Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN

PEMERIKSAAN KADAR KALSIUM DAN FOSFAT ANORGANIK PADA


SERUM DARAH MANUSIA
BLOK 1.5
BASIC SCIENCE OF BLOOD, SUPPORT AND MOVEMENT SYSTEM

Oleh :
Kelompok 1

Haula Ajra Kamila (G1A018001)


Christina Kartika Situmorang (G1A018002)
Dinda Zulaikha (G1A018003)
Basilus Samuel Laiyan (G1A018004)
Lisa Nurfaizah Rosyadi (G1A018005)
Haniy Tri Afifaningrum (G1A018006)
Ivan Aryaguna (G1A018007)
Nine Loisye Payosa S (G1A018008)
Najmi Zain (G1A018009)
Aqilatun Nafisah (G1A018010)

Asisten
Dwi Liliyani
NIM. G1A016021

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Pemeriksaan Kadar Kalsium dan Fosfat Anorganik Pada Serum Darah


Manusia

Oleh :
Kelompok 1

Haula Ajra Kamila (G1A018001)


Christina Kartika Situmorang (G1A018002)
Dinda Zulaikha (G1A018003)
Basilus Samuel Laiyan (G1A018004)
Lisa Nurfaizah Rosyadi (G1A018005)
Haniy Tri Afifaningrum (G1A018006)
Ivan Aryaguna (G1A018007)
Nine Loisye Payosa S (G1A018008)
Najmi Zain (G1A018009)
Aqilatun Nafisah (G1A018010)

Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum Biokimia


Kedokteran Blok Basic Science Of Blood, Support And Movement System pada
Fakultas Kedokteran Jurusan Kedokteran Umum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Diterima dan disahkan


Purwokerto, Desember 2018

Asisten
Dwi Liliyani
NIM. G1A016021

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................3
A. Judul praktikum................................................................................3
B. Tanggal praktikum............................................................................3
C. Tujuan Praktikum.............................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................4


A. Kalsium ............................................................................................4
B. Fosfat Anorganik..............................................................................7

BAB III METODE......................................................................................8


A. Metode .............................................................................................8
B. Alat dan Bahan..................................................................................8
C. Cara Kerja.........................................................................................8
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................9
A. Hasil ..............................................................................................9
B. Pembahasan .....................................................................................9
C. Aplikasi Klinis.................................................................................10

BAB V KESIMPULAN..............................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................14

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum

“Pemeriksaan Kadar Kalsium dan Fosfat Anorganik Pada Serum Darah Manusia”
B. Tanggal Praktikum

Senin, 17 Desember 2018

C. Tujuan Praktikum

1. Pemeriksaan Kadar Kalsium dalam Darah

a. Mengukur kadar kalsium darah dengan metode CPC Photometric.

b. Menganalisis hasil pemeriksaan kadar kalsium darah.

2. Pemeriksaan Kadar Fosfat dalam Darah


a. Mengukur kadar fosfat anorganik dengan metode fotometri UV test.
b. Menganalisis hasil pemeriksaan kadar fosfat anorganik.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KALSIUM
1. Definisi Kalsium

Calcium (Ca) unsur logam alkali, ringan dan bewarna putih perak,
nomor atom 20, berat atom 40,078. Kalsium merupakan unsur yang
penting karena kadar yang konstan penting untuk fungsi jantung, saraf,
dan otot yang normal. Berperan dalam koagulasi darah (faktor IV
pembekuan darah) dan pada banyak proses enzimatik. (Dorland,2015).
2. Struktur Kalsium

