Anda di halaman 1dari 53

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa


memberikan rahmat dan perlindungan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
diktat ini. Diktat Teknik Reaksi Kimia ini penulis buat semata-mata hanya untuk
membantu teman-teman Program Studi Teknik Kimia, Departemen Teknik Kimia,
Universitas Indonesia dalam memahami mata kuliah ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat secara
langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian diktat ini.

M.Luthfi Shidqi, Reza Adhitya, Irfan Faisal Pane, Hizba Ilmi Naf’an, Yoga
Wiranoto, Radifan Fajaryanto dan teman-teman DTK angkatan 2014
lainnya.

Teman-teman yang telah menyemangati penulis dalam melaksanakan dan


menyelesaikan diktat ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam
diktat ini. Oleh karena itu, masukan dan saran sangat penulis harapkan untuk
mencapai hasil diktat yang jauh lebih baik dan bermanfaat. Penulis berharap bahwa
diktat ini dapat bermanfaat bagi banyak orang, selain untuk menambah pengetahuan,
juga menjadi salah satu kontribusi untuk menyelesaikan UTS-UAS nantinya.

Depok, 10 September 2017

Edward Gustaf
Justin Edgar
Chapter 1
Mole Balances
Penting: Output pada chapter ini
1. Pemahaman pembaca mengenai perbandingan reaktor, dan asumsi yang
diberlakukan pada setiap reaktor
2. Peningkatan kemampuan analisis kuantitaif dan kualitatif pengaruh karakteristik
laju reaksi (orde, konstanta laju reaksi terhadap desain reaktor)

Persamaan yang dibutuhkan pada chapter ini:


1. Persamaan umum mol balance.

𝑖𝑛 − 𝑜𝑢𝑡 + 𝑔𝑒𝑛𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖 = 𝑎𝑘𝑢𝑚𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖


𝑑𝑁𝑗
𝐹𝑗𝑜 − 𝐹𝑗 + 𝑟𝑗 𝑉 =
𝑑𝑡
2. Persamaan mole balance dan asumsi yang berlaku untuk setiap reaktor.

a. Reaktor Batch
Untuk reaktor batch: tidak ada laju alir masuk (Fjo) dan laju alir keluar (Fj),
sehingga persamaannya menjadi:

𝑑𝑁𝑗
= 𝑟𝑗 . 𝑉
𝑑𝑡
Sifat aliran dari reaktor bacth: non-continuous flow.

Sumber: http://www.essentialchemicalindustry.org
Aplikasi Reaktor Batch di Industri: Farmasi, Polimer
Industri obat-obatan membutuhkan tingkat kemurnian yang sangat tinggi.
Untuk itu, industri ini menggunakan reaktor batch yang tersusun paralel dan
diatur waktu pengoperasiannya agar seolah-olah menjadi reaktor yang
kontinu.

Reaktor jenis ini biasanya sangat cocok digunakan dalam proses pelarutan
padatan, batch distillation, kristalisasi, ekstraksi cair-cair, polimerisasi, dan
fermentasi. Reaktor batch digunakan untuk operasi skala kecil. Biasanya
untuk mencoba proses baru yang belum sepenuhnya dikembangkan, untuk
menghasilkan produk yang mahal, dan juga digunakan untuk proses yang
sulit diterapkan pada operasi yang terus-menerus. Reaktor batch memiliki
kelebihan pada konversi yang tinggi. Hal tersebut dapat diperoleh dengan
cara meninggalkan reaktan di dalam reaktor dalam jangka waktu yang lama.
Selain itu, harga instrumentasinya murah, penggunaannya fleksibel, artinya
dapat dihentikan secara mudah dan cepat kapan saja diinginkan,
penggunaan yang multifungsi, mudah dibersihkan, serta dapat menangani
reaksi dalam fase gas, cair, dan cair-padat. Akan tetapi, reaktor batch juga
mempunyai kelemahan yaitu tingginya harga tenaga kerja, waktu shutdown
yang lama, perbedaan produk dari batch ke batch, dan sulitnya untuk
melakukan produksi berskala besar.

b. CSTR

Sumber: https://en.wikipedia.org
𝑑𝑁𝑗
Untuk reaktor CSTR, tidak adanya akumulasi, artinya = 0 dan volume
𝑑𝑡
diasumsikan tidak berubah, sehingga persamaannya menjadi:

𝐹𝑗𝑜 − 𝐹𝑗 + 𝑟𝑗 𝑉 = 0
Atau, disusun ulang menjadi:

𝐹𝑗𝑜 − 𝐹𝑗
𝑉=
−𝑟𝑗
Sifat aliran dari CSTR: continuous flow dan steady state.

Aplikasi CSTR di Industri: Pangan, Perminyakan, Petrokimia,


Consumer Goods
Reaktor ini digunakan hampir di seluruh industri kimia. Digunakan untuk
reaksi-reaksi dari senyawa berfasa cair. Di dalam reaktor ini, proses yang
terjadi dianggap tunak dimana semua reaktan yang dimasukkan tercampur
sempurna sehingga dianggap tidak ada perbedaan temperatur,
konsentrasi, dan laju reaksi di setiap titik di dalam reaktor.

c. Reaktor Tubular (Plug Flow Reactor atau PFR)


PFR merupakan reaktor berbentuk pipa yang bekerja secara tunak
(steady). Reaktor ini digunakan untuk fluida berfasa cair dan gas. Berbeda
dengan CSTR, pada PFR terdapat profil konsentrasi pada sumbu aksial di
sepanjang reaktor. Ini disebabkan reaktan secara kontinu terkonsumsi
sepanjang reaktor.
𝑑𝐹𝑗
= 𝑟𝑗
𝑑𝑉
Sifat aliran dari PFR: continuous flow dan steady state.
Aplikasi PFR di Industri: Biodiedel, Gasoline Production

d. Reaktor Berkatalis Unggun (Packed-Bed Reactor atau PBR)


Untuk reaktor PBR, cara penurunan dan asumsi yang digunakan sama
dengan PFR, yang membedakannya adalah kalau PFR diferensial laju alir
mol per volume, sedangkan PBR adalah diferensial laju alir mol per berat
katalis (W).

𝑑𝐹𝑗
= 𝑟𝑗′
𝑑𝑊
Sifat aliran dari PBR: continuous flow dan steady state.
Terdapat pressure drop yang besar pada reaktor ini. Channeling pada aliran
gas kadang terjadi yang dapat mengakibatkan tidak efektifnya bagian-
bagian pada reaktor bed. Kelebihan dari reaktor packed-bed adalah pada
sebagian besar reaksi memberikan konversi yang tertinggi per berat katalis
pada reaktor katalitik apapun. Kelemahannya temperaturnya sulit di kontrol.
Aplikasi PBR di Industri: Industri catalytic reforming naphtha menjadi
rantai alkana bercabang, sikloalkana, dan hidrokarbon aromatik dengan
katalis Pt/Al2O3, industri pembuatan H2SO4 (kontak dengan katalis
Vanadium oksida), pembuatan HNO3, pembuatan NH3 (kontak dengan
katalis Fe), serta industri lain yang membutuhkan proses separasi
(absorpsi, stripping, distilasi).

3. Persamaan universal dasar yang bisa digunakan untuk membantu


perhitungan

1. 𝐹𝑗 = 𝐶𝑗 . 𝑣𝑜
2. 𝑁𝑗 = 𝐶𝑗 . 𝑉
Persamaan yang pertama dalam bentuk laju alir mol, sedangkan yang kedua
dalam mol saja

3. −𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝑗𝛼 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑛𝑒𝑛


𝛽
4. −𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝑗𝛼 . 𝐶𝑘 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑑𝑢𝑎 𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑛𝑒𝑛

Persamaan yang ketiga dan keempat digunakan sebagai persamaan


pendukung. Dimana subscript j dan k masing-masing menunjukan spesi atau
zat tertentu. Lalu, supercript α dan β menunjukan orde reaksi spesi tertentu
tersebut.
SOAL DAN PEMBAHASAN

1. Suatu reaksi ber-orde satu 𝐴 ⟶ 𝐵 yang berlangsung pada sebuah reaktor


PFR dengan laju volumetrik, v, yang konstan yaitu, 10 dm3/menit dan memiliki
konstanta spesifik laju reaksi, k, sebesar 0,23 menit-1. Tentukanlah volume
reaktor yang dibutuhkan untuk mengubah konsentrasi akhir reaktan menjadi
10% konsentrasi semula.

Pembahasan:

Step 1: Tulis persamaan mole balance untuk reaktor yang ada pada soal dan
persamaan pendukung yang berkorespondensi dengan soal

𝑑𝐹𝐴
= 𝑟𝐴
𝑑𝑉
𝐹𝐴 = 𝐶𝐴 𝑣𝑜
−𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴
Step 2: Substitusi persamaan pendukung ke persamaan mole balance

𝑑𝐹𝐴 𝑑(𝐶𝐴 𝑣𝑜 ) 𝑑𝐶𝐴


𝑟𝐴 = = = 𝑣𝑜 = −𝑘𝐶𝐴
𝑑𝑉 𝑑𝑉 𝑑𝑉

𝑣𝑜 bisa dibawa keluar dari diferensial karena nilainya konstan.


Untuk simplifikasi juga bisa ditulis:

𝑑𝐶𝐴
𝑣𝑜 = −𝑘𝐶𝐴
𝑑𝑉

Step 3: Susun dan kelompokan persamaan, lalu lakukan integrasi untuk


mengubah persamaan diferensial menjadi persamaan aljabar

𝑣𝑜 𝑑𝐶𝐴
− ∙ = 𝑑𝑉
𝑘 𝐶𝐴

𝐶𝐴 𝑉
𝑣𝑜 𝑑𝐶𝐴
− ∫ = ∫ 𝑑𝑉
𝑘 𝐶𝐴
𝐶𝐴𝑜 𝑉𝑜
Vo = 0, sesaat sebelum reaktan memasuki reaktor. Persamaan diatas
menjadi:
𝑣𝑜 𝐶𝐴
− ∙ ln = (𝑉 − 0)
𝑘 𝐶𝐴𝑜
atau,
𝑣𝑜 𝐶𝐴𝑜
∙ ln =𝑉
𝑘 𝐶𝐴

Step 4: Input semua data yang diketahui ke dalam persamaan dari step 3

𝑣𝑜 𝐶𝐴𝑜
𝑉= ∙ ln
𝑘 𝐶𝐴

10 𝐶𝐴𝑜
𝑉= ∙ ln
0,23 0,1𝐶𝐴𝑜

𝑉 = 100 𝑑𝑚3 = 100 𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟 = 0,1 𝑚3

2. Sama seperti soal nomor 1 tetapi reaksi berlangsung pada CSTR.

Pembahasan:

Step 1: Tulis persamaan mole balance untuk reaktor yang ada pada soal dan
persamaan pendukung yang berkorespondensi dengan soal

𝐹𝐴𝑜 − 𝐹𝐴
𝑉=
−𝑟𝐴

𝐹𝐴 = 𝐶𝐴 𝑣𝑜
−𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴

Step 2: Substitusi persamaan pendukung ke persamaan mole balance

𝐶𝐴𝑜 𝑣𝑜 − 𝐶𝐴 𝑣𝑜
𝑉=
𝑘𝐶𝐴

Ingat, nilai 𝑣𝑜 konstan !

Step 3: Susun dan kelompokan persamaan

𝑣𝑜 (𝐶𝐴𝑜 − 𝐶𝐴 )
𝑉=
𝑘𝐶𝐴
Step 4: Input semua data yang diketahui ke dalam persamaan dari step 3

𝑣𝑜 (𝐶𝐴𝑜 − 0,1𝐶𝐴𝑜 )
𝑉=
𝑘(0,1𝐶𝐴𝑜 )
10 ∙ (1 − 0,1)
𝑉=
0,23 ∙ (0,1)
𝑉 = 391 𝑑𝑚3 = 391 𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟 = 0,391 𝑚3

3. Apa yang dapat dianalisis dari soal 1 (PFR) dan soal 2 (CSTR)?

Pembahasan:

Terlihat bahwa untuk memperoleh konsentrasi akhir yang sama (konversi yang
sama), volume reaktor PFR yang dibutuhkan lebih kecil dibandingkan volume
reaktor CSTR. Tentunya hal ini menjadi pertimbangan nantinya dalam
pemilihan reaktor dalam suatu industri kimia.

