Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Fieldwork atau kuliah lapangan merupakan kegiatan pembelajaran secara


langsung dilapangan. Fieldwork pada kali ini akan dilaksanakan pada tanggal 11-13
September 2019 tepatnya di Desa Tanjung Kurung, OKU Selatan, Sumatera Selatan
sebagai penunjang mata kuliah Pratikum Petrologi dan Pratikum Geologi Struktur.

I.1 Latar Belakang

Diadakannya Fieldwork di Desa Tanjung Kurung ini dikarenakan Desa


Tanjung Kurung memiliki Formasi yang merupakan batuan dasar (basement rock)
dari Cekungan Sumatera. Tersusun atas batuan beku Mesozoikum, batuan metamorf
Paleozoikum, Mesozoikum, dan batuan karbonat yang termetamorfosa. Batuan dasar
di Sumatra Selatan telah terbukti menjadi reservoir hidrokarbon, seperti pada
lapangan Suban, dan sewajarnya juga ditemui pada daerah lainnya. Sebelum dibahas
lebih lanjut mengenai potensi hidrokarbon dari batuan dasar ini, alangkah baiknya
kita kenali lebih dahulu konfigurasi batuan dasar ataupun batuan pra-Tersier yang
ada di Sumatra Selatan.

Menurut Salim dkk (1995) sejarah geologi tentang batuan pre-Tersier adalah
tidak terlalu dikenali. Deskripsi kejadian pre-Tersier adalah berdasarakan pada
penggalan data dari singkapan di Jajaran Pegunungan Barisan, Gunung Tiga Puluh,
dan Gunung Dua Belas dan di kepulauan di timur Sumatra seperti Pulau Bangka,
Belitung, Singkep dan juga dari data sumur. Bervariasi pada komposisi, bagian pre-
Tersier terusun atas granit, kuarsit, batugamping, serpih, meta-sedimen, filit, sekis,
andesit, dan basalt. Umur sekuen litologi pre-Tersier berkisar antara Paleozoik akhir
sampai Mesozoik Akhir.

Seorang Geologist harus bisa menguasai konsep – konsep cabang ilmu


geologi tersebut salah satunya Petrologi dan Geologi Struktur. Hal ini bertujuan agar
kita memiliki pemahaman yang lebih mengenai cabang ilmu ini serta memudahkan
kita dalam penelitian dilapangan. Untuk mendapatkan pemahaman tersebut, materi di
bangku perkuliahan saja tidaklah cukup. Untuk itulah, diperlukan suatu penelitian
lebih lanjut dilapangan, agar kita dapat memahami secara langsung bagaimana
kondisi serta kenampakan objek – objek geologi dilapangan. Maka dari itu, kami
Teknik Geologi Angkatan 2018 akan mengadakan pengamatan secara langsung
fieldwork yang akan diadakan pada tanggal 11 – 13 September 2019.

Fieldwork atau kuliah lapangan merupakan sarana atau kegiatan pembelajaran


secara langsung di lapangan. Kuliah lapangan berguna untuk meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman tentang materi-materi yang telah dipelajari pada saat
praktikum ataupun perkuliahan sebelumnya, terutama pembelajaran dan
pengaplikasian ilmu geologi secara langsung di lapangan. Dengan diadakannya
Kuliah Lapangan diharapkan agar mahasiswa/I dapat melihat secara langsung
bagaimana bentuk fisik di lingkungan geologi secara langsung seperti batuan, fosil,
maupun singkapan tersebut, mempelajari proses terbentuknya, bagaimana cara
memecahkan suatu masalah yang ada pada saat di lapangan.

Pada kenyataannya apa yang telah dipelajari di perkuliahan dengan fakta di


lapangan seringkali sangat berbeda. Oleh karena itu, mahasiswa/i seringkali
mengalami kesulitan untuk mengamati dan membayangkan fakta yang ada di
lapangan. Sehingga, mahasiswa/i harus lebih sering mengamati kenampakan-
kenampakan geologi di lapangan agar dapat memahami lebih lanjut materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Sebagai mahasiswa/i geologi tidak boleh hanya memahami
teori-teori geologi secara mentah saja. Tetapi, mahasiswa/i geologi harus dapat
membandingkan kebenaran dari hasil teori-teori tersebut karena pada dasarnya
sebuah teori-teori terlahir dari adanya penelitian yang telah ada sebelumnya. Oleh
karena itu, mahasiswa/i geologi dituntut untuk bisa menganalisa dengan baik apa
yang ada di lapangan dengan dasar teori-teori yang telah dipelajari sebelumnya.
I.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah Fieldwork dari pengamatan yang dilakukan di setiap lokasi
pengamatan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi geologi pada Desa Tanjung Kurung?
2. Apa saja litologi yang terdapat di Desa Tanjung Kurung?
3. Apa saja Struktur Geologi yang dapat ditemukan di Desa Tanjung Kurung?
4. Bagaimana keberagaman lapisan batuan pada Desa Tanjung Kurung?
5. Bagaimana proses keterbentukan Desa Tanjung Kurung?
6. Bagaimana sejarah geologi Desa Tanjung Kurung?
7. Bagaimana kenampakan petrografi litologi / batuan yang ada di Desa Tanjung
Kurung?

