanya. Banyak pembuluh darah ditemukan di submukosa dan
adventitia (Fiore, 2008)
2.3 Fisiologi Kolon dan Rectum

Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk membentuk feses
yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan (Guyton, 2008), kolon
mengubah 1000-2000mL kimus isotonik yang masuk setiap hari dari ileum menjadi tinja
semipadat dengan volume sekitar 200-250mL (Ganong, 2008).

Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan proksimal kolon,
sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorpsi, sedangkan kolon bagian distal pada
prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses sampai waktu yang tepat untuk
ekskresi feses dan oleh karena itu disebut kolon penyimpanan. Banyak bakteri, khususnya basil
kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini mampu
mencernakan sejumlah kecil selulosa, dengan cara ini menyediakan beberapa kalori nutrisi
tambahan untuk tubuh (Guyton, 2008).

2.4 Karsinoma Kolorectal


2.4.1 Definisi

Kanker kolorektal adalah suatu penyakit neoplasma ganas yang berasal atau tumbuh di
dalam saluran usus besar (kolon) dan atau rektum (Sander, 2012). Kanker kolorektal adalah
keganasan yang berasal dari jaringan usus besar, terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus
besar) dan atau rektum (bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus) (IKABDI, 2014).

Menurut American Cancer Society (2017), kanker kolorektal adalah kanker yang
dimulai di usus besar atau rektum. Kanker ini juga bisa dinamakan kanker usus besar atau
kanker rektum, tergantung darimana kanker berasal. Kanker usus besar dan kanker rektum
sering dikelompokkan bersama karena keduanya memiliki banyak ciri yang sama.

2.4.2 Epidemiologi

Secara epidemiologis kejadian kanker kolorektal di dunia mencapai urutan keempat,


dimana jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan
19,4 dan 15,3 per 100.000 penduduk (Sudoyo, 2009). Pada tahun 2011 diestimasikan bahwa
sekitar 141,210 kasus baru dan 49,380 kematian terjadi akibat kanker kolorektal di Amerika
Serikat. Sekitar 72% kasus tersebut terjadi pada bagian kolon dan 28% pada rektum (SEER,
2013). Dari data yang dikeluarkan oleh International Agency for research on Cancer pada tahun
2013, berdasarkan GLOBOCAN 2012 terjadi peningkatan sebanyak 14,1 juta kasus baru
kanker di dunia dengan 1,4 juta atau 9.7% didiagnosis sebagai kanker kolorektal.
Kanker kolorektal merupakan kanker urutan ketiga terbanyak menyerang pria setelah
kanker prostat dan kanker paru dengan persentase 10,0% serta penyebab kematian keempat
pada pasien kanker pria setelah kanker paru, kanker hepar, kanker lambung dengan presentase
8% per 100.000 penduduk dunia. Selain itu, kanker kolorektal menjadi kanker kedua terbanyak
pada wanita dengan persentase 9,2% setelah kanker payudara dan menjadi penyebab kematian
ketiga dengan presentase 9% setelah kanker payudara dan kanker paru (Globocan, 2012)

