Anda di halaman 1dari 123

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN

DALAM PERSPEKTIF ISLAM (ANALISIS KITAB


I’DHOTUN NASYIIN KARANGAN SYEIKH
MUSTHAFA AL-GHALAYAINI)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar


Sarjana Pendidikan

Oleh:
Khikmatul Latifah
111-12-238

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
ii
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN
DALAM PERSPEKTIF ISLAM (ANALISIS KITAB
I’DHOTUN NASYIIN KARANGAN SYEIKH
MUSTHAFA AL-GHALAYAINI)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar


Sarjana Pendidikan

Oleh:
Khikmatul Latifah
111-12-238

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016

iii
iv
v
vi
MOTTO

Suatu bangsa takkan hidup baik tanpa pemimpin,

Dan tidak ada guna pemimpin, jika orang-orang bodoh tampil menjadi pemimpin.

Rumah takkan bisa berdiri tegak tanpa pilar,

Dan tiada pilar yang berdiri tanpa dasar,

Jika lengkap dasar dan pilar-pilar,

Maka suatu saat rakyat itu sampai pada apa yang diharap.

-SYEIKH MUSTHAFA AL-GHALAYAINI-

vii
PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbil‟alamin dengan rahmat dan hidayah Allah SWT skripsi

ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Kedua orangtua saya, Bapak Muhklasin dan Ibu Sumtini yang senantiasa

memberikan nasihat dan telah mendidik saya dari kecil sampai menikmati

kuliah S1 di IAIN Salatiga ini, serta tidak lelah mendoakan tanpa henti untuk

menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari.

2. Saudara-saudaraku tersayang, Ambarwati, Zahid Fatkhurrohman, dan Uslum

Mufidatul Laila yang selalu mendoakan dan memberikan semangat sehingga

skripsi ini bisa penulis selesaikan.

3. Sahabat-sahabatku dan seluruh keluarga besar PP Nurul Asna tercinta yang aku

banggakan.

4. Bapak Mufiq, S.Ag., M.Phil. yang selalu membimbing dan memotivasi

penulis.

5. Keluarga besar PAI G, dan teman-teman PAI 2012 seperjuangan.

6. Almamaterku tercinta IAIN Salatiga.

viii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadiran Allah SWT. yang telah

melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayahnya, sehingga akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang merupakan tugas dan syarat yang wajib dipenuhi

guna memperoleh gelar kesarjanaan pendidikan Agama Islam IAIN Salatiga.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita,

Nabi muhammad SAW. yang telah membawa risalah Islam yang penuh dengan

ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman, sehingga dapat menjadi bekal

hidup kita di dunia dan di akhirat kelak.

Suatu kebanggaan tersendiri, jika tugas dapat terselesaikan dengan sebaik-

baiknya. Bagi penulis, penyusunan skripsi ini merupakan tugas yang tidak ringan.

Penulis banyak hambatan yang menghadang dalam proses penyususnan skripsi

ini, dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis sendiri. Kalaupun akhirnya

skripsi dapat terselesaikan,tentunya karena beberapa pihak yang membantu

penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang

telah memberikan bantuannya, khususnya kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

3. Ibu Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan PAI

4. Bapak Mufiq, S.Ag., M.Phil. selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan saran, arahan dan bimbingan serta keikhlasan dan kebijaksanaan

ix
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dalam

penulisan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibuku tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang, do’a dan

dukungan demi keberhasilan penulis.

6. Kakak-kakak dan adik tersayang yang selalu mendukung dan mendoakan.

7. Teman seperjuangan, PAI 2012, yang selama ini telah berjuang bersama.

8. Sahabat-sahabat tercinta dan teman-teman yang tidak bisa disebut satu

persatu.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Atas jasa mereka, penulis hanya dapat memohon doa semoga amal mereka

mendapat balasan yang lebih baik serta mendapat kesuksesan baik di dunia

maupun di akhirat.

Penulisan dalam hal ini juga mengharap kritik dan saran yang membangun

dari pembaca untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap

semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembanca pada umumnya.

Salatiga, 14 September 2016

Penulis

Khikmatul Latifah
111-12-238

x
ABSTRAK
Latifah, Khikmatul. 2016. “Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan Perspektif
Islam (Analisis Kitab I‟dhotun Nasyiin Karangan Syeikh Musthafa Al-
Ghalayaini)”. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Pembimbing: Mufiq, S.Ag., M.Phil.
Kata kunci: Nilai, Pendidikan Kepemimpinan, Kitab I’dhotun Nasyiin
Pada hakikatnya, semua manusia adalah pemimpin, namun kebanyakan dari
mereka melupakan atau tidak tahu menahu atas apa yang menjadi tanggung
jawabnya menjadi seorang pemimpin. Wewenang dan kekuasaan yang diberikan
kepada seorang pemimpin tidak ringan di mata Allah, seringkali godaan setan
dengan iming-iming keuntungan dunia telah memalingkan motivasi para
pemimpin dari tujuan bersama. Banyak pemimpin yang hadir dengan tanpa
mencerminkan sosok pemimpin yang seharusnya, terlihat adanya pemimpin-
pemimpin yang jauh dari harapan rakyat, tidak peduli dengan nasib rakyat bawah,
dan hampir tidak pernah berpikir untuk melayani masyarakat. Selama ini banyak
sekali pemahaman yang keliru tentang arti kepemimpinan, pada umumnya orang
melihat pemimpin sebagai sebuah kedudukan atau posisi semata. Akibatnya
banyak orang yang mengejar untuk menjadi seorang pemimpin dengan
menghalalkan banyak cara dalam mencapai tujuan tersebut.
Sehubungan dengan itu dilakukan penelitian dalam kitab I’dhotun Nasyiin
dengan rumusan masalah (1) Bagaimanakah Biografi Syeikh Musthafa Al-
Ghalayaini dan sistematika kitab I’dhotun Nasyiin?, (2) Bagaimanakah nilai-nilai
pendidikan kepemimpinan yang diajarkan dalam kitab I’dhotun Nasyiin?, (3)
Bagaimanakah relevansi nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam kitab
I’dhotun Nasyiin dengan konteks kepemimpinan masa kini?. Jenis penelitian ini
adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Pengumpulan data dilakukan
dengan mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema
pembahasan dan permasalahan, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat kami simpulkan bahwa: (1)
Syeikh Musthafa Al Ghalayaini adalah pengarang kitab I’dhotun Nasyiin, Beliau
merupakan seorang sastrawan Arab, penyair, orator, politikus dan jurnalis.(2)
Nilai-nilai kepemimpinan yang dapat diambil dalam kitab I’dhotun Nasyiin antara
lain: (a) pemimpin harus rendah hati dan sederhana (b) pemimpin harus
mempunyai sikap suka menolong (c) pemimpin harus sabar dan menjaga
kestabilan emosi (d) pemimpin harus percaya pada diri sendiri (e) pemimpin harus
bersikap jujur, adil dan dapat dipercaya, (3) Nilai-nilai pendidikan kepemimpinan
yang terkandung dalam kitab I’dhotun Nasyiin sangat relevan dengan konteks
kepemimpinan sekarang (kekinian) dan memiliki persamaan penggunaan dengan
berbagai pernyataan yang rasional baik tentang materi pendidikan, metode
pendidikan, dan tujuan pendidikan.

xi
DAFTAR ISI

SAMPUL ......................................................................................................... i

LEMBAR BERLOGO ..................................................................................... ii

HALAMAN JUDUL........................................................................................ iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iv

PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... vi

MOTTO ........................................................................................................... vii

PERSEMBAHAN ............................................................................................ viii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix

ABSTRAK ....................................................................................................... xi

DAFTAR ISI .................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................. 8

xii
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 9

D. Kegunaan Penelitian .......................................................................... 9

E. Metode Penelitian .............................................................................. 11

F. Penjelasan Istilah ............................................................................... 14

G. Sistematika Penelitian ....................................................................... 19

BAB II LANDASAN TEORI

A. Konsep Kepemimpinan...................................................................... 21

1. Pengertian Kepemimpinan ............................................................. 21

2. ............................................................................................. Kepe

mimpinan Perspektif Islam............................................................ 24

3. ............................................................................................. Sifat-

sifat Pemimpin............................................................................... 28

4. ............................................................................................. Fung

si Kepemimpinan........................................................................... 38

B. Pemikiran Syeikh Musthafa Al Ghalayaini tentang Nilai-Nilai

Pendidikan Kepemimpinan dalam Kitab I’dhotun Nasyiin ............... 41

1. ............................................................................................. Arti

Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin .............................. 41

xiii
2. ............................................................................................. Syara

t-Syarat Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin................. 46

3. ............................................................................................. Tipol

ogi Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin ........................ 48

4. ............................................................................................. Nilai

Pendidikan Kepemimpinan dalam Kitab I’dhotun Nasyin .......... 51

BAB III BIOGRAFI SYEIKH MUSTHAFA AL GHALAYAINI

A. Latar Belakang Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin ........................... 61

B. Sistematika Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin .................................. 62

C. Biografi Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dan Sosio-Kulturnya ........ 64

D. Karya-Karyanya ................................................................................. 68

E. Corak Umum Pemikiran Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini ................ 69

F. Sinopsis Kitab I’dhotun Nasyiin ........................................................ 73

BAB IV RELEVANSI NILAI-NILAI KEPEMIMPINAN

A. Analisis Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan ............................... 77

B. Relevansi Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan Pada Kitab

Idhotun Nasyiin dengan Konteks Kepemimpinan Masa Kini ........... 84

xiv
a) ............................................................................................. Relev

ansi Materi pendidikan Kepemimpinan ........................................ 85

b) ............................................................................................. Relev

ansi Metode Pendidikan Kepemimpinan ...................................... 87

c) ............................................................................................. Relev

ansi Tujuan Pendidikan Kepemimpinan ....................................... 91

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................... 94

B. Saran-saran ......................................................................................... 96

C. Kata Penutup ...................................................................................... 96

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang sempurna. Seluruh ajarannya bersumber dari

wahyu Ilahi yang tidak akan bisa berubah-ubah sampai kapanpun. Allah

SWT telah memberikan aturan-aturan dengan rinci. Dengan aturan-aturan

itu, seluruh problem makhluk-Nya dalam situasi dan kondisi apapun dapat

diselesaikan dengan memuaskan tanpa ada satupun yang yang dirugikan.

Aturan-aturan Islam senantiasa memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah

manusia, sebab Islam lahir dari Dzat yang menciptakan manusia. Dia Maha

Tahu atas hakikat makhluk yang diciptakan-Nya.

Konsep Islam tentang hakikat manusia secara mendasar telah

diajarkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an yang dikembangkan lebih

lanjut oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya. Manusia diciptakan

oleh Allah selain menjadi hamba-Nya juga menjadi penguasa (khalifah) di

atas bumi. Selaku hamba dan khalifah, manusia diberi kelengkapan

kemampuan jasmani (biologis) dan rohaniah (psikologis) yang dapat

ditumbuhkembangkan seoptimal mungkin, sehingga menjadi alat budaya,

guna dalam ikhtiar kemanusiaannya untuk melaksanakan tugas kehidupan di

dunia (Arifin, 1990 : 156).

1
Hadirnya manusia di muka bumi ini bukan atas kehendak dan

kemauan sendiri, tetapi manusia diciptakan atas kehendak dan kekuasaan

yang Maha Pencipta. Menurut Joko Suharto bin Matsnawi (2007:22)

Diciptakannya manusia bukan tanpa maksud, tetapi sebagaimana firman

Allah SWT, bahwa “Dijadikan manusia adalah untuk menjadi khalifah atau

penguasa di muka bumi”. Amanat mengemban misi suci ini disebutkan

dalam surat al Ahzab ayat 72:

       

         

 

Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada


langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat
bodoh”. (QS. Al Ahzab:72)
Amanat tersebut telah pernah ditawarkan Tuhan kepada langit, bumi

dan gunung-gunung, tapi semuanya enggan untuk memikulnya karena

khawatir akan mengkhianatinya. Manusialah yang suka rela menerima

untuk mengemban amanat tersebut (Musbikin, 2005:79).

Manusia yang lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa telah diberi

kemampuan termasuk akal serta pengetahuan-pengetahuan sehingga akan

mampu melaksanakan tugasnya selaku khalifah atau penguasa di muka

bumi ini. Dengan indra, akal, dan segenap kemampuan yang dikaruniakan

2
Allah SWT ini, manusia mempunyai kemampuan untuk memimpin,

memelihara, dan membangun kehidupan di dunia (Musbikin, 2005:22).

Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, telah meletakkan

persoalan pemimpin dan kepemimpinan sebagai salah satu persoalan pokok

dalam ajarannya. Beberapa pedoman atau panduan telah digariskan untuk

melahirkan kepemimpinan yang diridhai Allah SWT, yang membawa

kemaslahatan, menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat kelak.

Pemimpin yang dicintai dan dipercaya serta diikuti oleh para

pengikutnya adalah pemimpin yang memiliki kemampuan untuk

memecahkan persoalan mereka. Ini dapat berupa masalah personal, publik,

atau masalah yang berhubungan dengan kehidupan pribadi seseorang,

komunitas sosial, persoalan ekonomi dan politik.

Maju mundurnya kelompok atau organisasi itu sangat tergantung oleh

pemimpinnya. Seseorang pemimpin akan dikatakan berhasil jika dalam

melakukan proses kepemimpinannya itu, ia mempunyai visi dan misi yang

jelas. Sehingga dalam melakukan proses kepemimpinannya itu akan sesuai

dengan arah yang sudah direncanakan.

Kepemimpinan adalah unsur yang tidak bisa dihindari dalam hidup

ini. Sudah merupakan fitrah manusia untuk selalu membentuk sebuah

komunitas. Dan dalam sebuah komunitas selalu dibutuhkan seorang

pemimpin. Pemimpin adalah orang yang dijadikan rujukan ketika komunitas

tersebut. Pemimpin adalah orang yang memberikan visi dan tujuan. Dalam

3
suatu kelompok katakanlah organisasi, bila tidak mempunyai tujuan sama

saja dengan membubarkan organsasi tersebut. Hal terebut bahkan

berlangsung sampai kedalam tataran Negara. Dan hanya pemimpinlah yang

mampu mengatur dan mengarahkan semua itu. Dan sejarah teori

kepemimpinan menjelaskan bahwa kepemimpinan yang dicontohkan Islam

adalah model terbaik. Model kepemimpinan yang disebut sebagai Prophetic

leadership yang contoh nyatanya adalah orang teragung sepanjang sejarah

kemanusiaan yaitu Rasullullah SAW.

Pentingnya pemimpin dan kepemimpinan ini perlu dipahami dan

dihayati oleh setiap umat Islam di negeri yang mayoritas warganya

beragama Islam ini. Pada prinsipnya menurut Islam setiap orang adalah

pemimpin, Ini sejalan dengan fungsi dan peran manusia di muka bumi

sebagai khalifatullah, yang diberi tugas untuk senantiasa mengabdi dan

beribadah kepada-Nya.

Setiap manusia adalah pemimpin, namum kebanyakan dari mereka

melupakan atau tidak menahu atas apa yang menjadi tanggungjawabnya

sebagai seorang pemimpin, sehingga para penganutnya tidak terurusi.

Manusia seperti itu telah lalai di dalam hidupnya dan kelak akan dimintai

pertanggung jawaban atas segala perbuatan yang telah mereka lakukan.

Pernyataan tersebut berkaitan dengan hadits nabi yang berbunyi:

‫ لبي‬ٞ‫ٔظ عٓ اٌض٘ش‬ٛ٠ ‫زذثٕب بشش بٓ ِسّذ لبي أخبشٔب عبذ هللا لبي أخبشٔب‬

ٍٝ‫ي هللا ص‬ٛ‫ّب أْ سع‬ٕٙ‫ هللا ع‬ٟ‫أخبشٔب عبٌُ بٓ عبذ هللا عٓ بٓ عّش سض‬

4
‫اإلِبَ ساع‬ٚ ٗ‫ت‬١‫ي عٓ سع‬ٚ‫وٍىُ ِغإ‬ٚ ‫وٍىُ ساع‬: ‫ي‬ٛ‫م‬٠ ٍُ‫ ع‬ٚ ٗ١ٍ‫هللا ع‬

ٗ‫ت‬١‫ي عٓ سع‬ٚ‫ ِغإ‬ٛ٘ٚ ٍٗ٘‫ أ‬ٟ‫اٌشخً ساع ف‬ٚ ٗ‫ت‬١‫ي عٓ سع‬ٚ‫ِغإ‬ٚ

‫ ِبي‬ٟ‫اٌخبدَ ساع ف‬ٚ ‫ب‬ٙ‫ت‬١‫ٌت عٓ سع‬ٚ‫ِغإ‬ٚ ‫ب‬ٙ‫خ‬ٚ‫ت ص‬١‫ ب‬ٟ‫ت ف‬١‫اٌّشأة ساع‬ٚ

‫ ِبي‬ٟ‫اٌشخً ساع ف‬ٚ ‫زغبت أْ لذ لبي‬ٚ ‫ لبي‬. ٗ‫ت‬١‫ي عٓ سع‬ٚ‫ِغإ‬ٚ ٖ‫ذ‬١‫ع‬

ٖ‫ا‬ٚ‫(س‬ ٗ‫ت‬١‫ي عٓ سع‬ٚ‫ِغإ‬ٚ ‫وٍىُ ساع‬ٚ ٗ‫ت‬١‫ي عٓ سع‬ٚ‫ِغإ‬ٚ ٗ١‫أب‬

)ٜ‫اٌبخبس‬

Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Bisyr ibn Muhammad, dia


berkata : “Telah mengabarkan kepada kami „Abdullah”, dia berkata :
“Telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Zuhriy”, dia berkata :
“Telah mengabarkan kepada kami Salim ibn „Abdillah dari Ibn Umar r.a”
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Kalian adalah pemimpin, dan
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Penguasa
adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, dan akan dimintai
pertanggungjawaan atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin di
rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengolah harta
tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang
kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian sebagai pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”HR. Bukhari (Albani,
2006:357).
Di dalam konsep Islam, seorang pemimpin menempati kedudukan

yang sangat fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan

masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama’ah, pemimpin ibarat kepala

dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam

pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapan dalam

kepemimpinan akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin

dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan ummat dengan ridha Allah SWT

5
seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 207: “Dan diantara manusia ada orang

yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah dan Allah

Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya” (Al-Baqarah:207).

Sebenarnya pemimpin yang harus diteladani adalah Rasulullah ,

karena semua yang beliau lakukan adalah berasal dari al-Qur’an. Beliau

mendidik umatnya agar menjadi pemimpin yang berakhlak seperti apa yang

beliau ajarkan kepada umatnya yaitu mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah.

Nabi Muhammad mempunyai semua kualitas kepemimpinan yang

diperlukan untuk keberhasilannya dalam segala aspek kehidupan. Akan

tetapi yang lebih penting lagi adalah beliau mampu memimpin umatnya

menuju keberhasilan di segala bidang. Beliau adalah sumber yang

mengalirkan semua perkembangan selanjutnya yang berhubungan dengan

komando, kenegaraan, agama, perkembangan spiritual dan sebagainya di

seluruh dunia muslim. Beliaulah kiblat dari semua pendidik sekaligus

pemimpin bagi umat Islam di dunia ini (Gulen, 2002:290).

Fenomena kehidupan sekarang ini yang semakin bobrok saja moral

dan mentalnya. Ibaratnya, semakin sulit mencari pemimpin yang baik (good

leader). Banyak pemimpin yang hadir dengan tanpa mencerminkan sosok

pemimpin yang seharusnya, malah terlihat adanya pemimpin-pemimpin

yang jauh dari harapan rakyat, tidak peduli dengan nasib rakyat bawah, dan

hampir tidak pernah berpikir untuk melayani masyarakat. Karena

kepemimpinan mereka lebih dilandasi pada keinginan pribadi dan lebih

mengutamakan kepentingan kelompok.

6
Saat ini banyak sekali pemimpin-pemimpin yang muslim bahkan tidak

sedikit yang menggunakan Islam sebagai identitas khasnya, tetapi malah

menjadi petualang politik yang tidak berakhlak. Bahkan tidak sedikit

pemimpin kita yang tampil ke tengah-tengah masyarakat dengan slogan

memperjuangkan Islam dan kaum muslimin, namun nyatanya bertindak

korupsi dan memalukan umat Islam sendiri di tengah-tengah publik.

Banyak pemimpin yang pada awalnya bertekad untuk selalu berbuat

adil. Keadilan ditegakkan tidak pandang bulu, jika ada yang melakukan

kesalahan, siapapun orang tersebut akan diproses dan diadili sesuai dengan

hukum yang berlaku. Hal itu disosialisasikan misalnya pada saat masa

kampanye politik. Pada awal masa pemerintahannya, boleh jadi masih

terlihat ketegasan dalam menjalankan sifat keadilan. Namun, lambat laun,

seiring dengan waktu, tekad itupun sirna sedikit demi sedikit, lalu

tampaklah sifat otoriternya. Sikapnya sudah melampaui batas. Manusia

menjadi angkuh dan semena-mena atas kekuasaan yang dipegangnya.

