BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
pada sektor ekonomi sebagai penopang dari pembangunan bidang industri, guna
sektor pertanian yang sangat penting sebagai salah satu penyuplai bahan baku
perekonomian nasional yakni terciptanya sektor industri yang maju dan didukung
prioritas utama karena sektor ini ditinjau dari berbagai segi memang merupakan
yang bertambah dengan cepat, kontribusinya dalam penghasilan devisa dan lain-
Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa pertanian merupakan basis
negara agraris seperti Indonesia, tak dapat dipungkiri lagi bahwa pertanian
negara agraris karena sumber daya alam yang dimilikinya sangat melimpah dan
sebagai petani, tanah dan hutan memiliki peranan yang teramat penting bagi
kehidupan petani, dikarenakan tanah dan hutan merupakan media bagi petani
(1952: 6) soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia
karena tanah dan hutan adalah asal dan sumber makanan. Soal tanah adalah soal
hidup, soal darah yang menghidupi segenap manusia. Perebutan tanah berarti
perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela
hidup selanjutnya. Hal tersebut membuktikan bahwa tanah dan hutan sangat besar
Dalam mengolah sumber daya alam yang ada, saat ini masyarakat
bercocok tanam, namun tak dapat dipungkiri pula bahwa hingga saat ini masih
dengan menggunakan alat-alat sederhana, baik itu pada saat proses pembukaan
maupun pada saat proses panen. Selain itu, pertanian tradisional selalu identik
sampai diperoleh lahan pertanian yang cukup luas untuk ditanami padi dan umbi-
umbian.
jumlahnya sudah sedikit, di mana hal ini salah satunya disebabkan oleh
Oleh karena itu, saat ini masyarakat Indonesia sudah lebih banyak beralih
menggunakan sistem pertanian modern akan lebih efektif dan efisien di dalam
tradisional.
(bercocok tanam) yang dibantu dengan alat-alat teknologi masa kini, seperti
memenuhi syarat-syarat berikut: (1) teknologi dan efisiensi usaha taninya terus-
menerus diperbaiki, (2) hasil bumi yang diproduksi terus-menerus berubah sesuai
yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam teknologi, dan (3) perbandingan
antara penggunaan tanah, tenaga kerja dan modal pada usaha tani terus berubah
sesuai dengan adanya produk, perubahan dalam alternatif kesempatan kerja dan
sudah lebih ke arah bagaimana cara optimalisasi usaha tani untuk menghasilkan
bahan pangan yang bermutu, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Oleh
karena itu, saat ini mayoritas petani yang ada di Indonesia telah meninggalkan
dalam bercocok tanam. Salah satunya adalah petani etnis Moronene yang ada di
tradisional dalam bercocok tanam dan saat ini mereka telah menerapkan sistem
(kesejahteraan) mereka.
Pada tahun 1983 hingga tahun 1988 etnis Moronene yang ada di
yang akan dijadikan sebagai lokasi pertanian, setelah lokasi ditentukan kemudian
agar proses pembukaan lahan berjalan lancar tanpa ada hambatan, setelah
5
(neromu) dan kampak (pari), setelah pohon dan semak tersebut mengering
setelah itu petani Moronene melihat posisi bintang di langit yang berjejer 3
(tina’o) untuk menentukan awal tanam yang baik, apabila posisi bintang tersebut
telah berada di sebelah barat, maka mereka akan memulai proses penanaman
(membula) yang diawali dengan upacara yang serupa pada saat awal pembukaan
lahan (moo’oli), setelah upacara selesai dilaksanakan maka mereka akan mulai
menanam padi (pae) atau jagung (puhu) dengan cara ditugal (motasu)
tanaman siap panen. Setelah tanaman siap panen, kemudian petani Moronene
(mombage) hasil panen dengan petani lainnya yang membantu proses panen
dengan perbandingan 5-1, lima ikat untuk pemilik dan satu ikat untuk yang
membantu proses panen. Setelah proses panen (moweho) selesai, kemudian petani
6
Setelah lahan ditanami satu sampai tiga kali, kemudian petani Moronene
meninggalkan lahan tersebut dan membuka lahan lainnya karena kesuburan tanah
yang diolah telah berkurang, sehingga mempengaruhi kualitas dan hasil panen,
kemudian mereka akan kembali lagi ke lahan tersebut setelah tanah yang
hanya bisa menanam dan panen 1 kali pertahun. Selain itu, mereka masih
lahan, mengolah tanah pertanian, merawat tanaman, maupun pada saat panen dan
pengolahan hasil panen. Selain itu pula, pada saat petani Moronene melakukan
kegagalan panen akibat serangan hama dan penyakit akan besar, karena mereka
Pada kurun waktu 1983-1988 ini, jenis tanaman yang ditanam oleh petani
rempah. Hal tersebut disebabkan oleh pengetahuan akan jenis tanaman pertanian
yang mereka ketahui masih sangat sedikit, karena pada kurun waktu ini
masyarakat pendatang yang ada di daerah mereka juga menjadi salah satu faktor
waktu tersebut.
sistem pertanian modern pada awal tahun 1989, di mana pada awalnya mereka
belum merubah total sistem pertanian mereka, mereka hanya meniru penggunanan
asal pulau Jawa dan Bali) yang menggunakan sistem pertanian modern, tetapi
menerapkan sistem pertanian modern seutuhnya pada awal tahun 1991 hingga saat
ini, di mana sejak menerapkan sistem pertanian modern dalam bercocok tanam,
taraf kehidupan petani etnis Moronene lambat laun mulai meningkat dan lebih
sejahtera bila dibandingkan pada saat mereka masih menerapkan sistem pertanian
bercocok tanam dengan jarak tanam yang tidak terlalu lama setelah panen (1-3
kali panen pertahun). Selain itu, petani Moronene telah menggunakan alat-alat
modern (traktor, alat penyemprot, mesin perontok padi, mesin penggiling padi,
pupuk anorganik dan pestisida dalam proses perawatan tanaman sehingga mereka
8
dapat meningkatkan produksi serta kualitas hasil panen secara baik. Hal ini
(transmigran asal pulau Jawa dan Bali) telah terjadi secara intensip dan
dalam kehidupan mereka, selain itu adanya peran pemerintah dan PPL (penyuluh
adalah faktor teknologi, faktor irigasi, faktor pendidikan dan faktor pengalaman.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
Kolaka 1991-2012.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
penelitian yang telah ada dalam bidang sejarah pertanian (agraria) Sulawesi
umumnya.
10
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai sumber informasi atau referensi yang dapat dijadikan sebagai acuan
bagi peneliti lain yang berniat untuk mengadakan penelitian yang relevan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
tradisional adalah salah satu model pertanian yang masih sangat sederhana dan
kiranya perlu dibahas terlebih dahulu apa sebenarnya sistem itu? Sistem adalah
dalam lingkungan. Sistem juga dapat diartikan sebagai suatu kumpulan dan
Menurut Mas’oed (1990: 23) sistem dapat diartikan sebagai suatu konsep
adalah suatu kesatuan (entity) yang terdiri dari dua atau lebih komponen atau sub
sistem yang terjalin satu sama lain untuk mencapai satu tujuan.
pola tata atau norma tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan.
