Diktat TRK 1 - Fix PDF
Diktat TRK 1 - Fix PDF
M.Luthfi Shidqi, Reza Adhitya, Irfan Faisal Pane, Hizba Ilmi Naf’an, Yoga
Wiranoto, Radifan Fajaryanto dan teman-teman DTK angkatan 2014
lainnya.
Edward Gustaf
Justin Edgar
Chapter 1
Mole Balances
Penting: Output pada chapter ini
1. Pemahaman pembaca mengenai perbandingan reaktor, dan asumsi yang
diberlakukan pada setiap reaktor
2. Peningkatan kemampuan analisis kuantitaif dan kualitatif pengaruh karakteristik
laju reaksi (orde, konstanta laju reaksi terhadap desain reaktor)
a. Reaktor Batch
Untuk reaktor batch: tidak ada laju alir masuk (Fjo) dan laju alir keluar (Fj),
sehingga persamaannya menjadi:
𝑑𝑁𝑗
= 𝑟𝑗 . 𝑉
𝑑𝑡
Sifat aliran dari reaktor bacth: non-continuous flow.
Sumber: http://www.essentialchemicalindustry.org
Aplikasi Reaktor Batch di Industri: Farmasi, Polimer
Industri obat-obatan membutuhkan tingkat kemurnian yang sangat tinggi.
Untuk itu, industri ini menggunakan reaktor batch yang tersusun paralel dan
diatur waktu pengoperasiannya agar seolah-olah menjadi reaktor yang
kontinu.
Reaktor jenis ini biasanya sangat cocok digunakan dalam proses pelarutan
padatan, batch distillation, kristalisasi, ekstraksi cair-cair, polimerisasi, dan
fermentasi. Reaktor batch digunakan untuk operasi skala kecil. Biasanya
untuk mencoba proses baru yang belum sepenuhnya dikembangkan, untuk
menghasilkan produk yang mahal, dan juga digunakan untuk proses yang
sulit diterapkan pada operasi yang terus-menerus. Reaktor batch memiliki
kelebihan pada konversi yang tinggi. Hal tersebut dapat diperoleh dengan
cara meninggalkan reaktan di dalam reaktor dalam jangka waktu yang lama.
Selain itu, harga instrumentasinya murah, penggunaannya fleksibel, artinya
dapat dihentikan secara mudah dan cepat kapan saja diinginkan,
penggunaan yang multifungsi, mudah dibersihkan, serta dapat menangani
reaksi dalam fase gas, cair, dan cair-padat. Akan tetapi, reaktor batch juga
mempunyai kelemahan yaitu tingginya harga tenaga kerja, waktu shutdown
yang lama, perbedaan produk dari batch ke batch, dan sulitnya untuk
melakukan produksi berskala besar.
b. CSTR
Sumber: https://en.wikipedia.org
𝑑𝑁𝑗
Untuk reaktor CSTR, tidak adanya akumulasi, artinya = 0 dan volume
𝑑𝑡
diasumsikan tidak berubah, sehingga persamaannya menjadi:
𝐹𝑗𝑜 − 𝐹𝑗 + 𝑟𝑗 𝑉 = 0
Atau, disusun ulang menjadi:
𝐹𝑗𝑜 − 𝐹𝑗
𝑉=
−𝑟𝑗
Sifat aliran dari CSTR: continuous flow dan steady state.
𝑑𝐹𝑗
= 𝑟𝑗′
𝑑𝑊
Sifat aliran dari PBR: continuous flow dan steady state.
Terdapat pressure drop yang besar pada reaktor ini. Channeling pada aliran
gas kadang terjadi yang dapat mengakibatkan tidak efektifnya bagian-
bagian pada reaktor bed. Kelebihan dari reaktor packed-bed adalah pada
sebagian besar reaksi memberikan konversi yang tertinggi per berat katalis
pada reaktor katalitik apapun. Kelemahannya temperaturnya sulit di kontrol.
Aplikasi PBR di Industri: Industri catalytic reforming naphtha menjadi
rantai alkana bercabang, sikloalkana, dan hidrokarbon aromatik dengan
katalis Pt/Al2O3, industri pembuatan H2SO4 (kontak dengan katalis
Vanadium oksida), pembuatan HNO3, pembuatan NH3 (kontak dengan
katalis Fe), serta industri lain yang membutuhkan proses separasi
(absorpsi, stripping, distilasi).
1. 𝐹𝑗 = 𝐶𝑗 . 𝑣𝑜
2. 𝑁𝑗 = 𝐶𝑗 . 𝑉
Persamaan yang pertama dalam bentuk laju alir mol, sedangkan yang kedua
dalam mol saja
Pembahasan:
Step 1: Tulis persamaan mole balance untuk reaktor yang ada pada soal dan
persamaan pendukung yang berkorespondensi dengan soal
𝑑𝐹𝐴
= 𝑟𝐴
𝑑𝑉
𝐹𝐴 = 𝐶𝐴 𝑣𝑜
−𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴
Step 2: Substitusi persamaan pendukung ke persamaan mole balance
𝑑𝐶𝐴
𝑣𝑜 = −𝑘𝐶𝐴
𝑑𝑉
𝑣𝑜 𝑑𝐶𝐴
− ∙ = 𝑑𝑉
𝑘 𝐶𝐴
𝐶𝐴 𝑉
𝑣𝑜 𝑑𝐶𝐴
− ∫ = ∫ 𝑑𝑉
𝑘 𝐶𝐴
𝐶𝐴𝑜 𝑉𝑜
Vo = 0, sesaat sebelum reaktan memasuki reaktor. Persamaan diatas
menjadi:
𝑣𝑜 𝐶𝐴
− ∙ ln = (𝑉 − 0)
𝑘 𝐶𝐴𝑜
atau,
𝑣𝑜 𝐶𝐴𝑜
∙ ln =𝑉
𝑘 𝐶𝐴
Step 4: Input semua data yang diketahui ke dalam persamaan dari step 3
𝑣𝑜 𝐶𝐴𝑜
𝑉= ∙ ln
𝑘 𝐶𝐴
10 𝐶𝐴𝑜
𝑉= ∙ ln
0,23 0,1𝐶𝐴𝑜
Pembahasan:
Step 1: Tulis persamaan mole balance untuk reaktor yang ada pada soal dan
persamaan pendukung yang berkorespondensi dengan soal
𝐹𝐴𝑜 − 𝐹𝐴
𝑉=
−𝑟𝐴
𝐹𝐴 = 𝐶𝐴 𝑣𝑜
−𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴
𝐶𝐴𝑜 𝑣𝑜 − 𝐶𝐴 𝑣𝑜
𝑉=
𝑘𝐶𝐴
𝑣𝑜 (𝐶𝐴𝑜 − 𝐶𝐴 )
𝑉=
𝑘𝐶𝐴
Step 4: Input semua data yang diketahui ke dalam persamaan dari step 3
𝑣𝑜 (𝐶𝐴𝑜 − 0,1𝐶𝐴𝑜 )
𝑉=
𝑘(0,1𝐶𝐴𝑜 )
10 ∙ (1 − 0,1)
𝑉=
0,23 ∙ (0,1)
𝑉 = 391 𝑑𝑚3 = 391 𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟 = 0,391 𝑚3
3. Apa yang dapat dianalisis dari soal 1 (PFR) dan soal 2 (CSTR)?
Pembahasan:
Terlihat bahwa untuk memperoleh konsentrasi akhir yang sama (konversi yang
sama), volume reaktor PFR yang dibutuhkan lebih kecil dibandingkan volume
reaktor CSTR. Tentunya hal ini menjadi pertimbangan nantinya dalam
pemilihan reaktor dalam suatu industri kimia.
