Anda di halaman 1dari 14

KONSEP PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP

(Life Skill Education)

Upaya peningkatan mutu pendidikan dengan memberi bekal sangat


diperlukan, utuk menghadapi jenjang pendidikan selanjutnya dan
dunia kerja, maka pendidikan perlu dikembalikan kepada prinsip
dasarnya, yaitu upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi);
mengembangkan potensi dasar peserta didik agar berani dan mau
menghadapi problema yang dihadapi tanpa rasa tertekan; serta mau,
mampu dan senang meningkatkan fitrahnya sebagai khalifah di muka
bumi, sehingga terdorong untuk memelihara diri sendiri maupun
hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat dan
lingkungannya. Pendidikan yang dengan sengaja direncanakan untuk
membekali peserta didik dengan kecakapan hidup dan kehidupan (life
skill) yang secara integratif memadukan potensi generik dan spesifik
guna memecahkan dan mengatasi problema kehidupan.

Daftar Isi
I Latar Belakang
II Rumusan Masalah dan Penanggulangannya
II Tujuan dan Manfaat
IV Konsep Dasar
V Pola Pelaksanaan
VI Halaman Depan

III. Tujuan dan Manfaat


Secara umun Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) bertujuan
mengembalikan pendidikan pada fitrahnya, yaitu mengembangkan
potensi peserta didik untuk menghadapi peranannya di masa datang.
Secara khusus PKH (life skill) bertujuan untuk:
1. mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat
digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi;
2. memabaerikan kesempatan kepada sekolah untuk
mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan
prinsip pendidikan berbasis luas (broad based education), dan
3. mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan
sekolah, dengan memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya
yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah (school-based management).
Sedangkan secara umum manfaat Pendidikan Kecakapan Hidup (life
skill) bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan
memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi
yang mandiri, warga masyarakat dan warga negara. Jika hal itu
berhasil, maka faktor ketergantungan (dependency factor) akibat
banyaknya pengangguran dapat diturunkan, yang berarti produktivitas
nasional akan meningkat.
Semantara itu bagi kalangan pendidikan maupun masyarakat luas
dapat memahami konsep kecakapan hidup dan menerapkannya sesuai
prinsip pendidikan berbasis luas (broad based education). Sebagai
suatu konsep, pendidikan kecakapan hidup tentu terbuka dan memang
akan terus berkembang, namun dengan adanya penjelasan ini, paling
tidak semua pihak terkait dapat menyamakan persepsi tentang apa itu
kecakapan hidup (life skill), pendidikan kecakapan hidup serta
pendidikan berbasis luas (broad based education) dan pendidikan
berbasis masyarakat (community-based education).

IV. KONSEP DASAR


A. Apa yang dimaksud Kecakapan Hidup (Life Skill)
Kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk
mau dan berani meghadapi problema hidup dan kehidupan secara
wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif
mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu
mengatasinya. Kecakapan hidup (life skill) lebih luas dari keterampilan
untuk bekerja, apalagi sekedar keterampilan manual. Orang yang tidak
bekerja, misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pensiun
pun tetap memerlukan kecakapan hidup karena akan tetap
menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan. Orang yang
sedang menempuh pendidikan juga memerlukan kecakapan hidup,
karena mereka tentu juga memiliki permasalahan yang harus
dipecahkan. Bukankah dalam hidup, dimanapun dan kapanpun orang
selalu menemui masalah yang harus dipecahkan?

Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi lima, yaitu:


a. kecakapan mengenal diri (self awarness), yang juga sering
disebut kemampuan personal (personal skill);
b. kecakapan berpikir rasional (thinking skill);
c. kecakapan sosial (social skill)
d. kecakapan akademik (academic skill), dan
e. kecakapan vokasional (vocational skill)

Gambar 1
Skema Terinci Kecakapan Hidup (life skill)
Kecakapan mengenal diri (self awarness) mencakup;
1. penghayatan diri sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota
masyarakat dan warga negara;
2. menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang
dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam
meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi
sendiri dan lingkungannya.
Kecakapan berpikir rasional (thinking skill) mencakup;
1. kecakapan menggali dan menemukan informasi (information
searching),
2. kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan
(information processing and decision making skill),
3. kecakapan memecahkan masalah secara kreatif (creative
problem solving skill)
Kecakapan sosial (social skill)
1. kecakapan komunikasi dengan empati (communication skill)
2. kecakapan bekerjasama (collaboration skill),
Berempati, sikap penuh pengertian dan seni komunikasi dua arah,
perlu ditekankan karena yang dimaksud berkomunikasi bukan sekedar
menyampaikan pesan, tetapi isi dan sampainya pesan disertai dengan
kesan baik akan menumbuhkan hubungan yang harmonis.

Bagi bangasa Indonesia yang bersifat religius, kecakapan hidup


(life skill) di atas masih harus ditambah sebagai panduan, yaitu
akhlaq. Artinya kesadaran diri, berpikir rasional, hubungan
interpersonal, kecakapan akademik serta kecakapan vokasional
harus dijiwai oleh akhlaq mulia. Akhlaq harus menjadi kendali
setiap tindakan seseorang. Karena itu kesadaran diri sebagai
mahluk Tuhan harus mampu mengembangkan akhlaq mulia
tersebut Di sinilah pentinggnya pembentukan jati diri dan
kepribadian (character building) guna menumbuh-kembangkan
penghayatan nilai-nilai etika-sosio-religiud merupakan bagian
integral dari pendidikan di semua jenis dan jenjang.

Kecakapan hidup yang bersifat spesifik (specifis life skill) atau


SLS diperlukan seseorang untuk menghadapi problema bidang
khusus tertentu. Untuk mengatasi problema mobil yang mogok
tentu diperlukan kecakapan khusu tentang mesin mobil. Untuk
memecahkan masalah dagang yang tidak laku, tentu diperlukan
keterampilan marketing. Untuk mampu melakukan
pengembangan biologi molekuler tentunya diperlukan keahlian
khusus tertentu.
SLS biasanya disebut juga sebagai keterampilan teknis (technical
competencies) yang berkaitan dengan metoda dan isi mata
pelajaran atau mata diktat tertentu, yang mencakup kecakapan
vokasional dan kecakapan akademik.

Kecakapan akademik (academic skill) (AS), atau kemampuan


berpikir ilmiah (scientific method) mencakup;
1. identifikasi variabel
2. merumuskan hipotesis
3. melaksanakan penelitian
Kecakapan vokasional (vocational skill) (VS), sering disebut
keterampilan kejuruan, artinya keterampilan yang dikaitkan dengan
bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat.

Perlu disadari bahwa di alam kehidupan nyata, antara general life


skill (GLS) dan (specifis life skill) atau SLS, antara kecakapan
mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial,
kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional tidak berfungsi
secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif. Hal yang
terjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental,
emosional dan itelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam
banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek
pendukung tersebut diatas.
Dalam mengahadapi kehidupan di masyarakat juga akan selalu
diperlukan GLS dan SLS yang sesuai dengan masalah. Untuk
mengatasi masalah mobil mogok diperlukan VS (bagian dari SLS),
khususnya tentang mesin mobil dan GLS, khususnya berfikir rasional,
mengatasi dan memecahkan masalah secara kreatif. Dengan kata lain,
walaupun antara kecakapan-kecakapan hidup tersebut dapat dipilah,
tetapi dalam penggunaannya akan selalu bersama-sama dan saling
menunjang.