12
ekstensif dan tidak memaksimalkan input (hasil) yang ada. Sistem pertanian
tradisional salah satu contohnya adalah sistem ladang berpindah atau berotasi, di
mana sistem ladang berpindah saat ini telah tidak sejalan lagi dengan kebutuhan
hasil produksinya masih sangat rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Siagian
(1978: 34) sistem pertanian tradisional merupakan suatu ekotipe paleo teknik di
mana pertanian dilakukan dengan cara swiden (huma), sistem tanam sebahagian,
Bentuk ekotipe petani paleo teknik yaitu tanah yang sudah tandus
dibiarkan menganggur untuk jangka panjang dalam waktu yang lama yang
dikaitkan dengan pembakaran hutan untuk membuka tanah dan bercocok tanam
dengan menggunakan bajak. Sistem itu dinamakan swidden sistem, yang diambil
dari sebuah kata dialek Inggeris yang berarti membuat tanah dengan membakar,
orang membuka ladang baru dengan membakar vegetasi yang menutupi rumput,
belukar, ataupun hutan, tanah itu kemudian ditanami sampai hasilnya semakin
sementara itu lahan-lahan yang lain dibuka dengan cara yang sama untuk ditanami
Ada dua faktor yang sangat penting dalam sistem swidden, di mana faktor-
faktor tersebut adalah tersedianya tanah dan tersedianya tenaga kerja untuk
memproduksi hasil tanaman yang paling pokok (terdiri dari satu atau beberapa
13
karena adanya penebangan pohon secara liar yang menyebabkan hutan menjadi
perladangan ini menjadi kurang adaftif, yaitu: (1) kenaikan jumlah penduduk
masa depan, karena sekarang hanya mau senangnya saja, dan (3) perluasan
kelingkungan yang tidak cukup lembab, di mana hutan yang daun-daunnya mudah
gugur lebih lambat pulihnya, dan apa yang dipergunakan untuk membuka tanah
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sistem bercocok tanam
dampak positifnya, baik itu bagi lingkungan maupun bagi manusia yang bercocok
tanam itu sendiri. Maka dari itu, untuk menciptakan sistem pertanian yang tidak
hanya konsumtif tetapi juga berorientasi pasar, maka sistem pertanian dengan cara
modern.
14
pada dasarnya kita membahas satu aspek sejarah dari masyarakat tersebut yang di
dalamnya terdapat proses dan tahap-tahap sebagai gerak sejarah yang dilakukan
terdapat perubahan-perubahan.
peristiwa yang menyangkut perubahan posisi unsur suatu sistem. Hal ini sejalan
sebagai variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-
mempengaruhi struktur sosial, sistem sosial dan pranata sosial antara kelompok-
15
maupun karena adanya difersi atau penemuan baru dalam masyarakat. Perubahan
masyarakat itu sendiri maupun faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat itu
sosial dan budaya disebabkan karena faktor dari dalam (internal), dan faktor dari
atau revolusi di dalam masyarakat itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal, karena
kebiasaan.
Sedangkan proses terjadinya perubahan itu, ada yang cepat (revolusi) dan
ada pula yang lambat (evolusi), yang pada garis besarnya, teori evolusi
maju, dengan kata lain masa depan masyarakat dunia sudah jelas dan dapat
diramalkan, yakni pada suatu ketika kelak, dalam masa perubahan yang relatif
panjang, dunia akan menjadi masyarakat maju. Kedua, teori evolusi membaurkan
antara pandangan subyektifnya tentang nilai dan tujuan akhir perubahan sosial,
citakan, yang mengandung semua unsur yang disebut dengan “baik” dan
“sempurna” di dalamnya terdapat apa yang oleh teori evolusi disebut sebagai
maupun budaya yang merupakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
memang akan terasa sulit, tetapi bila dilandasi oleh tekanan-tekanan pada
lebih baik dan dapat pula menuju pada situasi yang lebih buruk. Begitu pula
bahkan menyimpang dari ketentuan hukum. Maka dengan kondisi yang demikian
perubahan kemasyarakatan.
Menurut Lauer (1993: 13) orang selalu mengubah cara-cara mereka, tetapi
bagi masyarakat.
kebudayaan memiliki hal yang berbeda, ada unsur-unsur kebudayaan yang mudah
berubah dan ada pula unsur-unsur kebudayaan yang sukar berubah bila
yang bertumpu pada pasokan eksternal berupa bahan-bahan kimia buatan (pupuk
Kedua hal tersebut menjadi dilematis dan hal ini telah membawa manusia
diperbaiki, (2) hasil bumi yang diproduksi terus-menerus berubah sesuai dengan
disebabkan oleh adanya perubahan dalam teknologi, dan (3) perbandingan antara
penggunaan tanah, tenaga kerja dan modal pada usaha tani terus berubah sesuai
panen yang dihasilkan, semakin tinggi kualitas hasil panen dan semakin banyak
hasil panen yang dihasilkan, maka sistem pertanian ini semakin dianggap maju.
Sistem pertanian modern biasa juga disebut dengan ekotipe neo teknik
bidangnya adalah: (1) pengolahan tanah pertanian sepanjang tahun dibantu oleh
sama sekali baru dari daerah-daerah lain di dunia, serta adanya kecenderungan
tertentu, dan (4) digunakannya mesin-mesin baru, seperti bajak yang dapat diputar
yang terbuat dari cord dan ditarik oleh dua kuda, mesin tebah yang digerakkan
oleh kuda, penuai yang ditarik oleh kuda, dan mesin pembuat lubang untuk benih
teknologi baru, dan cara-cara pengolahan lahan yang efektif dan efisien jelas telah
sikap sosial, dan motivasi yang ada secara radikal. Menurut Jhingan (1996: 54)
teknologi yang telah mereka gunakan dalam bercocok tanam menggunakan sistem
pertanian modern, seperti halnya yang telah dikatakan oleh Porkas (1996: 74)
untuk mengolah tanah, mesin perontok padi dan alat penggilingan padi. Untuk
tinggi bila dibandingkan dengan sistem pertanian tradisional, namun tidak dapat
pertanian modern, tetapi hal tersebut merupakan pilihan yang harus diambil oleh
1. Konsep Pertanian
yang dihasilkan oleh para petani Indonesia melalui bertani atau bercocok
Namun, apakah kita sendiri mengetahui atau tidak apakah pertanian itu
sebenarnya?
pangan, bahan baku industri atau sumber energi, serta untuk mengelola
rendah sampai tingkat tinggi, sedangkan fauna adalah binatang, baik yang
Pada dasarnya flora itu banyak macam dan jenisnya, oleh karena itu
arti luas meliputi semua kegiatan usaha dalam reproduksi flora dan fauna
yaitu: (a) pertanian masukan rendah, yaitu metode pertanian tradisional tanpa
menggunakan pupuk buatan atau pupuk organik yang didatangkan dari tempat
lain, (b) pertanian masukan sedang, yaitu metode pertanian yang umum
22
gulma secara kimiawi, serta tindakan pengawetan tanah memadai dan (d)
pertanian tanah darat menetap, yaitu usaha tani yang dilakukan terus-menerus
dan hewan yang dilakukan oleh manusia guna memenuhi kebutuhan hidup
mereka.