2.4.3 Faktor Risiko


Sampai saat ini penyebab pasti dari karsinoma kolorektal belum jelas diketahui.
Menurut CDC (2013), resiko berkembangnya karsinoma kolorektal meningkat seiring
bertambahnya usia. Lebih dari 90% kasus terjadi pada orang-orang berumur diatas 50 tahun
atau lebih tua. Adapun faktor resiko lainnya yang menyebabkan karsinoma kolorektal ini antara
lain:
1. Inflamasi kronis
Inflammatory bowel disease (IBS) yang bersifat kronis merupakan salah satu faktor
etiologi yang signifikan dalam menyebabkan perkembangan adenokarsinoma
kolorektal. Resiko terkena karsinoma kolorektal meningkat 8 hingga 10 tahun . Selain
itu, jumlah kasus karsinoma koloektal tinggi pada pasien dengan onset yang cepat dan
manifestasinya menyebar (pancolitis) (CDC, 2013).
2. Riwayat personal atau keluarga yang pernah menderita kanker kolorektal atau polip
kolorektal (CDC,2013).
3. Sindrom genetik seperti familial adenomatous polyposis (FAP) atau hereditary
nonpolyposis colorectal cancer syndrome (HNPCC yang disebut juga Lynch syndrome)
(CDC,2013).
4. Faktor makanan dan gaya hidup
Komposisi makanan merupakan faktor penting dalam kejadian adenokarsinoma kolon
dan rektum. Makanan yang berasal dari daging hewan dengan kadar kolesterol yang
tinggi serta kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung serat dapat
menyebabkan karsinoma kolorektal (Tambunan, 1991). Selain itu juga, insiden kanker
ini tinggi kalori dan tinggi lemak hewani yang dikombinasikan dengan gaya hidup yang
kurang melakukan aktivitas fisik (sedentary lifestyle). Sebuah studi epidemiologi juga
mengindikasikan bahwa konsumsi daging hewan, merokok, dan alkohol merupakan
faktor resiko dari kanker kolorektal (CDC, 2013). Menurut CDC (2013) disebutkan juga
bahwa interaksi antara bakteri di dalam kolon dengan asam empedu dan makanan
diduga memproduksi bahan karsinogenik dan ko-karsinogenik dalam menyebabkan
karsinoma kolorektal. Mekanisme molekuler yang mendasari terjadinya studi diatas
kemungkinan disebabkan oleh amin heterosiklik yang dihasilkan selama proses
memasak daging, stimulasi level yang lebih tinggi dari asam empedu fekal dan produksi
oksigen reaktif. Sedangkan kandungan sayuran yang bersifat antikarsinogenik seperti
folat, antioksidan dan pemicu enzim yang mendetoksifikasi, ikatan karsinogen lumen,
fermentasi serat untuk menghasilkan asam lemak volatile yang protektif, dan
mengurangi waktu kontak dengan epithelium kolorektal karena waktu transitnya lebih
cepat.

Gambar 2. Risiko Relatif untuk faktor risiko kanker kolorektal. (sumber: colorectal
cancer facts and figures 2017-2019, American Cancer Society).

2.4.4 Lokasi kanker

Embriologi usus besar berasal dari usus tengah dan usus belakang. Bagian traktus
digestivus yang berasal dari usus tengah dimulai dari duodenum tepat di sebelah distal muara
duktus biliaris dan berlanjut ke tautan dua pertiga proksimal kolon trasnversum dengan
sepertiga distalnya. Bagian traktus digestivus yang embriologinya berasal dari usus tengah
mendapatkan perdarahan yang berasal dari arteri mesenterika superior. Sepertiga distal kolon
transversum, kolon descenden, kolon sigmoid, rektum dan bagian atas kanalis analis berasal
dari usus belakang dan mendapatkan perdarahan dari arteri mesenterika inferior. Berdasarkan
embriologi inilah kolon dapat dibagi menjadi 2, yaitu kolon kanan yang terdiri dari caecum,
kolon ascenden, fleksura hepatika dan dua pertiga proksimal kolon transversum serta kolon kiri
yang terdiri dari sepertiga distal kolon transversum, fleksura lienalis, kolon descenden, kolon
sigmoid dan rektum (Sadler, 2012). Menurut lokasi, kanker kolorektal dapat diklasifikasikan
menjadi kanker kolon kanan, kanker kolon kiri, dan kanker rektum. Lokasi tumor pada kanker
kolorektal mempengaruhi gejala klinis pada pasien (Riwanto et al, 2012).

2.4.5 Patogenesis

Perjalanan penyakit dari kanker kolorektal terjadi akibat perubahan pada gen kunci
pengatur pertumbuhan yaitu APC, tp53, TGF- β Tumor-Suppressor Pathway.

a. APC

Kanker kolorektal terjadi akibat banyak perubahan genetic, tetapi jalur sinyal tertentu
secara jelas dipilih sebagai faktor kunci dalam pembentukan tumor. tumor. Aktifasi dari jalur
sinyal Wnt menjadi awal dari kejadian kanker kolorektal. APC merupakan komponen dari
kompleks degradasi protein β-catenin yaitu proteolisis. Mutasi kanker kolorektal yang paling
sering adalah menginaktifasi gen-gen yang mengkode protein APC. Akibat ketidakberadaan
fungsi APC, Wnt memberi sinyal secara tidak wajar. Mutasi dari gen APC menyebabkan
poliposis adenomatous familial, hampir 100% karier dari gen ini merupakan resiko dari kanker
kolorektal pada usia 40 tahun.

