PENDAHULUAN
Glaukoma berasal dari kata Yunani “Glaukos” yang berarti hijau kebiruan,
yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma
adalah penyakit mata yang ditandai oleh meningkatnya tekanan intraokuler yang
disertai atropi papil saraf optik dan pengecilan lapang pandang. Pada glaukoma akan
terdapat melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat lapang pandang dan
kerusakan anatomi berupa ekskavasi (penggaungan) serta degenerasi papil saraf
optik, yang dapat berakhir pada kebutaan.1
Di Amerika Serikat, kira-kira 2.2 juta orang pada usia 40 tahun dan yang lebih
tua mengidap glaukoma, sebanyak 120,000 kebutaan disebabkan penyakit ini. Jumlah
orang Amerika yang akan terserang glaukoma diperkirakan akan meningkat sekitar
3.3 juta pada tahun 2020. Setiap tahun, ada lebih dari 300,000 kasus glaukoma yang
baru dan kira-kira 5400 orang-orang menderita kebutaan. Glaukoma akut (sudut
tertutup) terjadi sekitar 10-15% pada orang Kaukasia. Persentase ini lebih tinggi pada
orang asia, terutama pada orang Burma dan Vietnam di Asia Tenggara. Glaukoma
pada orang kulit hitam, lima belas kali lebih menyebabkan kebutaan dibandingkan
orang kulit putih. Pada glaukoma akut penderitanya lebih didominasi oleh wanita
dikarenakan mereka memiliki bilik mata depan yang lebih sempit dan juga resiko
yang lebih besar terjadi pada usia dekade keenam atau ketujuh.2,3
Glaukoma merupakan masalah kesehatan mata yang penting di Indonesia.
Distribusi penyakit glaukoma di Indonesia sebesar 13,4%. Prevalensi kebutaan akibat
penyakit glaukoma sebesar 0,2% (Depkes, 1997). Glaukoma adalah penyebab
kebutaan nomor dua terbesar di Indonesia setelah katarak dan seringkali mengenai
orang berusia lanjut.4
Berdasarkan etiologi, glaukoma dibagi menjadi glaukoma primer, glaukoma
kongenital, glaukoma sekunder dan glaukoma absolut sedangkan berdasarkan
mekanisme peningkatan tekanan intraokular glaukoma dibagi menjadi dua yaitu
1
glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup. Penatalaksanaan glaukoma
berupa pengobatan medis, terapi bedah, dan laser.5
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Glaukoma berasal dari kata Yunani “ glaukos” yang berarti hijau kebiruan,
yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma 1.Glaukoma
adalah suatu keadaan tekanan intraokuler/tekanan dalam bola mata relatif cukup besar
untuk menyebabkan kerusakan papil saraf optik danmenyebabkan kelainan lapang
pandang2. Di Amerika Serikat, glaukoma ditemukan pada lebih 2 juta orang, yang
akan beresiko mengalami kebutaan3.
Survei Kesehatan Indera Penglihatan tahun 1993-1996 yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia mendapatkan bahwa glaukoma
merupakan penyebab kedua kebutaan sesudah katarak (prevalensi 0,16%). Katarak
1,02%, Glaukoma 0,16%, Refraksi 0,11% dan Retina 0,09%. Akibat dari kebutaan
itu akan mempengaruhi kualitas hidup penderita terutama pada usia produktif,
sehingga akan berpengaruh juga terhadap sumberdaya manusia pada umumnya dan
khususnya Indonesia2.
3
Gambar 1. Aliran humor aquos normal
Pada sistem vena, humir aquos diproduksi oleh prosesus ciliaris masuk
melewati kamera okuli posterior menuju kamera okuli anterior melalui pupil. Setelah
melewati kamera okuli anterior cairan humor aquos menuju trabekula meshwork ke
angulus iridokornealis dan menuju kanalis Schlemm yang akhirnya masuk ke sistem
vena. Aliran humor aquos akan melewati jaringan trabekulum sekitar 90%.
Sedangkan sebagian kecil humor aquos keluar dari mata melalui otot siliaris menuju
ruang suprakoroid untuk selanjutnya keluar melalui sklera atau saraf maupun
pembuluh darah. Jalur ini disebut juga jalur uveosklera (10-15%).5,10
4
- Kelainan refraksi berupa miopi dan hipermetropi
- Ras tertentu
2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi Glaukoma4.