4. Berilah analisis kuantitatif pengaruh orde reaksi terhadap volume reaktor CSTR

Pembahasan:

Misal reaksi ber-orde dua, untuk CSTR:

𝐹𝐴𝑜 − 𝐹𝐴
𝑉=
−𝑟𝐴

𝐶𝐴𝑜 𝑣𝑜 − 𝐶𝐴 𝑣𝑜
𝑉=
𝑘𝐶𝐴2

𝑣𝑜 (𝐶𝐴𝑜 − 0,1𝐶𝐴𝑜 )
𝑉=
𝑘(0,1𝐶𝐴𝑜 )2

𝑉 = 3910 𝑑𝑚3 = 3910 𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟 = 3,91 𝑚3

Terlihat bahwa untuk semua kondisi yang sama, namun orde reaksi yang lebih
besar, dapat mempengaruhi desain reaktor menjadi lebih besar.
5. Reaksi berfase gas: 𝐴 ⟶ 𝐵 + 𝐶 berlangsung secara isothermal di dalam
reaktor batch bervolume konstan, 20-dm3. Sebanyak 20 mol A murni dimasukan
ke dalam reaktor. Reaktor bersifat well-mixed.

a. Jika reaksi ber-orde satu:

−𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴 dengan k = 0,865 menit-1


Hitunglah waktu yang diperlukan untuk mengurangi jumlah mol A mula-
mula di dalam reaktor hingga mencapai 0,2 mol.
Pembahasan:
Step 1: Tulis persamaan mole balance untuk reaktor yang ada pada soal
dan persamaan pendukung yang berkorespondensi dengan soal

𝑑𝑁𝐴 𝑁𝐴
= 𝑟𝐴 . 𝑉 ; 𝐶𝐴 = ; −𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴
𝑑𝑡 𝑉

Step 2: Lakukan penataan dan substitusi persamaan pendukung ke


persamaan mole balance

1 𝑑𝑁𝐴
= −𝑘𝐶𝐴
𝑉 𝑑𝑡

𝑑𝐶𝐴
= −𝑘𝐶𝐴
𝑑𝑡
𝑑𝐶𝐴
= −𝑘 𝑑𝑡
𝐶𝐴
Step 3: Integrasi persamaan diferensial menjadi persamaan aljabar
𝐶𝐴
𝑑𝐶𝐴
∫ = −𝑘 𝑑𝑡
𝐶𝐴
𝐶𝐴𝑜

Atau,
𝐶𝐴𝑜 𝑡
𝑑𝐶𝐴
∫ = 𝑘 ∫ 𝑑𝑡
𝐶𝐴
𝐶𝐴 0

ln 𝐶𝐴𝑜 − ln 𝐶𝐴 = 𝑘𝑡
𝐶𝐴𝑜
ln = 𝑘𝑡
𝐶𝐴
Step 4: Olah data yang diketahui disoal sehingga bisa disubstitusi ke
persamaan yang diperoleh dari step 3
𝑁𝐴𝑜 20 𝑚𝑜𝑙
𝐶𝐴𝑜 = = =1𝑀
𝑉 20 𝑑𝑚3
𝑁𝐴 0,2
𝐶𝐴 = = = 0,01 𝑀
𝑉 20
𝑘 = 0,865 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 −1
Step 5: Substitusi untuk memperoleh hasil akhir
1 𝐶𝐴𝑜
𝑡= ln
𝑘 𝐶𝐴
1 1
𝑡= ln
0,865 0,01
𝑡 = 5,32 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
b. Jika reaksi ber-orde dua:

−𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴2 dengan k = 2 dm3/mol.menit


Hitunglah waktu yang diperlukan untuk mengonsumsi 19 mol A
Pembahasan:
Step 1: Tulis persamaan mole balance untuk reaktor yang ada pada soal
dan persamaan pendukung yang berkorespondensi dengan soal

𝑑𝑁𝐴 𝑁𝐴
= 𝑟𝐴 . 𝑉 ; 𝐶𝐴 = ; −𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴2
𝑑𝑡 𝑉

Step 2: Lakukan penataan dan substitusi persamaan pendukung ke


persamaan mole balance

𝑑𝑁𝐴
= 𝑟𝐴 . 𝑉
𝑑𝑡
1 𝑑𝑁𝐴
= −𝑘𝐶𝐴2
𝑉 𝑑𝑡

𝑑𝐶𝐴
= −𝑘𝐶𝐴2
𝑑𝑡
𝑑𝐶𝐴
= −𝑘𝑑𝑡
𝐶𝐴2
Step 3: Integrasi persamaan diferensial menjadi persamaan aljabar
𝐶𝐴 𝑡
𝑑𝐶𝐴
∫ 2 = −𝑘 ∫ 𝑑𝑡
𝐶𝐴
𝐶𝐴𝑜 0
𝐶𝐴𝑜

∫ 𝐶𝐴−2 𝑑𝐶𝐴 = 𝑘𝑡
𝐶𝐴

1 𝐶
( ) 𝐶𝐴−2+1 ⃒ 𝐶𝐴𝑜 = 𝑘𝑡
−2 + 1 𝐴

−1
−𝐶𝐴𝑜 − (−𝐶𝐴−1 ) = 𝑘𝑡
1 1
( − ) = 𝑘𝑡
𝐶𝐴 𝐶𝐴𝑜
Step 4: Olah data yang diketahui disoal sehingga bisa disubstitusi ke
persamaan yang diperoleh dari step 3
𝑁𝐴𝑜 20 𝑚𝑜𝑙
𝐶𝐴𝑜 = = =1𝑀
𝑉 20 𝑑𝑚3
𝑁𝐴 = 𝑁𝐴𝑜 − 𝑁𝐴,𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑒𝑎𝑘𝑠𝑖
𝑁𝐴 20 − 19
𝐶𝐴 = = = 0,05 𝑀
𝑉 20
𝑑𝑚3
𝑘=2
𝑚𝑜𝑙 ∙ 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡

Step 5: Substitusi untuk memperoleh hasil akhir


1 1 1
𝑡= ( − )
𝑘 𝐶𝐴 𝐶𝐴𝑜

1 1 1
𝑡= ( − ) = 9,5 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
2 0,05 1
c. Jika temperatur 127oC, berapakah tekanan total mula-mulanya? dan
berapakah tekanan akhir apabila diasumsikan reaksinya sempurna?
Pembahasan:
- Tekanan total mula-mula

Step 1: Tulis asumsi dan persamaan yang menghubungkan tekanan,


temperatur, dan konsentrasi (Ingat ! disoal disebutkan reaksi
berfase gas)

Asumsi: Gas bersifat ideal, maka berlaku persamaan gas ideal

𝑁𝐴,𝑜
𝑃𝑡,𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝑅𝑇
𝑉
𝑃𝑡,𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝐶𝐴𝑜 𝑅𝑇

Step 2: Input data yang diketahui dan hitung

𝑃𝑡,𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝐶𝐴𝑜 𝑅𝑇

𝑃𝑡,𝑎𝑤𝑎𝑙 = 1 ∙ 0,082 ∙ (127 + 273,15) = 32,8 𝑎𝑡𝑚

- Tekanan total akhir ketika A terkonversi 100% menjadi produk


(reaksi sempurna)

Step 1: Tulis asumsi dan persamaan yang menghubungkan tekanan,


temperatur, dan konsentrasi (Ingat ! disoal disebutkan reaksi
berfase gas)

Asumsi: Gas bersifat ideal, maka berlaku persamaan gas ideal

(𝑁𝐵 + 𝑁𝐶 )
𝑃𝑡,𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = 𝑅𝑇
𝑉
𝑃𝑡,𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = (𝐶𝐵 + 𝐶𝐶 )𝑅𝑇

Step 2: Buat tabel stoikiometri dari reaksi yang ada

A B C
mula-mula 1M 0 0
bereaksi -1 M +1 M +1 M
sisa 0 1M 1M

Step 3: Input data yang diketahui dan hitung


𝑃𝑡,𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = (𝐶𝐵 + 𝐶𝐶 )𝑅𝑇 = (1 + 1) ∙ 0,082 ∙ (127 + 273,15) = 65,6 𝑎𝑡𝑚
Chapter 3
Rate Laws and Stoichiometry
Output dari chapter ini:
1. Dapat menyusun hukum laju elementer suatu reaksi terhadap suatu spesi
dalam reaksi dan menentukan orde reaksinya, dapat mengaplikasikan
hukum laju relatif sehingga dapat mencari hukum laju suatu spesi dari
hukum laju spesi yang lain dalam suatu reaksi, dapat menentukan orde
suatu reaksi dari konstanta laju reaksi, dapat menghitung konstanta laju
reaksi sebagai fungsi temperatur
2. Dapat menurunkan dan mengaplikasikan hukum laju dalam perhitungan
stoikiometris dalam fasa gas maupun cair, baik dalam sistem batch maupun
sistem aliran; dapat menyatakan konsentrasi dalam variabel konversi
Pada chapter 3, kita diharapkan dapat menyusun hukum laju suatu reaksi dari
data yang diketahui serta melakukan perhitungan stoikiometris berdasarkan
fasa gas dan cair dan sistem batch maupun continuous.
1. Hukum Laju
Hukum laju (rate law) adalah sebuah fungsi kinetik yang memberikan hubungan
antara laju reaksi (𝑟) dan konsentrasinya. Secara matematis dapat dituliskan
−𝑟𝐴 = [𝑘(𝑇)] × [𝑓(𝐶𝐴 , 𝐶𝐵 , … )]
Perlu diingat bahwa hukum laju bergantung pada konsentrasi reaktan,
bukan konsentrasi produknya. Tanda negatif menunjukkan bahwa hukum
laju ini adalah hukum laju pengurangan reaktan. Konstanta laju reaksi
bergantung terhadap temperatur (Hukum Arrhenius), sehingga hukum laju
bergantung pada konsentrasi setiap spesi yang ada dalam reaksi dan
temperatur.
2. Hukum Laju Relatif
Dalam reaksi :
aA + bB  cC + dD
Hukum laju relatif masing-masing spesi adalah :
𝑟𝐴 𝑟𝐵 𝑟𝐶 𝑟𝐷
= = =
−𝑎 −𝑏 𝑐 𝑑
Tanda negatif pada koefisien reaktan menunjukkan bahwa reaktan berkurang
sepanjang waktu berjalan, tanda positif pada koefisien produk menunjukkan
bahwa produk bertambah seiring waktu berjalan.
Contoh 1:
2NO + O2  2NO2
maka hukum laju relatif masing-masing spesi adalah:
𝑟𝑁𝑂 𝑟𝑂2 𝑟𝑁𝑂2
= =
−2 −1 2
Jika diketahui bahwa laju pembentukan NO2 adalah konstan, yakni 4 mol/Liter
sekon, hitung laju berkurangnya NO dan O2!
Solusi :
Dari persamaan hukum laju relatif, bisa dituliskan:
𝑟𝑁𝑂2 𝑟𝑁𝑂
=−
2 2
𝑟𝑁𝑂2 = −𝑟𝑁𝑂

−𝑟𝑁𝑂 = 4 𝑚𝑜𝑙/𝐿𝑠
Laju pengurangan NO adalah 4 mol/sekon.
Sama dengan halnya laju pengurangan O2, hukum laju relatif bisa dituliskan :
𝑟𝑁𝑂2
= −𝑟𝑂2
2
𝑚𝑜𝑙
4 𝑠
−𝑟𝑂2 = = 2 𝑚𝑜𝑙/𝐿. 𝑠
2
Laju pengurangan O2 adalah 2 mol/L.sekon.
Contoh 2:
Diketahui reaksi sebagai berikut :
2A + 3B  5C
dan diketahui bahwa laju pengurangan B adalah sebuah konstan sebesar 3 mol
per Liter.sekon, hitung laju pengurangan A dan laju pembentukan C!
Coba selesaikan soal ini sebagai latihan…! Mudah kan, hanya mengikuti
langkah-langkah yang ada diatas…?
3. Orde Reaksi & Hukum Laju
Hukum laju yang paling umum adalah hukum laju aturan pangkat (power law).
𝛽
−𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴𝛼 𝐶𝐵

Definisinya, hukum laju diatas adalah berorde 𝛼 terhadap spesi A dan berorde
𝛽 terhadap spesi B.
Orde total reaksi = n = 𝛼 + 𝛽
a. Reaksi elementer : reaksi dari reaktan menjadi produk yang hanya memiliki
1 tahapan.
Contoh : reaksi A  B, reaksi A + B  C + D; dalam reaksi-reaksi ini, reaktan
langsung terkonversi menjadi produk yang bersangkutan
b. Reaksi non elementer : reaksi dari reaktan menjadi produk memiliki 2 atau
lebih tahapan.
Contoh : reaksi C  D memiliki tahapan sebagai berikut
C  2A
AB
BD
c. Hukum laju elementer: sebuah reaksi dikatakan mengikuti hukum laju
elementer jika koefisien stoikiometrinya identik dengan orde reaksi setiap spesi.
Contoh :
Reaksi 2NO + O2  2NO2 adalah reaksi non-elementer, tetapi hukum lajunya:
2
−𝑟𝑁𝑂 = 𝑘𝐶𝑁𝑂 𝐶𝑂2

adalah elementer karena koefisien stoikiometrinya sama dengan orde reaksi


tiap spesinya. Orde reaksi terhadap NO adalah 2, sama seperti koefisien
stoikiometri NO pada reaksi, begitu pula orde reaksi terhadap O2 dan koefisien
stoikiometri O2 pada reaksi.
d. Hukum laju non-elementer: koefisien stoikiometri tidak identic dengan orde
reaksi setiap spesi
Contoh :
Reaksi CO + Cl2  COCl2 mengikuti hukum laju:
3/2
−𝑟𝐶𝑂 = 𝑘𝐶𝐶𝑂 𝐶𝐶𝑙2

