Anda di halaman 1dari 4

Buku dan Kisah Cinta yang Gila

Benci betul Hasbulleh sama buku. Baginya, buku itu musuh yang menjijikkan. Awalnya saya
cukup risih dengan sikap Bulleh yang terkesan anti intelektual itu. Saya memang tak suka-suka
amat dengan buku, tapi keengganan untuk membaca atau bahkan sekadar melihat benda bernama
buku, adalah sikap yang aneh. Usut punya usut, Bulleh ternyata punya pengalaman pahit dengan
buku.

Kebencian Bulleh terhadap buku bermula saat kekasihnya, Soraya, yang berwajah cantik, tinggi,
manja, dan perempuan tentu saja, membeli sebuah buku bersampul pink imut. Soraya tak suka
membaca. Tapi entah ada angin apa, mungkin angin yang ditiupkan oleh laki-laki lain, Soraya
menamatkan buku itu.

***

Bulleh memang tak tampan, tapi setidaknya hatinya tak berkarat. Rajin mengaji dan solat malam
jadi jualan Bulleh kepada orang tua Soraya. Orang tua mana yang tak suka dengan laki-laki alim
di abad XXI ini. Apalagi, Bulleh muncul ditengah banyaknya kasus begal dan pencurian
dilakukan anak muda seumuran dia.

Selain itu, Bulleh pandai bercanda. Pernah suatu hari, saat ada pencarian dana untuk inaugurasi
di kampus, Bulleh dengan percaya diri melawak di hadapan orang-orang di Pantai Losari. Topi
yang diletakan didepannya berangsur-angsur terisi dengan uang receh dari Alfamart, sebagai
apresiasi dari orang-orang labil karena baru saja tidak lolos tes PNS. Kegemarannya menonoton
film Warkop DKI betul-betul ajaib. Setelah dipikir-pikir, wajahnya memang mirip Dono. Tapi,
itu pula yang bikin Soraya jatuh hati.

Soraya, sejak maba adalah perempuan murung dan polos. Tapi semuanya berubah saat Bulleh
memanah hatinya. Cieee. Hidup Soraya penuh warna dengan humor-humor, yang sebenarnya
garing dari Bulleh. Tapi cinta memang bukan perkara garing atau tidak. Juga bukan ihwal
tampan atau buruk. Kelebihan Bulleh barangkali hanyalah kepercayaan dirinya yang besar. Soal
setia, Bulleh hanya pura-pura saja di hadapan Soraya. Jika kita dengarkan, rayuan gombal Bulleh
terasa klise. Mirip rayuan anak SMA yang masih berada di level terbawah perihal cinta. Masih
bau kencur. Tapi kita tahu, Bulleh tetap keren, mungkin. Ya, mungkin.

Tiga bulan berlalu. Bulleh mulai sering mengantar-jemput Soraya kerumahnya di bilangan Jalan
Minasaupa. Di kampus, Bulleh dan Soraya hanya bisa saling curi-curi pandang. Mereka awalnya
menyembunyikan hubungan mereka karna takut ketahuan pak Dekan. Maklum, Dekan di
Fakultas Bulleh ialah tetangga rumah yang baik tapi sering menusuk dari belakang. Seperti pagar
makan rumah, atau anak ABG sekarang yang suka ngerumpi dengan ibu-ibu arisan. Namun,
sehebat-hebatnya gajah melompat akhirnya tak bisa juga.

Enam bulan mereka memadu kasih, semua orang di fakultas tahu mereka sedang dalam ikatan
cinta. Gairah yang timbul dari aura kedua pasangan tersebut ibarat uang Rp. 100.000 dipinggir
jalan yang sunyi dilihat dari helikopter milik bu Rektor. Mencolok, dan membuat kita geregetan.

Di bulan ketujuh, kita sama-sama tahu. Langit mulai kelabu. Gerimis memainkan nada yang
ritimis. Bulleh di talak oleh Soraya. Hubungan diputuskan begitu saja. Bulleh yang tak tau apa-
apa bertanya-tanya pada Soraya; apa kesalah yang tak penah ia perbuat? Meskipun tak diangkat
jadi PNS setelah bertahun-tahun mengabdi di Puskesmas Kabupaten Selayar, ternyata bukan itu
alasan Bulleh di putuskan.

