Anda di halaman 1dari 11

IMPLEMENTASI LIFE SKILLS DALAM KONTEKS

PENDIDIKAN DI SEKOLAH

Oleh : Prof.Dr.H.Djam’an Satori,MA*)

Abstrak: Artikel ini membahas implementasi life skills dalam konteks


pendidikan di sekolah. Dalam wacana pengembangan kurikulum, life
skills merupakan salah satu fokus analisis penting yang selalu dikaji
dalam isu relevansi fungsi sosial dan masalah kehidupan kontemporer
yang berkembang di masyarakat. Tema life skills memiliki makna yang
lebih luas dari employbility atau vocational skills. Dilihat dari pendekatan
manajemen pendidikan, implementasi life skills hendaknya difahami
dalam konteks School-Based Management, Community-Based Education
dan Broad-Based Education. Implementasi life skills sepatutnya menjiwai
kurikulum semua jenjang dan jenis sekolah. Namun demikian, dengan
memperhatikan misi kelembagaan dan permasalahan yang dihadapinya,
implementasi life skills di SLTP dan SMU perlu menjadi prioritas.

Kata Kunci: Life Skills, Employability Skills, Vocational Skills, Specific


Occupational Skills, School-Based Management, Community-Based
Education, Broad-Based Education.
*)
Prof. Dr. H. Djam’an Satori adalah Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia

1. Pendahuluan

Dalam perspektif sejarah persekolahan, kebermaknaan sekolah selalu


dilihat dalam alasan "kehadirannya" sebagai institusi masyarakat, yaitu
untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu kebutuhan tersebut adalah
kemilikan kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat.

Dewasa ini, pendidikan di sekolah diberi peranan yang sangat dinamis.


Pendidikan semakin diarahkan kepada tujuan-tujuan nasional. Sebagai
salah satu diantara "industri" vital negara, pendidikan mengabdikan diri
untuk menghasilkan manusia-manusia yang diperlukan bagi kemakmuran
bangsa, bahkan memajukan kedudukan bangsa dan negara di dunia yang
bersaing. Pernyataan-pernyataan seperti "pendidikan sebagai investasi"
atau "pendidikan adalah kunci perubahan" pada dewasa ini sedang
memperoleh pengakuan sebagai kebenaran di kalangan para pemimpin
negara, para perancang kebijakan, dan para ahli yang menaruh minat
dalam proses pembangunan.

Salah satu pendekatan untuk memposisikan peran pendidikan di sekolah


adalah melihat peran sekolah untuk menolong individu, keluarga,
masyarakat, dan negara dalam menjawab permasalahan yang perlu
dipecahkan. Salah satu masalah yang dihadapi pada saat ini adalah
adanya kenyataan bahwa tidak semua lulusan SLTP dan SMU
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Data tahun
1999/2000 menunjukkan angka sebesar 19,45 persen untuk lulusan SLTP
dan sebagian besar (53,12 persen) untuk lulusan SMU (Mendiknas,2001).
Kenyataan ini mengundang pemikiran yang serius, karena lulusan SLTP
dan SMU pada dasarnya tidak dibekali kecakapan khusus untuk
memasuki dunia kerja.

Masalah besarnya proporsi lulusan yang tidak melanjutkan sekolah


merupakan realitas sosial yang perlu mendapat respon yang tepat.
Sekolah perlu mengembangkan alternatif layanan program pendidikan
yang mampu memberikan keterampilan untuk hidup (life skills) bagi
peserta didiknya. Mereka yang karena sesuatu hal tidak dapat
melanjutkan pendidikannya (sebagian besar untuk kasus lulusan SMU)
perlu mendapat perhatian extra. Dalam kepentingan inilah Mendiknas
(2001) mengangkat gagasan perlu adanya kebijakan pendidikan yang
berbasis pada masyarakat luas dengan orientasi kecakapan untuk hidup
(Broad-Based Education). Dijelaskan lebih lanjut oleh Mendiknas bahwa
pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup tidak mengubah
sistem pendidikan, dan juga tidak untuk mereduksi pendidikan hanya
sebagai latihan kerja. Pendidikan yang berorientasi pada keterampilan
hidup justru memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk
meningkatkan potensinya, dan bahkan memberikan peluang pada anak
untuk memperoleh bekal keahlian/keterampilan yang dapat dijadikan
sebagai sumber penghidupannya.