2. Konsep Petani
atau ladang (bercocok tanam) dan menjalankan peternakan hewan. Selain itu,
Biasanya hasil pertanian digunakan sendiri atau dijual kepada orang lain atau
pasar.
sebagai orang yang mata pencahariannya bercocok tanam, atau orang yang
orang yang melakukan bercocok tanam hasil bumi atau memelihara ternak
kambing, domba dan lain-lain) dan menanam tanaman (padi, bunga, buah dan
dengan mempekerjakan buruh juga dikenal sebagai petani atau buruh tani.
itu dengan demikian mencakup penggarap atau penerima bagi hasil maupun
pemilik penggarap selama mereka ini berada pada posisi membuat keputusan
Dari uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa petani itu
lingkungan alam sekitarnya untuk dijadikan lahan pertanian dan beternak guna
harus mengetahui apa sebenarnya ekonomi tersebut? Menurut Wahab (1992: 12)
24
ekonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah tangga dan
nomos yang berarti aturan. Sedangkan ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan
sosial yang mempelajari tingkah laku manusia dalam masyarakat, baik secara
yang relatif tidak terbatas adanya. Lebih spesifik lagi istilah tersebut mencirikan
cara tiap orang atau kelompok manusia bertindak dalam proses produksi,
konsumsi, dan alokasi barang dan jasa dengan menggunakan sumber daya yang
ada.
dalam bercocok tanam, hal ini salah satunya disebabkan oleh sistem
petani dalam bercocok tanam, sifat-sifat tersebut yaitu: (1) taraf pendidikan
sebahagian masyarakat masih sangat rendah, (2) cara-cara hidup dan berfikir
masyarakatnya masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, adat istiadat yang
menyerahkan diri pada kekuasaan alam dan tuhan dan (3) sisa-sisa feodalisme
lebih terbuka lebar karena semua unsur yang ada bekerja saling mendukung satu
sama lain. Dahulu petani dituntut hanya mampu memproduksi, tetapi lain halnya
dengan saat ini di mana petani dituntut memiliki pemahaman agrobisnis karena
penyerapan tenaga kerja dan pendorong mulculnya industri yang berbahan baku
pertanian.
pertanian yang semakin beragam dan relatif lama semakin mencukupi kebutuhan,
(2) tersedianya tenaga kerja yang relatif memadai, (3) tersedianya sarana dan
peralatan, (4) tersedianya dana investasi dan bahkan hal-hal tertentu dana
investasi yang ada dapat dikembangkan seluas-luasnya, hal ini disebabkan karena
capital output ratio penguasaan pertanian yang sangat rendah, (5) tersedianya
pasar dalam dan luar negeri yang relatif besar, (6) tersedianya peraturan dan
upaya untuk bisa bertahan di masa mendatang. Oleh karena itu, kiranya perlu
dicari suatu solusi untuk mengatasi hal tersebut, teknologi tepat guna merupakan
salah satu alternatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat tersebut.
yaitu: (1) mengkonversi sumber daya alam, (2) menyerap tenaga kerja, (3)
kemajuan desa dan menghadapi persaingan global, untuk itu maka dipandang
masyarakat diberbagai bidang yang ada dan didukung oleh penerapan dan
februari 2013).
mana teknologi yang bersifat adaptif ini digunakan pada beberapa sektor pertanian
yaitu: pengembangan bibit unggul untuk bahan pangan (beras, kedelai, jagung,
dan sorgum), bahan perdagangan (karet, kelapa, minyak sawit), dan bahan
salah satu faktor yang sangat penting guna berhasilnya pembangunan pada sektor
pertanian, di mana dengan menggunakan teknologi tepat guna, para petani akan
G. Tinjauan Historiografi
yang berkaitan dengan kehidupan etnis Moronene baik dari segi ekonomi, sosial,
dengan penelitian ini, seperti yang ditulis oleh Safrul (2000) tentang “Perubahan
1995).
yang dilakukan oleh Ramang Supu (2002) tentang “Perubahan Sistem Pertanian
1995).
29
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2013 dan lokasi
dapat dideskripsikan pada tahun 1983 hingga 1990 petani Moronene masih
menerapkan sistem pertanian tradisional dalam bercocok tanam, dan setelah itu
pada tahun 1991 hingga tahun 2012 petani Moronene telah menggunakan sistem
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam tiga
1. Sumber tertulis, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk catatan, atau tulisan-
tulisan yang relevan dan mendukung data dalam penelitian ini. Sumber-
Kecamatan Watubangga.
3. Sumber visual, yaitu data berupa keadaan alam, lokasi pertanian modern,
modern.
Pada tahap ini, peneliti menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu
tersebut dilakukan secara informal dan ada unsur spontanitas di dalam proses
terbuka yang dilaksanakan pada waktu dan konteks yang tepat agar data yang
sebelumnya dan buku catatan kecil, di mana kesemua hal tersebut digunakan
dipertanggungjawabkan.
2. Observasi, teknik ini digunakan untuk mengetahui secara jelas apa yang
ini, yaitu dalam hal ini mengenai sistem pertanian tradisional dan modern
Pada tahap ini peneliti melakukan kritik terhadap data yang diperoleh, di
mana kritik adalah suatu teknik analisis data untuk menilai otentisitas (keaslian)
dan kredibilitas (kebenaran) suatu sumber data yang telah dikumpulkan. Untuk itu
peneliti melakukan kritik sumber yang ditempuh melalui 2 (dua) tahap, yaitu.
1. Kritik ekstern, yaitu kritik yang dilakukan untuk menilai otentisitas (keaslian)
sumber data yang didapatkan, dalam hal ini dilakukan analisis terhadap
bentuk luar dari sumber data tersebut, baik itu sumber dalam bentuk tertulis
(kebenaran) isi sumber data yang didapatkan, di mana kritik ini dilakukan
melalui hasil observasi, studi lisan, dan studi dokumen di lokasi penelitian.
34
F. Penulisan Sejarah
Pada tahap penulisan sejarah ini, peneliti melakukan tiga tahap penulisan,
Kolaka didapatkan (baik itu data dalam bentuk tulisan, lisan, maupun
sama lain sehingga didapatkan suatu sumber sejarah yang dapat dipercaya
terhadap data-data yang telah diperoleh tersebut (baik itu data dalam bentuk
satu dengan data yang lainnya untuk mendapatkan suatu fakta sejarah yang
dapat dipercaya keasliannya. Dalam hal ini penafsiran sangat penting untuk
secara ilmiah.
BAB IV
Asal-usul etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga yaitu berasal dari
daerah Rumbia, Kasipute dan Poleang. Menurut Melamba (2011: 178) orang-
orang Moronene yang jumlahnya cukup sedikit tinggal di Kolaka bagian selatan
(Tondowolio di sebelah selatan dan bagian timur Kota Kolaka) dan termasuk
daerah asal dan faktor penarik dari daerah tujuan migrasi mereka, menurut
konflik dan tekanan keluarga, sedangkan faktor penarik dari daerah tujuan migrasi
mereka yaitu faktor geografis yang menunjang di bidang pertanian dan faktor
dan proses migrasi tersebut terjadi melalui dua tahap yaitu tahap awal pada tahun
dahulu kita harus mengetahui makna dari kata Watubangga tersebut. Secara
etimologis kata Watubangga berasal dari bahasa Tolaki dan bahasa Moronene, di
mana kata Watubangga terdiri dari dua kata yaitu watu dan bangga. Dalam bahasa
Tolaki kata Watubangga terdiri dari dua kata yaitu watu yang berarti batu dan
bangga yang berarti perahu, sedangkan dalam bahasa Moronene kata Watubangga
terdiri dari dua kata pula yaitu watu yang berarti batu dan bangka yang berarti
perahu. Oleh sebab itu, Watubangga diartikan sebagai batu yang berbentuk
perahu.