I. Glaukoma sudut terbuka (Open-angle glaucomas)
A. Idiopatik
1. Glaukoma kronik (primer) sudut terbuka
2. Glaukoma tekanan normal
B. Akumulasi material yang menimbulkan obstruksi jalinan trabekula
1. Pigmentary glaucoma
2. Exfoliative glaucoma
3. Steroid-induced glaucoma
4. Inflammatory glaucoma
5. Lens-induced glaucoma
a. Phacolytic
b. Lens-particle
c. Phacoanaphylactic glaucomas, dll
C. Kelainan lain dari jalinan trabekula
1. Posner-Schlossman (trabeculitis)
2. Traumatic glaukoma (angle recession)
3. Chemical burns
D. Peningkatan tekanan vena episklera
1. Sindrom Sturge–Weber
2. tiroidopati
3. tumor Retrobulbar
4. Carotid-cavernous fistula
5. thrombosis sinus cavernosus
II. Glaukoma sudut tertutup (Angle closure glaucomas)
5
A. Blok pupil
1. Glaukoma primer sudut tertutup ( akut, subakut, kronik,
Mekanisme campuran)
2. Glaukoma dicetuskan lensa
a. Fakomorfik
b. Subluksasi lensa
c. Sinekia posterior
- Inflamasi
- Pseudofakia
- Iris-vitreous
B. Anterior displacement of the iris/lens
1. Aqueous misdirection
2. Sindrom iris plateu
3. Glaukoma dicetuskan dari kelainan lensa
4. kista dan tumor iris dan korpus silier
5. kelainan koroid-retina
C. Obstuksi membran dan jaringan
1. glaukoma neovaskuler
2. glaukoma inflamasi
3. sindrom ICE
4. pertumbuhan epitel dan serabut yang terganggu
5. dll
III. Kelainan perkembangan bilik mata depan
A. Glaukoma primer congenital
B. Glaukoma berhubungan dengan gangguan pertumbuhan mata
1. Aniridia
2. Axenfeld–Rieger syndrome
3. Peter’s anomaly
4. dll
6
2.4.1 Glaukoma pigmentasi
Pigmentary glaucoma merupakan suatu glaukoma terbuka sekunder yang
merupakan hasil dari dispersi pigmen melanin yang berasal dari pigmen epitel iris
yang kemudian pada akhirnya akan menghambat outflow melalui jalur trabekular dan
menyebabkan peningkatan tekanan intraokular. Terdapat tiga faktor yang berperan
pada proses patofisiologi dari pelepasan pigmen yaitu mekanik, genetik, dan
lingkungan, dimana faktor mekanik yang dimaksud yaitu adanya kelengkungan dari
iris perifer ke posterior yang dapat menginduksi terjadinya suatu kontak berulang
antara pigmen epitel iris dan diafragma dari zonula lensa sehingga akan menyebabkan
terjadinya suatu pelepasan pigmen. Beberapa faktor lingkungan seperti akomodasi,
olah raga, dilatasi pupil dan berkedip dapat meningkatkan konkavitas dari bagian
posterior iris yang menyebabkan pelepasan pigmen4.
7
lingkaran sudut bilik mata depan. Retina perifer didapatkan kebanyakan abnormal
baik pada penderita PDS maupun PG.
Diagnosis banding dari PDS dan PG yaitu kondisi okular dengan peningkatan
pigmentasi pada trabecular meshwork atau defek transiluminasi iris seperti
pseudofakia dispersi pigmen sekunder, psudo-exfoliation syndrome/pseudo-
exfoliation glaucoma, kista iris dan uveitis.
Prinsip terapi PG yaitu menurunkan pelepasan pigmen, menghilangkan
konkavitas dari iris dan kontak iridozonular, menurunkan tekanan intraokuli, dan
mencegah progresivitas penyakit. Tatalaksana PDS dapat diawali dengan perubahan
gaya hidup, contohnya menghindari aktivitas seperti lari dan naik turun tangga.