b. TP53

Inaktifasi dari jalur p53 akibat mutasi dari TP 53 merupakan kunci genetik kedua dari
tahapan kanker kolorektal. Pada kebanyakan tumor, dua alel Tp53 diinaktifasi, biasanya oleh
kombinasi dari mutasi missense yang menginaktifasi aktivitas transkripsi p53 dan delesi
kromosom 17p yang mengeliminasi alel kedua Tp53. Inaktifasi dari TP53 sering terjadi dengan
transisi dari adenoma besar menjadi karsinoma invasif. Pada kebanyakan kanker kolorektal
dengan mismatch dan kerusakan proses perbaikan, aktivitas dari jalur p53 berkurang oleh
mutasi pada BAX yang merupakan penginduksi dari apoptosis.
c. TGF-β Tumor-Suppressor Pathway

Mutasi dari sinyal TGF-β merupakan tahap ketiga dari progresi kanker kolorektal.
Mutasi somatik menginaktifasi TGFBR2 sekitar sepertiga dari kanker kolorektal. Kurang lebih
setengah dari semua kanker kolorektal dengan gangguan perbaikan tipe wild, sinyal dari TGF-
β dihancurkan oleh inaktifasi mutasi missense pada domain TGFBR2 kinase. Mutasi yang
menginaktifasi jalur TGF-β terjadi dengan transisi dari adenoma ke high grade dysplasia atau
karsinoma (Markowitz dan Bertagnolli, 2009).

Berikut ini merupakan jalur-jalur gen pengatur pertumbuhan yang ditunjukkan oleh
gambar berikut ;

Gambar 3. Jalur gen-gen dan faktor pertumbuhan yang mengontrol progresi dari kanker
kolorektal (Molecular Basis of Colorectal, N Engl J Med).

2.4.6 Manifestasi Klinis


Menurut Japaries (2017) kanker kolorektal dibagi menjadi dua stadium yaitu :
1. Stadium dini
a. Tanda iritasi usus dan perubahan kebiasaan defekasi: sering buang air besar,
diare atau obstipasi, kadang kala obstipasi dan diare bergantian, tanesmus,
anus turun tegang, sering terdapat nyeri samar pada abdomen. Pada pasien
lansia, hal ini sukar disadari karena tubuh mulai kurang sensitif terhadap
nyeri. Sehingga kadang kala setelah terjadi perforasi tumor, peritonitis baru
merasakan nyeri dan berobat.
b. Hematokezia: pasien sering mengeluhkan adanya bercak darah saat buang air
besar, berwarna merah segar atau merah gelap, biasanya tidak banyak dan
intermitten.
c. Ileus: Merupakan tanda lanjut dari kanker kolon. Ileus kolon sisi kiri sering
ditemukan. Kanker kolon tipe ulseratif atau hiperplastik menginvasi ke
sekitar dinding usus membuat lumen usus menyempit hingga ke ileus, sering
berupa ileus mekanik nontotal kronis, mula-mula timbul perut kembung,
rasa tak enak perut, lalu timbul sakit perut intermitten, borborigmi, obstipasi
atau feses menjadi kecil-kecil bahkan tak dapat buang angin atau feses.
Sedangkan ileus akut umumnya disebabkan karsinoma kolon tipe infiltratif.
Tidak jarang terjadi intussusepsi dan ileus karena tumor pada lansia, maka
pada lansia dengan intususepsi harus memikirkan kemungkinan karsinoma
kolon. Pada ileus akut maupun kronik, gejala muntah tidak menonjol, bila
terdapat muntah, mungkin usus kecil (khususnya proksimal) sudah terinvasi
tumor.
d. Massa abdominal: ketika tumor tumbuh hingga batas tertentu, di daerah
abdomen dapat diraba adanya massa, sering diemukan pada kolon belahan
kanan. Pasien lansia umumnya berat badan menurun, dinding abdomen
relatif longgar, massa mudah diraba. Pada awalnya massa bersifat mobile,
setelah menginvasi sekitar menjadi terfiksasi.
e. Anemia, berat badan menurun, demam, astenia dan gelaja toksik sistemik
lain. Karena pertumbuhan tumor menghabiskan nutrisi tubuh, perdarahan
kronis jangka panjang menyebabkan anemia, dan infeksi sekunder tumor
menyebabkan demam dan gejala toksik.