sebuah cerita rakyat yang mengatakan bahwa dahulu kala, ada seorang Raja dari
Kerajaan Luwu yang bernama Sawerijadi (Sawerigading) yang berlayar dari Bau-
Bau menuju Ke Luwu dengan menggunakan perahu yang terbuat dari batu, dalam
teluk Bone untuk beristirahat. Atas peristiwa tersebut, maka masyarakat Tolaki
distrik Wundulako yang dipimpin oleh almarhum Mokole Sou. Pada tahun 1950
tidak aman sehingga roda pemerintahan mulai kosong akibat terjadi berbagai
kekacauan yang ditimbulkan oleh pasukan Darul Islam atau Tentara Islam
Indonesia (DI/TII) yang berasal dari Sulawesi Selatan. Oleh sebab itu, sebahagian
lainnya mengungsi masuk ke kota Kolaka untuk menyelamatkan diri, pada tahun
1966 hingga 1969 wilayah Distrik Wundulako sampai wilayah Distrik Buopinang
secara bertahap mulai aman, sehingga masyarakat yang melarikan diri tersebut
Kolaka sebagai tindak lanjut dari otonomisasi wilayah Sulawesi Tenggara dari
cukup pesat, baik itu pada bidang pemerintahan maupun dari bidang
definitif pada tahun 1987, pada saat itu kantor Kecamatan Watubangga
kerjanya yang sangat luas, maka melalui wadah forum pemekaran Kecamatan
B. Kondisi Geografis
tentang letak batas maupun luas wilayah. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka kita dapat melihat letak geografis Kecamatan Watubangga yang mana
sebagai berikut.
Lambandia.
pada umumnya datar dan berbukit atau bergelombang yang sangat potensial
untuk pengembangan sektor pertanian. Berikut ini tabel jenis tanah dan
menanam berbagai jenis tanaman, baik itu tanaman musiman yang diperlukan
40
panjang seperti kelapa sawit, cokelat, jambu mete dan lain sebagainya.
potensi sumber daya alam yang melimpah yang menyediakan berbagai jenis
kayu dan rotan yang bernilai ekonomis tinggi dan dapat bermanfaat bagi
produksi 3777,5 Ha, daerah persawahan seluas 985 Ha, daerah perkebunan
seluas 9627 Ha, lahan kering seluas 5246 Ha, daerah tambak seluas 1062 Ha,
daerah rawa-rawa seluas 92,5 Ha dan lahan yang sudah digunakan oleh
masyarakat sebagai pemukiman atau pekarangan seluas 1228 Ha. Untuk lebih
2. Keadaan Iklim
Watubangga juga dikenal dua musim, yakni musim penghujan dan musim
kemarau. Keadaan musim banyak dipengaruhi oleh arus angin yang bertiup
mengandung uap air yang berasal dari Benua Asia dan Samudera Pasifik,
terjadi musim penghujan. Sedangkan pada bulan april, arus angin selalu tidak
menentu dengan curah hujan yang tak menentu, kadang kurang dan terkadang
pula berlebihan, musim seperti ini biasa juga disebut dengan musim
pancaroba.
dan tertinggi 280 C dengan suhu rata-rata 240 C. Pada bagian utara Kecamatan
Watubangga memiliki curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun dengan bulan
basah 9 bulan pertahun. Sedangkan pada bagian selatan dan timur memiliki
42
curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun dengan bulan basah 3-4 bulan
C. Kondisi Demografis
terlebih dahulu penulis mengulas sedikit mengenai makna dari kata demografis.
penyebaran penduduk.
ekonomi, politik dan agama. Untuk dapat memahami keadaan penduduk di suatu
kematian (mortalitas) dan migrasi netto. Migrasi netto adalah selisih antara
jumlah penduduk yang masuk dan yang keluar dari daerah yang bersangkutan.
Oleh karena itu, kedua faktor ini menyebabkan pertambahan dan pengurangan
Watubangga berdasarkan suku atau etnis. Selain itu, peneliti juga menguraikan
jiwa yang terdiri dari pria 6.783 jiwa dan wanita 6.378 jiwa yang terhimpun dalam
3.769 KK, dari keseluruhan 3.769 KK terdapat 2.684 KK yang berprofesi sebagai
petani yang apabila dipersentasikan sebesar 71,23% dan sisanya 1.085 KK yang
apabila dipersentasikan sebesar 28,77% yang terdiri dari pegawai negeri sipil,
Jumlah Penduduk KK
No. Desa/Kelurahan KK
Pria Wanita Jumlah Petani
1. Watubangga 1.073 1.107 2.180 527 375
2. Wolulu 750 675 1.425 340 241
3. Tandebura 705 549 1.254 539 283
4. Lamunde 479 526 1.005 212 151
5. Polenga 604 660 1.264 315 230
6. Peoho 712 717 1.429 407 289
7. Sumber Rejeki 107 105 212 162 115
8. Kukutio 406 379 785 218 155
9. Longgosipi 409 347 756 181 128
10. Kastura 424 279 702 197 140
11. Gunung Sari 425 599 1.224 311 221
12. Mataosu 489 436 925 360 256
Jumlah 6.783 6.378 13.161 3.769 2.684
(Sumber Data: Kantor Kecamatan Watubangga, 2012).
adalah suku Moronene, Tolaki, Bugis, Jawa, Lombok dan Bali. Untuk lebih
jelasnya, lihat tabel berikut yang menguraikan data mengenai jumlah penduduk
Watubangga.
45
Watubangga terdiri dari beraneka ragam suku atau etnis dengan latar belakang
pemikiran dan budaya yang tentunya berbeda-beda pula, tetapi pada dasarnya
desa atau kelurahan, terdapat 6.783 jiwa penduduk yang berjenis kelamin pria dan
terdapat 6.378 jiwa penduduk berjenis kelamin wanita yang terdiri dari berbagai
kelompok umur. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut yang menguraikan
usia.
46
didominasi oleh penduduk usia produktif 16 - 25 tahun sebanyak 2.477 jiwa, 26-
35 tahun sebanyak 2.791 jiwa dan usia 36 - 45 tahun sebanyak 2.515 jiwa, dari
lebih didominasi oleh kaum pria bila dibandingkan dengan kaum wanita.
1. Sistem Kekerabatan
berdasarkan keturunan yang terdiri dari keluarga inti dan keluarga luas, di
mana dalam keluarga inti terdiri dari ayah (suami) dan ibu (istri) dan anak-
anak yang belum menikah. Keluarga inti memiliki rumah tempat tinggal
keluarga.
47
keluarga inti tersebut dapat tercipta hubungan yang harmonis antara ayah, ibu
dan anak-anaknya.
lebih banyak dan luas, pada dasarnya keluarga luas merupakan keturunan dari
keluarga inti (keturunan dari keluarga ayah dan ibu), tegasnya keluarga luas
merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan sangat erat dan hidup
darah satu sama lain, sehingga terbentuklah suatu rumpun keluarga dalam arti
yang luas. Pada dasarnya di dalam keluarga luas, ada salah seorang kepala
keluarga yang dituakan dan memegang peranan penting dalam berbagai hal
2. Agama
hubungan manusia dengan tuhan pencipta alam semesta, agama juga mengatur
hubungan antara sesama manusia. Selain itu, agama juga mengatur hubungan
manusia dengan semua mahluk hidup yang ada di bumi dan lingkungan
beragama Islam, selain itu ada pula penduduk yang beragama Kristen dan
seperti Masjid sebagai tempat ibadah bagi mereka yang beragama Islam,
Gereja sebagai tempat ibadah bagi mereka yang beragama Kristen baik
Khatolik maupun Protestan dan Pura sebagai tempat ibadah bagi mereka yang
beragama Hindu.
dengan baik, masyarakat hidup berdampingan satu sama lain dan mereka
sehingga tercipta suasana yang aman, terkendali, rukun dan damai di dalam
seperti memperingati hari raya, memperingati Maulid dan Isra Mi’raj Nabi
49
keadaan sadar dan tanpa ada paksaan, begitu pula masyarakat yang ada di
sendiri dan tanpa ada paksaan pula, di mana mereka meyakini bahwa ajaran
agama Islam itu merupakan kebenaran yang nyata, sehingga dari keseluruhan
kehidupan antar umat beragama berjalan dengan aman, rukun dan terkendali.
