Anda di halaman 1dari 94

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia

Indonesia yang seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat yang adil,

makmur materil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945. Pembangunan nasional yang kini digalahkan oleh pemerintah difokuskan

pada sektor ekonomi sebagai penopang dari pembangunan bidang industri, guna

mewujudkan masyarakat industri. Hal ini tentunya berhubungan dengan peranan

sektor pertanian yang sangat penting sebagai salah satu penyuplai bahan baku

industri, terutama dalam upaya mewujudkan keseimbangan dalam struktur

perekonomian nasional yakni terciptanya sektor industri yang maju dan didukung

oleh sektor pertanian yang tangguh.

Pada tanggal 1 April 1969 Indonesia melaksanakan repelita yang titik

beratnya adalah pada pembangunan sektor pertanian. Sektor pertanian mendapat

prioritas utama karena sektor ini ditinjau dari berbagai segi memang merupakan

sektor yang dominan dalam ekonomi nasional. Misalnya kontribusinya dalam

pendapatan nasional, peranannya dalam pemberian lapangan kerja pada penduduk

yang bertambah dengan cepat, kontribusinya dalam penghasilan devisa dan lain-

lain (Mubyarto, 1989: 220).

Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa pertanian merupakan basis

negara agraris seperti Indonesia, tak dapat dipungkiri lagi bahwa pertanian

merupakan sentral utama penghidupan negara kita, Indonesia dikatakan sebagai


2

negara agraris karena sumber daya alam yang dimilikinya sangat melimpah dan

menunjang sektor pertanian.

Bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar dari mereka berprofesi

sebagai petani, tanah dan hutan memiliki peranan yang teramat penting bagi

kehidupan petani, dikarenakan tanah dan hutan merupakan media bagi petani

untuk bercocok tanam guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Taucid

(1952: 6) soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia

karena tanah dan hutan adalah asal dan sumber makanan. Soal tanah adalah soal

hidup, soal darah yang menghidupi segenap manusia. Perebutan tanah berarti

perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela

menumpahkan darah, mengorbankan segala hal yang ada untuk mempertahankan

hidup selanjutnya. Hal tersebut membuktikan bahwa tanah dan hutan sangat besar

peranannya bagi rakyat Indonesia.

Dalam mengolah sumber daya alam yang ada, saat ini masyarakat

Indonesia mayoritas telah menggunakan sistem pertanian modern di dalam

bercocok tanam, namun tak dapat dipungkiri pula bahwa hingga saat ini masih

ada masyarakat Indonesia yang menggunakan sistem pertanian tradisional di

dalam bercocok tanam.

Pertanian tradisional yaitu kegiatan pengolahan tanaman dan lingkungan

dengan menggunakan alat-alat sederhana, baik itu pada saat proses pembukaan

lahan pertanian, proses pengolahan lahan pertanian, proses perawatan tanaman

maupun pada saat proses panen. Selain itu, pertanian tradisional selalu identik

dengan proses bercocok tanam berotasi atau berpindah-pindah.


3

Menurut Purba (2005: 46) sistem pertanian tradisional (berladang

berpindah/berotasi) yaitu suatu kegiatan berladang tanaman pangan (padi atau

umbi-umbian) secara berpindah-pindah dengan teratur (berotasi) di lahan hutan.

Ladang-ladang itu dibuka dengan cara menebang hutan dan membakarnya,

sampai diperoleh lahan pertanian yang cukup luas untuk ditanami padi dan umbi-

umbian.

Saat ini masyarakat yang masih menggunakan sistem pertanian tradisional

jumlahnya sudah sedikit, di mana hal ini salah satunya disebabkan oleh

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai cara pengolahan

sumber daya alam sektor pertanian menggunakan teknologi modern.

Oleh karena itu, saat ini masyarakat Indonesia sudah lebih banyak beralih

menggunakan sistem pertanian modern, mereka menganggap dengan

menggunakan sistem pertanian modern akan lebih efektif dan efisien di dalam

bercocok tanam bila dibandingkan dengan menggunakan sistem pertanian

tradisional.

Sistem pertanian modern yaitu merupakan kegiatan mengolah alam

(bercocok tanam) yang dibantu dengan alat-alat teknologi masa kini, seperti

petani membajak sawah menggunakan mesin traktor, tidak lagi menggunakan

bantuan kerbau seperti dulu dan sebagainya.

Menurut Mosher (1974: 17) pertanian dikatakan modern apabila

memenuhi syarat-syarat berikut: (1) teknologi dan efisiensi usaha taninya terus-

menerus diperbaiki, (2) hasil bumi yang diproduksi terus-menerus berubah sesuai

dengan adanya perubahan permintaan konsumen dan perubahan biaya produksi


4

yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam teknologi, dan (3) perbandingan

antara penggunaan tanah, tenaga kerja dan modal pada usaha tani terus berubah

sesuai dengan adanya produk, perubahan dalam alternatif kesempatan kerja dan

perubahan teknologi usaha tani.

Pada dasarnya sistem pertanian modern bukan hanya diterapkan untuk

pemenuhan kebutuhan pangan manusia dan pemuliaan spesies pertanian, tetapi

sudah lebih ke arah bagaimana cara optimalisasi usaha tani untuk menghasilkan

bahan pangan yang bermutu, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Oleh

karena itu, saat ini mayoritas petani yang ada di Indonesia telah meninggalkan

sistem pertanian tradisional dan beralih menggunakan sistem pertanian modern

dalam bercocok tanam. Salah satunya adalah petani etnis Moronene yang ada di

Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara, di mana etnis

Moronene yang ada di daerah tersebut awalnya menggunakan sistem pertanian

tradisional dalam bercocok tanam dan saat ini mereka telah menerapkan sistem

pertanian modern dalam bercocok tanam, guna meningkatkan taraf kehidupan

(kesejahteraan) mereka.

Pada tahun 1983 hingga tahun 1988 etnis Moronene yang ada di

Kecamatan Watubangga masih menggunakan sistem pertanian tradisional, di

mana dalam bercocok tanam mereka masih menggunakan sistem pertanian

berotasi (berpindah-pindah), yaitu awalnya mereka memilih lahan atau hutan

yang akan dijadikan sebagai lokasi pertanian, setelah lokasi ditentukan kemudian

petani Moronene mengadakan upacara membuka lahan (moo’oli) dengan tujuan

agar proses pembukaan lahan berjalan lancar tanpa ada hambatan, setelah
5

melakukan prosesi upacara moo’oli, kemudian mereka membuka hutan tersebut

dengan cara menebas semak-semak (moromba/mowu) terlebih dahulu dan

kemudian menebang pohon-pohon besar (mempodu ke’u) menggunakan parang

(neromu) dan kampak (pari), setelah pohon dan semak tersebut mengering

kemudian dikumpulkan dan dibakar (bungkali). Setelah proses penebangan dan

pembakaran selesai, kemudian dilakukan pemagaran terhadap lahan tersebut dan

setelah itu petani Moronene melihat posisi bintang di langit yang berjejer 3

(tina’o) untuk menentukan awal tanam yang baik, apabila posisi bintang tersebut

telah berada di sebelah barat, maka mereka akan memulai proses penanaman

(membula) yang diawali dengan upacara yang serupa pada saat awal pembukaan

lahan (moo’oli), setelah upacara selesai dilaksanakan maka mereka akan mulai

menanam padi (pae) atau jagung (puhu) dengan cara ditugal (motasu)

menggunakan potasu (alat tugal), setelah benih ditanam kemudian petani

Moronene melakukan perawatan terhadap tanaman dengan cara membersihkan

tumbuhan pengganggu (mewelahi) dengan menggunakan sabit kecil (sube) hingga

tanaman siap panen. Setelah tanaman siap panen, kemudian petani Moronene

melakukan upacara panen (mobelai) yang dipimpin oleh dukun yang

membindangi pertanian (tumpuko’o) sebelum panen dimulai, setelah upacara

selesai dilaksanakan kemudian masyarakat petani Moronene memanen (moweho)

padi menggunakan alat ani-ani (pongkotu), di mana sipemilik lahan membagi

(mombage) hasil panen dengan petani lainnya yang membantu proses panen

dengan perbandingan 5-1, lima ikat untuk pemilik dan satu ikat untuk yang

membantu proses panen. Setelah proses panen (moweho) selesai, kemudian petani
6

Moronene menyimpan hasil panen di lumbung (kampiri) yang sebelumnya

diawali dengan upacara penyimpanan hasil panen (motompuhi kampiri).

Setelah lahan ditanami satu sampai tiga kali, kemudian petani Moronene

meninggalkan lahan tersebut dan membuka lahan lainnya karena kesuburan tanah

yang diolah telah berkurang, sehingga mempengaruhi kualitas dan hasil panen,

kemudian mereka akan kembali lagi ke lahan tersebut setelah tanah yang

ditinggalkan tersebut kesuburannya telah kembali. Pada saat petani Moronene

masih menerapkan sistem pertanian tradisional dalam bercocok tanam, mereka

hanya bisa menanam dan panen 1 kali pertahun. Selain itu, mereka masih

menggunakan peralatan-peralatan yang sederhana, baik itu pada saat membuka

lahan, mengolah tanah pertanian, merawat tanaman, maupun pada saat panen dan

pengolahan hasil panen. Selain itu pula, pada saat petani Moronene melakukan

perawatan terhadap tanaman, mereka belum menggunakan pupuk organik (pupuk

kandang), pupuk anorganik (pupuk buatan) dan pestisida, sehingga potensi

kegagalan panen akibat serangan hama dan penyakit akan besar, karena mereka

hanya mengandalkan kesuburan tanah yang mereka olah dan keberuntungan

belaka dalam bercocok tanam.

Pada kurun waktu 1983-1988 ini, jenis tanaman yang ditanam oleh petani

Moronene masih sangat terbatas, di mana mereka hanya menanam tanaman

seperti padi gogo, jagung, umbi-umbian, sayur-sayuran serta tanaman rempah-

rempah. Hal tersebut disebabkan oleh pengetahuan akan jenis tanaman pertanian

yang mereka ketahui masih sangat sedikit, karena pada kurun waktu ini

masyarakat Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga belum begitu banyak


7

mendapatkan pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

khususnya pada bidang pertanian, selain itu kurangnya interaksi dengan

masyarakat pendatang yang ada di daerah mereka juga menjadi salah satu faktor

etnis Moronene masih menerapkan sistem pertanian tradisional dalam kurun

waktu tersebut.

Etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga mulai menerapkan

sistem pertanian modern pada awal tahun 1989, di mana pada awalnya mereka

belum merubah total sistem pertanian mereka, mereka hanya meniru penggunanan

pupuk organik dan pupuk anorganik dari petani-petani pendatang (transmigran

asal pulau Jawa dan Bali) yang menggunakan sistem pertanian modern, tetapi

mereka masih menggunkan sistem pertanian berotasi atau berpindah-pindah.

Kemudian etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga mulai

menerapkan sistem pertanian modern seutuhnya pada awal tahun 1991 hingga saat

ini, di mana sejak menerapkan sistem pertanian modern dalam bercocok tanam,

taraf kehidupan petani etnis Moronene lambat laun mulai meningkat dan lebih

sejahtera bila dibandingkan pada saat mereka masih menerapkan sistem pertanian

tradisional. Setelah menerapkan sistem pertanian modern dalam bercocok tanam,

petani etnis Moronene telah menggunakan sistem pertanian menetap dalam

bercocok tanam dengan jarak tanam yang tidak terlalu lama setelah panen (1-3

kali panen pertahun). Selain itu, petani Moronene telah menggunakan alat-alat

modern (traktor, alat penyemprot, mesin perontok padi, mesin penggiling padi,

dan lain sebagainya), kemudian mereka telah menggunakan pupuk organik,

pupuk anorganik dan pestisida dalam proses perawatan tanaman sehingga mereka
8

dapat meningkatkan produksi serta kualitas hasil panen secara baik. Hal ini

disebabkan interaksi sosial etnis Moronene dengan masyarakat pendatang

(transmigran asal pulau Jawa dan Bali) telah terjadi secara intensip dan

merekapun sudah dapat menerima perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

dalam kehidupan mereka, selain itu adanya peran pemerintah dan PPL (penyuluh

pertanian lapangan) juga mempengaruhi terjadinya perubahan sistem pertanian

tradisional menjadi sistem pertanian modern pada etnis Moronene di Kecamatan

Watubangga Kabupaten Kolaka. Kemudian faktor-faktor lain yang mempengaruhi

terjadinya perubahan sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian

modern pada etnis Moronene di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka

adalah faktor teknologi, faktor irigasi, faktor pendidikan dan faktor pengalaman.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka

permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana wujud perubahan sistem pertanian pada etnis Moronene di

Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka, dari sistem pertanian tradisional

menjadi sistem pertanian modern?

2. Apa penyebab terjadinya perubahan sistem pertanian pada etnis Moronene di

Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka, dari sistem pertanian tradisional

menjadi sistem pertanian modern?

3. Apa dampak terjadinya perubahan sistem pertanian tradisional menjadi sistem

pertanian modern terhadap lingkungan, kehidupan sosial budaya dan ekonomi

etnis Moronene di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka 1991-2012?


9

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui wujud perubahan sistem pertanian pada etnis Moronene di

Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka, dari sistem pertanian tradisional

menjadi sistem pertanian modern.

2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perubahan sistem pertanian pada etnis

Moronene di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka, dari sistem pertanian

tradisional menjadi sistem pertanian modern.

3. Untuk mengetahui dampak terjadinya perubahan sistem pertanian tradisional

menjadi sistem pertanian modern terhadap lingkungan, kehidupan sosial

budaya dan ekonomi etnis Moronene di Kecamatan Watubangga Kabupaten

Kolaka 1991-2012.

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan di atas, penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan

manfaat untuk hal-hal sebagai berikut.

1. Manfaat Teoritis

Bermanfaat sebagai referensi atau bahan masukan untuk menambah

khasanah ilmu pengetahuan mengenai ilmu sejarah khususnya mengenai sejarah

agraria yang berkaitan dengan perubahan sistem pertanian tradisional menjadi

sistem pertanian modern. Kemudian bermanfaat pula untuk memperkaya hasil

penelitian yang telah ada dalam bidang sejarah pertanian (agraria) Sulawesi

Tenggara pada khususnya dan sejarah pertanian (agraria) Indonesia pada

umumnya.
10

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut.

a. Sebagai sumber informasi atau referensi yang dapat dijadikan sebagai acuan

bagi peneliti lain yang berniat untuk mengadakan penelitian yang relevan

dengan penelitian ini.

b. Sebagai sumbangsih pemikiran bagi pemerintah dan sebagai bahan

pertimbangan untuk pengambilan langkah-langkah kebijakan terutama yang

berhubungan dengan bidang pertanian.

c. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat luas, khususnya masyarakat

Kecamatan Watubangga tentang bagaimana sistem pertanian tradisional dan

sistem pertanian modern etnis Moronene yang dilaksanakan di Kecamatan

Watubangga Kabupaten Kolaka sejak tahun 1983 hingga tahun 2012.


11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Sistem Pertanian Tradisional

Pertanian merupakan basis negara agraris seperti Indonesia, di mana

pertanian merupakan sentral utama penghidupan negara Indonesia. Pertanian

tradisional adalah salah satu model pertanian yang masih sangat sederhana dan

merupakan perkembangan pertanian yang masih sangat terbelakang dengan pola

masyarakat yang serba kurang menerima teknologi.

Sebelum membahas sistem pertanian tradisional lebih dalam lagi, maka

kiranya perlu dibahas terlebih dahulu apa sebenarnya sistem itu? Sistem adalah

suatu kumpulan atau kesatuan unsur-unsur secara konseptual dari bagian-bagian

dalam lingkungan. Sistem juga dapat diartikan sebagai suatu kumpulan dan

rangkap hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.

Menurut Mas’oed (1990: 23) sistem dapat diartikan sebagai suatu konsep

ekologi yang menunjukkan adanya organisasi yang berintegrasi dengan suatu

lingkungan yang mempengaruhinya. Sedangkan menurut Widjaja (1993: 3) sistem

adalah suatu kesatuan (entity) yang terdiri dari dua atau lebih komponen atau sub

sistem yang terjalin satu sama lain untuk mencapai satu tujuan.

Selanjutnya Pamudji (1983: 9) mengatakan bahwa sistem adalah suatu

kebulatan atau keseluruhan yang utuh di mana di dalamnya terdapat komponen-

komponen yang pada gilirannya merupakan sistem tersendiri yang mempunyai

fungsi masing-masing, saling berhubungan satu dengan yang lainnya menurut

pola tata atau norma tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan.
12

Sistem pertanian tradisional merupakan cara bertani yang masih bersifat

ekstensif dan tidak memaksimalkan input (hasil) yang ada. Sistem pertanian

tradisional salah satu contohnya adalah sistem ladang berpindah atau berotasi, di

mana sistem ladang berpindah saat ini telah tidak sejalan lagi dengan kebutuhan

lahan yang semakin meningkat akibat bertambahnya penduduk.

Sistem pertanian tradisioanal seperti ini, masih sangat sederhana sehingga

hasil produksinya masih sangat rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Siagian

(1978: 34) sistem pertanian tradisional merupakan suatu ekotipe paleo teknik di

mana pertanian dilakukan dengan cara swiden (huma), sistem tanam sebahagian,

dan sistem tanam bergilir.

Bentuk ekotipe petani paleo teknik yaitu tanah yang sudah tandus

dibiarkan menganggur untuk jangka panjang dalam waktu yang lama yang

dikaitkan dengan pembakaran hutan untuk membuka tanah dan bercocok tanam

dengan menggunakan bajak. Sistem itu dinamakan swidden sistem, yang diambil

dari sebuah kata dialek Inggeris yang berarti membuat tanah dengan membakar,

orang membuka ladang baru dengan membakar vegetasi yang menutupi rumput,

belukar, ataupun hutan, tanah itu kemudian ditanami sampai hasilnya semakin

berkurang, kemudian dibiarkan selama sekian tahun agar subur kembali,

sementara itu lahan-lahan yang lain dibuka dengan cara yang sama untuk ditanami

sampai kesuburannya berkurang (Wolf, 1985: 36).

Ada dua faktor yang sangat penting dalam sistem swidden, di mana faktor-

faktor tersebut adalah tersedianya tanah dan tersedianya tenaga kerja untuk

memproduksi hasil tanaman yang paling pokok (terdiri dari satu atau beberapa
13

jenis) dapat diproduksi atau diselingi dengan tanaman-tanaman pelengkap

(suplementer) (Wolf, 1985: 39).