4. Berilah analisis kuantitatif pengaruh orde reaksi terhadap volume reaktor CSTR
Pembahasan:
𝐹𝐴𝑜 − 𝐹𝐴
𝑉=
−𝑟𝐴
𝐶𝐴𝑜 𝑣𝑜 − 𝐶𝐴 𝑣𝑜
𝑉=
𝑘𝐶𝐴2
𝑣𝑜 (𝐶𝐴𝑜 − 0,1𝐶𝐴𝑜 )
𝑉=
𝑘(0,1𝐶𝐴𝑜 )2
Terlihat bahwa untuk semua kondisi yang sama, namun orde reaksi yang lebih
besar, dapat mempengaruhi desain reaktor menjadi lebih besar.
5. Reaksi berfase gas: 𝐴 ⟶ 𝐵 + 𝐶 berlangsung secara isothermal di dalam
reaktor batch bervolume konstan, 20-dm3. Sebanyak 20 mol A murni dimasukan
ke dalam reaktor. Reaktor bersifat well-mixed.
𝑑𝑁𝐴 𝑁𝐴
= 𝑟𝐴 . 𝑉 ; 𝐶𝐴 = ; −𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴
𝑑𝑡 𝑉
1 𝑑𝑁𝐴
= −𝑘𝐶𝐴
𝑉 𝑑𝑡
𝑑𝐶𝐴
= −𝑘𝐶𝐴
𝑑𝑡
𝑑𝐶𝐴
= −𝑘 𝑑𝑡
𝐶𝐴
Step 3: Integrasi persamaan diferensial menjadi persamaan aljabar
𝐶𝐴
𝑑𝐶𝐴
∫ = −𝑘 𝑑𝑡
𝐶𝐴
𝐶𝐴𝑜
Atau,
𝐶𝐴𝑜 𝑡
𝑑𝐶𝐴
∫ = 𝑘 ∫ 𝑑𝑡
𝐶𝐴
𝐶𝐴 0
ln 𝐶𝐴𝑜 − ln 𝐶𝐴 = 𝑘𝑡
𝐶𝐴𝑜
ln = 𝑘𝑡
𝐶𝐴
Step 4: Olah data yang diketahui disoal sehingga bisa disubstitusi ke
persamaan yang diperoleh dari step 3
𝑁𝐴𝑜 20 𝑚𝑜𝑙
𝐶𝐴𝑜 = = =1𝑀
𝑉 20 𝑑𝑚3
𝑁𝐴 0,2
𝐶𝐴 = = = 0,01 𝑀
𝑉 20
𝑘 = 0,865 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 −1
Step 5: Substitusi untuk memperoleh hasil akhir
1 𝐶𝐴𝑜
𝑡= ln
𝑘 𝐶𝐴
1 1
𝑡= ln
0,865 0,01
𝑡 = 5,32 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
b. Jika reaksi ber-orde dua:
𝑑𝑁𝐴 𝑁𝐴
= 𝑟𝐴 . 𝑉 ; 𝐶𝐴 = ; −𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴2
𝑑𝑡 𝑉
𝑑𝑁𝐴
= 𝑟𝐴 . 𝑉
𝑑𝑡
1 𝑑𝑁𝐴
= −𝑘𝐶𝐴2
𝑉 𝑑𝑡
𝑑𝐶𝐴
= −𝑘𝐶𝐴2
𝑑𝑡
𝑑𝐶𝐴
= −𝑘𝑑𝑡
𝐶𝐴2
Step 3: Integrasi persamaan diferensial menjadi persamaan aljabar
𝐶𝐴 𝑡
𝑑𝐶𝐴
∫ 2 = −𝑘 ∫ 𝑑𝑡
𝐶𝐴
𝐶𝐴𝑜 0
𝐶𝐴𝑜
∫ 𝐶𝐴−2 𝑑𝐶𝐴 = 𝑘𝑡
𝐶𝐴
1 𝐶
( ) 𝐶𝐴−2+1 ⃒ 𝐶𝐴𝑜 = 𝑘𝑡
−2 + 1 𝐴
−1
−𝐶𝐴𝑜 − (−𝐶𝐴−1 ) = 𝑘𝑡
1 1
( − ) = 𝑘𝑡
𝐶𝐴 𝐶𝐴𝑜
Step 4: Olah data yang diketahui disoal sehingga bisa disubstitusi ke
persamaan yang diperoleh dari step 3
𝑁𝐴𝑜 20 𝑚𝑜𝑙
𝐶𝐴𝑜 = = =1𝑀
𝑉 20 𝑑𝑚3
𝑁𝐴 = 𝑁𝐴𝑜 − 𝑁𝐴,𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑒𝑎𝑘𝑠𝑖
𝑁𝐴 20 − 19
𝐶𝐴 = = = 0,05 𝑀
𝑉 20
𝑑𝑚3
𝑘=2
𝑚𝑜𝑙 ∙ 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
1 1 1
𝑡= ( − ) = 9,5 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
2 0,05 1
c. Jika temperatur 127oC, berapakah tekanan total mula-mulanya? dan
berapakah tekanan akhir apabila diasumsikan reaksinya sempurna?
Pembahasan:
- Tekanan total mula-mula
𝑁𝐴,𝑜
𝑃𝑡,𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝑅𝑇
𝑉
𝑃𝑡,𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝐶𝐴𝑜 𝑅𝑇
𝑃𝑡,𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝐶𝐴𝑜 𝑅𝑇
(𝑁𝐵 + 𝑁𝐶 )
𝑃𝑡,𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = 𝑅𝑇
𝑉
𝑃𝑡,𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = (𝐶𝐵 + 𝐶𝐶 )𝑅𝑇
A B C
mula-mula 1M 0 0
bereaksi -1 M +1 M +1 M
sisa 0 1M 1M
−𝑟𝑁𝑂 = 4 𝑚𝑜𝑙/𝐿𝑠
Laju pengurangan NO adalah 4 mol/sekon.
Sama dengan halnya laju pengurangan O2, hukum laju relatif bisa dituliskan :
𝑟𝑁𝑂2
= −𝑟𝑂2
2
𝑚𝑜𝑙
4 𝑠
−𝑟𝑂2 = = 2 𝑚𝑜𝑙/𝐿. 𝑠
2
Laju pengurangan O2 adalah 2 mol/L.sekon.
Contoh 2:
Diketahui reaksi sebagai berikut :
2A + 3B 5C
dan diketahui bahwa laju pengurangan B adalah sebuah konstan sebesar 3 mol
per Liter.sekon, hitung laju pengurangan A dan laju pembentukan C!
Coba selesaikan soal ini sebagai latihan…! Mudah kan, hanya mengikuti
langkah-langkah yang ada diatas…?
3. Orde Reaksi & Hukum Laju
Hukum laju yang paling umum adalah hukum laju aturan pangkat (power law).
𝛽
−𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴𝛼 𝐶𝐵
Definisinya, hukum laju diatas adalah berorde 𝛼 terhadap spesi A dan berorde
𝛽 terhadap spesi B.
Orde total reaksi = n = 𝛼 + 𝛽
a. Reaksi elementer : reaksi dari reaktan menjadi produk yang hanya memiliki
1 tahapan.
Contoh : reaksi A B, reaksi A + B C + D; dalam reaksi-reaksi ini, reaktan
langsung terkonversi menjadi produk yang bersangkutan
b. Reaksi non elementer : reaksi dari reaktan menjadi produk memiliki 2 atau
lebih tahapan.