Tulisan ini diharapkan dapat memperkaya wawasan tentang life skills


dalam konteks pendidikan di sekolah, khususnya di Sekolah Menengah
Umum. Gagasan yang dikembangkan dalam tulisan ini, yaitu peningkatan
mutu SMU berwawasan khusus dalam konteks implementasi life skills,
diharapkan dapat memberikan alternatif solusi dalam menangani lulusan
SMU yang tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.

2. Kajian Literatur dan Pembahasan

2.1. Konsep Life Skills dalam Pendidikan Sekolah.

Konsep life skills di sekolah merupakan wacana pengembangan kurikulum


yang telah lama menjadi perhatian para pakar kurikulum (Tyler 1949;
Taba,1962; Saylor, et.al.; 1983; Print,1993). Life Skills merupakan salah
satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan sekolah
yang menekankan pada kecakapan atau keterampilan hidup atau bekerja.
Dalam kajian pengembangan kurikulum, isu tersebut dibahas dalam
pendekatan studies of contemporary life outside the school atau
curriculum design focused on social functions/activities. Dalam
pendekatan kurikulum tersebut, pengembangan life skills harus dipahami
dalam konteks pertanyaan berikut:

 Kemampuan (life skills) apa yang relevan dipelajari anak di


sekolah; atau dengan kata lain kemampuan apa yang mereka
harus dikuasai setelah menyelesaikan satuan program belajar
tertentu.
 Bahan belajar apa yang harus dipelajari sehingga ada jaminan bagi
anak bahwa dengan mempelajarinya mereka akan menguasai
kemampuan tersebut.
 Kegiatan dan pengalaman belajar seperti apa yang harus dilakukan
dan dialami sendiri oleh anak sehingga ia menguasai dengan
sesungguhnya kemampuan-kemampuan yang perlu dikuasai.
 Fasilitas, alat, dan sumber belajar bagaimana yang perlu
disediakan untuk mendukung kepemilikan kemampuan-
kemampuan yang diinginkan tersebut.
 Bagaimana cara untuk mengetahui bahwa anak didik benar-benar
telah menguasai kemampuan-kemampuan tersebut. Bentuk
jaminan apa yang dapat diberikan sehingga anak-anak mampu
menunjukkan kemampuan itu dalam kehidupan nyata di
masyarakat.

Life skills memiliki makna yang lebih luas dari employability skills dan
vocational skills. Keduanya merupakan bagian dari program life skills.
Brollin (1989) menjelaskan bahwa life skills constitute a continuum of
knowledge and aptitudes that are necessary for a person to function
effectively and to avoid interupptions of employment experience. Dengan
demikian life skills dapat dijelaskan sebagai kecakapan untuk hidup.
Pengertian hidup di sini, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu
saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar
pendukungnya secara fungsional seperti membaca, menulis, menghitung,
merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber-sumber
daya, bekerja dalam tim atau kelompok, terus belajar di tempat bekerja,
mempergunakan teknologi, dan lain sebagainya.

Sumber-sumber lain yang diakses dari internet menunjukkan pengertian


yang sejalan. Pengertian yang dipandang cukup mewakili adalah life skills
are skills that enable a person to cope with the stresses and challenges of
life. (http://www.usoe.k.12.ut.us/curr/lifeskills/). Life skills atau keterampilan
hidup dalam pengertian ini mengacu pada berbagai ragam kemampuan
yang diperlukan seseorang untuk menempuh kehidupan dengan sukses,
bahagia dan secara bermartabat di masyarakat. Life skills merupakan
kemampuan yang diperlukan sepanjang hayat, kepemilikan kemampuan
berfikir yang kompleks, kemampuan komunikasi secara efektif,
kemampuan membangun kerja sama, melaksanakan peranan sebagai
warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan serta
kecakapan untuk bekerja, dan memiliki karakter dan etika untuk terjun ke
dunia kerja. Oleh karenanya, cakupan life skills amat luas seperti
communication skills, decision-making skills, resource and time-
management skills, and planning skills. Pengembangan program life skills
pada umumnya bersumber pada kajian bidang-bidang berikut: (1) The
World of Work, (2) Practical Living Skills, (3) Personal Growth and
Management, dan (4) Social Skills.