Bulleh hampir bunuh diri. Untung saja Arildan beberapa kawan yang lain menahannya untuk
meminum segar sari susu campur kopi dan keringat dari sepatu Kak Ugas yang terkenal bau itu.
Mereka hanya memberikannya segelas Extra Joss campur Sprite supaya kelenjar di dalam
saluran pencernaanya lancar agar buang air tak mampet seperti uang mahasiswa rantau di akhir
bulan. Mereka menasehati Bulleh, menyusun rencana untuk menyelidiki sebab-sebab faktor
kejadian putusnya Bulleh dengan Soraya dengan pendekan Crossectional Retrospektif. Aril yang
mempin proyek miliaran ini bergegas turun lapangan. Setelah hampir 3 hari 18 jam 21 menit
lewat 2 detik, tim pengumpul fakta yang mencengangkan. Kami mempresentasikannya di
halaman rumah Bulleh di BTP. Ternyata, kesimpulan penelitian mereka berkata bahwa,
sesungguhnya, keputusan Soraya memutuskan Bulleh ialah karena sebelumnya, ia telah
menamatkan buku berjudul Udah Putus Mko saja karangan Azuldi.

Menurut penelitian etnografi mutakhir yang dilakukan Prof. Babul Nanas, buku Udah Putus Mko
Saja memiliki semacam daya pikat yang hebat. Ditulis dengan puitis dan liris seperti gaya
Sapardi Locco Mamono di buku Hujan Bukan Juni. Berisi ribuan referensi yang hampir ilmiah
dari Prof.Iklam Lifki. Membuat buku itu menyihir para pembacanya. Buku itu juga berisi tips
dan trik memutuskan pasangan dengan lembut seperti sutra dari Sengkang. Agar tak terjadi
konflik dan keos berkepanjangan, buku gubahan Azuldi menyisipkan saran yang gemilang,
“bunuh saja dia, pacarmu itu”. Tapi Soraya tak kaffah mengimani buku ini. Ia tak melakukan
saran itu. Ia memutuskan Bulleh dengan sangat kejam.

Setelah mendengar pemaparan presentasi dengan slide bikinan Ninu, anak aktifis tahun 1965,
Laksim yang berada dipojok paling belakang terharu, air liur berjatuhan dari mulutnya yang
berbehel itu. Aril dan Iwank tertawa terbahak-bahak seolah telah melihat badut jatuh dipanggung
sirkus. Dan di depan layar proyektor, dengan mata berbinar sambil minum teh sisri beli di
warung Kak Salmi, juga mengumpat seperti melafalkan bahasa kotor ala orang lokal, Bulleh
geram, tak percaya, dan menyusun rencana mengerikan. Anassongkolo, ucap Bulleh sambil
menangis tersedu.

Di kampus, setelah kejadian itu, Bulleh benar-benar nekat. Saya yang tau tahu menahu cukup
kaget. Ia mengambil buku-buku yang berada di dalam tas kami. Mengeluarkannya, dan
meludahinya satu per satu. “Anjing ko Bulleh”, ungkap saya. Heran betul saya dengan kelakuan
Bulleh yang mirip pemerintah Orde Baru, benci dengan buku.

Soraya pun tak muncul berhari-hari, entah karena apa. Menurut pengakuan Inrum dan Anti,
sahabat kecil Soraya yang mukanya tak cantik-cantik amat, lebih mendekati jelek lah jika tak
ingin dibilang kasar, Soraya hanya menjadikan buku Udah Putus Mko Saja sebagai dalih
pembenaran untuk mengakhiri hubungannya dan berpindah ke pemuda asal Sideraf, bermotor
merk Yamaha warna Hitam, tapi cadel mengucap hampir semua huruf. Kita tahu siapa dia.
Husst…tak boleh kita sebut namanya dengan sembarangan. Mirip-mirip Voldemort lah.

***

Setelah tahu cerita semuanya, saya tertawa sambil menangis. Cinta memang berbahaya. Apalagi
jika berakhir dengan absurd seperti kisah Bulleh dan Soraya. Kebencian terhadap buku ternyata
tak beralasan ideologis atau politik. Ia bisa muncul dari persoalan lain yang lebih receh, semisal
putus cinta.
Menjadi pembenci buku layaknya Bulleh adalah absurd. Dan menjadi pembaca buku ala kaum
skriptual seperti yang dilakukan Soraya juga tak baik. Membaca membutuhkan sikap kritis.
Bukan asal telan seolah obat dari dokter Puskesmas yang sama untuk semua penyakit. Kisah ini
bikin kita belajar banyak dan langsung merasa tak perlu tinggi-tinggi sekolah di universitas.
Cinta memang gila, begitu ucap Bulleh di masa tuanya yang renta setelah menduda, merana.

Anda mungkin juga menyukai