2. Stadium lanjut
Selain gejala lokal tersebut di atas, pada fase akhir progresi kanker usus besar timbul
gejala stadium lanjut yang sesuai. Misal, invasi luas tumor dalam kavum pelvis menimbulkan
nyeri daerah lumbosakral, iskialgia dan neuralgia daerah obturatoria; ke anterior menginvasi
mukosa vagina dan vesika urinaria menimbulkan perdarahan per vaginam atau hematuria, bila
parah dapat timbul fistel rektovaginal, fistel rektovesikal; obstruksi ureter bilateral
menimbulkan anuria, uremia; tekanan pada uretra menimbulkan retensi urin; asites, hambatan
saluran limfatik atau tekanan pada vena iliaka menimbulkan udem tungkai, skrotal, labial;
perforasi menimbulkan peritonitis akut, abses abdomen; metastasis jauh seperti ke hati
menimbulkan hepatomegali, ikterus, asites; metastasis ke paru menimbulkan batuk, nafas
memburu, hemoptisis; metastasis ke otak dapat menyebabkan koma. Akhirnya dapat timbul
kakeksia, kegagalan sistemik (Japaries, 2017)
Gejala klinis kanker kolorektal pada lokasi tumor di kolon kiri berbeda dengan kanan.
Tumor di kolon kiri sering bersifat skirotik sehingga lebih banyak menimbulkan stenosis dan
obstruksi karena feses sudah menjadi padat. Tumor pada kolon kiri dan rektum menyebabkan
perubahan pola defekasi seperti konstipasi atau defekasi dengan tenesmi, semakin distal letak
tumor feses semakin menipis atau seperti kotoran kambing atau lebih cair disertai darah atau
lendir. Pada kanker kolon kanan jarang terjadi stenosis karena feses masih cair. Gejala
umumnya adalah dispepsia, kelemahan umum penurunan berat badan dan anemia. Pada kanker
di kolon kanan didapatkan massa di perut kanan bawah. Selain itu, nyeri pada kolon kiri lebih
nyata daripada kolon kanan. Tempat yang dirasa nyeri berbeda karena asal embriogenik yang
berlainan. Nyeri dari kolon kiri bermula di bawah umbilikus, sedangkan dari kolon kanan di
epigastrium (Riwanto et al).
2.4.7 Diagnosis
Diagnosis untuk kanker kolorektal dapat ditegakkan dengan cara ;
1. Anamnesa
a. Perdarahan per-anum dengan peningkatan frekuensi defekasi dan/atau diare
selama ≥6 minggu;
b. Perdarahan per-anum tanpa gejala anal pada usia ≥60 tahun;
c. Peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama≥6 minggu pada usia ≥60
tahun;
d. Teraba masa pada fossa iliaka dekstra;
e. Ada massa intra-luminal di dalam rektum;
f. Terdapat tanda-tanda obstruksi mekanik usus;
g. Setiap pasien dengan anemia defisiensi besi dengan hemoglobin < 11 g% pada
pria dan hemoglobin < 10 g% pada wanita pascamenopause
2. Pemeriksaan fisik
Rectal toucher (Colok dubur)
a. Keadaan tumor
Lesi pada dinding rektum dan letak bagian terendah tumor terhadap cincin anorektal,
serviks uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccygis. Pada wanita sebaiknya juga
dilakukan palpasi melalui vagina untuk mengetahui apakah mukosa vagina di atas tumor
tersebut licin dan dapat digerakkan atau ada perlekatan dan ulserasi untuk menilai batas atas
dari lesi anular. Penilaian batas atas ini tidak dapat dilakukan dengan pemeriksaan colok dubur.
b. Mobilitas tumor
Penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini umumnya
masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum, sedangkan lesi yang sudah lebih
lanjut umumya terfiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur seperti kelenjar prostat,
buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding anterior uterus.
c. Ekstensi dan ukuran tumor dengan menilai batas atas, bawah, dan sirkuler
(IKABDI, 2014).