Employability skills mengacu kepada satu set (serangkaian) keterampilan


yang mendukung seseorang untuk menunaikan pekerjaannya supaya
berhasil. Employability skills terdiri dari 3 (tiga) gugus keterampilan, yaitu:
(1) Keterampilan Dasar, (2) Keterampilan berfikir tingkat tinggi, dan (3)
Karakter dan Keterampilan Afektif. Keterampilan dasar terdiri dari (a)
kecakapan berkomunikasi lisan (berbicara dan mendengar/menyimak), (b)
membaca (khususnya mengerti dan dapat mengikuti alur berfikir), (c)
penguasaan dasar-dasar berhitung, dan (d) terampil menulis.
Keterampilan berfikir tingkat tinggi mencakup (a) pemecahan masalah, (b)
strategi dan keterampilan belajar, (c) berfikir inovatif dan kreatif, serta (d)
membuat keputusan. Karakter dan keterampinan afektif mencakup (a)
tanggung jawab; (b) sikap positif terhadap pekerjaan; (c) jujur, hati-hati,
teliti dan efisien; (d) hubungan antarpribadi, kerjasama dan bekerja dalam
tim, (e) Percaya diri dan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, (f)
penyesuaian diri dan fleksibel, (f) penuh antusias dan motivasi, (g) disiplin
dan penguasaan diri, (h) berdandan dan berpenampilan menarik, (i) Jujur
dan memiliki integritas, serta (j) mampu bekerja mandiri tanpa
pengawasan.

Apabila dihubungkan dengan pekerjaan tertentu, employability skills


ditunjukkan pada penguasaan vocational skills, yang intinya terletak pada
penguasaan specific occupational job, yaitu keterampilan khusus untuk
melakukan pekerjaan tertentu. Keterkaitan di antara life skills,
employability skills, vocational skills dan specific occupational skills dapat
digambarkan dalam model berikut:

Diagram/Gambar 1

Model Hubungan Fungsional Antara Life Skills, Employability Skills, Vocational Skills dan Specific
Occupational Skills

Dari model di atas dapat dipahami bahwa pengembangan life skills dalam
konteks pendidikan di sekolah sepatutnya difokuskan pada penguasaan
specific occupational skills (keterampilan pekerjaan tertentu/spesifik). Jadi,
program tersebut merupakan elaborasi yang dengan sendirinya dijiwai
oleh pemaknaan life skills, employability skills, dan vocational skills.
Apabila dipahami dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa life skills
dalam konteks kepemilikan specific occupational skills sesungguhnya
diperlukan oleh setiap orang. Ini berarti bahwa pengembangan program
life skills dalam pemaknaan tersebut di atas sepatutnya menyatu dengan
program pendidikan di sekolah. Dengan demikian, dalam konsep
pendidikan di sekolah, semua anak yang dinyatakan telah menyelesaikan
jenjang pendidikan tertentu sepatutnya telah memiliki life skills. Dalam
pendidikan sekolah di Indonesia, masalah tersebut sangat relevan jika
dikaitkan dengan kelompok lulusan SLTP dan SMU yang tidak
melanjutkan sekolah. Pengembangan program life skills pada jenjang
tersebut diharapkan dapat menolong mereka untuk memiliki harga diri dan
kepercayaan diri dalam mencari nafkah dalam konteks peluang yang ada
di lingkungan masyarakatnya.

2.2. School-Based Management, Community-Based Education, dan


Broad-Based Education dalam konteks Pengembangan Life Skills.