Contoh : reaksi C D memiliki tahapan sebagai berikut
C 2A
AB
BD
c. Hukum laju elementer: sebuah reaksi dikatakan mengikuti hukum laju
elementer jika koefisien stoikiometrinya identik dengan orde reaksi setiap spesi.
Contoh :
Reaksi 2NO + O2 2NO2 adalah reaksi non-elementer, tetapi hukum lajunya:
2
−𝑟𝑁𝑂 = 𝑘𝐶𝑁𝑂 𝐶𝑂2
dengan 𝑘𝐵 dan 𝑘−𝐵 adalah konstanta laju reaksi maju dan mundur secara
berurutan. Untuk pembentukan, laju positif karena zat terbentuk sehingga
konsentrasinya bertambah.
Maka laju total spesi B adalah:
𝑟𝐵,𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝑟𝐵,𝑚𝑎𝑗𝑢 + 𝑟𝐵,𝑚𝑢𝑛𝑑𝑢𝑟
2
𝑘𝐵 𝐶𝐷,𝑒 𝐶𝐻2 ,𝑒
0 = 𝑘𝐵 𝐶𝐵,𝑒 −
𝐾𝑐
dimana konsentrasi-konsentrasi spesi diatas adalah dalam kesetimbangan.
Penyusunan persamaan diatas akan menjadi :
𝐶𝐷,𝑒 𝐶𝐻2 ,𝑒
𝐾𝑐 = 2
𝐶𝐵,𝑒
(Terbukti).
Secara umum, jika kita memiliki reaksi kesetimbangan seperti
𝑎𝐴 + 𝑏𝐵 ↔ 𝑐𝐶 + 𝑑𝐷
maka hukum lajunya adalah:
𝐶𝐶𝑐 𝐶𝐷𝑑
−𝑟𝐴 = 𝑘𝐴 𝐶𝐴𝑎 𝐶𝐵𝑏 −
𝐾𝑐
Hubungan konstanta kesetimbangan dengan energi bebas Gibbs pada
termperatur tertentu:
𝑇
Δ𝐺𝑟𝑥𝑛 = −𝑅𝑇 ln 𝐾𝑇
Untuk temperatur 25℃ = 298𝐾:
298
Δ𝐺𝑟𝑥 = −𝑅𝑇 ln 𝐾298
Biasanya data energi Gibbs yang tersedia untuk reaksi hanya pada temperatur
25℃ (298K), kecuali tersedia data energi bebas Gibbs untuk temperatur lain.
Jika kita mencari nilai Kc dan kita mengetahui nilai Kc pada temperatur tertentu,
rumus van’t Hoff bisa dipakai (asumsi Δ𝐶𝑝 = 0):
Δ𝐻𝑟𝑥 1 1
𝐾𝑐(𝑇) = 𝐾𝑐(𝑇1 ) exp ( ( − ))
𝑅 𝑇1 𝑇
𝑇
Jika Δ𝐶𝑝 ≠ 0, maka Δ𝐻𝑟𝑥 = Δ𝐻𝑟𝑥 298 + ∫298 Σ𝑣𝑖 𝐶𝑝𝑖𝑜 𝑑𝑇, dengan vi adalah
koefisien setiap spesi (ingat bahwa koefisien reaktan selalu negatif).
Biasanya, apabila tidak diketahui, kita mencari dahulu nilai Kc pada suhu
referensi (298K) dengan rumus yang ada energi gibbsnya, baru untuk mencari
nilai Kc pada suhu lain bisa pakai rumus Kc(T) = …, apabila kita sudah punya
nilai Kc pada suhu A dan ingin mencari nilai Kc pada suhu B, rumus yang energi
Gibbs tidak perlu dipakai.
Solusi:
𝑜
Ingat dulu bahwa Δ𝐺𝑟𝑥𝑛 = Σ𝑣𝑖 Δ𝐺𝑓𝑖 , dengan vi adalah koefisien tiap spesi.
Koefisien reaktan selalu negatif.
Kondisi operasi: P = 1 atm, T = 727℃ = 1000 𝐾
Reaksi: 𝐶2 𝐻6 → 𝐶2 𝐻4 + 𝐻2
Δ𝐺𝑓𝑜 𝐶2 𝐻6 = −85,79 + 168,575 × 10−3 (1000) + 268,531 × 10−7 (1000)2
𝑘𝐽
= 109,638
𝑚𝑜𝑙
Δ𝐺𝑓𝑜 𝐶2 𝐻4 = 51,75 + 493,376 × 10−4 (1000) + 182,841 × 10−7 (1000)2
𝑘𝐽
= 118,372
𝑚𝑜𝑙
ΔGf𝑜 𝐻2 = 0, untuk zat murni tidak ada perubahan energi bebas Gibbs terhadap
referensi.
Maka, Δ𝐺𝑟𝑥𝑛 = Δ𝐺𝑓𝑜 𝐶2 𝐻4 − Δ𝐺𝑓𝑜 𝐶2 𝐻6 − Δ𝐺𝑓𝑜 𝐻2 = 118,372 − 109,638 =
𝐽
8773,6 𝑚𝑜𝑙
1000𝐾
−𝑅𝑇 ln 𝐾1000𝐾 = Δ𝐺𝑟𝑥𝑛
−8,314 (1000) ln 𝐾 = 8773,6
𝐾 = 2,86
Hubungan konstanta laju reaksi dengan temperatur (Pers. Arrhenius)
𝐸𝑎
𝑘(𝑇) = 𝐴 exp (− )
𝑅𝑇
k = konstanta laju reaksi, menunjukkan jumlah tumbukan molekul akibat
reaksi
A = faktor pre-eksponensial/faktor frekuensi, menunjukkan jumlah
tumbukan
𝐸
Faktor exp (− 𝑅𝑇𝑎 ) menunjukkan probabilitas terjadinya tumbukan akibat
reaksi
Ea = besar energi aktivasi, energi minimum yang harus dimiliki molekul
agar reaksi bisa terjadi (J/mol)
R = konstan gas universal = 8.314 J/mol.K
T = temperatur (K)
Jika persamaan diatas kita logaritma naturalkan kedua sisinya, maka akan
membentuk persamaan linier :
𝐸 1
ln 𝑘 = ln 𝐴 − ( )
𝑅 𝑇
𝑦= 𝑏 + 𝑚𝑥
Sumbu x adalah kebalikan dari T dan sumbu y adalah ln k. Persamaan ini bisa
digunakan untuk mencari nilai energi aktivasi dan konstanta A apabila kita
memiliki data konstanta reaksi terhadap suhu.
Contoh Soal 4:
Diketahui data konstanta reaksi terhadap temperatur dari reaksi dekomposisi
benzene diazonium klorida membentuk klorobenzena dan N 2 adalah sebagai
berikut:
k (s-1) T (K)
0.00043 313.0
0.00103 319.0
0.00180 323.0
0.00355 328.0
0.00717 333.0
𝐸 1 1
𝑘(𝑇) = 𝑘(𝑇0 ) exp ( ( − ))
𝑅 𝑇0 𝑇
b) Determine the activation energy and frequency factor from the following data:
Solusi:
a) Karena terjadi perubahan laju reaksi akibat perubahan temperatur,
pastilah yang berubah adalah konstanta laju reaksi, karena hanya
konstanta laju reaksi yang bergantung pada temperatur (ingat bahwa –r =
k Ca Cb …, konsentrasi tidak bergantung pada temperatur!). Maka, konstanta
laju reaksilah yang menjadi 2 kali besar konstanta laju reaksi awal pada saat
penambahan temperatur sebesar 10oC. Tulis ulang persamaan
𝐸 1 1
𝑘(𝑇) = 𝑘(𝑇0 ) exp ( ( − ))
𝑅 𝑇0 𝑇
Karena kita tahu bahwa k(T) = 2k(T0) dan T = (T0 + 10), maka kita bisa
substitusikan ke persamaan diatas.