Pantaslah jika Allah mengkritik sifat tersebut dengan firman-Nya:

        

Artinya: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar


melampaui batas, Karena dia melihat dirinya serba cukup”.(QS. Al-Alaq:6-
7)

7
Sudah lama umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk di

Indonesia mendambakan pemimpin Islami dalam kehidupan bernegara dan

bermasyarakat. Kepemimpinan Islami di sini adalah sikap kepemimpinan

yang berasaskan norma-norma Islam seperti halnya bersikap adil, amanah,

tabligh dan lain sebagainya. Meskipun di Indonesia ini kaum muslimin

merupakan mayoritas, namun sikap Islami dalam kepemimpinan belumlah

tampak dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita dapat dengan mudah

melihat tampilannya pemimpin muslimin yang tidak amanah, bahkan

terseret dalam pola politik “menghalalkan segara cara” (Zaenudin, 2002:7).

Berdasarkan fenomena di atas maka penulis terdorong mengkaji lebih

lanjut tentang “NILAI-NILAI PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN

DALAM PERSPEKTIF ISLAM (ANALISIS KITAB I’DHOTUN

NASYIIN KARANGAN SYEIKH MUSTHAFA AL-GHALAYAINI)”.

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Biografi Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dan sistematika

kitab I’dhotun Nasyiin?

2. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan kepemimpinan yang diajarkan

dalam kitab I’dhotun Nasyiin?

8
3. Bagaimanakah relevansi nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam

kitab I’dhotun Nasyiin dengan konteks kepemimpinan masa kini?

C. Tujuan Penelitian

Berangkat dari latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas,

maka dapat ditetapkan beberapa tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Biografi Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dan

sistematika kitab I’dhotun Nasyiin.

2. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam

perspektif Islam yang diajarkan dalam kitab I’dhotun Nasyiin.

3. Untuk mengetahui relevansi nilai-nilai pendidikan kepemimpinan

dalam kitab I’dhotun Nasyiin dengan konteks kepemimpinan masa kini.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun penelitian atau pembahasan terhadap masalah tersebut di atas

mempunyai maksud agar berguna sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran ilmu tentang pendidikan

kepemimpinan, terutama mengenai nilai-nilai pendidikan

kepemimpinan dalam perspektif Islam yang diajarkan dalam kitab

I’dhotun Nasyiin.

b. Penelitian ini memiliki relevansi dengan Ilmu Agama Islam

khususnya Program Studi Pendidikan Agama Islam, sehingga hasil

9
pembahasannya berguna menambah literatur atau bacaan tentang

nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam perspektif Islam dalam

kitab I’dhotun Nasyiin.

c. Penelitian ini semoga dapat memberikan kontribusi positif bagi

masyarakat sebagai calon pemimpin khususnya

d. penulis untuk mengetahui dan mendalami nilai-nilai pendidikan

kepemimpinan dalam perspektif Islam yang diajarkan dalam kitab

I’dhotun Nasyiin. Dengan ini diharapkan dapat memperluas

kepustakaan yang dapat menjadi reverensi penelitan-penelitian

setelahnya.

2. Manfaat Praktis

Memberikan kontribusi positif untuk dijadikan pertimbangan

berfikir dan bertindak. Secara khusus penelitian ini dapat dipergunakan

sebagai berikut:

a. Dapat menjadi inspirasi bagi calon pemimpin dalam

mensosialisasikan nilai-nilai kepemimpinan di masyarakat sesuai

dengan aturan ajaran agama Islam.

b. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan acuan khususnya bagi

para calon pemimpin agar dapat mengaplikasikan nilai-nilai

kepemimpinan Islam dalam kehidupan sehari-hari.

c. Dengan skripsi ini, juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca

pada umumnya dan khususnya bagi penulis sendiri.

10
E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini tergolong penelitian pustaka (library research),

karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka. Penulis

mengacu pada pendapat M. Arifin (1990:135) yang menyebutkan

bahwa penelitian literatur dimaksudkan sebagai studi kepustakaan,

karena penulis meneliti dan menggali datanya dari bahan-bahan tertulis.

Di mana data-data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

berbagai tulisan yang temanya sama dengan judul yang diangkat.

Dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan, baik yang primer

maupun yang sekunder, dicari dari sumber-sumber kepustakaan (seperti

buku, majalah, artikel dan jurnal) (Kuswaya, 2011:11).

Berkaitan dengan jenis penelitian literatur, pengumpulan data pada

penulisan ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan dari

buku-buku yang berkaitan langsung dengan pokok permasalahan

dimulai dengan mengumpulkan kepustakaan, pertama-tama dicari

segala buku yang ada mengenai tokoh dan topik yang bersangkutan

(Bakker, 1990:63).

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini

adalah:

11
a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah sumber data utama yang akan

dikaji dalam permasalahan. Karena sifat dan penelitian literatur,

maka datanya bersumber dari literature. Adapun yang menjadi

sumber data primer adalah kitab I’dhotun Nasyiin dan Terjemah

I’dhotun Nasyiin.

b. Sumber data sekunder

Data sekunder yang diambil dalam penelitian ini yaitu data

yang mengandung dan melengkapi sumber-sumber data primer.

Adapun sumber data sekunder berupa buku-buku kepemimpinan,

internet, dan informasi lainnya yang berhubungan dengan judul

skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library

Research). Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam

penelitian ini adalah dengan mencari dan mengumpulkan buku yang

menjadi sumber data primer yakni kitab Idhotun Nasyiin dan data

sekunder yakni terjemah Idhotun Nasyiin, buku Pemimpin dan

Kepemimpinan dan buku-buku serta kitab yang relevan lainnya. Setelah

data terkumpul, maka dilakukan penelaah secara sistematis dalam

hubungannya dengan masalah yang diteliti, sehingga diperoleh

data/informasi untuk bahan penelitian.

12
4. Metode Analisis Data

Objek penelitian ini adalah buku-buku atau literatur yang termasuk

dalam kategori penelitian kepustakaan sebagai datanya. Metode

penulisan data yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini

adalah:

a. Deduktif

Metode yang digunakan untuk menjelaskan nilai pendidikan

kepemimpinan adalah metode deduktif sesuai dengan yang telah

dicanangkan pemerintah yaitu tentang kepemimpinan. Yang

dimaksud metode deduktif adalah metode berfikir yang didasarkan

pada pengetahuan umum dimana kita hendak menilai suatu

kejadian yang khusus (Hadi, 1990:42).

b. Induktif

Metode yang digunakan adalah metode induktif guna mengkaji

data yang telah didapat yang terkait dengan nilai pendidikan

kepemimpinan yang telah dipaparkan oleh Syeikh Musthafa Al-

Ghalayaini dalam kitab Idhotun Nasyiin dan dikaitkan dengan

relevansi kekinian. Metode induktif adalah metode berfikir yang

berangkat dari fakta-fakta peristiwa khusus dan konkret, kemudian

ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi,

1990:42).

13
F. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan tehadap judul penelitian

ini, maka penulis perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapat

dalam judul ini antara lain:

1. Nilai Pendidikan

Nilai dalam bahasa Inggris value yang berarti quality of being

useful or desirable (Hornby, 1974:950) dan dalam bahasa Latin valere

yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku dan kuat. Nilai

adalah sesuatu yang dipandang baik, disukai, dan paling benar menurut

keyakinan seseorang atau kelompok orang sehingga preferensinya

tercemin dalam perilaku, sikap, dan perbuatan-perbuatan (Maslikhah,

2009:106).

Nilai-nilai berasal dari kata “nilai” dapat diartikan dengan sifat-

sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan

(Poerwadarminta, 2006:801). Dalam definisi lain yang di sampaikan

Noor Syam. Bahwa nilai adalah suatu penetapan atau suatu kualitas yang

menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat, sehingga nilai merupakan

suatu otoritas ukuran dari subjek yang menilai, dalam artian koridor

keumuman dan kelaziman dalam batas-batas tertentu yang pantas bagi

pandangan individu dan sekelilingnya.

Pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta

bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak didik

ke arah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-

14
hari (Armai, 2002:40). Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar

untuk meyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran

dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Mansur,

2004:57). Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta ketrampilan yang di perlukan dirinya, bangsa dan negara

(Maslikhah, 2009:130).

Menurut pandangan Islam bahwa “Pendidikan” adalah tindakan

yang dilakukan secara sadar dengan tujuan memelihara dan

mengembangkan fitrah insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya

(insan kamil).

Dalam bahasa Arab “pendidikan” itu sama dengan at-Tarbiyyah,

sedangkan menurut Abdurrahman An-Nahlawi bahwa kata At-Tarbiyah

berasal dari tiga bentuk. Pertama kata “Robbaa-yarbuu” yang berarti

bertambah tumbuh. Kata kedua “Robiya-yarba” yang berarti menjadi

besar dan yang ketiga adalah kata “robba-yarubbu” yang berarti

menuntun, menjaga dan memelihara (Abdurrahman, 1992:31).

Menurut Syeikh Mustafa al-Ghalayaini pendidikan bukanlah

sekedar mengasuh, memelihara atau mendidik anak didik, namun

pendidikan merupakan pengembangan pengetahuan, ketrampilan,

maupun kepandaian yang melalui adanya pengajaran, latihan-latihan atau

15
pengalaman-pengalaman. Lebih lanjut anak didik secara bertahab dengan

memperhatikan usia kemampuan anak (al-Ghalayaini, t.t:189).

Dari beberapa pendapat di atas dapat dirumuskan bahwa nilai

pendidikan merupakan batasan segala sesuatu yang mendidik ke arah

kedewasaan, bersifat baik maupun buruk sehingga berguna bagi

kehidupannya yang diperoleh melalui proses pendidikan. Proses

pendidikan bukan berarti hanya dapat dilakukan dalam satu tempat dan

suatu waktu. Dihubungkan dengan eksistensi dan kehidupan manusia,

nilai pendidikan diarahkan pada pembentukan pribadi manusia sebagai

makhluk individu, sosial, religius, dan berbudaya.

2. Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah suatu proses interaksi sosial untuk

mempengaruhi. Teknisnya adalah mempengaruhi bagian-bagian dalam

organisasi. Dalam hal ini berupa perilaku sengaja yang dijalankan oleh

seseorang untuk mengatur aktivitas, pekerjaan dan cara-cara

berhubungan di dalam sebuah kelompok/organisasi/lembaga, dalam

rangka mencapai tujuan yang diinginkan (Karim, 2010:14).

Adapun kepemimpinan menurut Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini

“Ummat tidak mungkin memiliki sutu negara yang kokoh dan kuat,

tentram dan sejahtera, kecuali kalau di kalangan mereka itu ada

pemimpin, kepala, penganjur, pembimbing dan sebagainya yang

semakna dengan itu. Tugas orang-orang itu ialah menggerakan

ummatnya di kala ummatnya itu dalam keadaan lumpuh tidak berdaya,

16
meluruskan mereka, baik kelakuan yang tampak atau akhlak dan

tatakrama di kala menyimpang dan menyeleweng, menarik mereka di

kala mereka jatuh dan menunjukkan jalan yang benar di kala mereka

dalam keadaan tersesat. Empat itulah tugas pokok bagi setiap pemimpin

ummat” (Al-Ghayalayaini, 2002:145).

Dari pengertian di atas dapat ditarik, kesimpulan bahwa

kepemimpinan merupakan suatu hubungan proses mempengaruhi yang

terjadi dalam suatu komunitas yang diarahkan untuk tercapainya tujuan

bersama. Karena kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi, maka

seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan dalam bidang yang

dipimpinnya, contoh kepala sekolah harus mempunyai kompetensi yang

cukup dalam kependidikan agar mampu mempengaruhi orang-orang

yang dipimpinnya dalam mewujudkan visi dan misi kepemimpinannya.

Sedangkan kepemimpinan Islam adalah konsep yang tercantum

dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari

pribadi, berdua, kelompok, keluarga, bahkan sampai umat manusia.

Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi

terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di

dunia dan akhirat sebagai tujuannya.

3. Perspektif Islam

Dalam kamus Bahasa Indonesia Kontemporer perspektif diartikan

dengan sudut pandang atau pandangan (Depdikbud, 1995:1060).

Sedangkan Islam adalah ajaran atau petunjuk Allah. Selain dari pada itu,

17
Islam juga diartikan damai, tentram, atau agama yang dibawa oleh Nabi

Muhammad saw, dengan kitab suci Al-Qur’an. Arti utama kata tersebut

adalah tenang, diam, telah menunaikan kewajiban, dan memenuhi

kedamaian yang sempurna. Adapun arti lainnya adalah berserah diri pada

Tuhan pencipta kedamaian (Ali, 2008:157-158).

Dilihat dari segi bahasa, al-Islam memiliki akar kata yang sama

dengan as-Salam, yang berarti perdamaian. Kata al-Islam dan as-Salam

sama-sama berasal dari akar kata sa-li-ma, yang berarti selamat dari

bahaya atau terbebas dari gangguan. Dari kata itu terbentuk aslama yang

artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh (Madkour, 319).

Sebagaimana firman Allah SWT QS. Al- baqarah:112

           

     

Artinya:“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang


menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka
baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Al-
Baqarah:112).

Dari kata aslama itu terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut

Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada

Allah dan siap patuh kepada ajaran-Nya (Razak, 1986:56-57). Sehingga

dari beberapa pendapat diatas dapat diketahui bahwasannya perspektif

18
Islam mempunyai arti segala sesuatu yang ditelaah melalui sudut

pandang Islam.

G. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga

pembaca nantinya dapat memahami tentang isi skripsi ini degan mudah,

penulis berusaha memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan

secara garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing

saling berkait yaitu sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, Dalam hal ini penulis menjabarkan pokok

permasalahan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,

Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika

Penulisan Skripsi.

BAB II Landasan Teori, berisi tentang Diskripsi Pemikiran Syeikh

Musthafa al-Ghalayaini tentang Nilai-Nilai Pendidikan Kepemimpinan

dalam perspektif Islam yang di ajarkan dalam Kitab I’dhotun Nasyiin.

BAB III Biografi Syeikh Musthafa al-Ghalayaini, Dalam hal ini

memuat beberapa pembahasan yang mencakup Latar Belakang Penulisan

Kitab I’dhotun Nasyiin, Sistematika Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin,

Biografi Syeikh Musthafa al-Ghalayaini dan konteks Sosio Kulturnya,

karya-karyanya, corak umum pemikiran Syeikh Musthafa al-Ghalayaini,

sinopsis Kitab I’dhotun Nasyiin.

19
BAB IV berisi tentang Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan

Kepemimpinan dalam Perspektif Islam dalam Kitab I’dhotun Nasyiin

dengan Konteks Kepemimpinan Masa Sekarang.

BAB V berisi tentang Penutup, Kesimpulan dan Saran. Bab penutup

memuat kesimpulan penulis dari pembahasan skripsi ini, saran-saran dan

kalimat penutup yang sekiranya dianggap penting dan daftar pustaka.

20
BAB II

LANDASAN TEORI

Kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari kepemimpinan baik

menyangkut kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial. Selama menjalani masa

hidupnya pasti seorang manusia telah melewati sebuah peran sebagai orang yang

dipimpin maupun menjadi seorang pemimpin. Kepemimpinan merupakan sebuah

fenomena universal. Siapa pun menjalankan tugas-tugas kepemimpinan, manakala

dalam tugas itu dia berinteraksi dengan orang lain.

A. Konsep Kepemimpinan

1. Pengertian Kepemimpinan

Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, kepemimpinan berasal

dari kata “pimpin” yang berarti tuntunan, bimbingan, hasil memimpin.

Kepemimpinan yaitu tindakan atau perbuatan seseorang yang

menyebabkan seseorang atau kelompok lain menjadi bergerak ke arah

tujuan-tujuan tertentu. Seseorang dikatakan sebagai pemimpin apabila

orang itu dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain,

baik dalam bentuk individu, maupun kelompok untuk mencapai suatu

tujuan tertentu. Makna kata “kepemimpinan” erat kaitannya dengan kata

“memimpin”. Kata memimpin mengandung makna yaitu kemampuan

untuk menggerakkan segala sumber yang ada pada suatu organisasi

21
sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan

yang ditetapkan.

Jika pengertian secara harfiah yang tersaji di atas terkait dengan

kata kerja yaitu memimpin, maka masih terdapat pengertian harfiah

lainnya yang melekat pada kata atau konsep tersebut. Pemaknaan lain

terkait dengan pengertian harfiah tersebut dapat dikupas dari aspek

subjek atau pihak yang menjadi pelaku dalam kepemimpinan. Artinya

kepemimpinan juga harus dipahami dari sisi pelaku kepemimpinan, yang

disebut dengan istilah leader (pemimpin), yaitu orang yag melakukan

aktivitas atau kegiatan untuk memimpin. Pemimpin merupakan orang

yang menjalankan kepemimpinan atau dapat dimengerti sebagai a person

who leads others a long way guidance (Utomo, 2008:10).

Sedangkan pemaknaan kepemimpinan secara definitif jauh lebih

terstruktur dan mengedepankan upaya belajar dari fenomena, kemudian

mengalami proses abstraksi, sehingga diperoleh pengertian konseptual

yang relatif tertata. Adapun contoh definisi yang dikemukakan oleh para

ahli kepemimpinan dalam bukunya Mohammad As’ad (1986:2) yang

berjudul Kepemimpinan Efektif dalam Perusahaan : Suatu Pendekatan

Psikologis, adalah:

a. Kepemimpinan

adalah kegiatan untuk memengaruhi orang-orang agar supaya bekerja

dengan ikhlas untuk mencapai tujuan bersama (Terry, 1954)

22
b. Kepemimpinan

merupakan suatu proses atau tindakan untuk memengaruhi aktivitas

suatu kelompok organisasi dalam usahanya untuk mencapai tujuan

yang telah ditentukan (Stogdill, 1977)

c. Kepemimpinan

adalah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang

sudah ditentukan dengan penuh semangat (Davis, 1977)

d. Kepemimpinan

mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha

mengarahkan tenaga dalam tugasnya, atau merubah tingkah laku

mereka (Wexley & Yulk, 1977)

e. Kepemimpinan

adalah suatu seni atau proses mempengaruhi sekelompok orang

sehingga mereka mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih

tujuan kelompok (H. Koontz dan O’Donnell, 1982)

f. Kepemimpinan

merupakan kemampuan memperoleh konsensus dan keikatan pada

sasaran bersama melempaui syarat-syarat organisasi yang dicapai

dengan pengalaman, sumbangan dan kepuasan di pihak kelompok

kerja (Cribbin, 1982)

g. Kepemimpinan

adalah sebuah hubungan yang saling memepengaruhi diantara

23
pemimpin dan pengikutnya (bawahan) yang menginginkan perubahan

nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya (Rost, 1993).

Para peneliti biasanya mendefinisikan “kepemimpinan” menurut

pandangan pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena dari kepentingan

yang paling baik bagi para pakar yang bersangkutan.

Dari beberapa penjelasan tokoh mengenai definisi kepemimpinan

dapat dikatakan bahwa kepemimpinan ialah suatu kemampuan yang

dimiliki seseorang untuk mempengaruhi, mengarahkan, membimbing,

mengkordinir, melayani serta melindungi individu lainnya dalam proses

pencapaian tujuan organisasi. Sebuah kepemimpinan di dalamnya juga

terdapat unsur seperti pemimpin, orang yang dipimpin serta sebuah

situasi atau keadaan dan pula tujuan bersama di dalam suatu organisasi.

2. Kepemimpinan Perspektif Islam

Hakikat diutusnya para Rasul kepada manusia sebenarnya hanyalah

untuk memimpin umat dan mengeluarkannya dari kegelapan kepada

cahaya. Tidak satupun umat yang eksis kecuali Allah mengutus orang

yang mengoreksi akidah dan meluruskan penyimpangan para individu

umat tersebut. Sehingga makna hakiki kepemimpinan dalam Islam adalah

untuk mewujudkan khilafah di muka bumi, demi terwujudnya kebaikan

dan reformasi (Madhi, 2001:1-2).

Di dalam Islam kepemimpinan identik dengan istilah khalifah yang

berarti wakil. Pemakaian kata khalifah setelah Rasulullah wafat

24
menyentuh juga maksud yang terkandung di dalam perkataan “amir”

(yang jamaknya umara) atau penguasa. Oleh karena itu, kedua istilah ini

dalam bahasa Indonesia disebut pemimpin formal. Namun, jika merujuk

kepada firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 30 berbunyi :

          

         

         

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:


"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Maka kedudukan non formal dari seorang khalifah juga tidak bisa

dipisahkan lagi. Perkataan khalifah dalam ayat tersebut tidak hanya

ditujukan kepada para khalifah sesudah nabi, tetapi adalah penciptaan

Nabi Adam as yang disebut sebagai manusia dengan tugas untuk

memakmurkan bumi yang meliputi tugas menyeru orang lain berbuat

amar ma’ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar.