Di mana hal tersebut dapat terjadi karena penduduk antar umat beragama yang
Jumlah
No. Agama/Kepercayaan
Jiwa Persentase (%)
1. Islam 9.553 72,58
2. Kristen (katholik) 352 2,67
3. Kristen (protestan) 296 2,24
4. Hindu 2.960 22,49
5. Budha - -
6. Lainnya - -
Jumlah 13.161 100
(Sumber Data: Kantor KUA Kecamatan Watubangga, 2012).
yang ada di Kecamatan Watubangga pada tahun 2012, terdapat 9.553 jiwa
penduduk yang beragama Kristen (protestan) sebanyak 296 jiwa atau 2,24%
3. Pendidikan
menyediakan sarana dan prasarana yang memadai agar tujuan tersebut dapat
51
masih buta aksara, tetapi jumlah mereka saat ini sudah sangat sedikit dan
yang ada, baik itu pada tingkat SD, SMP/Mts, SMA/SMK, maupun perguruan
rendah, sehingga hal tersebut membuat masyarakat lebih banyak bekerja pada
Berdasarkan data dari tabel 7 di atas, jumlah lulusan sekolah dasar (SD) dan
Watubangga.
dengan yang belum sekolah maupun yang telah sekolah jumlah penduduk
yang buta aksara jumlahnya sudah sangat sedikit, yakni 1,86% dari 13.161
4. Keadaan Ekonomi
yang terdiri dari pegawai negeri sipil, honorer, pedagang atau wiraswasta,
pengrajin kerajinan dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya lihat tabel
BAB V
modern dalam proses pelaksanaanya, baik itu pada saat proses pembukaan lahan
pada saat proses panen. Selain itu, pertanian tradisional identik dengan proses
Kolaka Sulawesi Tenggara, merupakan salah satu etnis yang dahulu pernah
beberapa hal, saat ini mereka telah meninggalkan sistem pertanian tradisional dan
meu’ma, yaitu suatu kegiatan masyarakat yang mengolah hutan untuk keperluan
Pada tahun 1983 hingga tahun 1988 etnis Moronene yang ada di
berikut ini yang menyatakan bahwa “sejak tahun 1983 hingga tahun 1988 kami
sedangkan tanaman yang kami tanam yaitu padi, jagung, umbi-umbian dan lain
sistem pertanian modern pada awal tahun 1989, di mana pada awalnya mereka
belum merubah total sistem pertanian mereka, mereka hanya meniru penggunanan
(transmigran asal pulau Jawa dan Bali) yang menggunakan sistem pertanian
para petani etnis Moronene awalnya memilih lahan atau hutan yang akan
daerah datar atau perbukitan yang dekat dengan sumber mata air, di mana
57
daerah datar cocok untuk ditanami padi dan sayur-sayuran sedangkan daerah
(a) satu pasang ayam (manu) untuk dilepas, (b) membuat Po’okoa (rumah-
rumah kecil tempat menyimpan sesaji) yang memiliki 4 tiang, (c) nyiru (duku)
satu buah sebagai wadah sesajian, (d) rokok (polulua) 4 batang (opalulua), (e)
daun sirih (bite) 4 lembar (opa lewe), (f) buah pinang (hua) 4 buah (opa hua),
(g) kapur (ngapi), (h) tembakau (ahu) dan (i) uang koin yang memiliki gambar
dalam bercocok tanam, mereka tidak lagi melakukan proses pemilihan lahan
ditunjang oleh jaringan irigasi bantuan dari pemerintah. Selain itu, setelah
tanam, mereka tidak lagi melakukan upacara membuka lahan pertanian, hal
selanjutnya membuka hutan yang telah dipilih tersebut dengan cara menebas
sangat sederhana seperti parang (neromu) dan kampak (pari). Setelah pohon
dan semak yang telah ditebang dan ditebas tersebut mengering, kemudian
lahan pertanian, melainkan hanya satu kali yakni pada saat melakukan
percetakan sawah dan setelah itu mereka hanya melakukan pembakaran jerami
yang telah dirontokkan gabahnya setiap kali selesai panen. Selain itu dalam
proses pengolahan lahan, panen dan pengolahan hasil panen mereka telah
pada lahan tersebut, tujuannya adalah untuk melindungi tanaman dari hama
sistem pertanian modern, mereka tidak lagi memagar tempat bercocok tanam
59
jauh dari gangguan hama seperti babi yang banyak terdapat di hutan.
(tina’o) untuk menentukan awal tanam yang baik, apabila posisi bintang
tersebut telah berada di sebelah barat, maka mereka akan memulai proses
penanaman (membula) yang diawali dengan upacara yang serupa pada saat
awal pembukaan lahan yakni upacara moo’oli dengan tujuan agar proses
akan mulai menanam padi (pae) atau jagung (puhu) dengan cara ditugal
dalam bercocok tanam, mereka tidak lagi melihat posisi bintang yang berjejer
tiga di langit untuk menentukan awal tanam yang baik. Hal tersebut
mereka, sehingga mereka bisa menentukan awal tanam yang baik hanya
dengan mengamati curah hujan dan melihat debit air di jaringan irigasi
akan melakukan proses penanaman. Selain itu, mereka sudah tidak lagi
hanya bisa menanam dan panen satu kali pertahun. Namun, setelah
menerapkan sistem pertanian modern mereka bisa menanam dan panen satu
sampai dua kali pertahun, bahkan terkadang bisa sampai tiga kali pertahun
menjaga tanaman dari hama perusak seperti babi (montoria wawi) dan
menjaga tanaman dari hama perusak lainnya yakni kera (montoria ndoke), di
mana proses perawatan tersebut dilakukan hingga tanaman siap panen. Perlu
mereka.
dalam bercocok tanam, proses perawatan yang mereka lakukan tidak jauh
tumbuhan pengganggu dan mereka masih menjaga tanaman padi dari serangan
hama seperti burung pemakan padi dan tikus. Namun setelah petani etnis
61
pupuk anorganik (urea, TSP dan KCL) dan pestisida (Polaris, DMA,
yaitu melakukan upacara panen (mobelai) yang dipimpin juga oleh tokoh adat
dengan tujuan agar proses panen berjalan lancar dan sebagai bentuk rasa
menyalakan api (mopetandu api), (b) satu ekor ayam (manu) untuk dipotong,
memiliki 4 tiang, (d) nyiru (duku) satu buah sebagai wadah sesajian, (e) rokok
(polulua) 4 batang (opalulua), (f) daun sirih (bite) 4 lembar (opa lewe), (g)
buah pinang (hua) 4 buah (opa hua), (h) Kapur (ngapi), (i) tembakau (ahu), (j)
uang koin yang memiliki gambar burung Alo (doi hoa) dan (k) air bambu (ete
lengo) untuk menyiram padi yang paling pertama dipotong (dipanen) (Taiso,
(mombage) hasil panen dengan petani lainnya yang membantu proses panen
dengan perbandingan 5-1, lima ikat (limo ko’o) untuk pemilik dan satu ikat
mereka sudah tidak lagi melaksanakan upacara adat saat melakukan proses
sabit bergerigi. Namun harus diakui, bahwa saat ini telah terjadi pergeseran
nilai-nilai sosial pada etnis Moronene, di mana sistem gotong royong telah
pudar. Petani etnis Moronene tidak lagi bergotong royong pada saat proses
panen. Kemudian mereka tidak lagi membagi hasil panen mereka kepada yang
uang (rupiah).