Sekitar 99% Ca2+ di tubuh (sekitar 1000 g) berada dalam bentuk


kristal di tulang dan gigi. Dari Ca2+ sisanya, sekitar 0,9% ( 9 g) ditemukan
di dalam sel jaringan lunak, kurang dari 0,1% terdapat di CES. Sekitar
separuh Ca2+ terikat ke protein plasma dan karenanya terbatas di plasma
atau berikatan dengan PO43- sehingga tidak bebas ikut serta dalam reaksi-
reaksi kimia. Separuh Ca2+ lainnya dapat berdifusi bebas dan mudah
berpindah dari plasma kedalam cairan intertisium dan berinteraksi dengan
sel. Ca2+ bebas dalam plasma dan cairan intertisium dianggap sebagaisatu
kumpulan. Hanya Ca2+ CES bentuk bebas inilah yang secara biologis aktif
dan berada dibawah kontrol, jumlah ini membentuk kurang dari
seperseribu Ca2+ total di tubuh (Sherwood, 2016).
3. Fungsi Kalsium
a. Sebagai eksitabilitas neuromusculus. Penurunan Ca2+ bebas menyebabkan
syaraf dan otot mudah terangsang. Sebaliknya, peningkatan Ca2+ bebas
menekan eksabilitas neuromusculus. Efek ini terjadi karena pengaruh Ca2+
pada permeabilitas membran terhadap Na+ .
Penurunan Ca2+ bebas
meningkatkan permeabilitas Na+ yang menyebabkan influks Na+ dan
bergesernya potensial istirahat mendekati ambang (Sherwood, 2016).
b. Penggabungan eksitasi-kontraksi di otot jantung dan otot polos. Masuknya
Ca2+ CES ke dalam sel otot jantung dan otot polos, akibat peningkatan

4
permeabilitas Ca2+ sebagai respon terhadap suatu potensial aksi, memicu
mekanisme kontraksi (Sherwood, 2016).
c. Penggabungan stimulus sekresi. Masuknya Ca2+ ke dalam sel sekretorik
yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas terhadap Ca2+ sebagai
respon terhadap rangsangan yang sesuai, memicu pelepasan produk
sekretorik melalui proses eksositosis (Sherwood, 2016).
d. Penggabungan eksistesi-sekresi pada sel β. Masuknya Ca2+ dari CES
sebagai respon terhadap depolarisasi membrane menyebabkan sekresi
insulin (Sherwood, 2016).
e. Pemeliharaan taut erat antar sel-sel. Kalsium membentuk bagian dari
semen intrasel yang menyatukan sel-sel tertentu secara erat. (Sherwood,
2016).
f. Pembekuan darah. Kalsium berfungsi sebagai co-factor dalam beberapa
tahap pada jenjang reaksi yang menyebabkan pembekuan darah
(Sherwood, 2016).
g. Ca2+ intrasel berfungsi sebagai caraka kedua di banyak sel dan berperan
dalam mutilitas dan gerakan silia. Pada akhirnya, Ca2+ di tulang dan gigi
merupakan unsur esensial bagi integritas struktual dan fungsional
(Sherwood, 2016).
4. Regulasi Hormonal
a. Hormon Paratiroid

Kelenjar parathyroid terdapat di bagian posterior kelenjar thyroid, ada dua


buah pada tiap sisi. Kelenjar parathyroid mengeluarkan hormon parathyroid dan
merupakan hormon utama yang mengatur metabolisme kalsium untuk
mempertahankan agar kadar kalsium plasma dalam batasan normal. Hormon
parathyroid terdiri atas 84 asam amino rantai tunggal (Sudoyo, 2009).
Dalam keadaan normal hormon partiroid bekerja mempertahankan kadar
kalsium dalam plasma agar tidak terjadi hipokalsemi. Dalam kaitannya dengan
metabolisme kalsium, hormon paratiroid bekerja secara langsung pada dua alt
yaitu ginjal dan tulang, dan secara tidak langsung pada usus halus melalui
metabolisme vitamin D (Sudoyo, 2009).