Selain kata Khalifah disebutkan juga kata Ulil Amri yang satu akar

dengan kata amir sebagaimana disebutkan diatas. Kata Ulil amri berarti

pemimpin tertinggi dalam masyarakat Islam. Sebagaimana firman Allah

SWT dalam surat an Nisa ayat 59 :

25
        

           

         

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul


(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya" (QS. An Nisa :59)

Dalam hadis Rasulullah SAW, istilah pemimpin dijumpai dengan


kata raa‟in atau amir , seperti dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari
Muslim :

ٞ‫ٔظ عٓ اٌض٘ش‬ٛ٠ ‫زذثٕب بشش بٓ ِسّذ لبي أخبشٔب عبذ هللا لبي أخبشٔب‬

‫ي هللا‬ٛ‫ّب أْ سع‬ٕٙ‫ هللا ع‬ٟ‫لبي أخبشٔب عبٌُ بٓ عبذ هللا عٓ بٓ عّش سض‬

َ‫اإلِب‬ٚ ٗ‫ت‬١‫ي عٓ سع‬ٚ‫وٍىُ ِغإ‬ٚ ‫وٍىُ ساع‬: ‫ي‬ٛ‫م‬٠ ٍُ‫ ع‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ع‬ٍٝ‫ص‬

ٗ‫ت‬١‫ي عٓ سع‬ٚ‫ ِغإ‬ٛ٘ٚ ٍٗ٘‫ أ‬ٟ‫اٌشخً ساع ف‬ٚ ٗ‫ت‬١‫ي عٓ سع‬ٚ‫ِغإ‬ٚ ‫ساع‬

ٟ‫اٌخبدَ ساع ف‬ٚ ‫ب‬ٙ‫ت‬١‫ٌت عٓ سع‬ٚ‫ِغإ‬ٚ ‫ب‬ٙ‫خ‬ٚ‫ت ص‬١‫ ب‬ٟ‫ت ف‬١‫اٌّشأة ساع‬ٚ

ٟ‫اٌشخً ساع ف‬ٚ ‫زغبت أْ لذ لبي‬ٚ ‫ لبي‬. ٗ‫ت‬١‫ي عٓ سع‬ٚ‫ِغإ‬ٚ ٖ‫ذ‬١‫ِبي ع‬

ٖ‫ا‬ٚ‫تٗ (س‬١‫ي عٓ سع‬ٚ‫ِغإ‬ٚ ‫وٍىُ ساع‬ٚ ٗ‫ت‬١‫ي عٓ سع‬ٚ‫ِغإ‬ٚ ٗ١‫ِبي أب‬

)ٜ‫اٌبخبس‬

26
Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Bisyr ibn Muhammad,
dia berkata : “Telah mengabarkan kepada kami „Abdullah”, dia berkata
: “Telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Zuhriy”, dia berkata :
“Telah mengabarkan kepada kami Salim ibn „Abdillah dari Ibn Umar
r.a” Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Kalian adalah
pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin
keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah
pemimpin dalam mengolah harta tuannya, dan akan dimintai
pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian
sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya.”HR. Bukhari (Albani, 2006:357).

Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW tersebut

dapat disimpulkan bahwa, kepemimpinan dalam Islam adalah kegiatan

menuntun, membimbing, memandu dan menunjukkan jalan yang diridhoi

Allah SWT (Rivai, 2003:1-6).

Dua peran utama kepemimpinan menurut perspektif Islam adalah

pemimin sebagai pelayan (servant leader/ِٗ‫ )خبدَ األ‬dan pemimpin

sebagai pelindung/wali (guardian leader). Peran pertama adalah sebagai

pelayan masyarakat yaitu pemimpin bertugas memelihara kesejahteraan

masyarakat dan membimbing mereka kepada kebaikan. Selanjutnya,

peran kedua yaitu sebagai pelindung masyarakat yang bertugas untuk

melindungi komunitas mereka dari penjajahan dan ancaman (Nashori,

2009:3).

27
3. Sifat-Sifat Pemimpin

Upaya untuk menilai sukses atau gagalnya pemimpin itu dalam

melaksanakan proses kepemimpinan antara lain dapat dilakukan dengan

mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas/mutu perilakunya, yang

dipakai sebagai kriteria untuk menilai kepemimpinannya (Kartono,

2010:37).

Quraish Shihab dalam bukunya “Secercah Cahaya Ilahi”

menuturkan bahwa setidaknya ada lima sifat pokok yang hendaknya

dimiliki oleh sang pemimpin/imam. Kelima sifat tersebut terungkap

dalam dua ayat, yaitu Surah As-Sajdah (32):24 dan Al-Anbiya (21): 73.

        

 

“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang


memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar. dan
adalah mereka meyakini ayat-ayat kami”. (QS. As-Sajdah(32):24).

       

        

“Kami Telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin


yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan Telah Kami
wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan Hanya kepada kamilah mereka
selalu menyembah” (QS. Al-Anbiya(21):73)

28
Sifat yang dimaksud adalah :
a) Kesabaran dan ketabahan, Kami jadikan mereka pemimpin-

pemimpin ketika mereka tabah/sabar.

b) “Yahduna bi amrina”, mengantar (masyarakatnya) ke tujuan yang

sesuai dengan petunjuk Kami (Allah).

c) “ Wa auhaina ilaihim fi‟la al khairat”, (telah membudaya pada

diri mereka kebaikan).

d) “Abidin”, (Beribadah, termasuk melaksanakan shalat dan

menunaikan zakat).

e) “Yuqinun”, (Penuh keyakinan).

Menurut Ordway Tead dalam buku Kartini Kartono (2010:38)

sifat-sifat pemimpin terdiri dari:

a. Energi jasmaniah dan mental

Hampir semua pribadi pemimpin memilki tenaga jasmani dan

rohani yang luar biasa yaitu mempunyai daya tahan, keuletan,

kekuatan atau tenaga yang istimewa yang tampaknya seperti tidak

akan pernah habis. Hal ini ditambah dengan kekuatan-kekuatan

mental berupa semangat juang, motivasi kerja, kesabaran, ketahanan

batin dan kemauan yang luar biasa untuk mengatasi semua

permasalahan yang dihadapi.

b. Kesadaran akan tujuan dan arah

Ia memiliki keyakinan yang teguh akan kebenaran dan kegunaan

dari semua perilaku yang dikerjakan. Dia tahu persis kemana arah

29
yang akan ditujunya, serta pasti memberikan manfaat bagi diri sendiri

maupun bagi kelompok yang dipimpinnya.

c. Antusiasme (semangat, kegairahan, kegembiraan yang besar)

Pekerjaan yang dilakukan dan tujuan yang akan dicapai itu harus

sehat, berarti, bernilai, memberikan harapan-harapan yang

menyenangkan, memberikan sukses dan menimbulkan semangat

kerja. Semua ini dpat membangkitkan antusiasme, optimisme, dan

semangat besar pada pribadi pemimpin maupun para anggota

kelompok.

d. Keramahan dan Kecintaan (friendliness and affection)

Kasih sayang dan dedikasi pemimpin dapat menjadi tenaga

penggerak yang positif untuk melakukan perbuatan yang

menyenangkan bagi semua pihak. Keramah-tamahan itu mempunyai

sifat mempengaruhi orang lain juga membuka setiap hati yang masih

tertutup untuk menanggapi keramahan tersebut.

e. Integritas (keutuhan, kejujuran, dan ketulusan hati)

Pemimpin itu harus bersifat terbuka, merasa utuh bersatu, sejiwa

dan seperasaan dengan bawahannya bahkan merasa senasib dan

sepenanggungan dalam satu perjuangan yang sama.

f. Penguasaan Teknis

Kecakapan dalam memimpin sangatlah dibutuhkan. Setiap

pemimpin harus memiliki satu atau beberapa kemahiran teknis

30
tertentu, agar ia mempunyai kewibawaan dan kekuasaan untuk

memimpin kelompoknya.

g. Ketegasan dalam mengambil keputusan

Pemimpin yang berhasil itu pasti dapat mengambil keputusan

secara tepat, tegas dan cepat sebagai hasil dari kearifan dan

pengalamannya. Selanjutnya ia mampu meyakinkan para anggotanya

akan kebenaran keputusannya.

h. Kecerdasan (Intellegence)

Kecerdasan yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin itu

merupakan kemampuan untuk melihat dan memahami dengan baik,

mengerti sebab dan akibat kejadian, menemukan hal-hal yang krusial

dan cepat menemukan cara penyelesaiannya dalam waktu singkat.

i. Keterampilan mengajar (teaching skill)

Pemimpin yang baik itu adalah seorang guru yang mampu

menuntun, mendidik, mengarahkan, dan mendorong, serta

menggerakkan bawahannya untuk berbuat sesuatu. Sesuatu tersebut

tidaklah akan terjadi tanpa dorongan dan bimbingan dari orang yang

memimpinnya.

j. Kepercayaan (Faith)

Keberhasilan pemimpin itu pada umumnya selalu didukung oleh

kepercayaan dan loyalitas bawahannya. Yaitu kepercayaan bahwa

para anggota pasti dipimpin dengan baik, dipengaruhi secara positif,

dan diarahkan pada sasaran-sasaran yang benar. Ada kepercayaan

31
bahwa pemimpin bersama-sama dengan anggota-anggota

kelompoknya secara bersama-bersama rela berjuang untuk mencapai

tujuan yang bernilai.

Dengan demikian sifat-sifat pemimpin tersebut merupakan

landasan utama seorang pemimpin dapat membangun sebuah perilaku

positif jika dilandasi oleh sifat yang positif. Dengan kata lain ketika

seorang pemimpin memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang baik, maka

potensial untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang baik, sehingga

dapat mencapai efektivitas kepemimpinan pula. Jika sifat pemimpin

tersebut buruk, maka seorang pemimpin cenderung mempraktikan gaya

kepemimpinan yang kurang disukai orang lain sehingga menjadi kurang

efektif.

Pada pembahasan sifat pemimpin ini, penulis akan menyajikan

kepemimpinan Indonesia masa kini dan harapan atas pemerintahan

terpilih yang penulis ambil dari

http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/261-kepemimpinan-nasional-

indonesia-kini-dan-di-masa-mendatang, diakses pada tanggal 3 Oktober

2016 pukul 11.35, bahwasannya menjadi pemimpin di zaman reformasi

ini sungguh sangat berat. Di satu pihak kondisi ekonomi sosial

masyarakat terpuruk, tuntutan masyarakat sangat banyak, di pihak lain

sumber daya yang ada memenuhi tuntutan tersebut sangat terbatas.

Namun anehnya, dalam bayang-bayang beratnya tugas dan kewajiban

yang di emban oleh pemimpin, justru pemilihan pimpinan baik eksekutif,

32
legislatif maupun yudikatif di Era Reformasi ini menampakkan gairah

yang luar biasa.

Kepemimpinan nasional mengalami penurunan kualitas, terlihat

dari berbagai kasus penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat publik

telah merata di seluruh lembaga negara, baik di legislatif, eksekutif,

maupun yudikatif. Hal itu membuktikan bahwa penurunan kualitas

kepemimpinan nasional telah terjadi. Pejabat publik, yang seharusnya

memberi contoh kepada masyarakat untuk keluar dari krisis nasional,

telah keluar dari nurani kebangsaannya. Kepekaan terhadap

pertanggungjawaban publik sudah hilang. Para pejabat tinggi pada

instansi-instansi strategis bukannya memberi keteladanan, melainkan

mempertontonkan perilaku buruk dalam mengelola otoritas publik.

Adanya kecenderungan kepemimpinan nasional mengalami

disfungsi dikhawatirkan akan meruntuhkan seluruh sistem penegakan

hukum, tidak berfungsinya sistem ketatanegaraan dan hilangnya

kepercayaan publik kepada para pemimpinnya. Meskipun tampak di

permukaan, mayoritas masyarakat cenderung apatis, bukan berarti tidak

ada keresahan sosial yang berpotensi memicu ledakan sosial.

Kesenjangan yang makin lebar antara rakyat kebanyakan yang sangat

menderita akibat krisis ekonomi yang belum pulih, dengan perilaku

kepemimpinan yang korup dan bermewah-mewah secara tidak sah, dapat

memicu munculnya keresahan dan anarki sosial. Bahkan, dalam banyak

kasus, pemerintah cenderung mereduksi keberadaan masyarakat.

33
Sejalan dengan paradigma pemerintahan yang baru menuntut

kegiatan nyata pemimpin yang diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang

kreatif, inovatif, orientasi kepentingan masyarakat, orientasi pelayanan

dan pemberdayaan masyarakat. Seorang pemimpin tidak hanya cukup

mengandalkan intuisi semata, tetapi harus didukung oleh kemampuan

intelektual dan keahlian yang memadai, ketajaman visi serta kemampuan

etika dan moral yang beradab, pemimpin dituntut untuk tanggap terhadap

aspirasi yang berkembang dalam masyarakat serta harus mampu

menyediakan barang dan jasa bagi kepentingan rakyat banyak. Dukungan

terhadap pimpinan dalam sistem pemerintahan modern sangat ditentukan

oleh kemampuannya untuk memberikan rasa aman serta meningkatkan

kesejahteraannya.

Sistem politik yang selama ini di bangun di Indonesia sangat

melekat dan diidentifikasi dengan tokoh pimpinan nasional tertentu.

Sehingga kekeliruan dan kegagalan mereka dilihat sebagai kegagalan

sistem politik secara keseluruhan. Idealnya seorang pimpinan nasional

merupakan kombinasi dari “leader” dan “manager”. Seorang “leader”

dapat mempersatukan pengikutnya serta dapat memberikan visi, misi dan

semangat. Sedangkan “manager” mampu menyatakan dan melaksanakan

tugas-tugas yang diembankan secara efektif dan efisien.

Apabila kita perhatikan, orang-orang yang telah berhasil dalam

masyarakat dan terkenal, hampir memiliki sifat yang sama, diantaranya

34
kekuatan ego yang tinggi, kemampuan berfikir strategis, analisa ke masa

depan, dan suatu kepercayaan dalam prinsip fundamental perilaku

manusia. Mereka mempunyai keyakinan yang kuat, dan tidak ragu-ragu

terhadap keputusan yang diambilnya, cerdas, mempunyai kemampuan

untuk menggunakan kekuasaan demi efisiensi dan kebaikan yang lebih

besar, serta mampu “masuk pada pikiran” orang yang berhubungan

dengan mereka.

Ada tiga karakter pemimpin yang diharapkan masyarakat: pertama,

perencana. Masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki

kapasitas intelektual memadai dan menguasai kondisi makro nasional

dari berbagai aspek, sehingga dapat menjaga visi perubahan yang

dicitakan bersama. Kedua, Pelayanan. Masyarakat rindu figur pemimpin

yang seorang pekerja tekun dan taat pada proses perencanaan yang sudah

disepakati sebagai konsensus nasional, menguasai detil masalah kunci

kebangsaan dan mampu melibatkan semua elemen yang kompeten dalam

tim kerja yang solid. Ketiga, Pembina. Masyarakat berharap pemimpin

menjadi tonggak pemikiran yang kokoh dan menjadi rujukan semua

pihak dalam pemecahan masalah bangsa, yang setia dengan nilai-nilai

dasar bangsa dan menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat secara

konprehensif.

Kepemimpinan nasional baru bukanlah trial and error. Melainkan

upaya pengembangan potensi dengan dihadapkan pada kenyataan aktual.

35
Krisis ekonomi-politik yang masih terus berlanjut menuntut tokoh yang

kompeten di bidangnya dan memiliki visi yang jauh untuk

menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. Bencana alam dan sosial yang

terjadi silih berganti menegaskan perlu hadir tokoh yang peka dan cepat

tanggap terhadap penderitaan rakyat serta berempati dengan nasib

mayoritas korban. Pemimpin baru seperti ini bukan hanya dibutuhkan

segera di pentas nasional, juga di tingkat lokal. Karena itu, bangsa ini

membutuhkan secara masif proses pengkaderan yang outputnya bisa

diuji di tingkat regional bahkan global. Indonesia tidak mungkin

memainkan peranan di arena antar bangsa tanpa anak-anak bangsa yang

memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni.

Di Indonesia ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

proses pembentukan kepemimpinan nasional di masa-masa mendatang.

Indonesia memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi.

Seorang pemimpin yang dipandang terlalu ekstrim dalam menyuarakan

aspirasi kelompoknya kemungkinan besar akan ditolak oleh kelompok-

kelompok masyarakat yang lain. Dengan demikian, seorang pemimpin

yang berpeluang menarik simpati, atau sekurang-kurangnya tidak ditolak

oleh kelompok-kelompok di luar kelompoknya sendiri, adalah seorang

yang bersikap moderat dan mampu merangkul berbagai pihak.

Mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam yang

cukup taat beragama. Dengan demikian faktor agama diperkirakan akan

36
memainkan peranan yang semakin penting dalam diskursus politik

nasional, termasuk dalam pemilihan pemimpin. Kehidupan nasional telah

menjadi semakin kompleks, tuntutan terhadap tersedianya pelayanan

umum juga semakin meningkat ditengah meningkatnya pendidikan dan

daya kritis masyarakat. Pemimpin masa depan dituntut untuk tidak saja

mahir mengubar janji, tetapi juga harus memiliki pengetahuan yang

memadai dan kompetensi untuk merancang dan melaksanakan program-

program pembangunan.

Pemimpin masa depan harus betul-betul mampu membangun

komunikasi dengan rakyat. Masyarakat Indonesia telah menempatkan

masalah kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) sebagai musuh utama

bangsa yang harus diperangi. Pemimpin nasional masa depan dituntut

untuk memiliki integritas dan moralitas yang tinggi, di samping

menjunjung tinggi "rule of law" demi tegaknya "good governance" dan

"clean government".

Sebagian dilahirkan jadi pemimpin, sebagian meraih prestasi untuk

menjadi pemimpin, sedangkan sebagian lagi "ketiban" jadi pemimpin

tanpa upayanya sendiri. Dalam sistem demokrasi legitimasi kekuasaan

berasal dari amanat rakyat yang datang dari bawah. Setiap pemimpin

yang muncul hendaklah berdasarkan kemampuan dan prestasi yang ia

raih sendiri, sedangkan kekuasaan yang dimiliki berasal dari rakyat

sehingga harus dipersembahkan untuk, dan dipertanggungjawabkan

37
kepada rakyat. Kepemimpinan hanyalah satu bagian saja dari sistem

pemerintahan nasional secara keseluruhannya. Yang sangat diperlukan

ialah suatu sistem politik yang memiliki ketahanan dan kekenyalan

terhadap goncangan-goncangan, antara lain dengan mempunyai

kemampuan untuk melakukan koreksi dan pembaharuan terhadap dirinya

sendiri secara terus menerus. Hal ini hanya mungkin diperoleh apabila

suatu sistem politik memiliki basis dukungan dan legitimasi yang luas,

yang senantiasi terbuka dan tanggap terhadap aspirasi dan kritik, serta

dibatasi kekuasaannya. Melalui sistem inilah para pemimpin nasional

dapat dijaring dan dikontrol. Dalam kerangka itu Negara dan bangsa

Indonesia harus membangun kepemimpinan yang kuat dan berkarakter

pada kelembagaan legislatif, yudikatif dan eksekutif, sehingga mampu

menghadapi persaingan global dan keluar dari krisis multidimensi.

4. Fungsi kepemimpinan

Tentang eksistensi seorang pemimpin, dalam Al-Qur’an surat Al

An’am:165 diterangkan:

        

          

  

38
"Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi
dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain)
beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Departemen Agama RI, 1995:119).

Berdasarkan ayat tersebut, seorang pemimpin berarti menjalani

ujian dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai

pemimpin. Menurut Zelznick sebagaimana disalin oleh Richard H. Hall

dalam bukunya yang berjudul Organization Structure and Process,

mengatakan bahwa seorang pemimpin memiliki fungsi sebagai berikut:

a) Involes the definition of the institusional organization mission and

role

Di sini mempunyai arti bahwa seorang pemimpin harus bisa

mendefinisikan misi dan peran organisasi, sehingga seorang pemimpin

harus mengerti apa sebenarnya tujuan dan fungsi dari organisasi yang

dipimpinnya. Walaupun berjalannya kinerja dari sebuah organisasi

merupakan tanggung jawab dari semua pengurus, akan tetapi yang

menjadi penggerak utama dari berjalannya kinerja pengurus adalah

tanggung jawab dari seorang pemimpin.

b) The institusional embodiment of purpose

Seorang pemimpin merupakan pengejawantahan tujuan organisasi.

Dengan kata lain, bahwa kesuksesan dari sebuah oraganisasi bisa

dilihat dan dinilai dari seorang yang berperan menjadi pemimpin

dalam sebuah organisasi tersebut.

39
c) To defend the organnization‟s intregation

Menurutnya, seorang pemimpin harus mampu mempertahankan

keutuhan organisasi. Keutuhan organisasi bisa bertahan, manakala

seorang pemimpin mampu menghidupkan suasana kebersamaan,

kekeluargaan, dan kekompakan antar anggota. Dari situ maka masing-

masing dari anggota bisa bekerja secara profesional sesuai dengan visi

dan misi yang mengarah pada tujuan akhir dari organisasi tersebut.

d) The ondering of internal conflict

Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dalam

mengendalikan konflik internal yang terjadi dalam organisasinya. Ini

merupakan sebuah tantangan besar yang dihadapi pemimpin. Dalam

menghadapi tantangan eksternal, sebuah organisasi bisa menghadapi

dengan proses yang lancar apabila sudah ada kekompakan di tubuh

internal, Akan tetapi, bila di tubuh internal sendiri sudah terjadi

konflik, maka akan memicu kegagalan sebuah organisasi dalam

mencapai tujuan akhir. Disinilah, seorang pemimpin di tuntut selalu

bisa mengayomi anak buahnya tanpa adanya sentimen-sentimen

pribadi (Husaini, 2006:251).

