Anda di halaman 1dari 43

SKRIPSI

ANALISA DETERMINANT PERILAKU AMAN BEKERJA


PADA PERAWAT DI RS BHAYANGKARA TK. I
RADEN SAID SUKANTO
TAHUN 2017

Disusun Oleh:
RUDIANTO. M
02150200029

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT JENJANG S-1


PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
JAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kecelakaan kerja 88% disebabkan akibat perilaku yang tidak aman

(Unsafe Act), seperti tidak memakai APD, dan tidak mengikuti prosedur kerja,

tidak mengikuti aturan keselamatan kerja dan bekerja tidak hati-hati (Heinrich,

1980). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perilaku

manusia merupakan unsur yang memegang peranan penting dalam

mengakibatkan suatu kecelakaan, sehingga cara yang efektif untuk mencegah

terjadinya kecelakaan adalah dengan menghindari terjadinya prilaku tidak

aman (Biro Pelatihan Tenaga Kerja dalam Budiono, 2003).

Hasil Laporan National Safety Council (NSC) tahun 1998

menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan kerja di Rumah Sakit 41% lebih

besar dari pekerja diindustri lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk

jarum, terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, dan penyakit

infeksi dan lain-lain (KEPMENKES RI Nomor. 432/MENKES/SK/IV/2007).

Di Indonesia, penelitian dari joseph tahun 2004-2007 mencatat bahwa angka

kecelakaan Needle Stick Injury atau tertusuk jarum mencapai 38-73% dari

total petugas kesehatan dan salah satu penyebabanya ditemukan bahwa saat

bekerja mereka tidak memakai alat pelindung diri seperti sarung tangan

(Idayanti, 2008).

1
2

Selain itu juga didapatkan dari hasil penelitian disarana kesehatan

Rumah Sakit, sekitar 1.505 tenaga kerja wanita di Rumah Sakit paris

mengalami gangguan musculoskeletal dimana 47% dari gangguan tersebut

berupa nyeri didaerah tulang punggung dan pinggang. Laporan ini yakni di

Israel, angka prevalensi cedera punggung pada perawat (16,8%) dibandingkan

pekerja sector industry lain. Di Australia, diantara 813 perawat, 87% pernah

low back pain dan di AS, insiden cedera musculoskeletal 4,62/100 perawat

pertahun (KEPMENKES RI Nomor. 432/MENKES/IV/2007). Gangguan

musculoskeletal pada perawat ini behubungan dengan cara atau posisi kerja

yang tidak aman saat menangani pasien. Contohnya seperti cara mengangkat

yang salah (Carayon, 2008).

Geller (2001) dalam Halimah (2010) menggambarkan pentingnya

pendekatan perilaku yang didasari keselamatan (behavior based safety) dalam

upaya meningkatkan keselamatan kerja baik yang bersikap reaktif atau

proaktif. Dalam perspektif reaktif upaya keselamatan ditelusuri dari perilaku

yang berisiko atau tidak aman (at risk behavior) yang berakibat pada kerugian.

Hal ini dapat diartikan bahwa upaya reaktif menunggu terjadinya tidak aman

dulu. Sedangkan dalam perspektif proaktif upaya keselamatan kerja ditelusuri

dari perilaku aman (safe behavior) yang menghasilkan suatu kesuksesan

pencegahan kecelakaan kerja.

Geller (2001) juga menyebutkan agar pencapaian behavior based

safety berhasil adalah lebih baik dengan menggunakan pendekatan yang

berupaya mendorong terjadinya peningkatan perilaku aman. Upaya ini


3

berujung pada usaha pencegahan terjadinya kecelakaan di tempat kerjaatau hal

ini dapat dikatakan juga berupa pendekatan yang bersifat proaktif dalam

manajemen keselamatan (Halimah, 2010).

Dalam proses pembentukan dan perubahan perilaku manusia terdapat

factor-faktor yang berpengaruh, diantaranya factor dari dalam (internal)

seperti susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, proses belajar dan sebagainya.

Sedangkan factor yang berasal dari luar (eksternal) seperti lingkungan

fisik/non fisik, iklim, manusia social dan ekonomi, kebudayaan, dan

sebagainya (Notoatmojo, 2003).

Beberapa penelitian menyebutkan beberapa factor terkait dengan K3

(perilaku aman), diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Hasriani

pada tahun 2009 yang dilakukan pada perawat Rumah Sakit Paru di Salatiga

menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan dan sikap

dengan perilaku K3. Selanjutnya hasil penelitian Imania (2012) menunjukkan

bahwa perilaku K3 pada perawat Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum

Haji Surabaya yang tergolong kategori baik sebanyak 13 orang (56,5%) dan

kategori cukup sebanyak 10 orang (43,5%), dan hasil analisis menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan perilaku K3.

Selain itu juga penelitian yang behubungan dengan perilaku aman,

antara lain penelitian yang dilakukan Sialagan (2008) Pada pekerja PT EGS

Indonesia, diperoleh 94% responden termasuk dalam kategori baik berprilaku

aman. Selain itu, didapatkan hubungan Yng bermakna antara factor

pengetahuan, motifasi, persepsi, peran rekan kerja, dan penyelia terhadap


4

perilaku aman. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Karyani (2005)

menyebutkan bahwa dari 113 pekerja di Sclumberger Indonesia diperoleh

bahwa supervisor (pengawas) merupakan factor yang paling berpengaruh

dalam perilaku aman. Dan factor yang paling berhubungan dengan tidak aman

yaitu peran rekan kerja yang rendah (40,71%), persepsi yang rendah (36,63%),

dan motivasi yang rendah (40,71%).

Dari beberapa komponen pelayanan kesehatan di Rumah Sakit,

perawat adalah salah satu tenaga pelayanan kesehatan yang berinteraksi

dengan pasien yang intensitasnya paling tinggi dibandingkan dengan

komponen lainnya. Perawat sebagai anggota inti tenaga kesehatan yang

jumlahnya terbesar di Rumah Sakit (sebesar 40 – 60%) dan dimana pelayanan

keperawatan yang diberikan merupakan bagian integral dari pelayanan

kesehatan memiliki peran kunci dalam mewujudkan keselamatan dan

kesehatan kerja di Rumah Sakit (Depkes, 2003).