5
b. Hormon Kalsitriol
Kalsitriol merupakan hormon yang bertugas meningkatkan kadar kalsium dan
fosfat dalam plasma. Kalsitriol memiliki tiga organ target, yaitu usus, tulang, dan
ginjal. Kalsitriol pada usus berfungsi untuk meningkatkan absorbsi kalsium dan
fosfat. Kalsitriol meningkatkan absorbsi kalsium oleh usus sekitar 35% (350
gram/hari). Sementara kalsitriol pada tulang berfungsi untuk meningkatkan
aktivitas osteoklas (Martini et al., 2012).
c. Hormon Kalsitonin
Hormon thyroid yang memiliki hubungan dalam keseimbangan / homeostasis
kalsium adalah kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu peptide yang terdiri dari 32
asam amino bekerja menghambat osteoklas sehingga resorpsi tulang tidak terjadi.
Hormone ini dihasilkan oleh sel C parafolikular kelenjar tiroid dan disekresi
akibat adanya perubahan kadar kalsium plasma. Kalsitonin baru akan dilepaskan
bila terjadi hiperkalsemi dan sekresi akan berhenti bila kadar kalsium menurun
atau hipokalsemi. Pemberian kalsitonin secara intravena akan menyebabkan
penurunan secara cepat kalsium plasma dan fosfat plasma melalui pengaruh
kalsitonin pada tulang dengan mengahambat osteoklas. Osteoklas dibawah
pengaruh kalsitonin akan mengalami perubahan morfologi. Dalam beberapa menit
osteoklas akan menghentikan aktivitasnya kemudian mengerut dan menarik batas
dari permukaan tulang (Sudoyo, 2009).
Reseptor kalsitonin selain terdapat pada sel osteoklas juga terdapat di
seltubulus proksimal ginjal sehingga kalsitonin memiliki peran pada ginjal. Pada
ginjal kalsitonin akan meningkatkan ekskresi fosfat melalui hambatan absorpsi
fosfat, mempunyai efek natriuresis ringan sehingga ekskresi kalsium oleh ginjal
dapat meningkat namun hal ini tidak memberikan efek pada kalsium plasma
(Sudoyo, 2009).
Seperti pada PTH, regulator pertama pelepasan kalsitonin adalah konsentrasi
Ca2+ bebas dalam plasma, tetapi berbeda efeknya dalam pelepasan PTH,
peningkatan Ca2+ pada darah merangsang sekresi kalsitonin dan penurunan Ca2+.
Karena kalsitonin menurunkan kadar Ca2+ dalam darah, maka sistem ini
membentuk kontrol umpan balik negatif sederhana keduanya atau konsentrasi
Ca2+ plasma, sistem yang berlawanan dengan sistem PTH (Sherwood, 2014).

6
B. Fosfat

Fosfat ditemukan dalam bentuk asam fosfat (H3PO4 2- ) yang bekerja


pada sistem buffer saliva untuk menjaga kestabilan asam-basa rongga mulut
khususnya pada saliva unstimulated. (Vasudevan, 2012) .

Fosfor mempunyai berbagai fungsi di dalam tubuh. Di antaranya yaitu


proses kalsifikasi tulang dan gigi, mengatur pengalihan energi, absorpsi dan
transportasi zat gizi, untuk menyebrangi membran sel dan dalam aliran darah,
sebagai bagian dari ikatan tubuh esensial, dan pengatur keseimbangan asam basa
cairan tubuh. Kalsifikasi tulang dan gigi diaawalai dengan pengendapan fosfor
pada matriks tulang. Fosfor yang berikatan dengan kalsium ( membentuk
hidroksiapatit) memberikan kekuatan dan kekakuan pada tulang.
(Wirakusumah,2007)

Homeostasis fosfat diatur oleh aksi yang terkoordinasi dari kelenjar


paratiroid, tulang,usus, dan ginjal. Karena eksresi fosfat pada ginjal adalan
langkah terakhr regulasi total homeostasis fosfat dalam tubuh. (Lederer, 2014)

Fosfat dalam darah memiliki berbagai macam fungsi termasuk mengatur


homeostasis fosfat yang dipengaruhi oleh faktor eksogen (waktu, musim, diet)
dan faktor endogen (usia, jenis kelamin, genetik). Mekanisme interaksi dari semua
faktor yang menuju pada kadar fosfat akhir yang terukur dalam darah belum
teridentifikasi. (Lederer,2014)