𝐸 1 1
2𝑘(𝑇0 ) = 𝑘(𝑇0 ) exp ( ( − ))
𝑅 𝑇0 𝑇0 + 10
𝐸 1 1
2 = exp ( ( − ))
𝑅 𝑇0 𝑇0 + 10
58𝐸
10 ± √100 + 𝑅
𝑇1,2 =
2
Ambil nilai positifnya saja (yakni yang 10 + …/2)
58𝐸
10 + √100 + 𝑅 1 58𝐸
𝑇= = 5 + √100 + 𝐾
2 2 𝑅
b) Karena kita hanya punya 2 buah data, kita bisa langsung menggunakan
persamaan
𝐸 1 1
𝑘(𝑇) = 𝑘(𝑇0 ) exp ( ( − ))
𝑅 𝑇0 𝑇
𝑘 𝐸 1 1
= exp ( ( − ))
𝑘(𝑇0 ) 𝑅 𝑇0 𝑇
Sehingga mol B yang tersisa dan mol C dan D yang terbentuk berturut-turut
adalah :
𝑏
𝑁𝐵 = 𝑁𝐵0 − × 𝑁𝐴0 𝑋
𝑎
𝑐
𝑁𝐶 = 𝑁𝐶0 + × 𝑁𝐴0 𝑋
𝑎
𝑑
𝑁𝐷 = 𝑁𝐷0 + × 𝑁𝐴0 𝑋
𝑎
Jika ditabulasi akan menjadi :
Untuk membuat nilai mol awal spesi B, C, D dalam variabel mol awal A, kita
𝑁
definisikan variabel Θi = 𝑁 𝑖0
𝐴0
Contoh :
𝑏
Nilai 𝑁𝐵 = 𝑁𝐵0 − 𝑎 × 𝑁𝐴0 𝑋 bisa kita tuliskan sebagai:
𝑁𝐵0 𝑏
𝑁𝐵 = 𝑁𝐴0 ( ) − × 𝑁𝐴0 𝑋
𝑁𝐴0 𝑎
𝑏
𝑁𝐵 = 𝑁𝐴0 Θ𝐵 − × 𝑁𝐴0 𝑋
𝑎
Dengan demikian, kita bisa menyelesaikan stoikiometri suatu reaksi hanya
dengan variabel mol A awal, konversi, dan koefisien stoikiometri saja. Coba
turunkan sendiri NC dan ND dalam bentuk Θ𝐶 dan Θ𝐷 , kemudian isi tabel paling
atas yang masih kosong.
Kita bisa buat stoikiometri di atas dalam bentuk konsentrasi, bagi saja dengan
V. Untuk reaktor batch (baik fasa gas maupun cair), volume konstan (V = V0)
sehingga:
𝑁𝐴 𝑁𝐴0 (1 − 𝑋)
𝐶𝐴 = = = 𝐶𝐴0 (1 − 𝑋)
𝑉 𝑉0
Coba turunkan sendiri untuk menghitung konsentrasi B, C, D dalam fasa cair
sebagai fungsi dari nilai konsentrasi A awal dan konversi. Hasil tabulasinya
adalah sebagai berikut:
Untuk fasa gas, jika reaktor batch dapat mengalami perubahan volume, kita
harus mengetahui bahwa perubahan mol (akibat koefisien stoikiometri) total
suatu sistem akan membuat tekanan dan volume sistem menjadi berubah. Maka
dari itu, kita harus menghitung perubahan volume akibat perubahan jumlah mol
dalam sistem.
Ingat bahwa hukum gas pada waktu t:
𝑃𝑉 = 𝑍𝑁𝑇 𝑅𝑇
dengan Z adalah faktor kompresibilitas.
Korelasi yang sama pada waktu awal:
𝑃0 𝑉0 = 𝑍0 𝑁𝑇0 𝑅𝑇0
Bagi kedua persamaan, susun ulang maka akan didapatkan:
𝑃0 𝑇 𝑍 𝑁𝑇
𝑉 = 𝑉0 ( ) ( ) ( ) ( )
𝑃 𝑇0 𝑍0 𝑁𝑇0
Dari tabel yang sudah diisi sebelumnya, didapatkan 𝑁𝑇 = 𝑁𝑇0 + 𝛿𝑁𝐴0 𝑋. Bagi
dengan NT0 untuk mendapatkan:
𝑁𝑇
= 1 + 𝛿𝑦𝐴0 𝑋
𝑁𝑇0
𝑁
Definisikan: 𝜖 = 𝑦𝐴0 𝛿, maka 𝑁 𝑇 = 1 + 𝜖𝑋, sehingga:
𝑇0
𝑃0 𝑇 𝑍
𝑉 = 𝑉0 (1 + 𝜖𝑋) ( ) ( ) ( )
𝑃 𝑇0 𝑍0
Untuk sistem dengan tekanan tidak terlalu tinggi (mendekati ideal), nilai Z tidak
𝑍
banyak berubah sehingga 𝑍 ≈ 1.
0
Sebagai contoh, untuk menghitung konsentrasi A fasa gas pada sistem batch:
𝑁𝐴 𝑁𝐴0 (1 − 𝑋) 𝑃 𝑇0 𝐶𝐴0 (1 − 𝑋) 𝑃 𝑇0
𝐶𝐴 = = ( )( ) = ( )( )
𝑉 𝑉0 (1 + 𝜖𝑋) 𝑃0 𝑇 (1 + 𝜖𝑋) 𝑃0 𝑇
Coba turunkan sendiri untuk menghitung konsentrasi B, C, dan D kemudian
tabulasikan seperti diatas (atau lihat tabel di Fogler). Jika pressure drop
𝑃 𝑇
diabaikan, maka 0 ≈ 1; jika sistem isothermal maka ≈ 1, sehingga:
𝑃 𝑇0
𝐶𝐴0 (1 − 𝑋)
𝐶𝐴 =
(1 + 𝜖𝑋)
Perlu diingat, apabila pada fasa gas, menghitung 𝐶𝐴0 bisa dari rumus gas
ideal, begitu pula konsentrasi total.
𝑃𝐴0
𝐶𝐴0,𝑔𝑎𝑠 =
𝑅𝑇0
𝑃0
𝐶𝑇0,𝑔𝑎𝑠 =
𝑅𝑇0
Biasanya untuk reaktor batch volume selalu dianggap konstan baik fasa
cair maupun gas. Pada sistem aliran volume gas berubah jika koefisien
stoikiometri produk dan reaktan tidak sama.