Setiap hari perawat tidak pernah jauh dan selalu berinteraksi dengan

pasien. Hal tersebut yang membuat perawat selalu berhadapan langsung

dengan bahaya dan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan kerja

perawat itu sendiri maupun orang-orang yang berada disekitarnya. Karena

keberadaan dan kepentingan perawat yang tidak hanya berada di Rumah Sakit

tetapi juga terhadap lingkungan diluar Rumah Sakit, maka dikhawatirkan jika

seorsng perawat secara tidak langsung dapat menjadi penyebab sumber

penyakit maupun sumber dari efek negatif dari resiko profesi mereka menjadi

perawat (Fatmawati, 2010).


5

Di Rumah Sakit, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi

bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di Rumah Sakit,

yaitu kecelakaan (ledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan

instalasi listrik, dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan

kimia yang berbahaya, gas-gas anasthesi, gangguan psikososil dan ergonomic.

Termasuk juga di Rumah Sakit Bhayangkara TK I R Said Sukanto sehingga

diperlukan masukan untuk meningkatkan kinerjanya.

1.2 Rumusan Masalah

Dari hasil studi pendahuluan di RS Bhayangkara TK I R Said Sukanto

7 dari 10 orang perawat yang diamati saat bekerja menggunakan APD berupa

sarung tangan dan masker. Namun masih terdapat 3 orang perawat yang tidak

menggunakan APD saat tindakan tertentu. Dari hasil tersebut terdapat

perbedaan perilaku pada perawat, sebagian besar dapat dikatan sudah

berprilaku aman dan sebagian kecilnya masih ada yang berprilaku tidak aman

padahal perawat tersebut ada didalam satu institusi yang sama yaitu di RS

Bhayangkara TK I R Said Sukanto, sehingga perlu diketahui penyebab

perawat berprilaku aman saat bekerja.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Bagaimanakah perilaku aman dalam bekerja dan faktor penyebabnya

pada perawat di RS Bhayangkara TK I R Said Sukanto.


6

1.4 Tujuan penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahui gambaran mengenai perilaku aman bekerja dan faktor

penyebab perbedaan perilaku pada perawat, guna mencegah terjadinya

kecelakaan pada penyakit akibat kerja (PAK) di RS Bhayangkara TK I R

Said Sukanto tahun 2017.

1.4.2 Tujuan Umum

a) Diketahuinya gambaran mengenai faktor predesposisi (pengetahuan,

sikap, motivasi, usia dan masa kerja) yang berkaitan dengan perilaku

aman bekerja.

b) Diketahuinya gambaran mengenai faktor pemungkin (ketersediaan APD

dan program K3RS) yang berkaitan dengan perilaku aman bekerja.

c) Diketahuinya gambaran mengenai faktor penguat SOP, dan pengawasan

yang berkaitan dengan perilaku aman bekerja.

1.5 Manfaat penelitian

1.5.1 Bagi Rumah Sakit

a) Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi bagi Rumah

Sakit mengenai perilaku aman bekerja terhadap keselamatan dan

kesehatan kerja (K3) pada perawat di RS Bhayangkara TK I R Said

Sukanto guna mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja

(PAK).
7

b) Sebagai masukan pada Rumah Sakit untuk dapat meningkatkan performa

dan produktivitas kerja perawat melalui K3RS.

1.5.2 Bagi Perawat

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan serta

pemahaman terhadap K3, sehingga pekerja dapat mencegah terjadinya

kecelakaan dan PAK agar produktivitas para perawat tidak menurun.

1.5.3 BAgi Peneliti

a) Untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti mengenai perilaku

aman pada pekerja khususnya perawat di RS Bhayangkara TK I R Said

Sukanto.

b) Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku aman dan faktor

yang mempengaruhi pada perawat di RS Bhayangkara TK I R Said Sukanto.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Informan utama penelitian

adalah perawat di RS Bhayangkara TK I R Said Sukanto. Data penelitian ini

diperoleh dengan cara pengambilan data primer yang dilakukan dengan

metode wawancara, observasi dan telaah dokumen kepada informan

penelitian. Dan pengumpulan data yang berhubungan dengan ketenagakerjaan

dan gambaran umum RS Bhayangkara TK I R Said Sukanto.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku

2.1.1 Pengertian Perilaku

Menurut Notoatmojo (2003) perilaku adalah suatu kegiatan atau

aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu,

dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-

tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena

mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud

dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas

dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas

antara lain : berjalan berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah,

menulis, membaca dan sebagainya.

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku

(manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat

diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar

(Notoatmojo, 2003).

Menurut Geller (2001) dalam Halimah (2010), perilaku sebagai

tingkah atau tindakan yang dapat diobservasi oleh orang lain. Tetapi apa

yang dilakukan atau dikatakan seseorang tidaklah selalu sama dengan

apa yang individu tersebut piker, rasakan, dan yakini. Dan Skiner (1938)

8
9

dalam Notoatmojo (2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan

respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).

Perilaku ini disebut teori “S –O –R” atau “ Stimulus – Organisme –

Respon” dikarenakan terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap

organisme tersebut merespon.

2.1.2 Bentuk Perilaku

Jika dilihat daari bentuk respon terhadap stimulus yang dikemukakan

oleh Skiner (1938) dalam Notoatmojo (2003), maka perilaku dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Perilaku tertutup/terselubung (cover behavior)

Respon seseorang terhadap stimulasi masih dalam bentuk

terselubung atau tertutup. Respon dan reaksi terhadap stimulasi ini

masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran

dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut

dan belum dapat diamati dengan jelas oleh orang lain.

b. Perilaku terbuka/nyata tampak (over behavior)

Respon terhadap stimulus telah diaplikasikan dalam tindakan nyata

atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam

bentuk tindakan atau praktek yang dapat mudah diamati dan dilihat

oleh orang lain (Notoatmojo, 2003).


10

2.1.3 Perilaku aman

Perilaku aman menurut Heinrich (1980) dalam Budiono (2003)

adalah tindakan atau perbuatan dari seseorang atau beberapa orang

karyawan yang memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan

terhadap karyawan. Sedangkan menurut Bird dan Germain (1990)

perilaku aman adalah yang tidak dapat menyebabkan terjadinya

kecelakaan atau insiden.

Adapun landasan perilaku aman yang digunakan dalam penelitian

ini adalah me ngacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 pasal 12

mengenai kewajiban dan hak tenaga kerja. Dimana pada butir b

disebutkan bahwa adanya penggunaan alat-alat pelinding diri yang

diwajibkan dan pada butir c disebutkan agar memenuhi dan mentaati

semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.