Pada dasarnya pelaksanaan sistem swiden telah mengganggu ekosistem

karena adanya penebangan pohon secara liar yang menyebabkan hutan menjadi

gundul, sehingga kemungkinan akan menyebabkan terjadinya erosi. Menurut

Geerts (1983: 25) sekurang-kurangnya ada tiga hal yang menyebabkan

perladangan ini menjadi kurang adaftif, yaitu: (1) kenaikan jumlah penduduk

menyebabkan ladang-ladang yang lama ditanami kembali terlalu cepat, (2)

praktek pertanian secara boros dan gila-gilaan yang mengorbankan prospek di

masa depan, karena sekarang hanya mau senangnya saja, dan (3) perluasan

kelingkungan yang tidak cukup lembab, di mana hutan yang daun-daunnya mudah

gugur lebih lambat pulihnya, dan apa yang dipergunakan untuk membuka tanah

itu besar kemungkinannya untuk secara kebetulan membakar batang-batang kayu.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sistem bercocok tanam

tradisional lebih memiliki banyak dampak negatif bila di bandingkan dengan

dampak positifnya, baik itu bagi lingkungan maupun bagi manusia yang bercocok

tanam itu sendiri. Maka dari itu, untuk menciptakan sistem pertanian yang tidak

hanya konsumtif tetapi juga berorientasi pasar, maka sistem pertanian dengan cara

tradisional (berladang berpindah-pindah) ini kemudian perlahan-lahan

ditinggalkan dan kemudian diganti dengan menggunakan sistem pertanian

modern.
14

B. Konsep Perubahan Sosial Budaya

Berbicara mengenai perubahan sosial budaya dalam suatu masyarakat,

pada dasarnya kita membahas satu aspek sejarah dari masyarakat tersebut yang di

dalamnya terdapat proses dan tahap-tahap sebagai gerak sejarah yang dilakukan

manusia secara sadar. Demikian pula dengan usaha manusia dalam

mempertahankan, mengembangkan, serta melestarikan kehidupannya sebagai

mahluk sosial dalam bermasyarakat, merupakan suatu proses yang di dalamnya

terdapat perubahan-perubahan.

Perubahan-perubahan di dalam masyarakat meliputi: nilai-nilai sosial,

norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi sosial, susunan lembaga-

lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan,

wewenang dan sebagainya. Jadi perubahan dapat didefinisikan sebagai suatu

peristiwa yang menyangkut perubahan posisi unsur suatu sistem. Hal ini sejalan

dengan pemikiran Soekanto (1990: 305) segala perubahan-perubahan pada

lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang

mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai masyarakat.

Selanjutnya Soekanto (1990: 304) mengatakan bahwa perubahan sosial

sebagai variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-

perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi

maupun karena adanya difersi atau penemuan-penemuan baru di dalam

masyarakat. Dari berbagai pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan

perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi di masyarakat yang selalu

mempengaruhi struktur sosial, sistem sosial dan pranata sosial antara kelompok-
15

kelompok masyarakat. Perubahan-perubahan itu dipengaruhi berbagai faktor, baik

faktor intern maupun faktor ekstern, material, komposisi penduduk, ideologi

maupun karena adanya difersi atau penemuan baru dalam masyarakat. Perubahan

bukanlah semata-mata berarti kemunduran dari bidang-bidang kehidupan tertentu.

Suatu perubahan dapat terjadi, karena faktor-faktor yang berasal dari

masyarakat itu sendiri maupun faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat itu

sendiri. Suatu penemuan baru dalam masyarakat, maka akan meyebabkan

perubahan pada masyarakat yang bersangkutan.

Menurut Soemardjan, dkk (1964: 509) sebab-sebab terjadinya perubahan

sosial dan budaya disebabkan karena faktor dari dalam (internal), dan faktor dari

luar (eksternal). Faktor dari dalam dimaksudkan perubahan yang terjadi

bersumber dari masyarakat itu sendiri, seperti bertambah dan berkurangnya

penduduk, adanya penemuan-penemuan baru, adanya konflik dan pemberontakan

atau revolusi di dalam masyarakat itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal, karena

pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Hubungan secara fisik antara kedua

masyarakat itu mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan hubungan timbal

balik, di mana masing-msing masyarakat itu mempunyai kecenderungan untuk

menimbulkan hubungan timbal balik, dan masing-masing masyarakat

mempengaruhi masyarakat yang lain.

Selanjutnya Soekanto (1990: 353) menyatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi jalannya proses perubahan adalah.

1. Faktor pendorong yaitu, kontak dengan masyarakat lain, sistem pendidikan

yang maju, sikap menghargai hasil karya seseorang, dan keinginan-keinginan


16

untuk maju, sistem lapisan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu,

heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu,

orientasi ke masa depan, serta nilai-nilai untuk meningkatkan taraf hidup.

2. Faktor penghambat yaitu, kurangnya hubungan dengan masyarakat lain,

perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat, sikap masyarakat yang

tradisional, rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan,

prasangka terhadap hal-hal baru atau asing, hambatan ideologis, dan

kebiasaan.

Sedangkan proses terjadinya perubahan itu, ada yang cepat (revolusi) dan

ada pula yang lambat (evolusi), yang pada garis besarnya, teori evolusi

menggambarkan perkembangan masyarakat sebagai berikut: Pertama, teori

evolusi menganggap bahwa perubahan sosial merupakan gerakan searah seperti

garis lurus. Masyarakat berkembang dari masyarakat primitif menuju masyarakat

maju, dengan kata lain masa depan masyarakat dunia sudah jelas dan dapat

diramalkan, yakni pada suatu ketika kelak, dalam masa perubahan yang relatif

panjang, dunia akan menjadi masyarakat maju. Kedua, teori evolusi membaurkan

antara pandangan subyektifnya tentang nilai dan tujuan akhir perubahan sosial,

perubahan menuju masyarakat modern merupakan suatu yang tidak dapat

dihindari, oleh karena masyarakat modern merupakan masyarakat yang dicita-

citakan, yang mengandung semua unsur yang disebut dengan “baik” dan

“sempurna” di dalamnya terdapat apa yang oleh teori evolusi disebut sebagai

kemajuan kemanusiaan (Suwarsono, 1994: 10).


17

Setiap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, baik perubahan sosial

maupun budaya yang merupakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi, sehingga masyarakat akan mengikuti perubahan tersebut. Pada awalnya

memang akan terasa sulit, tetapi bila dilandasi oleh tekanan-tekanan pada

akhirnya masyarakat tersebut akan berubah.

Perubahan yang terjadi di masyarakat dapat saja menuju kesituasi yang

lebih baik dan dapat pula menuju pada situasi yang lebih buruk. Begitu pula

sebaliknya, kemungkinan situasi yang stabil malahan penuh dengan kekerasan,

bahkan menyimpang dari ketentuan hukum. Maka dengan kondisi yang demikian

dapat menimbulkan konflik, memunculkan adu kekuatan sehingga terjadilah

perubahan kemasyarakatan.

Menurut Lauer (1993: 13) orang selalu mengubah cara-cara mereka, tetapi

mereka juga akan merintangi perubahan tersebut karena.

a. Jika perubahan itu dibayangkan dengan mengancam keamanan yang mendasar

bagi masyarakat.

b. Jika perubahan itu dipahami oleh masyrakat dan-

c. Jika perubahan itu dipaksakan terhadap mereka.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat di simpulkan bahwa unsur-unsur

kebudayaan memiliki hal yang berbeda, ada unsur-unsur kebudayaan yang mudah

berubah dan ada pula unsur-unsur kebudayaan yang sukar berubah bila

dihadapkan dengan pengaruh asing yang datang.


18

C. Konsep Sistem Pertanian Modern

Pada umumnya sistem pertanian modern dianggap sebagai tingkat evolusi

tertinggi dalam perkembangan masyarakat agraris (petani). Pertanian modern

yang bertumpu pada pasokan eksternal berupa bahan-bahan kimia buatan (pupuk

dan pestisida), menimbulkan kekhawatiran berupa pencemaran dan kerusakan

lingkungan hidup, sedangkan pertanian tradisional yang bertumpu pada pasokan

internal tanpa pasokan eksternal menimbulkan kekhawatiran berupa rendahnya

tingkat produksi pertanian, jauh di bawah kebutuhan manusia.

Kedua hal tersebut menjadi dilematis dan hal ini telah membawa manusia

kepada pemikiran untuk tetap mempertahankan penggunaan masukan dari luar

sistem pertanian itu, namun tidak mebahayakan kehidupan manusia dan

lingkungannya. Pertanian modern dikhawatirkan memberikan dampak

pencemaran sehingga membahayakan kelestarian lingkungan, hal ini dipandang

sebagai suatu krisis pertanian modern.

Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan pertanian modern itu sendiri?

Menurut Mosher (1974: 17) pertanian dikatakan modern apabila memenuhi

syarat-syarat berikut: (1) teknologi dan efisiensi usaha taninya terus-menerus

diperbaiki, (2) hasil bumi yang diproduksi terus-menerus berubah sesuai dengan

adanya perubahan permintaan konsumen dan perubahan biaya produksi yang

disebabkan oleh adanya perubahan dalam teknologi, dan (3) perbandingan antara

penggunaan tanah, tenaga kerja dan modal pada usaha tani terus berubah sesuai

dengan adanya produk, perubahan dalam alternatif kesempatan kerja dan

perubahan teknologi usaha tani.


19

Keberhasilan sistem pertanian modern diukur dari berapa banyaknya hasil

panen yang dihasilkan, semakin tinggi kualitas hasil panen dan semakin banyak

hasil panen yang dihasilkan, maka sistem pertanian ini semakin dianggap maju.

Sistem pertanian modern biasa juga disebut dengan ekotipe neo teknik

sebagai revolusi pertanian, di mana kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam

bidangnya adalah: (1) pengolahan tanah pertanian sepanjang tahun dibantu oleh

pengembangan rotasi sejenis tanaman dan penggunaan pupuk buatan, (2)

perbaikan mutu tanaman dan ternak, (3) didatangkannya tanaman-tanaman yang

sama sekali baru dari daerah-daerah lain di dunia, serta adanya kecenderungan

yang semakin besar kearah spesialisasi regional untuk jenis-jenis tanaman

tertentu, dan (4) digunakannya mesin-mesin baru, seperti bajak yang dapat diputar

yang terbuat dari cord dan ditarik oleh dua kuda, mesin tebah yang digerakkan

oleh kuda, penuai yang ditarik oleh kuda, dan mesin pembuat lubang untuk benih

tanaman (Wolf, 1985: 59).

Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, masuknya

teknologi baru, dan cara-cara pengolahan lahan yang efektif dan efisien jelas telah

merubah sistem pertanian tradisional. Peralihan dari masyarakat pertanian

tradisional menjadi ekonomi industri modern yang mencakup peralihan lembaga,

sikap sosial, dan motivasi yang ada secara radikal. Menurut Jhingan (1996: 54)

perubahan struktur semacam ini menyebabkan kesempatan kerja semakin banyak,

dan produktivitas buruh stok modal, pendayagunaan sumber-sumber baru serta

perbaikan teknologi akan semakin tinggi.


20

Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh etnis Moronene di

Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka dalam bertani dapat dilihat dari

teknologi yang telah mereka gunakan dalam bercocok tanam menggunakan sistem

pertanian modern, seperti halnya yang telah dikatakan oleh Porkas (1996: 74)

sistem pertanian masyarakat agraris pada masa setelah kemerdekaan mengalami

peningkatan, di mana masyarakat tidak lagi mengolah lahan pertaniannya dengan

teknik tradisional. Tetapi sudah menggunakan alat-alat modern seperti traktor

untuk mengolah tanah, mesin perontok padi dan alat penggilingan padi. Untuk

meningkatkan hasil produksi, masyarakat telah mengenal bermacam-macam

insektisida guna memberantas penyakit yang sering menyerang tanaman padi

maupun tanaman palawija dan tanaman jagung dan kacang-kacangan.

Dapat disimpulkan, bahwa dengan menggunakan sistem pertanian modern

dapat menciptakan kesejahteraan petani dan pertumbuhan ekonomi yang relatif

tinggi bila dibandingkan dengan sistem pertanian tradisional, namun tidak dapat

dipungkiri pula bahwa terdapat dampak negatif dalam penggunaan sistem

pertanian modern, tetapi hal tersebut merupakan pilihan yang harus diambil oleh

petani guna kelangsungan hidupnya, meskipun hal tersebut dilematis.

D. Konsep Pertanian dan Petani

1. Konsep Pertanian

Indonesia merupakan negara agraris, hal ini menyebabkan mayoritas

masyarakat Indonesia berprofesi sebagai petani. Banyak sekali hasil pangan

yang dihasilkan oleh para petani Indonesia melalui bertani atau bercocok

tanam, hampir disetiap pulau Indonesia terdapat lahan-lahan pertanian.


21

Namun, apakah kita sendiri mengetahui atau tidak apakah pertanian itu

sebenarnya?

Pertanian merupakan kegiatan pengembangan dan pemanfaatan

sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan

pangan, bahan baku industri atau sumber energi, serta untuk mengelola

lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang

termasuk dalam pertanian, biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman

atau bercocok tanam serta pembesaran hewan ternak.

Menurut Banoewidjojo (1983: 19) secara teknis pertanian adalah

mengusahakan flora dan fauna (tumbuh-tumbuhan dan hewan) melalui

reproduksi. Dengan flora berarti semua tumbuh-tumbuhan mulai dari tingkat

rendah sampai tingkat tinggi, sedangkan fauna adalah binatang, baik yang

dipelihara maupun yang tidak dipelihara.

Pada dasarnya flora itu banyak macam dan jenisnya, oleh karena itu

pertanian Indonesia dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, pertanian dalam

arti luas meliputi semua kegiatan usaha dalam reproduksi flora dan fauna

tersebut yang dibedakan ke dalam lima sektor, yaitu: pertanian rakyat,

peternakan, perkebunan, perikanan, dan kehutanan. Kedua, sedangkan

pertanian dalam arti sempit yaitu suatu kegiatan bercocok tanam.

Pertanian itu sebenarnya dapat di bedakan menjadi beberapa bagian,

yaitu: (a) pertanian masukan rendah, yaitu metode pertanian tradisional tanpa

menggunakan pupuk buatan atau pupuk organik yang didatangkan dari tempat

lain, (b) pertanian masukan sedang, yaitu metode pertanian yang umum
22

dilakukan petani dengan mengikuti petunjuk dari petugas penyuluh pertanian.

Walaupun petani mempunyai latar belakang pengetahuan dan modal yang

terbatas, (c) pertanian masukan tinggi, yaitu metode pertanian dengan

menggunakan teknologi maju dan modal tinggi yang penggunaan pupuknya

pada tingkat pengembalian ekonomi maksimum, pemberantasan hama dan

gulma secara kimiawi, serta tindakan pengawetan tanah memadai dan (d)

pertanian tanah darat menetap, yaitu usaha tani yang dilakukan terus-menerus

di atas sebidang tanah yang sama, meliputi perkebunan besar, perkebunan

rakyat dan tegalan (Rahardi, 1997: 379).

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pertanian itu

merupakan kegiatan pengembangan dan pembudidayaan tumbuh-tumbuhan

dan hewan yang dilakukan oleh manusia guna memenuhi kebutuhan hidup

mereka.

2. Konsep Petani

Pada umumnya petani merujuk kepada orang yang mengelola kebun

atau ladang (bercocok tanam) dan menjalankan peternakan hewan. Selain itu,

petani juga dapat diartikan orang yang menyelenggarakan usaha tani.

Biasanya hasil pertanian digunakan sendiri atau dijual kepada orang lain atau

pihak lain misalnya melalui pemborong sebagai perantara untuk disalurkan ke

pasar.

Menurut Poerwadarminta (1983: 116) secara denotatif petani diartikan

sebagai orang yang mata pencahariannya bercocok tanam, atau orang yang

mengusahakan tanah. Sedangkan menurut Anwar (1982: 1) petani adalah


23

orang yang melakukan bercocok tanam hasil bumi atau memelihara ternak

dengan tujuan untuk mempermudah kehidupan dari kegiatan tersebut.

Petani merupakan seseorang yang terlibat dalam bidang pertanian,

mereka memelihara tumbuhan dan hewan untuk dijadikan makanan atau

bahan mentah, dintaranya kegiatan membiakkan binatang (sapi, ayam, kerbau,

kambing, domba dan lain-lain) dan menanam tanaman (padi, bunga, buah dan

lain-lain). Seorang petani mengusahakan tanah miliknya atau bekerja sebagai

buruh di kebun orang lain. Pemilik tanah yang mengusahakan tanahnya

dengan mempekerjakan buruh juga dikenal sebagai petani atau buruh tani.

Menurut Landsberger dan Alexandrov (1984: 10) petani adalah

penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam bercocok tanam dan

membuat keputusan dengan otonom tentang proses bercocok tanam, kategori

itu dengan demikian mencakup penggarap atau penerima bagi hasil maupun

pemilik penggarap selama mereka ini berada pada posisi membuat keputusan

yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka, namun itu

tidak memasukkan nelayan atau buruh tani tak bertanah.

Dari uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa petani itu

pada dasarnya hanya melakukan aktivitas yang spesifik mengenai pengolahan

lingkungan alam sekitarnya untuk dijadikan lahan pertanian dan beternak guna

memenuhi kebutuhan hidupnya.

E. Konsep Ekonomi Petani

Sebelum berbicara mengenai ekonomi petani, maka kita terlebih dahulu

harus mengetahui apa sebenarnya ekonomi tersebut? Menurut Wahab (1992: 12)
24

ekonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah tangga dan

nomos yang berarti aturan. Sedangkan ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan

sosial yang mempelajari tingkah laku manusia dalam masyarakat, baik secara

individu maupun secara berkelompok, dalam usahanya memenuhi kebutuhan

hidupnya guna mencapai kemakmuran.

Selanjutnya Deliarnov (1995: 7) mengatakan bahwa ekonomi adalah

sebuah tindakan manusia (segolongan masyarakat) guna memenuhi kebutuhannya

yang relatif tidak terbatas adanya. Lebih spesifik lagi istilah tersebut mencirikan

cara tiap orang atau kelompok manusia bertindak dalam proses produksi,

konsumsi, dan alokasi barang dan jasa dengan menggunakan sumber daya yang

ada.

Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa petani sering mengalami kegagalan

dalam bercocok tanam, hal ini salah satunya disebabkan oleh sistem

perekonomian substensi yang masih melekat pada petani. Di mana dalam

ekonomi petani substensi ini terdapat sifat-sifat yang menghambat keberhasilan

petani dalam bercocok tanam, sifat-sifat tersebut yaitu: (1) taraf pendidikan

sebahagian masyarakat masih sangat rendah, (2) cara-cara hidup dan berfikir

masyarakatnya masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, adat istiadat yang

telah dipraktekkan turun-temurun dan pandangan-pandangan hidup yang bersifat

menyerahkan diri pada kekuasaan alam dan tuhan dan (3) sisa-sisa feodalisme

masih sangat dirasakan dalam hubungan sosial di antara berbagai golongan

masyarakat (Sukirno, 1985: 213).


25

Guna meningkatkan produktifitas ekonomi pertanian, maka dibutuhkan

suatu sistem, karena dengan penggunaan sistem, kesempatan keberhasilan akan

lebih terbuka lebar karena semua unsur yang ada bekerja saling mendukung satu

sama lain. Dahulu petani dituntut hanya mampu memproduksi, tetapi lain halnya

dengan saat ini di mana petani dituntut memiliki pemahaman agrobisnis karena

semakin signifikannya peranan agrobisnis dalam peningkatan pendapatan petani,

penyerapan tenaga kerja dan pendorong mulculnya industri yang berbahan baku

pertanian.