Gambar 4. Rectal Toucher


3. Pemeriksaan penunjang
a. Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan
rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi
merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari
1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium
enema yang keakuratannya hanya sebesar 67% (Depkes, 2006). Sebuah kolonoskopi juga dapat
digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur.
Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan,
komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi
merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory
bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon
non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi
terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari
kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi
diagnostik (Schwartz, 2005).

b. CT Scan dan MRI

CT Scan dan MRI sulit untuk membedakan lesi jinak dan ganas, kelebihan utama
pemeriksaan ini adalah menunjukkan situasi terkenanya jaringan seitar, ada tidaknya metastasis
kelenjar limfe atau organ jauh, sehingga membantu dalam penentuan stadium klinis dan
perkiraan operasi. Pemeriksaan ini juga peka dalam menemukan massa dalam kavum pelvis,
berguna dalam diagnosis rekurensi pasca operasi karsinoma rektal.

c. Biomarker tumor

Skrining CEA (Carcinoma Embrionic Antigen). Carcinoma Embrionic Antigen


merupakan pertanda serum terhadap adanya karsinoma kolon dan rektum. Carcinoma
Embrionic Antigen adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk
ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status
kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. Carcinoma
Embrionic Antigen terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai skrining
kanker kolorektal.

Namun pemeriksaan biomarker ini dapat berpengaruh dalam mengestimasi prognosis,


monitor efek terapi dan rekurensi pasca operasi. Misal, pemeriksaan kadar CA19-9 atau CEA
sebelum terapi tinggi, namun setelah terapi menurun, pertanda terapi tersebut efektif.
Sebaliknya bila pasca operasi kadar CA19-9 atau CEA pasien meninggi pertanda terdapat
kemungkinan rekurensi atau metastasis, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk konfirmasi
diagnosis (Japaries, 2017).

d. Biopsi

Biasanya jika suspek kanker kolorektal ditemukan pada pemeriksaan diagnostik,


dilakukan biopsi saat kolonoskopi. Pada biopsi, dokter akan menyingkirkan bagian kecil dari
jaringan dengan alat khusus yang dilewati melalui scope. Dapat tejadi perdarahan setelah
tindakan ini, tetapi berhenti dalam periode waktu yang singkat. Sangat jarang, bagian kolon
membutuhkan operasi pengangkatan untuk menegakkan diagnosis (American Cancer Society,
2017).

e. Pemeriksaan darah samar

Guaiac fecal occult blood test menggunakan bahan kimia guaiac untuk memeriksa
darah yang tidak terlihat secara langsung oleh mata pada feses/kotoran. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan menggunakan kit yang telah disediakan. Setelah kotoran dikumpulkan, dapat
diberikan kepada tenaga kesehatan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut(ICCC, 2019)

2.4.8 Stadium

Estimasi paling baik dalam prognosis kanker kolorektal yang berhubungan dengan
perluasan anatomi penyakit adalah pemeriksaan patologi dari reseksi spesimen. Staging dari
kanker kolorektal relatif lurus ke depan. Pada mulanya staging menggunakan klasifikasi Dukes,
dimana pasien dikategorikan menjadi tiga kategori (stages A, B, C). Kemudian dilakukan
modifikasi oleh Astler-Coller mejadi empat kategori (stage: D). Gunderson & Sosin
memodifikasi kembali pada tahun 1978. Yang terbaru adalah sistem TNM oleh American Joint
Committee on Cancer (AJCC) yang mengelompokkan menjadi empat stage (stage I-IV) yang
ditunjukkan untuk tabel 2.1 (Fleming, 2012).

Tingkat anatomi penyakit pada presentasi (stadium) adalah prediktor terkuat untuk
bertahan hidup bagi pasien dengan kanker kolorektal dan membentuk dasar manajemen pasien
yang tepat. Sistem pementasan tumor, nodus, metastasis (TNM) dari American Joint Committee
on Cancer (AJCC) dan International Union Against Cancer dianggap standar internasional
untuk pementasan karsinoma kolorektal. Dalam sistem TNM, penunjukan "T" mengacu pada
tingkat lokal tumor primer yang tidak diobati, "N" ke status kelenjar getah bening regional, dan
"M" ke penyakit metastasis jauh pada saat diagnosis dan pemeriksaan awal (Niederhuber et al,
2016).
Gambar 5. Sistem klasifikasi berdasarkan tumor, nodus, dan metastasis (Niederhuber
et al, 2016)

T (Tumor) = tumor primer


TX : Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 : Tidak ada bukti tumor primer
Tis : Karsinoma in situ: terbatas intraepithelial atau invasi dari lamina
propria
T1 : Tumor menginvasi hingga ke submukosa
T2 : Tumor menginvasi hingga ke muskularis propria
T3 : Tumor menginvasi hingga ke muskularis propria ke subserosa
T4 : Invasi langsung tumor ke organ lain atau struktur dana tau perforasi
ke peritoneum visceral