II. Sistem Aliran
Untuk sistem aliran, penurunan rumusnya sama saja, hanya saja N (mol) diganti
semua dengan F (laju alir mol), dan V (volume) diganti dengan v (laju alir
volumetric). Sebagai contoh, Laju alir mol B setelah reaksi adalah:
𝑏
𝐹𝐵 = 𝐹𝐴0 Θ𝐵 − 𝐹𝐴0 𝑋
𝑎
dan konsentrasi pada fasa cair adalah (ingat bahwa pada fasa cair, laju alir
volumetric adalah konstan, sama seperti volume biasa):
𝑏
𝐹𝐴0 Θ𝐵 − 𝑎 𝐹𝐴0 𝑋 𝑏 𝑏
𝐶𝐵 = = 𝐶𝐴0 Θ𝐵 − 𝐶𝐴0 𝑋 = 𝐶𝐴0 (Θ𝐵 − 𝑋)
𝑣0 𝑎 𝑎
Konsentrasi B pada fasa gas adalah:
𝑏
𝐹𝐴0 Θ𝐵 − 𝑎 𝐹𝐴0 𝑋
𝐶𝐵 =
𝑣
Seperti penurunan sebelumnya, besar nilai v pada fasa gas adalah:
𝑃0 𝑇 𝑍
𝑣 = 𝑣0 (1 + 𝜖𝑋) ( ) ( ) ( )
𝑃 𝑇0 𝑍0
Dengan asumsi bahwa faktor kompresibilitas tidak berubah secara signifikan,
maka konsentrasi B pada fasa gas adalah:
𝑏 𝑏
𝐹𝐵 𝐹𝐴0 (Θ𝐵 − 𝑎 𝑋) 𝑃 𝑇0 𝐶𝐴0 (Θ𝐵 − 𝑎 𝑋) 𝑃 𝑇0
𝐶𝐵 = = ( )( ) = ( )( )
𝑣 𝑣0 (1 + 𝜖𝑋) 𝑃0 𝑇 (1 + 𝜖𝑋) 𝑃0 𝑇
Seandainya pressure drop bisa diabaikan dan sistemnya isothermal, maka
konsentrasi B pada fasa gas adalah:
𝑏
𝐶𝐴0 (Θ𝐵 − 𝑎 𝑋)
𝐶𝐵 =
(1 + 𝜖𝑋)
Coba turunkan sendiri konsentrasi A, C, D pada fasa gas sistem aliran!
Perlu diingat, apabila pada fasa gas, menghitung 𝐶𝐴0 bisa dari rumus gas
ideal, begitu pula konsentrasi total.
𝑃𝐴0
𝐶𝐴0,𝑔𝑎𝑠 =
𝑅𝑇0
𝑃0
𝐶𝑇0,𝑔𝑎𝑠 =
𝑅𝑇0
Tabulasi untuk stoikiometri sistem aliran dapat dirangkum seperti tabel berikut:
Dari rumus diatas, kita bisa langsung menghitung konsentrasi gliserin hanya
dengan data koefisien stoikiometri dan konsentrasi awal NaOH.
𝐶
Karena konsentrasi awal gliserin (produk) tidak ada 𝐶𝐷0 = 0, maka Θ𝐷 = 𝐶𝐷0 = 0.
𝐴0
𝐶 2
Θ𝐵 = 𝐶𝐵0 = 10
𝐴0
a) X = 20%
𝑋 0.2
𝐶𝐷 = 𝐶𝐴0 ( ) = 10 ( ) = 0.67 𝑚𝑜𝑙/𝐿
3 3
Konsentrasi gliseril stearate yang tersisa
𝑋
𝐶𝐵 = 𝐶𝐴0 (Θ𝐵 − )
3
2 0,2
𝐶𝐵 = 10 ( − ) = 1,33 𝑚𝑜𝑙/𝐿
10 3
b) X = 90%
0,9
𝐶𝐷 = 10 ( ) = 3 𝑚𝑜𝑙/𝐿
3
Konsentrasi gliseril stearate yang tersisa
2 0,9
𝐶𝐵 = 10 ( − ) = −0,1 𝑚𝑜𝑙/𝐿
10 3
Konsentrasi negatif adalah hal yang tidak mungkin, dan perhitungan ini
disebabkan karena limiting reactant (yang harusnya menjadi basis) bukanlah
NaOH, tetapi gliseril stearate. Sehingga, seharusnya kita melakukan perhitungan
berdasarkan konversi gliseril stearate
(𝐶17 𝐻35 𝐶𝑂𝑂)3 𝐶3 𝐻5 + 3𝑁𝑎𝑂𝐻 → 3𝐶17 𝐻35 𝐶𝑂𝑂𝑁𝑎 + 𝐶3 𝐻5 (𝑂𝐻)3
Contoh Soal 7:
Campuran 28% SO2 dan 72% udara dimasukkan ke dalam reaktor kontinu
(mengalir) dimana SO2 akan teroksidasi:
2𝑆𝑂2 + 𝑂2 → 2𝑆𝑂3
Hitunglah konsentrasi masing-masing spesi sebagai fungsi dari konversi!
Diketahui tekanan total adalah konstan sebesar 1485 kPa dan temperatur
konstan = 227oC.
Solusi:
Reaksi ini terjadi pada fasa gas dan sistem aliran, sehingga volume berubah
seiring berjalannya reaksi.
Ambil basis adalah 𝑆𝑂2, sehingga kita bagi reaksi di atas menjadi:
1
𝑆𝑂2 + 𝑂2 → 𝑆𝑂3
2
dengan A = SO2, B = O2, C = SO3, I = N2
𝐹𝐴0 = 0.28 𝐹𝑇0
Udara mengandung 21% Oksigen dan sisanya nitrogen, sehingga laju alir
oksigen pada campuran adalah 𝐹𝐵0 = (0,21)(0,72) 𝐹𝑇0. Laju alir nitrogen adalah
𝐹𝐼0 = (0,79)(0,72)𝐹𝑇0 .
𝐹 (0,21)(0,72) (0,79)(0,72)
Maka, Θ𝐵 = 𝐹𝐵0 = = 0,54 dan Θ𝐼 = = 2,03.
𝐴0 (0,28) 0,28
Menghitung konsentrasi:
𝐹𝐴
𝐶𝐴 =
𝑣
Ingat untuk sistem mengalir, v adalah:
𝑃0 𝑇 𝑍
𝑣 = 𝑣0 (1 + 𝜖𝑋) ( ) ( ) ( )
𝑃 𝑇0 𝑍0
Karena sistem dianggap ideal, tidak ada perubahan faktor kompresibilitas, selain
itu temperatur dan tekanan dianggap konstan sehingga persamaan diatas
menjadi:
𝑣 = 𝑣0 (1 + 𝜖𝑋)
dengan X adalah konversi SO2 dan 𝜖 = 𝑦𝐴0 𝛿. 𝑦𝐴0 adalah fraksi mol zat A pada
campuran awal.
𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑆𝑂3 𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑂2
𝛿= − (1 + )
𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑆𝑂2 𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑆𝑂2
1 1
𝛿 = 1 − (1 + ) = −
2 2
Karena pada kondisi awal zat A (SO2) molnya 28% dari mol total awal, maka
𝑦𝐴0 = 0,28.
1
𝜖 = (0,28) (− ) = −0,14
2
Konsentrasi A adalah:
𝐹𝐴 𝐹𝐴0 (1 − 𝑋) 𝐶𝐴0 (1 − 𝑋)
𝐶𝐴 = = =
𝑣 𝑣0 (1 + 𝜖𝑋) 1 + 𝜖𝑋
Turunkan sendiri nilai-nilai CB, CC, CI.
Darimana kita dapat 𝐶𝐴0 ? Nilai 𝐶𝐴0 kita dapatkan dari hukum gas ideal.