Berhasilnya agrobisnis tidak terjadi begitu saja, tentunya keberhasilan

agrobisnis tersebut tidak terlepas dari faktor-faktor pendukungnya, di mana

faktor-faktor pendukung agrobisnis tersebut yaitu: (1) tersedianya bahan baku

pertanian yang semakin beragam dan relatif lama semakin mencukupi kebutuhan,

(2) tersedianya tenaga kerja yang relatif memadai, (3) tersedianya sarana dan

peralatan, (4) tersedianya dana investasi dan bahkan hal-hal tertentu dana

investasi di sektor pertanian atau perkebunan relatif rendah, sehingga dana

investasi yang ada dapat dikembangkan seluas-luasnya, hal ini disebabkan karena

capital output ratio penguasaan pertanian yang sangat rendah, (5) tersedianya

pasar dalam dan luar negeri yang relatif besar, (6) tersedianya peraturan dan

fasilitas lain dari pemerintah yang mendukung tumbuhnya agroindustri, baik

industri pengolahan maupun industri penunjang (agrosuporting industry)

(Soekartawi: 1996: 35).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kiranya perlu ditingkatkan

mengenai upaya-upaya dalam pengembangan perekonomian petani, guna


26

melepaskan masyarakat petani dari perangkap kemiskinan, yang pada akhirnya

mereka dapat mendukung pembangunan ekonomi pertanian di daerah mereka.

F. Konsep Teknologi Tepat Guna

Ada indikasi bahwa penduduk (masyarakat) Indonesia mengalami

penurunan atau bahkan kehilangan daya untuk membangun kreativitas dalam

upaya untuk bisa bertahan di masa mendatang. Oleh karena itu, kiranya perlu

dicari suatu solusi untuk mengatasi hal tersebut, teknologi tepat guna merupakan

salah satu alternatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat tersebut.

Teknologi tepat guna tersebut harus memenuhi beberapa kriteria, agar

dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat pada bidang pertanian,

yaitu: (1) mengkonversi sumber daya alam, (2) menyerap tenaga kerja, (3)

memacu industri rumah tangga dan (4) meningkatkan pendapatan masyarakat

secara nasional, guna mempercepat pemulihan ekonomi nasional, mempercepat

kemajuan desa dan menghadapi persaingan global, untuk itu maka dipandang

perlu melakukan percepatan pembangunan perdesaan melalui pemberdayaan

masyarakat diberbagai bidang yang ada dan didukung oleh penerapan dan

pengembangan teknologi tepat guna (TTG). http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-

content/uploads/2012/01/TTG-dan Pemberdayaan-Masyarakat1.pdf. (diakses 6

februari 2013).

Pengembangan teknologi sangat bergantung pada penelitian dan

pengembangan ilmu pengetahuan, di mana penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan merupakan landasan dasar untuk teknologi yang bermanfaat bagi

pembangunan dalam arti yang luas.


27

Peranan dan pengaruh teknologi dalam pertanian sangatlah penting, di

mana teknologi yang bersifat adaptif ini digunakan pada beberapa sektor pertanian

yaitu: pengembangan bibit unggul untuk bahan pangan (beras, kedelai, jagung,

dan sorgum), bahan perdagangan (karet, kelapa, minyak sawit), dan bahan

bangunan. Begitu pula sama pentingnya pengembangan teknologi yang

bersangkutan dengan serangkaian kegiatan setelah panen (post harvest

technology) yang meliputi proses penyimpanan atau pergudangan (stroage),

penyaringan, pengolahan, pengangkutan, dan seterusnya (Manguwijaya, 1993: 4).

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teknologi merupakan

salah satu faktor yang sangat penting guna berhasilnya pembangunan pada sektor

pertanian, di mana dengan menggunakan teknologi tepat guna, para petani akan

dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen mereka.

G. Tinjauan Historiografi

Permasalahan mengenai etnis Moronene dan aktivitasnya merupakan salah

satu perhatian dikalangan peneliti yang mencoba mengungkap masalah-masalah

yang berkaitan dengan kehidupan etnis Moronene baik dari segi ekonomi, sosial,

maupun kehidupan budayanya.

Berkaitan dengan penelitian mengenai perubahan sistem pertanian

tradisional menjadi sistem pertanian modern pada etnis Moronene di Kecamatan

Watubangga Kabupaten Kolaka 1983-2012, telah ada penelitian yang relevan

dengan penelitian ini, seperti yang ditulis oleh Safrul (2000) tentang “Perubahan

Sistem Pertanian Dari Berladang Berpindah Ke Pertanian Sawah Pada Masyarakat

Wawotobi (1967-1995)”. Safrul dalam penelitian ini menguraikan tentang


28

bagaimana proses terjadinya perubahan sistem pertanian dari berladang berpindah

ke pertanian sawah pada masyarakat Wawotobi (1967-1995), kemudian Ia pula

menerangkan faktor-faktor dan dampak terjadinya perubahan sistem pertanian

dari berladang berpindah ke pertanian sawah pada masyarakat Wawotobi (1967-

1995).

Selanjutnya penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian

yang dilakukan oleh Ramang Supu (2002) tentang “Perubahan Sistem Pertanian

Berladang Berpindah-Pindah Ke Sistem Pertanian Menetap Pada Kecamatan

Lambuya (1967-1995)”. Ramang Supu dalam penelitian ini menguraikan tentang

bagaimana perubahan sistem pertanian berladang berpindah-pindah ke sistem

pertanian menetap pada Kecamatan Lambuya (1967-1995) itu dapat terjadi,

faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut, dan

bagaimana dampak yang ditimbulkan dari perubahan sistem pertanian berladang

berpindah-pindah ke sistem pertanian menetap pada Kecamatan Lambuya (1967-

1995).
29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2013 dan lokasi

penelitian ini berada di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka. Objek

penelitian ini dipusatkan di area pertanian di sekitar Kecamatan Watubangga yang

dapat dideskripsikan pada tahun 1983 hingga 1990 petani Moronene masih

menerapkan sistem pertanian tradisional dalam bercocok tanam, dan setelah itu

pada tahun 1991 hingga tahun 2012 petani Moronene telah menggunakan sistem

pertanian modern di dalam bercocok tanam.

Penelitian ini dilaksanakan pada lingkup Kecamatan Watubangga

Kabupaten Kolaka. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa

masyarakat Moronene di daerah tersebut, pada awalnya dalam bercocok tanam

mereka menggunakan sistem pertanian tradisional dan kemudian masyarakat

Moronene tersebut merubah cara bercocok tanam mereka dengan menggunakan

sistem pertanian modern.

B. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian sejarah yang bersifat kualitatif

deskriptif dengan menggunakan pendekatan strukturis menurut Helius

Sjamsuddin, di mana peneliti menguraikan dan menggambarkan wujud perubahan

sistem pertanian pada etnis Moronene di Kecamatan Watubangga, dari sistem

pertanian tradisional menjadi sistem pertanian modern, kemudian penyebab

terjadinya perubahan sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian


30

modern pada etnis Moronene di Kecamatan Watubangga tersebut dan dampak

terjadinya perubahan sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian

modern terhadap lingkungan, kehidupan sosial budaya dan ekonomi etnis

Moronene di Kecamatan Watubangga.

C. Sumber Data Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam tiga

kategori antara lain sebagai berikut.

1. Sumber tertulis, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk catatan, atau tulisan-

tulisan yang relevan dan mendukung data dalam penelitian ini. Sumber-

sumber tertulis diperoleh di perpustakaan wilayah Provinsi Sulawesi

Tenggara, perpustakaan Universitas Haluoleo, perpustakan Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo, kantor BP3K

Kecamatan Watubangga, kantor Kecamatan Watubangga serta Kantor KUA

Kecamatan Watubangga.

2. Sumber lisan, yakni di mana peneliti memperoleh data melalui keterangan

lisan (wawancara) terhadap sejumlah informan yang merupakan tokoh adat

etnis Moronene, tokoh masyarakat, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL),

serta aparat pemerintah yang mengetahui tentang sistem pertanian tradisional

dan modern etnis Moronene di Kecamatan Watubangga, wujud perubahan

sistem pertanian pada etnis Moronene di Kecamatan Watubangga Kabupaten

Kolaka, dari sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian modern,

penyebab terjadinya perubahan sistem pertanian tersebut dan dampak

terjadinya perubahan sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian


31

modern terhadap lingkungan, kehidupan sosial budaya dan ekonomi etnis

Moronene di Kecamatan Watubangga.

3. Sumber visual, yaitu data berupa keadaan alam, lokasi pertanian modern,

bangunan tempat tinggal penduduk, serta alat-alat yang digunakan etnis

Moronene dalam bercocok tanam setelah menggunakan sistem petanian

modern.

D. Teknik Pengumpulan Data

Pada tahap ini, peneliti menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu

wawancara, observasi dan dokumentasi. Ketiga teknik pengumpulan data tersebut

dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Wawancara, teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

wawancara tidak terstruktur atau wawancara mendalam. Wawancara tidak

terstruktur tersebut terdiri dari wawancara terarah dan wawancara tidak

terarah, di mana melalui wawancara terarah tersebut dapat mengungkap

berbagai persoalan mengenai sistem pertanian tradisional dan modern etnis

Moronene di Kecamatan Watubangga, wujud perubahan sistem pertanian

pada etnis Moronene di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka, dari

sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian modern, penyebab

terjadinya perubahan sistem pertanian tersebut dan dampak terjadinya

perubahan sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian modern

terhadap lingkungan, kehidupan sosial budaya, dan ekonomi etnis Moronene

di Kecamatan Watubangga. Sedangkan dari wawancara tidak terarah dapat

mengungkap berbagai informasi yang dapat mendukung data yang diperoleh


32

melalui wawancara terarah. Untuk mendukung wawancara tidak terstruktur

tersebut, maka peneliti juga melakukan wawancara sambil lalu, di mana

informan yang diwawancarai tidak diseleksi terlebih dahulu dan wawancara

tersebut dilakukan secara informal dan ada unsur spontanitas di dalam proses

pelaksanaannya. Sedangkan untuk menggali pandangan, gagasan, ide serta

pendapat tokoh adat etnis Moronene, tokoh masyarakat, Penyuluh Pertanian

Lapangan (PPL), serta aparat pemerintah, maka menggunakan wawancara

terbuka yang dilaksanakan pada waktu dan konteks yang tepat agar data yang

diperoleh akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan yang menjadi

instrumen pokok dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan

menggunakan instrument pedoman wawancara yang telah dipersiapkan

sebelumnya dan buku catatan kecil, di mana kesemua hal tersebut digunakan

untuk mempermudah pengumpulan dan pengolahan data, agar data yang

diperoleh betul-betul dapat memenuhi standar keabsahan data dan dapat

dipertanggungjawabkan.

2. Observasi, teknik ini digunakan untuk mengetahui secara jelas apa yang

dipikirkan, dilakukan, dan dihasilkan oleh subjek penelitian. Observasi ini

dilakukan dengan cara mengamati hal-hal yang berkaitan dengan penelitian

ini, yaitu dalam hal ini mengenai sistem pertanian tradisional dan modern

etnis Moronene di Kecamatan Watubangga dan dalam pelaksanaan observasi

tersebut, peneliti menggunakan buku catatan kecil untuk menulis hasil

observasi tersebut sebagai data penelitian.


33

3. Dokumentasi, data dokumentasi ini selain digunakan untuk melengkapi data

yang diperoleh melalui wawancara dan observasi, juga digunakan untuk

mengetahui gambaran lokasi penelitian.

E. Teknik Analisis Data

Pada tahap ini peneliti melakukan kritik terhadap data yang diperoleh, di

mana kritik adalah suatu teknik analisis data untuk menilai otentisitas (keaslian)

dan kredibilitas (kebenaran) suatu sumber data yang telah dikumpulkan. Untuk itu

peneliti melakukan kritik sumber yang ditempuh melalui 2 (dua) tahap, yaitu.

1. Kritik ekstern, yaitu kritik yang dilakukan untuk menilai otentisitas (keaslian)

sumber data yang didapatkan, dalam hal ini dilakukan analisis terhadap

bentuk luar dari sumber data tersebut, baik itu sumber dalam bentuk tertulis

maupun lisan. Notosusanto (1978: 38) mengajukan tiga pertanyaan pokok di

dalam melakukan kritik eksternal terhadap suatu sumber, yaitu.

1) Adakah sumber itu memang sumber yang kita kehendaki.

2) Adakah sumber itu asli atau turunan.

3) Adakah sumber itu utuh atau telah diubah-ubah.

2. Kritik intern, yaitu kritik yang dilakukan untuk menilai kredibilitas

(kebenaran) isi sumber data yang didapatkan, di mana kritik ini dilakukan

dengan cara membandingkan isi sumber tersebut dengan bukti-bukti lainnya

melalui hasil observasi, studi lisan, dan studi dokumen di lokasi penelitian.
34

F. Penulisan Sejarah

Pada tahap penulisan sejarah ini, peneliti melakukan tiga tahap penulisan,

yaitu penafsiran, penjelasan dan penyajian. Menurut Sjamsuddin (2007: 155)

tahap-tahap penulisan sejarah terdiri dari tiga tahap, yaitu.

1. Penafsiran, setelah data-data mengenai perubahan sistem pertanian tradisional

menjadi sistem pertanian modern di Kecamatan Watubangga Kabupaten

Kolaka didapatkan (baik itu data dalam bentuk tulisan, lisan, maupun

wawancara), kemudian data-data tersebut dikritik dan dihubungkan satu

sama lain sehingga didapatkan suatu sumber sejarah yang dapat dipercaya

kebenarannya secara ilmiah. Kemudian peneliti melakukan penafsiran

terhadap data-data yang telah diperoleh tersebut (baik itu data dalam bentuk

tulisan, lisan, maupun wawancara) dengan cara membandingkan data yang

satu dengan data yang lainnya untuk mendapatkan suatu fakta sejarah yang

dapat dipercaya keasliannya. Dalam hal ini penafsiran sangat penting untuk

memberikan arti dan makna bagi aspek yang dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah.

2. Penjelasan, setelah dilakukan penafsiran maka tahapan berikutnya adalah

penjelasan, di mana peneliti harus dapat menjelaskan sumber-sumber yang

berhubungan dengan pokok-pokok masalah penelitian.

3. Penyajian, setelah peneliti melakukan penafsiran dan penjelasan maka tahap

selanjutnya adalah penyajian, di mana peneliti menulis cerita sejarah

berdasarkan penafsiran dan penjelasan sesuai permasalahan.


35

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Singkat Kecamatan Watubangga

Berbicara mengenai sejarah Kecamatan Watubangga, tentunya kita

berbicara mengenai hal-hal yang terjadi pada Kecamatan Watubagga sejak

pertama dibentuk hingga perkembangannya sampai saat ini. Sebelum membahas

lebih luas mengenai sejarah Kecamatan Watubangga, penulis terlebih dahulu

membahas mengenai sejarah singkat etnis Moronene di Kecamatan Watubangga.

Asal-usul etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga yaitu berasal dari

daerah Rumbia, Kasipute dan Poleang. Menurut Melamba (2011: 178) orang-

orang Moronene yang jumlahnya cukup sedikit tinggal di Kolaka bagian selatan

(Tondowolio di sebelah selatan dan bagian timur Kota Kolaka) dan termasuk

penduduk Poleang dan Rumbia (daerah Onderafdeling Buton). Etnis Moronene

bermigrasi ke Kecamatan Watubangga disebabkan oleh faktor pendorong dari

daerah asal dan faktor penarik dari daerah tujuan migrasi mereka, menurut

penuturan informan bahwa “faktor-faktor yang mendorong etnis Moronene

bermigrasi ke Kecamatan Watubangga adalah faktor ekonomi, sosial, politik atau

konflik dan tekanan keluarga, sedangkan faktor penarik dari daerah tujuan migrasi

mereka yaitu faktor geografis yang menunjang di bidang pertanian dan faktor

keamanan. Oleh sebab itu, etnis Moronene bermigrasi ke Kecamatan Watubangga

dan proses migrasi tersebut terjadi melalui dua tahap yaitu tahap awal pada tahun

1979-1982 kemudian pada tahun 1982-1985” (Taiso, wawancara 21 April 2013).


36

Berbicara mengenai sejarah Kecamatan Watubangga, tentunya terlebih

dahulu kita harus mengetahui makna dari kata Watubangga tersebut. Secara

etimologis kata Watubangga berasal dari bahasa Tolaki dan bahasa Moronene, di

mana kata Watubangga terdiri dari dua kata yaitu watu dan bangga. Dalam bahasa

Tolaki kata Watubangga terdiri dari dua kata yaitu watu yang berarti batu dan

bangga yang berarti perahu, sedangkan dalam bahasa Moronene kata Watubangga

terdiri dari dua kata pula yaitu watu yang berarti batu dan bangka yang berarti

perahu. Oleh sebab itu, Watubangga diartikan sebagai batu yang berbentuk

perahu.

Kronologis selanjutnya bahwa nama Watubangga sebagai kecamatan dan

kelurahan dilatarbelakangi oleh cerita rakyat (legenda) yang menyebutkan asal

usul sejarah terciptnya nama Watubangga. Menurut penuturan tokoh masyarakat

Moronene Kecamatan Watubangga bahwa “nama Watubangga berasal dari

sebuah cerita rakyat yang mengatakan bahwa dahulu kala, ada seorang Raja dari

Kerajaan Luwu yang bernama Sawerijadi (Sawerigading) yang berlayar dari Bau-

Bau menuju Ke Luwu dengan menggunakan perahu yang terbuat dari batu, dalam

perjalanan pulang menuju ke Luwu Raja tersebut singgah (berlabuh) di pantai

teluk Bone untuk beristirahat. Atas peristiwa tersebut, maka masyarakat Tolaki

setempat menamakan daerah tersebut dengan nama Watubangga” (Taiso,

wawancara 21 April 2013).

Kecamatan Watubangga sebelumnya merupakan distrik bawahan dari

distrik Wundulako yang dipimpin oleh almarhum Mokole Sou. Pada tahun 1950

sampai dengan 1962 distrik Watubangga dan sekitarnya, keadaan wilayahnya


37

tidak aman sehingga roda pemerintahan mulai kosong akibat terjadi berbagai

kekacauan yang ditimbulkan oleh pasukan Darul Islam atau Tentara Islam

Indonesia (DI/TII) yang berasal dari Sulawesi Selatan. Oleh sebab itu, sebahagian

masyarakat Watubangga mengungsi masuk ke hutan dan sebahagian masyarakat

lainnya mengungsi masuk ke kota Kolaka untuk menyelamatkan diri, pada tahun

1966 hingga 1969 wilayah Distrik Wundulako sampai wilayah Distrik Buopinang

secara bertahap mulai aman, sehingga masyarakat yang melarikan diri tersebut

mulai kembali ke tempat tinggal masing-masing di Watubangga.

Setelah berhasilnya konsolidasi wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II

Kolaka sebagai tindak lanjut dari otonomisasi wilayah Sulawesi Tenggara dari

Provinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Kolaka mengalami perkembangan yang

cukup pesat, baik itu pada bidang pemerintahan maupun dari bidang

pembangunan wilayah pedesaan dan kelurahan. Menurut penuturan informan

mengatakan bahwa “Kecamatan Watubangga merupakan kecamatan perwakilan

dari Kecamatan Wundulako yang disahkan keberadaannya melalui surat

keputusan menteri dalam negeri nomor 53 tahun 1981. Kecamatan Watubangga

definitif pada tahun 1987, pada saat itu kantor Kecamatan Watubangga

berkedudukan di Desa Tanggetada, kemudian pada tanggal 3 oktober 1989 kantor

Kecamatan Watubangga dipindahkan di kelurahan Watubangga dan keberadaan

kantor Kecamatan Watubangga hingga saat ini masih berada di Kelurahan

Watubangga. Berdasarkan perda Kabupaten Kolaka nomor 18 tahun 2001 tanggal

20 Juli 2001 tentang pembentukan 9 (sembilan) kecamatan di Kabupaten Kolaka,

maka Kecamatan Watubangga dimekarkan dengan dibentuknya Kecamatan


38

Tanggetada, di mana Kecamatan Tanggetada terdiri dari sembilan desa, dengan

pusat ibukota di Desa Anaiwoi sekarang menjadi Kelurahan Anaiwoi. Semakin

pesatnya proses perkembangan di Kecamatan Watubangga dan cakupan wilayah

kerjanya yang sangat luas, maka melalui wadah forum pemekaran Kecamatan

Watubagga yang disampaikan kepada Bapak Bupati Kolaka dengan persetujuan

DPRD Kabupaten Kolaka, maka Kecamatan Watubangga pada tahun 2009

dimekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Watubangga,

Kecamatan Polinggona dan Kecamatan Toari” (Drs. H. Jamaluddin Sise,

wawancara 15 April 2013).