N (Nodus) = Nodus Limfe Regional


NX : Kondisi kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai
N0 : Tidak ada metastasis kelenjar limfe regional
N1 : Metastasis 1 – 3 buah kelenjar limfe regional
N2 : Metastasis >4 buah kelenjar limfe regional

M (Metastasis) = Penyebaran
MX : Tidak dapat menilai ada tidaknya
M0 : Tidak ada metastasis
M1 : Terdapat metastasis

Gambar 6. Stadium pada karsinoma kolorektal


(Sumber: Alteri, 2011)
Klasifikasi karsinoma ini pertama kali diajukan oleh Dukes pada tahun 1930
(Sjamsuhidajat, 2004). Klasifikasi Dukes dibagi berdasarkan dalamnya infiltrasi karsinoma ke
dinding usus. Klasifikasi dukes juga menunjukkan angka prognosis dari kejadi karsinoma
kolorektal. (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011).
Tabel 1. Klasifikasi karsinoma kolorektal (Dukes)

Dukes Dalamnya infiltrasi Prognosis hidup setelah 5 tahun


A Terbatas di dinding usus 97%
B Menembus lapisan muskularis mukosa 80%
C Metastasis kelenjar limf
C1 Beberapa kelenjar limfe dekat tumor 65%
C2 primer 35%
Dalam kelenjar limfe jauh
D Metastasis jauh <5%
Sumber: Sjamsuhidajat & de Jong, 2011
2.4.9 Histopatologi
Klasifikasi histologis kanker kolorektal yang diterima secara internasional yang
diusulkan oleh World Health Organization (Tabel 2.2) direkomendasikan oleh College of
American Pathologists (CAP). Menurut klasifikasi ini, mayoritas kanker kolorektal adalah
adenokarsinoma tanpa tipe khusus. Subkelompok khusus perlu diperhatikan karena mereka
mungkin terkait dengan genotipe dan prognosis tertentu. Penilaian kolorektal kolorektal, secara
keseluruhan, didasarkan pada fitur arsitektur dan fitur sitologi (misalnya, pleomorfisma,
hiperkromatisme, dan produksi musin), tetapi tingkat pembentukan kelenjar secara luas
dianggap sebagai fitur yang paling penting dalam penilaian. Sebagian besar sistem stratifikasi
tumor menjadi tiga kelas: kelas 1 (terdiferensiasi dengan baik), kelas 2 (cukup terdiferensiasi),
dan tingkat 3 (kurang terdiferensiasi) (Niederhuber et al, 2016).
Untuk gambaran tipe histologi, secara internasional klasifikasi histopatologi untuk
tumor kolorektal menggunakan klasifikasi menurut World Health Organization (WHO) yang
ditunjukkan pada tabel berikut ini (Iacobuzio-Donahue dan Montgometry, 2012)

Tabel 3. Klasifikasi kanker kolorektal menurut World Health Organization (WHO)

Histopathologic Types of Colorectal Carcinoma Recognized by the World Health


Organization

Adenocarcinoma
Mucinous adenocarcinoma
Signet ring carcinoma
Small cell carcinoma
Adenosquamous carcinoma
Squamous cell carcinoma
Undifferentiated carcinoma

2.4.10 Tatalaksana
1. Terapi kemoterapi
Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalam rekurensi. Kemoterapi
dapat diberikan sebegai terapi adjuvant, neoadjuvant atau paliatif. Kemoterapi adjuvan
diberikan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker kolorektal setelah operasi. Pasien Dukes
A jarang mengalami rekurensi sehingga tidak perlu terapi adjuvan. Pasien kanker kolorektal
Dukes C yang mendapat levamisol dan 5 FU secara signifikan meningkatkan harapan hidup
dan masa interval bebas tumor (disease free interval). Kemoterapi adjuvan tidak berpengaruh
pada kanker kolorektal Dukes B (Abdullah, 2014).
2. Tindakan Operasi
Mayoritas pasien dengan kanker kolon stadium I dan II menjalani kolektomi parsial atau
total, sementara sekitar dua pertiga dari mereka dengan kanker kolon stadium III (juga beberapa
dengan penyakit stadium II) menerima kemoterapi selain kolektomi untuk menurunkan risiko
kekambuhan. Untuk pasien dengan kanker rektal, proctectomy atau proctocolectomy adalah
perawatan yang paling umum untuk penyakit stadium I, dan sekitar setengahnya juga menerima
radiasi dan/atau kemoterapi. Kanker rektum stadium II dan III ditatalaksana dengan kemoterapi
neoadjuvant plus radiasi. Kolostomi (biasanya sementara) lebih sering diperlukan selama
operasi untuk pasien dengan kanker rektum daripada untuk mereka yang menderita kanker
kolon. Kemoterapi adalah pengobatan utama untuk kanker rektum stadium IV (Miller et al,
2016).