7
BAB III

METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Spuit 3cc
b. Torniquet
c. Vacuum tube purple (EDTA)
d. 12 Tabung reaksi 3 ml
e. Rak tabung reaksi
f. Pipet kaliper
2. Bahan
a. Darah 3 cc dalam bentuk serum
b. NaCI 0,5%
c. Aquades
B. Cara Kerja

Sampel darah
vena 3 cc

Vacutainer (non
EDTA)

Sentrifuge 4000
rpm 10 menit

Ca 20 mikroliter Fosfat 10 mikroliter

Reagen 1000 mikroliter


Reagen 1000 mikroliter

Inkubasi 10 menit Inkubasi 10 menit

Spektrofotometer

8
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Hasil
a. Identitas Probandus

Nama : Najmi Zain

Umur : 18 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

b. Hasil pengamatan : 10,1 mg/dl

Senyawa/Unsur Kadar pada Sampel Kadar Normal


Ca 16,00 mg/dl 8,1-10,4 mg/dl
Fosfat 2,96 mg/dl 2,5-5 mg/dl

c. Interpretasi hasil

Kadar calcium di darah : meningkat

Kadar phospat di darah : normal

B.Pembahasan
Berdasarkan pemeriksaan kadar kalsium darah terhadap probandus
diketahui bahwa kadar kalsium darah dikategorikan naik, yaitu sebesar 16
mg/dl. Pengukuran tersebut dilakukan dengan alat spektrofotometer melalui
metode CPC Photometric. Diperkirakan bahwa probandus memiliki kadar
kalsium yang tinggi karena kadar kalsium darah probandus kurang dari nilai
normal. Nilai normal adalah 8,1 – 10,4 mg/dl untuk pasien dewasa.
Maka dari itu, probandus perlu melakukan usaha penurunan kadar kalsium
dalam tubuhnya.
Namun, hasil ini tidak sepenuhnya akurat. Hal tersebut dikarenakan
adanya kekurangan praktikan dalam melakukan pemeriksaan. Kekurangan

9
tersebut dapat berupa kesalahan dalam pengambilan sampel darah, sentrifugasi,
pencampuran dengan reagen, ataupun dalam masa inkubasi.

C. Aplikasi Klinis

1. Hiperfosfatemia

Kadar fosfat anorganik yang tinggi disebut hiperfosfatemia.


Hiperfosfatemia dapat terjadi pada semua orang dan semua usia, yang kadar
fosfat anorganiknya lebih dari 4,5 mg/dL. Penelitian ini juga didukung oleh
teori yang mengatakan bahwa, hiperfosfatemia di atur oleh ginjal, penyakit
ginjal biasanya paling sering terjadi pada orang tua.14 Pada pembahasan ini,
didapatkan kelompok usia yang terbanyak memiliki kadar fosfa anorganik
tinggi adalah usia tua yaitu usia 66-75 tahun. Contohnya pada pasien penyakit
ginjal kronik, rata-rata kadar fosfat anorganiknya meningkat dikarenakan
terjadi peningkatan arbsorpsi fosfat pada usus atau perubahan cepat cairan
intraseluler terhadap ekstraseluler. Kadar fosfat yang tinggi disebut dengan
hiperfosfatemia (Prameswari dan Fitranti, 2015)

