Anda di halaman 1dari 20

Makalah

PERKEMBANGAN REMAJA
(disusun dan didiskusikan pada mata kuliah Perkembangan Peserta Didik yang
diampu oleh Dr.Lilan Dama, S.Pd, M.Pd)

Oleh
Kelompok II
Arllin Nusi (431418065)
Defriyanto Sadu (431418067)
Nirman Gani (431418079)
Sri Wirdayanti Andup (431418076)

Kelas C
Pendidikan Biologi

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat,
Taufik dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam menpelajari tentang “fertilisasi hewan vertebrate”
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen yang telah mendukung dan
memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah ini, terutama kepada dosen
penanggung jawab mata kuliah struktur perkembangan hewan. Kami menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena
pengalaman yang kami miliki masih sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini, sehingga kami dapat memperbaiki
bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Harapan kami semoga makalah ini dapat membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, khususnya untuk mahasiswa.

Gorontalo, 29 Oktober 2019

Penyususn

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... . ......…i

DAFTAR ISI ................................................................................................ …ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ …1

1.1 Latar Belakang ................................................................................... …1


1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. …1
1.3 Tujuan ................................................................................................. …2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. …2

2.1 Perkembangan remaja secara umum…………………………………...3

2.2 Perkembangan remaja secara fisik……………………………………..3

2.3 Perkembangan remaja secara kognitif…………………………………6

2.4 Perkembangan remaja secara emosi…………………………………...8

2.5 Perkembangan remaja secara Moral…………………………………..9

2.6 Perkembangan reamaja secaa sosial………………………………….14

BAB III PENUTUP ...................................................................................... .16

3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 16

3.2 Saran .................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Istilah adolesenceatau remaja berasal dari kata latin adolescere kata bendanya
adolescentia yang berarti reamaja yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi
dewasa. Dahulu remaja dianggap tidak berbeda dengan periode- periode lain dalam
rentang kehidupan. Anak dianggap telah dewasa apabila telah mampu
bereproduksi. Hurlock (2003), mengungkapakan istilah adolescence, seperti yang
telah dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan
mental, emosional, social, dan fisik. Sejalan dengan Hurlock, Piaget (dalam
Hurlock, 2003) mengatakan bahwa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi
dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat
orang-orang yang lebih tua, melainkan pada tingkatan yang sama., sekurang-
kurangnya dalam masalah hak.
Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir remaja ini
memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan social orang dewasa,
yang kenyataaanya merupakan ciri khas yang dari periode perkembangan ini.
Hurlock membagi usia remaja dalam dua masa, yaitu awal masa remaja yang
berlangsung kira-kira dari tigabelas tahun sampai enambelas atau tujuh belas tahun,
dan akhir masa remaja bermula dari 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun yaitu usia
matang sesuai hukum.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa itu perkembangan remaja secara umum?
2. Apa itu perkembangan secara fisik?
3. Apa itu perkembangan secarra kognitif?
4. Apa itu perkembangan secara emosional?
5. Apa itu perkembangan secara moral?
6. Apa itu perkembangan secara sosial?

iii
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, adapun tujuan yang diharapkan
dalam pembentukan makalah mengenai “Perkembangan Remaja” adalah
1) Untuk mengetahui perkembangan secara umum
2) Untuk mengetahui perkembangan secara fisik
3) Untuk mengetahui perkembangan secara kognitif
4) Untuk mengetahui perkembangan secara emosi
5) Untuk mengetahui perkembangan secaa moral
6) Untuk mengetahui perkembangan secara sosial