Reaksi diatas tidaklah elementer karena koefisien stoikiometri Cl2 adalah 1,


sedangkan orde reaksi terhadap Cl2 adalah 3/2.
Contoh soal 1 :
Diketahui reaksi sebagai berikut :
aA + bB  cC + dD
Reaksi ini mengikuti hukum laju elementer, yakni −𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴𝑎 𝐶𝐵𝑏 . Tentukan
hukum laju terhadap spesi B, C, dan D!
Solusi :
Persamaan hukum laju relatif adalah :
𝑟𝐴 𝑟𝐵 𝑟𝐶 𝑟𝐷
= = =
−𝑎 −𝑏 𝑐 𝑑
Untuk spesi B:
𝑟𝐵 𝑟𝐴
=
−𝑏 −𝑎
𝑏
𝑟𝐵 = × 𝑟𝐴
𝑎
𝑏
−𝑟𝐵 = − × 𝑟𝐴
𝑎
𝑏
−𝑟𝐵 = × (−𝑟𝐴 )
𝑎
𝑏
−𝑟𝐵 = × 𝑘𝐶𝐴𝑎 𝐶𝐵𝑏
𝑎
Untuk spesi C:
𝑟𝐶 𝑟𝐴
=
𝑐 −𝑎
𝑐
𝑟𝐶 = × (−𝑟𝐴 )
𝑎
𝑐
𝑟𝐶 = × 𝑘𝐶𝐴𝑎 𝐶𝐵𝑏
𝑎
Nilai rC positif karena C adalah produk yang terbentuk sehingga konsentrasinya
bertambah terhadap waktu.
Coba selesaikan sendiri untuk spesi D…!
e. Menentukan orde reaksi dari satuan konstanta laju reaksi
Satuan konstanta laju reaksi (k) akan berubah sesuai dengan orde reaksinya.
Strategi menentukan satuan k : selalu ingat satuan laju reaksi = mol/L.s
Untuk reaksi orde 0:
r=k
Maka satuan k pastilah mol/L.s
Untuk reaksi orde 1:
r = k CA
karena CA bersatuan mol/L, maka supaya satuan r = mol/L.s, satuan k haruslah
s-1.
Untuk reaksi orde 2
r = k CA2
karena CA2 bersatuan (mol/L)2, supaya satuan r menjadi mol/L.s, satuan k
haruslah L/mol.s
Jika kita tarik kesimpulan, maka satuan k akan selalu dalam bentuk:
[𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖]1−𝑛
[𝑘] = , dengan n adalah orde reaksi.
[𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢]
Contoh soal 2
Yanto adalah seorang analis kimia yang sedang magang di lab DPK DTK UI.
Yanto diminta oleh dosen peneliti dari DTK UI, yakni Pak Sukarno untuk
memperkirakan orde reaksi pembentukan zat B dari zat A. Kemudian, setelah
mencari-cari di literatur, ditemukan bahwa konstanta laju reaksi dari reaksi A 
𝐿2
B adalah 20 𝑚𝑜𝑙2 . 𝑠. Bantulah Yanto untuk menentukan orde reaksi tersebut,
karena mereaksikan A menjadi B adalah suatu proses yang sulit dan bahannya
mahal!
Solusi :
Misalkan kita tuliskan hukum laju sebagai
𝑟 = 𝑘 𝐶𝐴𝑛
Untuk mengetahui satuan dari 𝐶𝐴𝑛 , maka kita bagi saja satuan r dengan k.
𝑚𝑜𝑙 3
[𝑟] 𝐿. 𝑠 = 𝑚𝑜𝑙
[𝐶𝐴𝑛 ] = =
[𝑘] 𝐿2 𝐿3
2
𝑚𝑜𝑙 . 𝑠
Karena satuan konsentrasi adalah mol/L, maka haruslah n = 3, dengan ini
Yanto tahu dari satuan konstanta laju reaksi saja bahwa orde reaksi A  B
adalah 3.
Reaksi bolak-balik
Reaksi bolak balik haruslah mengikuti hukum termodinamika, dimana hukum
laju dinyatakan dengan konstanta kesetimbangan (Kc atau Kp).
Contoh :
Reaksi pembentukan difenil dan gas hidrogen dari benzene:
2B ↔ D + H2
Asumsikan laju reaksi maju dan mundur adalah elementer, turunkan
persamaan hukum laju B!
Solusi :
Laju penghilangan benzene (reaksi ke kanan/forward reaction):
−𝑟𝐵,𝑚𝑎𝑗𝑢 = 𝑘𝐵 𝐶𝐵2

Laju pembentukan benzene (reaksi ke kiri/backward reaction):


𝑟𝐵,𝑚𝑢𝑛𝑑𝑢𝑟 = 𝑘−𝐵 𝐶𝐷 𝐶𝐻2

dengan 𝑘𝐵 dan 𝑘−𝐵 adalah konstanta laju reaksi maju dan mundur secara
berurutan. Untuk pembentukan, laju positif karena zat terbentuk sehingga
konsentrasinya bertambah.
Maka laju total spesi B adalah:
𝑟𝐵,𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝑟𝐵,𝑚𝑎𝑗𝑢 + 𝑟𝐵,𝑚𝑢𝑛𝑑𝑢𝑟

𝑟𝐵,𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = −𝑘𝐵 𝐶𝐵2 + 𝑘−𝐵 𝐶𝐷 𝐶𝐻2

Kalikan dengan -1 untuk mendapatkan laju total penghilangan benzene.


−𝑟𝐵,𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝑘𝐵 𝐶𝐵2 − 𝑘−𝐵 𝐶𝐷 𝐶𝐻2

Keluarkan kB dari persamaan, maka akan didapatkan


𝑘−𝐵
−𝑟𝐵,𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝑘𝐵 (𝐶𝐵2 − 𝐶 𝐶 )
𝑘𝐵 𝐷 𝐻2
Definisikan bahwa konstanta laju maju dibagi konstanta laju mundur adalah
konstanta kesetimbangan reaksi (Kc), maka didapatkan:
𝐶𝐷 𝐶𝐻2
−𝑟𝐵,𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝑘𝐵 (𝐶𝐵2 − )
𝐾𝑐
𝑘
Bisa dibuktikan bahwa definisi 𝐾𝑐 = 𝑘 𝐵 adalah benar. Jika kita ambil kondisi
−𝐵
saat kesetimbangan (-rB = 0), maka :

2
𝑘𝐵 𝐶𝐷,𝑒 𝐶𝐻2 ,𝑒
0 = 𝑘𝐵 𝐶𝐵,𝑒 −
𝐾𝑐
dimana konsentrasi-konsentrasi spesi diatas adalah dalam kesetimbangan.
Penyusunan persamaan diatas akan menjadi :
𝐶𝐷,𝑒 𝐶𝐻2 ,𝑒
𝐾𝑐 = 2
𝐶𝐵,𝑒

(Terbukti).
Secara umum, jika kita memiliki reaksi kesetimbangan seperti
𝑎𝐴 + 𝑏𝐵 ↔ 𝑐𝐶 + 𝑑𝐷
maka hukum lajunya adalah:
𝐶𝐶𝑐 𝐶𝐷𝑑
−𝑟𝐴 = 𝑘𝐴 𝐶𝐴𝑎 𝐶𝐵𝑏 −
𝐾𝑐
Hubungan konstanta kesetimbangan dengan energi bebas Gibbs pada
termperatur tertentu:
𝑇
Δ𝐺𝑟𝑥𝑛 = −𝑅𝑇 ln 𝐾𝑇
Untuk temperatur 25℃ = 298𝐾:
298
Δ𝐺𝑟𝑥 = −𝑅𝑇 ln 𝐾298
Biasanya data energi Gibbs yang tersedia untuk reaksi hanya pada temperatur
25℃ (298K), kecuali tersedia data energi bebas Gibbs untuk temperatur lain.
Jika kita mencari nilai Kc dan kita mengetahui nilai Kc pada temperatur tertentu,
rumus van’t Hoff bisa dipakai (asumsi Δ𝐶𝑝 = 0):

Δ𝐻𝑟𝑥 1 1
𝐾𝑐(𝑇) = 𝐾𝑐(𝑇1 ) exp ( ( − ))
𝑅 𝑇1 𝑇
𝑇
Jika Δ𝐶𝑝 ≠ 0, maka Δ𝐻𝑟𝑥 = Δ𝐻𝑟𝑥 298 + ∫298 Σ𝑣𝑖 𝐶𝑝𝑖𝑜 𝑑𝑇, dengan vi adalah
koefisien setiap spesi (ingat bahwa koefisien reaktan selalu negatif).
Biasanya, apabila tidak diketahui, kita mencari dahulu nilai Kc pada suhu
referensi (298K) dengan rumus yang ada energi gibbsnya, baru untuk mencari
nilai Kc pada suhu lain bisa pakai rumus Kc(T) = …, apabila kita sudah punya
nilai Kc pada suhu A dan ingin mencari nilai Kc pada suhu B, rumus yang energi
Gibbs tidak perlu dipakai.

Contoh Soal 3 (UTS ITB 2009)


Hitunglah konstanta kesetimbangan reaksi dehidrogenasi gas etana menjadi
etilen yang dilangsungkan pada reaktor batch bertekanan 1 atm dan suhu
727oC, jika diketahui data perubahan energi bebas Gibbs pembentukan (Δ𝐺𝑓𝑜 )
sebagai fungsi temperatur (T) dari senyawa yang terlibat dalam reaksi tersaji
dalam tabel berikut:
Nama Senyawa 𝑘𝐽
Δ𝐺𝑓𝑜 = 𝐴 + 𝐵𝑇 + 𝐶𝑇 2 ( )
𝑚𝑜𝑙
A B C
𝐶2 𝐻6 -85,79 168,575 x 10-3 268,531 x 10-7
𝐶2 𝐻4 51,75 493,376 x 10-4 182,841 x 10-7

Solusi:
𝑜
Ingat dulu bahwa Δ𝐺𝑟𝑥𝑛 = Σ𝑣𝑖 Δ𝐺𝑓𝑖 , dengan vi adalah koefisien tiap spesi.
Koefisien reaktan selalu negatif.
Kondisi operasi: P = 1 atm, T = 727℃ = 1000 𝐾
Reaksi: 𝐶2 𝐻6 → 𝐶2 𝐻4 + 𝐻2
Δ𝐺𝑓𝑜 𝐶2 𝐻6 = −85,79 + 168,575 × 10−3 (1000) + 268,531 × 10−7 (1000)2
𝑘𝐽
= 109,638
𝑚𝑜𝑙
Δ𝐺𝑓𝑜 𝐶2 𝐻4 = 51,75 + 493,376 × 10−4 (1000) + 182,841 × 10−7 (1000)2
𝑘𝐽
= 118,372
𝑚𝑜𝑙
ΔGf𝑜 𝐻2 = 0, untuk zat murni tidak ada perubahan energi bebas Gibbs terhadap
referensi.
Maka, Δ𝐺𝑟𝑥𝑛 = Δ𝐺𝑓𝑜 𝐶2 𝐻4 − Δ𝐺𝑓𝑜 𝐶2 𝐻6 − Δ𝐺𝑓𝑜 𝐻2 = 118,372 − 109,638 =
𝐽
8773,6 𝑚𝑜𝑙
1000𝐾
−𝑅𝑇 ln 𝐾1000𝐾 = Δ𝐺𝑟𝑥𝑛
−8,314 (1000) ln 𝐾 = 8773,6
𝐾 = 2,86
Hubungan konstanta laju reaksi dengan temperatur (Pers. Arrhenius)
𝐸𝑎
𝑘(𝑇) = 𝐴 exp (− )
𝑅𝑇
 k = konstanta laju reaksi, menunjukkan jumlah tumbukan molekul akibat
reaksi
 A = faktor pre-eksponensial/faktor frekuensi, menunjukkan jumlah
tumbukan
𝐸
 Faktor exp (− 𝑅𝑇𝑎 ) menunjukkan probabilitas terjadinya tumbukan akibat
reaksi
 Ea = besar energi aktivasi, energi minimum yang harus dimiliki molekul
agar reaksi bisa terjadi (J/mol)
 R = konstan gas universal = 8.314 J/mol.K
 T = temperatur (K)
Jika persamaan diatas kita logaritma naturalkan kedua sisinya, maka akan
membentuk persamaan linier :
𝐸 1
ln 𝑘 = ln 𝐴 − ( )
𝑅 𝑇
𝑦= 𝑏 + 𝑚𝑥
Sumbu x adalah kebalikan dari T dan sumbu y adalah ln k. Persamaan ini bisa
digunakan untuk mencari nilai energi aktivasi dan konstanta A apabila kita
memiliki data konstanta reaksi terhadap suhu.
Contoh Soal 4:
Diketahui data konstanta reaksi terhadap temperatur dari reaksi dekomposisi
benzene diazonium klorida membentuk klorobenzena dan N 2 adalah sebagai
berikut:
k (s-1) T (K)
0.00043 313.0
0.00103 319.0
0.00180 323.0
0.00355 328.0
0.00717 333.0

a) Tentukan orde total reaksinya


b) Hitung besaran nilai energi aktivasi dan faktor pre-eksponensial dari reaksi
tersebut!
Solusi:
a) Karena satuan dari k adalah 1/s, maka reaksi berorde 1.
b) Sesuai yang telah dijelaskan sebelumnya, kita bisa plot ln k (sb. y) terhadap
1/T (sb. x) di excel, kemudian tambahkan trendline untuk mengetahui
persamaan garisnya (regresi instan).