Selanjutnya Kartini Kartono (2001:81) mengutarakan bahwa :

Fungsi kepemimpinan ialah memandu, menuntun, membimbing,


membangun, memberi atau membangunkan motivasi-motivasi
kerja, mengemudikan organisasi, menjalin jaringan-jaringan
komunikasi yang baik, memberikan supervisi/pengawasan yang
efisien dan membawa para pengikutnya kepada sasaran yang ingin
dituju, sesuai dengan ketentuan waktu dan perencanaan.

40
Dari beberapa fungsi kepemimpinan tersebut, penulis dapat

menyimpulkan bahwa fungsi kepemimpinan adalah memandu,

membimbing, memotivasi, mengkoordinir, menjalin jaringan, dan

memberi supervisi yang efisien kepada anak buahnya serta membawa

organisasi yang dipimpin pada sasaran dan sesuai program kerjanya.

B. Pemikiran Syeikh Musthafa Al Ghalayaini tentang Nilai-Nilai

Pendidikan Kepemimpinan dalam Kitab I’dhotun Nasyiin.

1. Arti Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin

Manusia adalah makhluk sosial yang menjadi pemimpin bagi dirinya

sendiri dan menjadi pemimpin bagi orang lain. Menjadi pemimpin berarti

menjadi seseorang yang memiliki tanggung jawab lebih dalam hidup.

Hukum Allah (Sunatullah) telah menetapkan, bahwa dalam setiap

bentuk makhluk yang diciptakan Allah, pasti ada yang memimpin dan

ada yang dipimpin. Ada yang mengatur dan ada yang diatur. Hal itu agar

pemikiran-pemikiran itu tidak tumpang tindih dan keinginan-keinginan

tidak bersimpang siur, yang mengakibatkan keretakan kerukunan, putus

tali kasih sayang, pudar persatuan dan perselisihan (Al-Ghalayaini,

t.t:149).

Setiap golongan yang tidak memiliki pemimpin yang bisa mereka

jadikan tempat mengadukan kesulitan-kesulitan mereka itu, sama halnya

mereka sedang naik kuda (kendaraan) liar yang nakal, pada malam hari

41
yang gelap gulita (dalam keadaan panik dan bingung mengatasi kesulitan

yang dihadapi).

Para pemimpin setiap bangsa adalah roh persatuan mereka dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Apabila para pemimpin itu

rusak, maka rusaklah umat dan bangsa itu, dan jika mereka baik, maka

umat atau bangsa itu menjadi baik juga. Karena, umat akan berdiri tegak,

kokoh dan sejahtera, manakala pemimpin-pemimpin umat itu

menggerakannya. Jika mereka (umat) sedang loyo, lalu mereka

meluruskannya ketika bengkok, menarik tangannya ketika mereka (umat)

jauh dan membimbingnya ketika sedang sesat (Al-Ghalayaini, t.t:150-

151).

Al Ghalayaini mengatakan dalam kitabnya “idhotun Nasyiin”

bahwasannya:

. ‫ ِذَ٘ب‬٠ْ ِٛ ْ‫تَد‬َٚ ‫َب‬ِٙٔ ‫ َّو ًَ أَ ِْ َش ُع ّْ َشا‬َٚ ِٗ ١ْ ٌَ ِ‫ئ‬َٚ ، ‫ض‬


ِ ْ‫ ْاألَس‬ٝ‫فَتُ هللاِ ِف‬١ْ ٍِ‫اَ ْ ِإل ْٔ َغب ُْ َخ‬

‫ا ْعتَ ْخ َش َج‬َٚ ، ‫ َع َّ َش أَ ْلطَب َسَ٘ب‬َٚ ‫َب‬َٙٔ ُْٛ‫ فَ َذ بَّ َش ثُئ‬- ‫َب‬ٙ‫ ََِٕب ِو ِب‬ٝ‫ف‬
ِ ‫ َش‬١ْ ‫فَا ِ ْْ أَزْ َغَٓ اٌ َّغ‬

َُ ٍْ ‫َٔ َش َش ْاٌ ِع‬َٚ ،‫َب‬ٙ١ْ ِ‫ح ْاٌ َع ْذ ِي ف‬


ِ ِ٘ ‫ ََِٕب‬ِٝ‫ َعب َسف‬َٚ ،‫َب‬ِٙ‫ت‬َٚ ْ‫أَثَب َس َوب َِِٓ ثَش‬َٚ ،‫َب‬ِٙ‫ َشات‬١ْ ‫َخ‬
ُ ٌِ ‫َب ْاٌ َخب‬َّٕٙ‫ َع‬ِٝ‫ ُِْ اٌَّت‬١‫بظ‬
‫ك‬ ِ َٔ َ‫َ ِس ْذ َع ِٓ ْاٌ َع َّ ًِ بِ ْبأل‬٠ ُْ ٌََٚ ،‫َب‬ِٙٔ ‫َٓ ُع َّىب‬١ْ َ‫ َر ب‬١ْ ‫ص ِس‬
َّ ٌ‫ا‬

َ َٚ ،‫َب َزمًّّب‬ٙ١ْ ِ‫فَتَ ِٗ ف‬١ْ ٍِ‫ َوب َْ َخ‬-َٗٔ ‫ُع ْب َسب‬


.‫َب‬ٌِٙ ‫َ ِذ ِٖ ِص َِب َ أَ ْع َّب‬١ِ‫ظ ًَّ ب‬

“Manusia adalah khalifah Allah yang diserahi tugas memakmurkan


dan membangun bumi oleh-Nya. Apabila manusia berlaku baik di
seluruh bumi ini, mengaturnya dengan baik, membangun kawasan-
kawasan yang perlu dibangun, mengeluarkan hasil buminya dan
mengolah kekayaannya dengan cara sebaik mungkin, berbuat adil dalam
segala persoalan, menyebarkan ilmu pengetahuan di kalangan penduduk
dan tidak menyimpang dari peraturan yang telah digariskan oleh Sang

42
Pencipta, yakni Allah swt, maka manusia seperti itulah yang benar-benar
dinamakan khalifah Allah swt dan semua urusan pengendalian tugas-
tugas berada di tangan kekuasaannya” (Al-Ghalayaini, t.t:251).

Sebaliknya, barangsiapa yang buruk perilakunya dan tidak baik

dalam melaksanakan tugas-tugas yang diserahkan kepadanya, sesuai

hukum-hukum Allah serta melupakan apa yang sudah diamanatkan,

maka manusia seperti itu akan dikenai apa yang telah dialami oleh

manusia yang semacam dengannya. Keadaannya berbalik total, kalau

semula mulia berubah menjadi hina. Kalau semula tinggi kedudukannya

berbalik menjadi rendah. Kalau semula berkuasa, berbalik dikuasai

(hilang kekuasaanya). Kalau semula kaya berbalik menjadi miskin. Apa

yang dimilikinya (berupa kehormatan dan kekayaan) dicabut oleh Allah

dan diwariskan kepada orang lain. Kekuasaan yang ada padanya dicabut

oleh-Nya dan diberikan kepada orang lain. Hal ini sudah dijelaskan oleh

Allah dalam firman-Nya QS. Al- Anbiyaa:105

          

 

“Dan sungguh Telah kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis
dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi Ini dipusakai hamba-hambaKu
yang saleh”.

Yang dimaksud dengan kata-kata Ash-Shalihun (orang-orang yang

saleh) dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang mampu menata atau

memanage bumi dengan baik, mengatur pekerjaan-pekerjaan dengan

sempurna dan memperbaiki kondisi penduduknya, dengan cara

43
menyebarkan ilmu pengetahuan, menegakkan keadilan, berhati-hati

menghadapi lawan dan menciptakan usaha-usaha yang bermanfaat,

seperti bidang pertanian, perindustrian, dan perdagangan. Jadi, kata Ash-

Shalihun tersebut, sama sekali bukan orang-orang yang rukuk dan sujud,

sementara enggan berusaha melakukan hal-hal yang menyebabkan dapat

menguasai bumi. Masalah ibadah adalah masalah spiritual (keagamaan),

yang membuatnya hanya kembali pada yang melakukannya saja di

akhirat nanti, sedangkan urusan menata bumi adalah persoalan material

(duniawi) yang tidak mungkin ditempuh, kecuali melalui usaha yang

telah ditunjukkan oleh Allah swt dan perantaraan-perantaraan yang siapa

saja mau menggunakan lantaran itu, pasti dapat memegang atau

menguasai kekuasaan di bumi ini (Al-Ghalayaini, t.t:252-254).

Pemimpin yang baik ialah pemimpin yang disayangi rakyat atau

orang bawahannya. Oleh karena itu seorang pemimpin hendaklah

memupuk kesetiaan masyarakat kepada kepemimpinannya dan jangan

melakukan sesuatu yang melemahkan kepercayaan mereka dan kesetiaan

mereka.

،‫ْ ِد‬ُٛ‫خ‬ُٛ ٌ‫ْ ُذ ْا‬ُٚ‫ فَأَُِّٗ س‬،‫ب‬


ِ ‫ا ِخ‬َٛ ٌ‫َ ِبَ بِ ْب‬١ِ‫ بِ ْبٌم‬،‫ ُء‬ٝ‫َبإٌَّب ِش‬ٙ٠ُّ َ‫ه أ‬
َ ١ْ ٍَ‫فَ َع‬
ْ
ِ َ‫ َسأطُ ْاألَ ْخال‬َٚ ،ِْ ‫ ِعشُّ ْاٌ ُع ّْ َشا‬َٚ
.‫ق‬

“Wahai generasi muda, kalian wajib melaksanakan apa yang telah


menjadi kewajiban kalian semua, sebab memenuhi kewajiban itu
merupakan roh setiap barang yang ada di dunia ini. Ia merupakan
rahasia kemakmuran hidup sebagai sumber akhlak yang mulia”.

44
.ُْ ُٙ‫ن ِِ ْٓ أَ ْٔفُ ُغ‬ َ ٌَّٕ‫ف ْا‬
ِ ْٕ َ٠ ، َ‫بط ِِ ْٓ َٔ ْف ِغه‬
َ ُْٛ‫صف‬ ِ ْٔ َ‫أ‬
ِ ‫ص‬
“Bersikap adil kepada orang lain, mereka pasti bersikap adil
kepada kalian”.

ِ ‫ا ِخ‬َٛ ٌ‫َمُ ُْ بِ ْب‬٠ ‫ن‬


َ‫ن‬َٛ ْ‫ ِٗ َٔس‬١ْ ٍَ‫ب َع‬ ِ ‫ا ِخ‬َٛ ٌ‫لُ ُْ بِ ْب‬َٚ
َ ‫ ِْش‬١‫ َغ‬َٛ ْ‫هَ َٔس‬١ْ ٍَ‫ب َع‬

“Kerjakanlah kewajiban yang menjadi tanggung jawab kalian


terhadap orang lain, pasti orang lain pun akan melaksanakan
kewajibannya kepadamu”.(Al Ghalayaini, t.t:199).

Seorang pemimpin itu wajib melaksanakan kewajibannya terhadap

rakyatnya, dengan cara menjalankan tugas dengan jujur, tidak boleh

melarikan diri dari tanggung jawabnya, dan rakyat hendaklah dilayani

dengan adil dan seksama. Di setiap langkah sebagai seorang pemimpin,

Allah akan memberikan peringatan bagi kaum Muslimin agar selalu

berhati-hati tentang apa yang akan dilakukan sebagai khalifah Allah di

bumi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan menurut

Syeikh Musthafa Al Ghalayaini ialah seseorang yang mampu

mengarahkan, mempengaruhi, membimbing, melayani dan melindungi

individu lain dalam proses pencapaian tujuan, serta ada usaha kerja sama

yang tidak menyimpang dari peraturan yang telah digariskan oleh Allah

swt sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits untuk mencapai tujuan yang

diinginkan bersama.

45
2. Syarat-Syarat Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin

Menjadi seorang pemimpin bukan perkara yang mudah, pemimpin

harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar bisa menjalankan roda

kepemimpinan dengan maksimal. Syarat pemimpin merupakan segala

sesuatu yang harus dipenuhi seorang pemimpin agar dalam menjalankan

masa kepemimpinan bisa berjalan dengan lancar dan lebih disegani

bawahannya.

Menurut Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dalam kitabnya “Idhotun

Nasyiin”, mengatakan bahwa :

َِِٓ ‫ْ طُ اٌ ِّشئَب َع ِت‬ُٚ‫ُٗ ُشش‬١ْ ِ‫ فَّ َشف‬َٛ َ‫ تَت‬َّٝ‫ َزت‬،‫غًّب َزمًّّب‬١ْ ِ‫ْظُ َسئ‬١ِ‫ْ ُْ اٌ َّشئ‬ٛ‫َ ُى‬٠ َ‫ل‬َٚ

َ َٚ ،‫َب َِ ِت‬ٙ‫اٌ َّش‬َٚ ،‫ْ َء ِة‬ُٚ‫ ْاٌ ُّش‬َٚ ،ْ‫َا‬


‫َب َس ِة‬ٙ‫ط‬ ِ ‫ص َّس ِت ْا‬
ِ ‫خْ ذ‬ٌٛ ِ َٚ ،ُِ ٍْ ‫ ْاٌ ِع‬َٚ ،ًِ ‫ْاٌ َع ْم‬

‫َب ِء ْاألُ َِّ ِت‬١ ْ‫ ًِْ ئِز‬١‫ َع ِب‬ِٝ‫ ف‬،ُِّ ‫ ْاٌبَ ْز ِي ْاٌ َد‬َٚ ،َِ ‫ ْاٌ َى َش‬َٚ ،‫ َش ِة‬١ْ ‫ ُز ْغ ِٓ اٌ ِّغ‬َٚ ،‫ َش ِة‬٠ْ ‫َّش‬
ِ ‫اٌغ‬

‫ًّٕب‬١ْ ‫ َوب َْ َع‬،‫َ ِز ِٖ ْاألَ ْعبَب ِء‬ِٙ‫لَب ََ ب‬َٚ ‫َ َح‬ْٕٙ َّ ٌ‫َ َح َ٘ َز ْاا‬َٙٔ ْٓ َّ َ‫ ف‬.‫َب‬ٙ‫ْ ِع‬ُٛ‫ ُسب‬ِٝ‫َٔ ْش ِش ْاٌ ِع ٍْ ُِ ف‬َٚ

ُّ َِِٓ ‫ ًّّب‬١ْ ‫ َص ِع‬َٚ ،‫غًّب َِِٓ اٌشُّ َؤ َعب ِء‬١ْ ‫ َس ِئ‬َٚ ،ِْ ‫َب‬١‫َِِٓ ْاألَ ْع‬
ٍَٝ‫ َع‬َٛ َُٙ‫ئِلَّ ف‬َٚ ،‫اٌض َع َّب ِء‬

ِ ‫اٌ َّش َش‬َٚ ‫اٌ َّضعَب َِ ِت‬َٚ ‫اٌ ِّشئَب َع ِت‬َٚ ‫ َخب َ٘ ِت‬َٛ ٌ‫ْا‬
.ًٌ١ْ ‫ َد ِخ‬ٌّٟ ٍِ١ْ َ‫ف طُف‬

“Seorang pemimpin itu belum bisa dianggap sebagai pemimpin


yang sejati, kecuali dia telah memenuhi syarat-syarat kepemimpinan,
yakni berpikiran cerdas, berwawasan luas, baik pendapatnya, bisa
mengendalikan diri, perkasa, bersih atau tulus hatinya, baik perilakunya,
dermawan, banyak memberikan bantuan keuangan demi kesejahteraan
umat dan giat menyebarkan ilmu pengetahuan ke seluruh pelosok tempat
tinggal umat. Barangsiapa yang jejak perjalanannya seperti itu dan
sanggup memikul tanggung jawab berat sebagaimana tersebut, maka dia
baru bisa disebut sebagai “tokoh pemimpin sejati”. Jika ada orang yang
tidak memenuhi syarat-syarat tersebut untuk menjadi pemimpin, maka
orang itu termasuk perampas yang bodoh, tetapi mengaku pintar ingin

46
menjadi pemimpin, karena gila pangkat semata” (Al-Ghalayaini,
t.t:151).

Dari beberapa syarat-syarat kepemimpinan tersebut, penulis dapat

meyimpulkan bahwa syarat kepemimpinan itu diantaranya:

a. Mempunyai moralitas yang baik

Para pemimpin itu hendaklah berakhlak terpuji, senantiasa berkata

jujur, teguh memegang amanah, tidak gemar melakukan perbuatan

dosa dan maksiat seperti korupsi, manipulasi, dusta maupun khianat

dan tidak suka bermaksiat kepada Allah.

b. Berilmu pengetahuan

Selayaknya seorang pemimpin mempunyai pengetahuan yang

mencakup tentang administrasi negara, politik, hukum, maupun

agama. Allah menggambarkan tipe pemimpin itu dalam Al Qur’an

surat Yusuf : 55

         

“Berkata Yusuf: "Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir);


Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan".(Qs Yusuf:55).

c. Mempunyai kemampuan

Seorang pemimpin itu hendaknya mampu menjalankan tugas

(kompeten) dan konsekuen (istiqomah) memikul tanggung jawab yang

diamanahkan kepadanya, dan ia harus memiliki kemampuan dan

47
keberanian untuk menegakkan keadilan serta melaksanakan amar

ma‟ruf nahi munkar.

d. Mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap rakyat dan mempunyai

sifat kasih sayang

Pemimpin itu selayaknya ialah orang yang mampu mengayomi dan

bersedia berkorban untuk kepentingan rakyat yang lebih luas baik

pemimpin di bidang agama, pemerintahan maupun sosial

kemasyarakatan. Rakyat butuh pemimpin yang peduli, mampu

melindungi dan memberikan rasa aman terhadap berbagai ketakutan.

3. Tipologi Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin

Kecintaan terhadap jabatan kepemimpinan (ambisi menjadi

pemimpin) adalah merupakan penyakit bangsa timur yang amat

berbahaya, sedangkan berebut atau bersaing menjadi pemimpin adalah

merupakan penyakit orang timur yang kronis. Begitu juga setiap ada

pemimpin yang tampil, pasti timbul kecemburuan terhadapnya di hati

bangsanya dan rasa dendam pada jiwa semakin membara. Lalu mereka

melakukan adu domba, menjelek-jelekkan pemimpin tadi, mencurahkan

segala kekuatan yang mereka miliki untuk menjatuhkannya, menyatakan

terang-terangan menentang (menjadi oposisi) dan menghujatnya secara

terang-terangan.

Apabila pemimpin tersebut pemimpin sejati, maka dia tidak

mempedulikan serangan-serangan itu dan menghiraukannya, Tetapi, dia

48
malah semakin teguh melanjutkan apa yang dia rencanakan, berupaya

menciptakan kemakmuran untuk rakyatnya, tanpa mempedulikan

hambatan-hambatan, pergolakan dan kesulitan-kesulitan serta tidak mau

mengumpulkan massa untuk unjuk kekuatannya. Sebaliknya, apabila

pemimpin tersebut guncang saat pertama kali mendapat tantangan, maka

dia adalah orang yang lemah kemauan dan jiwanya. Semestinya, orang

seperti ini tidak mau dijadikan pemimpin bangsanya (Al Ghalayaini,

t.t:156).

Menurut Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini bahwasannya jabatan

kepemimpinan itu bukanlah seperti barang yang bisa dibeli dan bukan

seperti baju, yang jika dipakai seseorang, lantas seseorang itu sudah

dapat, maka dianggap menjadi pemimpin. Sesungguhnya, pemimpin itu

roh umat atau bangsa, setiap bangsa yang dipimpin oleh orang yang tidak

jelas pendiriannya, pemerintahannya dikendalikan oleh orang-orang yang

bodoh dan pemuka-pemuka atau tokoh-tokoh mereka terdiri dari orang-

orang yang rendah dan berakhlak tercela, maka bangsa itu positif bobrok,

kacau dan akhirnya hancur (Al Ghalayaini, t.t:157-158).

ِ ‫ب إٌَّب‬
‫ ِسئَب‬ِٝ‫ط ف‬ ِ ١ْ ‫ ٌِتَشْ ِغ‬،‫بي‬ ُّ ‫َب‬٠َٚ ،‫َ ْب ُذ ُي ْاٌ َّب َي‬٠ ْٓ َِ ُ‫ْظ‬١ِ‫ْظ اٌ َّشئ‬
َ ‫ُث اٌ ِّش َخ‬ َ ١ٌَ

ُ‫ت اٌ ِّشئَب َعت‬ ِ ‫ ْا ِإل ٌْتِفَب‬َٚ ،ِٗ ِ‫َعت‬


ْ َٔ ‫ْظُ َِ ْٓ َوب‬١ِ‫ئَِّٔ َّب اٌ َّشئ‬َٚ ،ِٗ ِ‫ْ َي َعٍَ ُِ َصعَب َِت‬ٛ‫ف َز‬

.ِٗ ِ‫ُخٍُمًّب ِِ ْٓ أَ ْخالَل‬

“Pemimpin yang sejati itu, bukanlah orang yang suka bagi-bagi


uang dan merangkul tokoh-tokoh, yang tujuannya hanya agar orang-
orang menyukai dan mendukung kepemimpinannya. Namun, pemimpin

49
yang sebenarnya ialah orang yang kepemimpinannya itu mencerminkan
budi pekertinya yang luhur”.