B. Landasan Filosofi, Historis dan Yuridis.


Mungkin akan muncul pertanyaan, apa sebenarnya manfaat
pendidikan, khususnya jika dikaitkan dengan kecakapan hidup (life
skill). Pendidikan sebagai suatu sistem, pada dasarnya merupakan
sistimatisasi dari proses perolehan pengalaman. Oleh karena itu secara
filosofis pendidikan diartikan sebagai proses perolehan pengalaman
belajar yang berguna bagi peserta didik. Pengalaman belajar
diharapkan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki peserta
didik, sihingga siap digunakan untuk memecahkana problema
kehidupan yang dihadapinya. Pengalaman belajar yang diperoleh
peserta didik diharapakan juga mengilhami mereka ketika menghadapi
problema dalam kehidupan sesungguhnya.
Secara Historis pendidkan sudah ada sejak manusia ada di muka
bumi, yaitu ketika pendidikan yang dimulai didalam keluarga untuk
lebih dewasa di lingkungannya dengan menghadapi tugas-tugas
kehidupan, mencari solusi untuk memecahkan dan mengatasi
problema yang dihadapi sehari-hari.
Ketika kehidupan menjadi maju dan kompleks, masalah kehidupan
dan fenomena alam kemudian diupayakan dapat dijelaskan secara
keilmiahan. Pendidikan juga mulai bermetamorfosa menjadi formal dan
bidang keilmuan diterjemahkan menjadi mata pelajaran/mata
kuliah/mata diktat di sekolah, yang akan menjelaskan fenomena
kehidupan sehingga lebih mudah difahami dan lebih mudah
dipecahkan problemanya.
Landasan Yuridis pendidikan kecakapan hidup (life skill) dapat
dirunut dari UU no 2. Tahun 1989. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajar dan/atau pelatih bagi peranan-
nya di masa yang akan datang.
Dimana mata pelajaran adalah alat untuk mrngembangkan potensi
peserta didik, aga pada saatnya dapat digunakan untuk bekal hidup
dan kehidupan, bekerja untuk mencari nafkah dan bermasyarakat.
Bukankah bekal itu identik dengan kecakapan hidup (life skill)

C. Hubungan Mata Pelajaran, Kecakapan Hidup dan Kehidupan


Nyata

Gambar 2. Hubungan antara Mata Pelajaran, life skill dan Kehidupan


Nyata di Masyarakat
(Anak panah denga garis putus-putus menunjuka alur rekayasa
kurikulum)
Pertama, dilakukan identifikasi kecakapan hidup yang diperlukan
untuk menghadapi kehidupan nyata di Masyarakat. Selanjutnya
diidentifikasi pokok bahasan/topik keilmuan yang diperlukan yang
selanjutnya dikemas dalam bentuk mata pelajaran/mata diktat.
Dari sisi pemberian bekal bagi peserta didik ditujukan dengan anak
panah bergaris tegas, yaitu apa yang dipelajari pada setiap mata
pelajaran diharapakan dapat membenatuk kecakapan hidup yang
nantinya diperlukan pada saat yang bersangkutan memasuki
kehidupan nyata di masyarakat.
Kompetensi yang dicapai pada mata pelajaran hanyalah kompetensi
antara mewujudkan memapuan nyata yang diinginkan yaitu kecakapan
hidup (life skill atau life competency).
Model pembelajaran terpadu (integrated learning) dan
pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) atau CTL
merupakan model pembelajaran yang mengarah pada pembentukan
kecakapan hidup.
Model pendidikan realistik (realistic education) yang kini sedang
berkembang, juga merupakan upaya mengatur antara pendidikan
sesuai kebutuhan nyata perserta didik, agar hasilnya dapat diterapkan
guna memecahkan dan mengatasi peroblema hidup yang akan
dihadapi.
Untuk mencapai kecakapan hidup memerlukan model evaluasi
otentik (authentic evaluation), yaitu evaluasi dalam bentuk perilaku
peserta didik dalam menerapkan apa yang dipelajari dalam kehidupan
nyata. Paling tidak dalam bentuk shadow authentic, yaitu bentuk tugas
proyek/kegiatan untuk memecahkan masalah yang memang terjadi di
masyarakat.