iii
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Perkembangan Remaja Secara Umum
Semua aspek perkembangan dalam masa remaja secara global berlangsung
antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian usia 12-15 tahun adalah masa remaja
awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, 18-21 tahun adalah masa remaja
akhir (Monks, 2009).
Menurut Hurlock (2003), masa remaja dibagi menjadi dua tahap
perkembangan yaitu masa remaja awal yang rentang usianya adalah sekitar 12-16
tahun, dengan ciri khas antara lain lebih dekat dengan teman sebaya, ingin bebas, lebih
banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak, mencari identitas
diri. Sedangkan masa remaja akhir sekitar 17-21 tahun, dengan ciri khas antara lain
pengungkapan identitas diri, lebih selektif dalam mencari teman sebaya, mempunyai
citra jasmani dirinya, mampu berfikir abstrak.
Garis pemisah antara awal masa remaja dan kahir masa remaja terletak kira-
kira di sekitar usia tujuh belas tahun, yaitu usia saat dimana rata-rata setiap remaja
memasuki sekolah tingkat atas. Awal masa remaja biasanya berlangsung kira-kira dari
usia tiga belas tahun sampai enam belas tahun atau tujuh belas tahun. Usia awal remaja
ini biasanya disebut sebagai “usia belasan” kadang-kadang bahkan disebut sebagai
“usia belasan yang tidak menyenangkan”. Usia belasan tahun ini cenderung
dihubungkan oleh pola perilaku khas remaja.
Namun perlu diingat bahwa pembagian ini tidak mutlak dan ketat. Pembagian
ini hanya menunjukkan umur rata-rata pria dan wanita mulai menunjukkan perubahan-
perubahan dalam penampilan, minat, sikap, dan perilaku yang akan memperngaruhi
penyesuaian diri individu.
2. 2 Perkembangan Fisik
Secara garis besar ada dua istilah yang selalu digunakan dalam psikologi yang
berikaitan dengan perubahan pada diri individu, yaitu kata “pertumbuhan” dan kata
“perkembangan”. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan salah satu ciri makhluk

iii
hidup. Hal ini karena pertumbuhan merupakan proses yang berjalan sejajar dengan
perkembangan. Namun demikian, antara istilah pertumbuhan dan perkembangan dapat
dibedakan berdasarkan perubahan ukuran yang terjadi pada makhluk hidup, khussnya
manusia.
Menurut Masganti Sitorus dalam bukunya “Perkembangan Peserta Didik, 2012 ”
(Masganti Sitorus, 2012: 1-2) membedakan kata perkembangan dan pertumbuhan
sebagai berikut:
“Pertumbuhan merupakan perubahan yang terjadi secara kuantitatif yang
meliputi peningkatan ukuran dan struktur. Pertumbuhan adalah berkaitan dengan
masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, atau dimensi tingkat sel organ
maupun individu yang bisa diukur dengan berat, ukuran panjang, umur, tulang, dan
keseimbangan metabolik. Pertumbuhan adalah suatu proses bertambahnya jumlah sel
tubuh suatu organisme yang disertai irreversible (tidak dapat kembali pada keadaan
semula). Pertumbuhan lebih bersifat kuantitatif, di mana suatu organisme yang kecil
menjadi lebih besar seiring dengan pertambahan waktu. Sedangkan perkembangan
adalah bertambah kemampuan atau skill dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih
kompleks dalam pola teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil proses pematangan.
Perkembangan menyangkut adanya proses pematangan sel-seltubuh. Jaringan tubuh,
organ-organ, dan sistem organ yang berkembang dengan menurut caranya sehingga
dapat memenuhi fungsinya”.
Dengan demikian, perkembangan dapat diartikan sebagai “perubahan” yang
progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir sampai
mati. Pengertian dari perkembangan adalah “perubahan-perubahan yang dialami
individu (organisme) menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya,
berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan baik menyangkut fisik
(jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) (H. Syamsu Yusuf, 2009: 25). Perkembangan
sebagai rangkaian dari perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses
kematangan dan pengalaman individu.