kampiri) dengan tujuan agar hasil panen tersebut dapat disimpan dan
digunakan dalam jangka waktu yang lama atau dengan kata lain hasil panen
63
panen berikutnya tiba. Apabila gabah yang telah disimpan di lumbung tersebut
Upacara penyimpanan hasil panen ini dipimpin juga oleh tokoh adat
untuk dipotong, (b) nyiru (duku) satu buah sebagai wadah sesajian, (c) rokok
(polulua) 4 batang (opalulua), (d) daun sirih (bite) 4 lembar (opa lewe), (e)
buah pinang (hua) 4 buah (opa hua), (f) Kapur (ngapi), (g) tembakau (ahu)
dan (h) uang koin yang memiliki gambar burung Alo (doi hoa) (Taiso,
mereka sudah tidak lagi melaksanakan upacara adat saat melakukan proses
gabah tersebut hingga kadar airnya turun (kering) dan selanjutnya dilakukan
gabah tersebut menjadi beras siap konsumsi yang dapat dikonsumsi sendiri
Kolaka dari tahun 1983 hingga tahun 2012, di mana dari penjelasan tersebut
terlihat adanya perbedaan yang mendasar mengenai cara bercocok tanam petani
etnis Moronene, baik saat masih menerapkan sistem pertanian tradisional maupun
setelah menerapkan sistem pertanian modern, untuk lebih jelasnya lihat tabel
berikut.
berpindah-pindah. Di mana setelah lahan ditanami satu sampai tiga kali, kemudian
petani Moronene meninggalkan lahan tersebut dan membuka lahan lainnya karena
dan hasil panen, kemudian mereka akan kembali lagi ke lahan tersebut setelah
mereka sudah tidak berpindah-pindah lagi dalam bercocok tanam. Hal tersebut
persawahan yang telah didukung oleh jaringan irigasi bantuan dari pemerintah.
Selain itu, untuk menjaga kesuburan tanah dan tanaman, mereka telah
pertanian modern disebabkan oleh beberapa hal yang secara garis besarnya dapat
1. Kebijakan Pemerintah
a. Transmigrasi
menjalankan program transmigrasi. Salah satu daerah yang terpilih sebagai tujuan
dikarenakan jumlah penduduk di daerah ini yang masih sangat sedikit, sedangkan
jumlah lahan atau tanah kosong masih sangat luas. Oleh karena itu, pemerintah
pada tahun 1985 mendatangkan transmigran asal pulau Jawa dan Bali ke
mereka yang masih tradisional dan beralih menggunakan sistem pertanian modern
yang didukung dengan ilmu pengetahuan modern dan peralatan yang modern
pula. Hal ini disebabkan para transmigran yang berasal dari pulau Jawa dan Bali
pengetahuan yang cukup banyak dari daerah asal mereka mengenai cara bercocok
termasuk teknik bertani. Selain itu mereka juga datang dengan membawa
peralatan pertanian yang modern, oleh sebab itulah petani etnis Moronene yang
pertanian modern tersebut dan saat ini mereka telah menggunakan sistem
diterapkan oleh petani etnis Moronene apabila ditinjau dari segi ekonomis dan
kemajuan, hal ini disebabkan karena mereka masih menerapkan sistem pertanian
merupakan tradisi dalam bercocok tanam yang tidak efektif, efisien dan tidak
petani etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga pada khususnya mau
Moronene pada khususnya mengenai cara bercocok tanam yang efektif dan
efisien, seperti yang diungkapkan oleh informan berikut ini, bahwa “pada tahun
yang masih menerapkan sistem pertanian tradisional agar mereka mau beralih
binatang-binatang khas Sulawesi Tenggara seperti anoa, rusa dan habitat burung
terancam punah karena hutan tempat tinggal dan tempat mencari makan mereka
telah berkurang.
jauh dari apa yang diharapkan. Hasil panen mereka hanya bisa untuk mencukupi
kebutuhan konsumsi keluarga mereka sendiri dan tidak bisa digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Oleh karena itu, sejak tahun 1990 hingga
persawahan sebagai lahan pertanian menetap yang dapat digunakan oleh petani
etnis Moronene pada khususnya, agar taraf hidup mereka meningkat dan ekologi
Watubangga telah merubah cara pola berpikir mereka sejak dibangunnya jaringan
irigasi yang ada di daerah mereka pada tahun 1990, di mana mereka lebih memilih
dalam bercocok tanam dan meninggalkan sistem pertanian tradisional. Selain itu,
penyuluh pertanian lapangan (PPL) juga menjadi salah satu penyebab petani etnis
pendidikan non formal yang diterima oleh petani, di mana melalui pendidikan non
teknologi modern, baik itu dari cara penggunaan alat-alat pertanian modern
maupun cara penggunaan pupuk organik dan pupuk anorganik dalam proses
karena mengacu terhadap konsep keilmuan yang cenderung akan selalu berubah
dan berkembang layaknya perkembangan dunia yang saat ini semakin modern,
oleh karena itu petani etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga pada
lahan pertaniannya dengan baik sesuai dengan instruksi dari petugas penyuluh
pertanian lapangan. Seperti yang dikemukan oleh informan berikut ini bahwa
mengenai cara bercocok tanam yang baik dan kami menerapkan pengetahuan
yang kami peroleh tersebut dalam bercocok tanam sesuai dengan instruksi dari
mengenai cara bertani yang baik, efektif dan efisien, sebagai tempat petani
berkonsultasi mengenai masalah yang Ia hadapi dalam bercocok tanam, dan lain
sebagainya.
pendidikan dan pelatihan non formal tentunya membuka peluang bagi petani
bidang pertanian. Sehingga hal ini memiliki nilai positif terhadap penyebarluasan
produksi pangan nasional. Selain itu juga, dengan diterapkannya sistem pertanian
modern dalam kegiatan bercocok tanam mereka (petani etnis Moronene pada
khususnya), hasil panen mereka jauh lebih berlimpah dan berkualitas, sehingga
73
2. Kemajuan Teknologi
modern dalam bercocok tanam akan lebih efektif dan efisien, baik itu dari segi
Tandebura, jaringan irigasi Desa Polenga, jaringan irigasi Desa Peoho dan
Watubangga dimulai sejak tahun 1990, di mana pembangunan jaringan irigasi ini
mereka dapat bercocok tanam dengan baik, memperoleh hasil berlimpah dan
tahun 1990 maka diadakan percetakan sawah-sawah agar petani etnis Moronene
modern pula. Selain itu, dengan adanya jaringan irigasi ini petani etnis Moronene
Wolulu, Desa polenga, Desa peoho dan Desa Kukutio, di mana areal persawahan
tersebut merupakan tempat menanam padi secara menetap petani etnis Moronene
pertanaian modern dalam bercocok tanam maka hasil panen mereka akan jauh
lebih baik dan berlimpah bila dibandingkan dengan menerapkan cara bercocok
tanam tradisional, selain itu indeks penanaman (IP) dapat meningkat 2 hingga 3
kali pertahun, sehingga mereka dapat meningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan
mereka.