2. Hiperparatiroidisme

Hiperparatiroidisme atau hipersekresi PTH adalah keadaan dimana


terjadinya sekresi PTH berlebihan didalam tubuh manusia. Biasanya
disebabkan oleh tumor dengan hipersekresi di salah satu kelenjar paratiroid,
ditandai oleh hiperkalsemia (kelebihan kalsium) dan hiposfatemia
(kekurangan fosfat). Gejala terutama disebabkan oleh meningkatnya
eksitabilitas neuromuskular akibat berkurangnya kadar Ca2+ bebas dalam
plasma. Jika PTH sama sekali tidak ada maka pasien akan cepat meninggal
akibat spasme hipokalsemik otot-otot pernapasan. Pada defisiensi relatif PTH
(bukan ketiadaan total), muncul gejala-gejala ringan peningkatan eksitabilitas
neuromuskulus. Kram dan kedutan otot timbul akibat aktivitas spontan di
saraf motorik, sementara kesemutan dan sensasi seperti ditusuk terjadi karena
aktivitas spontan saraf sensorik. Perubahan mental mencakup iritabilitas dan
paranoia. (Sherwood, 2017)

Hiperparatiroidisme dibagi menjadi tiga jenis, hiperparatiroidisme primer


terjadi akibat hipokalsemia yang lama. Bisa juga disebabkan malabsorbsi
vitamin-D, penyakit ginjal kronik berat (hiperparatiroidisme sekunder).
(Setyohadi, 2015)

Hiperparatiroidisme tersier ditandai dengan sekresi berlebihan yang sangat


bermakna hormon paratiroid dan hiperkalsemia disertai dengan hiperplasi
paratiroid akibat respon berlebihan terhadap pemberian kalsium dan kalsitriol
dan terjadi pada penyakit ginjal kronik tahap terminal. (Setyohadi, 2015)

10
3. Hiperkalsemia intoksikasi vitamin D

Terjadi karena peningkatan usus penyerapan kalsium dan dari efek


langsung 1,25 [OH] 2D3 Untuk meningkatkan resorpsi tulang pada kasus
yang berat. Karena itu bifosfonat terapi dapat bermanfaat ditambahkan ke
rezim. (Gupta dkk., 2014)

Batas antara normokalsemia dan hiperkalsemia akibat pemberian vitamin


D sempit sehingga kadang-kadang tidak deisadarai sudah terjadi
hiperkalsemia. Hiperkalsemia dipermudah dengan pemberian vitamin D
bersama dengan diuretik tiazid. (Setyohadi, 2015)

4. Hiperkalsemia

Hiperkalsemia menurunkan eksitabilitas jaringan saraf dan otot,


menyebabkan gangguan sarafdan kelemahan otot,termasuk penurunan
kewaspadaan, kurangnya daya ingat,dan depresi. Juga dapat terjadi gangguan
jantung. (Sherwood, 2017)

Hiperkalsemia terkait keganasan berasal dari sel-sel tumor metastatik yang


menginvasi dan menghancurkan tulang, maka akan terjadi hiperkalsemia dan
hiperfosfatemia karena terjadi pembebasan garam-garam kalsiumfosfat dari
tulang yang rusak. Kenyataan bahwa hipofosfatemia, bukan hiperfosfatemia,
yang sering menyertaihiperkalsemia terkait keganasan, menyebabkan para
peneliti menyingkirkan kemungkinan kerusakan tulangsebagai penyebab
hiperkalsemia. Mereka mencurigai bahwa tumor menghasilkan suatu substrat
yang kerjanya mirip dengan kerja PTH dalam mendorong hiperkalsemia dan
hipofosfatemia. (Sherwood, 2017)

5. Osteoporosis

Massa tulang juga dapat berkurang seiring dengan penuaan. Kepadatan


tulang memuncak pada usia 30-an, kemudian mulai turun setelah usia 40
tahun. Pada usia 50 sampai 60 tahun, resorpsi tulang sering melebihi
pembentukan tulang. Akibatnya adalah penurunanmassa tulang karena
menurunnya aktivitas osteoblas dan/atau peningkatan aktivitas osteoklas
daripada kelainan kalsifikasi tulang. Kausa yang mendasari osteoporosis
masih belum diketahui. Kadar Ca2+ dan PO43- plasma normal, demikian juga
PTH. Osteoporosis terjadi lebih sering pada wanira pascamenopause karena
berkurangnya estrogen yang memelihara tulang. (Sherwood, 2017)