Dibawah ini adalah jenis-jenis perilaku aman, yaitu :

1. Menurut Frank E Bird dan Germain (1990) dalam teori Loss Causation

model menyatakan bahwa jenis-jenis perilaku aman meliputi;

a. Melakukan pekerjaan sesuai wewenang yang diberikan.

b. Berhasil memberikan peringatan terhadap adanya bahaya.

c. Berhasil mengamankan area kerja dan orang-orang disekitarnya.

d. Bekerja sesuai dengan kecepatan yang telah ditentukan.

e. Menjaga alat pengaman agar tetap berfungsi.

f. Tidak menghilangkan alat pengaman keselamatan.


11

g. Menggunakan peralatan yang seharusnya.

h. Menggunakan peralatan yang sesuai.

i. Menggunakan APD dengan benar.

j. Pengisian alat atau mesin yang sesuai dengan aturan yang berlaku.

k. Penempatan material atau alat-alat sesuai dengan tempatnya dan cara

mengangkat yang benar`

l. Memperbaiki peralatan dalam kondisi alat yang telah dimatikan.

m. Tidak bersenda gurau atau bercanda ketika bekerja.

2. Menurut Heinrich (1980), perilaku aman terdiri dari :

a. Mengoperasikan peralatan dengan kecepatan yang sesuai.

b. Mengoperasikan peralatan yang memang haknya.

c. Menggunakan peralatan yang sesuai.

d. Menggunakan peralatan yang benar.

e. Menjaga peralatan keselamatan tetap berfungsi.

f. Berhasil memperingatkan karyawan lain yang bekerja tidak aman.

g. Menggunakan PPE dengan benar.

h. Mengangkat dengan beban yang seharusnya dan menempatkannya

ditempat yang seharusnya.

i. Mengambil benda dengan posisi yang benar.

j. Cara mengangkat material atau alat dengan benar.

k. Disiplin dalam bekerja.

l. Memperbaiki peralatan dalam keaadaan mati.


12

Konsep dasar mengenai keselamatan dan kesehatan kerja yaitu dua

hal terbesar yang menjadi penyebab kecelakaan kerja yang terdiri dari

perilaku yang tidak aman dan kondisi lingkungan yang tidak aman.

Berdasarkan data dari Biro Pelatihan Tenaga Kerja, penyebab

kecelakaan yang pernah terjadi sampai saat ini adalah diakibatkan oleh

perilakuyang tidak aman sebagai berikut :

a. Semberono dan tidak hati-hati

b. Tidak mematuhi peraturan

c. Tidak mengikuti standar prosedur kerja

d. Tidak memakai alat pelindung diri

e. Kondisi badan yang lemah

Persentase penyebab kecelakaan kerja yaitu 3% dikarenakan sebab

yang tidak bisa dihindarkan (seperti bencana alam), selain itu 24%

dikarenakan lingkungan atau peralatan yang tidak memenuhi syarat dan

73% dikarenakan perilaku yang tidak aman. Cara efektif untuk

mencegah terjadinya kecelakaan kerja adalah dengan menghindari

terjadinya lima perilaku tidak aman yang telah disebutkan diatas

(Budiono, 2003).

2.1.4 Budaya keselamatan

Budaya keselamatan (safety culture) yang dipaparkan oleh Hale

(2002) dalam Neal dan Griffin (2002) adalah sesuatu yang berkenaan

dengan sikap, keyakinan dan persepsi yang didapat dari kelompoknya


13

sebagai penentu norma atau nilai yang menentukan bagaimana mereka

bereaksi sehubungan dengan resiko dan system control risiko.

Geller (2010) dalam Halimah (2010) memaparkan sebuah misi

dalam mengembangkan total budaya keselamatan (Total Safety Culture)

yang berperan sebagai suatu petunjuk atau standar yang diperkenalkan

dalam bukunya yang berjudul The Psycology Of Hanbook. Pernyataan

misi budaya keselamatan ini mencakup :

a. Mempromosikan suatu lingkungan pekerjaan yang didasarkan pada

keterlibatan karyawan, kepemilikan, kerjasama kelompok,

pendidikan, pelatihan dan kepemimpinan.

b. Membangun perhargaan pada diri sendiri, pemberdayaan masyarakat

(empowerment), kebanggaan, gairah, optimis dan dorongan inivasi.

c. Penguatan kebutuhan akan karyawan yang secara aktif

memperhatikan teman sekerja mereka.

d. Mempromosikan filosofi keselamatan yang me

e. rupakan bukanlah suatu prioritas yang dapat disampaikan lagi, tetapi

suatu nilai yang dihubungkan dengan setiap prioritas.

f. Mengenali kelompok dengan prestasi individu.

Geller (2001) mengungkapkan “misi total budaya keselamatan ini

lebih mudah dikatakan daripada prakteknya, tetapi terjangkau melalui

suatu sumber variasi proses keselamatan yang diawali dari disiplin

psikologi dan engineering”. Pada umumnya, suatu total budaya


14

keselamatan memerlukan perhatian yang berkesinambungan padaa

ketiga faktor, yaitu :

1. Faktor lingkungan (termasuk peralatan, equipment, layout fisik,

standar, prosedur dan temperature).

2. Faktor orang (pengetahuan, keterampilan, kemampuan,

intelegensi, motif, termasuk sikap masyarakat, kepercayaan dan

kepribadian).

3. Faktor perilaku (persetujuan, pelatihan, pengenalan, komunikasi,

pertunjukan, kepedulian yang aktif termasuk praktek kerja aman

dan beresiko (tidak aman), seperti halnya melampaui panggilan

tugas untuk campur tangan atas keselamatan orang lain.