iii
Di samping itu, perubahan dalam diri manusia terdiri atas perubahan kualitatif
akibat dari perubahan psikis, dan perubahan kuantitatif akibat dari perubahan fisik.
Perubahan kualitatif tersebut sering disebut dengan “perkembangan”, seperti;
perubahan dari tidak mengetahui menjadi mengetahuinya, dari kekanak-kanakan
menjadi dewasa, dan sebagainya. Sedangkan perubahan kuantitatif sering disebut
dengan “pertumbuhan’, seperti; perubahan tinggi dan berat badan. Persoalan yang
menjadi topik bahasan psikologi adalah pertumbuhan kualitatif atau perkembangan,
sebab hal itu sangat terkait dengan fungsi struktur kejiwaan yang konpleks beserta
dinamika prosesnya, walaupun demikian, disadari bahwa pertumbuhan fisik bagi
individu tetap berkorelasi dengan pertumbuhan psikis. Jadi, perkembangan dalam
tulisan ini dapat diartikan sebagai proses menuju tercapainya kedewasaan atau tingkat
yang lebih sempurna pada individu. Berbeda dengan pertumbuhan. Proses
perkembangan tidak dapat diukur sehingga tidak dapat dinyatakan secara kuantitatif.
Perkembangan dapat dinyatakan secara kualitatif.
Sementara pengertian “remaja” dikenal dengan istilah “adolescence”, yang
berasal dari kata bahasa latin “adolescere” (kata bendanya adolescentia = remaja), yang
berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. (Desmita,
2007: 189). Dalam pengertian umum remaja diartikan masa baligh atau keterbukaan
terhadap lawan jenis. Karena itu, Menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia”
menyatakan remaja adalah (1) Mulai dewasa; sudah sampai umur untuk kawin. (2)
Muda (tentang anak laki dan perempuan) (KBBI, 1989: 830). Masa remaja adalah
peralihan dari masa anak-anak kepada masa dewasa yang mengalami perkembangan
semua aspek dan semua fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja
berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun
sampai dengan 22 tahun bagi pria. Menurut Desmita batasan usia remaja yang umum
digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja
ini biasanya dibedakan atas tahap, yaitu: 12 sampai 15 tahun = masa remaja awal, 15 –
18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun = masa remaja akhir. Tetapi
Monks, Knoers dan Haditono (2001) membedakan masa remaja atas empat bagian,

iii
yaitu; (1). Masa pra-remaja atau pra-pubertas (10 – 12 tahun), (2). Masa remaja awal
atau pubertas (12 – 15 tahun), (3). Masa remaja pertengahan (15 – 18 tahun), dan (4).
Masa remaja akhir (18- 21 tahun). Remaja awal hingga remaja akhir inilah yang disebut
masa adolesen (Desmita, 2007).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Fisik Remaja
Faktor-faktor atau kondisi yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik
remaja antara lain adalah:
1. Sistem Endoktrin, yaitu bila sistem endoktrin berfungsi normal, maka remaja
akan memperlihatkan ukuran tubuh yang normal pula. Sebaliknya bila remaja
mengalami kekuarangan horman pertumbuhan, maka akan menjadi seperti kerdil.
Sedangkan yang kelebihan hormon pertumbuhan akan menjadi terlalu besar. Ciri-ciri
pertumbuhan fisik bagi remaja pria adalah mulai tumbuh jakun, suara lebih besar,
tumbuh kumis atau jenggot, tumbuh rambut di dada, kaki, ketiak dan organ kelamin,
dan bahu melebar. Bagi remaja wanita membesarnya payudara, pinggul melebar, suara
lebih nyaring, timbul jerawat, tumbuh rambut di ketiak dan organ kelamin.
2. Faktor Keluarga, yaitu faktor keturunan (heredity). Faktor keturunan antara
lain gen yang mempengaruhi tinggi badan, berat badan, warna kulit, warna mata dan
warna rambut.
3. Faktor Lingkungan
4. Faktor Perubahan fisik remaja yang terjadi pada saat pubertas merupakan
pengaruh antara faktor genetik dan lingkungan. Berbagai faktor seperti nutrisi, sikap
sosial, ukuran keluarga dan olahraga dapat mempengaruhi proses pubertas.
Pertumbuhan biologis pada masa remaja ini merupakan komponen universal yang tidak
hanya memiliki implikasi biologis, namun juga perkembangan kognitif dan sosial.
Perubahan biologis dapat berdampak langsung dan tidak langsung bagi perkembangan
remaja. Sedangkan perubahan hormonal selama masa ini berdampak pada dorongan
seksual yang meningkat sehingga dituntut tanggung jawab untuk mengelolanya.
2. 3 Perkembangan Kognitif