Osteoporosis, penurunan kepadatan tulang akibat berkurangnya


pengendapan matriks organik tulang adalah suatu masalah kesehatan besar
yang mengenai 38 juta orang di Amerika Serikat. Keadaan ini terutama
banyak dijumpai pada wanita perimenopause dan pascamenopause. (Peri

11
menopause adalah masa peralihan dari siklus haid normal ke penghentian haid
akibat menurunnya fungsi ovarium. Menopause adalah penghentian haid
secara permanen). Selama waktu ini, wanita mulai kehilangan 1% atau lebih
densitas tulangnya per tahun. Kepadatan tulang wanita lanjut usia biasanya
hanya 50% sampai 80% dari kepadatan puncak mereka pada usia 35 tahun,
sementara tulang pria lanjut usia mempertahankan 80% sampai 90% dari
kepadatan masa muda mereka. (Sherwood, 2017)

Osteoporosis adalah penyebab tingginya insidens fraktur tulang pada


wanita berusia lebih dari 50 tahun dibandingkan populasi pada umumnya.
Karena massa tulang berkurang maka tulang menjadi lebih rapuh dan lebih
rentan patah akibat jatuh, terpukul, atau mengangkat sesuatu yang normalnya
tidak akan mempengaruhi tulang normal. Untuk setiap pengurangan 10%
massa tulang, risiko fraktur berlipat dua. (Sherwood, 2017)

Osteoporosis adalah penyebab yang mendasari sekitar 1,5 juta fraktur


setiap tahun, dengan 530.00 di antaranya adalah fraktur vertebra dan 221.000
fraktur panggul. Biaya perawatan dan rehabilitasinya adalah 14 milyar $
pertahun. Biaya nyeri, penderitaan, dan hilangnya independensi tak terhitung.
Separuh dari wanita Amerika mengalami nyeri dan deformitas tulang
belakang pada usia 75 tahun (Sherwood, 2017)

6. Gagal Ginjal Kronik

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya bergantung pada


penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi sturktural dan fungsional nefron yang masih sama(surviving
nephron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinta
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis
renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivitas janga
panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron,sebagian diperantarai oleh growth
factors seperti transforming growth factors β(TGF-β). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat
variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibroisis glomerolus
maupun tubulo intertisial. (Mulya, 2014)

12
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum
merasakan keluhan(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan
pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan
penurunan berat badan. Smapai pada LFG dibawah 30% pasien
memperlihatkan gejala dan tanda urenia yang nyata seperti, anemia,
peningkatan pruritus, mual, muntah, dan lain sebagainya. Pasien juga mudah
terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun
infeksi saluran serna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti
hipo atau hiperfolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium
dan kalium. Pada LFG dibawah 15% pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal(renal replacement therapy) antara lain dialysis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal. (Mulya, 2014).

7. Osteomalasia

Osteomalsia adalah kelainan akibat tidak sempurnanya mineralisasi tulang


baru yang masih dalam bentuk osteoid pada tempat turnover tulang. Sebagian
besar osteomalasia terjadi melalui mekanisme akibat hipokalsemia,
hipophosfatemia, atau hambatan langsung proses mineralisasi. Proses
mineralisasi tulang dan tulang rawan sangat kompleks, dimana kalsium dan
fosfat anorganik disimpan dalam matriks organik. Proses ini bergantung pada:

1) Ketersediaan kalsium dan fosfat di dalam cairan ekstraselluler.

2) Fungsi metabolik dan transport yang adekuat di dalam kondrosit


dan osteoblas dalam meregulasi kadar kalsium, fosfat, dan ion lainnya pada
tempat mineralisasi.

3) pH yang Optimal untuk deposit kalsium-fosfat kompleks.

4) Rendahnya kadar inhibitor kalsifikasi pada matriks tulang.

Manifestasi klinis osteomalasia pada orang dewasa relatif tidak spesifik.