Ketiga faktor tersebut biasanya dinamakan “tiga serangkai

keselamatan (The Safety Triad)”. Menurut Geller (2001) ketiga

faktor tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya dalam

proses pencapaian keselamatan di perusahaan dan jika terjadi

perubahan pada salah satu faktor tersebut maka kedua faktor lainnya

pun ikut berubah. Geller (2001) juga menyebutkan bahwa faktor

perilaku dan faktor orang merupakan aspek manusia dan biasanya

kedua faktor tersebut sedikit diperhatikan dari pada faktor

lingkungan yang digambarkan pada gambar dibawah ini

(Halimah,2010) :
15

Kemudian Geller (2001) mengintegrasikan kedua pendekatan

tersebut dan berdasarkan hasil integrasi diperoleh dua faktor internal

dan eksternal. Geller (2001) memaparkan bahwa keberhasilan proses

keselamatan kerja terdiri dari dua faktor internal (meliputi sikap,

kepercayaan, perasaan, pemikiran, kepribadian, persepsi dan nilai-

nilai, tujuan) dan faktor eksternal (meliputi pelatihan, pengenalan,

persetujuan, komunikasi, dan menunjukkan kepedulian secara aktif)

(Halimah, 2010). Hal tersebut digambarkan sebagai berikut ini :


16

Selain itu, Geller (2001) menggambarkan pentingnya

pendekatan keselamatan yang didasari perilaku (behavior based

safety) dalam upaya meningkatkan keselamatan kerja baik yang

bersifat reaktif maupun proaktif. Dalam perspektif reaktif upaya

keselamatan ditelusuri dari perilaku yang beresiko atau tidak aman

(at risk behavior) yang berakibat pada kerugian.

Hal ini dapat diartikan upaya reaktif menungu terjadi tidak

aman dulu. Sedangkan dalam perspektif proaktif upaya keselamatan

kerja ditelusuri dari perilaku yang menghasilkan suatu keberhasilan

pencegahan keselamatan kerja. Sedangkan, pencapaian keselamatan

kerja melalui perpektif reaktif sulit dicapai hasil maksimal karena


17

sifatnya yang berusaha mencari kesalahan atau kegagalan yang

dilakukan. Adanya ketakutan dan citra yang jelek untuk diketahuinya

oleh pihak lain membuat cara ini sulit untuk mendapatkan gambaran

mendalam atas suatu kecelakaan (Halimah, 2010).

Selanjutnya Waters dan Duncan (2001) mengemukakan

bahwa pendekatan keselamatan berbasis perilaku dapat

meningkatkan perilaku aman dalam bekerja dan mengurangi insiden

kecelakaan kerja. Peningkatan keselamatan di tempat kerja dalam

pendekatan keselamatan berbasis perilaku dirancang dengan

berkonsentrasi pada bagian perilaku dari piramida keselamatan

(Ratnaningsih, 2010).
18

Pada piramida keselamatan Earnest, dapar dilihat

bahwasanya perilaku merupakan penyebab dari kejadian kecelakaan

kerja. Konsekuensi yang terjadi akibat perilaku yang tidak aman

meliputi hampir celaka, kerusakan alat, luka-luka yang tercatat, luka-

luka yang menyebabkan hilangnya hari kerja, hingga yang terparah

adalah fatal. Praktek implementasi pendekatan keselamatan berbasis

perilaku dapat digunakan pada berbagai karakteristik pekerjaan.

Beberapa bidang tersebut diantaranya konstruksi pertambangan,

petrokimia, rumah sakit dan transportasi (Ratnaningsih, 2010).

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Aman

Menurut teori Lawrence Green dan kawan-kawan (1980) dalam

Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh 2

faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar

perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan

atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :

a. Faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor-faktor predisposisi, menurut Green (1980) adalah faktor-faktor

yang mendahului perilaku untuk menetapkan pemikiran atau motivasi

yang terdiri dari pengetahuan, sikap, motivasi, persepsi, nilai, keyakinan

dan variabel demografi (usia, pendidikan, masa kerja).

1. Pengetahuan
19

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Purwanto (1990) dalam Millah (2008), pengetahuan

merupakan salah satu faktor yang menyebabkan individu berbuat atau

bertindak. Dengan demikian perbuatan atau tingkah laku seseorang

dapat terjadi menurut apa yang diketahui dan diyakini sesuai dengan

pengetahuan yang dimiliki. Setiap orang memiliki pengetahuan yang

berbeda, pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan peranan

penting dalam pekerjaannya. Hal ini berarti pengetahuan akan

melahirkan sikap yang akan mengarahkan seseorang untuk berbuat

sesuatu.

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih langsung dari pada perilaku yang

tidak didasari oleh pengetahuan. Sebaiknya apabila perilaku itu tidak

didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung

(Geller, 1980). Hasil penelitan angkatan

(2008) menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan

keselamatan kerja dengan pelaksanaan pencegahan kerja diperoleh P

sebesar 0,001. Tampak bahwa nilai p= 0,001< 0,05 sehingga Ha

diterima yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan


20

keselamatan kerja dengan pelaksanaan pencegahan kecelakaan kerja

pada karyawan.

Kemudian Sialagan (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa

ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku K3 dengan nilai

13%. Artinya ada perbedaan yang bermakna antara tingkat

pengetahuan seseorang dengan perilaku K3 yang dilakukannya. Dan

Saputra (1997) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan

perilaku K3 dengan p value 4%. Artinya ada perbedaaan yang

bermakna antara pengetahuan seseorang dengan perilaku K3 yang

dilakukannya (Bachri, 2010).

2. Sikap

Menurut Notoatmojo (2003) sikap merupakan reaksi atau respon

yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.

Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat

ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap

merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan

merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu

tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan

suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap

objek dilingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu (Notoatmojo, 2003) :

a. Menerima (receiving)
21

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan(objek).

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari

sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau

mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar

atau salah, adlah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya

dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Sikap

positif belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

behavior). Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain :

a) Sikap akan terwujud dalam suatu tindakan tergantung pada

situasi saat itu.

b) Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang

mengacu kepada pengalaman orang lain.

c) Sikap diikuti atau tidak diikuti suatu tindakan berdasarkan pada

banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.

e. Nilai (value)
22

Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata

diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang

memungkinkan untuk terjadinya suatu tindakan, misalnya adanya

fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor

pendukung dari fihak lain untuk terjadinya tindakan tersebut

(Notoatmojo, 2003).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sialagan (2008) terdapat

hubungan yang bermakna antara sikap karyawan dengan perilaku

aman. Lain halnya dengan penelitian Helianti (2009) dan Karyani

(2005) dan yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara sikap dengan perilaku tidak aman pekerja.

3. Motivasi

Motivasi berasal dari bahasa latin yang berarti to move. Secara

umum mengacu pada adanya kekuatan dorongan yang menggerakkan

kita untuk berperilaku tertentu. Oleh karena dalam mempelajari

motivasi kita akan berhubungan dengan hasrat, keinginan, dorongan

dan tujuan. Didalam konsep motivasi kita juga akan mempelajari sifat,

kekuatan dan ketetapan dari tingkah laku manusia (Quinn, 1995 dalam

Bachri, 2010).