B. Kondisi Geografis

1. Letak Geografis dan Keadaan Alam

Berbicara masalah kondisi geografis, berarti kita akan menguraikan

tentang letak batas maupun luas wilayah. Sehubungan dengan hal tersebut,

maka kita dapat melihat letak geografis Kecamatan Watubangga yang mana

secara administratif Kecamatan Watubangga masuk dalam wilayah

pemerintahan Kabupaten Kolaka. Dilihat dari keadaan geografisnya,

Kecamatan Watubangga terletak di daerah Kabupaten Kolaka bagian selatan.

Jarak dari Watubangga ke Kolaka (ibukota Kabupaten Kolaka) kurang lebih

adalah sejauh 81 Km, sedangkan dengan Kendari (ibukota Provinsi Sulawesi

Tenggara) adalah 251 Km yang ditempuh menggunakan transportasi darat.

Secara geografis Kecamatan Watubangga sebagai salah satu

kecamatan dari sekian kecamatan yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten

Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara administratif, Kecamatan


39

Watubangga terbagi atas 9 desa dan 3 kelurahan, dengan batas-batas wilayah

sebagai berikut.

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tanggetada.

b. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Polinggona dan Kecamatan

Lambandia.

c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Toari.

d. Sebelah barat berbatasan dengan Teluk Bone.

Dari segi keadaan alam, permukaan tanah Kecamatan Watubangga

pada umumnya datar dan berbukit atau bergelombang yang sangat potensial

untuk pengembangan sektor pertanian. Berikut ini tabel jenis tanah dan

persebarannya yang terdapat di Kecamatan Watubangga.

Tabel 1. Jenis Tanah dan Persebarannya di Kecamatan Watubangga.

No. Daerah Persebaran


Jenis Tanah
Desa atau Kelurahan
1. Polenga Aluvial dan kambisol
2. Wolulu Aluvial, glisol dan kambisol
3. Watubangga Aluvial, glisol dan kambisol
4. Lamunde Padsalak, litosal dan alluvial
5. Tandebura Gumosal, padsalak, mediteran dan litosal
6. Gunung Sari Gumosal, padsolak, mediteran dan litosal
7. Sumber Rejeki Gumosal, padsolak, mediteran dan litosal
8. Peoho Padsolak, alluvial dan kambisol
9. Kukutio Gumosal, padsolak, mediteran dan litosal
10. Kastura Pudsolid merah kuning dan aluvial
11. Longgosipi Pudsolid merah kuning dan aluvial
12. Mataosu Aluvial, kambisol dan litosal
(Sumber Data: Kantor Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(BP3K) Kecamatan Watubangga, 2012).

Keadaan alam wilayah Kecamatan Watubangga dengan kondisi tanah

yang cukup subur membuat masyarakat setempat memanfaatkannya dengan

menanam berbagai jenis tanaman, baik itu tanaman musiman yang diperlukan
40

untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari maupun tanaman jangka

panjang seperti kelapa sawit, cokelat, jambu mete dan lain sebagainya.

Daerah datar merupakan daerah pemukiman, daerah pertanian dan daerah

perkebunan. Sedangkan daerah perbukitan merupakan daerah hutan dengan

potensi sumber daya alam yang melimpah yang menyediakan berbagai jenis

kayu dan rotan yang bernilai ekonomis tinggi dan dapat bermanfaat bagi

kehidupan masyarakat serta pembangunan daerah.

Selain itu, di Kecamatan Watubangga terdapat banyak mata air dari

sungai-sungai kecil yang dimanfaatkan masyarakat untuk mengairi daerah

persawahan, di mana sungai-sungai tersebut di antaranya adalah sungai

Polenga, sungai Wolulu, sungai Peoho, dan sungai Kukutio. Kesemua

sumber daya alam tersebut dimanfaatkan sebaik mungkin untuk

kelangsungan hidup masyarakat di Kecamatan Watubangga tesebut.

Luas wilayah Kecamatan Watubangga yaitu 270,18 Km2 , di mana

Kecamatan Watubangga memiliki hutan lindung seluas 5000 Ha, hutan

produksi 3777,5 Ha, daerah persawahan seluas 985 Ha, daerah perkebunan

seluas 9627 Ha, lahan kering seluas 5246 Ha, daerah tambak seluas 1062 Ha,

daerah rawa-rawa seluas 92,5 Ha dan lahan yang sudah digunakan oleh

masyarakat sebagai pemukiman atau pekarangan seluas 1228 Ha. Untuk lebih

jelasnya, lihat tabel berikut yang menguraikan tentang penggunaan lahan di

Kecamatan Watubangga pada tahun 2012.


41

Tabel 2. Luas Lahan dan Penggunaan Lahan di Kecamatan Watubangga


Kabupaten Kolaka Tahun 2012.

No. Penggunaan Lahan Luas (Ha)


1. Hutan lindung 5000 Ha
2. Hutan produksi 3777,5 Ha
3. Daerah persawahan 985 Ha
4. Daerah perkebunan 9627 Ha
5. Lahan kering 5246 Ha
6. Daerah tambak 1062 Ha
7. Daerah rawa-rawa 92,5 Ha
8. Pemukiman atau pekarangan 1228 Ha
Jumlah 27.018 Ha
(Sumber Data: Kantor Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(BP3K) Kecamatan Watubangga, 2012).

2. Keadaan Iklim

Sama halnya dengan daerah-daerah lain di Indonesia, di Kecamatan

Watubangga juga dikenal dua musim, yakni musim penghujan dan musim

kemarau. Keadaan musim banyak dipengaruhi oleh arus angin yang bertiup

di atas wilayahnya. Pada bulan november hingga maret, angin banyak

mengandung uap air yang berasal dari Benua Asia dan Samudera Pasifik,

setelah sebelumnya melewati beberapa lautan dan pada bulan-bulan tersebut

terjadi musim penghujan. Sedangkan pada bulan april, arus angin selalu tidak

menentu dengan curah hujan yang tak menentu, kadang kurang dan terkadang

pula berlebihan, musim seperti ini biasa juga disebut dengan musim

pancaroba.

Kecamatan Watubangga beriklim tropis dengan suhu terendah 190 C

dan tertinggi 280 C dengan suhu rata-rata 240 C. Pada bagian utara Kecamatan

Watubangga memiliki curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun dengan bulan

basah 9 bulan pertahun. Sedangkan pada bagian selatan dan timur memiliki
42

curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun dengan bulan basah 3-4 bulan

pertahun. (Sumber Data: Kantor Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan (BP3K) Kecamatan Watubangga, 2012).

C. Kondisi Demografis

Sebelum menguraikan keadaan demografis Kecamatan Watubangga,

terlebih dahulu penulis mengulas sedikit mengenai makna dari kata demografis.

Demografis adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengumpulkan, menyelidiki

catatan-catatan dan statistik penduduk untuk mengetahui segala sesuatu yang

berhubungan dengan perkembangan, kepadatan, kematian, perpindahan dan

penyebaran penduduk.

Pertambahan penduduk pada suatu tempat atau daerah dapat disebabkan

oleh perpindahan penduduk, baik itu yang dilakukan perorangan, keluarga

maupun perkelompok. Sedangkan perpindahan dapat disebabkan oleh alasan

ekonomi, politik dan agama. Untuk dapat memahami keadaan penduduk di suatu

daerah atau negara, maka perlu didalami mengenai pengkajian demografi.

Demografi tidak mempelajari penduduk sebagai individu, tetapi mempelajari

penduduk sebagai suatu kumpulan. Keadaan demografi atau kependudukan

merupakan suatu hal yang perlu diperhitungkan dalam pembangunan nasional

maupun pembangunan daerah, misalnya pembangunan di Kecamatan Watubangga

Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara pada khususnya.

Pada dasarnya jumlah penduduk disuatu daerah selalu mengalami

perubahan, demikian pula yang dialami oleh Kecamatan Watubangga. Perubahan

penduduk tidak hanya dipengaruhi oleh kelahiran (fertilitas) melainkan juga


43

kematian (mortalitas) dan migrasi netto. Migrasi netto adalah selisih antara

jumlah penduduk yang masuk dan yang keluar dari daerah yang bersangkutan.

Oleh karena itu, kedua faktor ini menyebabkan pertambahan dan pengurangan

jumlah penduduk. Mengingat banyaknya hal yang diungkap dalam keadaan

demografis, maka peneliti memfokuskan pada komposisi jumlah penduduk

Kecamatan Watubangga yang dirinci berdasarkan desa atau kelurahan, jenis

kelamin dan kepala keluarga dan komposisi jumlah penduduk Kecamatan

Watubangga berdasarkan suku atau etnis. Selain itu, peneliti juga menguraikan

komposisi jumlah penduduk Kecamatan Watubangga berdasarkan tingkat usia.

1. Komposisi Jumlah Penduduk Kecamatan Watubangga yang dirinci


Berdasarkan Desa atau Kelurahan, Jenis Kelamin dan Kepala Keluarga.

Jumlah penduduk Kecamatan Watubangga tahun 2012 sebanyak 13.161

jiwa yang terdiri dari pria 6.783 jiwa dan wanita 6.378 jiwa yang terhimpun dalam

3.769 KK, dari keseluruhan 3.769 KK terdapat 2.684 KK yang berprofesi sebagai

petani yang apabila dipersentasikan sebesar 71,23% dan sisanya 1.085 KK yang

apabila dipersentasikan sebesar 28,77% yang terdiri dari pegawai negeri sipil,

honorer, pedagang atau wiraswasta, pengrajin kerajinan dan lain sebagainya.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.


44

Tabel 3. Komposisi Jumlah Penduduk Kecamatan Watubangga yang dirinci


Berdasarkan Desa atau Kelurahan, Jenis Kelamin dan Kepala Keluarga
Tahun 2012.

Jumlah Penduduk KK
No. Desa/Kelurahan KK
Pria Wanita Jumlah Petani
1. Watubangga 1.073 1.107 2.180 527 375
2. Wolulu 750 675 1.425 340 241
3. Tandebura 705 549 1.254 539 283
4. Lamunde 479 526 1.005 212 151
5. Polenga 604 660 1.264 315 230
6. Peoho 712 717 1.429 407 289
7. Sumber Rejeki 107 105 212 162 115
8. Kukutio 406 379 785 218 155
9. Longgosipi 409 347 756 181 128
10. Kastura 424 279 702 197 140
11. Gunung Sari 425 599 1.224 311 221
12. Mataosu 489 436 925 360 256
Jumlah 6.783 6.378 13.161 3.769 2.684
(Sumber Data: Kantor Kecamatan Watubangga, 2012).

2. Komposisi Jumlah Penduduk Kecamatan Watubangga Berdasarkan Suku atau


Etnis.

Sama halnya dengan daerah lainnya yang ada di Indonesia, Kecamatan

Watubangga pula memiliki penduduk yang beragam (multi etnis), diantaranya

adalah suku Moronene, Tolaki, Bugis, Jawa, Lombok dan Bali. Untuk lebih

jelasnya, lihat tabel berikut yang menguraikan data mengenai jumlah penduduk

Kecamatan Watubangga berdasarkan suku atau etnis yang ada di Kecamatan

Watubangga.
45

Tabel 4. Komposisi Jumlah Penduduk Kecamatan Watubangga Berdasarkan


Suku atau Etnis Tahun 2012.

No. Suku atau Etnis Jumlah (Jiwa) Persentase (%)


1. Moronene 2.576 19,57
2. Tolaki 935 7,10
3. Bugis 2.544 19,32
4. Jawa 3.606 27,39
5. Lombok 540 4,10
6. Bali 2.960 22,49
Jumlah (Jiwa) 13.161 100
Sumber Data: Kantor Kecamatan Watubangga 2012).

Dari data tabel tersebut menunjukkan bahwa penduduk Kecamatan

Watubangga terdiri dari beraneka ragam suku atau etnis dengan latar belakang

pemikiran dan budaya yang tentunya berbeda-beda pula, tetapi pada dasarnya

penduduk yang ada di Kecamatan Watubangga selalu menjunjung tinggi

persatuan dan kesatuan sebagai warga Negara Indonesia.

3. Komposisi Jumlah Penduduk Kecamatan Watubangga Berdasarkan Tingkat


Usia.

Dari 13.161 jiwa penduduk Kecamatan Watubangga yang tersebar disetiap

desa atau kelurahan, terdapat 6.783 jiwa penduduk yang berjenis kelamin pria dan

terdapat 6.378 jiwa penduduk berjenis kelamin wanita yang terdiri dari berbagai

kelompok umur. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut yang menguraikan

tentang komposisi jumlah penduduk Kecamatan Watubangga berdasarkan tingkat

usia.
46

Tabel 5. Komposisi Jumlah Penduduk Kecamatan Watubangga Berdasarkan


Tingkat Usia Tahun 2012.

Jenis Kelamin Persentase


No. Golongan Umur (Tahun) Jumlah
Pria Wanita (%)
1. 0-15 854 820 1.674 12,71
2. 16-25 1.270 1.207 2.477 18,82
3. 26-35 1.450 1.341 2.791 21,20
4. 36-45 1.299 1.216 2.515 19,10
5. 46-55 1.230 1.141 2.371 18,01
6. 56 Keatas 680 653 1.333 10,12
Jumlah 6.783 6.378 13.161 100
(Sumber Data: Kantor Kecamatan Watubangga, 2012).

Berdasarkan data pada tabel 5, penduduk Kecamatan Watubangga lebih

didominasi oleh penduduk usia produktif 16 - 25 tahun sebanyak 2.477 jiwa, 26-

35 tahun sebanyak 2.791 jiwa dan usia 36 - 45 tahun sebanyak 2.515 jiwa, dari

data tersebut menunjukkan pula bahwa penduduk di Kecamatan Watubangga

lebih didominasi oleh kaum pria bila dibandingkan dengan kaum wanita.

D. Kondisi Sosial Budaya

1. Sistem Kekerabatan

Pada dasarnya setiap etnis atau masyarakat yang ada di Indonesia

memiliki sistem kekerabatan, demikian pula halnya dengan penduduk yang

ada di Kecamatan Watubangga telah mengenal sistem kekerabatan

berdasarkan keturunan yang terdiri dari keluarga inti dan keluarga luas, di

mana dalam keluarga inti terdiri dari ayah (suami) dan ibu (istri) dan anak-

anak yang belum menikah. Keluarga inti memiliki rumah tempat tinggal

sendiri dan orang tua bertanggungjawab penuh dalam kelangsungan hidup

keluarga.
47

Dalam keluarga inti, ayah sebagai kepala rumah tangga

bertanggungjawab mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup

keluarganya, ibu bertugas mengatur rumah tangga dan termasuk membina

anak-anak secara langsung, sedangkan anak-anak bertugas membantu kedua

orang tuanya guna memperkuat perekonomian keluarganya, sehingga dalam

keluarga inti tersebut dapat tercipta hubungan yang harmonis antara ayah, ibu

dan anak-anaknya.

Kelurga luas merupakan suatu kelompok kekerabatan yang jumlahnya

lebih banyak dan luas, pada dasarnya keluarga luas merupakan keturunan dari

keluarga inti (keturunan dari keluarga ayah dan ibu), tegasnya keluarga luas

merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan sangat erat dan hidup

dalam rumpun satu keluarga.

Uraian di atas menggambarkan tentang kehidupan hubungan

kekerabatan dalam satu lingkup keluarga yang masih memiliki hubungan

darah satu sama lain, sehingga terbentuklah suatu rumpun keluarga dalam arti

yang luas. Pada dasarnya di dalam keluarga luas, ada salah seorang kepala

keluarga yang dituakan dan memegang peranan penting dalam berbagai hal

yang dihadapi keluarganya di dalam menjalani kehidupan. Selain itu, orang

yang dituakan tersebut juga berperan sebagai pemersatu keharmonisan

hubungan kekerabatan apabila terjadi perselisihan di antara sesama anggota

keluarga maupun disaat tidak terjadi perselisihan di dalam keluarga.


48

2. Agama

Pada dasarnya agama merupakan suatu tatanan yang mengatur

hubungan manusia dengan tuhan pencipta alam semesta, agama juga mengatur

hubungan antara sesama manusia. Selain itu, agama juga mengatur hubungan

manusia dengan semua mahluk hidup yang ada di bumi dan lingkungan

tempat manusia tinggal. Penduduk Kecamatan Watubangga mayoritas

beragama Islam, selain itu ada pula penduduk yang beragama Kristen dan

beragama Hindu. Untuk menunjang kegiatan peribadatan penduduk

Kecamatan Watubangga, maka dibangun sarana dan prasarana peribadatan

seperti Masjid sebagai tempat ibadah bagi mereka yang beragama Islam,

Gereja sebagai tempat ibadah bagi mereka yang beragama Kristen baik

Khatolik maupun Protestan dan Pura sebagai tempat ibadah bagi mereka yang

beragama Hindu.

Kehidupan antar umat beragama di Kecamatan Watubangga terjalin

dengan baik, masyarakat hidup berdampingan satu sama lain dan mereka

saling menghormati walaupun berbeda agama dan masyarakat yang ada di

Kecamatan Watubanggapun saling menjaga toleransi antar umat beragama

sehingga tercipta suasana yang aman, terkendali, rukun dan damai di dalam

kehidupan beragama. Sebagai wujud keagaman mereka, kegiatan-kegiatan di

bidang keagamaan tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat yang ada di

Kecamatan Watubangga, misalnya penduduk yang beragama Islam, mereka

selalu memperingati hari-hari besar dan bersejarah di dalam agama Islam,

seperti memperingati hari raya, memperingati Maulid dan Isra Mi’raj Nabi
49

Muhammad SAW, di mana kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan

ini merupakan suatu perwujudan terhadap peningkatan ketaqwaan penduduk

Kecamatan Watubangga yang beragama Islam.

Pada dasarnya bangsa Indonesia menerima agama Islam dalam

keadaan sadar dan tanpa ada paksaan, begitu pula masyarakat yang ada di

Kecamatan Watubangga mereka memeluk agama Islam atas kesadaran mereka

sendiri dan tanpa ada paksaan pula, di mana mereka meyakini bahwa ajaran

agama Islam itu merupakan kebenaran yang nyata, sehingga dari keseluruhan

jumlah penduduk 13.161 jiwa yang ada di Kecamatan Watubangga terdapat

72,58% penduduk yang beragama Islam dan sisanya sebesar 27,42%

merupakan penduduk yang beragama Kristen dan Hindu. Walaupun penduduk

yang beragama Islam di Kecamatan Watubangga lebih dominan, tetapi

kehidupan antar umat beragama berjalan dengan aman, rukun dan terkendali.

