Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KLIEN DENGAN TRAUMA WAJAH (MAKSILOFASIAL)

Sebagai Syarat Lulus Departemen Surgical

Ruang 13 Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang

Disusun Oleh :
Dwi Yuliani
NIM.0810720028

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA WAJAH (MAKSILOFASIAL)

1. Definisi Trauma Maksilofasial


Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk
wajah. Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian,
ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah. Bagian
yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita
dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior,
dan tulang vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula
termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah wajah.
Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan
keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang
menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah
adalah tulang kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang
mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud
dengan trauma jaringan lunak adalah:
- Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato
- Cedera saraf, cedera saraf fasial
- Cedera kelenjar paratiroid atau duktus Stensen
- Cedera kelopak mata
- Cedera telinga
- Cedera hidung
2. Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua
setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun,
besar cranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam
tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia. Daerah
maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di
mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface tersebut.
Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di mana
rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana patah tulang
hidung, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit terjadi.
Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana patah
tulang yang terisolasi ke rahang bawah.
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.
Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris),
dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata(orbita).
a. Bagian hidung terdiri atas :
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya di sebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut
mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan
Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan
bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari
tulang tapis yang tegak.
b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua
tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua dua buah
tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari dua
bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu.
Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoids tempat melekatnya
otot.
3. Facial danger zones (Zona bahaya wajah)
Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di
beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila
terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat
fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger zone.
4. Epidemiologi
Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari
seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.Soetomo. Kejadian fraktur
mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing
sebesar 29,85 %, disusul fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur nasal 12, 66 %. Penderita
fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif,yaitu usia 21-30 tahun,
sekitar 64,38 % disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah
cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan
lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor.
5. Etiologi Trauma Maksilofasial
Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh
kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang
yang paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan
masyarakat yang paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka
untuk serangan dan kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan
patah tulang yang sering melibatkan midface, terutama pada pasien yang tidak memakai
sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain dari trauma wajah termasuk trauma
penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan anak-anak dan orang tua.

Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus
rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang
Penyebab pada orang dewasa Persentase (%) per
Kecelakaan lalu lintas 40-45
tahunnya.
Penganiayaan / berkelahi 10-15
Olahraga 5-10
Jatuh 5
Lain-lain 5-10
Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling
banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).

Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial :

Penyebab pada orang anak Persentase (%)


Kecelakaan lalu lintas 10-15

Penganiayaan / berkelahi 5-10


Olahraga (termasuk naik sepeda) 50-65
Jatuh 5-10

6. Klasifikasi Trauma Maksilofasial


Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan
keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya
disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau
pisau dan golok pada perkelahian.
a. Trauma jaringan lunak wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma
dari luar.
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :
 Berdasarkan jenis luka dan penyebab:
- Ekskoriasi
- Luka sayat, luka robek , luka bacok
- Luka bakar
- Luka tembak
 Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
- Dikaitkan dengan unit estetik
b. Trauma jaringan keras wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi
dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari
terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan
berdasarkan:
 Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetika
- Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla,
mandibulla, gigi dan alveolus
- Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur
kompleks mandibular
 Berdasarkan Tipe fraktur :
- Fraktur simple
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada
kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur
tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut.
Termasukgreenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada
anak dan jarang terjadi.
- Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak.
Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan
hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke
rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan
sobekan pada kulit.
- Fraktur komunisi
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti
peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau
remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur
kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.
 Fraktur patologis
keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang,
seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang
sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.
7. Lokasi Anatomis Fraktur Maksilofasial
a. Fraktur Sepertiga Bawah Wajah (Fonseca, 2005)
Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.
Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah :
 Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka
terbuka keluar baik melewati kulit, mukosa, maupun membran periodontal.
 Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar
termasuk kulit, mukosa, maupun membran periodontal , yang berhubungan
dengan patahnya tulang.
 Comminuted : merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.
 Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu
sisi lainnya melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.
 Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius
yang dikarenakan adanya penyakit tulang.
 Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang
yang sama tidak berhubungan satu sama lain.
 Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke
bagian lainnya.
 Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya
tulang, biasanya pada tulang mandibula orang tua.
 Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya
luka.
 Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan
dengan jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya,
bisa simple atau compound.
Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya:
 Midline : fraktur diantara incisal sentral
 Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis
alveolar yang berbatasan dengan otot masseter (termasuk sampai gigi
molar 3)
 Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus
 Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot
masseter hingga perlekatan poesterosuperior otot masseter (dari mulai
distal gigi molar 3)
 Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk
dua garis apikal pada sigmoid notch
 Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio
ramus
 Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior
mandibula hingga regio ramus
 Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.
b. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah
Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang
palatina, dan tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan
tiga rongga utama wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa orbital.
Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila membesar sesuai dengan
perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah
ini menyebabkan regio ini sangat rentan terkena fraktur.
Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :
 Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)
Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan
menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur
ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating
jaw. Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya
edema.
 Fraktur Le Fort tipe II
Fraktur Le Fort tipe II biasa juga disebut dengan fraktur piramidal. Manifestasi
dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai juga dengan
ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign. Biasanya ditemukan juga
hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma
langsung atau karena laju perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya
tercatat dan tidak jarang berhubungan dengan open bite. Pada fraktur ini
kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan
sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat
ditemukan pada kasus ini.
Fraktur Le Fort II (Fonseca, 2005)
 Fraktur Le Fort III
Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III (gambar 2.6)
menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada
kasus fraktur ini ialah remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang
zygomatikomaksila kompleks, disertai pula dengan keluarnya cairan
serebrospinal, edema, dan ekimosis periorbital.