Persamaan garis yang didapat adalah y = -14612 x + 38,925. Didapatkan


bahwa nilai gradien (-E/R) = -14612 K, dan nilai intercept (ln A) = 38,925.
𝐽
Maka nilai 𝐸 = 14612 × 𝑅 = 14612 × 8,314 𝑚𝑜𝑙.𝐾 = 121,5 𝑘𝐽/𝑚𝑜𝑙. Nilai 𝐴 =
exp(ln 𝐴)) = exp 38,925 = 8,034 × 1016 .
Semakin besar T, maka k akan semakin besar
dan laju reaksi akan semakin cepat. Semakin
besar energi aktivasi (gradient dari persamaan di
atas), maka nilai k (dan juga laju reaksi) akan
semakin sensitif terhadap temperatur.
Jika kita harus mencari nilai k dan kita
mengetahui nilai k pada temperatur tertentu,
maka rumus ini bisa digunakan :

𝐸 1 1
𝑘(𝑇) = 𝑘(𝑇0 ) exp ( ( − ))
𝑅 𝑇0 𝑇

Contoh Soal 5 (Kuis Kecil Pak Slamet):


a) The rule of thumb that the rate of reactant doubles for a 10°C increase in
temperature occurs only at a specific temperature for a given activation energy.
Develop a relationship between the temperature and activation energy for
which the rule of thumb holds. Neglect any variation of concentration with
temperature.

b) Determine the activation energy and frequency factor from the following data:

k (min-1) 0.0010 0.050


T (℃) 00.0 100.0

Solusi:
a) Karena terjadi perubahan laju reaksi akibat perubahan temperatur,
pastilah yang berubah adalah konstanta laju reaksi, karena hanya
konstanta laju reaksi yang bergantung pada temperatur (ingat bahwa –r =
k Ca Cb …, konsentrasi tidak bergantung pada temperatur!). Maka, konstanta
laju reaksilah yang menjadi 2 kali besar konstanta laju reaksi awal pada saat
penambahan temperatur sebesar 10oC. Tulis ulang persamaan

𝐸 1 1
𝑘(𝑇) = 𝑘(𝑇0 ) exp ( ( − ))
𝑅 𝑇0 𝑇

Karena kita tahu bahwa k(T) = 2k(T0) dan T = (T0 + 10), maka kita bisa
substitusikan ke persamaan diatas.

𝐸 1 1
2𝑘(𝑇0 ) = 𝑘(𝑇0 ) exp ( ( − ))
𝑅 𝑇0 𝑇0 + 10
𝐸 1 1
2 = exp ( ( − ))
𝑅 𝑇0 𝑇0 + 10

Ganti semua T0 ke dalam bentuk T (T0 = T – 10)


𝐸 1 1
2 = exp ( ( − ))
𝑅 𝑇 − 10 𝑇

Logaritma naturalkan kedua sisi untuk mendapatkan:


𝐸 1 1
ln 2 = ( − )
𝑅 𝑇 − 10 𝑇
𝐸 10
0,69 = ( )
𝑅 (𝑇 − 10)𝑇
𝐸 10 𝐸
𝑇 2 − 10𝑇 = ( ) = 14,5
𝑅 0.69 𝑅
14,5𝐸
𝑇 2 − 10𝑇 − =0
𝑅
Ingat rumus abc
−𝑏±√𝑏2 −4𝑎𝑐 14,5𝐸
𝑇1,2 = , dengan a = 1, b = -10, c = −
2𝑎 𝑅

58𝐸
10 ± √100 + 𝑅
𝑇1,2 =
2
Ambil nilai positifnya saja (yakni yang 10 + …/2)

58𝐸
10 + √100 + 𝑅 1 58𝐸
𝑇= = 5 + √100 + 𝐾
2 2 𝑅

b) Karena kita hanya punya 2 buah data, kita bisa langsung menggunakan
persamaan

𝐸 1 1
𝑘(𝑇) = 𝑘(𝑇0 ) exp ( ( − ))
𝑅 𝑇0 𝑇

dengan T0 = 0℃ = 273 K. Kita boleh saja memilih T0 = 100℃ = 373 K asalkan


nilai k yang kita masukkan selalu konsisten (Selalu ingat untuk konversi
temperatur ke Kelvin!!). Bagi kedua sisi dengan 𝑘(𝑇0 ) untuk mendapatkan

𝑘 𝐸 1 1
= exp ( ( − ))
𝑘(𝑇0 ) 𝑅 𝑇0 𝑇

Logaritma naturalkan kedua sisi untuk mendapatkan (ganti subskrip k menjadi


k2 dan k(T0) menjadi k1, T jadi T2 dan T0 jadi T1 supaya tidak bingung):
𝑘2 𝐸 1 1
ln = ( − )
𝑘1 𝑅 𝑇2 𝑇1
Susun ulang persamaan menjadi:
𝑘2
ln
𝑘1
𝐸= 𝑅
1 1

𝑇2 𝑇1
dengan 𝑘1 = 0.0010, 𝑇1 = 273 𝐾; 𝑘2 = 0.05, 𝑇2 = 373 𝐾.
Hitung sendiri nilai E ya kawan-kawan!

Menyusun Tabel Stoikiometri


I. Sistem Batch
Untuk reaksi aA + bB  cC + dD

Untuk menghitung perubahan mol (mol yang bereaksi), kita definisikan


konversi, yakni mol A yang bereaksi (mol A awal dikurang mol A akhir) dibagi
dengan mol A awal :
𝑁𝐴0 − 𝑁𝐴
𝑋=
𝑁𝐴0
dengan NA0 dan NA adalah mol A awal dan mol A setelah bereaksi
Mol A yang bereaksi adalah 𝑁𝐴0 − 𝑁𝐴 (mol A awal – mol A akhir) = 𝑁𝐴0 𝑋
Maka, mol A setelah bereaksi dalam bentuk variabel konversi adalah :
𝑁𝐴 = 𝑁𝐴0 − 𝑁𝐴0 𝑋
𝑁𝐴 = 𝑁𝐴0 (1 − 𝑋)
Sesuai koefisien stoikiometri, maka mol B, C, D yang bereaksi berturut-turut
adalah :
𝑏 𝑐 𝑑
(𝑁𝐵0 − 𝑁𝐵 ) = 𝑎 × 𝑁𝐴0 𝑋, (𝑁𝐶 − 𝑁𝐶0 ) = 𝑎 × 𝑁𝐴0 𝑋, (𝑁𝐷 − 𝑁𝐷0 ) = 𝑎 × 𝑁𝐴0 𝑋

Sehingga mol B yang tersisa dan mol C dan D yang terbentuk berturut-turut
adalah :
𝑏
𝑁𝐵 = 𝑁𝐵0 − × 𝑁𝐴0 𝑋
𝑎
𝑐
𝑁𝐶 = 𝑁𝐶0 + × 𝑁𝐴0 𝑋
𝑎
𝑑
𝑁𝐷 = 𝑁𝐷0 + × 𝑁𝐴0 𝑋
𝑎
Jika ditabulasi akan menjadi :

Variabel baru yang didefinisikan :


𝑑 𝑐 𝑏
𝛿= + − −1
𝑎 𝑎 𝑎
untuk reaksi: aA + bB  cC + dD
Bisa dilihat di tabel bahwa mol total setelah reaksi adalah 𝑁𝑇 = 𝑁𝑇0 + 𝛿𝑁𝐴0 𝑋.
Gunanya mol total ini salah satunya untuk menghitung tekanan total setelah
reaksi (pada reaksi gas)
Contoh :
5 3
reaksi: 2A + 3B  5C akan memiliki nilai 𝛿 = 2 − 2 − 1 = 0.

Untuk membuat nilai mol awal spesi B, C, D dalam variabel mol awal A, kita
𝑁
definisikan variabel Θi = 𝑁 𝑖0
𝐴0

Contoh :
𝑏
Nilai 𝑁𝐵 = 𝑁𝐵0 − 𝑎 × 𝑁𝐴0 𝑋 bisa kita tuliskan sebagai:

𝑁𝐵0 𝑏
𝑁𝐵 = 𝑁𝐴0 ( ) − × 𝑁𝐴0 𝑋
𝑁𝐴0 𝑎
𝑏
𝑁𝐵 = 𝑁𝐴0 Θ𝐵 − × 𝑁𝐴0 𝑋
𝑎
Dengan demikian, kita bisa menyelesaikan stoikiometri suatu reaksi hanya
dengan variabel mol A awal, konversi, dan koefisien stoikiometri saja. Coba
turunkan sendiri NC dan ND dalam bentuk Θ𝐶 dan Θ𝐷 , kemudian isi tabel paling
atas yang masih kosong.
Kita bisa buat stoikiometri di atas dalam bentuk konsentrasi, bagi saja dengan
V. Untuk reaktor batch (baik fasa gas maupun cair), volume konstan (V = V0)
sehingga:
𝑁𝐴 𝑁𝐴0 (1 − 𝑋)
𝐶𝐴 = = = 𝐶𝐴0 (1 − 𝑋)
𝑉 𝑉0
Coba turunkan sendiri untuk menghitung konsentrasi B, C, D dalam fasa cair
sebagai fungsi dari nilai konsentrasi A awal dan konversi. Hasil tabulasinya
adalah sebagai berikut:
Untuk fasa gas, jika reaktor batch dapat mengalami perubahan volume, kita
harus mengetahui bahwa perubahan mol (akibat koefisien stoikiometri) total
suatu sistem akan membuat tekanan dan volume sistem menjadi berubah. Maka
dari itu, kita harus menghitung perubahan volume akibat perubahan jumlah mol
dalam sistem.
Ingat bahwa hukum gas pada waktu t:
𝑃𝑉 = 𝑍𝑁𝑇 𝑅𝑇
dengan Z adalah faktor kompresibilitas.
Korelasi yang sama pada waktu awal:
𝑃0 𝑉0 = 𝑍0 𝑁𝑇0 𝑅𝑇0
Bagi kedua persamaan, susun ulang maka akan didapatkan:
𝑃0 𝑇 𝑍 𝑁𝑇
𝑉 = 𝑉0 ( ) ( ) ( ) ( )
𝑃 𝑇0 𝑍0 𝑁𝑇0

Dari tabel yang sudah diisi sebelumnya, didapatkan 𝑁𝑇 = 𝑁𝑇0 + 𝛿𝑁𝐴0 𝑋. Bagi
dengan NT0 untuk mendapatkan:
𝑁𝑇
= 1 + 𝛿𝑦𝐴0 𝑋
𝑁𝑇0
𝑁
Definisikan: 𝜖 = 𝑦𝐴0 𝛿, maka 𝑁 𝑇 = 1 + 𝜖𝑋, sehingga:
𝑇0

𝑃0 𝑇 𝑍
𝑉 = 𝑉0 (1 + 𝜖𝑋) ( ) ( ) ( )
𝑃 𝑇0 𝑍0
Untuk sistem dengan tekanan tidak terlalu tinggi (mendekati ideal), nilai Z tidak
𝑍
banyak berubah sehingga 𝑍 ≈ 1.
0

Sebagai contoh, untuk menghitung konsentrasi A fasa gas pada sistem batch:
𝑁𝐴 𝑁𝐴0 (1 − 𝑋) 𝑃 𝑇0 𝐶𝐴0 (1 − 𝑋) 𝑃 𝑇0
𝐶𝐴 = = ( )( ) = ( )( )
𝑉 𝑉0 (1 + 𝜖𝑋) 𝑃0 𝑇 (1 + 𝜖𝑋) 𝑃0 𝑇
Coba turunkan sendiri untuk menghitung konsentrasi B, C, dan D kemudian
tabulasikan seperti diatas (atau lihat tabel di Fogler). Jika pressure drop
𝑃 𝑇
diabaikan, maka 0 ≈ 1; jika sistem isothermal maka ≈ 1, sehingga:
𝑃 𝑇0