iii
Menurut Jean Piaget, pada masa remaja perkembangan kognitif sudah mencapai
tahap puncak, yaitu tahap operasi formal (11 tahun - dewasa) (Gunarsa, 1982); suatu
kapasitas untuk berpikir abstrak, dimana penalaran remaja lebih mirip dengan cara
ilmuwan mencari pemecahan masalah dalam laboratorium (Berk, 2003).
Mengacu pada teori perkembangan kognitif dari Piaget, Berk (2003: 244-249)
mengemukakan beberapa ciri dari perkembangan kognitif pada masa ini sebagai
berikut:
1. Mampu menalar secara abstrak dalam situasi yang menawarkan beberapa
kesempatan untuk melakukan penalaran deduktif hipotetis (hypotetico-deductive
reasoning) dan berpikir proposisional (propositional thought). Penalaran deduktif
hipotetis adalah suatu proses kognitif, dimana saat seseorang dihadapkan pada suatu
permasalahan, maka ia memulai dengan suatu “teori umum” dari seluruh faktor yang
mungkin mempengaruhi hasil dan menyimpulkannya dalam suatu hipotesis (atau
prediksi) tentang apa yang mungkin terjadi (akibatnya). Berbeda dengan anak pada
tahap operasi konkret, dimana anak memecahkan masalah dengan memulai dari realita
yang paling nyata sebagai prediksi dari suatu situasi; jika realita tersebut tidak
ditemukan, maka ia tidak dapat memikirkan alternatif lain dan gagal memecahkan
masalah (Berk, 2003). Jadi pada tahap operasi formal ini, remaja sudah bisa berpikir
sistematis, dengan melakukan bermacam-macam penggabungan, memahami adanya
bermacam-macam aspek pada suatu persoalan yang dapat diselesaikan seketika,
sekaligus, tidak lagi satu persatu seperti yang biasa dilakukan pada anak-anak masa
operasi konkret. (Gunarsa, 1982).
2. Memahami kebutuhan logis dari pemikiran proposisional, memperbolehkan
penalaran tentang premis (alasan) yang kontradiktif dengan realita. Pemikiran
proposisional merupakan karakteristik penting kedua dalam tahap operasi formal.
Remaja dapat mengevaluasi logika dari proposisi (pernyataan verbal) tanpa merujuk
pada keadaan dunia nyata (real world circumstances). Sebaliknya, anak pada tahap
operasi konkret mengevaluasi logika pernyataan hanya dengan mempertimbangkan
dengan mendasarkan pada bukti-bukti konkret.

iii
3. Memperlihatkan distorsi kognitif yaitu pendengar imajiner/khayal dan dongeng
pribadi (personal fable), yang secara bertahap akan menurun dan menghilang di usia
dewasa. Kapasitas remaja untuk berpikir abstrak, berpadu dengan perubahan fisik
menyebabkan remaja mulai berpikir lebih tentang diri sendiri. Piaget yakin bahwa telah
terbentuk egosentrisme baru pada tahap operasi formal ini, yaitu ketidakmampuan
membedakan perspektif abstrak dari diri sendiri dan orang lain (Inhelder & Piaget,
1955/1958, dalam Berk, 2003).
Pendengar imajiner (imaginary audience) adalah suatu distorsi kognitif, dimana
remaja merasa bahwa dirinya selalu di atas panggung, menjadi pusat perhatian orang
lain (Elkind & Bowen, 1979, dalam Berk, 2003). Akibatnya, mereka menjadi sangat
“sadar diri” (extremly self-conscious), seringkali melakukan berbagai upaya untuk
menghindari keadaan yang dapat mempermalukan. Tidak mengherankan jika remaja
menghabiskan banyak waktu untuk memperhatikan detail penampilannya, dan ia juga
sangat sensitif dengan kritik orang-orang di sekitarnya.
Dongeng pribadi (personal fable) merupakan distorsi kognitif kedua yang
ditunjukkan oleh remaja. Karena remaja begitu yakin bahwa dirinya diperhatikan dan
dipikirkan orang lain, maka ia mengembangkan opini yang melambung tentang betapa
pentingnya dirinya. Remaja merasa bahwa dirinya spesial dan unik. Beberapa remaja
memandang dirinya meraih pencapaian hebat maupun mengalami kekecewaan yang
sangat mendalam – suatu pengalaman yang tidak mungkin dipahami orang lain
(Elkind, 1994, dalam Berk, 2003). Remaja menyimpulkan bahwa orang lain tidak
mungkin dapat memahami pikiran dan perasaannya.