Menurut Etkitson motivasi merupakan suatu disposisi laten yang

berusaha kuat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sebelum

disposisi tersebut belum terpenuhi, maka motivasi selalu muncul ke

permukaan (Saleh dan Nisa, 2006). Sedangkan untuk memotivasi


23

pekerja untuk berprilaku aman dalam bekerja ada 6 prinsip dasar

menurut Frank E. Bird, 1996 yaitu :

1. Prinsip penetapan tujuan dan sasaran

2. Perinsip keterlibatan pekerja yang bersangkutan

3. Prinsip mutual interest dari pekerja

4. Prinsip psychological appeal dari pekerja

5. Prinsip pemberian informasi kepada pekerja

6. Perinsip penguatan perilaku.

Dengan 6 prinsip dasar yang ada dapat dilakukan untuk memotivasi

pekerja untuk dapat dan harus berprilaku aman dalam bekerja

dilingkungan kerja. Sehingga dapat megurangi frekuensi tingkat

kecelakaan yang mungkin terjadi (Bachri, 2010).

Berdasarkan penelitan Sialagan (2008) pada pekerja PT EGS

Indonesia didapatkan hubungan yang bermakna antara motivasi

terhadap perilaku K3. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh

Karyani (2005) juga didapatkan hubungan yang bermakna antara

motivasi dengan perilaku K3 dalam bekerja. Dimana, motivasi pekerja

yang tinggi mempunyai peluang 3 kali untuk berprilaku aman bekerja

dibanding pekerja yang mempunyai motivasi yang rendah.

4. Persepsi

Persepsi dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana

seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah bagaimana

seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Gibson, 1996).


24

Persepsi merupakan proses yang menyatu dalam diri individu terhadap

stimulus yang diterimanya. Menurut Notoatmodjo (2003) persepsi

merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap

rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga

merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan respon yang

menyeluruh dalam diri individu.

Oleh karena itu dalam penginderaan, orang akan mengaitkan

dengan stimulus, sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan

dengan objek. Persepsi pada individu akan menyadari tentang keadaan

sekitarnya dan juga keadaan dirinya. Orang yang mempunyai persepsi

yang baik tentang sesuatu cenderung akan berprilaku sesuai dengan

persepsi yang dimilikinya.

Krech (1962) dalam Notoatmodjo (2003) mengatakan persepsi

dipengaruhi oleh :

a. Frame of reference yaitu kerangka pengetahuan yang

dimiliki dan diperoleh dari pendidikan, bacaan, penelitian,

atau cara lain,

b. Field of expreance yaitu pengalaman yang teah dialami

sendiri dan tidak terlepas dari keadaan lingkungan.

Dari beberapa uraian diatas, persepsi merupakan suatu proses yang

terjadi dalam diri manusia dimana rangsangan yang diterima oleh

indera melalui proses belajar atau pengalaman diorganisasikan dan

diinterpretasikan lebih dahulu sebelum stimulus tersebut dapat


25

dimengerti dan direspon. Dengan kata lain persepsi adalah pendapat,

penilaian, dan keyakinan yang timbul dalam diri seseorang mengenai

objek tertentu.

Berdasarkan penlitian Karyani (2005) dan Sialagan (2008) terdapat

hubungan yang bermakna antara persepsi dengan perilaku tidak aman

pekerja. Hal ini diperkuat oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Karyani (2005) bahwa responden yang memiliki persepsi kurang

baik mempunyai peluang 4.656 kali berprilaku tidak aman dibanding

responden yang persepsinya baik.

5. Nilai-Nilai

Green (1980) berpendapat bahwa nilai-nilai atau norma yang

berlaku akan membentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai atau

norma yang telah melekat pada diri seseorang. Kemudian Notoatmodjo

(2003) menambahkan bahwa didalam suatu masyarakat apapun selalu

berlaku nilai-nilai yang menjadi pegangan setiap orang dalam

menyelenggarakan hidup masyarakat. Misalnya, gotong royong adalah

suatu nilai yang selalu hidup di masyarakat.

6. Keyakinan

Menurut Notoatmodjo (2003) keyakinan atau kepercayaan sering

diperoleh dari orang tua, kakek atau nenek. Seseorang menerima

kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian

terlebih dahulu. Misalnya wanita hamil tidak boleh makan telur agar

tidak kesulitan waktu melahirkan. Seseorang yang mempunyai atau


26

meyakini suatu kepercayaan tertentu akan mempengaruhi perilakunya

dalam menghadapi suatu penyakit yang akan berpengaruh terhadap

kesehatannya (Green 1980 dalam Notoatmodjo 2003).

7. Usia

Siagian (1950) mengatakan bahwa jika seseorang makin bertambah

usianya, maka cenderung cepat puas karena tingkat kedewasaan teknis

maupun kedewasaan psikologis. Artinya semakin bertambah usianya

maka semakin mampu menunjukkan kematangan jiwa yaitu semakin

bijaksana, semakin mampu berfikir rasional, semakin mampu

mengendalikan emosi, semakin toleran terhadap pandangan dan

perilaku yang berbeda dari dirinya sendiri, dan sifat-sifat lain yang

menunjukkan kematangan intelektual dan psikologis (Millah, 2008).

Menurut Hurlock (1994) dalam Helliyanti (2009), semakin tua usia

seseorang akan mengalami penurunan fungsi fisiologis, fungsi batin,

dan fisik sehingga kemampuan untuk menyerap ilmu juga menurun

jika dibandingkan golongan usia muda. Hal ini agak berbeda dengan

Simanjuntak (1985), umur secara alamiah mempunyai pengaruh

terhadap kondisi fisik seseorang, ada saat usia tertentu dimana

seseorang dapat berprestasi secara maksimal tetapi ada saat dimana

terjadinya penurunan prestasi. Tingkat prestasi kerja mulai meningkat

bersamaan dengan meningkatnya umur, untuk kemudian menurun

menjelang usia tua (Halimah, 2010).

8. Pendidikan
27

MU Lawrevelt dalam Notoatmodjo (1993) berpendapat bahwa

pendidikan adalah setiap usaha, pengarah, perlindungan dan bantuan

yang diberikan kepada anak didik yang tertuju pada kedewasaan. Dari

pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan dapat

mempengaruhi cara berfikir dalam menghadapi pekerjaan (Millah,

2008).