𝐹𝑇0 𝑃0 1485 𝑚𝑜𝑙
𝐶𝑇0 = = = = 0,357
𝑣0 𝑅𝑇0 8,314 × 500 𝑑𝑚3
𝐶𝐴0 = 𝑦𝐴0 𝐶𝑇0
𝑚𝑜𝑙
𝐶𝐴0 = 0,28 × 0,357 = 0,1
𝐿
Maka didapatkan:
𝐶𝐴0 (1 − 𝑋) 0,1(1 − 𝑋)
𝐶𝐴 = =
1 + 𝜖𝑋 1 − 0,14𝑋
1 1
𝐶𝐴0 (Θ𝐵 − 2 𝑋) 0,1 (0,54 − 2 𝑋)
𝐶𝐵 = =
1 + 𝜖𝑋 1 − 0,14𝑋
1 1
𝐶𝐴0 (Θ𝐶 + 2 𝑋) 0,1 (0 + 2 𝑋)
𝐶𝐶 = =
1 + 𝜖𝑋 1 − 0,14𝑋
𝐶𝐴0 (Θ𝐼 ) 0,1(2,03)
𝐶𝐼 = =
1 + 𝜖𝑋 1 − 0,14𝑋
Bisa kita lihat disini bahwa konsentrasi inert berubah-ubah sesuai konversi,
padahal mol inert tidak berubah. Hal ini disebabkan karena laju alir volumetric
sistem yang berubah sehingga konsentrasi inert (walaupun molnya tetap) juga
tetap akan berubah.
Chapter 5
Collection and Analysis of Rate Data
Penting: Output dari chapter ini
1. Dapat menghitung orde reaksi setiap spesies maupun total, konstanta
laju reaksi, waktu paruh (karakter/parameter laju reaksi) dengan metode-
metode yang ada
2. Dapat menggunakan software POLYMATH atau Microsoft Excel dalam
menganalisis karakter suatu reaksi (orde reaksi, konstanta laju reaksi, dll)
Demi pemahaman yang lebih baik pada chapter 5, sebaiknya teman-
teman sudah memahami chapter sebelumnya: rate law & stoichiometry.
Pada chapter ini terdapat 5 metode untuk menganalisis data laju reaksi yang
diperoleh (collection) dari suatu percobaan. Semua metode berawal pada
𝑑𝐶𝐴
persamaan dasar, −𝑟𝐴 = − = 𝑘𝐶𝐴𝛼 , Adapun 5 metode tersebut yaitu:
𝑑𝑡
𝑑𝐶𝐴
𝐼𝑛 (− ) = 𝛼 𝐼𝑛𝐶𝐴 + 𝐼𝑛 𝑘𝐴
𝑑𝑡
Pada metode diferensial, orde reaksi merupakan slope/gradient dari
persamaan yang dibentuk. Pada metode ini perubahan konsentrasi satu
senyawa dari awal reaksi sampai dengan reaksi mendekati sempurna
diamati pada rentang waktu tertentu.
2𝛼−1 − 1
𝐼𝑛𝑡1 = (1 − 𝛼)𝐼𝑛𝐶𝐴𝑜 + 𝐼𝑛
2 (𝛼 − 1)𝑘
𝑑𝐶𝐴
𝐼𝑛 (− ) = 𝛼 𝐼𝑛𝐶𝐴,𝑜 + 𝐼𝑛 𝑘𝐴
𝑑𝑡 𝑜
Metode laju inisial pada dasarnya merupakan metode diferensial. Orde
reaksi pada metode laju inisial juga merupakan slope/gradient dari
persamaan yang dibentuk, sama seperti pada metode diferensial.
𝐴+𝐵 ⟶𝐶+𝐷
Sehingga hukum lajunya:
𝑑𝐶𝐴 𝛽
− = −𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴𝛼 𝐶𝐵
𝑑𝑡
Bentuk regresinya:
𝑑𝐶𝐴
𝐼𝑛 (− ) = 𝐼𝑛(𝑘) + 𝛼𝐼𝑛(𝐶𝐴 ) + 𝛽𝐼𝑛(𝐶𝐵 )
𝑑𝑡
Regresi diatas disebut dengan regresi linear berganda (multiple linear
regression). Disebut linear berganda karena ada beberapa variable
peubah, dalam hal ini konsentrasi A dan konsentrasi B, yang masing-
masing memiliki slope/gradient. Metode inisial rate juga dapat
diaplikasikan menggunakan metode regresi. Bedanya hanya terletak
pada variable 𝐶𝐴𝑜 dan 𝐶𝐵𝑜 .
Khusus untuk metode regresi akan diajarkan disaat asistensi
dilaksanakan. Pastikan membawa kalkulator scientific dan laptop yang
sudah terinstall software POLYMATH.
Step 1: Tulis persamaan mole balance untuk reaktor yang ada pada soal
dan persamaan pendukung yang berkorespondensi dengan soal
𝑑𝑁𝐴
= 𝑟𝐴 . 𝑉 ; −𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴𝛼
𝑑𝑡
Step 2: Kombinasikan persamaan tersebut
𝑑𝐶𝐴
− = −𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴𝛼
𝑑𝑡
Step 3: Ubah petunjuk kualitatif menjadi suatu persamaan
(petunjuk dari soal: Reaktor batch, isotermal, volume konstan, dan
umpan A murni)
𝑃𝑜 𝑇
𝑉 = 𝑉𝑜 ( ) (1 + 𝜀𝑋) ( )
𝑃 𝑇𝑜
𝑃𝑜
1 = 1 ( ) (1 + 𝜀𝑋)
𝑃
1 𝑃
𝑋 = ( − 1)
𝜀 𝑃𝑜
atau,
(𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝑋=
𝜀𝑃𝑜
dimana,
(𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝑋=
𝑃
𝑦𝐴𝑜 . 𝛿. 𝐴𝑜
𝑦𝐴𝑜
(𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝑋=
𝛿. 𝑃𝐴𝑜
Step 4: Ubah variabel 𝐶𝐴 menjadi fungsi dari tekanan dengan menginput X
dari step 3, dan lakukan penataulangan
𝐶𝐴 = 𝐶𝐴𝑜 − 𝐶𝐴𝑜 𝑋
𝐶𝐴 = 𝐶𝐴𝑜 (1 − 𝑋)
(𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝐶𝐴 = 𝐶𝐴𝑜 [1 − ]
𝛿. 𝑃𝐴𝑜
𝐶𝐴𝑜 𝛿. 𝑃𝐴𝑜 − (𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝐶𝐴 = [ ]
𝑃𝐴𝑜 𝛿
𝐶𝐴𝑜 1
=
𝑃𝐴𝑜 𝑅𝑇
1 (𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝐶𝐴 = [𝑃𝐴𝑜 − ]
𝑅𝑇 𝛿
Step 5: Hitung nilai 𝛿 dan input ke persamaan yang didapat pada step 4
1+2−1
𝛿= =2
1
1 (𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝐶𝐴 = [𝑃𝐴𝑜 − ]
𝑅𝑇 2
1 (𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝐶𝐴 = [𝑦𝐴𝑜 𝑃𝑜 − ]
𝑅𝑇 2
1 𝑃𝑜 𝑃
𝐶𝐴 = [𝑃𝑜 + − ]
𝑅𝑇 2 2
3𝑃𝑜 − 𝑃
𝐶𝐴 = [ ]
2𝑅𝑇
𝑑𝐶𝐴
− = 𝑘𝐶𝐴𝛼
𝑑𝑡
3𝑃𝑜 − 𝑃 𝛼
𝑑[ ]
− 2𝑅𝑇 = 𝑘 [ 3𝑃𝑜 − 𝑃]
𝑑𝑡 2𝑅𝑇
𝑑[𝑃] 2𝑅𝑇
[(0) − (− )] = 𝑘 𝛼
[ 3𝑃𝑜 − 𝑃]𝛼
𝑑𝑡 2𝑅𝑇
𝑑𝑃
= 𝑘 (2𝑅𝑇)1−𝛼 [ 3𝑃𝑜 − 𝑃]𝛼
𝑑𝑡
Step 7: Lakukan permisalan untuk mempermudah
𝑘 ′ = 𝑘 (2𝑅𝑇)1−𝛼 sehingga didapat persamaan
𝑑𝑃
= 𝑘 ′ [ 3𝑃𝑜 − 𝑃]𝛼
𝑑𝑡
Perhatian: pastikan semua permisalan hanya mengandung
variable yang nilainya konstan (tidak boleh ada variable
yang nilainya berubah-ubah)
Step 8: Setiap ruas dari persamaan pada step 6 dikalikan dengan logaritma
natural
𝑑𝑃
ln ( ) = 𝛼 ln(3𝑃𝑜 − 𝑃) + ln 𝑘 ′
𝑑𝑡
𝑦 = 𝑎𝑥 +𝑏
dP
Step 9: Plot ln sebagai sumbu-y versus ln(3𝑃𝑜 − 𝑃)sebagai sumbu-x
dt
Nilai dP/dt didapat dari turunan persamaan P vs t menggunakan
software Ms.Excel
Hasil plot P vs t:
𝑃 = −5𝑥10−5 𝑡 4 + 0,0028𝑡 3 − 0,0718𝑡 2 + 1,3125𝑡 + 7,5272
Sehingga dP/dt:
𝑑𝑃
= −0,0002𝑡 3 + 0,0084𝑡 2 − 0,1436𝑡 + 1,3125
𝑑𝑡
t (menit) dP/dt In(dP/dt) 3Po-P In(3Po-P)
0 1.313 0.272 15 2.708
2.5 1.003 0.003 12 2.485
5 0.780 -0.249 10 2.303
10 0.517 -0.661 6.7 1.902
15 0.374 -0.985 4.6 1.526
20 0.201 -1.607 3.1 1.131
In(dP/dt) VS In(3Po-P)t
0.500
0.000
0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000
-0.500
In(dP/dt)
y = 1.1427x - 2.8338
R² = 0.9926
-1.000
-1.500
-2.000
In(3Po-P)
2. Buktikan dengan metode integral bahwa orde reaksi pada soal sebelumnya -
reaksi dekomposisi ditersier butyl peroksida - merupakan reaksi orde satu.
𝑑𝑃
= 𝑘 ′ [ 3𝑃𝑜 − 𝑃]𝛼
𝑑𝑡
Step 1: asumsikan 𝛼 = 1, lakukan penata-ulangan dan integrasi
𝑑𝑃
= 𝑘 ′ 𝑑𝑡
3𝑃𝑜 − 𝑃
Atau,
𝑃 𝑡
𝑑𝑃
∫ = 𝑘 ′ ∫ 𝑑𝑡
3𝑃𝑜 − 𝑃
𝑃𝑜 0
Misal:
𝑈 = 3𝑃𝑜 − 𝑃
𝑑𝑈
= −1 ⟺ −𝑑𝑈 = 𝑑𝑃
𝑑𝑃
𝑃 𝑡
𝑑𝑈
∫ = −𝑘 ′ ∫ 𝑑𝑡
𝑈
𝑃𝑜 0
ln 𝑈⃒𝑃𝑃𝑜 = −𝑘 ′ 𝑡
ln(3𝑃𝑜 − 𝑃) − ln( 3𝑃𝑜 − 𝑃𝑜 ) = −𝑘 ′ 𝑡
ln(3𝑃𝑜 − 𝑃)/( 2𝑃𝑜 ) = −𝑘 ′ 𝑡
2𝑃𝑜
ln( ) = 𝑘′𝑡
3𝑃𝑜 − 𝑃
2𝑃𝑜
Step 2: Plot ln( ) sebagai sumbu y versus t sebagai sumbu x
3𝑃𝑜 −𝑃
Tekanan
Time
Total 2Po/3Po-P In(2Po/3Po-P)
(menit)
(mmHg)
0 7,5 1,00 0
2,5 10,5 1,25 0,22
5 12,5 1,50 0,41
10 15,8 2,24 0,81
15 17,9 3,26 1,18
20 19,4 4,84 1,58
In(2Po/3Po-P) vs Waktu
2.00
In(2Po/3Po-P)
1.50
1.00
y = 0.0782x + 0.0146
0.50 R² = 0.9997
0.00
0 5 10 15 20 25
Waktu (menit)
Terlihat pada grafik nilai varians R2 = 0,9997; semakin dekat nilai varians ke 1
maka hasil asumsi untuk orde reaksi pada step 1 dikatakan cocok atau fit.
(Terbukti).
3. Dekomposisi fase gas A⟶ B + 2C, dilangsungkan pada reaktor batch
bervolume konstan. Percobaan 1-5 dilangsungkan pada temperatur 100 oC,
sementara itu percobaan 6 dilangsungkan pada temperatur yang berbeda yaitu
110oC. Berikut hasil percobaan yang berhasil tercatat.
a) Hitunglah orde reaksi, konstanta laju reaksi dan bentuk persamaan laju
reaksi
b) Berapa nilai energi aktivasi pada reaksi ini
2𝛼−1 − 1
𝐼𝑛𝑡1 = (1 − 𝛼)𝐼𝑛𝐶𝐴𝑜 + 𝐼𝑛
2 (𝛼 − 1)𝑘
Analisis: reaksi yang dilangsungkan pada kondisi yang sama adalah
percobaan 1-5. Sehingga, percobaan 1-5 digunakan untuk mencari orde
reaksinya dan konstanta laju reaksi pada tempratur 100oC. Sedangkan,
percobaan keenam digunakan untuk mendapatkan nilai energi aktivasi
akibat perubahan temperatur.