Pada dasarnya teknologi yang diterapkan oleh petani etnis Moronene pada
sistem pertanian modern ini sudah jauh lebih baik, efektif dan efisien bila
disebabkan oleh penggunaan alat-alat modern yang dinilai jauh lebih efektif dan
efisien dan tentunya lebih menghemat tenaga petani, selain itu penggunaannyapun
disebabkan oleh kedatangan transmigran asal pulau Jawa dan Bali, di mana
bercocok tanam yang baik maupun cara penggunaan pupuk organik atau
dengan manusia lainnya tanpa memandang suku, agama, bahasa dan adat
tidak dapat dipenuhi sendiri, untuk itu dibutuhkan keterbukaan dalam melakukan
interaksi sosial dengan masyarakat lain. Seperti halnya dengan bertani, petani
pengetahuan yang lebih luas mengenai cara bercocok tanam yang efektif dan
efisien.
76
Moronene dari transmigran asal pulau Jawa dan Bali yang ada di Kecamatan
etnis Moronene tersebut. Hal tersebut dikarenakan transmigran asal pulau Jawa
dan Bali tersebut telah lebih dulu mengetahui tentang seluk-beluk pertanian
sawah. Hal tersebut sesuai dengan penuturan informan berikut ini yang
pada khususnya, sebahagian besar kini telah meniru cara bercocok tanam petani
transmigran asal pulau Jawa dan Bali yang lebih berpengalaman dalam becocok
petani etnis Moronene dari petani transmigran asal pulau Jawa dan Bali tersebut,
peralatan yang sangat sederhana dalam mengolah lahan pertanian dan lebih
datang, lambat laun mereka mulai meniru penggunaan bajak yang ditarik oleh sapi
atau kerbau dalam mengolah lahan pertanian dan di era modern saat ini mayoritas
meskipun tidak dapat dipungkiri pula bahwa saat ini masih ada petani yang
menggunakan tenaga hewan dalam mengolah lahan pertanian, tetapi saat ini
pengalman petani hanya diperoleh dari apa yang telah diwariskan secara turun-
temurun oleh leluhur mereka, sehingga cara mereka bercocok tanam bersifat
statis. Hal tersebut sesuai dengan penuturan informan berikut ini yang
Saat ini petani etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga telah
merasakan bahwa sistem pertanian modern yang mereka terapkan tersebut lebih
merupakan warisan dari orang tua dan leluhur mereka, tetapi di era modern saat
ini mau tidak mau petani etnis Moronene yang ada di Kecamatan Watubangga
traktor tangan, hand sprayer (alat penyemprot), mesin perontok padi, mesin
penggiling gabah, cangkul, sabit, sabit bergerigi, pupuk anorganik dan tentunya
78
benih padi unggul, sehingga dengan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah
menyatakan bahwa “sejak tahun 1989 hingga saat ini pemerintah melalui Dinas
mesin perontok padi, mesin penggiling gabah, cangkul, sabit, sabit bergerigi,
pupuk anorganik dan tentunya benih padi unggul kepada petani di Kecamatan
dikelola dan dipergunakan untuk kebutuhan petani” (Umar Saleh, SP, wawancara
17 April 2013).
penggunaan yang diajarkan oleh penyuluh pertanian lapangan (PPL) atau melalui
buku-buku petunjuk yang disiapkan oleh pihak produsen yang memproduksi alat-
alat modern tersebut. Hingga akhirnya mereka bisa bercocok tanam lebih baik lagi
79
dan mereka semua (petani etnis Moronene) mau meninggalkan cara bercocok
tanam tradisional dan beralih ke sistem pertanian modern dalam bercocok tanam.
Pada dasarnya setiap perubahan yang terjadi pada suatu bidang tertentu di
kehidupan masyarakat itu sendiri. Begitu pula dengan perubahan sistem pertanian
a. Pelestarian Lingkungan
tidak seimbang. Namun tidak dapat dipungkiri pula, bahwa terdapat kearifan-
kearifan (hal positif) dalam sistem pertanian tradisional tersebut. Salah satu
mana petani etnis Moronene saling bergotong royong dalam berbagai proses
80
mana sistem gotong royong telah pudar. Petani etnis Moronene tidak lagi
buruh tani untuk membantu proses panen. Kemudian mereka tidak lagi
membagi hasil panen mereka kepada yang membantu proses panen tersebut,
memilih lahan yang ideal untuk dijadikan sebagai lahan pertanian, kemudian
secara liar dan kemudian membakarnya setelah pohon dan semak tersebut
mengering.
mahluk hidup yang ada di sekitar daerah tersebut. Oleh karena itu, dengan
81
hewan endemik Sulawesi Tenggara seperti anoa, rusa dan berbagai jenis
burung menjadi terganggu, sulit ditemukan dan terancam punah akibat adanya
peraktik pertanian berotasi ini, habitat atau luas daerah tempat tinggal mereka
menemui dan menangkap hewan-hewan liar seperti anoa, rusa dan bermacam-
macam jenis burung. Kita tidak perlu jauh-jauh untuk mencarinya, karena
tersebut mulai sulit untuk ditemukan. Selain itu adanya oknum-oknum yang
salah satu faktor gundulnya hutan di Watubangga ini, sehingga berakibat pula
disebabkan lokasi ladang yang jauh dari pemukiman mereka dan rata-rata para
sampai enam bulan setiap satu kali musim tanam tersebut, tentunya membuat
rumah merekapun lebih rentan akan kerusakan atau dapat dikatakan pula
bahwa rumah mereka lebih cepat mengalami kerusakan akibat tidak terawat.