2.4.11 Kegawatdaruratan Ca Kolorectal


1. Obstruksi akibat kanker kolorektal
2. Perforasi dari kanker kolorektal
3. Perdarahan kanker kolorektal (Thompson, 2015)

2.4.12 Pencegahan
Peran deteksi dini dan diagnosis pada pengelolaan kanker kolorektal adalah untuk
meningkatnya ketahanan hidup, menurunnya tingkat morbiditas dan mortalitas pasien kanker
kolorektal.
1. Screening
Sebagian besar kanker kolorektal muncul dari polip adenomatosa. Perkembangan polip
adenomatosa dari polip kecil, polip yang lebih besar, hingga polip dyspastic, dan akhirnya
kanker terjadi paling tidak selama 10 tahun. Tujuan skrining adalah mendeteksi polip sebelum
berubah menjadi kanker. Pedoman untuk skrining memperhitungkan efektivitas, sensitivitas,
spesifisitas, biaya, dan morbiditas

2. Pencegahan Primer
Obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), kalsium, folat, dan estrogen dapat mencegah
perkembangan polip. Konsumsi tinggi daging merah / olahan dan diet rendah ikan dikaitkan
sebagai faktor-faktor peningkatan risiko kanker kolorektal. Namun, untuk aktivitas fisik
mungkin memiliki efek perlindungan terhadap kejadian kanker kolorektal (Chabner dan Longo,
2014).
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. SA
Usia : 77 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 31 Desember 1941
Alamat : Sidikalang, Sumatera Utara
Agama : Islam
Suku : Jawa
No. Rekam Medis : 01.08.96.58
Tanggal Masuk RSUPM : 17 Juli 2019

3.2 Anamnesis (Alloanamnesis )

Keluhan Utama : Nyeri di seluruh lapangan perut


Telaah : Hal ini telah dialami pasien selama  2 hari sebelum
masuk rumah sakit, awalnya nyeri dirasakan pada daerah epigastrium dan dibagian perut bawah
lama kelamaan menyebar ke seluruh perut. Pasien merupakan rujukan dari RS Sidikalang
dengan diagnosa Susp. Ileus Paralitik. Sebelumnya pasien masuk ke RS Sidikalang dengan
keluhan mencret yang sudah berlangsung lebih dari 1 minggu sebelumnya hingga 4 – 5 x dalam
sehari. Namun, sejak 1 hari yang lalu pasien tidak ada buang air besar sama sekali. Pasien juga
mengeluhkan adanya mual (+) dan muntah (+) yang sudah di alami sejak 2 hari ini, penurunan
nafsu makan (+). Demam (+) juga dialami pasien dengan sejak 1 hari yang lalu, BAK (+)
normal, BAB terakhir berwarna kehitaman sedikit cair.

Riwayat Penyakit Terdahulu : Nyeri otot


Riwayat Penggunaan Obat : Obat penghilang nyeri
Riwayat Keluarga : Tidak ada kelainan serupa
Vital Sign :
Sensorium : Compos mentis
Tekanan darah : 130/90 mmHg
HR : 84 x/i
RR : 28 x/i
T : 36,4 °C

Pemeriksaan Fisik
Kepala : conjunctiva palpebra inferior anemis (-), mata cekung (-)
Leher : tidak dijumpai kelainan
Thorax : tidak dijumpai kelainan
Abdomen : dalam status lokalisata
Ekstremitas : tidak dijumpai kelainan
Genitalia : pasien seorang perempuan, tidak dijumpai kelainan

Status Lokalisata
Abdomen
• Inspeksi : Simetris, distensi (+)

• Palpasi : Defans muscular (+) diseluruh abdomen

• Perkusi : Hipertimpani

• Auskultasi : Peristaltik (-)

• Rectal Toucher

Perineum normal, sphincter ani ketat, mukosa licin, nyeri tidak jelas, pada ampula
terdapat feses.