V. POLA PELAKSANAAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP


A. Pendidikan Berbasis Luas (broad based education)
Karena kemajuan iptek yang pesat, bebarapa ahli menyatakan
manusia tidak akam mampu mempelajari seluruh pengetahuan
walaupun itu dilakukan sepanjang hidupnya. Hal ini membawa
konsekwensi dalam bidang pendidikan. Pendidikan tidak lagi dapat
mengharapkan peserta didik untuk mempelajari seluruh pengetahuan.
Karena itu harus dipilih bagian-bagian esensial dan menjadi fondasinya
dan peserta didik harus memapelajari pengetahuan yang baru sesuai
dengan perkembangannya
Disamping general life skill, kiranya perlu dikembangkan pula
kemampuan learning how to learn, dengan harapan dapat digunakan
untuk belajar sendiri, jika seseorang ingin mengembangkan diri
dikemudian hari. Demikian juga learning how to unlearn, yaitu
kemampuan melepaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang
secara tak sadar dipelajarinya. Konsep pendidikan inilah yang menjadi
titik tolak pendidikan berbasis luas (broad based education).

B. Broad Based Education sebagai Wahana Pendidikan


Kecakapan Hidup (life Skill)
Bagaimana penerepan broad based education (BBE) sebagai upaya
penumbuhan life skill dalam jenjang dan jenis pendidikan tentunya
disesuaikan dengan tujuan pendidikan pada sekolah yang
bersangkutan.
Pada jenjang pendidikan dasar (TK/RA, SD/MI dan SLTP/MTs) akan
lebih ditekankan bagi pengembangan GLS, di samping (a) upaya
mengakrabkan peserta didik dengan peri kehidupan nyata di
lingkungannya, (b) menumbuhkan kesadaran tentang makna/nilai
perbuatan seseorang terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya, (c)
memberikan sentuhan awal terhadap pengembangan keterampilan
psikomotorik, dan (d) memberikan opsi-opsi tindakan yang dapat
memacu kreativitas.
Untuk jalur pendidikan yang bersifat akademik, yaitu SMU/MA dan
perguruan tinggi, di samping GLS ditekankan pula academic skill (AC),
sedangkan pada pendidikan jalur kejuruan/profesional, yitu SMK,
politeknik dan juga kursus-kursus keterampilan, di samping GLS
ditekankan pada vocational skill (VS).

Gambar3.
Penerapan BBE sebagai Wahana life Skill di SD/MI, SLTP/MTs, SMU/MA,
SMK, Univ dan Poltek (secara ideal)

Gambar diatas menunjukan bahwa pada pendidikan dasar (SD/MI,


SLTP/MTs) ditekankan pada pengembangan GLS. Pengembangan SLS,
baik yang bersifat AS maupun VS sebaiknya pada tahapan pengenalan
dan diberikan sesuai dengan perkembangan fisik maupun psikologis
siswa. Pengembangan GLS dimaksudkan sebagai bekal dasar untuk
melanjutkan maupun terjun bekerja dan bermasyarakat. Sedangkan
pre-AC maupun pre-VS dimaksudkan sebagai pemandu bakat dan
minat siswa.
Pada SMU/MA yang mempersiapkan siswanya masuk ke pendidikan
lebih tinggi seharusnya ditekankan pada penumbuhan AS, sedangkan
pada SMK dan kursus keterampilan yang menyiapkan siswanya
memasuki lapangan kerja ditekankan pada VS.
Walaupun demikian, baik pada SMU/MA maupun pada SMK dan
kursus keterampilan, bekal GLS tetap harus dikembangkan. Bagi siswa
SMU/MA, bekal GLS akan sangat diperlukan untuk hidup bermasyarakat
ataupun ketika ternyata tidak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi,
karena berbagai sebab. Bagi siswa SMK dan pendidikan profesional,
bekal GLS sangat penting untuk belajar atau beradaptasi ketika
ternyata terjadi perubhan teknologi terhadap bidang pekerjaan yang
dipelajari atau ditekuninya.