2. 4 Perkembangan Emosional
Beberapa ciri perkembangan emosional pada masa remaja adalah: (Zeman,
2001)
1. Memiliki kapasitas untuk mengembangkan hubungan jangka panjang, sehat, dan
berbalasan. Kemampuan ini akan diperoleh jika individu memiliki dasar yang telah

iii
diperoleh dari perkembagan sebelumnya, yaitu trust, pengalaman positif di masa lalu,
dan pemahaman akan cinta.
2. Memahami perasaan sendiri dan memiliki kemampuan untuk menganalisis mengapa
mereka merasakan perasaan dengan cara tertentu.
3. Mulai mengurangi nilai tentang penampilan dan lebih menekankan pada nilai
kepribadian.
4. Setelah memasuki masa remaja, individu memiliki kemampuan untuk mengelola
emosinya. Ia telah mengembangkan kosa kata yang banyak sehingga dapat
mendiskusikan, dan kemudian mempengaruhi keadaan emosional dirinya maupun
orang lain. Faktor lain yang berperan secara signifikan dalam pengaturan emosi yang
dilakukan remaja adalah meningkatnya sensitivitas remaja terhadap evaluasi yang
diberikan orang lain terhadap mereka, suatu sensitivitas yang dapat memunculkan
kesadaran diri. Menurut David Elkind (Zeman, 2001) menggambarkan remaja
menunjukkan seolah-olah mereka berada di hadapan audience imajiner yang mencatat
dan mengevaluasi setiap tindakan yang mereka lakukan. Dengan demikian, remaja
menjadi sangat sadar akan dampak dari ekspresi emosional mereka terhadap interaksi
sosial.
5. Gender berperan secara signifikan dalam penampilan emosi remaja. Laki-laki
kurang menunjukkan emosi takut selama distres dibandingkan dengan perempuan. Hal
ini didukung oleh keyakinan pada laki-laki bahwa mereka akan kurang dimengerti dan
dikecilkan/diremehkan oleh orang lain bila menunjukkan emosi agresif dan mudah
diserang (vulnerable).
2. 5 Perkembangan Moral
a. Pengertian moral
Kata moral berasal dari bahasa latin mos (jamak mores) yang berarti kebiasaan,
adat (Bertens, 1993). Moral merupakan suatu standart salah atau benar bagi seseorang
(Rogers & Baron, dalam Martini, 1995). Kata moral sendiri berasal dari bahasa Latin
moris yang berarti adat istiadat, kebiasaan, tata cara dalam kehidupan. Jadi suatu

iii
tingkah laku dikatakan bermoral apabila tingkah laku itu sesuai dengan nilai – nilai
moral yang berlaku dalam kelompok sosial dimana anak itu hidup.
Sejalan dengan pengertian diatas, menurut Hurlock (2003) moral berasal dari
bahasa latin “Mores”, yang berarti budi bahasa, adat istiadat, dan cara kebiasaan rakyat.
Perilaku moral merupakan perilaku di dalam konformitas dengan suatu tata cara moral
kelompok sosial. Kohlberg menegasakan bahwa moral merupakan bagian dari
penalaran. Maka iapun menamakannya dengan penalaran moral.
b. Penalaran Moral
Kohlberg (dalam Slavin, 2011) mendefinisikan penalaran moral sebagai
penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap kewajiban yang mengikat
individu dalam melakukan suatu tindakan. Penalaran moral dapat dijadikan sebuah
prediktor terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral.
Kohlberg mengemukakan bahwa penalaran moral adalah suatu pemikiran tentang
masalah moral. Pemikiran tersebut merupakan prinsip yang dipakai dalam menilai dan
melakukan suatu tindakan dalam situasi moral.
Menurut teori Piaget (dalam Slavin, 2011) proses penalaran moral sejalan
dengan perkembangan kognisi. Piaget percaya bahwa struktur dan kemampuan kognisi
berkembang lebih dulu. Kemampuan kognisi kemudian menentukan kemampuan anak-
anak bernalar mengenai dunia sosialnya.
Piaget membagi tahap perkembangan moral menjadi dua, yatu tahap moralitas
heteronom dan tahap moralitas otonom. Tahap moralitas heteronom terjadi pada usia
anak-anak awal yaitu sekitar usia 4 tahun hingga 7 tahun. Slavin (2011) menyebutnya
juga sebagai tahap “realisme moral” atau “moralitas paksaan”. Kata Heteronom berarti
tunduk pada aturan yang diberlakukan orang lain. Selama periode heteronom, seorang
anak kecil selalu dihadapkan terhadap orang tua atau orang dewasa lain yang
memberitahukan kepada mereka manakah hal yang salah dan manakah hal yang benar.
Pada usia ini, seorang anak akan memikirkan bahwa melanggar aturan akan selalu
dikenakan hukuman dan orang yang jahat pada akhirnya akan dihukum. Selain itu
Piaget (dalam Slavin, 2011) menegaskan bahwa anak pada usia kanak-kanak awal