0.67 1.00
0.26 0.50
0.00
-5.00 -4.00 -3.00 -2.00 -1.00 0.00
Konsentasri awal (mol/L)
2𝛼−1 − 1
𝐼𝑛𝑡1 = (1 − 𝛼)𝐼𝑛𝐶𝐴𝑜 + 𝐼𝑛
2 (𝛼 − 1)𝑘
𝐼𝑛𝑡1 = −1,0129𝐼𝑛𝐶𝐴𝑜 − 2,3529
2
Step 3: Hitung orde reaksi, konstanta laju reaksi, dan bentuk persamaan
laju reaksi
- Orde reaksi
(1 − 𝛼) = −1,0129
𝛼 = 2,0129 ≈ 2
- Konstanta laju reaksi (100oC)
2𝛼−1 − 1
𝐼𝑛 = −2,3529
(𝛼 − 1)𝑘
22−1 − 1
𝐼𝑛 = −2,3529
(2 − 1)𝑘
22−1 − 1
= 𝑒 −2,3529
(2 − 1)𝑘
1
𝑘(100𝑜 𝐶) = −2,3529 = 𝑒 2,3529 = 10,516 𝑀−1 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 −1
𝑒
- Persamaan laju reaksi (100oC)
𝑑𝐶𝐴
− = 10,516 𝐶𝐴2 𝑀/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
𝑑𝑡
b) Step 1: Input data percobaan ke-6 ke persamaan dibawah ini untuk
mendapatkan nilai k pada T=110oC
2𝛼−1 − 1
𝐼𝑛𝑡1 = (1 − 𝛼)𝐼𝑛𝐶𝐴𝑜 + 𝐼𝑛
2 (𝛼 − 1)𝑘
22−1 − 1
𝐼𝑛 2 = (1 − 2)𝐼𝑛(0,025) + 𝐼𝑛
(2 − 1)𝑘
𝐼𝑛 2 = 3,688 − 𝐼𝑛(𝑘)
𝐼𝑛(𝑘) = 3,688 − 0,693 ≈ 3
𝑘(110𝑜𝐶) = 𝑒 3 ≈ 20 𝑀−1 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 −1
Step 2: Hitung energi aktivasi menggunakan persamaan Arhenius, dan
pastikan semua satuan sudah dalam satuan yang seharusnya
𝑘2 𝐸𝑎 1 1
𝐼𝑛 ( )= − ( − )
𝑘1 𝑅 𝑇2 𝑇1
20 𝐸𝑎 1 1
𝐼𝑛 ( )= − ( − )
10,516 𝐽 (110 + 273)𝐾 (100 + 273)𝐾
8,314
𝑚𝑜𝑙. 𝐾
𝐸𝑎 1 1
𝐼𝑛(1,902) = − ( − )
8,314 (383) (373)𝐾
8,314 𝑥 𝐼𝑛(1,902)
𝐸𝑎 = −
1 1
( − )
(383) (373)𝐾
CAo
0,1 0,5 1,0 2,0 4,0
(mol HBr/L)
-rA x 102
0,073 0,70 1,84 4,86 12,84
(mol HBr/m2.h)
𝑑𝐶𝐴
𝐼𝑛 (− ) = 𝛼 𝐼𝑛(𝐶𝐴,𝑜 ) + 𝐼𝑛 𝑘𝐴
𝑑𝑡 𝑜
Analisis: Data yang diketahui adalah pengaruh konsentrasi awal HBr
terhadap laju proses etching. Sehingga, soal ini dapat
diselesaikan menggunakan metode laju inisial
Step 1: Cari nilai In(-rA) dan In(CA,o), kemudian plot pada grafik
In(-rA) vs In(CAo)
3
2
y = 1.4011x + 0.6107
R² = 1 1
In(-rA)
0
-2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2
-1
-2
-3
In(CAo)
𝐸 + 𝑆 ⇌ 𝐸. 𝑆
𝐸. 𝑆 + 𝑊 ⟶ 𝑃 + 𝐸
Dimana, E, S, W, E.S, dan P, masing-masing adalah enzim, substrat, air,
complex enzim-substrat dan produk.
k1,k2, merupakan konstanta laju bolak balik untuk reaksi pertama.
Sedangkan, k3 adalah konstanta laju untuk reksi pembentukan produk.
Dari mekanisme reaksi diatas,
- laju reaksi hilangnya substrate, −𝑟𝑠 ,
−𝑟𝑠 = 𝑘1 (𝐸)(𝑆) − 𝑘2 (𝐸. 𝑆)
- laju reaksi total pembentukan enzim-substrat, 𝑟𝐸.𝑆
𝑟𝐸.𝑆 = 𝑘1 (𝐸)(𝑆) − 𝑘2 (𝐸. 𝑆) − 𝑘3 (𝑊)(𝐸. 𝑆)
- Total enzim yang ada pada reaksi, 𝐸𝑡 adalah jumlah E yang tersisa dan
E yang sudah berikatan dengan substrat
𝐸𝑡 = 𝐸 + 𝐸. 𝑆
Atau jika disusun ulang,
𝐸 = (𝐸𝑡 − 𝐸. 𝑆)
- Substitusi nilai E ke persamaan laju reaksi total pembentukan enzim-
substrat:
𝑟𝐸.𝑆 = 𝑘1 (𝐸𝑡 − 𝐸. 𝑆)(𝑆) − 𝑘2 (𝐸. 𝑆) − 𝑘3 (𝑊)(𝐸. 𝑆)
Pembahasan:
Karena reaksi diatas mirip dengan penurunan reaksi pada teori chapter 7 yang mana
reaksinya tidak ada konsentrasi inhibitor, maka persamaan michaelis-menten diatas
dapat digunakan.
𝑉𝑚𝑎𝑥 (𝑆)
−𝑟𝑠 =
(𝑆) + 𝐾𝑚
Dapat disusun menjadi
1 (𝐶𝑢𝑟𝑒𝑎 ) + 𝐾𝑚
=
−𝑟𝑢𝑟𝑒𝑎 𝑉𝑚𝑎𝑥 (𝐶𝑢𝑟𝑒𝑎 )
1 𝐾𝑚 1 1
= ( )+
−𝑟𝑢𝑟𝑒𝑎 𝑉𝑚𝑎𝑥 𝐶𝑢𝑟𝑒𝑎 𝑉𝑚𝑎𝑥
Persamaan diatas merupakan persamaan linear, sehingga dapat dibentuk suatu
1 1
persamaan garis dengan plot 𝑣𝑒𝑟𝑠𝑢𝑠 (𝐶 ) dengan menggunakan Microsoft
−𝑟𝑢𝑟𝑒𝑎 𝑢𝑟𝑒𝑎
Excel.
Demi pemahaman yang lebih baik pada chapter 10, sebaiknya teman-teman
sudah memahami chapter sebelumnya: Collection & Analysis of Rate Data.
7. Mekanisme Reaksi
Mekanisme reaksi adalah suatu rangkaian ‘reaksi antara’ yang menjelaskan
bagaimana produk akhir reaksi dapat terbentuk dari reaktannya. Umumnya,
suatu mekanisme reaksi yang dikatalisis melalui tiga tahapan berikut: adsorpsi,
reaksi- permukaan (surface reaction), dan desorpsi.
𝑨+𝑩→ 𝑪+𝑫
- Kemungkinan Pertama
𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐴 + 𝑆 ⇌ 𝐴𝑆
𝐵 + 𝑆 ⇌ 𝐵𝑆
𝑆𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 ∶ 𝐴𝑆 + 𝐵𝑆 ⇌ 𝐶𝑆 + 𝐷𝑆
𝐷𝑒𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐶𝑆 ⇌ 𝐶 + 𝑆
𝐷𝑆 ⇌ 𝐷 + 𝑆
- Kemungkinan Kedua
𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐴 + 𝑆 ⇌ 𝐴𝑆
𝑆𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 ∶ 𝐴𝑆 + 𝐵 ⇌ 𝐶𝑆 + 𝐷
𝐷𝑒𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐶𝑆 ⇌ 𝐶 + 𝑆
- Kemungkinan Ketiga
𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐵 + 𝑆 ⇌ 𝐵𝑆
𝑆𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 ∶ 𝐴 + 𝐵𝑆 ⇌ 𝐶𝑆 + 𝐷
𝐷𝑒𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐶𝑆 ⇌ 𝐶 + 𝑆
- Kemungkinan Keempat
𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐴 + 𝑆 ⇌ 𝐴𝑆
𝑆𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 ∶ 𝐴𝑆 + 𝐵 ⇌ 𝐶 + 𝐷𝑆
𝐷𝑒𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐷𝑆 ⇌ 𝐷 + 𝑆
- Kemungkinan Kelima
𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐵 + 𝑆 ⇌ 𝐵𝑆
𝑆𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 ∶ 𝐴 + 𝐵𝑆 ⇌ 𝐶 + 𝐷𝑆
𝐷𝑒𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐷𝑆 ⇌ 𝐷 + 𝑆
𝑨⇌𝑩
- Kemungkinan
𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐴 + 𝑆 ⇌ 𝐴𝑆
𝑆𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 ∶ 𝐴𝑆 ⇌ 𝐵𝑆
𝐷𝑒𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐵𝑆 ⟶ 𝐵 + 𝑆