C. Pola Pendidikan Kecakapan Hidup untuk Mengatasi Potensi


Pengangguran.
Pada saat ini fakta menunjukkan bahwa cukup banyak lulusan
SLTP/MTs yang tidak melanjutkan ke SLTA dan lulusan SMU/MA yang
tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, diperlukan strategi khusus
utnuk membekali mereka yang akan memasuki lapangan kerja. Artinya
konsep pada gambar 3 perlu dilakukan modifikasi.
Mengingat cukup banyak lulusan SLTP dan SMU yang ternyata tidak
melanjutkan dan memasuki lapangan kerja, maka diperlukan
tambahan vocational skill (VS) bagi mereka, sesuai dengan tingkat
umurnya.
Gambar 4
Community College berbasis Community Based Education sebagai
Layanan Pelaksanaan VS di sekolah.

Paket program VS-A adalah program vokasional untuk lulusan SMU


yang tidak melanjutkan dan akan memasuki lapangan kerja. Program
VS-B untuk lulusan SLTP yang tidak melanjutkan ke SLTA dan akan
memasuki lapangan kerja. Program tersebut diatas sebaiknya berupa
modular-modular yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan
lapangan kerja (marketable skill), sehingga lulusannya dapat langsung
menerapkan di lapangan kerja, baik sebagai karyawan maupun usaha
mandiri.
Program VS-C adalah untuk siswa yang masih/sedang belajar di
SMU/MA, tetapi secara potensial tidak akan melanjutkan studi,
sehingga sejak di sekolah sudah mendapat paket program vokasional.
Program VS-D berupa pre-vokasional bagi siswa SLTP/MTs yang
potensial tidak akan melanjutkan ke SLTA dan memasuki lapangan
kerja. Program-program ini idealnya dapat diatur sebagai bentuk mata
pelajaran/mata diktat pilihan, sehingga tidak harus menambah beban
jam pada kurikulum.
Paket-paket program vokasional tersebut diatas, baik VS-A,VS-B,VS-
C dan VS-D, harus dikembangkan melalui suatu need assesment
secara cermat, sesuai dengan potensi daerah dan pengembangannya.
Harus dihindari program yang sekedar melatih keterampilan, tetapi
tidak terdapat lapangan kerjanya atau tidak dapat diterapkan sebagai
bentuk usaha mandiri.
Model yang ditunjukkan pada Gambar 4 adalah salah satu alternatif.
Artinya model tersebut untuk disesuaikan dengan kondisi daerah dan
bahkan sangat mungkin dikembangkan model lain yang diyakini cocok
dengan situasi daerah tertentu.
Sesuai dengan UU No 22/1999 dan PP no.25/2000, sebaiknya
kabupaten/kota yang secara operasional menangani pendidikan dasar
dan menengah secara operasional. Oleh karena itu program-program
tersebut seyogianya ditangani oleh kabupaten/kota, sementara peran
pemerintah pusat lebih banyak sebagai inisiator dan pendamping atau
maksimal sebagai triger.
Di setiap kabupaten/kota pada umumnya telah ada SMK dan
BPKB/SKB di bawah Dinas Pendidikan dan BLK/KLK di bawah Dinas
Tenaga Kerja. Juga terdapat SLTP/MTs dan SMU/MA yang memiliki
sarana labolatorium cukup memadai. Disamping itu mungkin terdapat
pusat diklat, kursus keterampilan atau bahkan industri yang memiliki
sarana cukup baik. Karena itu demi efisiensi dan sekaligus bersinergi,
sebaiknya berbagai fasilitas tersebut berhimpun membentuk
community college yang berfungsi sebagai init layanan pendidikan
keterampilan vokasional (VS) untuk VS-A,VS-B,VS-C dan VS-D.
Pola tersebut diatas sekaligus dimaksudkan untuk merintis model
community-based education (CBE), yaitu pendidikan yang berbasis
kepada kebutuhan masyarakat dan memanfaatkan sumberdaya yang
ada di masyarakat

Anda mungkin juga menyukai