9. Masa Kerja

Masa kerja seseorang jika dikaitkan dengan pengalaman kerja

dapat mempengaruhi kecelakaan kerja. Teruatam pengalaman dalam

hal menggunakan berbagai macam alat kerja. Semakin lama masa

kerja seseorang maka pengalaman yang diperoleh akan lebih banyak

dan memungkinkan pekerja dapat bekerja lebih aman (Dirgagunarsa,

1992).

Berdasarkan hasil studi ILO (1989) di Amerika menunjukkan

bahwa kecelakaan kerja terjadi selain faktor manusia, disebabkan juga

karena masih baru dan kurang pengalaman. Sedangkan menurut

Cooper (2001) orang sering berprilaku tidak aman karena orang

tersebut belum pernah cidera saat melaksanakan pekerjaan dengan

tidak aman. Tetapi jika kita melihat Heinrich’s Triangle, sebenarnya

orang tidak jauh dari potensi kecelakaan. Sementara itu, Geller (2001)

menyebutkan faktor pengalaman pada tugas yang sama dan lingkungan

sudah dikenal dapat mempengaruhi orang tersebut berprilaku tidak

aman dan terus berlaku karena menyenangkan, nyaman dan


28

menghemat waktu dan perilaku ini cendrung berulang (Dirgagunarsa,

1992).

Pengalaman untuk kewaspadaan terhadap kecelakaan bertambah

baik sesuai usia, masa kerja diperusahaan dan lamanya bekerja

ditempat kerja yang bersangkutan. Tenaga kerja baru biasanya belum

mengetahui secara mendalam seluk beluk pekerjaan dan

keselamatannya. Selain itu, mereka sering mementingkan dahulu

selesainya sejumlah pekerjaan tertentu yang diberikan kepada mereka,

sehingga keselamatan tidak cukup mendapat perhatian. Oleh karena

itu, masalah keselamatan harus dijelaskan kepada mereka sebelum

melakukan pekerjaan dan bimbingan pada hari-hari permulaan bekerja

adalah sangat penting. Dimana, dalam suatu perusahaan pekerja-

pekerja baru yang kurang berpengalaman sering mendapat kecelakaan

sehingga diperlukan perhatian khusus (Suma’mur, 1996).

Berdasarkan pendapat Suma’mur (1996) diatas dapat disimpulkan

bahwa pengalaman dapat mempengaruhi perilaku bekerja dalam

melakukan pekerjaannya dan pengalaman dapat mengurangi resiko

terjadinya kecelakaan. Dalam hal ini, pekerjaan yang berpengalaman

dapat lebih menekankan keselamatan dan melakukan pekerjaannya

dikarenakan ia telah mengetahui secara mendalam seluk beluk

pekerjaan dan keselamatannya. Sedangkan pekerja yang belum

berpengalaman atau masih baru belum mengenali seluk beluk

pekerjaan dan keselamatan.


29

b. Faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor pemungkin, menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003)

mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas. Sarana dan

fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya

suatu perilaku, sehingga disebut sebagai faktor pendukung atau faktor

pemungkin. Faktor pemungkin diantaranya ketersediaan APD dan

program K3RS.

1) Ketersediaan APD

Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku dapat dibentuk oleh 3

faktor, salah satunya adalah faktor pemungkin (enabling) yaitu

ketersediaan sumber-sumber/fasilitas, kesesuaian/kenyamanan.

Ketersediaan APD dalam hal ini merupakan salah satu bentuk dari

faktor pemungkin perilaku, dimana suatu perilaku otomatis belum

terwujud dalam suatu tindakan jika terdapat fasilitas yang mendukung

terbentuknya perilaku tersebut.

Sahab (1997) mengatakan ketersediaan APD dapat mencegah

perilaku tidak aman dalam bekerja. System yang didalamnya terdapat

manusia (sumber daya manusia), fasilitas merupakan salah satu hal

yang penting dalam mewujudkan penerapan keselamatan di tempat

kerja. Penggunaan APD merupakan alternative yang paling terakhir

dalam hierarki pengendalian bahaya.lebih baik mendahulukan tempat

kerja yang aman dari pada pekerjaan yang safety karena tempat kerja
30

yang memenuhi standar keselamatan lebih menjamin terselenggaranya

perlindungan bagi tenaga kerja.

Perawat bertanggung jawab menjaga keselamatan diri sendiri dank

lien di rumah sakit melalui pencegahan kecelakaan, cidera, trauma dan

melalui penyebaran infeksi. Berbagai cara dalam mengurangi

kemungkinan kecelakaan kerja salah satunya pemakaian alat pelindung

diri yang sangat berpengaruh pada tingkat keselamatan kerja.

APD perawat ketika praktek terdiri dari sarung tangan, alat

pelindung wajah, penutup kepala, kain pelindung atau apron danaalas

kaki atau sepatu (Depkes RI, 2003). Salah satu Alat Pelindung Diri

(APD) yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi

antara perawat dengan pasien selain masker adalah sarung tangan.

Penggunaan APD seperti sarung tangan sangatlah mutlak

dilakukan, disamping penggunaan alat-alat medis yang steril dalam

setiap pemberian tindakan perawatan. Meskipun terkesan sebagai alat

sederhana, namun sarung tangan harus dipakai dalam setiap tindakan

medis invasif. Pemakaian sarung tangan bertujusn untuk melindungi

tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, secret dan

selaput lender. Tahun 1889 sarung tangan diperkenalkan pertama

kalinya sebagai salah satu prosedur perlindungan dalam melakukan

tindakan medis. Selain melindungi petugas kesehatan, sarung tangan

juga mengurangi penyebaran infeksi pada pasien (DepKes, 2003).

2) Program K3RS
31

Program K3RS merupakan salah satu bentuk fasilitas pendukung

yang dapat membentuk perilaku aman dalam bekerja. Untuk

menguatkan perilaku keselamatan dan kesehatan kerja diperlukan

upaya K3RS guna mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit

akibat kerja (PAK) sehingga produktifitas optimal (Chiou ST, dkk,

2013).

K3RS merupakan upaya terpadu seluruh pekerja Rumah Sakit,

pasien, pengunjung/pengantar orang sakit untuk menciptakan

lingkungan kerja, tempat kerja rumah sakit yang sehat, aman dan

nyaman baik bagi pekerja Rumah Sakit, pasien, pengunjung/pengantar

orang sakit maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar Rumah

Sakit. Program K3 dirumah sakit bertujuan untuk melindungi

keselamatan dan kesehatan serta meningkatkan produtifitas kerja,

melindungi keselamatan pasien, pengunjung, dan masyarakat serta

lingkungan sekitar Rumah Sakit. Kinerja setiap petugas kesehatan dan

non kesehatan merupakan resultance dari tiga komponen yaitu

kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja.

c. Faktor penguat (reinforcing factors)

Reinforcing factors atau faktor penguat adalah faktor yang menentukan

apakah tindakan kesehatan mendapatkan dukungan atau tidak dengan

memberikan reward, intensif, dan punishment seperti undang-undang,

kebijakan, SOP dan pengawasan (Notoatmodjo, 2003).