iii
menilai sebuah perilaku yang jahat adalah hal yang menghasilkan konsekuensi negatif
sekalipun maksudnya adalah sebuah kebaikan.
Sedangkan tahap moralitas kedua menurut Piaget adalah tahap moralitas
otonom. Tahap moralitas otonom ini terjadi pada usia diatas 6 tahun atau pada masa
pertengahan dan akhir anak-anak. Pada usia 10 hingga 12 tahun, anak-anak mulai tidak
menggunakan dan menaati aturan dari suara hati. Moralitas otonom disebut pula
sebagai moralitas kerja sama. Moralitas tersebut muncul ketika dunia sosial anak itu
meluas hingga meliputi makin banyak teman sebaya. Dengan terus-menerus
berinteraksi dan bekerja sama dengan anak lain, gagasan anak tersebut tentang aturan
dan karena itu juga moralitas akhirnya berubah.
c. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Faktor yang paling mempengaruhi penilaian moral adalah keluarga. Rice (
dalam Suciati, 2008) penelitian mengenai perkembangan moral anak dan remaja
menekankan pentingnya peran orang tua dan keluarga. Terdapat beberapa faktor
keluarga yang berhubungan secara signifikan dengan pembelajaran moral pada anak
1) Tingkat kehangatan, penerimaan dan kepercayaan yang ditunjukan terhadap
anak. Anak cenderung mengagumi dan meniru orangtua yang hangat,
sehingga menumbuhkan sifat yang baik pada anak. Teori differential
assosiation dari Sutherland dan Cressey (dalam Suciati, 2008) menjelaskan
bahwa prioritas, durasi, intensitas dan frekuensi dari hubungan orangtua
anak memfasilitasi pembelajaran moral dan perilaku kriminal pada anak.
Hubungan orangtua anak yang dianggap penting (prioritas tinggi) dalam
jangka waktu yang lama (durasi tinggi), dikarakteristikan dengan kedekatan
emosi (intensitas tinggi) serta jumlah kontak dan komunikasi yang maksimal
(frekuensi tinggi), memiliki efek positif pada perkembangan moral anak.
2) Frekuensi interaksi dan komunikasi antara orangtua dan anak. Teori role
modelling mengatakan bahawa identifikasi anak terhadap orangtua
dipengaruhi frekuensi interaksi orangtua anak. Orangtua yang sering
berinteraksi secara intensif dengan anaknya cenderung lebih mempunyai