I.3 Tujuan Kegiatan


Fieldwork merupakan sarana atau metode penelitian dimana para mahasiswa/i
geologi langsung turun ke lapangan guna mengamati dan mempelajari secara
langsung pada objek penelitian di daerah yang terdapat unsur-unsur geologi. Karena
faktanya, apa yang dipelajari seringkali berbeda saat berada di lapangan. Oleh karena
itu, fieldwork sangat berguna bagi praktikan agar dapat mempelajari secara langsung
dan melakukan pendekatan dengan alam sehingga dapat dengan mudah memecahkan
masalah yang terjadi saat berada di lapangan. Adapun tujuan diadakannya fieldwork
petrologi ini yaitu :
1. Memahami keadaan geologi Desa Tanjung Kurung.
2. Menginterpretasikan lithologi apa saja yang terdapat di Desa Tanjung Kurung.
3. Mengetahui struktur geologi apa saja yang terdapat di Desa Tanjung Kurung.
4. Memahami keberagaman dari lapisan batuan di Desa Tanjung Kurung.
5. Menginterpretasikan bagaimana proses terbentuknya Desa Tanjung Kurung.
6. Mengetahui sejarah geologi Desa Tanjung Kurung.
7. Menginterpretasikan kenampakan hasil / sampel yang didapatkan di Desa
Tanjung Kurung
I.4 Ruang Lingkup
Petrologi adalah bidang geologi yang berfokus pada studi mengenai batuan
dan kondisi pembentukannya. Ada tiga cabang petrologi, berkaitan dengan tiga tipe
batuan yaitu batuan beku, batuan metamorf, dan batuan sedimen. Petrologi ini
merupakan salah satu disiplin ilmu yang sangat pokok dan mutlak di miliki oleh
seorang Geologist.

Geologi struktur merupakan bagian dari pembelajaran mengenai distribusi


tiga dimensi tubuh batuan dan permukaannya yang datar ataupun terlipat, beserta
susunan di dalamnya. Geologi ini dibahas juga pada geomorfologi, metamorfisme
dan geologi rekayasa. Dengan mempelajari struktur tiga dimensi batuan dan daerah
dapat di buat kesimpulan mengenai sejarah tektonik, lingkungan geologi pada masa
lampau dan kejadian deformasinya. Hal ini dapat dipadukan pada waktu dengan
menggunakan kontrol stratigrafi maupun geokronologi, untuk menentukan waktu
pembentukan struktur tersebut. Secara lebih formal dinyatakan sebagai
cabang geologi yang berhubungan dengan proses geologi di mana suatu gaya telah
menyebabkan transformasi bentuk, susunan, atau struktur internal batuan kedalam
bentuk, susunan, atau susunan intenal yang lain.

Tanpa adanya titik berat terhadap pengetahuan serta wawasan yang luas
terhadap ilmu Petrologi dan geologi struktur ini, maka seorang Geologist akan sangat
sukar menginterpretasikan data – data Geologi yang ditemukan dilapangan. Terlebih
lagi bila hal tersebut berhubungan dengan batuan, karena batuan adalah salah satu
data yang dapat memperkuat bukti keadaan morfologi suatu daerah pada masa
lampau. Selain pengamatan pada batuannya, pengamatan pada struktur geologi juga
tidak kalah penting. Melalui ilmu ini kita dapat mengetahui kondisi keadaan suatu
daerah dan proses apa yang telah terjadi pada daerah tersebut, sehingga menyebabkan
terjadinya perubahan – perubahan pada daerah tersebut.
I.5 Waktu dan Lokasi Penelitian
Studi pembelajaran mengenai fieldwork di Desa Tanjung Kurung
dilaksanakan pada Hari Jum’at Tanggal 11 September sampai 13 September 2019.
Lokasi pengamatan kali ini berada di Desa Tanjung Kurung, Kecamatan Kikim
Selatan, Kabupaten Lahat, OKU Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Lokasi ini
terletak pada koordinat yang sudah didapatkan ketika survey ke Desa Tanjung
Kurung. Berdasarkan jarak serta estimasi waktu pada google map dapat dilihat bahwa
jarak yang ditempuh menuju lokasi pengamatan melalui transportasi darat, yaitu
keberangkatan ditempuh dari Palembang – Desa Tanjung Kurung sejauh 313 km
dengan waktu tempuh sekitar 7 jam 35 menit. Berikut gambaran perjalanan dari
Palembang menuju Desa Tanjung Kurung (Gambar I.1)

Gambar I.1. Rute perjalanan Palembang – Desa Tanjung Kurung

Sumber: https://google.maps.com
BAB II

GEOLOGI REGIONAL

Tinjauan pustaka mengacu pada refrensi yang bersumber dari peneliti


terdahulu dengan tujuan menambah wawasan mengenai geologi regional berdasarkan
berbagai macam hasil penelitian. Pembahasan geologi regional akan dibagi lagi
menjadi berbagai macam yang diantaranya adalah tatanan tektonik, stratigrafi, dan
struktur cekungan yang ada pada daerah penelitian tersebut.

II.1 Tatanan Tektonik Sumatera

Pulau Sumatera merupakan jalur konvergensi antara Lempeng Hindia-


Australia yang menyusup di sebelah barat Lempeng Eurasia sehingga menghasilkan
subduksi sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan dari Sistem Sesar
Sumatera. Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia
pada masa Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk
Sumatera searah jarum jamyang sebelumnya berarah E-W menjadi SE-NW dimulai
pada Eosen-Oligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan meningkatnya
pergerakan sesar mendatar Sumatera seiring dengan rotasi. Subduksi oblique dan
pengaruh sistem mendatar Sumatra menjadikan kompleksitas regim stress dan pola
strain pada Sumatra (Darman dan Sidi, 2000). Pulau Sumatra diinterpretasikan
dibentuk oleh kolisi dan suturing dari mikrokontinen di Akhir Pra-Tersier
(Pulunggono dan Cameron, 1984; dalam Barber dkk, 2005). Proses tektonik inilah
yang menyebabkan terbentuknya beberapa cekungan pada pulau Sumatra, salah
satunya yaitu cekungan Sumatra Selatan dimana lokasi daerah pemetaan geologi serta
penelitian tugas akhir ini dilakukan.