𝐶𝐴0 (1 − 𝑋)
𝐶𝐴 =
(1 + 𝜖𝑋)
Perlu diingat, apabila pada fasa gas, menghitung 𝐶𝐴0 bisa dari rumus gas
ideal, begitu pula konsentrasi total.
𝑃𝐴0
𝐶𝐴0,𝑔𝑎𝑠 =
𝑅𝑇0
𝑃0
𝐶𝑇0,𝑔𝑎𝑠 =
𝑅𝑇0
Biasanya untuk reaktor batch volume selalu dianggap konstan baik fasa
cair maupun gas. Pada sistem aliran volume gas berubah jika koefisien
stoikiometri produk dan reaktan tidak sama.
II. Sistem Aliran
Untuk sistem aliran, penurunan rumusnya sama saja, hanya saja N (mol) diganti
semua dengan F (laju alir mol), dan V (volume) diganti dengan v (laju alir
volumetric). Sebagai contoh, Laju alir mol B setelah reaksi adalah:
𝑏
𝐹𝐵 = 𝐹𝐴0 Θ𝐵 − 𝐹𝐴0 𝑋
𝑎
dan konsentrasi pada fasa cair adalah (ingat bahwa pada fasa cair, laju alir
volumetric adalah konstan, sama seperti volume biasa):
𝑏
𝐹𝐴0 Θ𝐵 − 𝑎 𝐹𝐴0 𝑋 𝑏 𝑏
𝐶𝐵 = = 𝐶𝐴0 Θ𝐵 − 𝐶𝐴0 𝑋 = 𝐶𝐴0 (Θ𝐵 − 𝑋)
𝑣0 𝑎 𝑎
Konsentrasi B pada fasa gas adalah:
𝑏
𝐹𝐴0 Θ𝐵 − 𝑎 𝐹𝐴0 𝑋
𝐶𝐵 =
𝑣
Seperti penurunan sebelumnya, besar nilai v pada fasa gas adalah:
𝑃0 𝑇 𝑍
𝑣 = 𝑣0 (1 + 𝜖𝑋) ( ) ( ) ( )
𝑃 𝑇0 𝑍0
Dengan asumsi bahwa faktor kompresibilitas tidak berubah secara signifikan,
maka konsentrasi B pada fasa gas adalah:
𝑏 𝑏
𝐹𝐵 𝐹𝐴0 (Θ𝐵 − 𝑎 𝑋) 𝑃 𝑇0 𝐶𝐴0 (Θ𝐵 − 𝑎 𝑋) 𝑃 𝑇0
𝐶𝐵 = = ( )( ) = ( )( )
𝑣 𝑣0 (1 + 𝜖𝑋) 𝑃0 𝑇 (1 + 𝜖𝑋) 𝑃0 𝑇
Seandainya pressure drop bisa diabaikan dan sistemnya isothermal, maka
konsentrasi B pada fasa gas adalah:
𝑏
𝐶𝐴0 (Θ𝐵 − 𝑎 𝑋)
𝐶𝐵 =
(1 + 𝜖𝑋)
Coba turunkan sendiri konsentrasi A, C, D pada fasa gas sistem aliran!
Perlu diingat, apabila pada fasa gas, menghitung 𝐶𝐴0 bisa dari rumus gas
ideal, begitu pula konsentrasi total.
𝑃𝐴0
𝐶𝐴0,𝑔𝑎𝑠 =
𝑅𝑇0
𝑃0
𝐶𝑇0,𝑔𝑎𝑠 =
𝑅𝑇0
Tabulasi untuk stoikiometri sistem aliran dapat dirangkum seperti tabel berikut:

CATATAN UMUM : Perlu diingat bahwa dalam reaksi aA + bB  cC + dD, zat


A haruslah limiting reactant dari reaksi tersebut, karena kalau tidak akan
menyebabkan konsentrasi yang bukan limiting reactant pada konversi tertentu
𝑑 𝑐 𝑏
menjadi negatif. Konsekuensinya, nilai 𝛿 = 𝑎 + 𝑎 − 𝑎 − 1 adalah berdasarkan
koefisien limiting reactant (a). Limiting reactant yang berbeda akan
mengakibatkan nilai 𝛿 yang berbeda karena koefisien stoikiometrinya berbeda.
Contoh Soal 6 (menunjukkan limiting reactant):
Jika pada sebuah campuran yang berisi NaOH dengan dan gliseril stearate pada
awalnya memiliki konsentrasi NaOH sebesar 10 mol/L dan konsentrasi gliseril
stearate sebesar 2 mol/L, hitunglah konsentrasi gliserin pada saat konversi
NaOH sebesar a) 20% dan b) 90%!
Solusi:
Reaksi ini terjadi pada fasa cair.
Reaksinya adalah (dengan mengambil NaOH sebagai basis, yakni zat A):
1 1
𝑁𝑎𝑂𝐻 + (𝐶17 𝐻35 𝐶𝑂𝑂)3 𝐶3 𝐻5 → 𝐶17 𝐻35 𝐶𝑂𝑂𝑁𝑎 + 𝐶3 𝐻5 (𝑂𝐻)3
3 3

gliseril stearat gliserin


Tabulasi dari stoikiometri reaksi adalah sebagai berikut: (Ayo coba turunkan
sendiri hingga mendapatkan tabel dibawah)

Dari rumus diatas, kita bisa langsung menghitung konsentrasi gliserin hanya
dengan data koefisien stoikiometri dan konsentrasi awal NaOH.
𝐶
Karena konsentrasi awal gliserin (produk) tidak ada 𝐶𝐷0 = 0, maka Θ𝐷 = 𝐶𝐷0 = 0.
𝐴0
𝐶 2
Θ𝐵 = 𝐶𝐵0 = 10
𝐴0

a) X = 20%
𝑋 0.2
𝐶𝐷 = 𝐶𝐴0 ( ) = 10 ( ) = 0.67 𝑚𝑜𝑙/𝐿
3 3
Konsentrasi gliseril stearate yang tersisa
𝑋
𝐶𝐵 = 𝐶𝐴0 (Θ𝐵 − )
3
2 0,2
𝐶𝐵 = 10 ( − ) = 1,33 𝑚𝑜𝑙/𝐿
10 3
b) X = 90%
0,9
𝐶𝐷 = 10 ( ) = 3 𝑚𝑜𝑙/𝐿
3
Konsentrasi gliseril stearate yang tersisa
2 0,9
𝐶𝐵 = 10 ( − ) = −0,1 𝑚𝑜𝑙/𝐿
10 3

Konsentrasi negatif adalah hal yang tidak mungkin, dan perhitungan ini
disebabkan karena limiting reactant (yang harusnya menjadi basis) bukanlah
NaOH, tetapi gliseril stearate. Sehingga, seharusnya kita melakukan perhitungan
berdasarkan konversi gliseril stearate
(𝐶17 𝐻35 𝐶𝑂𝑂)3 𝐶3 𝐻5 + 3𝑁𝑎𝑂𝐻 → 3𝐶17 𝐻35 𝐶𝑂𝑂𝑁𝑎 + 𝐶3 𝐻5 (𝑂𝐻)3

Tabel stoikiometri di atas akan berubah menjadi:

Spesi Simbol Jumlah mol Perubahan Mol sisa Konsentrasi


awal (basis 1 mol sisa
L)
Gliseril A 𝑁𝐴0 = 2 𝑚𝑜𝑙 −𝑁𝐴0 𝑋 𝑁𝐴0 (1 − 𝑋) 𝐶𝐴0 (1 − 𝑋)
Stearat
NaOH B 𝑁𝐵0 −3𝑁𝐴0 𝑋 𝑁𝐴0 (Θ𝐵 𝐶𝐴0 (Θ𝐵
= 10 𝑚𝑜𝑙 − 3𝑋) − 3𝑋)
Sabun C 𝑁𝐶0 = 0 +3𝑁𝐴0 𝑋 𝑁𝐴0 (Θ𝐶 𝐶𝐴0 (Θ𝐶
+ 3𝑋) + 3𝑋)
Gliserin D 𝑁𝐷0 = 0 +𝑁𝐴0 𝑋 𝑁𝐴0 (ΘD + 𝑋) 𝐶𝐴0 (ΘD + 𝑋)
Air I 𝑁𝐼0 - 𝑁𝐼0 𝐶𝐼0
(inert)
𝑁𝑇0 - 𝑁𝑇 = 𝑁𝑇0 𝐶𝑇 = 𝐶𝑇0
Pada tabel ini, X adalah konversi dari gliseril stearate, BUKAN NaOH!
Untuk soal ini, nilai Θ𝐶 dan Θ𝐷 adalah 0 karena tidak ada sabun dan gliserin pada
campuran awal sebelum reaksi.

Contoh Soal 7:
Campuran 28% SO2 dan 72% udara dimasukkan ke dalam reaktor kontinu
(mengalir) dimana SO2 akan teroksidasi:
2𝑆𝑂2 + 𝑂2 → 2𝑆𝑂3
Hitunglah konsentrasi masing-masing spesi sebagai fungsi dari konversi!
Diketahui tekanan total adalah konstan sebesar 1485 kPa dan temperatur
konstan = 227oC.
Solusi:
Reaksi ini terjadi pada fasa gas dan sistem aliran, sehingga volume berubah
seiring berjalannya reaksi.
Ambil basis adalah 𝑆𝑂2, sehingga kita bagi reaksi di atas menjadi:
1
𝑆𝑂2 + 𝑂2 → 𝑆𝑂3
2
dengan A = SO2, B = O2, C = SO3, I = N2
𝐹𝐴0 = 0.28 𝐹𝑇0
Udara mengandung 21% Oksigen dan sisanya nitrogen, sehingga laju alir
oksigen pada campuran adalah 𝐹𝐵0 = (0,21)(0,72) 𝐹𝑇0. Laju alir nitrogen adalah
𝐹𝐼0 = (0,79)(0,72)𝐹𝑇0 .
𝐹 (0,21)(0,72) (0,79)(0,72)
Maka, Θ𝐵 = 𝐹𝐵0 = = 0,54 dan Θ𝐼 = = 2,03.
𝐴0 (0,28) 0,28

Tabulasi stoikiometri akan menjadi seperti ini:

Menghitung konsentrasi:
𝐹𝐴
𝐶𝐴 =
𝑣
Ingat untuk sistem mengalir, v adalah:
𝑃0 𝑇 𝑍
𝑣 = 𝑣0 (1 + 𝜖𝑋) ( ) ( ) ( )
𝑃 𝑇0 𝑍0
Karena sistem dianggap ideal, tidak ada perubahan faktor kompresibilitas, selain
itu temperatur dan tekanan dianggap konstan sehingga persamaan diatas
menjadi:
𝑣 = 𝑣0 (1 + 𝜖𝑋)
dengan X adalah konversi SO2 dan 𝜖 = 𝑦𝐴0 𝛿. 𝑦𝐴0 adalah fraksi mol zat A pada
campuran awal.
𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑆𝑂3 𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑂2
𝛿= − (1 + )
𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑆𝑂2 𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑆𝑂2
1 1
𝛿 = 1 − (1 + ) = −
2 2
Karena pada kondisi awal zat A (SO2) molnya 28% dari mol total awal, maka
𝑦𝐴0 = 0,28.
1
𝜖 = (0,28) (− ) = −0,14
2
Konsentrasi A adalah:
𝐹𝐴 𝐹𝐴0 (1 − 𝑋) 𝐶𝐴0 (1 − 𝑋)
𝐶𝐴 = = =
𝑣 𝑣0 (1 + 𝜖𝑋) 1 + 𝜖𝑋
Turunkan sendiri nilai-nilai CB, CC, CI.
Darimana kita dapat 𝐶𝐴0 ? Nilai 𝐶𝐴0 kita dapatkan dari hukum gas ideal.
𝐹𝑇0 𝑃0 1485 𝑚𝑜𝑙
𝐶𝑇0 = = = = 0,357
𝑣0 𝑅𝑇0 8,314 × 500 𝑑𝑚3
𝐶𝐴0 = 𝑦𝐴0 𝐶𝑇0
𝑚𝑜𝑙
𝐶𝐴0 = 0,28 × 0,357 = 0,1
𝐿
Maka didapatkan:
𝐶𝐴0 (1 − 𝑋) 0,1(1 − 𝑋)
𝐶𝐴 = =
1 + 𝜖𝑋 1 − 0,14𝑋
1 1
𝐶𝐴0 (Θ𝐵 − 2 𝑋) 0,1 (0,54 − 2 𝑋)
𝐶𝐵 = =
1 + 𝜖𝑋 1 − 0,14𝑋
1 1
𝐶𝐴0 (Θ𝐶 + 2 𝑋) 0,1 (0 + 2 𝑋)
𝐶𝐶 = =
1 + 𝜖𝑋 1 − 0,14𝑋
𝐶𝐴0 (Θ𝐼 ) 0,1(2,03)
𝐶𝐼 = =
1 + 𝜖𝑋 1 − 0,14𝑋
Bisa kita lihat disini bahwa konsentrasi inert berubah-ubah sesuai konversi,
padahal mol inert tidak berubah. Hal ini disebabkan karena laju alir volumetric
sistem yang berubah sehingga konsentrasi inert (walaupun molnya tetap) juga
tetap akan berubah.
Chapter 5
Collection and Analysis of Rate Data
Penting: Output dari chapter ini
1. Dapat menghitung orde reaksi setiap spesies maupun total, konstanta
laju reaksi, waktu paruh (karakter/parameter laju reaksi) dengan metode-
metode yang ada
2. Dapat menggunakan software POLYMATH atau Microsoft Excel dalam
menganalisis karakter suatu reaksi (orde reaksi, konstanta laju reaksi, dll)
Demi pemahaman yang lebih baik pada chapter 5, sebaiknya teman-
teman sudah memahami chapter sebelumnya: rate law & stoichiometry.
Pada chapter ini terdapat 5 metode untuk menganalisis data laju reaksi yang
diperoleh (collection) dari suatu percobaan. Semua metode berawal pada
𝑑𝐶𝐴
persamaan dasar, −𝑟𝐴 = − = 𝑘𝐶𝐴𝛼 , Adapun 5 metode tersebut yaitu:
𝑑𝑡