Di mana hal tersebut dapat terjadi karena penduduk antar umat beragama yang

ada di Kecamatan Watubangga saling menghormati dan menghargai dalam

kehidupan beragama. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel berikut yang

menguraikan tentang komposisi jumlah penduduk Kecamatan Watubangga

berdasarkan agama dan kepercayaan yang mereka anut.


50

Tabel 6. Komposisi Jumlah Penduduk Kecamatan Watubangga Berdasarkan


Agama dan Kepercayaan Tahun 2012.

Jumlah
No. Agama/Kepercayaan
Jiwa Persentase (%)
1. Islam 9.553 72,58
2. Kristen (katholik) 352 2,67
3. Kristen (protestan) 296 2,24
4. Hindu 2.960 22,49
5. Budha - -
6. Lainnya - -
Jumlah 13.161 100
(Sumber Data: Kantor KUA Kecamatan Watubangga, 2012).

Data tabel di atas, menunjukkan bahwa dari 13.161 jiwa penduduk

yang ada di Kecamatan Watubangga pada tahun 2012, terdapat 9.553 jiwa

atau 72,58% penduduk yang beragama Islam, kemudian penduduk yang

beragama Kristen (katholik) sebanyak 352 jiwa atau 2,67%, selanjutnya

penduduk yang beragama Kristen (protestan) sebanyak 296 jiwa atau 2,24%

dan terakhir penduduk Kecamatan Watubangga yang beragama Hindu

sebanyak 2.960 jiwa atau 22,49%. Tabel di atas menunjukkan bahwa

penduduk yang ada di Kecamatan Watubangga lebih didominasi oleh

penduduk yang beragama Islam.

3. Pendidikan

Pelaksanaan program pembangunan di bidang pendidikan nasional

tentunya bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM).

Pemerintah menyadari, bahwa dengan meningkatkan sumber daya manusia

dalam bidang pendidikan dapat menentukan keberhasilan dan perkembangan

suatu daerah. Untuk tercapainya tujuan tersebut, tentunya pemerintah harus

menyediakan sarana dan prasarana yang memadai agar tujuan tersebut dapat
51

tercapai. Misalnya di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka, pemerintah

telah menyediakan sarana dan prasarana dibidang pendidikan, di mana di

Kecamatan Watubangga telah terdapat sekolah-sekolah tingkat TK, SD,

SLTP/Mts dan SMA/SMK yang tersebar diberbagai daerah di Kecamatan

Watubangga. Hal tersebut menunjukkan, bahwa sarana dan prasarana yang

ada di Kecamatan Watubangga cukup memadai untuk menunjang tercapainya

tujuan pendidikan di dalam meningkatkan sumber daya manusia tersebut.

Kecamatan Watubangga saat ini telah dikategorikan bebas dari buta

aksara, meskipun pada kenyataannya masih ada beberapa penduduk yang

masih buta aksara, tetapi jumlah mereka saat ini sudah sangat sedikit dan

kebanyakan dari mereka telah lanjut usia. Penduduk Kecamatan Watubangga

telah banyak menamatkan pendidikannya pada berbagai jenjang pendidikan

yang ada, baik itu pada tingkat SD, SMP/Mts, SMA/SMK, maupun perguruan

tinggi, untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut.

Tabel 7. Komposisi Jumlah Penduduk Kecamatan Watubangga Berdasarkan


Tingkat Pendidikan Tahun 2012.

No. Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)


1. Tuna Aksara 246 1,86
2. Belum Sekolah 1.528 11,61
3. Putus Sekolah 864 6,56
4. TK 1.246 9,46
5. SD 3.303 25,09
6. SMP/Mts 3.602 27,36
7. SMA/SMK 1.426 10,83
8. S1 882 6,70
9. S2 64 0,48
Jumlah 13.161 100
(Sumber Data: Kantor Kecamatan Watubangga, 2012).
52

Dari data tabel di atas, maka dapat dikatakan bahwa penduduk

Kecamatan Watubangga masih memiliki tingkat pendidikan yang relatif

rendah, sehingga hal tersebut membuat masyarakat lebih banyak bekerja pada

sektor pertanian. Rendahnya tingkat pendidikan ini disebabkan oleh beberapa

faktor, misalnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah

sehingga membuat mereka lebih memilih bekerja dibandingkan melanjutkan

sekolah mereka, kemudian masih adanya pemikiran kolot yang menyatakan

bahwa anak perempuan tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi.

Berdasarkan data dari tabel 7 di atas, jumlah lulusan sekolah dasar (SD) dan

sekolah menengah pertama (SMP) atau madrasah tsanawiyah (Mts)

mendominasi tingkat pendidikan penduduk yang ada di Kecamatan

Watubangga.

Tetapi pada dasarnya data tersebut menunjukkan bahwa penduduk

Kecamatan Watubangga hampir terbebas dari buta aksara, bila dibandingkan

dengan yang belum sekolah maupun yang telah sekolah jumlah penduduk

yang buta aksara jumlahnya sudah sangat sedikit, yakni 1,86% dari 13.161

jiwa penduduk yang ada di Kecamatan Watubangga, tentunya hal tersebut

disebabkan oleh kesadaran penduduk yang memahami betapa pentingnya

pendidikan dalam kehidupan saat ini.

4. Keadaan Ekonomi

Pada dasarnya sistem perekonomian sebagai salah satu unsur

kebudayaan banyak ditentukan oleh faktor geografis dan penduduk. Begitu

pula dengan keadaan ekonomi penduduk yang ada di Kecamatan Watubangga,


53

di mana perputaran roda perekonomian lebih didominasi oleh sektor pertanian,

hal ini disebabkan oleh keadaan geografis Kecamatan Watubangga yang

menunjang sektor pertanian.

Penduduk Kecamatan Watubangga sebagian besar berprofesi sebagai

petani, di mana dari keseluruhan 13.161 jiwa penduduk yang ada di

Kecamatan Watubangga pada tahun 2012, terdapat 2.684 KK dari keseluruhan

3.769 KK yang berprofesi sebagai petani dan apabila dipersentasikan sebesar

71,23% dan sisanya 1.085 KK yang apabila dipersentasikan sebesar 28,77%

yang terdiri dari pegawai negeri sipil, honorer, pedagang atau wiraswasta,

pengrajin kerajinan dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya lihat tabel

berikut ini yang menguraikan tentang komposisi jumlah penduduk Kecamatan

Watubangga berdasarkan jenis mata pencahariannya.

Tabel 8. Komposisi Jumlah Penduduk Kecamatan Watubangga Berdasarkan


Jenis Mata Pencaharian Tahun 2012.

Jumlah (Jiwa) Persentase


No. Jenis Mata Pencaharian
Produktif (%)
1. Petani 5.543 71,23
2. Pegawai Negeri Sipil 682 8,76
3. Honorer 701 9,00
4. Pedagang/Wiraswasta 412 5,29
5. Pengrajin Kerajinan 42 0,53
6. Lain-Lain 403 5,17
Jumlah 7.783 100
(Sumber Data: Kantor Kecamatan Watubangga, 2012).

Berdasarkan data pada tabel di atas, tampak bahwa penduduk produktif

Kecamatan Watubangga berjumlah 7.783 jiwa, di mana penduduk Kecamatan

Watubangga mayoritas berprofesi sebagai petani, yakni 71,23% atau 5.543

jiwa dari keseluruhan jumlah penduduk ekonomi produktif di Kecamatan


54

Watubangga. Sedangkan sisanya sebesar 28,77% atau 2.240 jiwa berprofesi

sebagai pegawai negeri sipil, honorer, pedagang atau wiraswasta, pengrajin

kerajinan dan lain sebagainya.


55

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Wujud Perubahan Sistem Pertanian Pada Etnis Moronene di Kecamatan


Watubangga Kabupaten Kolaka, Dari Sistem Pertanian Tradisional
Menjadi Sistem Pertanian Modern.

Pertanian tradisional yaitu kegiatan pengolahan tanaman dan lingkungan

dengan menggunakan alat-alat sederhana dan tidak menggunakan teknologi

modern dalam proses pelaksanaanya, baik itu pada saat proses pembukaan lahan

pertanian, proses pengolahan lahan pertanian, proses perawatan tanaman maupun

pada saat proses panen. Selain itu, pertanian tradisional identik dengan proses

bercocok tanam berotasi atau berpindah-pindah.

Petani etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga Kabupaten

Kolaka Sulawesi Tenggara, merupakan salah satu etnis yang dahulu pernah

menerapkan sistem pertanian tradisional dalam bercocok tanam, tetapi karena

beberapa hal, saat ini mereka telah meninggalkan sistem pertanian tradisional dan

beralih menerapkan sistem pertanian modern dalam bercocok tanam, salah

satunya guna meningkatkan taraf kehidupan (kesejahteraan) mereka.

Berladang berpindah-pindah pada masyarakat Moronene disebut dengan

meu’ma, yaitu suatu kegiatan masyarakat yang mengolah hutan untuk keperluan

menanam padi, jagung, umbi-umbian, sayur-sayuran dan lain sebagainya dalam

rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya.

Pada tahun 1983 hingga tahun 1988 etnis Moronene yang ada di

Kecamatan Watubangga masih menggunakan sistem pertanian tradisional, di

mana dalam bercocok tanam mereka masih menggunakan sistem pertanian


56

berotasi (berpindah-pindah), hal tersebut sejalan dengan pernyataan informan

berikut ini yang menyatakan bahwa “sejak tahun 1983 hingga tahun 1988 kami

petani etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga masih menerapkan

sistem pertanian berotasi atau berladang berpindah-pindah dalam bercocok tanam,

sedangkan tanaman yang kami tanam yaitu padi, jagung, umbi-umbian dan lain

sebagainya, di mana kesemua tanaman tersebut kami gunakan untuk memenuhi

kebutuhan hidup keluarga kami sehari-hari” (Lukman, wawancara 25 April 2013).

Etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga mulai menerapkan

sistem pertanian modern pada awal tahun 1989, di mana pada awalnya mereka

belum merubah total sistem pertanian mereka, mereka hanya meniru penggunanan

pestisida, pupuk organik dan pupuk anorganik dari petani-petani pendatang

(transmigran asal pulau Jawa dan Bali) yang menggunakan sistem pertanian

modern, tetapi mereka masih menggunkan sistem pertanian berotasi atau

berpindah-pindah. Kemudian etnis Moronene yang ada di Kecamatan

Watubangga mulai menerapkan sistem pertanian modern seutuhnya pada awal

tahun 1991 hingga saat ini.

Wujud perubahan sistem pertanian pada etnis Moronene yang ada di

Kecamatan Watubangga dari sistem pertanian tradisional menjadi sistem

pertanian modern dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Saat masih menerapkan sistem pertanian tradisional dalam bercocok tanam,

para petani etnis Moronene awalnya memilih lahan atau hutan yang akan

dijadikan sebagai lokasi pertanian, para petani biasanya memilih lokasi di

daerah datar atau perbukitan yang dekat dengan sumber mata air, di mana
57

daerah datar cocok untuk ditanami padi dan sayur-sayuran sedangkan daerah

perbukitan cocok untuk ditanami jagung, umbi-umbian dan lain sebagainya.

Setelah lokasi ditentukan kemudian petani Moronene mengadakan upacara

membuka lahan (moo’oli) dengan tujuan agar proses pembukaan lahan

berjalan lancar tanpa ada hambatan.

Upacara moo’oli ini dipimpin oleh tokoh adat yang membidangi

pertanian (tumpuko’o), dengan mempersiapkan persyaratan sebagai berikut:

(a) satu pasang ayam (manu) untuk dilepas, (b) membuat Po’okoa (rumah-

rumah kecil tempat menyimpan sesaji) yang memiliki 4 tiang, (c) nyiru (duku)

satu buah sebagai wadah sesajian, (d) rokok (polulua) 4 batang (opalulua), (e)

daun sirih (bite) 4 lembar (opa lewe), (f) buah pinang (hua) 4 buah (opa hua),

(g) kapur (ngapi), (h) tembakau (ahu) dan (i) uang koin yang memiliki gambar

burung Alo (doi hoa) (Taiso, wawancara 21 April 2013).

Setelah petani etnis Moronene menerapkan sistem pertanian modern

dalam bercocok tanam, mereka tidak lagi melakukan proses pemilihan lahan

sebagai tempat bercocok tanam. Hal tersebut dikarenakan mereka telah

bercocok tanam secara menetap di areal-areal persawahan yang telah

ditunjang oleh jaringan irigasi bantuan dari pemerintah. Selain itu, setelah

petani etnis Moronene menerapkan sistem pertanian modern dalam bercocok

tanam, mereka tidak lagi melakukan upacara membuka lahan pertanian, hal

tersebut dikarenakan bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam yang

mereka anut. Selain itu, modernisasi dalam berbagai aspek kehidupan


58

masyarakat etnis Moronene juga menjadi penyebab upacara-upacara adat yang

menyangkut bidang pertanian tidak lagi dipatuhi atau dilaksanakan.

2. Setelah melakukan prosesi upacara moo’oli, kemudian tahapan pelaksanaan

sistem pertanian tradisional yang dahulu pernah mereka terapkan yaitu

selanjutnya membuka hutan yang telah dipilih tersebut dengan cara menebas

semak-semak (moromba/mowu) terlebih dahulu dan kemudian menebang

pohon-pohon besar (mempodu ke’u) dengan menggunakan peralatan yang

sangat sederhana seperti parang (neromu) dan kampak (pari). Setelah pohon

dan semak yang telah ditebang dan ditebas tersebut mengering, kemudian

dikumpulkan dan dibakar (bungkali).

Saat petani etnis Moronene telah menerapkan sistem pertanian modern

dalam bercocok tanam, mereka tidak terus menerus melakukan pembukaan

lahan pertanian, melainkan hanya satu kali yakni pada saat melakukan

percetakan sawah dan setelah itu mereka hanya melakukan pembakaran jerami

yang telah dirontokkan gabahnya setiap kali selesai panen. Selain itu dalam

proses pengolahan lahan, panen dan pengolahan hasil panen mereka telah

menggunakan peralatan modern seperti traktor tangan, mesin perontok padi,

mesin penggiling padi dan lain sebagainya.

3. Kemudian tahapan pelaksanaan sistem pertanian tradisional yang dahulu

pernah mereka terapkan selanjutnya yaitu membuat pagar keliling (mewara)

pada lahan tersebut, tujuannya adalah untuk melindungi tanaman dari hama

perusak misalnya babi. Sedangkan setelah petani etnis Moronene menerapkan

sistem pertanian modern, mereka tidak lagi memagar tempat bercocok tanam
59

mereka. Hal tersebut dikarenakan mereka telah bercocok tanam di areal

persawahan yang lokasinya berdekatan dengan pemukiman mereka, hingga

jauh dari gangguan hama seperti babi yang banyak terdapat di hutan.

4. Setelah proses penebangan, pembakaran dan pemagaran selesai, kemudian

tahapan pelaksanaan sistem pertanian tradisional yang dahulu pernah mereka

terapkan selanjutnya yaitu melihat posisi bintang di langit yang berjejer 3

(tina’o) untuk menentukan awal tanam yang baik, apabila posisi bintang

tersebut telah berada di sebelah barat, maka mereka akan memulai proses

penanaman (membula) yang diawali dengan upacara yang serupa pada saat

awal pembukaan lahan yakni upacara moo’oli dengan tujuan agar proses

penanaman berjalan lancar, setelah upacara selesai dilaksanakan maka mereka

akan mulai menanam padi (pae) atau jagung (puhu) dengan cara ditugal

(motasu) menggunakan potasu (alat tugal).

Setelah petani etnis Moronene menerapkan sistem pertanian modern

dalam bercocok tanam, mereka tidak lagi melihat posisi bintang yang berjejer

tiga di langit untuk menentukan awal tanam yang baik. Hal tersebut

dikarenakan telah adanya jaringan irigasi yang mengairi areal persawahan

mereka, sehingga mereka bisa menentukan awal tanam yang baik hanya

dengan mengamati curah hujan dan melihat debit air di jaringan irigasi

bantuan pemerintah tersebut, apabila debit airnya mencukupi maka mereka

akan melakukan proses penanaman. Selain itu, mereka sudah tidak lagi

melakukan upacara untuk mengawali proses penanaman benih dan

benihnyapun ditanam sudah tidak menggunakan alat tugal (potasu) lagi,


60

melainkan langsung ditanam menggunakan tangan. Perlu diketahui bahwa saat

petani etnis Moronene masih menerapkan sistem pertanian tradisional, mereka

hanya bisa menanam dan panen satu kali pertahun. Namun, setelah

menerapkan sistem pertanian modern mereka bisa menanam dan panen satu

sampai dua kali pertahun, bahkan terkadang bisa sampai tiga kali pertahun

tergantung pada ketinggian tingkat curah hujan.

5. Setelah benih ditanam, kemudian tahapan pelaksanaan sistem pertanian

tradisional yang dahulu pernah mereka terapkan selanjutnya yaitu melakukan

perawatan rutin terhadap tanaman dengan cara membersihkan tumbuhan

pengganggu (mewelahi) dengan menggunakan sabit kecil (sube), kemudian

menjaga tanaman dari hama perusak seperti babi (montoria wawi) dan

menjaga tanaman dari hama perusak lainnya yakni kera (montoria ndoke), di

mana proses perawatan tersebut dilakukan hingga tanaman siap panen. Perlu

diketahui bahwa saat proses perawatan tanaman, mereka tidak menggunakan

pupuk organik, pupuk anorganik maupun pestisida untuk merawat tanaman

mereka.

Saat petani etnis Moronene telah menerapkan sistem pertanian modern

dalam bercocok tanam, proses perawatan yang mereka lakukan tidak jauh

berbeda dengan saat mereka masih menerapkan sistem pertanian tradisional

dalam bercocok tanam. Hal tersebut dikarenakan dalam proses perawatan

tanaman, mereka masih menggunakan sabit kecil untuk membersihkan

tumbuhan pengganggu dan mereka masih menjaga tanaman padi dari serangan

hama seperti burung pemakan padi dan tikus. Namun setelah petani etnis
61

Moronene menerapkan sistem pertanian modern dalam bercocok tanam,

mereka telah menggunakan pupuk organik (pupuk kandang dan kompos),

pupuk anorganik (urea, TSP dan KCL) dan pestisida (Polaris, DMA,

Gramason, Posfit (pembasmi tikus), Decis (pembasmi wereng) dan Akodan

unuk membasmi babi) untuk merawat tanaman mereka. Untuk penggunaan

pestisida, mereka menggunakan alat penyemprot (hand sprayer).