Kepemimpinan yang demikian itu tidak bakal terwujud, kecuali

dalam diri orang yang telah dikenal sifat-sifat kemuliaannya, tidak

berlaku negatif, murni gagasannya, teguh hatinya, tinggi cita-citanya,

bersih janjinya (tanpa menginginkan timbal balik), cerdas pikirannya,

kuat fisiknya, ramah, bersih kepribadiaannya, jelas moralnya, bersih

nasabnya dari cacat moral, tanggap terhadap tuntutan rakyat, dan bekerja

keras demi kepentingan dan kemajuan mereka. Barangsiapa yang

memiliki sifat dan kepribadian seperti yang diuraikan di atas, maka dia

pasti mempimpin dan memeritah orang banyak, semua ucapan dan

petuahnya pasti didengar dan ditaati oleh rakyat, memiliki wibawa dan

kedudukan yang tinggi di kalangan mereka (Al Ghalayaini, t.t:159).

Kepemimpinan yang bobrok dapat dilihat dari sekelompok orang,

yang jika mengalami kegagalan dalam usahanya (memenuhi ambisinya)

merebut kekuasaan (dari pemimpin yang sebenarnya sudah baik), yang

mereka inginkan, maka mereka mulai bangkit memprovokasi umat

dengan atas nama agama, padahal kelompok ini sebenarnya paling ingkar

dengan agama. Mereka gampang mengatakan orang lain sebagai kafir,

ateis, sesat dan fasik.

Untuk memenuhi keinginan yang sesat itu, mereka menggunakan

cara-cara yang hina dan keji, orang-orang yang seperti ini biasanya suka

menggunjing dan memprovokasi umat atau rakyat, agar tidak mendukung

pemimpin yang sedang berkuasa (yang sebenarnya sudah baik) dan

50
mencemarkan nama baik pemimpin-pemimpin itu, sehingga terjadi krisis

kepercayaan, yang akhirnya terjadi kefakuman. Situasi seperti itu oleh

golongan tersebut dimanfaatkan sebagai jalan mencapai apa yang mereka

maksud, yaitu mengambil alih kekusaan dan kepemimpinan, sehingga

mereka bisa menjadi pemimpin. Padahal mereka tidak menyadari, bahwa

apa yang telah mereka lakukan itu sebenarnya membuka cacat dan

kejahatan mereka sendiri, yang pada akhirnya rakyat menjauhi mereka,

tidak memperhatikannya, bahkan membenci dan marah kepada mereka

(Al-Ghalayaini, t.t:160-161).

4. Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin

Syeikh Musthafa Al Ghalayaini dengan pemikirannya dalam kitab

Idhotun Nasyiin menekankan pada akhlak, etika dan kemasyarakatan.

Kitab ini berisi bimbingan untuk generasi muda muslim, agar menjadi

individu-individu yang bersih dari sifat-sifat yang tidak terpuji, berakhlak

mulia dan mengerti, sebagaimana ia bersikap, menghadapi segala

peristiwa yang dialami bangsanya.

Sebagaimana Al Ghalayaini dalam pidatonya yang ditulis dalam

kitab Idhotun Nasyiin terdapat nilai-nilai pendidikan kepemimpinan,

dapat dilihat dari beberapa kriteria sifat-sifat pemimpin yang baik yaitu

sebagai berikut:

a. Rendah hati dan sederhana

Firman Allah dalam QS. Luqman:18

51
          

      

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia


(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri” (QS. Luqman:18).
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa seberapapun kita lebih

unggul dari orang lain kita tetaplah makhluk yang kecil di hadapan

sang Pencipta, dengan hendaklah selalu rendah hati.

Dalam pidatonya yang disampaikan Syeikh Musthafa Al-


Ghalayaini dimana telah dikutip dalam kitab Idhotun Nasyiin, “Wahai
generasi muda, berpegang teguhlah dengan sikap moderat (sedang).
Janganlah kalian membiarkan setan mendorongmu bersikap
terlampau berlebihan (ekstrem) atau terlampau kurang (konservatif).
Sebab, perkara yang paling baik adalah yang tengah-tengah, karena
didalamnya terdapat kemuliaan, dan kemuliaan itualah yang dicari
oleh orang-orang yang menginginkan hidup mulia” (Al-Ghalayaini,
t.t:174).
Kesederhanaan merupakan sikap tengah-tengah dalam setiap

persoalan. Menurut kaidah umum, segala sesuatu yang telah

melampaui batas maksimal, yang terjadi justru adalah sebaliknya.

Dalam hal ini Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini memberikan gambaran

bahwa ketakwaan yang melampaui batas justru menumbuhkan rasa

was-was dalam hati.

Seorang pemimpin yang baik itu jangan sekali-kali bersikap

sombong atau juga merasa lebih tahu, lebih pandai dari yang lainnya.

Ketahuilah bahwa setiap manusia itu mempunyai kelemahan dan

52
kelebihan masing-masing, jadi tidak ada hak sama sekali seorang

pemimpin itu sombong. Pemimpin yang baik juga hendaklah

sederhana, misalnya gaya hidup tidak berlebihan dan berkemewahan

karena itu akan mengakibatkan kecemburuan dan sakit hati

bawahannya.

b. Suka menolong

Sesungguhnya sikap dan usahamu berbuat baik kepada orang

lain, berarti engkau telah menanamkan (mengukir) rasa cinta dalam

hati orang itu, yang tidak bisa dihapus, kecuali jika engkau berbuat

jahat kepadanya. Tetapi orang yang berhati mulia dan berakhlak baik,

tidak mungkin akan melakukan perbuatan jahat sesudah ia berbuat

baik.

Apabila engkau berbuat baik kepada seluruh umat, maka berarti

engkau ibarat orang yang membangun sebuah monumen dan

panggung (mimbar) kecintaan dalam setiap hari tiap-tiap anggota

umat tersebut yang tidak mungkin terlupakan selama umat itu masih

ada. Artinya kebaikan atau jasa baik kalian kepada masyarakat akan

tetap dikenang mereka selama-lamanya, selama mereka masih hidup

(Al Ghalayaini, t.t:220-221).

Seorang pemimpin hendaknya selalu siap sedia untuk membantu

bawahannya, juga hendaknya selalu mendengarkan kesulitan yang

disampaikan bawahan. Dengan begitu maka pemimpin akan dianggap

sebagai pelindung dan pembimbing yang baik.

53
c. Sabar dan kestabilan emosi

Dalam melakukan setiap perbuatan dan mengambil sebuah

keputusan, peran akan (logika) menempati posisi yang paling penting.

Sebab tanpa melibatkan akal, maka hasil yang akan diperoleh tentunya

tidak akan sesuai dengan apa yang diharapkan. Orang yang berakal

selalu memperhitungkan aspek-aspek baik dan buruk yang

ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Hal ini berbeda sekali dengan

orang yang lebih mengedepankan ego (hawa nafsu) ketimbang akal.

Akibatnya kemudian apabila ia menghadapi sebuah kesulitan, ia

menjadi manusia yang amat bingung, selalu berhati gelisah, tidak

berjiwa mantab dan bahkan berusaha mundur untuk menghindarkan

diri dari kesulitan tersebut.

Dalam hal ini seorang pemimpin setidaknya memiliki sifat

sabar, tidak mudah kecewa, bisa mengendalikan dirinya dalam

menghadapi anak buahnya dan harus bisa mengatur emosinya.

Dengan begitu sifat sabar tersebut akan membuat bawahan merasa

aman, tidak merasa ditekan dan tidak merasa takut.

Menurut Syeikh Musthafa Al Ghalayaini dalam kitabnya


Idhotun Nasyiin, mengatakan “Sesungguhnya orang yang berakal
sempurna ialah orang yang sabar terhadap segala macam kesulitan,
juga sanggup menghadapinya dengan hati yang tabah dan teguh.
Orang yang berakal sempurna, bukanlah orang yang mudah bingung
ketika menghadapi kesulitan dan selalu gelisah” (Al Ghalayaini,
t.t:5).

54
Jiwa orang yang cerdik itu di dalamnya mesti ada sifat atau

watak tenang dan sabar. Ia berusaha dengan tenang dalam

menyingkirkan bencana yang menimpa dirinya dan tidak bingung

dalam mencegah bencana itu.

Adapun jiwa orang-orang yang bodoh itu selalu bingung setiap

kali menghadapi kesulitan, meskipun itu sangat kecil. Sebab, dia telah

berkeyakinan, bahwa dirinya tidak sanggup menghadapinya dan tidak

mampu menolaknya. Dia merasa tidak bisa membebaskan diri dari

persoalan yang dihadapinya. Itulah perbedaan antara dua jiwa manusia

(Al Ghalayaini, t.t:6).

Allah swt akan memberi balasan kepada orang yang sabar dalam

mendidik jiwanya dan akan mengangkat derajat mereka, sama dengan

derajat orang-orang yang mendapat hidayah dan menyelamatkan

mereka dari kedudukannya yang tidak jelas.

Dalam pidatonya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini

menyampaikan:

َ ٌِ ‫ فَا ِ َّْ عَبلِبَتَ َر‬: ُْ ‫ْ ُو‬ٛ‫ْ ِع ُى ُْ أَ ْد ُع‬ُٛ‫ب ُٔف‬


‫ه َٔ َدب ُذ‬ ِ ٠ْ ‫ ِز‬ْٙ َ‫ ت‬ٍَٝ‫صب ِْش َع‬
َّ ٌ‫ ا‬ٌَٝ ِ ‫فَا‬

. ِٓ ١ْ َ١َٕ‫ْ ُص بِب ٌْ ُس ْغ‬َٛ‫ ْاٌف‬َٚ ، ِٓ ١ْ َ‫َب ت‬١‫ َع َعب َدةُ ْاٌ َس‬َٚ ،ِٓ ٠ْ ‫اٌ َّذا َس‬

“Saya menyerukan kepada kalian semua, hendaklah bersabar


dalam mendidik jiwa kalian semua. Sebab, sesungguhnya hal itu
menyebabkan kebahagiaan kebahagiaan dunia dan akhirat” (Al
Ghalayaini, t.t:7).

55
d. Percaya pada diri sendiri

Bangsa barat itu tidak akan mengalami kemajuan dan tidak akan

mencapai kemajuan dalam bidang perdaban, pandangan dan

pemerintahan, kecuali setelah mereka mendidik para generasi muda

mereka untuk bebas berpikir dan percaya pada diri sendiri.

Syeikh Musthafa Al Ghalayaini mengatakan bahwasannya:


apabila seorang anak sudah mulai timbul pikirannya, maka kedua
orangtuanya wajib membiasakan anaknya itu mandiri dalam semua
urusannya, sehingga ketika dia menginjak usia remaja, akan menjadi
orang yang berjiwa gemar mengabdi kepada bangsanya, seperti
pengabdian orang-orang besar dan kuat. Manakala pemuda-pemuda
yang biasa hidup mandiri itu semakin banyak jumlahnya, maka dari
mereka inilah terbentuk bangsa yang baik dan layak menjadi pewaris
bumi (Al Ghalayaini, t.t:293).

Pemimpin itu harus mempunyai keyakinan bahwa ia mampu dan

bisa memimpin dengan apa yang dia miliki dan dia harus yakin

dengan dirinya sendiri atas kemampuan yang dimilikinya. Setiap

orang bisa mengukur kemampuan dirinya sendiri, oleh karena itu

jangan memaksakan kehendak menduduki jabatan jika memang

seseorang tidaklah mampu atas jabatan tersebut.

e. Jujur, adil dan dapat dipercaya

Perlu diingat, bahwa poros kepercayaan itu ada pada tiap-tiap

individu anggota umat. Apabila kadar kejujuran dan kemuliaan jiwa

dalam umat itu besar, maka kepercayaan di antara mereka juga besar.

Dan apabila kadar dua sifat mulia tersebut rendah, maka kepercayaan

di antara mereka juga sangat rendah dan tatanan kerja pun menjadi

rumit. Semua itu dapat mengusik ketentraman dan kebahagiaan semua

56
umat. Dalam pidatonya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini memberikan

pesan yang mengatakan:

ُْ ‫ْ ا أَ ْٔفُ َغ ُى‬ُِٛ ‫أَ ٌْ ِض‬َٚ ، ًِ َّ ‫ ْاٌ َع‬َٚ ‫ْ ِي‬َٛ‫ق ْاٌم‬


َ ‫ص ْذ‬
ِ ، َٓ١ْ ِ‫ َِ ْع َش َشإٌب ِشئ‬، ‫ْ ا‬ٚ‫ ُد‬َّٛ ‫تَ َع‬

َ‫ ِٔ ٍْتُ ُْ ثِمَت‬َٝ‫ َِت‬َٚ . ُْ ‫ِٕ ُى‬١ْ ِّ َ٠ ‫ْ َع‬َٛ‫ تَ ُى ِٓ ا ٌثِّمَتُ ِب ُى ُْ ط‬، ‫ ْع ِذ‬َٛ ٌْ‫فَب َء بِب‬٠ْ ‫ ْا ِإل‬َٚ ‫ْا ِإلبَب َء‬

‫ْ َ٘ب ؛ فَا ِ َّٔ ُى ُْ بِب ٌثِّمَ ِت‬ُٛ‫َّب ُو ُْ أَ ْْ تَضْ َعف‬٠ ِ‫ئ‬َٚ . َٓ١ْ ‫ ُو ْٕتُ ُْ َِِٓ ْاٌ ُّ ْفٍِ ِس‬، ُْ ‫ط ِب ُى‬
ِ ‫إٌَّب‬

. َْ ْٛ‫ ُش‬١ْ ‫تَ ِع‬

“wahai, generasi muda, biasakanlah jujur (benar) dalam


bertutur kata dan beramal. Paksaan dirimu memenuhi janji, kalian
kan memperoleh kepercayaan dan jika engkau telah mendapat
kepercayaan dari masyarakat, maka kalian termasuk orang-orang
yang bahagia. Hati-hatilah, jangan sampai kalian meremehkan
kepercayaan, sebab dengan modal kepercayaan itulah kalian bisa
hidup” (Al Ghalayaini, t.t:209).

Pemimpin yang baik menurut Nabi, adalah pemimpin yang adil

(imamun „akilun), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya

(Mubarok, 2003:12). Seorang pemimpin hendaknya terbuka dan terus

terang terhadap bawahannya sehingga tidak terjadi kesalahpahaman

dalam bekerja dan harus memeliki keteladanan yang baik (uswatun

hasanah) dan ucapan-ucapannya harus bisa dipertanggung

jawabkannya. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam surat

Al Maidah ayat 8:

        

         

57
          



“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang


yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah,
Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”(Departemen Agama RI, 1989:159)

Dampak dari kepemimpinan seorang pemimpin akan sangat

besar implikasinya terhadap bawahannya. Jika keputusannya tepat,

maka kebaikan akan dapat dirasakan oleh anak buahnya, tapi jika

keliru maka bawahan akan menanggung derita karenanya.

Dari uraian di atas dapat dipahami bersama, bahwa dalam

menjalankan proses kepemimpinan, setidaknya ada syarat-syarat yang

harus dipenuhi agar dalam proses kepemimpinannya bisa berjalan seperti

yang telah direncanakan. Memang benar, sangat sulit untuk memenuhi

syarat menjadi pemimpin sesuai dengan teori-teori yang ada, akan tetapi

pemimpin haruslah berusaha secara maksimal agar memperoleh hasil yang

maksimal pula.

Syeikh Musthafa Al-ghalayaini menasehati kaum remaja agar

memiliki akhlak yang terpuji untuk membentuk kepemimpinan yang baik

sebagaimana dalam pidatonya sebagai berikut:

58
ِ ٍُ‫َّه بِب ٌْ ُخ‬
ِ ‫ك اٌفَب‬
‫ض ًِ ؛‬ ْ ‫تَ َّغ‬َٚ ‫ ْاٌ ِع ٍْ ُِ ْاٌ َىب ِِ ًِ ؛‬ٌَِٝ‫ ئ‬، ‫ ُء‬ْٟ ‫َب إٌَّب ِش‬ٙ٠ُّ َ‫ أ‬، َْ ‫فَتَمَ َّذ‬

ِ ‫ ُِ ْغتَشْ ِشذًّا بِب ٌْ َع ْم ًِ اٌشَّا ِخ‬، ‫ر‬


َُ ١ْ ‫ْ َْ َص ِع‬ٛ‫ر ؛ ٌِتَ ُى‬ ِ ٌِ ‫ اٌ َع َّ ًِ اٌصَّب‬ٍَٝ‫أَ ْل ِذ َْ َع‬َٚ
. َ‫ َشتِه‬١ْ ‫َش‬
ِ ‫ْظ ع‬ َ ِِ َْٛ‫ل‬
َ ١ِ‫ َسئ‬َٚ ‫ه‬

“Majulah, wahai, generasi muda, untuk menuntut ilmu secara


sempurna, berpegang teguhlah dengan akhlak mulia dan rajinlah
beramal saleh dengan bimbingan akal yang sehat, agar engkau kelak
menjadi pemimpin bangsamu dan kepala dalam keluargamu”

َ ‫َ ُغ َّش‬٠ َْٚ‫ أ‬، ‫ه َٔ ْفغُهَ بِب ٌ َّض عَب َِ ِت‬


ُ َٔ ْٚ‫ن َس‬
، ‫ك اٌ ِّشئَب َع ِت‬ َ َ‫َّب نَ اَ ْْ تُ َس ِّذ ث‬٠ ِ‫ئ‬َٚ

َ ‫ َٔ ْف ِغ‬ٌَٝ ِ‫ئ‬َٚ ، ًِ ٠ْ َٛ ٌ‫ه ْا‬


. ِّ‫ه اٌّ ُّز ي‬ َ ِِ َْٛ‫ ل‬ٌَِٝ‫ُ َّب بِأ َ ْ٘ ًٍ ؛ فَتَدْ ٍُبُ ئ‬ٌَٙ ‫ْت‬ َ ْٔ َ‫أ‬َٚ .
َ ‫ت ٌَغ‬

"Waspadalah terhadap bisikan hatimu untuk berambisi memegang


jabatan kepemimpinan atau rayuan yang merayumu dengan keenakan
memegang jabatan kepemimpinan. Sedangkan engkau belum layak
mendudukinya, engkau justru akan menjerumuskan umatmu ke jurang
kesengsaraan dan engkau sendiri menjadi hina."
Seperti sebuah syair yang disampaikan Syeikh Musthafa Al Ghalayaini:

َ َْٛ‫ْ َُ ف‬َٛ‫َصْ ٍُ ُر ْاٌم‬٠ َ‫ل‬


ُْ ٌَُٙ َ‫ َل َع َشا ة‬ٝ‫ض‬

‫ْ ا‬ٚ‫ُ ُْ َعب ُد‬ٌُٙ ‫َّب‬ٙ‫ َل َع َشا ةَ ئِ َرا ُخ‬َٚ

ُ ١َ‫ ْاٌب‬َٚ
‫ ئِلَّ ٌَُٗ َع َّ ٌذ‬ََٕٝ‫ُ ْبت‬٠ ‫ْت َل‬

‫ْ تَب ُد‬َٚ‫لَ ِع َّب َد ئِ َرا ٌَ ُْ تَشْ طُ أ‬َٚ

Suatu bangsa takkan hidup baik tanpa pemimpin,

Dan tidah ada guna pemimpin, jika orang-orang bodoh tampil menjadi

pemimpin.

59
Rumah takkan bisa berdiri tegak tnpa pilar,

Dan tiada pilar yang berdiri tanpa dasar,

Jika lengkap dasar dan pilar-pilar,

Maka suatu saat rakyat itu sampai pada apa yang diharap (Al Ghalayaini,

t.t:153-154).

-(Syeikh Musthafa Al Ghalayaini)-

60
BAB III

BIOGRAFI SYEIKH MUSTHAFA AL-GHALAYAINI

A. Latar Belakang Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin

Kitab I’dhotun Nasyiin yang ditulis oleh Syeikh Musthafa Al-

Ghalayaini dilatar belakangi ketika al-Ghalayaini menulis nasehat-nasehat

berharga di koran al-Mufid dengan judul Nasehat untuk Generasi Muda, di

bawah asuhan Abu Fayyadh, artikel tersebut telah menyita perhatian para

pembaca karena memiliki kesan positif dan pengaruh luar biasa pada jiwa

para pembacanya, sehingga sebagian besar mereka mengusulkan, agar

artikel tersebut dibukukan, dicetak dalam bentuk buku dan diedarkan dalam

masyarakat luas, khususnya mereka yang belum sempat menelaah koran

tersebut (Al-Ghalayaini, t.t: 7).

Setelah memahami keinginan mereka kemudian al-Ghalayaini

bertekad mengedarkan nasehat-nasehat tersebut di kalangan generasi muda

ini, dengan harapan semoga nasehat-nasehat tersebut dapat menjadi

penerang dan petunjuk bagi mereka (Al-Ghalayaini, t.t:7).