Geologi Cekungan Sumatera Selatanmerupakan hasil kegiatan tektonik yang


berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng Indo-Australia, yang bergerak ke arah
Utara hingga Timurlaut terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam (Gambar 2.1).
Zona penunjaman lempeng meliputi daerah sebelah Barat Pulau Sumatera dan
Selatan Pulau Jawa. Beberapa lempeng kecil (micro-plate) yang berada di antara zona
interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan zona konvergensi dalam berbagai
bentuk dan arah. Penunjaman lempeng Indo-Australia tersebut dapat mempengaruhi
keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan. Tumbukan
tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur depan, magmatik, dan
busur belakang (Bishop, 2001). Akibat interaksi antara Lempeng Indo-Australia
dengan Lempeng Mikro-Sunda mnyebabkan cekungan Sumatra Selatan termasuk
kedalam cekungan busur belakang atau dikenal dengan back arc basin.

Gambar II.2. Peta Cekungan Sumatera Selatan (Bishop, 2001)


II.1.1 Kerangka Tektonik Sumatra

Pulau Sumatra terletak di baratdaya dari Kontinen Sundaland dan


merupakan jalur konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di
sebelah barat Lempeng Eurasia/Sundaland. Konvergensi lempeng menghasilkan
subduksi sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan dari Sistem
Sesar Sumatra.

Gambar II.3 Pembentukan Cekungan Belakang Busur di Pulau Sumatra (Barber dkk,
2005).

Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada


masa Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk
Sumatra searah jarum jam. Perubahan posisi Sumatra yang sebelumnya berarah E-W
menjadi SE-NW dimulai pada Eosen-Oligosen. Perubahan tersebut juga
mengindikasikan meningkatnya pergerakan sesar mendatar Sumatra seiring dengan
rotasi. Subduksi oblique dan pengaruh sistem mendatar Sumatra menjadikan
kompleksitas regim stress dan pola strain pada Sumatra (Darman dan Sidi, 2000).
Karakteristik Awal Tersier Sumatra ditandai dengan pembentukkan cekungan-
cekungan belakang busur sepanjang Pulau Sumatra, yaitu Cekungan Sumatra Utara,
Cekungan Sumatra Tengah, dan Cekungan Sumatra Selatan (Gambar 1).

Pulau Sumatra diinterpretasikan dibentuk oleh kolisi dan suturing dari


mikrokontinen di Akhir Pra-Tersier (Pulunggono dan Cameron, 1984; dalam Barber
dkk, 2005). Sekarang Lempeng Samudera Hindia subduksi di bawah Lempeng
Benua Eurasia pada arah N20°E dengan rata-rata pergerakannya 6 – 7 cm/tahun.

Konfigurasi cekungan pada daerah Sumatra berhubungan langsung dengan


kehadiran dari subduksi yang menyebabkan non-volcanic fore-arc dan volcano-
plutonik back-arc. Sumatra dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan Sidi, 2000):

1. Sunda outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda dan
yang memisahkan dari lereng trench.

2. Cekungan Fore-arc Sunda, terbentang antara akresi non-vulkanik


punggungan outer-arc dengan bagian di bawah permukaan dan volkanik
back-arc Sumatra.

3. Cekungan Back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah, dan


Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda pada
bagian bawah Bukit Barisan.

4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk terutama
pada Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik.

5. Intra-arc Sumatra, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah
pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-arc
dan back-arc basin.

II.I.2 Struktur Utama Cekungan Sumatra Selatan

Menurut Salim dkk (1995) Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan


belakang busur karena berada di belakang Pegunungan Barisan sebagai volcanic-arc-
nya. Cekungan ini berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi
antara Paparan Sunda sebagai bagian dari Lempeng Kontinen Asia dan Lempeng
Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, bagian
barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh
Paparan Sunda (Sundaland), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan
ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.

Menurut Suta dan Xiaoguang (2005; dalam Satya, 2010) perkembangan


struktur maupun evolusi cekungan sejak Tersier merupakan hasil interaksi dari ketiga
arah struktur utama yaitu, berarah timurlaut-baratdaya atau disebut Pola Jambi,
berarah baratlaut-tenggara atau disebut Pola Sumatra, dan berarah utara-selatan atau
disebut Pola Sunda. Hal inilah yang membuat struktur geologi di daerah Cekungan
Sumatra Selatan lebih kompleks dibandingkan cekungan lainnya di Pulau Sumatra.
Struktur geologi berarah timurlaut-baratdaya atau Pola Jambi sangat jelas teramati di
Sub-Cekungan Jambi. Terbentuknya struktur berarah timurlaut-baratdaya di daerah
ini berasosiasi dengan terbentuknya sistem graben di Cekungan Sumatra Selatan.
Struktur lipatan yang berkembang pada Pola Jambi diakibatkan oleh pengaktifan
kembali sesar-sesar normal tersebut pada periode kompresif Plio-Plistosen yang
berasosiasi dengan sesar mendatar (wrench fault). Namun, intensitas perlipatan pada
arah ini tidak begitu kuat.

Pola Sumatra sangat mendominasi di daerah Sub-Cekungan Palembang


(Pulunggono dan Cameron, 1984). Manifestasi struktur Pola Lematang saat ini
berupa perlipatan yang berasosiasi dengan sesar naik yang terbentuk akibat gaya
kompresi Plio-Pleistosen. Struktur geologi berarah utara-selatan atau Pola Sunda juga
terlihat di Cekungan Sumatra Selatan. Pola Sunda yang pada awalnya
dimanifestasikan dengan sesar normal, pada periode tektonik Plio-Pleistosen
teraktifkan kembali sebagai sesar mendatar yang sering kali memperlihatkan pola
perlipatan di permukaan.
Gambar II.4. Elemen Struktur Utama pada Cekungan Sumatra Selatan. Orientasi
Timurlaut-baratdaya atau Utara-Selatan Menunjukkan Umur Eo-Oligosen dan
Struktur Inversi Menunjukkan Umur Plio-Pleistosen (Ginger dan Fielding, 2005).