Gambaran laboratorium yang biasa didapat yaitu:

1) Alkali fosfatase serum meningkat (pada 95 – 100 % kasus).

2) Kalsium dan fosfor serum menurun (pada 27 – 38 % kasus).

3) Kalsium urin rendah (pada 87 % kasus).

13
4) 25-Hidroksivitamin D kurang dari 15 ng/ml (pada 100 % kasus)

5) Peningkatan kadar PTH (pada 100 % kasus).

Gambaran radiologi yang biasa didapat yaitu:

1) Fraktur inkomplit adalah tanda klasik osteomalasia, tampak


sebagai garis lussen yang menggambarkan unmineralisasi osteoid.

2) Gambaran densitas yang rendah karena gangguan mineralisasi dan


bisa mirip dengan osteoporosis.

3) Deformitas tulang dan epifise yang melebar.

Pencegahan osteolmalasia dapat dilakukan dengan mendapatkan sinar


ultraviolet yang cukup dari matahari selama 15 menit (setidaknya 2 kali
seminggu), makanan alami sumber vitamin D (ikan salmon, maccerel, minyak
ikan, sarden, tuna kaleng), dan susu sapi (Siahaan, 2015).

14
BAB V
KESIMPULAN

Pada pemeriksaan kadar kalsium dan fosfat darah terhadap probandus,


didapatkan hasil kadar kalsium dan fosfat sebagai berikut :

1. Hasil yang didapatkan dari pemeriksaan Kalsium dengan metode CPC


Fotometrik adalah 16 mg/dL. Hasil didapat dari spektrofotometer metode
end point dengan nilai normal 8,5-10,5 mg/dl.
2. Hasil yang didapatkan dari pemeriksaan fosfat dengan metode fotometri
UV test adalah 2,96 mg/dl. Hasil didapat dari spektrofotometer metode
end point dengan nilai normal 2,5-5,0 mg/dl atau 0,81-1,62 mmol/l.

Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kadar


kalsium dan fosfat dalam darah probandus normal.

15
DAFTAR PUSTAKA

Aru. WS., Bambang. S., Idrus. A., Marcellus. SK., Siti. S. 2015. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I. Internal publishing.

Dorland.2015. Kamus Saku Kedokteran Dorland, Edisi 29. Singapura : Elsevier.

Gupta, A. K., Jamwal, V., Sakul., Malhotra, P. 2014. Hypervitaminosit D and


Systemic Manifestation: A Comprehensive Review. JIMSA Oct. - Dec.
Vol. 27 (4) page 236-237.

Lederer,E.2014.Regulation of Serum Phosphate.Journal of Phisiology.Vol. 23(5).


Pp : 502-506.

Martini. 2012. Fundamentals of Anatomy & Physiology (ninth edition). San


Francisco: Pearson Education Inc.

Mulya, F., Bahar, H. 2014. Hubungan Asupan Suplemen Kalsium Pada Ibu Hamil
Dengan Penunjang Bayi Saat Lahir di Wilayah Cengkarang, Jakarta Barat,
Nutrire Diatia, 6 (2), 81-98

Prameswari, N., Fitranti, D. Y. 2015. Hubungan Asupan Fosfor dengan Kalsium


Urin pada Wanita Dewasa Awal. Journal Of Nutrition Collage. Vol. 4 (2)
page 520-525.

Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.

Siahaan, G., Nasution, E., Sitohang, U. 2015. Hubungan Kebiasaan Senam,


Asupan Kalsium, dan Vitamin C Dengan Densitas Massa Tulang. Journal of
The Indonesian Nutrition Association. 38 (2), 115-124.

Sudoyo, W. 2009. Aru ; Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta :
Interna Publishing.

Vasudevan, DM.2012.Textbook of biochemistry for dental student 2 nd Ed. New


Delhi: JP Medical Ltd.

Wirakusumah, E.S., 2007. Mencegah Osteoporosis.Jakarta: Wisma Hijau.

16

Anda mungkin juga menyukai