Melalui buku ini Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini seorang tokoh ulama

modern memberikan nasehat dan petunjuk yang berguna bagi kaum remaja

dan pemuda harapan bangsa sebagai penyuluh dan penerangan serta

pedoman hidup untuk mencapai akhlak yang luhur.

61
B. Sistematika Penulisan Kitab I’dhotun Nasyiin

Kitab I‟dhotun Nasyiin karya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini

memiliki sistematika hampir sama dengan kitab lainnya, dengan halaman

pertama judul diikuti dengan nama pengarangnya yaitu Syeikh Musthafa Al-

Ghalayaini.

Halaman berikutnya adalah tentang latar belakang penulisan kitab

I‟dhotun Nasyiin. Dengan bahasa yang halus dan sopan penulisannya

didahului dengan bacaan basmalah kemudian diikuti penjelasan tentang

permulaan kejadian yang mendorong untuk penulisan kitab I‟dhotun

Nasyiin tersebut.

Pembahasan selanjutnya tentang materi yang berhubungan dengan

akhlak, etika dan kemasyarakatan yang diakhiri dengan doa. Kitab tersebut,

menjelaskan sistem pergantian antara pembahasan masalah yang satu

dengan pembahasan masalah yang lain yang ditandai dengan bab-bab

tertentu yang sesuai dengan pembahasan masalah.

Lebih simpelnya, sistematika penulisan kitab I‟dhotun Nasyiin dapat

dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Halaman judul

2. Latar belakang penulisan

3. Muqodimah

Dalam bagian ini berisi nasihat Al Ghalayaini yang mengatakan


bahwa : “Ini adalah berbagai nasihat yang sangat berguna. Ia bagikan
mutiara yang berkilauan. Kalian semua akan melihatnya tersusun rapi
dalam tatanan yang indah, dan manfaatnya sangat banyak. Ia
diungkapkan dengan kata-kata yang penuh hikmah, dapat memberi
petunjuk ke jalan yang lurus dengan cara yang bijaksana. Ia akan

62
menuntun kepada setiap orang yang mengamalkannya ke jalan yang
benar.
Buku ini dapat dikatakan suatu wadah yang penuh ibarat, tamsil dan
percontohan, juga sebagai suatu bejana yang tiada isi dan
kandungannya kecuali petunjuk baik, nasehat berharga dan petuah yang
tiada ternilai harganya. Wahai generasi muda, berpegang teguhlah pada
nasehat-nasehat ini. Sebab, ia akan menjadi benteng yang
menyelamatkan engkau, pada saat engkau masih muda dan akan menjadi
simpanan berharga di saat engkau menjadi tua. Semiga keselamatan
diberikan kepada orang yang mendengar, mengerti dan mengamalkan isi
nasehat-nasehat ini.”

4. Isi atau kandungan kitab, yang diakhiri dengan penutup.

Secara ringkasnya buku ini berisi nasehat-nasehat yang berguna,

dengan dilandasi oleh niat yang ikhlas dan penuh keyakinan. Terdiri dari

dari berbagai macam topik dan pembahasan, yang berkaitan dengan

masalah-maslah kemasyarakatan, sosial, budi pekerti luhur serta akhlak

yang mulia. Di samping itu, juga mengandung berbagai macam persoalan

etika dan falsafah serta hikmah.

Pada bagian penutup Al-Ghalayaini menyampaikan doa yang

dipanjatkan agar keselamatan dan kesejahteraan tetap dilimpahkan oleh

Allah kepada generasi muda, demikian juga rahmat dan berkah-Nya.

Beliau sangat mengharapkan keberhasilan kaum generasi muda, dengan

harapan mereka tidak mengesampingkan atau melupakan kitab yang

berisi nasehat-nasehat itu.

63
C. Biografi Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dan Sosio-Kulturnya

Nama lengkapnya adalah Musthafa bin Muhammad Salim al-

Ghalayaini. Dalam kitab “Mu‟jam al-Muallafin Tarajum Mushanafi al-

Kutub al-Arabiyyah” yang ditulis oleh Umar Ridha Kahalah, ia

mengungkapkan bahwa Musthafa Al-Ghalayaini dilahirkan pada tahun 1303

Hijriyah atau bertepatan pada tahun 1808 Masehi. Walaupun demikian,

dengan dikaruniai umur sekitar 59 tahun ternyata telah banyak sekali

predikat atau gelar yang beliau sandang di antaranya selain dikenal sebagai

ulama yang berpandangan modern dan berkaliber internasional beliau

adalah seorang sastrawan, penulis, penyair, orator, linguis, politikus,

kolomnis maupun wartawan (Kahalah,1993: 881).

Al-Ghalayaini lahir di kota Beirut, ibukota negara Libanon. Di masa

pertumbuhannya Al-Ghalayaini ketika masih kecil sudah menunjukkan

kecerdasan intelektual melebihi teman-temannya. Dan ia mendapatkan

pendidikan dasar dari guru atau syeikh terkenal pada saat itu, diantaranya

adalah Muyiddin al-Khayyath (1310 H), Abdul Basith al-Fakhuri (1323 H),

Shalih al-Rofi’i dan lainnya. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan

menengah di tanah kelahirannya, beliau kemudian melanjutkan pendidikan

tingginya di Mesir, tepatnya di Universitas Al-Azhar Kairo, di sana beliau

berguru kepada seorang yang di dunia Islam dikenal sebagai pembaharu

pemikiran islam, yakni Muhammad Abduh (Kahalah, 1993: 881).

Pengaruh pemikiran Muhammad Abduh terhadap Syeikh Musthafa

Al-Ghalayaini dalam kitab I‟dhotun Nasyiin terlihat gaya penulisan dalam

64
isi kitab ini. Kontribusi pembaharuan pemikiran Muhammad Abduh yang

bersifat rasional sangat tampak dalam kitab ini. Hal tersebut sangat tampak

dalam pembahasan tentang pembaharuan, kemerdekaan, rakyat dan

pemerintah, yang menekankan pada kebebasan berpikir, berpendapat, dan

bernegara. Pemikiran Muhammad Abduh yang juga sangat jelas

mempengaruhi pemikiran Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dalam hal ini

dijelaskan pentingnya seseorang memiliki sifat tawakal. Dalam konteks ini,

Muhammad Abduh menyatakan bahwa terdapat dua ketentuan yang sangat

mendasari perbuatan manusia, yaitu: pertama, manusia melakukan

perbuatan dengan gaya kemampuannya. Kedua, kekuasaan Allah adalah

tempat kembali semua yang terjadi (Sucipto, 2003: 152).

Di samping itu, Muhammad Abduh juga mempengaruhi pemikiran

Syeikh Mushthafa al-Ghalayani dalam hal gagasan dan gerakan

pembaharuannya yang modernis. Muhammad Abduh adalah seorang

reformis yang toleran, liberal dan kaya akan gagasan modern. Tapi di satu

sisi, Muhammad Abduh dilihat sebagai seorang alim, mujtahid, dan

penganjur doktrin orisinalitas Islam (Sucipto,2003: 153).

Kemudian setelah menamatkan pendidikan di Universitas al-Azhar

Kairo, beliau kembali lagi ke Beirut dan aktivitasnya tiada lain adalah

mengamalkan seluruh ilmu yang telah didapatkan di Kairo tersebut. Beliau

aktif mengajar di beberapa Universitas, di antaranya adalah Universitas

Umari, Maktab Sulthani, Sekolah Tinggi Usmani, dan Sekolah Tinggi

Syari’ah lainnya (al-Ghalayaini, 2002: 4).

65
Selain aktif sebagai pengajar beliau juga sangat berminat menggeluti

dunia penerbitan. Beliau menerbitkan majalah Nibrasy di Beirut dan

berpartisi aktif dalam dunia perpartaian, yakni dengan bergabungnya beliau

kepada kelompok Hizb al Ittihad al-Taraqqi (Partai Persatuan

Pembangunan). Tapi, tidak berapa lama kemudian beliau mengundurkan diri

dari keterlibatannya di partai tersebut dan bergabung dengan Hizb al-I‟tilaf

(Partai Koalisi). Sama seperti di partai sebelumnya, atas ketidaksepahaman

pendapat dengan golongan elit terpelajar yang bergabung dengan partai itu,

beliau lagi-lagi mengulangi keputusannya untuk menarik diri.

Menurutnya kejelekan mereka adalah terlalu mengabdikan diri kepada

pemimpin keagamaan tradisional yang cenderung sektarian dan non-

egaliter. Partai-partai politik yang ada juga tidak dapat diterimanya karena

mereka cenderung akomodatif hanya terhadap salah satu kelompok saja dan

tidak aspiratif serta mau berjuang dan membela masyarakat umum. Hal

inilah yang mendorong Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini beserta para

intelektual lainya dengan gagasan, visi dan misi yang sama terketuk untuk

membentuk partai baru yang disebut dengan Hizb-al-Islah (Partai

Reformasi). Maka sesuai namanya partai ini lebih beriontasi kepada

perjalanan Islam yang bernuansa reformis dan modernis serta membela hak-

hak orang yang tertindas dan mewujudkan masyarakat umum (Kahalah,

1993: 881).

Setelah sekian lama berkecimpung dalam partai politik, beliau

kemudian oleh pemerintah diangkat menjadi orator (ahli pidato) untuk

66
mendampingi pasukan Ustmani IV pada perang dunia pertama. Beliau juga

menyertainya dalam perjalanan dari Damaskus menyeberangi gurun menuju

Terusan Suez dari Arah Isma’iliyah, dan ikut hadir di medan perang

walaupun kemudian mengalami suatu kekalahan.

Beberapa peristiwa yang melingkupi perjalanan karir beliau, baik

yang berkaitan dengan dunia politik dan perang telah memberikan pelajaran

sangat berarti bagi diri Al-Ghalayaini. Berdasarkan keinginan yang kuat

untuk mengabdikan diri kepada dunia pendidikan, beliau lagi-lagi ke Beirut

dan aktif sebagai tenaga pengajar. Di sela-sela kesibukannya sebagai tenaga

edukatif, beliau mendapatkan kepercayaan dari pemerintah yang waktu itu

negara berada di bawah pemerintahan raja Faisal untuk mengunjungi kota

Damaskus, dan disana beliau diangkat sebagai pegawai di kantor

administrasi keamanan publik sekaligus juga sebagai tenaga sukarela pada

tentara Arab.

Di tahun berikutnya kembali ke Beirut, lalu dengan tanpa alasan yang

jelas beliau ditahan oleh pemerintah, tapi tidak lama kemudian beliau

dibebaskan. Sebagai seorang yang suka berkelana dan menjelajah dari suatu

kota ke kota lainya yang masih dalam lingkup tanah Arab, beliau kemudian

pergi ke Jordania Timur di sana diangkat sebagai pengasuh dua anak Amir

Abdullah dan menetap dalam waktu yang tidak lama.

Perjalanan ke Jordania Timur membuatnya tidak betah berlama-lama

di negeri orang, lalu kembali lagi ke Beirut. Tapi sesampainya di Beirut

bukan malah mendapatkan suatu penyambutan yang meriah, melainkan

67
suatu penahanan yang dilakukan oleh otoritas Prancis yang sudah lama

berada di tanah Beirut untuk kemudian diasingkan ke Negara Palestina dan

selanjutnya menetap di daerah Haifa.

Setelah dibebaskan dari pengasingannya dan menghirup kembali alam

bebas, beliau berniat kembali ke tanah kelahiranya, yaitu Beirut. Beliau

ternyata masih mendapat kepercayaan dari rakyat untuk memangku

beberapa jabatan sekaligus, di antaranya adalah beliau diangkat sebagai

kepala Majelis Islam, hakim Syari’ah serta penasehat pada Mahkamah

Banding Syari’ah Sunni sekaligus terpilih sebagai anggota Dewan Keilmuan

Damaskus. Beliau wafat di Beirut pada tanggal 17 Februari 1945 tepat

diusianya yang ke 59 tahun (Kahalah, 1993: 881).

D. Karya-Karyanya

Adapun karya-karya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dalam bidang

bahasa Arab meliputi:

a) Al Thurayya Al Mudhiyyah fi Al Durus Al Arudhiyyah

b) Al Qawaid Al Arabiyyah

c) Rijal Al Mu‟allaqat Al‟Asyr

d) Al Durus Al Arabiyyah

e) Jami‟ Al Durus Al Arabiyyah

f)Nadzarat fi Al Lughati wa Al Adab

Al Ghalayaini juga memiliki banyak tulisan tentang kemasyarakatan,

pendidikan, politik, perbaikan diri, dan tentang beberapa metode pengajaran.

Diantaranya:

68
a) Arij Al Zuhr

b) Al Islam Ruh Al Madinah fi Al Rad „Ala Kurmur

c) Idzat Al Nasyiin

d) Nadzarat fi Al Adab wa Al Fiqh

e) Lubab Al Khair fi Siyar Al Nabi Al Mukhtar

f)Al Ta‟awun Al Ijtima‟i

g) Nukhbatun min Al Kalam Al Nabawy

h) Diwan Al Ghalayini (fi Syi‟r Fakhr wa Al Hikmat wa Al Wathaniyyah)

i)Nadzarat fi Al Sufur wa Al Hijab.

(Http://ngalapberkahtiyangsoleh.blogspot.co.id/2014/01/syeikh-

mustafa-al-ghalayini.html.) Di akses pada tanggal 24 Agustus 2016

pukul 14.30

E. Corak Umum Pemikiran Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini

Ciri khas yang paling menonjol dalam kitab I‟dhatun Nasyiin karya

Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini ini yang disusun dengan gaya pidato

dengan berbagai poin yang menjadi tema pokoknya sekaligus dilengkapi

dangan solusi-solusi dan langkah-langkah ke depan yang lebih baik. Isinya

bukan saja menawarkan sederetan teori ilmiah, melainkan juga arahan

operasional yang lebih praktis. Nasehat-nasehatnya tediri dari berbagai

macam topik dan pembahasan yang berkaitan dengan masalah-masalah

sosial dan moral. Di samping itu juga mengandung berbagai macam

persoalan etika dan falsafah serta hikmah.

69
Untuk memahami pemikiran seorang cendekiawan secara objektif,

kita harus memberikan perhatian pada situasi dan kondisi yang melingkupi

realitas zamannya. Karena kondisi itulah yang mendorong seorang

cendekiawan untuk mengartikulasi gagasan, pandangan, dan sikapnya.

Kondisi itulah yang mendorong untuk menentukan metode yang dia tempuh

untuk mengekspresikan segala ide-idenya. Bahkan, cendekiawan yang

berhasil adalah mereka yang mampu menjadikan dirinya cermin atas realitas

zamannya. Kemudian, dia juga berusaha menjadikan pemikirannya sebagai

solusi efektif untuk memecahkan tantangan realitas yang semakin maju. Dia

akan dianggap lebih berhasil, apabila dia sanggup mengubah sisi negatif

bagi perjalanan kehidupan ke depan, dan memanfaatkan perubahan yang ada

demi kemaslahatan masyarakat (Mu’thi, 2000: 84).

Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa, beberapa faktor

yang mewarnai pemikiran seseorang diantaranya, adalah pertama,

kebutuhan masyarakat dan penguasa akan sistem ajaran tertentu. Kedua,

ortodoksi yakni paham yang dianut oleh mayoritas kaum muslimin yang

pembentukannya tidak lepas dari kepentingan-kepentingan keduniawian.

Ketiga, sumber ajaran islam, al-Qur’an dan al-Hadits, yang tertuang dalam

bahasa Arab yang dipakai oleh orang-orang Arab pada tempat dan waktu

tertentu itu menimbulkan persoalan pemahaman bagi orang-orang yang

masa hidupnya jauh dari masa hidup Nabi Muhammad SAW. Keempat,

adanya kecenderungan manusia untuk bebas dari suatu pihak yang lain.

Kelima, adanya pertentangan kepentingan. Demikian juga tingkat

70
intelegensi, kecenderungan, latar belakang kependidikan, perkembangan

ilmu pengetahuan, kondisi sosial budaya, politik, ekonomi, dan lain-lainya

memberikan warna terhadap paradigma pemikirannya (Maragustan, 2000:

43).

Pada bab di atas telah disinggung mengenai latar belakang kehidupan,

perjalanan menempuh pendidikan, serta pergulatannya dengan dunia karir

al-Ghalayaini, walaupun tidak begitu lengkap dan mendetail. Namun

demikian, setidaknya dengan pemaparan di atas bisa menjadi sebuah

patokan tersendiri untuk menelusuri sejauh mungkin paradigma berpikirnya

al-Ghalayaini tentang konsep pendidikan akhlak, etika dan sosialnya yang

dituangkan dalam menulis kitab I‟dhatun Nasyiin tersebut. Sebab karya

tersebut boleh dibilang bukan sebuah karya utuh dan sistematis sebagai

sebuah tulisan ilmiah berbentuk buku sebagaimana karangan-karangan yang

lain. Tulisan tersebut merupakan essai bebas yang dia tulis dari balik jeruji

besi. Karena di situlah beliau mengalami proses pencerahan diri yang sangat

luar biasa berartinya, yakni pencerahan secara intelektual dan spiritual.

Baginya penjara bukan merupakan tempat yang menakutkan yang bisa

memasung kreatifitas berpikir dan menulis gagasan-gagasan aktual

mengenai kondisi riil moralitas remaja Lebanon pada saat itu. Karena ketika

kebebasan berbicara sudah dibungkam, maka tidak ada pilihan lain kecuali

tulisan-tulisan kritislah yang harus dikemukakan ke arah publik. Hal inilah

yang dilakukan al-Ghalayaini menghadapi rezim yang otoriter (Subairi,

2005:36).

71
Lebih jauh al-Ghalayaini dalam sejarah kehidupannya kaya akan

pengalaman bergumul dengan gejolak sosial dan politik yang sudah

mengarah pada kondisi anomie, kondisi masyarakat dimana agama,

pemerintah dan moralitas telah memudar keefektifannya, akibat keakutan

dan krisis Psiko-sosial yang terjadi. Al-Ghalayaini dengan getol melakukan

refleksi kritis dengan menggagas lahirnya tata kehidupan yang normatif-etis.

Dalam kondisi yang serba sulit itulah, tidak dapat dipungkiri akan

kemungkinan terjadinya clash (benturan). Pemikiran dan kepentingan

berbagai pihak baik kalangan atas maupun kalangan masyarakat bawah. Ini

berarti kondisi sosial-budaya yang dihadapi al-Ghalayaini tampak mirip

dengan kondisi sekarang ini. Dengan demikian, kajian terhadap

pemikiranya, terutama terkait dengan lingkup akhlak (moral) dan sosial

kemasyarakatan yang belum banyak disentuh, di satu sisi dinilai relevan-

fungsional bagi upaya menyumbangkan penemuan solusi problem-problem

kontemporer di atas, dan di sisi yang lain bagi upaya memperkaya khasanah

pemikiran teoritik khusus akhlak (moral) dan pendidikan (Subairi, 2005:36).

Al-Ghalayaini sangat apresiatif terhadap otonomi akal atau kebebasan

dalam melontarkan sebuah gagasan. Menurutnya, fungsi akal dapat

dipandang sebagai sumbu keutamaan dan sumber moral (akhlak). Akal

dalam pandangan al-Ghalayaini tidak hanya sekedar mudrik (berfungsi

mengatahui), melainkan juga sebagai hakam (pemutus/penentu baik, buruk).

Jadi pendidikan yang dikehendakinya adalah yang mampu menyadarkan

peserta didik akan realitas yang dihadapi dengan cara yang mengakibatkan

72
mampu melakukan tindakan efektif terhadap realitas tersebut. Untuk

merealisasikan ini, hal mendasar yang perlu digarap adalah dengan

pendidikan akal. Sebab dengan akal manusia mampu memahami taklif

Allah dan mengatur kehidupan dunia ini.

F. Sinopsis Kitab I’dhotun Nasyiin

Menjadi sebuah keniscayaan, seorang pengarang dengan yang lain

memiliki karakter dan warna tersendiri. Perbedaan ini dipengaruhi latar

belakang kehidupan, misalnya pendidikan, pengetahuan, pengalaman dalam

berkarya dan kecenderungan pengarangnya. Background inilah yang

kemudian memunculkan satu bentuk karakteristik tersendiri dalam hasil

karyanya.

Karakteristik Musthafa Al-Ghalayaini dalam kitab I‟dhatun Nasyiin

kental dengan muatan keagamaan seperti: pendidikan, budi pekerti, dan

sosial budaya. Untuk itu kitab I‟dhatun Nasyiin karangan Syekh Musthafa

Al-Ghalayaini dapat dikategorikan menjadi 3 hal:

1. Hal-hal yang berupa pengembaraan seseorang dalam menjalani proses

kehidupan di mana kemudian akan menemukan sebuah bentuk jati diri

yang sejati, tetapi hal tersebut harus ditunjang dengan sikap dan

perilaku yang baik tentunya. Karena dengan menemukan bentuk jati

dirinya ia akan berkembang menjadi kenal sesama maupun Tuhannya.

2. Hal-hal yang berbicara tentang perenungan seseorang untuk melalui

berbuat baik terhadap sesamanya sebagai bentuk manifestasi dari ajaran

73
Islam. Kerena dengan menjadikan Islam sebagai ajaran agama maka

keselamatan akan mudah diraih, baik didunia maupun diakhirat.