II.1.3 Perkembangan Tektonik

Peristiwa Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra dan


Cekungan Sumatra Selatan menurut Pulonggono dkk (1992) adalah:

 Fase kompresi yang berlangsung dari Jurasik awal sampai Kapur. Tektonik
ini menghasilkan sesar geser dekstral WNW – ESE seperti Sesar
Lematang, Kepayang, Saka, Pantai Selatan Lampung, Musi Lineament dan
N – S trend. Terjadi wrench movement dan intrusi granit berumur Jurasik –
Kapur.
Gambar II.5. Fase Kompresi Jurasik Awal Sampai Kapur dan Elipsoid Model
(Pulonggono dkk, 1992).

 Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan
sesar normal dan sesar tumbuh berarah N – S dan WNW – ESE. Sedimentasi
mengisi cekungan atau terban di atas batuan dasar bersamaan dengan kegiatan
gunung api. Terjadi pengisian awal dari cekungan yaitu Formasi Lahat.

Gambar II.6. Fase Tensional Kapur Akhir Sampai Tersier Awal dan Elipsoid Model
(Pulonggono dkk, 1992).
 Fase ketiga yaitu adanya aktivitas tektonik Miosen atau Intra Miosen
menyebabkan pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan
bahan-bahan klastika. Yaitu terendapkannya Formasi Talang Akar, Formasi
Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, dan Formasi Muara Enim.

 Fase keempat berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen menyebabkan


sebagian Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim telah menjadi
tinggian tererosi, sedangkan pada daerah yang relatif turun diendapkan
Formasi Kasai. Selanjutnya, terjadi pengangkatan dan perlipatan berarah barat
laut di seluruh daerah cekungan yang mengakhiri pengendapan Tersier di
Cekungan Sumatra Selatan. Selain itu terjadi aktivitas volkanisme pada
cekungan belakang busur.

Gambar II.7. Fase Kompresi Miosen Tengah Sampai Sekarang dan Elipsoid Model
(Pulonggono dkk, 1992).
II.1.4. Sistem Subduksi Sumatera

Gambar II.8. Sistem Subduksi Sumatera


Pada akhir Miosen, Pulau Sumatera mengalami rotasi searah jarum jam.
Pada zaman Pliopleistosen, arah struktur geologi berubah menjadi barat daya-timur
laut, di mana aktivitas tersebut terus berlanjut hingga kini. Hal ini disebabkan oleh
pembentukan letak samudera di Laut Andaman dan tumbukan antara Lempeng Mikro
Sunda dan Lempeng India-Australia terjadi pada sudut yang kurang tajam. Terjadilah
kompresi tektonik global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau
Sumatera dan pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan pada zaman Pleistosen.
Pada akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir, terjadi kompresi pada
Laut Andaman. Sebagai akibatnya, terbentuk tegasan yang berarah NNW-SSE
menghasilkan patahan berarah utara-selatan. Sejak Pliosen sampai kini, akibat
kompresi terbentuk tegasan yang berarah NNE-SSW yang menghasilkan sesar
berarah NE-SW, yang memotong sesar yang berarah utara-selatan.
Di Sumatera, penunjaman tersebut juga menghasilkan rangkaian busur pulau
depan (forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias,
P. Batu, P. Siberut hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan
jalur vulkanik di tengahnya, serta sesar aktif ’The Great Sumatera Fault’ yang
membelah Pulau Sumatera mulai dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar
besar ini menerus sampai ke Laut Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko
ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas sentimeter per tahun dan merupakan daerah
rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Penunjaman yang terjadi di sebelah barat Sumatra tidak benar-benar tegak
lurus terhadap arah pergerakan Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia.
Lempeng Eurasia bergerak relatif ke arah tenggara, sedangkan Lempeng India-
Australia bergerak relatif ke arah timurlaut. Karena tidak tegak lurus inilah maka
Pulau Sumatra dirobek sesar mendatar (garis jingga) yang dikenal dengan nama Sesar
Semangko.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi
Pulau Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera
terangkat, sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat
mempunyai dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya,
terumbu karang lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian timur
yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang bergerak naik),
sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian timur, gambut
dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang.

II.1.5. Sistem Sesar Sumatera

Di pulau Sumatera, pergerakan lempeng India dan Australia yang


mengakibatkan kedua lempeng tersebut bertabrakan dan menghasilkan penunjaman
menghasilkan rangkaian busur pulau depan (forearch islands) yang non-vulkanik
(seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut hingga P. Enggano),
rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di tengahnya, serta sesar
aktif ’The Great Sumatera Fault’ yang membelah Pulau Sumatera mulai dari Teluk
Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke Laut Andaman
hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas
sentimeter per tahun dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.

Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya,


yaitu: Sesar Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar
Blangkejeren. Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit
oleh dua patahan aktif, yaitu Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini terbentuk
sebagai akibat dari adanya pengaruh tekanan tektonik secara global dan lahirnya
kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera serta pengangkatan
Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada di sepanjang patahan tersebut
merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah longsor, disebabkan oleh
adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian yang tinggi. Banda Aceh sendiri
merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga terbentuk sebuah
graben. Dataran yang terbentuk tersusun oleh batuan sedimen, yang berpengaruh
besar jika terjadi gempa bumi yang sangat besar dan membuat morfologinya terubah.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau
Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat,
sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai
dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu
karang lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian timur yang
turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang bergerak naik),
sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian timur, gambut
dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang.

Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya


peristiwa pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar
45,6 juta tahun lalu, yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari
pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar
lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng India-
Australia yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter / tahun menurun secara
drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan tersebut.
Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30 milimeter/tahun pada awal
proses konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja,
1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai sekitar 76
milimeter/tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini, menurut
teori “indentasi” pada akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar
geser di bagian sebelah timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa
secara tektonik (Tapponier dkk, 1982).

Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman,


punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses
yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension)
Paleosoikum tektonik Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan
adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000). Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro
Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk, geometri dan
struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan bagian utara yang
tidak selaras dengan pola penunjaman.

Gambar II.9. Segmen Utama Sesar Sumatera (Sieh dan Natawidjaja, 2000)
II.2. Struktur Geologi Regional

Barber,(2005) membagi Pulau Sumatera dibagi menjadi empat elemen


tektonik; kompleks akresi, cekungan busur depan, Pegunungan Barisan dan Zona
Sesar Sumatera, serta cekungan busur belakang. Aktivitas transtensional di
Pegunungan Barisan menyebabkan perbedaan tekstur perbukitan, tekstur
geomorfologi kasar berkembang di Pegunungan Barisan, sedangkan tekstur halus
pada sisi timur Sumatera.

Perbukitan lipatan berkembang di Timur Pegunugan Barisan (Gambar 2.2).


pembentukan ini di akibatkan oleh rezim kompresif maupun transpresif. Cekungan
Sumatera Utara, Tengah, dan Selatan terbentuk oleh mekanisme inversi yang berbeda.
Cekungan Sumatera Utara berkembang tren graben utara – selatan dengan mekanisme
kompresif dan transpresif dalam inversi cekungan di Miosen Tengah – Pleistosen
(Davies, 1984). Menurut (Doust dan Noble, 2008) cekungan Sumatera Utara memliki
tren graben barat baratlaut-timur tenggara dan utara-selatan. Cekungan Sumatera
Selatan memiliki tren graben Baratlaut-Tenggara dan mengalami inversi pada Miosen
Tengah – Peistosen. Mekanisme transpresif berkembang pada fase ini (Pulonggono
dkk, 1992).
Gambar II.10. Struktur Geologi Pulau Sumatera (Barber, 2005)

Sejarah dari cekungan Sumatra Selatan dibagi menjadi tiga megasekuen


tektonik (Ginger, 2005) yaitu:

1. Syn-Rift Megasequence

Karena adanya hasil dari subduksi di sepanjang Parit Sumatra Barat, kerak
kontinental di Sumatera Selatan menjadi sasaran dari kegiatan ektensional utama dari
waktu Eocene ke awal Oligocene. Ekstensi ini mengakibatkan membukanya sejumlah
half-grabens dimana geometri dan orientasi dipengaruhi oleh keheterogenan
basement. Awalnya, ekstensi muncul berorientasi dari timur-barat menghasilkan
urutan horst dan graben dari utara-selatan.
2. Post Syn Megasequence

Adanya proses rifting yang berhenti sekitar 29 Ma lalu, bagaimanapun,


thinned the continental crust di bawah cekungan Sumatera Selatan terus turun sebagai
keseimbangan lithospheric thermal. Dalam bagian dari cekungan, seperti pusat Sub-
cekungan Palembang, Megasequence ini mencapai ketebalan melebihi 13.000 ft.
Tingginya penurunan dan relatif permukaan laut menghasilkan transgresi yg lama
dari cekungan dengan banjir yang hampir diseluruh cekungan. Perlambatan
penurunan dan meningkatnya jumlah endapan ke dalam cekungan sehingga
menghasilkan regresi.

3. Syn-Orogenic/Inversion Megasequence

Perpanjangan barat laut-tenggara berorientasi pada lipatan transpresional yang


besarnya bervariasi yang dibentuk di seluruh cekungan dan melintasi banyak syn-rift.
Sejumlah perangkap struktural Hydrocarbone-bearing dipusat cekungan dibentuk
saat ini, meskipun dalam beberapa daerah yang terakumulasi minyak telah terlihat. Di
balik perpanjangan lipatan transpressional, penurunan cekungan berlanjut dan diisi
oleh sediment dan disempurnakan oleh erosi baru dibentuk Bukit Barisan di selatan
dan barat.