Pada dewasa ini ada 3 (tiga) konsep yang sedang menjadi wacana dalam
pengembangan pendidikan di Indonesia, yaitu School-Based
Management, Community-Based Education, dan Broad-Based Education.
School-Based Management merupakan gagasan yang menempatkan
kewenangan pengelolaan sekolah sebagai satu entitas sistem. Dalam
format ini, kepala sekolah dan guru-guru sebagai kelompok profesional,
dengan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya (stakeholder sekolah),
dianggap memiliki kapasitas untuk memahami kekuatan, kelemahan,
peluang dan tantangan yang dihadapi sekolah dalam upaya
mengembangkan program-program sekolah yang diinginkan sesuai
dengan visi dan misi sekolah. Community-Based Education adalah satu
gagasan yang menempatkan orientasi penyelenggaraan pendidikan pada
lingkungan kontekstual (ciri, kondisi dan kebutuhan masyarakat) dimana
kelembagaan pendidikan itu berada. Orientasi pengembangan program
sekolah hendaknya merefleksikan ciri, sifat, dan kebutuhan masyarakat.
Broad-Based Education adalah pendidikan berbasis masyarakat luas,
yaitu kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang diperuntukan bagi
kepentingan lapisan masyarakat terbesar. Sifat dasar yang menonjol dari
lapisan masyarakat terbesar adalah pendidikan yang menekankan
kecakapan atau keterampilan hidup atau bekerja. Atau, secara teknis
filosofis orientasi pendidikan mereka kepada life skills. Di New Zealand
gagasan seperti ini direfleksikan menjadi motto sebuah college, yaitu
young men taking their place in the world, yang menekankan pada
pentingnya kemampuan Future Problem Solving, kejelasan Vocational
Pathways, dan penyelenggaraan belajar dengan pendekatan Integrated
Curriculum (http//www.nelcollege.schoolnz). Gagasan ini sangat
beralasan, sebab sesungguhnya secara umum perkembangan peradaban
ekonomi masyarakat dewasa ini telah menuntut kesanggupan sekolah
memiliki pertautan yang jelas dengan tuntutan masyarakat luas dan dunia
kerja. Paradigma school to work harus melandasi segenap kegiatan
pendidikan.

Apabila dicermati, ketiga gagasan yang dijelaskan di atas memiliki titik


temu, yaitu bagaimana menyelenggarakan pendidikan di sekolah yang
dapat memenuhi kebutuhan sebagian besar masyarakat pengguna,
dengan memperhatikan ciri, sifat, dan kebutuhan masyarakatnya,
sementara pengelolaan sekolah mampu mengakomodasi kepentingan
tersebut dengan cara melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan
dengan sekolah, yang direfleksikan dalam visi, misi, dan program-program
strategisnya. Dalam kondisi seperti itu, di samping tetap melayani
program-program akademiknya, sekolah harus mampu pula menyediakan
paket-paket atau program-program pembelajaran yang dapat memberikan
jaminan kepemilikan life skills yang diorientasikan pada penguasaan
specific occuvational skills. Program ini diharapkan memberi manfaat plus
bagi anak didik yang karena sebab tertentu tidak dapat mengikuti jenjang
pendidikan yang lebih lanjut. Keterkaitan ketiga konsep tersebut dengan
posisi pengembangan life skills dapat digambarkan sebagai berikut:

Diagram/Gambar 2
Posisi pengembangan life skills dalam pengembangan gagasan
School-Based Management, Community-Based Education
Dan Broad-Based Education

2.3. Pengembangan SMU Berwawasan Khusus dalam Konteks


Penerapan Life Skills

Pada saat ini penulis bersama satu tim konsultan mendapat kepercayaan
dari Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Dirjen Dikdasmen untuk
mengembangkan Pola Induk Pengembangan Model Penyelenggaraan
Sekolah Menengah Umum Berwawasan Khusus. Penyelenggaraan SMU
yang berwawasan khusus (plus penguasaan keterampilan tertentu –
specific occupational skills) dimaksudkan untuk memberikan keterampilan
hidup tertentu pada siswa yang disesuaikan dengan potensi daerah,
bakat, dan pilihan hidup yang terkait dengan bidang studi tertentu di SMU.
Program bersifat intra dan ekstra kurikuler sehingga siswa diberi
keleluasaan untuk memilih sesuai dengan minat dan bakat yang
dimilikinya. Apabila diposisikan dalam makna life skills, maka program ini
merupakan aspek dari pengembangan life skills.

Secara kelembagaan, posisi penting SMU adalah mempersiapkan anak


didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Dalam
kenyataannya, seperti telah disebutkan di bagian depan, hanya sebagian
saja lulusan SMU (46,9 persen) yang melanjutkan pendidikannya ke
perguruan tinggi (Mendiknas, 2001). Ini berarti bahwa sebagian besar
lulusan SMU tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka ke perguruan
tinggi. Dapat diduga bahwa lulusan SMU yang tidak melanjutkan ke
pendidikan tinggi tersebut masuk ke dunia kerja tanpa bekal yang cukup
untuk bekerja. Ketidaklanjutan tersebut diyakini disebabkan oleh banyak
faktor. Namun demikian, faktor sosial ekonomi keluarga tampaknya
menjadi sebab utama. Hasil penelitian Majelis Pendidikan Tinggi,
Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2001) menunjukkan bahwa
pengembangan pendidikan kewirausahaan lebih diminati oleh siswa yang
latar belakang pekerjaan orang tuanya masuk dalam kategori kelas
menengah ke bawah. Jika kelompok lulusan SMU yang tidak melanjutkan
ke pendidikan tinggi tersebut berasal dari kelompok keluarga demikian,
maka masalahnya adalah bagaimana mencari pemecahan yang tepat
tanpa mengubah misi kelembagaan SMU sendiri.