Terapi medikamentosa dapat dengan menggunakan agen beta-blockers, prostaglandin
analogues, parasimpatomimetik, alpha-adrenergic agonists, dan carbonic anhydrase
inhibitors. Laser trabekuloplasti tampak lebih efektif pada individu muda dengan PG,
keberhasilan dipengaruhi oleh besar sudut bilik mata depan, pigmentasi dan tekanan
intraokular awal. Laser iridotomi perifer membuat iris yang konkaf akan mendatar
sehingga membuat sudut yang lebih sempit dan dengan demikian menurunkan
kemungkinan terjadinya kontak iridolentikular.
Efektivitas dan indikasi dari laser iridotomi perifer masih merupakan suatu
debat. Bedah filtrasi diindikasikan ketika terjadi progresi pada defek lapang
pandangan atau perubahan pada papil saraf optik walaupun telah dilakukan terapi
medikamentosa maupun laser. Penggunaan antimetabolit harus dilakukan dengan
waspada dikarenakan adanya resiko terjadinya hipotoni pada penderita muda dengan
miopia.
2.5 PATOFISIOLOGI
Cairan aqueus diproduksi dari korpus siliaris, kemudian mengalir melalui
pupil ke kamera okuli posterior (COP) sekitar lensa menuju kamera okuli anterior
(COA) melalui pupil. Cairan aqueus keluar dari COA melalui jalinan trabekula
menuju kanal Schlemm’s dan disalurkan ke dalam sistem vena6. Gambar dari
8
aliran normal cairan aqueus dapat dilihat pada gambar 1.
9
Gambar 2. (A) Aliran humor aqueus pada glaukoma sudut terbuka, (B) Aliran
humor aqueus pada glaukoma sudut tertutup7
10
rentang 20-30 mmHg biasanya menyebabkan kerusakan dalam tahunan. TIO yang
tinggi 40-50 mmHg dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang cepat dan
mencetuskan oklusi pembuluh darah retina9.
b. Halo sekitar cahaya dan kornea yang keruh
Kornea akan tetap jernih dengan terus berlangsungnya pergantian cairan oleh
sel-sel endotel. Jika tekanan meningkat dengan cepat (glaukoma akut sudut tertutup),
kornea menjadi penuh air, menimbulkan halo di sekitar cahaya9.
c. Nyeri. Nyeri bukan karakteristik dari glaukoma primer sudut terbuka9.
d. Penyempitan lapang pandang
Tekanan yang tinggi pada serabut saraf dan iskemia kronis pada saraf optik
menimbulkan kerusakan dari serabut saraf retina yang biasanya menghasilkan
kehilangan lapang pandang (skotoma). Pada glaukoma stadium akhir
kehilangan lapang penglihatan terjadi sangat berat (tunnel vision), meski visus
pasien masih 6/6 9(gambar 4),.
e. Perubahan pada diskus optik. Kenaikan TIO berakibat kerusakan optik berupa
penggaungan dan degenerasi papil saraf optik9.
f. Oklusi vena9
g. Pembesaran mata
Pada dewasa pembesaran yang signifikan tidak begitu tampak. Pada anak-
anak dapat terjadi pembesaran dari mata (buftalmus) 9.
11
- Perimeter Oktopus
2. Tonometri
Alat ini digunakan untuk pengukuran TIO. Beberapa tonometri yang
digunakan antara lain tonometer Schiotz, tonometer aplanasi Goldman, tonometer
Pulsair, Tono-Pen, tonometer Perkins, non kontak pneumotonometer.
3. Oftalmoskopi
Oftalmoskopi yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya kerusakan saraf
optik berdasarkan penilaian bentuk saraf optik2. Rasio cekungan diskus (C/D)
digunakan untuk mencatat ukuran diskus otipus pada penderita glaukoma. Apabila
terdapat peninggian TIO yang signifikan, rasio C/D yang lebih besar dari 0,5 atau
adanya asimetris yang bermakna antara kedua mata, mengidentifikasikan adanya
atropi glaukomatosa8.
4. Biomikroskopi
Untuk menentukan kondisi segmen anterior mata, dengan pemeriksaan ini
dapat ditentukan apakah glaukomanya merupakan glaukoma primer atau
sekunder2.
5. Gonioskopi
Tujuan dari gonioskopi adalah mengidentifikasi kelainan struktur sudut,
memperkirakan kedalaman sudut bilik serta untuk visualisasi sudut pada
prosedur operasi2,8.