3. Mengenai sosial-politik. Wacana tentang sosial-politik utama di

Libanon pada waktu itu nampaknya berjalan kurang harmonis. Hal ini

terlihat oleh berbagai macam kepentingan antar kelompok sehingga

memunculkan sebuah pemikiran adanya suatu masalah dalam

pemerintah yang kontra konsep dan realitas.

Selanjutnya berkenaan dengan sinopsis kitab tersebut , bahwa kitab ini

secara keseluruhan berisi tentang ajaran moral dan menjalani proses

kehidupan dengan nuansa pribadi yang penuh optimisme. Sehingga

kemudian akan tercipta sebuah komunitas masyarakat yang benar-benar

menjujung tinggi moral dan mencegah akan terjadinya dekadensi moral

yang sudah demikian parah.

Adapun tema-tema yang tertuang dalam kitab tersebut terdiri dari

empat puluh empat tema, diantaranya sebagai berikut:

1. Berani maju ke depan

2. Sabar

3. Kemunafikan

4. Keikhlasan

5. Berputus asa

6. Harapan

7. Sifat licik atau penakut

8. Bertindak tanpa perhitungan

74
9. Keberanian

10. Kemashlahatan umum

11. Kemuliaan

12. Lengah dan waspada

13. Revolusi Budaya

14. Rakyat dan pemerintah

15. Tertipu oleh perasaan sendiri

16. Pembaharuan

17. Kemewahan

18. Agama

19. Peradaban

20. Nasionalisme

21. Kemerdekaan

22. Macam-macamnya kemerdekaan dan kebebasan

23. Kemauan

24. Kepemimpinan

25. Orang-orang yang ambisi menjadi pemimpin

26. Dusta dan sabar

27. Kesederhanaan

28. Kedermawanan

29. Kebahagiaan

30. Melaksanakan kewajiban

31. Dapat dipercaya

75
32. Hasud dan dengki

33. Tolong menolong

34. Sanjungan dan Kritikan

35. Kefanatikan

36. Para pewaris bumi

37. Peristiwa pertama

38. Nantikankah saat kebinasaannya

39. Memperbagus pekerjaan dengan baik

40. Wanita

41. Berusahalah dan tawakalah

42. Percaya pada diri sendiri

43. Tarbiyah atau pendidikan

44. Penutup

Inilah gambaran singkat mengenai biografi dan perjalanan karir

beserta paradigma berpikirnya Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini, diharapkan

ke depan kita dapat memanfaatkan ilmunya sehingga kita benar-benar

menjadi insan yang berkualitas dan berguna bagi diri sendiri, bangsa, dan

negara. Amin.

76
BAB IV

RELEVANSI NILAI-NILAI KEPEMIMPINAN

A. Analisis Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan

Pemimpin dan kepemimpinan adalah fitrah kemanusiaan. Sejak

manusia ada, pada saat itu pula pemimpin dan kepemimpinan telah ada.

Oleh sebab itu, tema pemimpin dan kepemimpinan merupakan topik yang

selalu menarik untuk diperbincangkan dan tak akan pernah habis dibahas.

Masalah kepemimpinan akan selalu hidup dan digali pada setiap zaman, dari

generasi ke generasi guna mencari formulasi sistem kepemimpinan yang

aktual dan tepat untuk diterapkan pada zamannya. Pemimpin memiliki peran

strategis dalam sebuah organisasi karena kesuksesan organisasi ditentukan

moralitas dan kompetensi pemimpinnya. Hal ini mengindikasikan bahwa

paradigma kepemimpinan adalah sesuatu yang sangat dinamis dan memiliki

kompleksitas yang tinggi.

Bahasan mengenai pemimpin dan kepemimpinan pada umumnya

menjelaskan bagaimana pemimpin yang baik, tipe dan sifat yang sesuai

dengan kepemimpinan serta kemampuan-kemampuan apa saja yang perlu

dimiliki oleh seorang pemimpin agar bisa menjadi pemimpin yang

diidolakan.

77
Sebuah ungkapan “tidak akan pernah ada suatu negara atau organisasi

yang tidak mempunyai pemimpin, kalaupun ada, pasti tidak akan bertahan

lama.” Di dalam suatu negara atau masyarakat yang sedang membangun,

diperlukan banyak warga masyarakat yang mempunyai kemampuan

kepemimpinan yang handal. Semakin banyak jumlah anggota masyarakat

yang mempunyai ketrampilan kepemimpinan, semakin cepat pertumbuhan

pembangunan menuju ke arah yang diidam-idamkan oleh masyarakat

tersebut. Semakin banyak anggota masyarakat yang mempunyai ketrampilan

kepemimpinan, sesungguhnya semakin mendorong tumbuhnya berbagai

organisasi yang bisa melayani berbagai kebutuhan masyarakat yang terus

menerus tumbuh sesuai dengan visi suatu negara atau masyarakat tersebut.

Dalam prakteknya kepemimpinan sudah ada semenjak manusia hidup

berkelompok. Namun demikian, sebagian ilmu kepemimpinan baru

mendapat perhatian sejak timbulnya manejemen ilmiah yang dipelopori

oleh Frederich Winslow Taylor. Di Indonesia, masalah kepemimpinan baru

berkembang sejak berdirinya Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun

1957. Masalah kepemimpinan mengundang berbagai pihak untuk

mempelajari dan mengembangkannya, karena kepemimpinan menduduki

tempat yang sangat penting, bahkan sangat menentukan dalam organisasi

modern (Sutikno, 2014:3-4).

78
Di dalam suatu negara yang sedang membangun, diperlukan banyak

warga masyarakat yang mempunyai kemampuan kepemimpinan yang

handal. Semakin banyak anggota masyarakat yang mempunyai ketrampilan

kepemimpinan akan semakin cepat pertumbuhan pembangunan menuju ke

arah seperti yang diharapkan oleh masyarakat tersebut. Suatu ungkapan

yang mulia mengatakan bahwa pemimpinlah yang bertanggung jawab atas

kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa posisi

pemimpin dalam suatu organisasi berada pada posisi yang terpenting.

Demikian juga pemimpin di manapun letaknya akan selalu mempunyai

beban untuk mempertanggungjwabkan kepemimpinannya.

Menurut Ihsan Tanjung (2002) kepemimpinan di dalam Islam pada

hakekatnya adalah berkhidmat atau menjadi pelayan umat. Kepemimpinan

yang asalnya adalah hak Allah diberikan kepada manusia sebagai

Khalifatullah fil ardli, wakil Allah SWT di muka bumi. Jika bukan karena

iradahNya, tak ada seorangpun yang mendapatkan amanah kepemimpinan,

baik kecil maupun besar. Oleh karena itu setiap amanah kepemimpinan

harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Allah memberikan amanah

kepada pemimpin untuk (1) mengatur urusan orang yang dipimpinnya (2)

mengarahkan perjalanan sekelompok manusia yang dipimpinnya guna

mencapai tujuan bersama (3) menjaga dan melindungi kepentingan yang

dipimpinnya. Wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seorang

pemimpin tidaklah ringan di mata Allah. Meskipun seringkali godaan setan

79
dengan iming-iming keuntungan dunia telah memalingkan motivasi para

pemimpin dari tujuan bersama (Moedjiono, 2002:11).

Pelanggaran manusia atas batas-batas ketentuan Allah SWT berarti

penyelewengan manusia dan penyalahgunaan wewenang yang telah

diberikan Allah SW kepada manusia. Hal ini akan membawa kehancuran

bagi hidup dan kehidupan manusia itu sendiri.

Sebagai khalifah di bumi, kekuasaan manusia dibatasi oleh ketentuan-

ketentuan yang telah digariskan Allah SWT untuknya yang berupa hukum-

hukum Allah SWT baik yang tersirat dan tersembunyi dalam kandungan

alam maupun yang tertuang di dalam kitab-kitab suci-Nya. Manusia harus

mengikuti kaidah-kaidah hukum Allah SW yang telah ditentukan sehingga

mereka tidak tersesat dalam mengemban amanat Allah SWT

(Fatchurrohman, 2006:26).

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa manusia sebagai khalifah di

muka bumi dengan segala bekal potensi kemampuan dan akalnya yang

dinamis dan kreatif diberi wewenang untuk mengolah dan mengatur alam

semesta secara bebas bertanggung jawab sesuai dengan kaidah hukum yang

diberikan kepadanya. Dengan kata lain, manusia adalah subjek di alam, dan

dibumi dengan segala isinya adalah objek olahan dan aturan bagi manusia

(Fatchurrohman, 2006:28).

Pada hakikatnya, semua manusia adalah pemimpin. Hanya wilayah

kepemimpinannya saja yang berbeda. Seorang suami adalah pemimpin

80
untuk keluarganya, seorang direktur adalah pemimpin untuk perusahaannya,

seorang presiden adalah pemimpin untuk negaranya, seorang Nabi dan

Rasul adalah pemimpin untuk ummatnya.

Urgensi kepemimpinan ini sangatlah ditekankan oleh Rasulullah saw.

Dalam sebuah hadis beliau bersabda yang maknanya adalah jika ada di

antara kita yang melakukan suatu perjalanan, dan perjalanan itu melibatkan

minimal tiga orang, maka salah satu dari mereka harus menjadi pemimpin

untuk rombongan itu (Suryaman, 2016:7-8).

Tentu pemimpin yang punya banyak pengikut adalah pemimpin yang

memiliki pengaruh yang besar. Setidaknya dampak kepemimpinannya

menimbulkan kebaikan di tengah pengikutnya. Sehingga mereka dengan

serta merta mengikuti apapun kemauan pemimpinnya. Apapun, bahkan

sampai perilaku dan gaya hidupnya.

Menurut Suryaman selama ini banyak sekali pemahaman yang keliru

tentang arti kepemimpinan, pada umumnya orang melihat pemimpin sebagai

sebuah kedudukan atau posisi semata. Akibatnya banyak orang yang

mengejar untuk menjadi seorang pemimpin dengan menghalalkan banyak

cara dalam mencapai tujuan tersebut. Mulai dari membeli kedudukan

dengan uang, menjilat atasan. Menyikut pesaing atau teman, atau cara-cara

lainnya demi mengejar posisi pemimpin. Pemimpin hasil dari cara ini akan

selalu menggunakan kekuasaannya untuk mengarahkan, memperalat,

bahkan menguasai orang lain untuk mengikutinya. Umumnya, jenis

81
pemimpin seperti ini suka menekan. Akibatnya, hal tersebut melahirkan

pemimpin yang tidak dicintai, tidak disenangi, tidak ditaati dan bahkan

dibenci (Suryaman, 2016:38).

Permasalahan kepemimpinan yang diuraikan Suryaman tersebut

sepaham dengan pemikiran Syeikh Musthafa Al Ghalayaini dalam kitab

Idhotun Nasyiin tentang ambisi seseorang untuk menjadi pemimpin.

Sehingga Al Ghalayaini pun memberikan nasehat kepada generasi muda

bahwasannya:

“Wahai generasi muda, aku mohonkan engkau perlindungan kepada


Allah, janganlah kalian merebut jabatan kepemimpinan dengan cara-cara
yang terkutuk, sebagaimana disebutkan di atas. Sebab, cara seperti itu
menyebabkan hubunganmu sebagi pemimpin dengan rakyat terputus, rakyat
menjauhimu dan engkau sendiri akan jauh dari sifat mulia (menjadi tidak
terhormat). Jangan sekali-kali kailan memiliki sifat senang (ambisi)
menjadi pemimpin, kecuali jika jabatan itu datang sendiri atau rakyat
memaksa harus menduduki jabatan pemimpin, karena mereka memang
melihatmu sebagai orang yang mau bekerja dengan baik, bersih dan baik
akhlak serta mulia kepribadiannya”(Al Ghalayini, t.t:162).

Banyak sekali orang yang akalnya berebut menjadi pemimpin,

padahal mereka tidak memenuhi syarat-syarat menjadi pemimpin sedikit

pun. Mereka itu tidak sadar, bahwa pemimpin bangsa itu sebenarnya adalah

juru bicara yang menyuarakan hati nurani rakyat, pemikir mereka, tempat

pengaduan rakyat ketika mereka menghadapi kesulitan dan pelindung

mereka ketika dalam keadaan bahaya, tempat meminta pertolongan saat

dilanda krisis dan sebagai tempat sandaran rakyat di waktu mereka

menghadapi persoalan besar.

Menurut Sutikno (2014), Keberhasilan suatu organisasi sangat

tergantung pada kepemimpinan dari pimpinan organisasi tersebut. Karena

82
sebagai pemimpin di lembaganya, maka dia harus mampu membawa

lembaganya ke arah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Dia harus

mampu melihat adanya perubahan serta mampu melihat masa depan dalam

kehidupan globalisasi yang lebih baik. Profesionalisme pemimpin menjadi

syarat mutlak terwujudnya organisasi yang berdaya saing tinggi. Kalau

pemimpin yang memimpin organisasi pasif dan miskin ide, maka organisasi

tersebut akan mengalami kemunduran. Oleh karena itu jangan sekali-kali

meremehkan posisi pemimpin. Sebaik apapun sistem yang dibangun, kalau

pemimpinnya buruk maka akan sulit untuk melakukan perubahan kearah

yang lebih baik. Di sini urgensinya mengembangkan kualitas pemimpin

agar mampu memimpin organisasi secara dinamis, kompetitif, dan produktif

sesuai dengan tantangan zaman (Sutikno, 2014:85).

Sejalan dengan itu Al Ghalayaini pun mengatakan “Para pemimpin


setiap bangsa adalah roh persatuan mereka dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Apabila para pemimpin itu rusak, maka
rusaklah umat dan bangsa itu, dan jika mereka baik, maka umat atau
bangsa itu menjadi baik juga. Karena, umat akan berdiri tegak, kokoh dan
sejahtera, manakala pemimpin-pemimpin umat itu menggerakannya. Jika
mereka (umat) sedang loyo, lalu mereka meluruskannya ketika bengkok,
menarik tangannya ketika mereka (umat) jauh dan membimbingnya ketika
sedang sesat”. (Al-Ghalayaini, t.t:150-151).

Terdapat kesamaan antara kepemimpinan Syeikh Musthafa Al

Ghalayaini dengan kepemimpinan menurut Suryaman dan Sutikno. Menjadi

pemimpin adalah amanah. Oleh sebab itu prasyarat yang harus terpenuhi

adalah kerelaan hati orang-orang yang dipimpinnya untuk menyerahkan dan

mempercayakan segala urusannya yang berkaitan dengan upaya meraih

kepentingan-kepentingan dan cita-cita (politik, ekonomi, hukum, budaya,

83
dan lain sebagainya). Untuk itu perlu disadari bersama bahwa menjadi

pemimpin bukanlah alat untuk gagah-gagahan tetapi pemimpin itu untuk

mengabdi dan menjalankan tugas.

Kewajiban untuk taat dan patuh kepada pemimpin dalam pandangan

Islam adalah karena ia dipilih oleh umat, dengan sifat-sifat yang terpuji.

Dengan demikian, seorang pemimpin dalam proses kepemimpinannya tidak

terlepas dari pandangan Allah dan umat (yang dipimpinnya). Pemimpin

harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, baik di hadapan Allah

maupun manusia. Agar tanggung jawab kepemimpinannya dapat terlaksana

dengan baik, maka ia harus memiliki sifat-sifat yang dicontohkan oleh

Rasulullah, yang dalam hal ini merupakan teladan yang baik dan telah

berhasil memimpin dunia karena ia memiliki sifat-sifatnya yang mulia

sehingga sampai sekarang sifat-sifat kepemimpinannya menjadi acuan bagi

setiap pemimpin, khususnya bagi umat Islam.

B. Relevansi Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan pada Kitab Idhotun

Nasyiin dengan Konteks Kepemimpinan Masa Kini

Al Ghalayaini mengatakan bahwa “Anak-anak kita yang masih kecil

sekarang ini kelak di masa mendatang akan menjadi pemimpin-pemimpin.

Apabila mereka membiasakan diri dengan akhlak yang baik, yang dapat

meninggikan derajat mereka dan berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang

bermanfaat untuk dirinya dan bermanfaat untuk negara, maka anak-anak itu

berarti berarti menjadi dasar yang kokoh untuk kebangkitan umat. Ini adalah

84
perkara yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Sebaliknya, apabila

anak-anak telah terbiasa dengan akhlak yang tidak terpuji dan enggan

menuntut ilmu pengetahuan yang menjadi sebab utama bangsa-bangsa bisa

hidup, maka mereka, anak-anak itu, akan menjadi bencana bagi umat dan

menjadi pengacau negara yang mereka diami” (Al Ghalayaini, t.t:297).

1. Relevansi Materi pendidikan Kepemimpinan

Mengenai materi pendidikan Al Ghalayaini berpendapat bahwa

Al-Qur’an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu

pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan

jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri pada Allah (Nizar,

2002:90). Ini berarti materi pendidikan adalah semua yang terkandung

dalam Al-Qur’an antara lain materi keimanan, akhlak, kemasyarakatan

salah satu diantaranya adalah kepemimpinan.

Menurut Al Ghalayaini pendidikan adalah usaha menanamkan

akhlak terpuji dalam jiwa anak-anak, Akhlak yang sudah tertanam itu

harus disirami dengan bimbingan dan nasihat, sehingga menjadi watak

atau sifat yang melekat dalam jiwa. Sesudah itu buah tanaman akhlak

itu akan tampak berupa amal perbuatan yang mulia dan baik serta

gemar bekerja demi kebaikan negara.

Anak itu wajib diberi pendidikan tentang keberanian, maju,

kedermawanan, kesabaran, ikhlas dalam beramal, mementingkan

kemaslahatan umum di atas kepentingan pribadi, kemuliaan jiwa,

harga diri, keberanian yang beradab, pemahaman agama yang bersih

85
dari khufarat, peradaban yang bersih dari kerusakan, kebebasan

berbicara dan bertindak yang baik dan cinta tanah air (Al Ghalayaini,

t.t:299-230).

Kita berkewajiban juga memberi pendidikan kepada anak-anak

tentang iradah, yakni kemauan yang keras, kejujuran, senang

memberi bantuan dan pertolongan kepada orang-orang yang melarat

dan tertindas, proyek-proyek yang bermanfaat dan melatihnya, biasa

melakukan kewajiban dan sebagainya, yang berkaitan dengan akhlak

yang mulia. Tentu saja kita berkewajiban menjauhkan anak-anak itu

dari kebiasaan dan akhlak yang berlawanan dengan kebiasaan dan

akhlak terpuji yang tersebut di atas (Al Ghalayaini, t.t230).

Menurut kodrat serta irodratnya bahwa manusia dilahirkan

untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia

pertama dan diturunkan ke bumi, Ia ditugasi sebagai Khalifah fil

ardhi. Sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 30

yang berbunyi:

          

        

          

86
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Dari uraian tersebut jelaslah bahwa manusia telah dikaruniani

sifat dan sekaligus tugas sebagai seorang pemimpin. Pada masa

sekarang ini setiap individu sadar akan pentingnya ilmu sebagai

petunjuk/alat/panduan untuk memimpin umat manusia yang semakin

besar jumlahnya serta komplek persoalannya. Atas dasar itulah dan

relevan dengan upaya proses pembelajaran yang mewajibkan kepada

setiap umat manusia untuk mencari ilmu. Dengan demikian dengan

upaya tersebut tidak lepas dengan pendidikan, dan tujuan pendidikan

tidak akan tercapai secara optimal tanpa adanya menejemen atau

pengelolaan pendidikan yang baik, yang selanjutnya dalam kegiatan

menejemen diperlukan adanya pemimpin yang memiliki kemampuan

untuk menjadi seorang pemimpin.

2. Relevansi Metode Pendidikan Kepemimpinan

Menurut Armai dalam kutipannya secara etimologi, istilah metode

berasal dari bahasa Yunani “metodos”. Kata ini terdiri dari dua suku

kata; yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos”

yang berarti jalan atau cara. Metode berarti jalan yang dilalui untuk

mencapai suatu tujuan (Armai, 2002:40). Dalam bahasa Arab metode

disebut “Thariqat”, dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, “metode”

87
adalah : “Cara yang teratur dan berfikir baik-baik untuk mencapai

maksud, sehingga dapat dipahami metode berarti suatu cara yang

harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan

pengajaran” (Armai, 2002:40).

Metode dapat didenifisikan sebagi cara kerja yang bersistem untuk

mempermudah pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan

yang ditentukan (Departemen Agama RI, 2001:19). Jadi metode

pendidikan adalah suatu cara kerja secara sistematis yang bertujuan

untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan

yang telah ditentukan berhubungan dengan pendidikan.

Dalam kitab ini Al-Ghalayaini menggunakan metode ceramah yaitu

cara penyampaian sebuah materi pelajaran dengan cara penuturan

lisan kepada siswa atau khalayak ramai. Ini relevan dengan definisi

yang dikemukakan oleh Armai yang dikutip Ramayulis, bahwa

metode ceramah ialah “Penerangan atau penuturan secara lisan guru

terhadap murid-murid di ruangan kelas” (Armai, 2002: 136).