1. Metode Diferensial (differential method)

𝑑𝐶𝐴
𝐼𝑛 (− ) = 𝛼 𝐼𝑛𝐶𝐴 + 𝐼𝑛 𝑘𝐴
𝑑𝑡
Pada metode diferensial, orde reaksi merupakan slope/gradient dari
persamaan yang dibentuk. Pada metode ini perubahan konsentrasi satu
senyawa dari awal reaksi sampai dengan reaksi mendekati sempurna
diamati pada rentang waktu tertentu.

2. Metode Integral (integral method)


𝐶𝐴 𝑡
𝑑𝐶𝐴
∫ 𝛼 = −𝑘 ∫ 𝑑𝑡
𝐶𝐴
𝐶𝐴𝑜 0

Pada metode integral, orde reaksi harus diasumsikan di awal


pengerjaan (trial-error), kemudian dilakukan fitting dengan grafik. Lebih
jelasnya ada di contoh soal dan pembahasan.

3. Metode Waktu Paruh (half-lives method)

2𝛼−1 − 1
𝐼𝑛𝑡1 = (1 − 𝛼)𝐼𝑛𝐶𝐴𝑜 + 𝐼𝑛
2 (𝛼 − 1)𝑘

Pada metode waktu paruh, perubahan konsentrasi awal reaktan menjadi


setengahnya dicatat. Waktu yang dibutuhkan oleh rekatan untuk
menjadi setengah kali dari semua disebut waktu paruh.
4. Metode Laju Inisial (initial rates method)

𝑑𝐶𝐴
𝐼𝑛 (− ) = 𝛼 𝐼𝑛𝐶𝐴,𝑜 + 𝐼𝑛 𝑘𝐴
𝑑𝑡 𝑜
Metode laju inisial pada dasarnya merupakan metode diferensial. Orde
reaksi pada metode laju inisial juga merupakan slope/gradient dari
persamaan yang dibentuk, sama seperti pada metode diferensial.

Perbedaan metode laju inisial dengan metode diferensial adalah pada


data yang diambil. Pada laju inisial, konsentrasi awal lah yang
divariasikan (butuh banyak sampel dengan konsentrasi awal yang
berbeda). Dengan kata lain, metode ini mengamati pengaruh perubahan
konsentrasi awal - dari berbagai sampel - terhadap laju reaksi awal pada
rentang waktu tertentu.

Sedangkan, metode diferensial hanya menggunakan satu sampel


dengan konsentrasi tertentu, kemudian satu sampel tersebut dibiarkan
hingga reaksinya mendekati sempurna dan perubahan konsentrasi dari
satu sampel tersebut selama rentang waktu tertentu dicatat. Agar lebih
mengerti, pembaca dapat memahami contoh soal dan pembahasan.

5. Metode Regresi (regression method)

Dari empat metode diatas, mungkin timbul pertanyaan, “Bagaimana


menentukan orde reaksi yang melibatkan lebih dari satu reaktan?”
Metode Regresi dapat menjawab pertanyaan tersebut. Metode regresi
memberikan kemudahan dalam menentukan parameter laju reaksi dari
metode lain (metode differensial dan metode laju inisial)
Misal terdapat reaksi :

𝐴+𝐵 ⟶𝐶+𝐷
Sehingga hukum lajunya:
𝑑𝐶𝐴 𝛽
− = −𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴𝛼 𝐶𝐵
𝑑𝑡
Bentuk regresinya:
𝑑𝐶𝐴
𝐼𝑛 (− ) = 𝐼𝑛(𝑘) + 𝛼𝐼𝑛(𝐶𝐴 ) + 𝛽𝐼𝑛(𝐶𝐵 )
𝑑𝑡
Regresi diatas disebut dengan regresi linear berganda (multiple linear
regression). Disebut linear berganda karena ada beberapa variable
peubah, dalam hal ini konsentrasi A dan konsentrasi B, yang masing-
masing memiliki slope/gradient. Metode inisial rate juga dapat
diaplikasikan menggunakan metode regresi. Bedanya hanya terletak
pada variable 𝐶𝐴𝑜 dan 𝐶𝐵𝑜 .
Khusus untuk metode regresi akan diajarkan disaat asistensi
dilaksanakan. Pastikan membawa kalkulator scientific dan laptop yang
sudah terinstall software POLYMATH.

Dari kelima metode diatas yang paling sering digunakan untuk


menganalisis data dari suatu percobaan adalah regresi. Hal tersebut
dikarenakan metode ini lebih fleksibel digunakan bahkan untuk reaksi
yang reaktannya lebih dari satu. Dalam diktat ini akan disajikan
beberapa contoh soal dari beberapa metode diatas.
Inti dari chapter ini adalah membuat suatu persamaan/model dari
beberapa metode yang ada dan mem-plot-nya dalam suatu grafik
menggunakan software untuk mendapatkan data karakter/parameter
laju reaksi.
SOAL DAN PEMBAHASAN
1. Tentukan orde reaksi untuk reaksi dekomposisi fase gas dari ditersier butyl
peroksida. Hanya ditersier butyl peroksida murni yang ada di dalam reaktor.

(CH3 )3 COOC(CH3 )3 ⟶ C2 H6 + 2(CH3 )2 CO


aA ⟶ bB + cC
Reaksi ini berlangsung di laboratorium menggunakan reaktor batch dengan
sistem isothermal. Tekanan total dicatat pada berbagai rentang waktu selama
reaksi berlangsung, sebagai berikut:

Waktu (menit) Tekanan Total (mmHg)


0 7,5
2,5 10,5
5,0 12,5
10,0 15,8
15,0 17,9
20,0 19,4

Pembahasan: (Metode Diferensial)

Analisis: reaksi berlangsung pada fase gas di dalam reaktor batch


bervolume konstan, dan data yang diketahui adalah data tekanan total pada
waktu tertentu. Tentunya, persamaan yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan soal ini adalah persamaan yang memiliki variabel tekanan.

Step 1: Tulis persamaan mole balance untuk reaktor yang ada pada soal
dan persamaan pendukung yang berkorespondensi dengan soal

𝑑𝑁𝐴
= 𝑟𝐴 . 𝑉 ; −𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴𝛼
𝑑𝑡
Step 2: Kombinasikan persamaan tersebut

𝑑𝐶𝐴
− = −𝑟𝐴 = 𝑘𝐶𝐴𝛼
𝑑𝑡
Step 3: Ubah petunjuk kualitatif menjadi suatu persamaan
(petunjuk dari soal: Reaktor batch, isotermal, volume konstan, dan
umpan A murni)

𝑃𝑜 𝑇
𝑉 = 𝑉𝑜 ( ) (1 + 𝜀𝑋) ( )
𝑃 𝑇𝑜

𝑃𝑜
1 = 1 ( ) (1 + 𝜀𝑋)
𝑃
1 𝑃
𝑋 = ( − 1)
𝜀 𝑃𝑜
atau,
(𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝑋=
𝜀𝑃𝑜
dimana,

𝜀 = 𝑦𝐴𝑜 . 𝛿 dan 𝑃𝐴𝑜 = 𝑦𝐴𝑜 𝑃𝑜

substitusi, umpan murni, 𝑦𝐴𝑜 = 1, maka:

(𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝑋=
𝑃
𝑦𝐴𝑜 . 𝛿. 𝐴𝑜
𝑦𝐴𝑜
(𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝑋=
𝛿. 𝑃𝐴𝑜
Step 4: Ubah variabel 𝐶𝐴 menjadi fungsi dari tekanan dengan menginput X
dari step 3, dan lakukan penataulangan

𝐶𝐴 = 𝐶𝐴𝑜 − 𝐶𝐴𝑜 𝑋
𝐶𝐴 = 𝐶𝐴𝑜 (1 − 𝑋)
(𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝐶𝐴 = 𝐶𝐴𝑜 [1 − ]
𝛿. 𝑃𝐴𝑜

𝐶𝐴𝑜 𝛿. 𝑃𝐴𝑜 − (𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝐶𝐴 = [ ]
𝑃𝐴𝑜 𝛿

Dari persamaan gas ideal,

𝐶𝐴𝑜 1
=
𝑃𝐴𝑜 𝑅𝑇
1 (𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝐶𝐴 = [𝑃𝐴𝑜 − ]
𝑅𝑇 𝛿
Step 5: Hitung nilai 𝛿 dan input ke persamaan yang didapat pada step 4

(CH3 )3 COOC(CH3 )3 ⟶ C2 H6 + 2(CH3 )2 CO


aA ⟶ bB + cC
[ 𝜮(𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘) − 𝜮(𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑟𝑒𝑎𝑘𝑡𝑎𝑛)]
𝛿=
𝑎

1+2−1
𝛿= =2
1

1 (𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝐶𝐴 = [𝑃𝐴𝑜 − ]
𝑅𝑇 2

1 (𝑃 − 𝑃𝑜 )
𝐶𝐴 = [𝑦𝐴𝑜 𝑃𝑜 − ]
𝑅𝑇 2
1 𝑃𝑜 𝑃
𝐶𝐴 = [𝑃𝑜 + − ]
𝑅𝑇 2 2
3𝑃𝑜 − 𝑃
𝐶𝐴 = [ ]
2𝑅𝑇

Step 6: Substitusi 𝐶𝐴 pada persamaan

𝑑𝐶𝐴
− = 𝑘𝐶𝐴𝛼
𝑑𝑡
3𝑃𝑜 − 𝑃 𝛼
𝑑[ ]
− 2𝑅𝑇 = 𝑘 [ 3𝑃𝑜 − 𝑃]
𝑑𝑡 2𝑅𝑇

1 𝑑[3𝑃𝑜 ] 𝑑[𝑃] 3𝑃𝑜 − 𝑃 𝛼


[(− ) − (− )] = 𝑘 [ ]
2𝑅𝑇 𝑑𝑡 𝑑𝑡 2𝑅𝑇

𝑑[𝑃] 2𝑅𝑇
[(0) − (− )] = 𝑘 𝛼
[ 3𝑃𝑜 − 𝑃]𝛼
𝑑𝑡 2𝑅𝑇

𝑑𝑃
= 𝑘 (2𝑅𝑇)1−𝛼 [ 3𝑃𝑜 − 𝑃]𝛼
𝑑𝑡
Step 7: Lakukan permisalan untuk mempermudah
𝑘 ′ = 𝑘 (2𝑅𝑇)1−𝛼 sehingga didapat persamaan
𝑑𝑃
= 𝑘 ′ [ 3𝑃𝑜 − 𝑃]𝛼
𝑑𝑡
Perhatian: pastikan semua permisalan hanya mengandung
variable yang nilainya konstan (tidak boleh ada variable
yang nilainya berubah-ubah)

Step 8: Setiap ruas dari persamaan pada step 6 dikalikan dengan logaritma
natural

𝑑𝑃
ln ( ) = 𝛼 ln(3𝑃𝑜 − 𝑃) + ln 𝑘 ′
𝑑𝑡
𝑦 = 𝑎𝑥 +𝑏
dP
Step 9: Plot ln sebagai sumbu-y versus ln(3𝑃𝑜 − 𝑃)sebagai sumbu-x
dt
Nilai dP/dt didapat dari turunan persamaan P vs t menggunakan
software Ms.Excel

Hasil plot P vs t:
𝑃 = −5𝑥10−5 𝑡 4 + 0,0028𝑡 3 − 0,0718𝑡 2 + 1,3125𝑡 + 7,5272
Sehingga dP/dt:
𝑑𝑃
= −0,0002𝑡 3 + 0,0084𝑡 2 − 0,1436𝑡 + 1,3125
𝑑𝑡
t (menit) dP/dt In(dP/dt) 3Po-P In(3Po-P)
0 1.313 0.272 15 2.708
2.5 1.003 0.003 12 2.485
5 0.780 -0.249 10 2.303
10 0.517 -0.661 6.7 1.902
15 0.374 -0.985 4.6 1.526
20 0.201 -1.607 3.1 1.131
In(dP/dt) VS In(3Po-P)t
0.500

0.000
0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000
-0.500
In(dP/dt)

y = 1.1427x - 2.8338
R² = 0.9926
-1.000

-1.500

-2.000
In(3Po-P)

Step 10: Hitung orde dan konstanta laju reaksi


𝑑𝑃
ln = 𝛼 ln(3𝑃𝑜 − 𝑃) + ln 𝑘 ′
𝑑𝑡
𝑑𝑃
ln
= 1,1427 ln(3𝑃𝑜 − 𝑃) − 2,8338
𝑑𝑡
Sehingga, orde reaksi : 𝜶 = 𝟏, 𝟏𝟒𝟐𝟕 ≈ 𝟏

2. Buktikan dengan metode integral bahwa orde reaksi pada soal sebelumnya -
reaksi dekomposisi ditersier butyl peroksida - merupakan reaksi orde satu.