Pengembangan SMU berwawasan khusus (yang berorientasi pada


pengembangan life skills) tidak mengubah sistem pendidikan SMU, dan
juga tidak untuk mereduksi pendidikan hanya sebagai latihan kerja.
Program ini tetap menempatkan SMU sebagai lembaga pendidikan yang
mengembangkan program-program akademik sesuai dengan misi SMU
mempersiapkan anak-anak untuk melanjutkan ke jenjang perguruan
tinggi. SMU berwawasan khusus yang akan dikembangkan justru
memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk meningkatkan
potensinya, dan bahkan memberikan peluang pada anak untuk
memperoleh bekal keterampilan/keahlian yang dapat dijadikan sebagai
sumber penghidupannya, terutama bagi mereka yang karena sesuatu hal
tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Pengembangan SMU yang
berorientasi keterampilan hidup tidak dimaksudkan untuk mendikte
sekolah, tetapi hanya menawarkan berbagai kemungkinan atau menu
yang dapat dipilih sesuai dengan situasi dan kondisi riil sekolah, baik
ditinjau dari keberadaan murid-muridnya maupun kehidupan masyarakat
sekitar. Pengembangan SMU berwawasan khusus pun tidak dimaksudkan
untuk menyaingi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang memiliki misi
khusus menyiapkan lulusannya untuk menguasai kemampuan kejuruan
untuk terjun ke dunia kerja. Dalam pelaksanaan program ini, SMK dapat
menjadi mitra dalam melayani penyediaan paket programnya melalui
program kemitraan (partership). Bahkan dalam pengembangan program
ini, dunia kerja dan industri dapat bekerja sama melalui program
"outsourcing".

Pengembangan SMU berwawasan khusus ini dikembangkan melalui (1)


pemberdayaan dan pemanfaatan potensi lokal seoptimal mungkin, (2)
pemberian peluang/fleksibilitas terhadap sekolah dalam pemilihan dan
pelaksanaan pembelajaran keterampilan tertentu, serta (3) pemberdayaan
unit-unit terkait dalam penyiapan dan pengembangan kurikulum muatan
lokal yang berpijak pada perkembangan jaman dan teknologi modern.
Orientasi pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to
do, learning to be, dan learning to life together secara harmonis.

Pengembangan SMU yang berwawasan khusus dikembangkan melalui


tahapan sebagai berikut:

1. Tahun 2001. Studi kelayakan tentang penyusunan dan


pengembangan pola induk model penyelenggaraan SMU
berwawasan khusus sejumlah 8 (delapan) model yaitu: Ilmu-ilmu
Dasar, Keterampilan, Seni, Bahasa Asing, Lingkungan Hidup,
Teknologi Informatika, Kepribadian dan Budi Pekerti, dan Olah
Raga Prestasi.
2. Tahun 2002. Penyebarluasan/sosialisasi dan perintisan pada
beberapa sekolah.
3. Tahun 2003. Implementasi/pelaksanaan program.

Kegiatan yang ditangani oleh Tim Kerja (penulis bersama Tim Konsultan)
adalah pengembangan tahap pertama (butir no.1). Kegiatan ini terdiri dari
dua kegiatan, yaitu (1) Penyusunan Naskah Pola Induk Pengembangan
Model SMU Berwawasan Khusus, dan (2) Sosialisasi Model SMU
Berwawasan Khusus.

2.3.1.Tahapan Penyusunan Naskah Pola Induk

Penyusunan Naskah Pola Induk dilakukan melalui tahapan kegiatan


sebagai berikut:

Pertama, penetapan jenis penyelenggaraan model SMU berwawasan


khusus yang akan dikembangkan pola induk penyelenggaraannya.
Berdasarkan analisis kebutuhan sementara, dikembangkan 8 (delapan)
model SMU berwawasan khusus yang terdiri dari:

1. Model SMU Berwawasan Ilmu-Ilmu Dasar.


2. Model SMU Berwawasan Keterampilan.
3. Model SMU Berwawasan Seni.
4. Model SMU Berwawasan Bahasa Asing.
5. Model SMU Berwawasan Lingkungan Hidup.
6. Model SMU Berwawasan Teknologi Informatika.
7. Model SMU Berwawasan Kepribadian.
8. Model SMU Berwawasan Oleh Raga Prestasi.