Dari kedua definisi di atas, terlihat bahwa subtansi metode adalah

sama yaitu menerangkan materi pelajaran kepada anak didik dengan

penuturan kata-kata/lisan. Metode ceramah dikenal dengan metode

kuliah, karena umumnya banyak dipakai di Perguruan tinggi, dan

disebut juga metode pidato atau khutbah. Dalam bahasa Inggris

metode ceramah disebut denga istilah “Lecturing method” atau

88
“Telling method”. Metode ini sering digunakan, karena metode ini

sangat mudah dilakukan (Armai, 2002:136).

Menurut Omar Mohammad al Toumy al Syaibani (1979:553)

memaknai metode mengajar sebagai bentuk kegiatan terarah yang

dikerjakan pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan kepada

peserta didik sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa dan kondisi

lingkungan sekitarnya. Hal ini dimaksudkan untuk menolong peserta

didik mencapai tujuan pendidikan yang berupa perubahan perilaku,

penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan-keterampilan maupun

kebiasaan-kebiasaan.

Dalam menyiarkan agama Islam, Rasulullah saw berpidato di

depan khalayak ramai sambil membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang

berisi petunjuk peribadatan kepada Allah SWT. Media dakwah

lainnya, Rasulullah saw memberikan pelajaran Agama Islam secara

menyeluruh di rumah-rumah dan di masjid-masjid, sebagai tempat

pertemuan dan bermusyawarah (Armai, 2002:43).

Sejak zaman Rasulullah metode caramah merupakan cara yang

paling awal yang dilakukan Rasulullah saw, dalam menyampaikan

wahyu kepada umat. Karakteristik yang menonjol dari metode

ceramah adalah peranan guru tampak lebih dominan, sementara anak

didik lebih banyak pasif dan menerima apa yang disampaikan guru.

89
Hal ini berkenaan dengan firman Allah swt dalam QS. Yusuf:2-3

yang berbunyi:

        

        

     

Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan


berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Kami menceritakan
kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran Ini
kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya
adalah termasuk orang-orang yang belum Mengetahui.
Ayat di atas menerangkan bahwa Tuhan menurunkan Al Qur’an

dengan memakai bahasa Arab dan menyampaikannya kepada Nabi

Muhammad saw, dengan jalan cerita dan ceramah. Dari pemaparan

sebelumnya dapat dikatakan bahwa metode ceramah masih merupakan

metode mengajar yang masih dominan dan paling banyak dipakai,

khususnya di sekolah-sekolah tradisional (Armai, 2002:137).

Sedangkan metode penyampaian materi pendidikan kepemimpinan

dalam kitab I’dhotun Nasyiin adalah hanya dengan menggunakan

metode ceramah seperti nasehat dan anjuran, menurut penulis metode

ceramah tidak bisa diterapkan di era zaman sekarang. Karena zaman

sekarang dibutuhkan juga metode keteladanan, metode pemberian

90
ganjaran, metode kebiasaan dan metode-metode pembelajaran lainnya

agar kegiatan pembelajaran lancar dan sesuai dengan tujuan.

Mengenai pendidikan di Indonesia saat ini, guna untuk

mempersiapkan anak didik tentu sangat membutuhkan metode

ceramah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Syaikh Mustafa Al-

galayaini.

Menurut pengamatan penulis dalam penyampaian materi al-

Ghalayaini lebih banyak menggunakan metode ceramah metode ini

sangat relevan jika mengajar peserta didik dengan jumlah yang

banyak dan waktu yang sedikit.

3. Relevansi Tujuan Pendidikan Kepemimpinan

Suatu usaha yang tidak memiliki tujuan tidak akan mempunyai arti

apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentu arah maka hasilnya

pun tak lebih dari pengalaman selama perjalanan.

Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar dan jelas

memiliki tujuan. Sehingga diharapkan dalam penerapannya ia tak

kehilangan arah dan pijakan. Dalam perkembangannya teori-teori

tentang tujuan pendidikan menjadi perhatian yang cukup besar dari

para pakar pendidikan.

Berdasarkan kepada pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah

proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia

seutuhnya beriman dan bertakwa kepada Tuhan serta mampu

mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang

91
berdasarkan kepada ajaran Al-Qur’an dan sunnah, maka tujuan dalam

konteks ini berarti terciptanya insan-insan kamil setelah proses

pendidikan berakhir (Armai, 2002:16).

Islam adalah agama ilmu dan cahaya, bukan merupakan agama

kebodohan dan kegelapan. Wahyu Allah SWT yang pertama

diturunkan mengandung perintah membaca kepada Rasulullah SAW.

Pengulangan atas perintah tersebut dan menyebutan masalah ilmu

dapat dirasakan dalam suatu pendidikan. Allah berfirman dalam surat

Al-Alaq ayat 1-5 yang artinya:

          

          

  

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang


Menciptakan.Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam.Dia mengajar kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya”.
Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah usaha atau

kegiatan selesai dilaksanakan. Tujuan pendidikan bukanlah suatu

benda yang bersifat tetap dan statis, tetapi merupakan suatu

keseluruhan dari kepribadian seseorang yang berhubungan dengan

seluruh aspek kehidupannya.

92
Tujuan pendidikan yang ideal itu nampak pada tujuan akhir. Tujuan

akhir biasanya dirumuskan secara singkat dan padat, seperti

terbentuknya manusia sempurna, terbentuknya kepribadian muslim

(Marimba, 1989:45). Lain halnya dengan tujuan ditulisnya buku

Idhotun Nasyiin ini, Syeikh Musthafa Al Ghalayaini mempunyai

tujuan agar generasi muda muslim menjadi individu-individu yang

bersih dari sifat-sifat yang tidak terpuji, berakhlak mulia dan mengerti

bagaimana seharusnya dia bersikap menghadapai segala peristiwa

yang dialami bangsanya. Dari individu-individu seperti itulah akan

terbentuk masyarakat dan bangsa (umat) yang beradab dan bermoral

serta menjunjung tinggi kebenaran yang sejati, sehingga mereka

menjadi bangsa yang tetap eksis. Sesungguhnya suatu bangsa itu akan

hidup dan tetap hidup, selama mereka bermoral dan beradab, jika

moral bangsa itu bejat, maka hancur dan binasalah mereka.

Ini mengandung makna bahwa dengan pendidikan kepemimpinan

itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan

masyarakat serta gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran

Islam baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dengan sesama

manusia, serta dapat mengambil manfaat dari alam semesta untuk

kepentingan di dunia dan di akhirat nanti.

93
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan-pembahasan dan analisis pada bab-bab

sebelumnya, akhirnya penulis dapat membuat beberapa butir atas

kesimpulan yang dituangkan dalam kitab “I’dhotun Nasyiin” karya Syeikh

Musthafa Al-Ghalayaini. Adapun butir-butir tersebut sebagai berikut:

1. Nama lengkap Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini adalah Musthafa bin

Muhammad Salim al-Ghalayaini. Dia adalah seorang sastrawan Arab,

penyair, orator, grammer (ahli bahasa), politikus dan jurnalis.

Dilahirkan di Beirut, Libanon pada tahun 1303 H/1886 M dan wafat

pada tahun 1364 H/1944 M tepat diusianya yang ke 59 tahun.

2. Pemimpin adalah seseorang yang mampu mengarahkan,

mempengaruhi, membimbing, melayani dan melindungi individu lain

dalam proses pencapaian tujuan, serta ada usaha kerja sama yang tidak

menyimpang dari peraturan yang telah digariskan oleh Allah swt

sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits untuk mencapai tujuan yang

diinginkan bersama. Definisi di atas memberikan analisa bahwa

pemimpin itu merupakan ujung tombak dalam memberikan arah dan

tujuan yang jelas, yang ingin dicapai bersama-sama. Oleh karena itu

pemimpin harus berperilaku sesuai status atau kedudukan dan peranan

94
sebagai orang yang duduk di lapisan terdepan. Ia harus benar-benar

menjadi teladan dan tempat bercermin bagi orang-orang yang

dipimpinnya.

Nilai yang dibangun dari pendidikan kepemimpinan Syeikh Musthafa

Al Ghalayaini dalam kitab Idhotun Nasyiin, dapat dilihat dari

beberapa kriteria sifat-sifat pemimpin yang baik yaitu sebagai berikut:

Pertama, pemimpin harus rendah hati dan sederhana; Kedua,

pemimpin harus mempunyai sikap suka menolong; Ketiga, pemimpin

harus sabar dan menjaga kestabilan emosi; Keempat, pemimpin harus

percaya pada diri sendiri; Kelima, pemimpin harus bersikap Jujur, adil

dan dapat dipercaya.

3. Nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam kitab I’dhotun Nasyiin

dengan konteks kepemimpinan masa sekarang memiliki persamaan

penggunaan dan kebutuhan. Di dalam suatu negara yang sedang

membangun, diperlukan banyak warga masyarakat yang mempunyai

kemampuan kepemimpinan yang handal, baik kemampuan intelektual

maupun kemampuan etika moral yang beradab. Oleh karena itu

semakin banyak anggota masyarakat yang mempunyai ketrampilan

kepemimpinan akan semakin cepat pertumbuhan pembangunan

menuju ke arah yang diharapkan oleh masyarakat. Hal tersebut

relevan dengan pentingnya pendidikan kepemimpinan dari berbagai

pernyataan yang rasional baik tentang meteri pendidikan, metode

pendidikan, dan tujuan pendidikan.

95
B. Saran-Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka penilis memberikan saran

sebagai berikut:

1. Untuk dunia pendidikan Islam

Kepemimpinan sangat perlu dipelajari, karena setiap ada kelompok

manusia yang saling berinteraksi, pasti akan terjadi proses

kepemimpinan di dalamnya. Demikian juga dalam dunia penididikan.

Oleh sebab itu, para aktivis kependidikan perlu mempelajari seluk

beluk kepemimpinan yang berasaskan Islam.

2. Untuk para pemimpin

Kekuasaan bukanlah satu-satunya hal yang bisa dibanggakan

selamanya, oleh sebab itu, ketika seseorang menjadi pemimpin,

jadilah pemimpin yang jujur, dapat dipercaya, cerdas selalu

menyampaikan informasi kepada para pengikutnya, agar sesuai

dengan sistem kepemimpinan Rasulullah saw, sehingga terwujudlah

baldatun toyyibatun wa robbun ghoffur.

C. Kata Penutup

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah, Tuhan

semesta alam. Maha pengasih dan Maha penyayang dan hanya Allah yang

berhak di sembah dan diibadahi dengan benar.

Shalawat beriring salam kepada Rasulullah Muhammad saw yang

menjadi tauladan sekaligus mampu mengubah dan membentuk umat menuju

akhlak mulia.

96
Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada semua

pihak yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu

terselesaikannya penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini, mengingat kemampuan yang ada, tentulah

skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Kebenaran Mutlak adalah milik Allah

yang Esa, maka penulis menyadari bila skripsi ini masih perlu dilengkapi

dan diberikan saran yang membangun. Maka penulis mengharapkan kepada

para pembaca yang budiman untuk memberi kritik dan saran sebagai kajian

lebih lanjut. Sehingga skripsi ini mendekati kebenaran dan kesempurnaan

sebuah karya ilmiah. Akhirnya ridha Allah SWT semata yang senantiasa

penulis harapkan sehingga skripsi ini akan menjadi salah satu sumbangan

khasanah keilmuan Islam, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis

khususnya dan bagi pembaca pada umumnya di dunia dan akhirat. Amin-

amin yarobbal alamin.

97
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1992. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Terj. Hery

Noer Ali. Bandung:CV Diponegoro.

Al Bani, Al Nashiruddin Muhammad. 2006. Shahih Sunan Abu Daud. Jakarta :

Pustaka Azam.

Al-Ghalayaini, Musthafa. 2002. I‟dhotun Nasyiin (Bimbingan Menuju Akhlak

Luhur) Diterjemahkan oleh Moh. Abdai Rathomy. Semarang: PT Karya

Toha Putra.

Al-Ghalayaini, Musthafa. Idhotun Nasyiin Alih Bahasa H.M. Fadlil Said An-

Nadwi. Surabaya:Al-Hidayah.

Anshari, Saifuddin, Endang. 1978. Kuliah Al-Islam. Bandung : Pustaka Bandung.

Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta:

Ciputat Press.

Arifin, Tatang M. 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta:Rajawali.

As’ad, Moh. 1986. Kepemimpinan Efektif dalam Perusahaan: Suatu Pendekatan

Psikologik. Yogyakarta:Liberty.

Bakker, Anton. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta:Kanisius.

98
Danim, Sudarwan. 2004. Motivasi Kepemimpinan dan Fektifitas Kelompok.

Jakarta: Rineka Cipta.

Dekdikbud. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Agama RI. 2001. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta:

Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.

Fatchurrohman. 2006. Demokratisasi Pendidikan dalam Al-Qur‟an.

Salatiga:STAIN SALATIGA Press

Gulen, M. Faetullah. 2002. Versi Terdalam Kehidupan Rasul Allah Muhammad.

Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.

Hadi, Sutrisno. 1990. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset.

Husaini. 2006. Manajemen Teori dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.

Kahalah, Ridho Umar. 1993. Mu‟jam al-Muallafin Tarajum Mushannafi al-Kutub

al-Arabiyah. Beirut: Muassasah al-Risalah.

Karim, Mohammad. Pemimpin Transformasional di Lembaga Pendidikan Islam.

Malang:UIN-Maliki PRESS.

Kartono, Kartini. 2010. Pemimpin dan Kepemimpinan (Apakah Pemimpin

Abnormal Itu?). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kuswaya, Adang. 2011. Metode Tafsir Kontemporer. Yogyakarta:CV. Orbittust

Corp.

99
Madhi, Jamal. 2001. Menjadi Pemimpin yang Efektif dan Berpengaruh: Tinjauan

Manajemen Kepemimpinan Islam. Bandung :PT. Syamil Cipta Media.

Mansur. 2004. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta:Pustaka

Pelajar.

Maragustan. 2000. Studi Krisis Ide-Ide Sentral K.H.A Wahid Hasyim Tentang

Pendidikan Islam. Yogyakarta:Jurnal Penelitian Agama Nomor 25.

Maslikhah. 2009. Ensiklopedia Pendidikan. Salatiga:STAIN Salatiga Press.

Moedjino, Imam. 2002. Kepemimpinan & Keorganisasian. Yogyakarta:UII Press.

Muhadjir, Noeng. 1996. Metode Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Musbikin, Imam, Sholeh, Moh. 2005. Agama Sebagai Terapi.

Yogyakarta:Pustaka Belajar.

Nashori, Fuad. 2009. Psikologi Kepemimpinan: Peran Psikologi Islami dalam

Pengembangan Moralitas Pemimpin. Yogyakarta: Pustaka Fahima.

Poerwadarminta, WJ.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi ketiga, cet

ke-3. Jakarta:Ciputat Press.

Razak, Nasruddin. 1986. Dienul Islam. Bandung : Al-Ma’arif.

Riberu, J. 1992. Dasar-dasar Kepemimpinan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya

Rivai, Veithzal. 2003. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

100
Siagian, Sondang P. 2010. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta:PT Rineka

Cinta.

Subairi, 2005. Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Izhah An Nasyi‟in dan

Implikasinya terhadap Pendidikan Akhlak Remaja. Skripsi tidak diterbitkan.

Yogyakarta: Jurusan Tarbiah UIN SUKA.

Suharto, Joko. 2007. Menuju Ketenangan Jiwa. Jakarta:PT Rineka Cipta.

Suryaman, Yana. 2016. Great leader 4 Kunci Sakti Menjadi Pemimpin Hebat.

Jakarta: Bestari.

Sutikno, M. Sobry. 2014. Pemimpin dan Kepemimpinan Ips Praktis untuk

Menjadi Pemimpin yang Diidolakan. Lombok: Holistica.

Utomo, Warsito. 2008. Kepemimpinan Profesional (Pendekatan Leadership

Games). Yogyakarta: Gava Media.

Zaenudin, Mahdi. 2002. Studi Kepemimpinan Islam. Yogyakarta:Al-Muhsin.

Http://ngalapberkahtiyangsoleh.blogspot.co.id/2014/01/syeikh-mustafa-al-

ghalayini.html. Di akses pada tanggal 24 Agustus 2016 pukul 14.30

Http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/261-kepemimpinan-nasional-indonesia-

kini-dan-di-masa-mendatang, Diakses pada tanggal 3 Oktober 2016 pukul

11.35

101
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Khikmatul Latifah

2. Tempat, Tanggal Lahir : Magelang, 16 September 1995

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Warga Negara : Indonesia

5. Agama : Islam

6. Alamat : Ngadisono Rt. 01/Rw. 06, Selomirah, Ngablak,

Magelang.

7. Riwayat Pendidikan :

a. SD N Selomirah : Tahun 2000-2006

b. SMP N 2 Grabag : Tahun 2006-2009

c. MAN 1 Kota Magelang : Tahun 2009-2012

Demikian daftar riwayat hidup ini penulis buat dengan sebenar-benarnya

Salatiga, 12 September 2016

Penulis

Khikmatul Latifah
111-12-238

102
103
DAFTAR NILAI SKK

Nama : Khikmatul Latifah


NIM : 111-12-238
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan
Dosen Pembimbing : Mufiq, S.Ag., M.Phil.

NO Jenis Kegiatan Pelaksanaan Keterangan Skor


1. Orientasi Pengenalan Akademik dan 05-07 September 2012 Peserta
Kemahasiswaan (OPAK) dengan Tema “ 3
Progresifitas Kaum Muda, Kunci Perubahan
Indonesia”.
2. Orientasi Pengenalan Akademik dan 08-09 September 2012 Peserta
Kemahasiswaan (OPAK) Jurusan Tarbiyah 3
dengan tema “ Mewujudkan Gerakan
Mahasiwa Tarbiyah sebagai Tonggak
Kebangkitan Pendidikan Indonesia”
3. Orientasi Dasar Keislaman (ODK) dengan 10 September 2012 Peserta
Tema “ Membangun Karakter Keislaman 2
Bertaraf Internasional di Era Globalisasi
Bahasa”
4. Seminar Entrepreneurhip dan Perkoperasian 11 September 2012 Peserta
2012 dengan tema “ Explore Your 2
Entrepreneurship Talent”
5. Achievment Motivation Training (AMT) 12 September 2012 Peserta
dengan Tema “ Dengan AMT, Bangun 2
Karakter Raih Prestasi”
6 Library User Education (Pendidikan 13 September 2012 Peserta
Pemakai Perpustakaan) oleh UPT 2
Perpustakaan STAIN Salatiga
7. Membentuk Militansi Kader Menuju 05-07 Oktober 2012 Peserta 2
Mahasiswa yang Ideal
8. Seminar “Penyelesaian Sengketa Ekonomi 17 Desember 2012 Peserta
Syariah dalam Perspektif Hukum Positif 2
dan Syariah”
9. Seminar Nasional “Ahlussunnah 26 Maret 2013 Peserta
Waljamaah dalam Perspektif Islam 8

104
Indonesia”
10. Seminar Nasional Entrepreneurship 27 Mei 2013 Peserta
“Menumbuhkan Jiwa Entrepreneur 8
Generasi Muda”.
11. Akhirussanah Ma’had STAIN Salatiga 30 Juni 2013 Peserta
“Pesantren Sebagai Wadah Perkembangan 2
Karakter Pemuda Islam yang berakhlaqul
Karimah dan Bernalar Ilmiah”
12. Piagam Penghargaan Musabaqah Tilawatil 23 Oktober 2013 Peserta
Qur’an (MTQ) Mahasiswa V Tingkat
Mahasiswa, SMA Se-Derajat dan Pondok 2
Pesantren Se-Salatiga dan sekitarnya.
dengan tema “HTQ Wahana Apresiasi
untuk Mencetak Insan Qur’ani”.
13. Dialog Interaktif & Edukatif “DIASPORA 01 April 2014 Peserta
Politik Indonesia di Tahun 2014, Memilih 2
Untuk Salatiga Hati Beriman”.
14. Seminar Nasional LPM Dinamika “Idealime 03 Juni 2014 Peserta
Mahasiswa” 8
15. Public Hearing “STAIN Menuju IAIN Dari 10 Juni 2014 Peserta
Mahasiswa Oleh Mahasiswa Untuk 2
Mahasiswa”
16. “Training Pembuatan Makalah” oleh 17 Sepetember 2014 Peserta
Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Darul 2
Amal STAIN Salatiga
17. Gebyar Seni Qur’aniyy (GSQ) umum ke-VI 05 November 2014 Peserta 4
SE- JAWA TENGAH “Aktualisasi Makna
dan Syiar Al-Qur’an sebagai Sumber
Inspirasi” oleh JQH AL-FURQON STAIN
SALATIGA
18. Diklat Microteaching Himpunan Mahasiswa 08 November 2014 Peserta
Program Studi (HMPS) Pendidikan Agama 2
Islam Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga
19. Seminar Nasional Entrepreneurship 16 November 2014 Peserta
RACANA Kusuma Dilaga-Woro Srikandhi 8
20. Pelatihan Pertanian, Peternakan, Perikanan 31 Januari 2015 Peserta
dan Fermentasi Yayasan PonPes Nurul 2
Asna

105
106
107
108

Anda mungkin juga menyukai