32

1) Standar Operasional Prosedur (SOP)

Menurut Lina (2004) dalam Desi (2013) SOP merupakan

serangkaian prosedur kerja yang ada diperusahaan yang digunakan

untuk mengendalikan jenis pekerjaan yang berpotensi terjadinya

kecelakaan. Dalam suatu perusahaan, peraturan kerja biasanya diawali

dari bentuk pedoman atau petunjuk kerja. Prosedur kerja ini berisi

tentang keselamatan yang berkaitan dengan pengolahan material,

proses menjalankan mesin atau pekerjaan lainnya. Prosedur kerja ini

tidak dapat menggantikan alat-alat perlindungan, tetapi berguna

sebagai penunjang penggunaan alat-alat pengaman.

Sedangkan menurut DepKes RI (2004), Standar Operasional

Prosedur adalah suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah

kegiatan yang dibakukan untuk memenuhi kebutuhan tertentu klien.

Merupakan tata cara atau tahapan yang harus dilalui dalam proses

kerja tertentu, yang dapat diterima oleh seseorang yang berwenang

atau yang bertanggung jawab untuk mempertahankan tingkat

penampilan atau kondisi tertentu sehingga suatu kegiatan dapat

diselesaikan secara efektif dan efisien.

Pedoman atau prosedur kerja ini tidak ada manfaatnya jika tidak

diamati, apabila setiap prosedur kerja telah dapat dijalani dengan baik

maka prosedur kerja tersebut dapat ditetapkan menjadi suatu ketentuan

atau peraturan dengan disertai pengadaan sesuatu yang perlu.


33

2) Pengawasan

Pengawasan adalah kegiatanmanajer yang mengusahakan agar

pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau

hasil yang dikehendaki. Agar pengawasan berhasil maka manajer harus

melakukan kegiatan-kegiatan pemeriksaan, pengecekan, pencocokan,

inspeksi, pengendalian dan berbagai tindakan yang sejenis dengan itu,

bahkan bila mana perlu mengatur dan mencegah sebelumnya terhadap

kemungkinan adanya yang mungkin terjadi (Sarwono, 1991).

Syarat-syarat pengawasan agar pengawasan dapat berjalan efisien

perlu adanya system yang baik dari pada pengawasn tersebut. System

yang baik ini menurut William H. Newman seperti yang dikutip dari

buku Sarwono (1991), memerlukan beberapa syarat sebagai berikut :

a) Harus memperhatikan ataudisesuaikan dengan sifat dan kebutuhan

organisasi.

b) Harus mampu menjamin adanya tindakan perbaikan (checking,

reporting, corrective action).

c) Harus luwes.

d) Harus memperhatikan faktor-faktor dan tata organisasi dimana

pengawasan akan dilaksanakan.

e) Harus ekonomis dalam hubungan dengan biaya.

f) Harus memperhatikan pula prasyarat sebelum pengawasan itu

dimulai yaitu :

1) Harus ada rencana yang jelas


34

2) Pola/tata organisasi yang jelas (jelas tugas-tugas dan

kewenangan-kewenangan yang terdapat dalam organisasi yang

bersangkutan).

Disamping syarat-syarat diatas dapat pula dikemukakan hal-hak

sebagai ciri (sifat) pengawasan yang baik :

1) Pengawasan harus bersifat “fact finding”, artinya pengawasan

harus menemukan fakta-fakta tentang bagaimana tugas-tugas

dijalankan dalam organisasi.

2) Pengawasan harus bersifat preventif, artinya harus dapat mencegah

timbulnya penyimpangan-penimpangan dan penyelewengan-

penyelewengan dari rencana semula.

3) Pengawasan diarahkan kepada masa sekarang.

4) Pengawasan hanya sekedar alat untuk meningkatkan efisiensi dan

tidak boleh dipandang sebagai tujuan.

5) Karena pengawasan hanya sekedar alat administrasi, pelaksanaan,

pengawasan harus mempermudah tercapainya tujuan.

6) Pengawasan tidak dimaksudkan untuk terutama menemukan siapa

yang salah jika ada ketidak beresan, akan tetapi untuk menemukan

apa yang tidak betul.

7) Pengawasan bersifat harus membimbing agar supaya para

pelaksana meningkatkan kemampuannya untuk melaksanakan

tugas yang telah ditentukan baginya.


35

Teknik pengawasan dapat dilakukan dengan mempergunakan cara-cara

sebagai berikut :

1) Pengawasan langsung

Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan oleh

manajer pada waktu kegiatan-kegiatan sedang berjalan.

Pengawasan ini dapat berbentuk inspeksi langsung, observasi

ditempat (on the spot observation) dan laporan ditempat (on the

spot report) yang berarti juga penyampaian keputusan ditempat bila

diperlukan, karena makin kompleksnya tugas seorang manajer,

pengawasan langsung tidak selalu dapat dijalankan dan sebagai

gantinya sering dilakukan dengan pengawasan tidak langsung.

2) Pengawasan tidak langsung

Pengawasan tidak langsung adalah pengawasan dari jarak jauh

melalui laporan yang disampaikan oleh para bawahan. Laporan ini

dapat berbentuk tertulis dan lisan. Kelemahan pengawasn bentuk

ini adalah bahwa dalam laporan-laporan tersebut tidak jarang

hanya dibuat laporan-laporan yang baik saja yang diduga akan

menyenangkan atasan. Manajer yang baik akan meminta laporan

tentang hal-hal yang baik maupun yang tidak baik. Sebab kalau

laporan tersebut berlainan dengan kenyataan selain akan

menyebabkan kesan yang berlainan juga menyebabkan

pengambilan keputusan yang salah.


36

2.3 Profesi Perawat

2.3.1 Pengertian Perawat

Menurut Undang-Undang Kesehatan No 23 tahun 1992,

menyebutkan bahwa perawat adalah orang yang memiliki kemampuan

dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdaarkan ilmu yang

dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan.