Kedua, melakukan berbagai studi kepustakaan (literatur) dan dokumen


tentang pengembangan SMU yang memiliki keunggulan khusus. Sumber-
sumber yang dikaji berkaitan dengan tema comprehensive high school,
vocational high school, life skills, vocational skills, dan employability skills.

Ketiga, penetapan substansi pokok dokumen pola induk pengembangan


model SMU berwawasan khusus untuk setiap dokumen model SMU yang
dikembangkan.

Keempat, melakukan studi lapangan ke SMU yang telah memiliki


kelebihan khusus atau keunggulan khusus dalam bidang-bidang yang
akan dijadikan model pengembangan SMU. Studi lapangan ini dilakukan
ke SMU yang dijadikan referensi praktek sebagai berikut :

1. SMU Muhammadiyah Plus, Medan (Bidang Bahasa Asing);


2. SMUN 11 Yogyakarta (Bidang Seni );
3. MAN Jember, Jawa Timur (Bidang Ketrampilan);
4. SMUN 23 Bandung (Bidang Lingkungan Hidup);
5. SMU Regina Pacis, Bogor (Bidang Ilmu-Ilmu Dasar);
6. SMUN Sewon, Bantul (Bidang Teknologi Informatika);
7. SMU Muttahari, Bandung (Bidang Kepribadiandan Budi Pekerti);
8. SMUN 3 Jakarta (Bidang Olahraga Prestasi).
Yang menjadi dasar pemilihan sekolah-sekolah tersebut sebagai referensi
empirik adalah hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa orientasi
wawasan khusus tersebut telah dilaksanakan secara sungguh-sungguh
sebagai bagian dari program sekolah atas prakarsa sekolah masing-
masing. Oleh karena itu, perlu dikemukakan di sini bahwa pengembangan
Model SMU Berwawasan Khusus ini bukanlah praktek yang sama sekali
baru. "Mutiara" ide tersebut sesungguhnya telah dilaksanakan di beberapa
sekolah (diantaranya yang dijadikan referensi dalam studi ini). Studi ini
mencoba mengembangkan model dengan cara mempelajari secara
sistemik apa yang telah dilakukan , mengkaji berbagai pengalaman
lainnya dari berbagai sumber, disertai pula kajian akademik dari sumber
pustaka.

Kelima, menyusun draft (buram) awal pola induk model penyelenggaraan


SMU yang berwawasan khusus sesuai dengan substansi yang
dikembangkan seperti dijelaskan di atas berdasarkan hasil studi
kepustakaan dan studi lapangan ke SMU referensi yang dipilih untuk
masing-masing model;

Keenam, melakukan seminar dan lokakarya pembahasan buram yang


dihasilkan tim pengembang dengan melibatkan para pakar yang relevan,
praktisi lapangan (Kepala Sekolah, Guru, dan Pengawas SMU), maupun
pejabat dari unit-unit utama kantor pusat Departemen Pendidikan
Nasional. Kegiatan serupa dilakukan untuk menyempurnakan buram
naskah pola induk model penyelenggaraan SMU berwawasan khusus
sesuai dengan saran/usul/pendapat yang berkembang dalam seminar,
diskusi, dan lokakarya yang diselenggarakan. Naskah akhir dinyatakan
diterima setelah memenuhi spesifikasi seperti ditetapkan dalam naskah
kesepakatan, dalam hubungannya dengan kebijakan Depdiknas,
kapasitas profesional dan kapasitas akademik.