6. Setelah tanaman siap panen, kemudian tahapan pelaksanaan sistem pertanian

tradisional yang dahulu pernah petani etnis Moronene terapkan selanjutnya

yaitu melakukan upacara panen (mobelai) yang dipimpin juga oleh tokoh adat

yang membidangi pertanian (tumpuko’o) sebelum proses panen dimulai,

dengan tujuan agar proses panen berjalan lancar dan sebagai bentuk rasa

syukur terhadap dewi padi (Sanggoleo Pae). Sebelum melaksanakan upacara

tersebut, tentunya tokoh adat yang membidangi pertanian (tumpuko’o)

tersebut mempersiapkan persyaratan-persyaratan sebagai berikut: (a)

menyalakan api (mopetandu api), (b) satu ekor ayam (manu) untuk dipotong,

(c) membuat Po’okoa (rumah-rumah kecil tempat menyimpan sesaji) yang

memiliki 4 tiang, (d) nyiru (duku) satu buah sebagai wadah sesajian, (e) rokok

(polulua) 4 batang (opalulua), (f) daun sirih (bite) 4 lembar (opa lewe), (g)

buah pinang (hua) 4 buah (opa hua), (h) Kapur (ngapi), (i) tembakau (ahu), (j)

uang koin yang memiliki gambar burung Alo (doi hoa) dan (k) air bambu (ete

lengo) untuk menyiram padi yang paling pertama dipotong (dipanen) (Taiso,

wawancara 21 April 2013).


62

Setelah upacara tersebut selesai dilaksanakan, kemudian tokoh adat

yang membidangi pertanian tersebut yang pertama memulai proses panen,

kemudian masyarakat petani Moronene mulai memanen (moweho)

menggunakan alat ani-ani (pongkotu), di mana sipemilik lahan membagi

(mombage) hasil panen dengan petani lainnya yang membantu proses panen

dengan perbandingan 5-1, lima ikat (limo ko’o) untuk pemilik dan satu ikat

(asa ko’o) untuk yang membantu proses panen.

Setelah petani etnis Moronene menerapkan sistem pertanian modern,

mereka sudah tidak lagi melaksanakan upacara adat saat melakukan proses

panen melainkan langsung memanennya dengan menggunakan sabit maupun

sabit bergerigi. Namun harus diakui, bahwa saat ini telah terjadi pergeseran

nilai-nilai sosial pada etnis Moronene, di mana sistem gotong royong telah

pudar. Petani etnis Moronene tidak lagi bergotong royong pada saat proses

panen, melainkan mereka memperkerjakan buruh tani untuk membantu proses

panen. Kemudian mereka tidak lagi membagi hasil panen mereka kepada yang

membantu proses panen tersebut, melainkan memberinya upah dalam bentuk

uang (rupiah).

7. Setelah proses panen (moweho) selesai, kemudian tahapan pelaksanaan sistem

pertanian tradisional yang dahulu pernah petani etnis Moronene terapkan

selanjutnya yaitu menyimpan hasil panen dilumbung (kampiri) yang

sebelumnya diawali dengan upacara penyimpanan hasil panen (motompuhi

kampiri) dengan tujuan agar hasil panen tersebut dapat disimpan dan

digunakan dalam jangka waktu yang lama atau dengan kata lain hasil panen
63

tersebut dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka hingga musim

panen berikutnya tiba. Apabila gabah yang telah disimpan di lumbung tersebut

hendak dikonsumsi, barulah gabah tersebut dijemur dan kemudian ditumbuk

menggunakan lesung (o’nowu) hingga menjadi beras siap konsumsi.

Upacara penyimpanan hasil panen ini dipimpin juga oleh tokoh adat

yang membidangi pertanian (tumpuko’o) dan tentunya juga mempersiapkan

persyaratan-persyaratan upacara sebagai berikut: (a) satu ekor ayam (manu)

untuk dipotong, (b) nyiru (duku) satu buah sebagai wadah sesajian, (c) rokok

(polulua) 4 batang (opalulua), (d) daun sirih (bite) 4 lembar (opa lewe), (e)

buah pinang (hua) 4 buah (opa hua), (f) Kapur (ngapi), (g) tembakau (ahu)

dan (h) uang koin yang memiliki gambar burung Alo (doi hoa) (Taiso,

wawancara 21 April 2013).

Setelah petani etnis Moronene menerapkan sistem pertanian modern,

mereka sudah tidak lagi melaksanakan upacara adat saat melakukan proses

pengolahan atau penyimpanan hasil panen, di mana saat padi telah

dirontokkan dan menjadi gabah kemudian dilakukan penjemuran terhadap

gabah tersebut hingga kadar airnya turun (kering) dan selanjutnya dilakukan

penggilingan dengan menggunakan mesin penggiling gabah, hingga akhirnya

gabah tersebut menjadi beras siap konsumsi yang dapat dikonsumsi sendiri

maupun dijual guna mencukupi kebutuhan hidup mereka yang lain.

Tahapan-tahapan pelaksanaan bercocok tanam tersebut di atas

menggambarkan wujud perubahan sistem pertanian tradisional menjadi sistem

pertanian modern pada etnis Moronene di Kecamatan Watubangga Kabupaten


64

Kolaka dari tahun 1983 hingga tahun 2012, di mana dari penjelasan tersebut

terlihat adanya perbedaan yang mendasar mengenai cara bercocok tanam petani

etnis Moronene, baik saat masih menerapkan sistem pertanian tradisional maupun

setelah menerapkan sistem pertanian modern, untuk lebih jelasnya lihat tabel

berikut.

Tabel 9. Wujud Perubahan Sistem Pertanian Etnis Moronene di Kecamatan


Watubangga Kabupaten Kolaka 1983-2012, dari Sistem Pertanian
Tradisional Menjadi Sistem Pertanian Modern.

Wujud Perubahan Sistem Pertanian Etnis Moronene di Kecamatan


No. Watubangga Kabupaten Kolaka 1983-2012
Sistem Pertanian Tradisional Sistem Pertanian Modern
1. Tahap Awal: Tahap Awal:
a. Memilih lahan atau hutan a. Proses pemilihan lahan sebagai
yang akan dijadikan sebagai tempat bercocok tanam tidak lagi
lokasi pertanian. dilakukan.

b. Setelah lokasi ditentukan b. Petani Moronene tidak lagi


kemudian mengadakan melakukan upacara membuka
upacara membuka lahan lahan pertanian.
(moo’oli).
2. Tahap Kedua: Tahap Kedua:
a. Membuka lahan dengan cara a. Pembukaan lahan pertanian tidak
menebas semak-semak lagi dilakukan dan proses
(moromba/mowu) dengan pengolahan lahan telah
menggunakan peralatan yang menggunakan peralatan modern.
sederhana seperti parang
(neromu) dan kampak (pari).

b. Setelah pohon dan semak b. Setelah menerapkan sistem


yang telah ditebang dan pertanian modern mereka hanya
ditebas tersebut mengering, melakukan pembakaran jerami
kemudian dikumpulkan dan yang telah dirontokkan gabahnya
dibakar (bungkali). setiap kali selesai panen.
3. Tahap Ketiga: Tahap Ketiga:
Membuat pagar keliling pada Pemagaran lahan tidak lagi
lahan menggunakan kayu. dilakukan, bilapun ada tetapi
menggunakan pelastik.
4. Tahap Keempat: Tahap Keempat:
a. Melihat posisi bintang di a. Petani menentukan awal tanam
langit yang berjejer 3 (tina’o) yang baik hanya dengan
65

untuk menentukan awal mengamati curah hujan dan


tanam yang baik. melihat debit air di jaringan
irigasi.

b. Melaksanakan upacara b. Upacara untuk mengawali proses


moo’oli pada awal proses penanaman tidak lagi
penanaman. dilaksanakan.

c. Proses penanaman benih padi c. Penanaman benih sudah tidak


(pae) atau jagung (puhu) menggunakan alat tugal (potasu)
dilakukan dengan cara lagi, melainkan langsung ditanam
ditugal (motasu) menggunakan tangan.
menggunakan potasu (alat
tugal).
5. Tahap Kelima: Tahap Kelima:
Perawatan tanaman pertanian Perawatan tanaman pertanian
tidak menggunakan pupuk telah menggunakan pupuk organik,
organik, pupuk anorganik pupuk anorganik maupun pestisida.
maupun pestisida.
6. Tahap Keenam: Tahap Keenam:
a. Sebelum panen, petani a. Upacara panen sudah tidak lagi
Moronene melakukan upacara dilakukan.
panen (mobelai) yang
dipimpin oleh tokoh adat yang
membidangi pertanian
(tumpuko’o).

b. Proses memanen dilakukan b. Sistem gotong royong tidak lagi


dengan cara bergotong royong dilakukan, melainkan
(mekorompo) dengan memperkerjakan buruh tani.
menggunakan alat ani-ani
(pongkotu).
7. Tahap Ketujuh: Tahap Ketujuh:
a. Upacara motompuhi kampiri a. Upacara motompuhi kampiri
dilakukan sebelum tidak lagi dilakukan.
penyimpanan hasil panen di
lumbung.

b. Proses pengolahan hasil b. Mayoritas pengolahan hasil panen


panen dilakukan secara dilakukan dengan penjemuran
bertahap dengan cara gabah hingga kering dan
ditumbuk menggunakan selanjutnya dilakukan
lesung (o’nowu) hingga beras penggilingan menggunakan mesin
siap konsumsi. penggiling gabah hingga beras
siap konsumsi.
66

Perlu diketahui, saat petani etnis Moronene masih menerapkan sistem

pertanian tradisional dalam bercocok tanam, lahan pertanian mereka selalu

berpindah-pindah. Di mana setelah lahan ditanami satu sampai tiga kali, kemudian

petani Moronene meninggalkan lahan tersebut dan membuka lahan lainnya karena

kesuburan tanah yang diolah telah berkurang, sehingga mempengaruhi kualitas

dan hasil panen, kemudian mereka akan kembali lagi ke lahan tersebut setelah

tanah yang ditinggalkan tersebut kesuburannya telah kembali.

Saat petani etnis Moronene telah menerapkan sistem pertanian modern,

mereka sudah tidak berpindah-pindah lagi dalam bercocok tanam. Hal tersebut

dikarenakan mereka telah bercocok tanam secara menetap di areal-areal

persawahan yang telah didukung oleh jaringan irigasi bantuan dari pemerintah.

Selain itu, untuk menjaga kesuburan tanah dan tanaman, mereka telah

menggunakan pupuk organik maupun anorganik, sehingga mereka tidak perlu

terus-menerus berpindah-pindah dalam bercocok tanam, karena kini mereka telah

memiliki pengetahuan mengenai cara menjaga ataupun mengembalikan kesuburan

tanah tempat mereka bercocok tanam.

B. Penyebab Terjadinya Perubahan Sistem Pertanian Pada Etnis Moronene


di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka, Dari Sistem Pertanian
Tradisional Menjadi Sistem Pertanian Modern.

Terjadinya perubahan sistem pertanian pada etnis moronene di Kecamatan

Watubangga Kabupaten Kolaka, dari sistem pertanian tradisional menjadi sistem

pertanian modern disebabkan oleh beberapa hal yang secara garis besarnya dapat

dibagi menjadi dua, penyebab tersebut adalah sebagai berikut.


67

1. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi terjadinya perubahan sistem

pertanian tradisional menjadi sistem pertanian modern pada etnis Moronene di

Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka dapat diuraikan sebagai berikut.

a. Transmigrasi

Dalam rangka peningkatan taraf hidup rakyat Indonesia dan pengurangan

jumlah penduduk disuatu daerah yang padat penduduknya, maka pemerintah

menjalankan program transmigrasi. Salah satu daerah yang terpilih sebagai tujuan

atau lokasi transmigrasi adalah Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka.

Kecamatan Watubangga terpilih sebagai lokasi atau tujuan transmigrasi

dikarenakan jumlah penduduk di daerah ini yang masih sangat sedikit, sedangkan

jumlah lahan atau tanah kosong masih sangat luas. Oleh karena itu, pemerintah

pada tahun 1985 mendatangkan transmigran asal pulau Jawa dan Bali ke

Kecamatan Watubangga, yang ditempatkan dibeberapa satuan perumahan yang

tersebar diberbagai wilayah Kecamatan Watubangga. Seperti yang diungkapkan

oleh informan, bahwa “pada tahun 1985 pemerintah mendatangkan transmigran

asal pulau Jawa dan Bali ke Kecamatan Watubangga, yang ditempatkan

dibeberapa satuan perumahan yang tersebar diberbagai wilayah Kecamatan

Watubangga. Di mana, satuan perumahan tersebut terdiri dari: (1) satuan

perumahan I (sekarang wilayah Kecamatan Toari), (2) satuan perumahan II

(sekarang wilayah Kecamatan Toari), (3) satuan perumahan III (sekarang

wilayah Kecamatan Watubangga), (4) satuan perumahan IV (sekarang wilayah

Kecamatan Watubangga), (5) satuan perumahan V (sekarang wilayah Kecamatan


68

Watubangga), (6) satuan perumahan A (sekarang wilayah Kecamatan

Polinggona), (7) satuan perumahan B (sekarang wilayah Kecamatan Polinggona)

dan (8) satuan perumahan C (sekarang wilayah Kecamatan Polinggona)”,

(Karidja, wawancara 16 April 2013).

Kedatangan para transmigran ini dapat memberikan pengaruh terhadap

petani etnis Moronene yang ada di kecamatan Watubangga yang masih

menerapkan sistem pertanian tradisional. Dengan datangnya para transmigran ini

diharapkan petani etnis Moronene dapat meninggalkan cara bercocok tanam

mereka yang masih tradisional dan beralih menggunakan sistem pertanian modern

yang didukung dengan ilmu pengetahuan modern dan peralatan yang modern

pula. Hal ini disebabkan para transmigran yang berasal dari pulau Jawa dan Bali

tersebut datang ke Kecamatan Watubangga dengan membawa pengalaman dan

pengetahuan yang cukup banyak dari daerah asal mereka mengenai cara bercocok

tanam yang efektif dan efisien, di mana pengalaman-pengalaman tersebut

termasuk teknik bertani. Selain itu mereka juga datang dengan membawa

peralatan pertanian yang modern, oleh sebab itulah petani etnis Moronene yang

ada di Kecamatan Watubangga lambat laun mulai meniru penggunaan sistem

pertanian modern tersebut dan saat ini mereka telah menggunakan sistem

pertanian modern seutuhnya di dalam bercocok tanam.

b. Penempatan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL)

Sistem pertanian tradisional (berladang berpindah-pindah) yang

diterapkan oleh petani etnis Moronene apabila ditinjau dari segi ekonomis dan

ekologis tidaklah menguntungkan. Peningkatan taraf hidup petani etnis Moronene


69

yang ada di Kecamatan Watubangga dari tahun ke tahun tidaklah mengalami

kemajuan, hal ini disebabkan karena mereka masih menerapkan sistem pertanian

tradisional di dalam bercocok tanam, di mana sistem pertanian tradisional tersebut

merupakan tradisi dalam bercocok tanam yang tidak efektif, efisien dan tidak

menguntungkan, untuk itu pada tahun 1985 pemerintah menempatkan penyuluh

pertanian lapangan (PPL) untuk memberikan penyuluhan dan bimbingan agar

petani etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga pada khususnya mau

beralih menggunakan sistem pertanian modern di dalam bercocok tanam.

Sebagai tindak lanjut pemerintah yang menempatkan petugas penyuluh

pertanian lapangan (PPL) di Kecamatan Watubangga, maka penyuluh pertanian

lapangan tersebut memberikan penyuluhan dan bimbingan terhadap petani etnis

Moronene pada khususnya mengenai cara bercocok tanam yang efektif dan

efisien, seperti yang diungkapkan oleh informan berikut ini, bahwa “pada tahun

1985 pemerintah menempatkan kami penyuluh pertanian lapangan di Kecamatan

Watubangga guna memberikan penyuluhan dan bimbingan terhadap seluruh

petani yang ada di Kecamatan Watubangga pada umumnya dan memberikan

penyuluhan atau pengarahan terhadap petani etnis Moronene pada khususnya

yang masih menerapkan sistem pertanian tradisional agar mereka mau beralih

menggunakan sistem pertanian modern di dalam bercocok tanam, karena sistem

pertanian modern lebih efektif, efisien dan menguntungkan bila dibandingkan

dengan sistem pertanian tradisional” (Syukirman, SP, wawancara 17 April 2013).

Pada dasarnya sistem pertanian tradisional yang diterapkan petani etnis

Moronene di Kecamatan Watubangga pada khususnya, bila ditinjau dari segi


70

ekologi dapat merusak lingkungan, hutan-hutan ditebang secara liar sehingga

berpotensi menyebabkan erosi, banjir dan ekosistem daratpun turut terganggu,

binatang-binatang khas Sulawesi Tenggara seperti anoa, rusa dan habitat burung

terancam punah karena hutan tempat tinggal dan tempat mencari makan mereka

telah berkurang.

Dari segi ekonomi, pendapatan petani etnis Moronene yang masih

menerapkan sistem pertanian tradisional di dalam bercocok tanam, masih sangat

jauh dari apa yang diharapkan. Hasil panen mereka hanya bisa untuk mencukupi

kebutuhan konsumsi keluarga mereka sendiri dan tidak bisa digunakan untuk

memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Oleh karena itu, sejak tahun 1990 hingga

2005, pemerintah membangun irigasi dibeberapa wilayah Kecamatan Watubangga

yang dianggap strategis untuk sarana pengairan dan mencetak areal-areal

persawahan sebagai lahan pertanian menetap yang dapat digunakan oleh petani

etnis Moronene pada khususnya, agar taraf hidup mereka meningkat dan ekologi

lingkunganpun dapat pulih kembali dan terjaga kelestariannya.

Sebahagian besar petani etnis Moronene yang ada di Kecamatan

Watubangga telah merubah cara pola berpikir mereka sejak dibangunnya jaringan

irigasi yang ada di daerah mereka pada tahun 1990, di mana mereka lebih memilih

mengikuti perkembangan jaman dan beralih menerapkan sistem pertanian modern

dalam bercocok tanam dan meninggalkan sistem pertanian tradisional. Selain itu,

penyuluh pertanian lapangan (PPL) juga menjadi salah satu penyebab petani etnis

Moronene beralih menerapkan sistem pertanian modern dalam bercocok tanam.


71

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Holtikultura dan Peternakan Kabupaten

Kolaka melalui petugas penyuluh pertanian lapangan (PPL) telah melakukan

kegiatan-kegiatan penyuluhan dan bimbingan kepada petani di Kecamatan

Watubangga pada umumnya. Menurut informasi bahwa “kegiatan penyuluhan dan

bimbingan yang dilakukan oleh penyuluh pertanian lapangan tersebut menjadi

pendidikan non formal yang diterima oleh petani, di mana melalui pendidikan non

formal tersebut petani memperoleh berbagai macam ilmu pengetahuan, misalnya

tentang bagaimana cara bercocok tanam yang baik dengan menggunakan

teknologi modern, baik itu dari cara penggunaan alat-alat pertanian modern

maupun cara penggunaan pupuk organik dan pupuk anorganik dalam proses

bercocok tanam” (Ilyas, SP, wawancara 16 April 2013).

Proses penyuluhan merupakan jenjang pendidikan non formal yang

bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada petani tentang manfaat

penggunaan teknologi pertanian modern, hal tersebut dilakukan oleh pemerintah

karena mengacu terhadap konsep keilmuan yang cenderung akan selalu berubah

dan berkembang layaknya perkembangan dunia yang saat ini semakin modern,

oleh karena itu petani etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga pada

khususnya memerlukan penyuluhan dan bimbingan agar mampu mengikuti

perkembangan pada bidang pertanian.