II.2.1 Struktur Geologi Cekungan Sumatera Selatan


Cekungan Sumatera terbentuk sejak akhir Pra Tersier sampai awal Pra
Tersier. Orogenesa pada akhir Kapur-Eosen membagi Cekungan Sumatra
Selatan menjadi 4 sub cekungan, yaitu Sub Cekungan Palembang Tengah dan
Sub-Cekungan Palembang Selatan. Menurut Pulonggono (1984) U SKALA
1:1000000 7 pola Struktur di Cekungan Sumatra Selatan merupakan hasil dari
4 periode Tektonik Utama yaitu:
 Upper Jurassic – Lower Cretaceous
Rezim tektonik yang terjadi adalah rezim tektonik kompresi, dimana intrusi,
magmatisme, dan proses metamorfosa pembentuk batuan dasar masih berlangsung.
Tegasan utama pada periode ini berarah N 0300 W (WNW-ESE) yang
mengakibatkan terbentuknya Sesar Lematang yang berarah N0600 E.
 Late Cretaceous – Oligocene
Fase yang berkembang pada periode ini adalah rezim tektonik
regangan / tarikan dimana tegasan utamanya berarah N-S. Struktur
geologi yang terbentuk adalah sesar-sesar normal dan pematahan
bongkah batuan dasar yang menghasilkan bentukan Horst (tinggian),
Graben (depresi) dan Half Graben. Periode ini merupakan awal
terbentuknya Cekungan Sumatra Selatan dan mulainya pengendapan
sedimen Formasi Lahat dan Talang Akar.
 Oligocene – Pliocene Basin Fill
Fase tektonik yang terjadi pada daerah ini adalah fase tenang, tidak
ada pergerakan pada dasar cekungan dan sedimen yang terendapkan
lebih dulu (Formasi Lahat). Pengisian cekungan selama fase tenang
berlangsung selama awal Oligosen-Pliosen. Sedimen yang mengisi
cekungan selama fase tenang adalah Formasi Talang Akar, Formasi
Baturaja, Formasi Gumai (Telisa), 8 Formasi Lower Palembang (Air
Benakat), Middle Palembang Muara Enim) dan Upper Palembang
(Kasai).
 Pliocene -Pleistocene Orogeny
Fase Tektonik yang terjadi pada periode ini adalah fase kompresi,
sesarsesar bongkah dasar cekungan mengalami reaktifasi yang
mengakibatkan pengangkatan dan pembentukan antiklinorium utama
di Cekungan sumatra Selatan. Antiklinorium tersebut antara lain
Antiklinorium Muara Enim, Antiklinorium Pendopo-Benakat, dan
Antiklinorium Palembang (De Coster 1974).
Antiklinorium Palembang Utara, merupakan antiklinorium yang
besar terdiri dari beberapa antiklin. Batuan tertua yang tersingkap
adalah Formasi Talang Akar dan batuan dasar Pra-Tersier. Sisi selatan
cenderung menjadi lebih curam daripada sisi utara atau timur laut
(Pulonggono, 1984). Antiklinorium Pendopo-Limau, terdiri dari dua
antiklin paralel, yang merupakan daerah lapangan minyak terbesar di
Sumatra Selatan. Pada sisi baratdaya antiklin kemiringan lebih curam
dan dibatasi oleh sesar, dan ada bagian yang tertutup oleh batas half-
graben. Formasi tertua yang tersingkap di puncak adalah Formasi
Gumai.
Antiklinorium Gumai, terdiri dari enam atau lebih antiklin kecil
yang saling berhubungan, kebanyakan jurusnya berarah Timur-Barat,
sangat tidak simetri dengan keemiringan curam, sisi sebelah utara
secara lokal mengalami pembalikan (overturned). Formasi tertua yang
ada di permukaan adalah Formasi Lower Palembang atau Air Benakat.
Antiklin tersebut sebagai hasil 9 longsoran gravitasi dari antiklin
Pegunungan Gumai. Pulonggono (1984) menggambarkan
antiklinorium Gumai sebagai lapangan minyak kecil yang saling
berhubungan, dihasilkan dari Formasi Air Benakat dan Formasi Muara
Enim.
Antiklinorium Muara enim, merupakan antiklin yang besar dengan
ekspresi permukaan kuat dan dengan singkapan batuan dasar Pra-
Tersier. Di dekat daerah Lahat menunjam ke arah timur, sisi utara
banyak lapisan batubara dengan kemiringan curam dan juga lebih
banyak yang tersesarkan daripada di sisi selatan. Kebalikannya di
bagian barat pegunungan Gumai dapat diamati kemiringan lebih
curam di sisi selatan dan sisi utara dengan kemiringan relatif landai.
(Pulonggono, 1984).
II.2.2. Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan

Gambar II.11. Peta Cekungan Sumatera Selatan (Pertamina)

Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang (Back Arc


Basin) yang terbentuk akibat interaksi antara Lempeng Hindia-Australia dengan
Lempeng Mikro Sunda. Cekungan ini dibagi menjadi 4 (empat) sub cekungan yaitu:
 Sub Cekungan Jambi
 Sub Cekungan Palembang Utara
 Sub Cekungan Palembang Selatan
 Sub Cekungan Palembang Tengah
(Pulonggono, 1984). Cekungan ini terdiri dari sedimen Tersier yang terletak
tidak selaras (unconformity) di atas permukaan metamorfik dan batuan beku Pra-
Tersier. (Pertamina)
Cekungan Sumatera Selatan terletak memanjang berarah NW-SE di bagian
Selatan Pulau Sumatera. Luas cekungan ini sekitar 85.670Km2 dan terdiri atas dua
subcekungan, yaitu Sub Cekungan Jambi dan Sub Cekungan Palembang. Sub
Cekungan Jambi berarah NE-SW sedangkan Sub Cekungan Palembang berarah
NNW-SSE, dan diantara keduanya dipisahkan oleh sesar normal NE-SW. Cekungan
Sumatera Selatan ini berbentuk tidak simetris. Di bagian Barat dibatasi oleh
Pegunungan Barisan, di sebelah Utara dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan
Pegunungan Duabelas sedangkan di bagian Timur dibatasi oleh pulau-pulau Bangka-
Blitung dan di sebelah Selatan dibatasi oleh Tinggian Lampung. (Pulonggono 1984)

Gambar II.12. Kerangka Tektonik Paleogene Cekungan Sumatera Selatan


(Pertamina)

Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan yang luas. Perbedaan relief


pada batuan dasar disebabkan oleh pematahan batuan dasar dalam bongkah-bongkah
sehingga menghasilkan bentukan peninggian dan depresi batuan dasar. Relief yang
tidak rata serta reaktifasi dari sesar bongkah tersebut mengontrol sedimentasi dan
perlipatan lapisan Tersier yang ada pada cekungan ini. (Pulonggono, 1984)

II.3. Stratigrafi Regional

Stratigrafi daerah cekungan Sumatra Selatan secara umum dapat dikenal satu
megacycle(daur besar) yang terdiri dari suatu transgresi dan diikuti regresi. Formasi
yang terbentuk selama fase transgresi dikelompokkan menjadi Kelompok Telisa
(Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai). Kelompok
Palembang diendapkan selama fase regresi (Formasi Air Benakat, Formasi Muara
Enim, dan Formasi Kasai), sedangkan Formasi Lemat danolderLemat diendapkan
sebelum fase transgresi utama. Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan
menurut(DeCoster,1974)adalah sebagai berikut:

Gambar II.13. Stratigrafi regionalcekungan Sumatera Selatan (De Coster, 1974)


Berdasarkan peneliti-peneliti terdahulu, maka stratigrafi cekungan Sumatera
Selatan dibagi menjadi tiga kelompok antara lain :
 Kelompok Pra Tersier
Formasi ini merupakan batuan dasar (basement rock) dari Cekungan Sumatra
Selatan.Tersusun atas batuan beku Mesozoikum, batuan metamorf Paleozoikum,
Mesozoikum, dan batuan karbonat yang termetamorfosa. Hasil dating dibeberapa
tempat menunjukkan bahwa beberapa batuan berumur Kapur Akhir sampai Eosen
Awal. Batuan metamorf Paleozoikum-Mesozoikum dan batuan sedimen mengalami
perlipatan dan pensesaran akibat intrusi batuan beku selama episode orogenesa
Mesozoikum Tengah (Mid-Mesozoikum).
Menurut De Coster (1974) berdasarka penelitian terdahulu urutan sedimentasi
Tersier di Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi dua tahap penegndapan, yaitu
tahap genang laut dan tahap susut laut. Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap
genang laut disebut Kelompok Telisa, dari umur Eosen Awal hingga Miosen Tengah
terdiri atas Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja
(BRF), dan Formasi Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut
disebut Kelompok Palembang (Spruyt, 1956) dari umur Miosen Tengah-Pliosen
terdiri atas Formasi Air Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formasi
Kasai (KAF).
 Formasi Lahat
Batuan tertua yang ditemukan pada Cekungan Sumatera Selatan adalah batuan
yang berumur akhir Mesozoik. Batuan yang ada pada Formasi ini terdiri dari
batupasir tuffan, konglomerat, breksi,danlempung. Batuan-batuan tersebut
kemungkinan merupakan bagian dari siklus sedimentasi yang berasal dari
Continental, akibat aktivitas vulkanik, dan proses erosi dan disertai aktivitas tektonik
pada akhir kapur-awal Tersier di Cekungan Sumatera Selatan.
 Formasi Lahat Muda
Formasi Lemat tersusun atas klastika kasar berupa batupasir, batulempung fragmen
batuan, breksi, “Granit Wash”, terdapat lapisan tipis batubara, dan tuf. Semuanya
diendapkan pada lingkungan kontinen. Sedangkan anggota Benakat dari Formasi
Lemat terbentuk pada bagian tengah cekungan dan tersusun atas serpih berwarna
coklat abu-abu yang berlapis dengan serpih tuffaan (tuffaceous shales), batulanau,
batupasir, terdapat lapisan tipis batubara dan batugamping (stringer), Glauconit,
diendapkan pada lingkungan fresh-brackish. Formasi Lemat secara normal dibatasi
oleh bidang ketidakselarasan (unconformity) pada bagian atas dan bawah formasi.
Kontak antara Formasi Lemat dengan Formasi Talang Akar yang diintepretasikan
sebagai paraconformable. Formasi Lemat berumur Paleosen-Oligosen, dan anggota
Benakat berumur Eosen Akhir-Oligosen, yang ditentukan dari spora dan pollen, juga
dengan dating K-Ar. Ketebalan formasi ini bervariasi, lebih dari 2500 kaki (± 760 m).
Pada Cekungan Sumatra Selatan dan lebih dari 3500 kaki (1070 m) pada zona depresi
sesar di bagian tengah cekungan (didapat dari data seismik).

 Formasi Talang Akar


Formasi Talang Akar terdapat di Cekungan Sumatra Selatan, formasi ini terletak di
atas Formasi Lemat dan di bawah Formasi Telisa atau anggota Basal Batugamping
Telisa. Formasi Talang Akar terdiri dari batupasir yang berasal dari delta plain,
serpih, lanau, batupasir kuarsa, dengan sisipan batulempung karbonat, batubara dan di
beberapa tempat konglomerat. Kontak antara Formasi Talang Akar dengan Formasi
Lemat tidak selaras pada bagian tengah dan pada bagian pinggir dari cekungan
kemungkinan paraconformable, sedangkan kontak antara Formasi Talang Akar
dengan Telisa dan anggota Basal Batugamping Telisa adalah conformable. Kontak
antara Talang Akar dan Telisa sulit di pick dari sumur di daerah palung disebabkan
litologi dari dua formasi ini secara umum sama. Ketebalan dari Formasi Talang Akar
bervariasi 1500-2000 feet (sekitar 460610 m). Umur dari Formasi Talang Akar ini
adalah Oligosen Atas-Miosen Bawah dan kemungkinan meliputi N3 (P22), N7 dan
bagian N5 berdasarkan zona Foraminifera planktonik yang ada pada sumur yang
dibor pada formasi ini berhubungan dengan delta plain dan daerah shelf.
 Formasi Baturaja
Anggota ini dikenal dengan Formasi Baturaja. Diendapkan pada bagian intermediate-
shelfal dari Cekungan Sumatera Selatan, di atas dan di sekitar platform dan tinggian.
Kontak pada bagian bawah dengan Formasi Talang Akar atau dengan batuan Pra-
Tersier. Komposisi dari Formasi Baturaja ini terdiri dari Batugamping Bank (Bank
Limestone) atau platform dan reefal. Ketebalan bagian bawah dari formasi ini
bervariasi, namun rata-rata 200-250 feet (sekitar 60-75 m). Singkapan dari Formasi
Baturaja di Pegunungan Garba tebalnya sekitar 1700 feet (sekitar 520 m). Formasi ini
sangat fossiliferous dan dari analisis umuranggota ini berumur Miosen. Fauna yang
ada pada Formasi Baturaja umurnya N6N7.