6. OCT (Optical Coherent Tomography). Alat ini berguna untuk mengukur
ketebalan serabut saraf sekitar papil saraf2
7. Fluorescein angiography
8. Stereophotogrammetry of the optic disc
2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit glaukoma antara lain4,8,9:
a. Medikamentosa
1. Penekanan pembentukan humor aqueus, antara lain:
12
- β adrenegik bloker topikal seperti timolol maleate 0,25 - 0,50 % kali
sehari, betaxolol 0.25% dan 0.5%, levobunolol 0.25% dan 0.5%,
metipranolol 0.3%, dan carteolol 1%
- apraklonidin
- inhibitor karbonik anhidrase seperti asetazolamid (diamox) oral 250 mg 2
kali sehari, diklorofenamid, metazolamid
2. Meningkatkan aliran keluar humor aqueus seperti: prostaglandin analog,
golongan parasimpatomimetik, contoh: pilokarpin tetes mata 1 - 4 %, 4-6
kali sehari, karbakol, golongan epinefrin
3. Penurunan volume korpus vitresus.
4. Obat-obat miotik, midriatikum, siklopegik
b. Terapi operatif dan laser
1. Iridektomi dan iridotomi perifer
2. Bedah drainase glaukoma dengan trabekulektomi, goniotomi.
3. Argon Laser Trabeculoplasty (ALT)
13
BAB III
KESIMPULAN
Glaukoma adalah suatu keadaan pada mata yang ditandai dengan kenaikan
tekanan intraokuli, penurunan visus, penyempitan lapang pandang dan atropi nervus
optikus. Glaukoma sekunder merupakan glaukoma yang terjadi akibat penyakit mata
yang lain atau penyakit sistemik yang menyertainnya. Pada kasus ini pasien
mengalami glaukoma sekunder yang diakibatkan oleh perubahan pada lensa, yaitu
akibat katarak senilis.
Glaukoma dapat mengakibatkan kebutaan total jika tidak diterapi. Pada
glaukoma sekunder tatalaksana juga ditujukan pada keadaan primer yang menyertai.
Apabila obat tetes anti glaukoma dapat mengontrol tekanan intraokular pada mata
yang belum mengalami kerusakan glaukomatosa luas, prognosis akan baik. Apabila
proses penyakit terdeteksi dini sebagian besar pasien glaukoma dapat ditangani
dengan baik.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006. 205-216
2. RS Mata YAP. Diagnosis dan Penanganan Glaukoma. http://www.rsmyap.com
[diakses 16 Januari 2009].
3. Pascotto A, Sacca SC, Fioretto M, Orfeo V. Glaucoma, Complications and
Management of Glaucoma Filtering. http://www.emedicine.medscape.com
[diakses 16 Januari 2009].
4. Blanco AA, Costa VP, Wilson RP. Handbook of Glaucoma. London: Martin
Dunitz; 2002. 17-20
5. Bascom Palmer Eye Institute. Glaucoma. http://www.bpei.med.miami.edu
[diakses 16 Januari 2009]
6. Vaughan D, Riordan-Eva P. Glaukoma. Dalam: Oftalmologi Umum Ed 14. Alih
Bahasa: Tambajong J, Pendit BU. General Ophthalmology 14th Ed. Jakarta:
Widya Medika; 2000. 220-232.
7. Song J. Glaucoma: The Silent Killer of Eyesight.
http://www.residentandstaff.com [diakses 16 Januari 2009].
8. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology 3rd Ed. Oxford: Butterworth-Heinemann;
1994. 234-248.
9. Khaw T, Shah P, Elkington AR. ABC of Eyes 4th Edition. London: BMJ
Publishing Group; 2005. 52-59.
10. Ariston E, Suhardjo. Risk Factors for Nuclear, Cortical and Posterior
Subcapsular Cataract in Adult Javanese Population at Yogyakarta territory.
Ophthalmologica Indonesiana 2005;321:59.
11. Shock JP, Harper RA. Lensa. Dalam: Oftalmologi Umum Ed 14. Alih Bahasa:
Tambajong J, Pendit BU. General Ophthalmology 14th Ed. Jakarta: Widya
Medika; 2000.176-177.
15