Bagi penyuluh pertanian lapangan (PPL) hal yang terpenting adalah

tentang bagaimana peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani, tentunya

dengan terjadinya peningkatan pengetahuan tersebut, maka petani etnis Moronene

yang ada di Kecamatan Watubangga pada khususnya akan mampu mengolah


72

lahan pertaniannya dengan baik sesuai dengan instruksi dari petugas penyuluh

pertanian lapangan. Seperti yang dikemukan oleh informan berikut ini bahwa

“dengan adanya penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang memberikan

penyuluhan dan bimbingan terhadap kami, maka kami memperoleh pengetahuan

mengenai cara bercocok tanam yang baik dan kami menerapkan pengetahuan

yang kami peroleh tersebut dalam bercocok tanam sesuai dengan instruksi dari

PPL” (Taiso, wawancara 21 April 2013).

Sebagai wadah belajar, mengajar, pemecahan masalah dan konsultasi

maka dibentuklah beberapa kelompok tani yang tersebar diberbagai daerah di

Kecamatan Watubangga, yang berfungsi sebagai lembaga non formal tempat

petugas penyuluh pertanian lapangan melakukan penyuluhan dan bimbingan

terhadap masyarakat, sebagai tempat masyarakat petani memperoleh pengetahuan

mengenai cara bertani yang baik, efektif dan efisien, sebagai tempat petani

berkonsultasi mengenai masalah yang Ia hadapi dalam bercocok tanam, dan lain

sebagainya.

Pengembangan pengetahuan mengenai teknologi pertanian melalui proses

pendidikan dan pelatihan non formal tentunya membuka peluang bagi petani

untuk menambah atau meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka di

bidang pertanian. Sehingga hal ini memiliki nilai positif terhadap penyebarluasan

teknologi pertanian yang dapat mendorong peningkatan jumlah dan kualitas

produksi pangan nasional. Selain itu juga, dengan diterapkannya sistem pertanian

modern dalam kegiatan bercocok tanam mereka (petani etnis Moronene pada

khususnya), hasil panen mereka jauh lebih berlimpah dan berkualitas, sehingga
73

dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dan bahkan dapat

menyekolahkan anak-anak mereka sampai kejenjang perguruan tinggi.

2. Kemajuan Teknologi

Kemajuan dalam bidang teknologi pertanian telah membawa pengaruh

besar bagi sistem pertanian tradisional, di mana dengan penggunaan teknologi

modern dalam bercocok tanam akan lebih efektif dan efisien, baik itu dari segi

waktu pengolahan tanah pertanian, proses penanaman, proses perawatan, proses

panen maupun proses pengolahan hasil panen.

Dalam rangka peningkatan jumlah produksi pangan, maka pemerintah

Kabupaten Kolaka membangun jaringan irigasi yang tersebar di berbagai wilayah

Kecamatan Watubangga, di antaranya jaringan irigasi yang berada di Kelurahan

Tandebura, jaringan irigasi Desa Polenga, jaringan irigasi Desa Peoho dan

jaringan irigasi Desa Kukutio. Pembangunan jaringan irigasi di Kecamatan

Watubangga dimulai sejak tahun 1990, di mana pembangunan jaringan irigasi ini

merupakan perwujudan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan

merupakan angin segar bagi masyarakat Kecamatan Watubangga sehingga

mereka dapat bercocok tanam dengan baik, memperoleh hasil berlimpah dan

menguntungkan dibandingkan dengan menerapkan cara bercocok tanam dengan

menggunakan sistem pertanian tradisional.

Berfungsinya jaringan irigasi yang ada di Kecamatan Watubangga sejak

tahun 1990 maka diadakan percetakan sawah-sawah agar petani etnis Moronene

pada khususnya mau beralih menggunakan sistem pertanian menetap (modern)

dalam bercocok tanam dan tentunya menggunakan peralatan pertanian yang


74

modern pula. Selain itu, dengan adanya jaringan irigasi ini petani etnis Moronene

sudah dapat menerapkan sistem pertanian modern seutuhnya dengan indeks

penanaman (IP) 2 sampai 3 kali pertahun dibandingkan dengan sistem pertanian

tradisional yang hanya bisa menanam dan panen 1 kali pertahun.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Kantor Balai Penyuluhan

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Watubangga bahwa

“daerah-daerah yang telah menggunakan jaringan irigasi yang ada di Kecamatan

Watubangga adalah Kelurahan Watubangga, Kelurahan Tandebura, Kelurahan

Wolulu, Desa polenga, Desa peoho dan Desa Kukutio, di mana areal persawahan

tersebut merupakan tempat menanam padi secara menetap petani etnis Moronene

pada khususnya” (Umar Saleh, SP, wawancara 17 April 2013).

Adanya jaringan irigasi tersebut membuat etnis Moronene yang ada di

Kecamatan Watubangga lambat laun mulai meninggalkan sistem pertanian

tradisional dalam bercocok tanam dan beralih menggunakan sistem pertanian

modern, karena mereka telah menyadari bahwa dengan menggunakan sistem

pertanaian modern dalam bercocok tanam maka hasil panen mereka akan jauh

lebih baik dan berlimpah bila dibandingkan dengan menerapkan cara bercocok

tanam tradisional, selain itu indeks penanaman (IP) dapat meningkat 2 hingga 3

kali pertahun, sehingga mereka dapat meningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan

mereka.

Pada dasarnya teknologi yang diterapkan oleh petani etnis Moronene pada

sistem pertanian modern ini sudah jauh lebih baik, efektif dan efisien bila

dibandingkan dengan penggunaan sistem pertanian tradisional, hal tersebut


75

disebabkan oleh penggunaan alat-alat modern yang dinilai jauh lebih efektif dan

efisien dan tentunya lebih menghemat tenaga petani, selain itu penggunaannyapun

relatif lebih mudah.

Teknologi pertanian modern masuk di Kecamatan Watubangga

disebabkan oleh kedatangan transmigran asal pulau Jawa dan Bali, di mana

mereka membawa pengetahuan dan teknologi pertanian ke Kecamatan

Watubangga dan menerapkannya, misalnya penggunaan bajak (luku) atau traktor

tangan dalam pengolahan lahan pertanian. Penggunaan teknologi pertanian

modern di Kecamatan Watubangga juga tidak terlepas dari peran pemerintah, di

mana pemerintah menempatkan petugas penyuluh pertanian lapangan (PPL) di

daerah tersebut yang bertugas memperkenalkan teknologi modern dalam pertanian

dan memberikan penyuluhan atau bimbingan terhadap petani mengenai cara

bercocok tanam yang baik maupun cara penggunaan pupuk organik atau

anorganik dan cara penggunaan alat-alat teknologi modern lainnya.

Manusia sebagai mahluk sosial tentunya akan selalu melakukan interaksi

dengan manusia lainnya tanpa memandang suku, agama, bahasa dan adat

istiadatnya demi kelangsungan hidupnya, di mana kebutuhan-kebutuhan hidupnya

tidak dapat dipenuhi sendiri, untuk itu dibutuhkan keterbukaan dalam melakukan

interaksi sosial dengan masyarakat lain. Seperti halnya dengan bertani, petani

membutuhkan interaksi sosial dengan petani lainnya untuk memperoleh

pengetahuan yang lebih luas mengenai cara bercocok tanam yang efektif dan

efisien.
76

Pengalaman-pengalaman cara bertani yang diperoleh petani etnis

Moronene dari transmigran asal pulau Jawa dan Bali yang ada di Kecamatan

Watubangga, tentunya memberikan pengaruh yang besar terhadap terjadinya

perubahan sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian modern pada

etnis Moronene tersebut. Hal tersebut dikarenakan transmigran asal pulau Jawa

dan Bali tersebut telah lebih dulu mengetahui tentang seluk-beluk pertanian

sawah. Hal tersebut sesuai dengan penuturan informan berikut ini yang

menyatakan bahwa “petani etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga

pada khususnya, sebahagian besar kini telah meniru cara bercocok tanam petani

transmigran asal pulau Jawa dan Bali yang lebih berpengalaman dalam becocok

tanam padi sawah” (Wasa, wawancara 21 April 2013).

Tentunya banyak sekali pengalaman-pengalaman yang dapat ditiru oleh

petani etnis Moronene dari petani transmigran asal pulau Jawa dan Bali tersebut,

misalnya penggunaan bajak (luku) dalam mengolah lahan pertanian. Sebelum

kedatangan para transmigran tersebut, petani etnis Moronene hanya menggunakan

peralatan yang sangat sederhana dalam mengolah lahan pertanian dan lebih

banyak menggunakan tenaga manusia, tetapi setelah para transmigran tersebut

datang, lambat laun mereka mulai meniru penggunaan bajak yang ditarik oleh sapi

atau kerbau dalam mengolah lahan pertanian dan di era modern saat ini mayoritas

petani telah menggunakan traktor dalam proses mengolah lahan pertanian,

meskipun tidak dapat dipungkiri pula bahwa saat ini masih ada petani yang

menggunakan tenaga hewan dalam mengolah lahan pertanian, tetapi saat ini

jumlahnya sudah sangat sedikit.


77

Saat petani etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga masih

menerapkan sistem pertanian tradisional dalam bercocok tanam, pengalaman-

pengalman petani hanya diperoleh dari apa yang telah diwariskan secara turun-

temurun oleh leluhur mereka, sehingga cara mereka bercocok tanam bersifat

statis. Hal tersebut sesuai dengan penuturan informan berikut ini yang

menyatakan bahwa “pengetahuan kami mengenai cara bercocok tanam tradisional

diperoleh dari pengalaman-pengalaman yang diwariskan atau diajarkan oleh orang

tua dan leluhur kami” (Taiso, wawancara 21 April 2013).

Saat ini petani etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga telah

menerapkan sistem pertanian modern dalam bercocok tanam, karena mereka

merasakan bahwa sistem pertanian modern yang mereka terapkan tersebut lebih

banyak dirasakan manfaatnya. Meskipun cara bercocok tanam tradisional tersebut

merupakan warisan dari orang tua dan leluhur mereka, tetapi di era modern saat

ini mau tidak mau petani etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga

harus meninggalkan cara bercocok tanam tradisional tersebut dan beralih

menggunakan sistem pertanian modern apabila mereka ingin meningkatkan taraf

kehidupan (kesejahteraan) mereka.

Melihat hasil produksi beras di Kecamatan Watubangga yang mengalami

peningkatan, maka pemerintah melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan

Holtikultura dan Peternakan Kabupaten Kolaka memberikan bantuan berupa

traktor tangan, hand sprayer (alat penyemprot), mesin perontok padi, mesin

penggiling gabah, cangkul, sabit, sabit bergerigi, pupuk anorganik dan tentunya
78

benih padi unggul, sehingga dengan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah

menunjukkan adanya kemajuan modernisasi di sektor pertanian.

Pemberian bantuan ini diungkapkan oleh informan berikut yang

menyatakan bahwa “sejak tahun 1989 hingga saat ini pemerintah melalui Dinas

Pertanian Tanaman Pangan Holtikultura dan Peternakan Kabupaten Kolaka telah

memberikan bantuan berupa traktor tangan, hand sprayer (alat penyemprot),

mesin perontok padi, mesin penggiling gabah, cangkul, sabit, sabit bergerigi,

pupuk anorganik dan tentunya benih padi unggul kepada petani di Kecamatan

Watubangga, di mana bantuan ini diserahkan kepada kelompok tani untuk

dikelola dan dipergunakan untuk kebutuhan petani” (Umar Saleh, SP, wawancara

17 April 2013).

Untuk mendukung pengembangan sektor pertanian di Kecamatan

Watubangga, maka pemerintah membangun infrastruktur yang memudahkan

petani untuk menjual hasil panen mereka. Infrastruktur-infrastruktur tersebut

misalnya pengaspalan jalan-jalan sampai ke pelosok pedesaan guna memudahkan

pengangkutan hasil panen dan pembangunan pasar-pasar sebagai salah satu

tempat penjualan hasil panen petani.

Dengan adanya dukungan dari pemerintah tersebut, maka petani etnis

Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga pada khususnya dapat

menggunakan alat-alat mekanisasi yang diberikan pemerintah dengan petunjuk

penggunaan yang diajarkan oleh penyuluh pertanian lapangan (PPL) atau melalui

buku-buku petunjuk yang disiapkan oleh pihak produsen yang memproduksi alat-

alat modern tersebut. Hingga akhirnya mereka bisa bercocok tanam lebih baik lagi
79

dan mereka semua (petani etnis Moronene) mau meninggalkan cara bercocok

tanam tradisional dan beralih ke sistem pertanian modern dalam bercocok tanam.

C. Dampak Terjadinya Perubahan Sistem Pertanian Tradisional Menjadi


Sistem Pertanian Modern Terhadap Lingkungan, Kehidupan Sosial
Budaya dan Ekonomi Etnis Moronene di Kecamatan Watubangga
Kabupaten Kolaka 1991-2012.

Pada dasarnya setiap perubahan yang terjadi pada suatu bidang tertentu di

dalam kehidupan masyarakat, pastinya akan selalu membawa dampak terhadap

kehidupan masyarakat itu sendiri. Begitu pula dengan perubahan sistem pertanian

tradisional menjadi sistem pertanian modern pada etnis Moronene di Kecamatan

Watubangga Kabupaten Kolaka, di mana perubahan tersebut membawa dampak

terhadap lingkungan, kehidupan sosial budaya dan ekonomi petani etnis

Moronene yang ada di daerah tersebut.

1. Dampak Terhadap Lingkungan

Dampak terjadinya perubahan sistem pertanian tradisional menjadi sistem

pertanian modern terhadap lingkungan di Kecamatan Watubangga Kabupaten

Kolaka 1991-2012 adalah sebagai berikut.

a. Pelestarian Lingkungan

Pada dasarnya pelaksanaan sistem pertanian tradisional (berladang

berpindah-pindah) telah mengganggu ekosistem, karena dengan adanya

penebangan pohon secara liar menyebabkan ekosistem lingkungan menjadi

tidak seimbang. Namun tidak dapat dipungkiri pula, bahwa terdapat kearifan-

kearifan (hal positif) dalam sistem pertanian tradisional tersebut. Salah satu

contohnya yaitu adanya gotong royong di dalam proses pelaksanaannya, di

mana petani etnis Moronene saling bergotong royong dalam berbagai proses
80

pelaksanaannya, misalnya saat pembukaan lahan (penebangan dan

pembakaran), proses pemagaran maupun saat melakukan proses panen.

Namun setelah petani etnis Moronene Menerapkan sistem pertanian modern,

telah terjadi pergeseran nilai-nilai sosial pada etnis Moronene tersebut, di

mana sistem gotong royong telah pudar. Petani etnis Moronene tidak lagi

bergotong royong pada saat proses panen, melainkan mereka memperkerjakan

buruh tani untuk membantu proses panen. Kemudian mereka tidak lagi

membagi hasil panen mereka kepada yang membantu proses panen tersebut,

melainkan memberinya upah dalam bentuk uang (rupiah).

Pertanian tradisional yang diterapkan oleh para petani etnis Moronene

yang ada di Kecamatan Watubangga, tentunya menjadi salah satu penyebab

rusaknya ekosistem lingkungan di daerah tersebut. Hal ini disebabkan para

petani etnis Moronene menerapkan sistem pertanian tradisional dalam

bercocok tanam, di mana dalam pelaksanaannya petani Moronene tersebut

memilih lahan yang ideal untuk dijadikan sebagai lahan pertanian, kemudian

menebang pepohonan dan menebas semak-semak yang ada di hutan tersebut

secara liar dan kemudian membakarnya setelah pohon dan semak tersebut

mengering.

Sistem pertanian tradisional yang diterapkan bertahun-tahun oleh para

petani etnis Moronene di Kecamatan Watubangga menyebabkan kerusakan

ekosistem, di mana hutan-hutan menjadi gundul sehingga berpotensi

menimbulkan erosi dan banjir yang dapat membahayakan manusia dan

mahluk hidup yang ada di sekitar daerah tersebut. Oleh karena itu, dengan
81

terjadinya perubahan sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian

modern dapat berdampak positif terhadap upaya pelestarian lingkungan di

Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka pada khususnya.

b. Pelestarian Hewan-Hewan Khas Endemik Sulawesi Tenggara

Sistem pertanian tradisional yang diterapkan bertahun-tahun oleh para

petani etnis Moronene di Kecamatan Watubangga telah menyebabkan hewan-

hewan endemik Sulawesi Tenggara seperti anoa, rusa dan berbagai jenis

burung menjadi terganggu, sulit ditemukan dan terancam punah akibat adanya

peraktik pertanian berotasi ini, habitat atau luas daerah tempat tinggal mereka

berkurang akibat adanya penebangan hutan secara liar sehingga menyulitkan

mereka untuk mencari makan dan berkembang biak yang akhirnya

menyebabkan terjadinya penurunan populasi mereka.

Hal tersebut sejalan dengan penuturan informan berikut yang

menyatakan bahwa ”dahulu di wilayah Watubangga ini kita sangat mudah

menemui dan menangkap hewan-hewan liar seperti anoa, rusa dan bermacam-

macam jenis burung. Kita tidak perlu jauh-jauh untuk mencarinya, karena

habitat mereka masih sangat dekat dengan pemukiman penduduk dan

jumlahnyapun banyak, namun setelah cara bercocok tanam berpindah-pindah

banyak dilakukan oleh petani Moronene maka lambat laun hewan-hewan

tersebut mulai sulit untuk ditemukan. Selain itu adanya oknum-oknum yang

melakukan eksploitasi terhadap hutan untuk kepentingan pribadi, juga menjadi

salah satu faktor gundulnya hutan di Watubangga ini, sehingga berakibat pula

pada berkurangnya habitat hewan tersebut” (Misa, wawancara 20 April 2013).


82

Oleh karena itu, dengan terjadinya perubahan sistem pertanian

tradisional menjadi sistem pertanian modern dapat berdampak positif terhadap

upaya pelestarian hewan-hewan khas endemik Sulawesi Tenggara di

Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka pada khususnya.

c. Terawatnya Lingkungan Perkampungan Penduduk

Dampak lain yang ditimbulkan dari penerapan sistem pertanian

tradisional oleh petani etnis Moronene di Kecamatan Watubangga yaitu

lingkungan pemukiman atau perkampungan penduduk menjadi tidak terawat,

di mana saat petani sedang melaksanakan proses bercocok tanam, petani

meninggalkan rumah mereka dan tinggal di lokasi perladangan. Hal tersebut

disebabkan lokasi ladang yang jauh dari pemukiman mereka dan rata-rata para

petani meninggalkan pemukiman atau perkampungan mereka selama lima

sampai enam bulan setiap satu kali musim tanam.

Ditinggalkannya pemukiman atau perkampungan mereka selama lima

sampai enam bulan setiap satu kali musim tanam tersebut, tentunya membuat

pekarangan rumah mereka ditumbuhi oleh rumput-rumput liar. Selain itu,

rumah merekapun lebih rentan akan kerusakan atau dapat dikatakan pula

bahwa rumah mereka lebih cepat mengalami kerusakan akibat tidak terawat.

Oleh karena itu, dengan terjadinya perubahan sistem pertanian

tradisional menjadi sistem pertanian modern dapat berdampak positif

(terawatnya lingkungan perkampungan atau pemukiman penduduk) terhadap

lingkungan perkampungan atau pemukiman penduduk Kecamatan

Watubangga Kabupaten Kolaka pada khususnya.