2.3.2 Peran, Fungsi, dan Tugas Perawat

Peran utama perawat professional adalah memberikan asuhan

keperawatan kepada manusia (sebagai objek utama kajian filsafat ilmu

keperawatan : ontologism) yang meliputi (Nursalam, 2007) :

a) Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan dan

kebutuhan klien.

b) Perawat menggunakan proses keperawatan untuk mengidentifikasi

masalah keperawatan, mulai dari pemeriksaan fisik, psikis dan

spiritual.

c) Memberikan asuhan keperawatan kepada klien (klien, keluarga, dan

masyarakat) mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks.

Selain itu menurut konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 dalam

Nursalam (2007) juga disebutkan bahwa perawat mempunyai peran

penting terhadap klien, berikut beberapa peran perawat yaitu :


37

1) Sebagai pemberi asuhan keperawatan. Peran ini dapat dilakukan

perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar

manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan

keperawatan. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari

yang sederhana sampai dengan yang kompleks.

2) Sebagai advokat klien. Peran ini dilakukan dalam membantu

klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi

dari pemberi pelayanan khususnya dalam pengambilan

persetujuan atas tindakan keperawatan. Peraat juga berperan

dalam mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien meliputi:

a) Hak atas pelayanan sebaik-baiknya.

b) Hak atas informasi tentang penyakitnya.

c) Hak atas privasi.

d) Hak untuk menentukan nasibnya sendiri.

e) Hak menerima ganti rugi akibat kelalaian.

3) Sebagai educator.peran ini dilakukan dengan membantu klien

dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala

penyakit bahkan tindakan yang diberikan sehingga terjadi

perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan

kesehatan.

4) Sebagai koordinator. Peran ini dilaksanakan dengan

mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan


38

kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberi pelayanan

kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.

5) Sebagai kolaborator. Peran ini dilakukan karena perawat bekerja

melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli

gizi dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan

keperawatan yang diperlukan.

6) Sebagai konsultan. Perawat berperan sebagai tempat konsultasi

dengan mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang

sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian

pelayanan keperawatan.

7) Sebagai pembaharu. Perawat mengadakan perencanaan,

kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan

metode pemberian pelayana keperawatan.

Dalam Nursalam (2007) juga dijelaskan bahwa menurut Kozier

(1991) terdapat tiga fungsi perawat dalam melaksanakan perannya,

yaitu:

a. Fungsi Independen. Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung

pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya

dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan

tindakan.

b. Fungsi Dependen. Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan

kegiatan atas pesan atau instruksi dari perawat lain sebagai tindakan

pelimpahan tugas yang diberikan. Biasanya dilakukan perawat


39

spesialis kepada perawat umum atau dari perawat primer ke perawat

pelaksana.

c. Fungsi Interdependen. Fungsi ini dilakuakan dalam kelompok tim

yang bersifat saling ketergantungan diantara tim satu dengan yang

lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan

membutuhkan kerja sama tim dalam pemberian pelayanan. Keadaan

ini tidak dapat diatasi denhan tim perawat saja melainkan juga dati

tim dokter ataupun yang lainnya.

Berikut ini adalah merupakan uraian tugas perawat secara umum, yaitu :

1. melaksanakan asuhan keperawatan sesuai standard.

2. Mengadakan serah terima (operan) dinas dengan tim/grup lain (grup

petugas pengganti) shift selanjutnya mengenai :

a) Kondisi pasien

b) Logistic keperawatan

c) Administrasi rumah sakit

d) Pelayanan penunjang

e) Kolaborasi program pengobatan.

3. Membaca buku laporan shift sebelumnya

4. Melanjutkan tugas-tugas yang belum dapat diselesaikan oleh shift

sebelumnya.

5. Merundingkan pembagian tugas dengan anggota grupnya

6. Menyiapkanperlengkapan untuk pelayanan dan visit dokter


40

7. Mendampingi dokter visit, mencatat dan melaksanakan program

pengobatan dokter

8. Memberikan terapi baik oral maupun injeksi kepada pasien.

9. Membantu melaksanakan rujukan seperti mengantar pasien untuk

kegiatan pemeriksaan rontgen/lab

10. Mempersiapkan ruang operasi

11. Memandikan pasien atau mengganti balutan

12. Memberikan makanan pada pasien

13. Melaksanakan orientasi terhadap pasien/keluarga baru, mengenai :

a) Tata tertib ruangan

b) Perawat yang bertugas

14. Menyiapkan pasien pulang dan memberi penyuluhan kesehatan

15. Memelihara kebersihan ruang rawat dengan :

a) Mengatur tugas cleaning service

b) Mengatur tata tertib ruangan yang ditujukan kepada semua

petugas, peserta didik dan pengujung ruangan

16. Membantu kepala ruangan membimbing peserta didik keperawatan

17. Membantu kepala ruangan untuk menilai mutu pelayanan asuhan

keperawatan serta tenaga keperawatan

18. Menulis laporan tim mengenai kondisi pasien dan lingkungan

19. Memberikan penyuluhan kesehatan kepada pasie/keluarga

20. Menjelaskan tata tertib Rumah Sakit, hak dan kewajiban pasien.
41

2.3.3 Potensi Bahaya dan Resiko pada Perawat di Rumah Sakit

Perawat beresiko terhadap bahaya-bahaya potensial di Rumah

Sakit yang disebabkan oleh faktor biologi (virus, bakteri, jamur,

parasite) ;faktor kimia (antiseptic, reagent, gas anastesi); faktor ergonomi

(lingkungan kerja, cara kerja, dan posisi kerja yang salah); faktor fisik

(suhu, cahaya, bising, listrik, getaran dan radiasi) dan faktor psikososial

(kerja bergulir, beban kerja, hubungan sesame pekerja/atasan, stess

kerja) yang dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja.

PAK di Rumah Sakit, umumnya berkaitan dengan faktor biologi

(kuman pathogen yang berasal umumnya dari pasien); faktor kimia

(pemaparan dalam dosis kecil yang terus menerus seperti antiseptic pada

kulit, gas anastesi pada hati); faktor ergonomic (cara duduk salah, cara

mengangkat pasien salah); faktor fisik (panas pada kulit, tegangan tinggi

pada sisitem reproduksi, radiasi pada system produsi sel darah); faktor

psikologis (ketegangan di kamar bedah, penerimaan pasien gawat

darurat, bangsal penyakit jiwa dan lain-lain).


8

Anda mungkin juga menyukai