 Formasi Telisa (Gumai)


Formasi Gumai tersebar secara luas dan terjadi pada zaman Tersier, formasi ini
terendapkan selama fase transgresif laut maksimum, (maximum marine transgressive)
ke dalam 2 cekungan. Batuan yang ada di formasi ini terdiri dari napal yang
mempunyai karakteristik fossiliferous, banyak mengandung foram plankton. Sisipan
batugamping dijumpai pada bagian bawah. Formasi Gumai beda fasies dengan
Formasi Talang Akar dan sebagian berada di atas Formasi Baturaja. Ketebalan dari
formasi ini bervariasi tergantung pada posisi dari cekungan, namun variasi ketebalan
untuk Formasi Gumai ini berkisar dari 6000–9000 feet (18002700 m). Penentuan
umur Formasi Gumai dapat ditentukan dari dating dengan menggunakan foraminifera
planktonik. Pemeriksaan mikropaleontologi terhadap contoh batuan dari beberapa
sumur menunjukkan bahwa fosil foraminifera planktonik yang dijumpai dapat
digolongkan ke dalam zona Globigerinoides sicanus, Globogerinotella insueta, dan
bagian bawah zona Orbulina Satiralis Globorotalia peripheroranda, umurnya
disimpulkan Miosen Awal-Miosen Tengah. Lingkungan pengendapan Laut Terbuka,
Neritik.

 Formasi Lower Palembang (Air Benakat)


Formasi Lower Palembang diendapkan selama awal fase siklus regresi. Komposisi
dari formasi ini terdiri dari batupasir glaukonitan, batulempung, batulanau, dan
batupasir yang mengandung unsur karbonatan. Pada bagian bawah dari Formasi
Lower Palembang kontak dengan Formasi Telisa. Ketebalan dari formasi ini
bervariasi dari 3300 – 5000 kaki (sekitar 1000 – 1500 m). Fauna-fauna yang dijumpai
pada Formasi Lower Palembang ini antara lain Orbulina Universa d’Orbigny,
Orbulina Suturalis Bronimann, Globigerinoides Subquadratus Bronimann,
Globigerina Venezuelana Hedberg, Globorotalia Peripronda Blow &Banner,
Globorotalia Venezuelana Hedberg, Globorotalia Peripronda Blow &Banner,
Globorotalia mayeri Cushman &Ellisor, yang menunjukkan umur Miosen Tengah
N12-N13. Formasi ini diendapkan di lingkungan laut dangkal.

 Formasi Middle Palembang (Muara Enim)


Batuan penyusun yang ada pada formasi ini berupa batupasir, batulempung, dan
lapisan batubara. Batas bawah dari Formasi Middle Palembnag di bagian selatan
cekungan berupa lapisan batubara yang biasanya digunakan sebagai marker. Jumlah
serta ketebalan lapisan-lapisan batubara menurun dari selatan ke utara pada cekungan
ini. Ketebalan formasi berkisar antara 1500–2500 kaki (sekitar 450-750 m). De
Coster (1974) menafsirkan formasi ini berumur Miosen Akhir sampai Pliosen,
berdasarkan kedudukan stratigrafinya. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut
dangkal sampai brackist (pada bagian dasar), delta plain dan lingkungan non marine.

 Formasi Upper Palembang (Kasai)


Formasi ini merupakan formasi yang paling muda di Cekungan Sumatra Selatan.
Formasi ini diendapkan selama orogenesa pada Plio-Pleistosen dan dihasilkan dari
proses erosi Pegunungan Barisan dan Tiga puluh. Komposisi dari formasi ini terdiri
dari batupasir tuffan, lempung, dan kerakal dan lapisan tipis batubara. Umur dari
formasi ini tidak dapat dipastikan, tetapi diduga Plio-Pleistosen. Lingkungan
pengendapannya darat.
Karena temuan utama dari penelitian adalah batuan dasar berupa granit,
sehingga khusus granit dapat kita pelajari jenis sebarann dan umumnya merujuk
kepada Cobbing dkk (1992; dalam Barber dkk, 2005) kelompok batuan Granit
Sumatra serta persentase Si02 dan umur isotopnya yaitu seperti pada Tabel 1 dan peta
sebarannya seperti Gambar II.15.

Gambar II.15 Peta Sebaran Granit Sumatera (Cobbing dkk, 1992; dalam
Barber dkk, 2005)

Batas sutur ataupun batas mikroplate tersebut biasanya akan memiliki sejarah
tektonik dan menjadi Mandala tektonik tersendiri. Untuk mendapatkan gambaran
sejarah serta kerangka tektonik dan perkembangan struktur di Cekungan Sumatra
Selatan, pembaca disarankan untuk membaca tulisan sebelumnya yang berkaitan
dengan hal tersebut. Potensi keterdapatan hidrokarbon pada batuan dasar yang pejal
adalah merupakan suatu yang tidak selalu didapati pada setiap wilayah kerja migas.
Umumnya reservoir batuan dasar terdiri dari granit, karbonat, konglomerat dan
batupasir dengan porositas rendah (<10%) dan permeabilitas matrik yang rendah.
Aktivitas hidrotermal dan karstifikasi batuan dasar karbonat menyebabkan secara
lokal berkembang porositas sekunder (Chalik dkk, 2004; dalam Ginger dan Fielding,
2005). Permeabilitas dikontrol rekahan dan laju alir gas yang baik adalah tercapai
pada area yang terdapat sistem rekahan yang ekstensif. Mengenai genesa,
karakteristik serta mekanisme pembentukan porositas dan permeabilitas pada batuan
dasar sehingga berpotensi sebagai reservoir ditulis pada tulisan bagian lainnya pada
kategori yang sama yaitu Basement Reservoir.

Anda mungkin juga menyukai