sistem pertanian tradisional yang pernah di terapkan oleh petani etnis Moronene
dibandingkan dengan dampak positifnya. Oleh karena itu, kiranya perlu diadakan
perubahan terhadap pola pikir dan budaya masyarakat Moronene agar mereka
pertanian modern dalam bercocok tanam. Namun, untuk merubah pola pikir atau
budaya suatu etnis atau masyarakat bukanlah hal yang mudah, misalnya saja etnis
tahun 1990, meskipun di daerah mereka telah cukup lama didatangi oleh
transmigran asal pulau Jawa dan Bali yang menerapkan sistem pertanian modern
dalam bercocok tanam, di butuhkan waktu kurang lebih 6 tahun bagi petani etnis
bercocok tanam sejak tahun 1991 hingga saat ini, mereka sudah tidak melakukan
penebangan terhadap hutan lagi untuk bercocok tanam, karena mereka telah
penuturan informan “hal ini disebabkan mereka telah banyak melakukan interaksi
dengan para transmigran yang datang ke daerah mereka, selain itu mereka juga
telah meniru dan menerima teknologi pertanian modern dari para transmigran dan
pertanian lapangan juga menjadi faktor penting bagi terjadinya perubahan sistem
masalah yang di hadapi dalam bercocok tanam dan sekaligus sebagai tempat
untuk memperoleh ilmu pengetahuan mengenai cara bercocok tanam yang efektif
wilayah yang ada di Kecamatan Watubangga juga menjadi faktor petani etnis
sistem pertanian modern, karena mereka telah melihat perubahan yang signifikan
terhadap hasil produksi yang diperoleh para petani transmigran sejak adanya
tersebut, hasil produksi petani transmigran belum begitu memuaskan karena areal
persawahan mereka hanya diairi oleh irigasi desa yang belum maksimal mengairi
areal-areal persawahan petani. Oleh sebab itu, para petani etnis Moronene enggan
untuk beralih menggunakan sistem pertanian modern karena hasil produksi para
jaringan irigasi secara ekologi jauh lebih baik, karena para petani telah bercocok
hutan untuk bercocok tanam dapat dihindari, selain itu habitat hewan-hewan
85
endemik yang ada di Kecamatan Watubangga tersebut lambat laun akan pulih,
pertanian modern terhadap kehidupan sosial budaya dan ekonomi etnis Moronene
menerapkan sistem pertanian modern bila dibandingkan pada saat mereka masih
misalnya sistem gotong royong dalam proses bercocok tanam (mekorompo) telah
digantikan dengan sistem menyewa tenaga kerja atau buruh upah, kemudian
hilangnya sistem bagi hasil, selanjutnya alat-alat yang digunakan pada masa
dianggap takhyul atau menyekutukan Allah SWT dan sangat bertentangan dengan
nilai-nilai agama Islam. Selain itu, modernisasi dalam berbagai aspek kehidupan
banyak sekali hal-hal yang berubah dalam pola bercocok tanam kami, misalnya
kerja atau buruh upah, hilangnya sistem bagi hasil, alat-alat yang digunakan pada
dianggap takhyul atau menyekutukan Allah SWT dan sangat bertentangan dengan
secara intensip, karena kini petani etnis Moronene telah tinggal menetap bersama
tempat bercocok tanam mereka, hingga akhirnya terjadilah interaksi sosial yang
intensip, di mana dalam interaksi tersebut petani etnis Moronene yang ada di
tanam yang efektif dan efisien kepada para petani transmigran dan petugas
Dalam rangka meningkatkan hasil produksi petani padi sawah yang ada di
beberapa jaringan irigasi guna menunjang proses bercocok tanam dan produksi
menggunakan tenaga mekanik untuk dijadikan areal persawahan, saat ini luas
petani etnis Moronene dan petani transmigran asal pulau Jawa dan Bali.
Selain itu, indeks penanaman (IP) juga mengalami peningkatan menjadi 2 sampai
(petani etnis Moronene) dan petani pendatang (transmigran asal pulau Jawa dan
Akibat adanya peningkatan luas areal persawahan dan hasil produksi padi,
mengalami peningkatan, sebagai buktinya yaitu hasil panen mereka selain cukup
untuk dikonsumsi sendiri, juga dapat dijual untuk mencukupi kebutuhan hidup
mereka sehari-hari. Misalnya dapat membeli peralatan atau perabot rumah tangga,
kendaraan sebagai alat transportasi keluarga, pesawat televisi dan juga dapat
digunakan untuk membangun rumah yang layak huni, bahkan dapat digunakan
mereka meningkat yang awalnya setiap keluarga hanya memiliki sawah dengan
luas rata-rata 50 are, namun kini meningkat menjadi rata-rata 1 sampai 2 hektar
perkeluarga. Dengan meningkatnya luas sawah yang dimiliki petani, maka hasil
produksi gabahpun mengalami peningkatan, setiap kali panen dalam 2 kali musim
(GKP) untuk sawah yang luasnya 50 are dan untuk 2 hektar sawah mampu
menghasilkan 100 sampai 120 karung gabah kering panen (GKP) setiap kali
panen dalam 2 kali musim tanam pertahun, dalam satu karung itu beratnya rata-
rata mencapai 125 Kg gabah kering panen (GKP). Dengan hasil yang cukup
banyak tersebut, maka lambat laun kesejahteraan petani etnis Moronene yang ada
relatif sempit, di mana areal pertanian tersebut dalam satu kali musim panen
hanya mampu menghasilkan rata-rata 450 sampai 480 liter beras, maka dengan
jumlah hasil panen seperti itu tidaklah mampu untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup petani, karena hasil panen mereka hanya cukup dikonsumsi untuk
kebutuhan hidup keluarganya sendiri dalam setahun. Untuk lebih jelasnya, lihat
5,220 - Gabah
1,945 - 6,895 Ton Kering
5,3 - 7
512 Ha 985 Ha 3,8 - 4 Ton 2,048 Ton (satu kali Panen
Ton
(pertahun) musim (GKP)
tanam)
Watubangga pada umumnya sejak tahun 1985 hingga tahun 2012. Dengan
hasil produksi gabah yang diperoleh petani etnis Moronene. Sehingga secara
keluarganya sendiri, juga dapat dijual guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-
dapat bekerja menjadi buruh tani untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya
menurunnya laju urbanisasi, di mana penduduk tidak lagi harus ke kota untuk
peluang bagi masyarakat yang mau berusaha, misalnya membuka toko yang
peralatan penunjang pertanian seperti hand sprayer (alat penyemprot), sabit, sabit
bergerigi, obat-obatan pembasmi hama dan gulma, pupuk anorganik dan lain
sebagainya.
91
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
pertanian modern yaitu saat masih menerapkan sistem pertanian tradisional, petani
mereka lakukan dan upacara-upacara adat masih mewarnai dalam setiap proses
dalam proses perawatan tanaman dan indeks penanaman (IP) hanya satu kali
karena bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mereka anut. Selain itu,
tanaman dan indeks penanaman (IP) telah meningkat menjadi dua sampai tiga kali
pertahun.
menjadi sistem pertanian modern secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua,
penduduk asal pulau Jawa dan Bali di Kecamatan Watubangga pada tahun 1985,
dan (b) penempatan penyuluh pertanian lapangan (PPL). (2) kemajuan teknologi.
Kolaka 1991-2012, yaitu: (1) dampak terhadap lingkungan, yaitu: (a) pelestarian
kehidupan sosial budaya dan ekonomi, yaitu: (a) pergeseran nilai-nilai sosial
kesejahteraan petani dan (c) terbukanya lapangan pekerjaan dan peluang berusaha.
B. Saran
2. Agar para petani dapat termotivasi untuk semakin giat bercocok tanam, maka
atau beras yang seringkali dipermainkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin
mengalami kerugian.
93
Terkait dengan pendidikan di sekolah, baik itu dari tingkat sekolah dasar
sikap, watak dan kepribadian peserta didik. Pada dasarnya pengetahuan yang
sekolah bertujuan untuk membimbing peserta didik agar mampu memahami dan
mengerti masa kini berdasarkan perspektif sejarah, yang akan memberikan nilai
karena tidak hanya mengetahui fakta sejarah, melainkan juga mengetahui interaksi
memahami sejarah.
sekolah menengah atas (SMA) kelas XII semester I pada standar kompetensi
Salah satu kompetensi dasar dalam mata pelajaran di SMA kelas XII
dasar yaitu “menganalisis perkembangan politik, sosial budaya dan ekonomi serta
pelajaran ini diperlukan waktu selama 2×45 menit untuk SMA. Adapun metode
yang dapat digunakan oleh guru untuk mengajarkan materi ini, yaitu metode
merupakan sebuah karya tulis ilmiah yang diharapkan dapat dijadikan sebagai