Pembahasan: (Metode Integral)

Dari soal sebelumnya didapatkan persamaan:

𝑑𝑃
= 𝑘 ′ [ 3𝑃𝑜 − 𝑃]𝛼
𝑑𝑡
Step 1: asumsikan 𝛼 = 1, lakukan penata-ulangan dan integrasi

𝑑𝑃
= 𝑘 ′ 𝑑𝑡
3𝑃𝑜 − 𝑃
Atau,
𝑃 𝑡
𝑑𝑃
∫ = 𝑘 ′ ∫ 𝑑𝑡
3𝑃𝑜 − 𝑃
𝑃𝑜 0
Misal:
𝑈 = 3𝑃𝑜 − 𝑃
𝑑𝑈
= −1 ⟺ −𝑑𝑈 = 𝑑𝑃
𝑑𝑃
𝑃 𝑡
𝑑𝑈
∫ = −𝑘 ′ ∫ 𝑑𝑡
𝑈
𝑃𝑜 0

ln 𝑈⃒𝑃𝑃𝑜 = −𝑘 ′ 𝑡
ln(3𝑃𝑜 − 𝑃) − ln( 3𝑃𝑜 − 𝑃𝑜 ) = −𝑘 ′ 𝑡
ln(3𝑃𝑜 − 𝑃)/( 2𝑃𝑜 ) = −𝑘 ′ 𝑡
2𝑃𝑜
ln( ) = 𝑘′𝑡
3𝑃𝑜 − 𝑃
2𝑃𝑜
Step 2: Plot ln( ) sebagai sumbu y versus t sebagai sumbu x
3𝑃𝑜 −𝑃
Tekanan
Time
Total 2Po/3Po-P In(2Po/3Po-P)
(menit)
(mmHg)
0 7,5 1,00 0
2,5 10,5 1,25 0,22
5 12,5 1,50 0,41
10 15,8 2,24 0,81
15 17,9 3,26 1,18
20 19,4 4,84 1,58

In(2Po/3Po-P) vs Waktu
2.00
In(2Po/3Po-P)

1.50

1.00
y = 0.0782x + 0.0146
0.50 R² = 0.9997

0.00
0 5 10 15 20 25
Waktu (menit)

Terlihat pada grafik nilai varians R2 = 0,9997; semakin dekat nilai varians ke 1
maka hasil asumsi untuk orde reaksi pada step 1 dikatakan cocok atau fit.
(Terbukti).
3. Dekomposisi fase gas A⟶ B + 2C, dilangsungkan pada reaktor batch
bervolume konstan. Percobaan 1-5 dilangsungkan pada temperatur 100 oC,
sementara itu percobaan 6 dilangsungkan pada temperatur yang berbeda yaitu
110oC. Berikut hasil percobaan yang berhasil tercatat.

Konsentrasi awal Waktu paruh


Percobaan
(mol/L) (menit)
1 0,0250 4,1
2 0,0133 7,7
3 0,0100 9,8
4 0,0500 1,96
5 0,0750 1,3
6 0,0250 2,0

a) Hitunglah orde reaksi, konstanta laju reaksi dan bentuk persamaan laju
reaksi
b) Berapa nilai energi aktivasi pada reaksi ini

Pembahasan: (Metode Waktu Paruh)

2𝛼−1 − 1
𝐼𝑛𝑡1 = (1 − 𝛼)𝐼𝑛𝐶𝐴𝑜 + 𝐼𝑛
2 (𝛼 − 1)𝑘
Analisis: reaksi yang dilangsungkan pada kondisi yang sama adalah
percobaan 1-5. Sehingga, percobaan 1-5 digunakan untuk mencari orde
reaksinya dan konstanta laju reaksi pada tempratur 100oC. Sedangkan,
percobaan keenam digunakan untuk mendapatkan nilai energi aktivasi
akibat perubahan temperatur.

a) Step 1: Urutkan data percobaan 1-5 dari konsentrasi terkecil hingga


terbesar
Konsentrasi awal Waktu paruh
Percobaan
(mol/L) (menit)
3 0,0100 9,8
2 0,0133 7,7
1 0,0250 4,1
4 0,0500 1,96
5 0,0750 1,3
Step 2: Cari nilai 𝐼𝑛𝐶𝐴𝑜 (𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑥), 𝐼𝑛𝑡1 (𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑦) kemudian plot
2
menggunakan scatter pada Ms. Excel

Metode Waktu Paruh


2.28 2.50
2.04

Waktu paruh (menit)


2.00
1.41 y = -1.0129x - 2.3529
R² = 0.9993 1.50

0.67 1.00

0.26 0.50

0.00
-5.00 -4.00 -3.00 -2.00 -1.00 0.00
Konsentasri awal (mol/L)

2𝛼−1 − 1
𝐼𝑛𝑡1 = (1 − 𝛼)𝐼𝑛𝐶𝐴𝑜 + 𝐼𝑛
2 (𝛼 − 1)𝑘
𝐼𝑛𝑡1 = −1,0129𝐼𝑛𝐶𝐴𝑜 − 2,3529
2

Step 3: Hitung orde reaksi, konstanta laju reaksi, dan bentuk persamaan
laju reaksi
- Orde reaksi
(1 − 𝛼) = −1,0129
𝛼 = 2,0129 ≈ 2
- Konstanta laju reaksi (100oC)
2𝛼−1 − 1
𝐼𝑛 = −2,3529
(𝛼 − 1)𝑘
22−1 − 1
𝐼𝑛 = −2,3529
(2 − 1)𝑘
22−1 − 1
= 𝑒 −2,3529
(2 − 1)𝑘
1
𝑘(100𝑜 𝐶) = −2,3529 = 𝑒 2,3529 = 10,516 𝑀−1 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 −1
𝑒
- Persamaan laju reaksi (100oC)
𝑑𝐶𝐴
− = 10,516 𝐶𝐴2 𝑀/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
𝑑𝑡
b) Step 1: Input data percobaan ke-6 ke persamaan dibawah ini untuk
mendapatkan nilai k pada T=110oC
2𝛼−1 − 1
𝐼𝑛𝑡1 = (1 − 𝛼)𝐼𝑛𝐶𝐴𝑜 + 𝐼𝑛
2 (𝛼 − 1)𝑘
22−1 − 1
𝐼𝑛 2 = (1 − 2)𝐼𝑛(0,025) + 𝐼𝑛
(2 − 1)𝑘
𝐼𝑛 2 = 3,688 − 𝐼𝑛(𝑘)
𝐼𝑛(𝑘) = 3,688 − 0,693 ≈ 3
𝑘(110𝑜𝐶) = 𝑒 3 ≈ 20 𝑀−1 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 −1
Step 2: Hitung energi aktivasi menggunakan persamaan Arhenius, dan
pastikan semua satuan sudah dalam satuan yang seharusnya
𝑘2 𝐸𝑎 1 1
𝐼𝑛 ( )= − ( − )
𝑘1 𝑅 𝑇2 𝑇1

20 𝐸𝑎 1 1
𝐼𝑛 ( )= − ( − )
10,516 𝐽 (110 + 273)𝐾 (100 + 273)𝐾
8,314
𝑚𝑜𝑙. 𝐾

𝐸𝑎 1 1
𝐼𝑛(1,902) = − ( − )
8,314 (383) (373)𝐾

8,314 𝑥 𝐼𝑛(1,902)
𝐸𝑎 = −
1 1
( − )
(383) (373)𝐾

𝐸𝑎 = 76351 𝐽/𝑚𝑜𝑙 = 76,351 𝑘𝐽/𝑚𝑜𝑙


4. Diketahui pengaruh konsentrasi awal HBr terhadap laju reaksi proses etching
pembuatan chip semikonduktor komputer sebagai berikut:

CAo
0,1 0,5 1,0 2,0 4,0
(mol HBr/L)
-rA x 102
0,073 0,70 1,84 4,86 12,84
(mol HBr/m2.h)

Tentukanlah karakteristik reaksi HBr (Orde dan konstanta laju reaksinya)


Pembahasan: (Metode Laju Inisial)

𝑑𝐶𝐴
𝐼𝑛 (− ) = 𝛼 𝐼𝑛(𝐶𝐴,𝑜 ) + 𝐼𝑛 𝑘𝐴
𝑑𝑡 𝑜
Analisis: Data yang diketahui adalah pengaruh konsentrasi awal HBr
terhadap laju proses etching. Sehingga, soal ini dapat
diselesaikan menggunakan metode laju inisial

Step 1: Cari nilai In(-rA) dan In(CA,o), kemudian plot pada grafik

CAo 0,1 0,5 1,0 2,0 4,0

-rA x 102 0,073 0,70 1,84 4,86 12,84

In(CAo) -2,303 -0,693 0 0,6931 1,3863

In(-rA x 102) -2,617 -0,357 0,6098 1,581 2,5526

In(-rA) vs In(CAo)
3

2
y = 1.4011x + 0.6107
R² = 1 1
In(-rA)

0
-2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2
-1

-2

-3
In(CAo)

𝑱𝒂𝒅𝒊, 𝜶 = 𝟏, 𝟒 𝒅𝒂𝒏 𝒌 = 𝒆𝟎,𝟔𝟏𝟎𝟕 = 𝟏, 𝟖𝟒 𝒙 𝟏𝟎−𝟐


Chapter 7
Nonelementary Reaction Kinetics
Penting: Output pada chapter ini
1. Dapat menggunakan Pseudo-Steady-State Hypothesis (PSSH) untuk
menurunkan persamaan laju reaksi untuk kasus reaksi non-elementer
2. Mengetahui contoh-contoh reaksi non-elementer dan dapat menentukan
persamaan laju reaksinya
3. Dan lain-lain

1. Pengertian Pseudo-Steady-State Hypothesis (PSSH)


Singkatnya, PSSH adalah suatu asumsi yang menganggap tidak adanya
perubahan konsentrasi terhadap waktu (konsentrasinya konstan). Ini berarti
bahwa, –rA= –(dCA/dt) =0. Asumsi PSSH memegang peranan penting dalam
menurunkan suatu persamaan reaksi non-elementer.

2. Contoh Reaksi non-elementer pada Chapter ini:


- Reaksi Polimerisasi
- Reaksi Cracking
- Reaksi Enzimatik
Untuk beberapa tahun berturut-turun di UTS TRK Bu Wulan menyertakan soal
reaksi enzimatik.
3. Reaksi Enzimatik
Ada 3 tipe paling umum untuk reaksi enzimatik:
- Soluble enzim dan insoluble substrat
- Insoluble enzim dan soluble substrat
- Soluble enzim dan soluble substrat
Tiga tipe diatas dapat dibentuk suatu persamaan laju reaksinya, jika diketahui
mekanismenya. Umumnya, mekanisme reaksinya diketahui. Jika tidak, maka
teman-teman dapat membuat mekanismenya sendiri dan menurunkan
persamaannya sendiri.
4. Mekanisme Reaksi Enzimatik dan Cara Penurunan Persamaan Laju
Reaksinya
Ada banyak kemungkinan mekanisme reaksi enzimatik.
Berikut adalah reaksi enzimatik yang tidak ada kehadiran inhibitor pada
reaksinya dan antara enzim dan substrat mengalami reaksi kesetimbangan.