iii
pengaruh terhadap kehidupan anaknya. Interaksi orangtua-anak memberikan
kesempatan untuk pembahasaan nilai-nilai dan norma-norma, terutama bila
interaksi dilakukan secara demokratis dan bersifat mutual.
3) Tipe dan tingkat disiplin yang dijalankan orangtua. Hasil penelitian
menunjukan bahwa disiplin mempunyai efek yang positif terhadap
pembelajaran moral ketika:
a) Konsisten, baik intraparent
b) Kontrol terutama dilakukan secara verbal melalui penjelasan guna
mengembangkan kontrol internal pada anak. Orangtua yang melakukan
penjelasan verbal secara jelas dan resional menghasilkan internalisasi
nilai dan standar pada anak, terutama ketika penjelasan disertai dengan
afeksi sehingga anak cenderung untuk menerima. Remaja menginginkan
dan membutuhkan arahan orangtua.
c) Adil dan sesuai serta menghindari kekerasan Orangtua yang
menggunakan kekerasan menyimpang dari tujuan disiplin, yaitu,
mengembangkan hati nurani, sosialisasi, dan kooperasi (Herzberger and
Tennen, 1985, dalam Rice, 1993). Orangtua yang terlalu permisif juga
menghambat perkembangan sosialisasi dan moral anak karena mereka
tidak memberikan bantuan untuk mengembangkan kontrol dalam diri
anak.
d) Bersifat demokratis, bukan permisif ataupun autokratik.
4) Contoh yang diberikan orangtua bagi anak. Hasil penelitian menunjukan
bahwa perilaku menyimpang ayah berkorelasi secara signifikan dengan
perilaku devian anak pada masa remaja dan dewasa. Sangatlah penting bagi
orangtua untuk menjadi sosok yang bermoral jika ingin memberikan model
positif bagi anak mereka untuk ditiru.
5) Kesempatan untuk mendiri yang disediakan orangtua. melakukan disiplin
maupun interparent (konsisten antara kedua orangtua). Pengaruh peer juga
penting bagi perkembangan anak. Kontak sosial dengan orang-orang dari

iii
budaya dan latar belakang sosiale konomi yang berbeda membantu
perkembangan moral
Selanjutnya, Kohlberg (dalam Santrock, 2011) menekankan bahwa cara
berfikir tentang moral berkembang dalam tahapan. Tahapan ini, menurut
Kohlberg bersifat universal. Dalam teorinya, Kohlberg mendasarkan teori
perkembangan moral pada prinsip-prinsip perkembangan moral Piaget. Konsep
dari penalaran moral Kohlberg ini merupakan perubahan perkembangan dari
perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang
dikendalikan secara internal.
Kohlberg (dalam Santrock, 2011) menggambarkan tiga tingkatan
penalaran tentang moral dan setiap tingkatnya memiliki 2 tahapan, yaitu :
1. Penalaran Prakonvensional adalah tingkat terendah dari penalaran
moral menurut Kohlberg. Pada tahap ini baik dan buruk diinterpretasikan
melalui reward (imbalan) dan punishment (hukuman) eksternal.
a. Tahap 1, moralitas heteronom adalah tahap pertama dalam penalaran
prakonvensional. Pada tahap ini, penalaran moral terkait dengan punishment.
Sebagai contoh anak berfikir bahwa mereka harus patuh karena mereka takut
hukuman terhadap perilaku membangkang.
b. Tahap 2, individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran adalah
tahap kedua dari penalaran prakonvensional. Pada tahap ini, penalaran individu
yang memikirkan kepentingan diri sendiri adalah hal yang benar dan hal ini
juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, menurut mereka apa yang benar
adalah sesuatu yang melibatkan pertukaran yang setara. Mereka berpikir
apabila mereka baik terhadap oaring lain maka orang lain akan baik terhadap
mereka juga.
2. Penalaran konvensional, yaitu tingkat kedua atau menengah dalam
teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini, individu