Sarung tangan : feses (+) darah (-) mucus (-)

Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium: (18/07/2019)


• Hb / Ht / Wbc / Plt : 14,8 g/dL/ 41,3 % / 11.760/uL / 95.000/uL

• Na / K / Cl : 147,00/ 5,4 / 128,00 mmol/L


• Glukosa Adrandom : 100

• Ureum / Kreatinin : 170 / 2,59

Radiologi


 Foto Thorax AP/Supine

Kesan: tidak tampak kelainan

• Folo Polos Abdomen

Kesan : Pneumoperitoneum > Perforasi

Diagnosa Awal : Diffuse peritonitis d/t hollow organ perforation

Diagnosa Kerja:
Post laparatomi eksplorasi d/t Ca Sigmoid
Penatalaksanaan:
• IVFD RL 20 tetes/menit

• Injeksi ceftriaxone 1 amp/ 12 jam

• Injeksi ketorolac 1amp/ 8 jam

• Injeksi metronidazol 500 mg/ 8jam


DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society, 2017. Colorectal Cancer Facts & Figures 2017-2019,
American Cancer Society, Atlanta.
Chabner, B. A. & Longo, D. L. 2014. Harrison’s Manual of Oncology, 2nd edn, McGraw-
Hill Education, United States.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2006,
Jakarta.
Evelyn, C. P. 2009. Anatomi dan fisiologi untuk Para Medis. PT Gramedia, Jakarta.
Feldman, M., Friedman, L.S. & Brandt, L.J. 2016. Sleisenger and Fordtran’s
Gastrointestinal and Liver Disease: Anatomy, Histology, Embryology, and
Development anomalies of the small and large intestine, 10th edn, Saunders
Elseviers, United States of America, 1649-1678.
Fleming, M., Ravula, S., Tatishchey, S., Wang, H. 2012. Pathologic aspects of colorectal
carcinoma, Journal of Gastrointestinal Oncology, Los Angeles, California,
USA, 153-173.
Florensia, F. 2014. Karakteristik Pasien Kanker Kolorektal di RSUP Haji Adam Malik
Tahun 2011 – 2013, Medan, Universitas Sumatera Utara.
Globocan, 2012. Estimated Cancer Incidence, Mortality and Prevalence Worldwide in
2012: Indonesia, Accessed 24 April 2018, Available at:
http://globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_population.aspx
Iacobuzio-Donahue, C. A. & Montgomery, E. 2015. Gastrointestinal and Liver
Pathology, Elsevier Saunders, Philadelpia.
IKABDI, 2014. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Kolorektal, Komite
Penanggulangan Kanker Nasional, Jakarta.
Japaries, W. 2017. Buku Ajar Onkologi Klinis, 2nd edn, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Markowitz, S. & Bertagnolli, M. 2009. Molecular Basis of Colorectal Cancer, New
English Journal Medicine, Boston.
Niederhuber, J. E., Armitage, J. O., Doroshow, J. H., Kastan, M. B. & Tepper, J. E. 2014.
Abeloff’s clinical oncology: Colorectal Cancer, Saunders Elseviers, China,
1278-1335.
Riwanto, I., Hamami, A. H., Pieter, J., Tjambolang ,T. & Ahmadsyah, I. 2012. Usus
Halus, Appendiks, Kolon, dan Anorektum. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah, 3rd
edn, EGC, Jakarta, 731-98.
Sander, M.A. 2012. Profil Penderita Kanker Kolon dan Rektum di RSUP Hasan Sadikin
Bandung, Malang, Universitas Muhammadiyah Malang.
SEER, Cancer Statistics Factsheets, 2018. Colon and Rectum Cancer, Accessed
24 April 2018, Available at:
http://seer.cancer.gov/statfacts/html/colorect.html.
Sudoyo, A., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, InternaPublisihing, Jakarta.
Tortora, G.J, Derrickson, B. 2009. Principle of Anatomy and Physiology, 12th edn, John
Wiley & Sons, United States of America.

Thompson WM. Jaffe T. Large-Bowel Obstruction in the Adult: Classic Radiographic


and CT Findings, Etiology, and Mimics. Radiology 2015; 275: 651–661.

World Health Organization. 2000. Classification of Tumours of the Digestive System,


IARC Press, Perancis.

Anda mungkin juga menyukai