𝐸 + 𝑆 ⇌ 𝐸. 𝑆
𝐸. 𝑆 + 𝑊 ⟶ 𝑃 + 𝐸
Dimana, E, S, W, E.S, dan P, masing-masing adalah enzim, substrat, air,
complex enzim-substrat dan produk.
k1,k2, merupakan konstanta laju bolak balik untuk reaksi pertama.
Sedangkan, k3 adalah konstanta laju untuk reksi pembentukan produk.
Dari mekanisme reaksi diatas,
- laju reaksi hilangnya substrate, −𝑟𝑠 ,
−𝑟𝑠 = 𝑘1 (𝐸)(𝑆) − 𝑘2 (𝐸. 𝑆)
- laju reaksi total pembentukan enzim-substrat, 𝑟𝐸.𝑆
𝑟𝐸.𝑆 = 𝑘1 (𝐸)(𝑆) − 𝑘2 (𝐸. 𝑆) − 𝑘3 (𝑊)(𝐸. 𝑆)
- Total enzim yang ada pada reaksi, 𝐸𝑡 adalah jumlah E yang tersisa dan
E yang sudah berikatan dengan substrat
𝐸𝑡 = 𝐸 + 𝐸. 𝑆
Atau jika disusun ulang,
𝐸 = (𝐸𝑡 − 𝐸. 𝑆)
- Substitusi nilai E ke persamaan laju reaksi total pembentukan enzim-
substrat:
𝑟𝐸.𝑆 = 𝑘1 (𝐸𝑡 − 𝐸. 𝑆)(𝑆) − 𝑘2 (𝐸. 𝑆) − 𝑘3 (𝑊)(𝐸. 𝑆)

Dengan PSSH, artinya 𝑟𝐸.𝑆 = 0, sehingga persamaan diatas jika


disusun ulang menjadi:
𝑘1 (𝐸𝑡 )(𝑆)
(𝐸. 𝑆) =
𝑘1 (𝑆) + 𝑘2 + 𝑘3 (𝑊)

- Kemudian substitusi (E) dan (E.S) ke laju reaksi hilangnya substrate,


menjadi
𝑘1 𝑘3 (𝑊)(𝐸𝑡 )(𝑆)
−𝑟𝑠 =
𝑘1 (𝑆) + 𝑘2 + 𝑘3 (𝑊)
5. Michaelis-Menten Equation
Apabila konsentrasi atau jumlah air pada reaksi dijaga konstan, (W) =
konstan, maka laju reaksi diatas disebut persamaan laju reaksi Michalies-
Menten. Misalkan:
𝑘2 +𝑘3′
𝑘3′ = 𝑘3 (𝑊) dan 𝐾𝑚 = 𝑘1
𝐾𝑚 : 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡𝑎 𝑀𝑖𝑐ℎ𝑎𝑒𝑙𝑖𝑠
Maka,
𝑘1 𝑘3′ (𝐸𝑡 )(𝑆)
−𝑟𝑠 =
𝑘1 (𝑆) + 𝑘2 + 𝑘3′
Atau dengan membagi pembilang dan penyebut dengan k1, menghasilkan:
𝑘3′ (𝑆)(𝐸𝑡 ) 𝑉𝑚𝑎𝑥 (𝑆)
−𝑟𝑠 = =
(𝑆) + 𝐾𝑚 (𝑆) + 𝐾𝑚
dimana Vmax untuk konsentrasi total enzim yang diktahui merepresentasikan
laju reaksi maksimum:
𝑉𝑚𝑎𝑥 = 𝑘3′ (𝐸𝑡 )
Contoh soal: Menghitung parameter Michaelis-Menten (Vmax dan Km)
Diketahui reaksi substrat dan enzim sebagai berikut:

𝑢𝑟𝑒𝑎 + 𝑢𝑟𝑒𝑎𝑠𝑒 ⇌ (𝑢𝑟𝑒𝑎. 𝑢𝑟𝑒𝑎𝑠𝑒) ⟶ 2𝑁𝐻3 + 𝐶𝑂2 + 𝑢𝑟𝑒𝑎𝑠𝑒


(𝑆) + (𝐸) ⇌ (𝐸. 𝑆) ⟶ (𝑃) + (𝐸)
Laju reaksi diberikan sebagai fungsi dari konsentrasi urea (substrat) pada tabel
berikut:
C(urea)
0,2 0,02 0,01 0,005 0,002
kmol/m3
-r(urea)
1,08 0,55 0,38 0,2 0,09
kmol/m3.s

Pembahasan:
Karena reaksi diatas mirip dengan penurunan reaksi pada teori chapter 7 yang mana
reaksinya tidak ada konsentrasi inhibitor, maka persamaan michaelis-menten diatas
dapat digunakan.
𝑉𝑚𝑎𝑥 (𝑆)
−𝑟𝑠 =
(𝑆) + 𝐾𝑚
Dapat disusun menjadi
1 (𝐶𝑢𝑟𝑒𝑎 ) + 𝐾𝑚
=
−𝑟𝑢𝑟𝑒𝑎 𝑉𝑚𝑎𝑥 (𝐶𝑢𝑟𝑒𝑎 )
1 𝐾𝑚 1 1
= ( )+
−𝑟𝑢𝑟𝑒𝑎 𝑉𝑚𝑎𝑥 𝐶𝑢𝑟𝑒𝑎 𝑉𝑚𝑎𝑥
Persamaan diatas merupakan persamaan linear, sehingga dapat dibentuk suatu
1 1
persamaan garis dengan plot 𝑣𝑒𝑟𝑠𝑢𝑠 (𝐶 ) dengan menggunakan Microsoft
−𝑟𝑢𝑟𝑒𝑎 𝑢𝑟𝑒𝑎
Excel.

1/C(urea) 5 50 100 200 500


1/-r(urea) 0,93 1,82 2,63 5,00 11,11

Silahkan coba plot sendiri di Microsoft Excel dan Selesaikan jawabannya.


Chapter 10
Catalysis and Catalytic Reactors

Penting: Output pada chapter ini


1. Pemahaman mengenai pengertian, fungsi, dan pengaruh dari katalis
terhadap suatu reaksi kimia
2. Dapat mengusulkan mekanisme reaksi dan mengembangkan hukum laju
dari mekanisme tersebut menggunakan algoritma yang ada
3. Dan lain-lain

Demi pemahaman yang lebih baik pada chapter 10, sebaiknya teman-teman
sudah memahami chapter sebelumnya: Collection & Analysis of Rate Data.

6. Pengertian, Fungsi dan Pengaruh Katalis


Katalis adalah suatu zat yang apabila ditambahkan ke dalam suatu reaksi kimia
dapat menyebabkan laju reaksi kimia menjadi lebih cepat atau lebih lambat.
Katalis dapat mempercepat ataupun memperlambat reaksi menuju
kesetimbangan dengan cara mengubah jalan atau mekanisme reaksi dan
mengubah energi aktivasi dari suatu reaksi kimia dan sama sekali tidak
mempengaruhi nilai konstanta kesetimbangan.

7. Mekanisme Reaksi
Mekanisme reaksi adalah suatu rangkaian ‘reaksi antara’ yang menjelaskan
bagaimana produk akhir reaksi dapat terbentuk dari reaktannya. Umumnya,
suatu mekanisme reaksi yang dikatalisis melalui tiga tahapan berikut: adsorpsi,
reaksi- permukaan (surface reaction), dan desorpsi.

Berikut adalah beberapa mekanisme reaksi yang Penulis rangkum setelah


membahas berbagai soal-soal. Tidak tertutup adanya mekanisme lain selain
yang penulis usulkan.

a. Mekanisme Reaksi untuk Dua Reaktan dan Dua Produk

𝑨+𝑩→ 𝑪+𝑫

- Kemungkinan Pertama

𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐴 + 𝑆 ⇌ 𝐴𝑆
𝐵 + 𝑆 ⇌ 𝐵𝑆
𝑆𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 ∶ 𝐴𝑆 + 𝐵𝑆 ⇌ 𝐶𝑆 + 𝐷𝑆
𝐷𝑒𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐶𝑆 ⇌ 𝐶 + 𝑆
𝐷𝑆 ⇌ 𝐷 + 𝑆
- Kemungkinan Kedua
𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐴 + 𝑆 ⇌ 𝐴𝑆
𝑆𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 ∶ 𝐴𝑆 + 𝐵 ⇌ 𝐶𝑆 + 𝐷
𝐷𝑒𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐶𝑆 ⇌ 𝐶 + 𝑆

- Kemungkinan Ketiga
𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐵 + 𝑆 ⇌ 𝐵𝑆
𝑆𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 ∶ 𝐴 + 𝐵𝑆 ⇌ 𝐶𝑆 + 𝐷
𝐷𝑒𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐶𝑆 ⇌ 𝐶 + 𝑆

- Kemungkinan Keempat
𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐴 + 𝑆 ⇌ 𝐴𝑆
𝑆𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 ∶ 𝐴𝑆 + 𝐵 ⇌ 𝐶 + 𝐷𝑆
𝐷𝑒𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐷𝑆 ⇌ 𝐷 + 𝑆

- Kemungkinan Kelima
𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐵 + 𝑆 ⇌ 𝐵𝑆
𝑆𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 ∶ 𝐴 + 𝐵𝑆 ⇌ 𝐶 + 𝐷𝑆
𝐷𝑒𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐷𝑆 ⇌ 𝐷 + 𝑆

b. Mekanisme Reaksi untuk Satu Reaktan dan Dua Produk


𝑨→𝑷+𝑸
- Kemungkinan
𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐴 + 𝑆 ⇌ 𝐴𝑆
𝑆𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 ∶ 𝐴𝑆 + 𝑆 ⇌ 𝑃𝑆 + 𝑄𝑆
𝐷𝑒𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝑃𝑆 ⇌ 𝑃 + 𝑆
𝑄𝑆 ⇌ 𝑄 + 𝑆

c. Mekanisme Reaksi untuk Satu Reaktan dan Satu Produk

𝑨⇌𝑩
- Kemungkinan
𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐴 + 𝑆 ⇌ 𝐴𝑆
𝑆𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 ∶ 𝐴𝑆 ⇌ 𝐵𝑆
𝐷𝑒𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ∶ 𝐵𝑆 ⟶ 𝐵 + 𝑆

S adalah active site pada katalis


8. Tahap Penentu Laju (TPL)/ Rate Limiting Step (RLS) / Rate Determining
Step (RDS)
Tahap penentu laju (TPL)/ (RLS)/ (RDS) merupakan suatu istilah yang sama.
TPL pada suatu mekanisme reaksi adalah tahap yang paling menentukan
untuk mengembangkan hukum laju. Pemilihan tahap mana (adsorpsi, reaksi
permukaan, desorpsi) yang menentukan laju reaksi akan berdampak pada
hukum laju akhir yang terbentuk. Biasanya, sebesar 75% reaksi yang dikatalisis
TPL-nya ada pada tahap reaksi permukaan dan sisanya adsorpsi dan desorpsi.
Sehingga akan sangat bijak untuk mengasumsikan reaksi permukaan sebagai
TPL terlebih dahulu.
TPL dapat juga diprediksi dari nilai konstanta laju dari setiap tahap (apabila
diketahui), dimana tahap dengan konstanta laju terkecil merupakan TPL.

9. Algoritma untuk Menentukan Mekanisme Reaksi dan Tahap Penentu Laju

Berikut merupakan algoritma yang dilalui dalam menentukan mekanisme


reaksi dan TPL.
1) Pilih mekanisme reaksi (sudah penulis sajikan dibagian materi
mekanisme reaksi)
2) Asumsikan tahap penentu laju (TPL)
3) Buat ungkapan matematis dari konsentrasi spesies yang
teradsorbed
4) Tuliskan site balance dan kombinasikan dengan step 3 jika perlu
5) Turunkan persamaan laju reaksi dengan mensubtitusi variable-
variabel dari step 3 dan step 4 ke step 2
6) Bandingkan/Fitting dengan data (biasanya hukum laju yang
terbentuk disusun menjadi persamaan multilinear dan diuji
menggunakan metode multiple regression) dengan melihat nilai sum
of square (R2) dari hasil regresi yang mendekati nilai = 1 dan nilai %
confidence interval.
7) Apabila nilai sum of square jauh dari 1 (model tidak fit dengan data),
maka:
- Asumsikan TPL selain reaksi permukaan, kemudian ulangi
algoritma 2 s/d 6
- Jika masih tidak ada yang fitting setelah ganti asumsi TPL, maka
ganti mekanisme reaksi, dan ulangi step 2 s/d 6
8) Selamat mencoba !

Anda mungkin juga menyukai