iii
memberlakukan standart tertentu, tetapi standart ini ditetapkan oleh orang lain,
misalnya orang tua atau pemerintah.
a. Tahap 3, ekspektasi interpersonal mutual, hubungan dengan orang
lain, dan konformitas interpersonal merupakan tahap ketiga dari tahap
perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini individu menghargai
kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar dari
penilaian moral. Anak dan remaja seringkali mengadopsi standart moral orang
tua dalam tahap ini agar dianggap sebagai anak yang baik.
b. Tahap 4, moralitas system sosial adalah tahap keempat menurut teori
Kohlberg. Pada tahap ini, penilaian moral didasari oleh pemahaman tentang
keteraturan di masyarakat, hukum, keadilan, dan kewajiban.
2. 6 Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial dan emosional berkaitan sangat erat. Baik pengaturan emosi
(berada dalam kendali emosi) maupun ekspresi emosi (komunikasi efektif tentang
emosi) dierlukan bagi keberhasilan hubungan interpersonal. Selanjutnya, kemajuan
perkembangan kognitif meningkatkan kualitas hubungan interpersonal karena
membuat remaja mampu memahami dengan lebih baik keinginan, kebutuhan,
perasaan, dan motivasi orang lain. Karena itulah, tidak mengherankan, dengan makin
kompleksnya pikiran, emosi, dan identitas pada masa remaja, hubungan sosialnya pun
makin kompleks (Oswalt, 2010)
Pada masa ini, remaja menunjukkan beberapa ciri: (Oswalt, 2010)
1. Keterlibatan dalam hubungan sosial pada masa remaja lebih mendalam dan secara
emosional lebih intim dibandingkan dengan pada masa kanak-kanak.
2. Jaringan sosial sangat luas, meliputi jumlah orang yang semakin banyak dan jenis
hubungan yang berbeda (misalnya dalam hubungan dengan teman sekolah untuk
menyelesaikan tugas kelompok, berinteraksi dengan pimpinan dalam cara yang penuh
penghormatan).
3. Menurut Erikson, dalam perkembangan psikososial, remaja harus menyelesaikan
krisis yang terjadi pada masa remaja. Istilah krisis digunakan oleh Erikson untuk

iii
menggambarkan suatu rangkaian konflik internal yang berkaitan dengan tahap
perkembangan; cara seseorang mengatasi krisis akan menentukan identitas pribadinya
maupun perkembangannya di masa datang.Pada masa remaja, krisis yang terjadi
disebut sebagai krisis antara identitas versus kekaburan identitas. Krisis menunjukkan
perjuangan untuk memperoleh keseimbangan antara mengembangkan identitas
individu yang unik dengan “fitting-in” (kekaburan peran tentang “siapa saya”, “apa
yang akan dan harus saya lakukan dan bagaimana caranya”, dan sebagainya). Jika
remaja berhasil mengatasi krisis dan memahami identitas dirinya, maka ia akan dengan
mudah membagi “dirinya” dengan orang lain dan mampu menyesuaikan diri (well-
adjusted), dan pada akhirnya ia akan dapat dengan bebas menjalin hubungan dengan
orang lain tanpa
kehilangan identitas dirinya. Sebaliknya, jika remaja gagal mengatasi krisis, ia akan
tidak yakin tentang dirinya, sehingga akan terpisah dari hubungan sosial, atau bisa jadi
justru mengembangkan perasaan berlebih-lebihan tentang pentingnya dirinya dan
kemudian mengambil posisi sebagai ekstremis. Jika ia masuk pada kondisi ini, maka
ia tidak akan mampu menjadi orang dewasa yang matang secara emosi.

iii
BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan merupakan
suatu perubahan, dan perubahan tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Ciri-
ciri perkembangan adalah terjadinya perubahan dalam aspek fisik misalnya bagi kaum
remaja pria tinggi badan, mulai tumbuh jakun, perubahan suara menjadi lebih besar,
tumbuh kumis atau jenggot, tumbuh rambut di dada dan organ kelamin. Bagi remaja
wanita membesarnya payudara, pinggul melebar, suara lebih nyaring, timbul jerawat,
tumbuh rambut di ketiak dan organ kelamin. Sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi fisik remaja meliputi faktor sistem endoktrin, keluarga, (heredity),
lingkungan,
3. 2 Saran
Setelah mendapatkan ilmu yang dipelajari melalui makalah ini, sebaiknya di
terapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengetahui bagaimana perkembangan
remaja itu sendiri. Bagi mahasiswa yang telah mengembangkannya,harap mampu
membagi ilmu dan pengetahuan tentang materi perkembangan remaja.

iii
DAFTAR PUSTAKA

D. Gunarsa, Singgih. 1992. Psikologi Remaja. Jakarta: Gunung Mulia


Hurlock, B. Elizabeth, 2003. Psikologi Perkembangan: Suatu Pengantar Sepanjang
Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga.
Monks, F.J. & Knoers, 2002. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai
Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sitorus, Masganti, 2012. Perkembangan Peserta Didik. Medan: Penerbit Perdana
Publishing,/IKAPI

iii

Anda mungkin juga menyukai