83

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

sistem pertanian tradisional yang pernah di terapkan oleh petani etnis Moronene

di dalam bercocok tanam lebih banyak membawa dampak negatif bila

dibandingkan dengan dampak positifnya. Oleh karena itu, kiranya perlu diadakan

perubahan terhadap pola pikir dan budaya masyarakat Moronene agar mereka

mau meninggalkan sistem pertanian tradisional dan beralih menggunakan sistem

pertanian modern dalam bercocok tanam. Namun, untuk merubah pola pikir atau

budaya suatu etnis atau masyarakat bukanlah hal yang mudah, misalnya saja etnis

Moronene di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka, di mana mereka masih

menerapkan sistem pertanian tradisional (berladang berpindah-pindah) hingga

tahun 1990, meskipun di daerah mereka telah cukup lama didatangi oleh

transmigran asal pulau Jawa dan Bali yang menerapkan sistem pertanian modern

dalam bercocok tanam, di butuhkan waktu kurang lebih 6 tahun bagi petani etnis

Moronene untuk dapat meninggalkan sistem pertanian tradisional dan beralih

sepenuhnya menggunakan sistem pertanian modern dalam bercocok tanam.

Setelah petani etnis Moronene menerapkan sistem pertanian modern dalam

bercocok tanam sejak tahun 1991 hingga saat ini, mereka sudah tidak melakukan

penebangan terhadap hutan lagi untuk bercocok tanam, karena mereka telah

bercocok tanam dengan cara menetap di areal-areal persawahan. Menurut

penuturan informan “hal ini disebabkan mereka telah banyak melakukan interaksi

dengan para transmigran yang datang ke daerah mereka, selain itu mereka juga

telah meniru dan menerima teknologi pertanian modern dari para transmigran dan

penyuluh pertanian lapangan yang ada di daerah mereka. Petugas penyuluh


84

pertanian lapangan juga menjadi faktor penting bagi terjadinya perubahan sistem

pertanian tradisional menjadi sistem pertanian modern pada petani etnis

Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga, di mana petugas penyuluh

pertanian lapangan tersebut membentuk kelompok-kelompok tani sebagai sarana

bagi para petani di Kecamatan Watubangga pada umumnya untuk menyampaikan

masalah yang di hadapi dalam bercocok tanam dan sekaligus sebagai tempat

untuk memperoleh ilmu pengetahuan mengenai cara bercocok tanam yang efektif

dan efisien” (Syukirman, SP, wawancara 17 April 2013).

Dibangunnya jaringan irigasi sederhana sejak tahun 1990 dibeberapa

wilayah yang ada di Kecamatan Watubangga juga menjadi faktor petani etnis

Moronene meninggalkan sistem pertanian tradisional dan beralih menggunakan

sistem pertanian modern, karena mereka telah melihat perubahan yang signifikan

terhadap hasil produksi yang diperoleh para petani transmigran sejak adanya

jaringan irigasi tersebut. Di mana sebelum dibangunnya jaringan irigasi sederhana

tersebut, hasil produksi petani transmigran belum begitu memuaskan karena areal

persawahan mereka hanya diairi oleh irigasi desa yang belum maksimal mengairi

areal-areal persawahan petani. Oleh sebab itu, para petani etnis Moronene enggan

untuk beralih menggunakan sistem pertanian modern karena hasil produksi para

petani sawah (petani transmigran) belum begitu memuaskan.

Diterapkannya sistem pertanian modern yang telah dilengkapi dengan

jaringan irigasi secara ekologi jauh lebih baik, karena para petani telah bercocok

tanam secara menetap di areal-areal persawahan, hingga akhirnya pengrusakan

hutan untuk bercocok tanam dapat dihindari, selain itu habitat hewan-hewan
85

endemik yang ada di Kecamatan Watubangga tersebut lambat laun akan pulih,

meskipun dibutuhkan waktu yang cukup lama dalam proses pemulihannya.

2. Dampak Terhadap Kehidupan Sosial Budaya dan Ekonomi

Dampak terjadinya perubahan sistem pertanian tradisional menjadi sistem

pertanian modern terhadap kehidupan sosial budaya dan ekonomi etnis Moronene

di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka 1991-2012 adalah sebagai berikut.

a. Pergeseran Nilai-Nilai Sosial Budaya Dalam Kehidupan Masyarakat

Terjadinya perubahan sistem pertanian pada petani etnis Moronene yang

ada di Kecamatan Watubangga dari sistem pertanian tradisional menjadi sistem

pertanian modern telah menyebabkan pergeseran nilai-nilai sosial budaya di

dalam kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut sangatlah kompleks, di mana

perubahan tersebut tampak dalam pola kehidupan sehari-hari, perilaku dan

interaksi sosial budaya petani etnis Moronene sangatlah berbeda setelah

menerapkan sistem pertanian modern bila dibandingkan pada saat mereka masih

menerapkan sistem pertanian tradisional dalam bercocok tanam.

Kebiasaan-kebiasaan yang selalu diterapkan petani etnis Moronene dalam

bercocok tanam menggunakan sistem pertanian tradisional menjadi hilang,

misalnya sistem gotong royong dalam proses bercocok tanam (mekorompo) telah

digantikan dengan sistem menyewa tenaga kerja atau buruh upah, kemudian

hilangnya sistem bagi hasil, selanjutnya alat-alat yang digunakan pada masa

pertanian tradisional digantikan dengan menggunakan alat-alat teknologi

bertenaga mesin dan pantangan-pantangan serta upacara-upacara adat yang

menyangkut bidang pertanian tidak lagi dipatuhi atau dilaksanakan karena


86

dianggap takhyul atau menyekutukan Allah SWT dan sangat bertentangan dengan

nilai-nilai agama Islam. Selain itu, modernisasi dalam berbagai aspek kehidupan

masyarakat etnis Moronene juga menjadi penyebab upacara-upacara adat yang

menyangkut bidang pertanian tidak lagi dipatuhi atau dilaksanakan.

Hal tersebut di atas sejalan dengan penuturan informan yang menyatakan

bahwa “setelah menerapkan sistem pertanian modern dalam bercocok tanam,

banyak sekali hal-hal yang berubah dalam pola bercocok tanam kami, misalnya

sistem gotong royong (mekorompo) digantikan dengan sistem menyewa tenaga

kerja atau buruh upah, hilangnya sistem bagi hasil, alat-alat yang digunakan pada

masa pertanian tradisional digantikan dengan menggunakan alat-alat teknologi

bertenaga mesin dan pantangan-pantangan serta upacara-upacara adat yang

menyangkut bidang pertanian tidak lagi dipatuhi atau dilaksanakan karena

dianggap takhyul atau menyekutukan Allah SWT dan sangat bertentangan dengan

nilai-nilai agama Islam” (Juni, wawancara 29 April 2013).

Setelah menerapkan sistem pertanian modern dalam bercocok tanam,

intensitas interaksi sosial masyarakat Moronene dengan transmigran telah terjadi

secara intensip, karena kini petani etnis Moronene telah tinggal menetap bersama

dengan para transmigran diperkampungan yang dekat dengan areal persawahan

tempat bercocok tanam mereka, hingga akhirnya terjadilah interaksi sosial yang

intensip, di mana dalam interaksi tersebut petani etnis Moronene yang ada di

Kecamatan Watubangga tersebut sering menanyakan mengenai cara bercocok

tanam yang efektif dan efisien kepada para petani transmigran dan petugas

penyuluh pertanian lapangan (PPL).


87

b. Meningkatnya Hasil Produksi dan Kesejahteraan Petani

Dalam rangka meningkatkan hasil produksi petani padi sawah yang ada di

Kecamatan Watubangga pada umumnya, maka sejak tahun 1990 dibangun

beberapa jaringan irigasi guna menunjang proses bercocok tanam dan produksi

petani, selain itu lahan-lahan tidur diproduktifkan dengan cara digusur

menggunakan tenaga mekanik untuk dijadikan areal persawahan, saat ini luas

areal persawahan di Kecamatan Watubangga seluas 985 Ha yang diolah oleh

petani etnis Moronene dan petani transmigran asal pulau Jawa dan Bali.

Sejak menerapkan sistem pertanian modern yang didukung oleh teknologi,

pengetahuan, pengalaman dan jaringan irigasi yang memadai, hasil produksi

petani padi sawah yang ada di Kecamatan Watubangga mengalami peningkatan.

Selain itu, indeks penanaman (IP) juga mengalami peningkatan menjadi 2 sampai

3 kali pertahun. Melihat adanya peningkatan produksi padi di Kecamatan

Watubangga, maka pada tahun 1990 bersamaan dengan dibangunnya jaringan

irigasi pemerintah melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan Holtikultura dan

Peternakan Kabupaten Kolaka membuka areal persawahan melalui percetakan

sawah-sawah baru, yang kemudian membagikannya kepada masyarakat lokal

(petani etnis Moronene) dan petani pendatang (transmigran asal pulau Jawa dan

Bali) masing-masing seluas 50 are.

Akibat adanya peningkatan luas areal persawahan dan hasil produksi padi,

maka kesejahteraan masyarakat petani di Kecamatan Watubangga pada umumnya

mengalami peningkatan. Menurut penuturan informan menyatakan bahwa

“kesejahteraan masyarakat petani padi sawah di Kecamatan Watubangga


88

mengalami peningkatan, sebagai buktinya yaitu hasil panen mereka selain cukup

untuk dikonsumsi sendiri, juga dapat dijual untuk mencukupi kebutuhan hidup

mereka sehari-hari. Misalnya dapat membeli peralatan atau perabot rumah tangga,

kendaraan sebagai alat transportasi keluarga, pesawat televisi dan juga dapat

digunakan untuk membangun rumah yang layak huni, bahkan dapat digunakan

untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka sampai ke jenjang perguruan

tinggi” (Wayan Sandi, wawancara 2 Mei 2013).

Setelah petani etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga

menerapkan sistem pertanian modern dalam bercocok tanam, maka tingkat

perekonomian mereka mengalami perkembangan, di mana luas areal persawahan

mereka meningkat yang awalnya setiap keluarga hanya memiliki sawah dengan

luas rata-rata 50 are, namun kini meningkat menjadi rata-rata 1 sampai 2 hektar

perkeluarga. Dengan meningkatnya luas sawah yang dimiliki petani, maka hasil

produksi gabahpun mengalami peningkatan, setiap kali panen dalam 2 kali musim

tanam pertahun mampu menghasilkan 20 sampai 30 karung gabah kering panen

(GKP) untuk sawah yang luasnya 50 are dan untuk 2 hektar sawah mampu

menghasilkan 100 sampai 120 karung gabah kering panen (GKP) setiap kali

panen dalam 2 kali musim tanam pertahun, dalam satu karung itu beratnya rata-

rata mencapai 125 Kg gabah kering panen (GKP). Dengan hasil yang cukup

banyak tersebut, maka lambat laun kesejahteraan petani etnis Moronene yang ada

di Kecamatatan Watubangga pada khususnya mengalami peningkatan.

Sedangkan saat petani etnis Moronene yang ada di Kecamatatan

Watubangga masih menerapkan sistem pertanian tradisional (berladang


89

berpindah-pindah) dalam bercocok tanam, luas areal pertanian mereka masih

relatif sempit, di mana areal pertanian tersebut dalam satu kali musim panen

hanya mampu menghasilkan rata-rata 450 sampai 480 liter beras, maka dengan

jumlah hasil panen seperti itu tidaklah mampu untuk meningkatkan kesejahteraan

hidup petani, karena hasil panen mereka hanya cukup dikonsumsi untuk

kebutuhan hidup keluarganya sendiri dalam setahun. Untuk lebih jelasnya, lihat

tabel berikut yang menguraikan tentang perbandingan jumlah produksi gabah di

Kecamatan Watubangga sejak tahun 1985 hingga tahun 2012.

Tabel 10. Perbandingan Jumlah Produksi Gabah Kering Panen (GKP) di


Kecamatan Watubangga Sejak Tahun 1985 Hingga Tahun 2012.

Luas Areal Hasil Produksi


Hasil Produksi Ket.
Pertanian Perhektar
Tradisional Modern Tradisional Modern Tradisional Modern

5,220 - Gabah
1,945 - 6,895 Ton Kering
5,3 - 7
512 Ha 985 Ha 3,8 - 4 Ton 2,048 Ton (satu kali Panen
Ton
(pertahun) musim (GKP)
tanam)

(Sumber Data: Kantor Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan


(BP3K) Kecamatan Watubangga, 2012).

Tabel di atas menunjukkan adanya perbedaan hasil produksi gabah dan

luas areal persawahan yang diperoleh dan diolah petani di Kecamatan

Watubangga pada umumnya sejak tahun 1985 hingga tahun 2012. Dengan

semakin luasnya areal persawahan dan dengan telah diterapkannya sistem

pertanian modern dalam bercocok tanam, maka berdampak pada meningkatnya

hasil produksi gabah yang diperoleh petani etnis Moronene. Sehingga secara

otomatis kesejahteraan petani di Kecamatan Watubangga pada umumnya


90

meningkat pula, hasil produksi mereka selain cukup dikonsumsi untuk

keluarganya sendiri, juga dapat dijual guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-

hari lainnya, misalnya digunakan untuk membeli perlengkapan rumah tangga,

kendaraan bermotor sebagai alat transportasi keluarga dan bahkan dapat

menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke jenjang perguruan tinggi.

c. Terbukanya Lapangan Pekerjaan dan Peluang Berusaha

Dengan adanya pertanian sawah, maka secara tidak langsung telah

membuka lapangan kerja, di mana masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan

dapat bekerja menjadi buruh tani untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya

sehari-hari. Dengan adanya lapangan pekerjaan ini berakibat pula pada

menurunnya laju urbanisasi, di mana penduduk tidak lagi harus ke kota untuk

mencari pekerjaan karena di desapun sudah ada lapangan pekerjaan.

Selain terciptanya lapangan pekerjaan, pertanian sawah juga membuka

peluang bagi masyarakat yang mau berusaha, misalnya membuka toko yang

menyediakan suku cadang peralatan pertanian yang menggunakan tenaga mesin,

peralatan penunjang pertanian seperti hand sprayer (alat penyemprot), sabit, sabit

bergerigi, obat-obatan pembasmi hama dan gulma, pupuk anorganik dan lain

sebagainya.
91

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Wujud perubahan sistem pertanian pada etnis Moronene di Kecamatan

Watubangga Kabupaten Kolaka, dari sistem pertanian tradisional menjadi sistem

pertanian modern yaitu saat masih menerapkan sistem pertanian tradisional, petani

etnis Moronene masih menerapkan sistem berladang berpindah-pindah dengan

menggunakan peralatan tradisional dalam setiap proses bercocok tanam yang

mereka lakukan dan upacara-upacara adat masih mewarnai dalam setiap proses

pelaksanaannya. Selain itu, mereka belum menggunakan pupuk maupun pestisida

dalam proses perawatan tanaman dan indeks penanaman (IP) hanya satu kali

pertahun. Sedangkan setelah menerapkan sistem pertanian modern, petani etnis

Moronene telah bercocok tanam secara menetap di areal-areal persawahan dengan

menggunakan peralatan modern dan upacara-upacara adat tidak lagi dilaksanakan

karena bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mereka anut. Selain itu,

mereka telah menggunakan pupuk maupun pestisida dalam proses perawatan

tanaman dan indeks penanaman (IP) telah meningkat menjadi dua sampai tiga kali

pertahun.

Penyebab terjadinya perubahan sistem pertanian pada etnis Moronene di

Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka, dari sistem pertanian tradisional

menjadi sistem pertanian modern secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua,

yaitu: (1) kebijakan pemerintah, yaitu: (a) transmigrasi, yakni penempatan


92

penduduk asal pulau Jawa dan Bali di Kecamatan Watubangga pada tahun 1985,

dan (b) penempatan penyuluh pertanian lapangan (PPL). (2) kemajuan teknologi.

Dampak terjadinya perubahan sistem pertanian tradisional menjadi sistem

pertanian modern pada etnis moronene di Kecamatan Watubangga Kabupaten

Kolaka 1991-2012, yaitu: (1) dampak terhadap lingkungan, yaitu: (a) pelestarian

lingkungan, (b) pelestarian hewan-hewan khas endemik Sulawesi Tenggara dan

(c) terawatnya lingkungan perkampungan penduduk. (2) dampak terhadap

kehidupan sosial budaya dan ekonomi, yaitu: (a) pergeseran nilai-nilai sosial

budaya dalam kehidupan masyarakat, (b) meningkatnya hasil produksi dan

kesejahteraan petani dan (c) terbukanya lapangan pekerjaan dan peluang berusaha.

B. Saran

1. Dalam rangka peningkatan perekonomian dan hasil produksi petani, kiranya

pemerintah senantiasa memperhatikan fasilitas penunjang pertanian, agar

petani maksimal mengolah lahan pertanian mereka yang kemudian berujung

pada meningkatnya perekonomian dan hasil produksi mereka.

2. Agar para petani dapat termotivasi untuk semakin giat bercocok tanam, maka

pemerintah perlu menyikapi keluhan-keluhan petani mengenai harga gabah

atau beras yang seringkali dipermainkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin

memperoleh keuntungan besar, yang pada akhirnya menyebabkan petani

mengalami kerugian.
93

C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sejarah di Sekolah

Sehubungan dengan perkembangan dunia pendidikan dewasa ini yang

membutuhkan referensi yang beragam, maka kiranya hasil penelitian perubahan

sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian modern pada etnis

Moronene di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka (1983-2012) ini dapat

bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan generasi muda melalui

studi pembelajaran sejarah di sekolah.

Terkait dengan pendidikan di sekolah, baik itu dari tingkat sekolah dasar

maupun hingga perguruan tinggi, pengetahuan masa lampau tersebut mengandung

nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk

sikap, watak dan kepribadian peserta didik. Pada dasarnya pengetahuan yang

diterapkan pada jenjang pendidikan dipengaruhi akan kebutuhan dan tantangan

yang dihadapi oleh masyarakat. Pendidikan sejarah yang manifestasinya

berbentuk pelajaran sejarah diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar

dalam upaya mencapai pendidikan nasional. Keberadaan pelajaran sejarah di

sekolah bertujuan untuk membimbing peserta didik agar mampu memahami dan

mengerti masa kini berdasarkan perspektif sejarah, yang akan memberikan nilai

karena tidak hanya mengetahui fakta sejarah, melainkan juga mengetahui interaksi

makna yang terkandung di dalamnya, sehingga memotivasi peserta didik untuk

memahami sejarah.

Hasil penelitian perubahan sistem pertanian tradisional menjadi sistem

pertanian modern pada etnis Moronene di Kecamatan Watubangga Kabupaten

Kolaka (1983-2012) terhadap pembelajaran sejarah dapat diajarkan pada tingkat


94

sekolah menengah atas (SMA) kelas XII semester I pada standar kompetensi

kehidupan masyarakat era reformasi.

Salah satu kompetensi dasar dalam mata pelajaran di SMA kelas XII

semester I berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan memuat kompetensi

dasar yaitu “menganalisis perkembangan politik, sosial budaya dan ekonomi serta

perubahan masyarakat di Indonesia pada masa reformasi” untuk membahas materi

pelajaran ini diperlukan waktu selama 2×45 menit untuk SMA. Adapun metode

yang dapat digunakan oleh guru untuk mengajarkan materi ini, yaitu metode

ceramah atau berdiskusi kelompok.

Perubahan sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian modern

pada etnis Moronene di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka (1983-2012)

merupakan sebuah karya tulis ilmiah yang diharapkan dapat dijadikan sebagai

referensi bagi yang membutuhkannya.

Anda mungkin juga menyukai