2.3.2. Sosialisasi Model SMU Berwawasan Khusus

Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperkenalkan Model


Penyelenggaraan SMU Berwawasan Khusus kepada para Kepala Dinas
Pendidikan Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) dan Kepala Sekolah
yang sekolahnya memenuhi kriteria untuk melaksanakan model yang
akan dikembangkan. Kegiatan sosialisasi ini meliputi:

1. Melakukan lokakarya untuk menetapkan kriteria SMU yang akan


dijadikan pilot proyek ujicoba model penyelenggaraan SMU
berwawasan khusus untuk tahun ajaran 2001/2002 bersama pihak
Direktorat SMU, Dirjen Dikdasmen, Jakarta.
2. Melakukan konsultasi dengan pihak Pemda/Dinas Pendidikan
Propinsi dan Kabupaten/Kota tertentu untuk pelaksanaan ujicoba
model SMU berwawasan khusus di beberapa SMU yang memenuhi
kriteria yang ditetapkan;
3. Bersama pihak Direktorat PMU dan Dinas Pendidikan
Propinsi/Kabupaten/ Kota terkait memilih dan menetapkan SMU
yang akan dijadikan proyek ujicoba model berdasarkan kriteria
yang telah ditetapkan;
4. Melaksanakan "in-house training" sebagai pembekalan dan
sosialisasi model SMU berwawasan khusus bagi para KS dan Guru
SMU yang akan dijadikan proyek ujicoba (piloting) model
penyelenggaraan SMU berwawasan khusus di sekolah yang telah
terpilih. Sesuai dengan perencanaan yang telah disusun, Piloting
Model SMU Berwawasan Khusus dilaksanakan tahun 2002.

3. Penutup

Sebagai institusi pendidikan, sekolah sepatutnya memiliki kapasitas


sebagai "a place for better learning". Sebutan tersebut sangat beralasan
karena sekolah dirancang untuk menyelenggarakan pendidikan dengan
spesifikasi persyaratan yang mengikat. Dalam kondisi seperti itu, maka
penguatan akuntabilitas sekolah sepatutnya dikaitkan dengan kepentingan
bagaimana penyelenggaraan program-program pendidikan yang
ditawarkannya dapat memenuhi kebutuhan sebagian besar masyarakat
pengguna. Dalam kondisi seperti itu, di samping sekolah tetap melayani
program-program akademiknya, sekolah harus mampu menyediakan
paket-paket atau program-program pembelajaran yang dapat memberikan
jaminan kepemilikkan "life skills" yang diorientasikan pada penguasaan
"specific occuvational skills". Kemampuan tersebut diperlukan oleh setiap
anak sekolah. Namun demikian, SMU tampaknya memiliki posisi prioritas.
Pengembangan Model SMU Berwawasan Khusus, yang pada esensinya
dijiwai oleh pengembangan "life skills" diharapkan dapat menolong
sebagian besar lulusan SMU yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi
untuk memiliki keterampilan hidup tertentu sesuai dengan potensi daerah,
bakat, minat dan pilihan hidupnya. Pengembangan program seperti ini
memerlukan kerjasama dengan orang tua siswa, masyarakat sekitar,
dunia kerja dan pihak yang berkepentingan lainnya. Pengalaman empirik
menunjukkan bahwa keberhasilan penyelenggaraan program seperti itu,
di samping didukung oleh fasilitas, guru-guru yang berdedikasi, dan
dukungan kepemimpinan pendidikan setempat (Dinas Pendidikan
Daerah), peranan kepala sekolah sangat menentukan atas keberhasilan
penyelenggaraan program.

Pustaka Acuan

Brolin,D.E. 1989. Life-Centered Career


Education : A Competency-Based Approach
(3rd Ed.). Reston VA : The Council for
Exceptional Children

http://www.vsoc.k.12.ut.us/curr/lifeskills.

http://www.nelcollege.schoolnz/.

Hilda Taba. 1962. Curriculum Development,


Theory and Practice. San Fransisco College.
Majelis Pendidikan Tinggi, Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. 2001. Studi Kebijakan
Kewirausahaan dan Bakat Prestasi. Proyek
Pembinaan Kesiswaan dan Wawasan
Keilmuan. Direktorat Pendidikan Menengah
Umum, Ditjen Dikdasmen, Depdiknas.

Menteri Pendidikan Nasional. 2001. Laporan


Menteri Pendidikan Nasional pada Rapat
Koordinasi Bidang Kesra Tingkat Menteri,
Tanggal 19 September 2001.

Print, Murray. 1993. Curriculum Development


and design. Allen and Unwin, Australia.

Saylor, J.Galen at.al. 1983. Curriculum


Planning for Better Teaching and Learning. Holt
Saunders International Edition.

Tyler, Ralph W. 1947. Basic Principles of


Curriculum and Instruction. The University of
Chicago Press.

Anda mungkin juga menyukai