Fraktur Le Fort III (Fonseca, 2005)


c. Fraktur Sepertiga Atas Wajah
Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima
orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressedke
dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang dapat meluas ke daerah
wajah yang lain.

8. Patofisiologi Trauma Maksilofasial


Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa
dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi
menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-
dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi.
Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang
dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi
supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan
tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang
diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagiananterior
dan / atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat
terjadi jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang
terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan
menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini
kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita.
Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera
okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.
Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.
Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke
tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial,
aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.
Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic
dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.
Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah tulang
dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal,
zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid.
Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit.
Cedera mata serentak yang umum.
Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-
rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari
lokasi trauma langsung.
Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi
langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang
atas atau rahang bawah
Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan
cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah
9. Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
 Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada
fraktur mandibular
 Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur
 Rasa nyeri pada sisi fraktur
 Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas
 Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi
daerah fraktur
 Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
 Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur
 Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
 Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah
nervus alveolaris
 Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus
10. Pemeriksaan Penunjang
a. Wajah Bagian Atas :
- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
- CT-scan aksial koronal
- Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala
b. Wajah Bagian Tengah :
- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
- CT scan aksial koronal
- Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan
posteroanterior (Caldwells), Submentovertek (Jughandles)
c. Wajah Bagian Bawah :
- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D
- Panoramic X-ray
- Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi:
Posteroanterior (Caldwells)
Posisi lateral (Schedell)
Posisi towne
11. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah selain dari
factor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian
oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan
oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi,
tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan
menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO 2 ini
yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic
paralisis. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk
mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur
dapat mencegah peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
 Bedrest total
 Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
 Pemberian obat-obatan: Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-
edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
 Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
 Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa
40%, atau gliserol 10%.
 Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol.
 Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan
apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama
dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
 Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari
pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer
dextrosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300
TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
12. Komplikasi
- Perdarahan ulang
- Kebocoran cairan otak
- Infeksi pada luka atau sepsis
- Timbulnya edema serebri
- Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
- Nyeri kepala setelah penderita sadar
- Konvulsi
13. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera dan
mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vital
- Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara berjalan tidak
tegap, masalah dlm keseimbangan, cedera/trauma ortopedi, kehilangan tonus otot.
- Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia)
- Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda :Cemas,mudah tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi
- Eliminasi
Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi
- Makanan/cairan
Gejala : mual,muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : muntah,gangguan menelan
- Neurosensori
Gejala :Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope,tinitus,kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan
pengecapan dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan penginderaan, wajah tdk simetris, genggaman lemah
tidak seimbang, kehilangan sensasi sebagian tubuh
- Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri, nyeri yang
hebat,merintih
- Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak,ronkhi,mengi
- Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
- Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna,tanda batle disekitar telinga,adanya aliran
cairan dari telinga atau hidung
- Gangguan kognitif
- Gangguan rentang gerak
- Demam
Diagnosa Keperawatan
- Risiko tinggi peningkatan tekanan intracranial yang berhubungan dengan desak
ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma.
- Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat
pernapasan di otak, kelemahan oto-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan.
- Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan
sputum, peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan
keletihan, adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk
efektif.
- Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan
refleks spasme otot sekunder.
- Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Rencana Keperawatan

DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma,
subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah,
GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasionalisasi
Mandiri
Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi,
individu/penyebab koma/penurunan perfusi mengkaji status neurologis/ tanda-tanda
jaringan dan kemungkinan penyebab kegagalan untuk menentukan perawatan
peningkatan TIK. kegawatan atau tindakan pembedahan.
Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral
terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai
dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari
autoregulator kebanyakan merupakan
tanda penurunan difusi local vaskularisasi darah
serebral. Dengan peningkatan tekanan darah
(diastolic) maka dibarengi dengan peningkatan
tekanan darah intrakrinial. Adanya peningkatan
tekanan darah, bradikardi, disritmia, dispnea
merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola
reaksi terhadap cahaya. mata merupakan tanda dari gangguan
nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi
pupil diatur oleh saraf III cranial (okulomotorik)
yang menunjukkan keseimbangan antara
parasimpatis dan simpatis. Respon terhadap
cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf
cranial II dan III.
Monitor temperatur dan pengaturan suhu Panas merupakan refleks dari hipotalamus.
lingkungan. Peningkatan kebutuhan metabolism dan O2 akan
menunjang peningkatan TIK/ ICP (Intracranial
Pressure).
Pertahankan kepala/ leher pada posisi yang Perubahan kepala pada satu sisi dapat
netral, usahakan dengan sedikit bantal. menimbulkan penekanan pada vena jugularis
Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada dan menghambat aliran darah otak
kepala. (menghambat drainase pada vena serebral),
untuk itu dapat meningkatkan TIK
Berikan periode istirahat antara tindakan Tindakan yang terus-menerus dapat
perawatan dan batasi lamanya prosedur. meningkatkan TIK oleh efek rangsangan
kumulatif.
Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa Memberikan suasana yang tenang (colming
nyaman seperti masase punggung, lingkungan effect) dapat mengurangi respons psikologis dan
yang tenang. Sentuhan yang ramah, dan memberikan istirahat untuk mempertahankan
suasana / pembicaraan yang tidak gaduh. TIK yang rendah.
Cegah/hindarkan terjadinya valsava maneuver Mengurangi tekanan intratorakal dan
intraabdominal sehingga menghindari
peningkatan TIK.
Bantu klien jika batuk, muntah Aktivitas ini dapat meningkatkan
intrathorakal/tekanan dalam thoraks dan tekanan
dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat
meningkatkan tekanan TIK.
Kaji peningkatan istirahat dan tingkat laku. Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi
peningkatan TIK atau memberikan refleks nyeri
dimana klien tidak mampu mengungkapkan
keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun
dapat meningkatkan TIK.
Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, Dapat meningkatkan repons otomatis yang
pertahankan drainase urine secara paten jika potensial menaikkan TIK.
di gunakan dan juga monitor terdapatnya
konstipasi.
Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan Meningkatkan kerja sama dalam meningakatkan
keluarga tentang sebab-sebab TIK meningkat. perawatan klien dan mengurangi kecemasan.
Observasi tingkat kesadaran dengan GCS. Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan
TIK dan berguna menentukan lokasi dan
perkembangan penyakit.
Kolaborasi :
Pemberian O2 sesuai indikasi. Mengurangi hipoksemia, dimana dapat
meningkatkan vasodilatasi serebral, volume
darah, dan menaikkan TIK.
Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah
darah dari dalam intracranial. dilakukan bila kemungkinan terdapat tanda-tanda
deficit neurologis yang menandakan peningkatan
ntrakranial.
Berikan cairan intravena sesuai indikasi. Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk
mengurangi edema serebral, peningkatan
minimum pada pembuluh darah, tekanan darah
dan TIK.
Berikan obat osmosis diuretic contohnya : Diuretic mungkin digunakan pada fase akut
manitol, furoscide. untuk mengalirkan air dari sel otak dan
mengurangi edema serebral dan TIK.
Berikan steroid contohnya : dexamethason, Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan
methyl prenidsolon. mengurangi edema jaringan.
Berikan analgesic narkotik contoh : kodein. Mungkin di indikasikan untuk mengurangi nyeri
dan obat ini berefek negatif pada TIK tetapi
dapat digunakan dengan tujuan untuk mencegah
dan menurunkan sensasi nyeri.
Berikan antipiretik contohnya : asetaminofen. Mengurangi/mengontrol hari dan pada
metabolisme serebral/oksigen yang diinginkan.
Monitor hasil laboratorium sesuai dengan Membantu memberikan informasi tentang
indikasi seperti prothrombin, LED. efektifitas pemberian obat.

DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat


pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena
trauma.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali
efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan
pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi Rasional
Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan
peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak
yang sakit. Dorong klien untuk duduk sakit.
sebanyak mungkin.
Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau Distress pernapasan dan perubahan pada tanda
perubahan tanda-tanda vital. vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi
dan nyeri atau dapat menunujukkan terjadinya
syok sehubungan dengan hipoksia.
Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
dilakukan untuk menjamin keamanan. mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik.
Jelaskan pada klien tentang etiologi/factor Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
pencetus adanya sesak atau kolaps paru- mengurangi ansietas dan mengembangkan
paru. kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
Pertahankan perilaku tenang, bantu klien Membantu klien mengalami efek fisiologi
untuk control diri dengan menggunakan hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai
pernapasan lebih lambat dan dalam. ketakutan/ansietas.
Periksalah alarm pada ventilator sebelum Ventilator yang memiliki alarm yang bias dilihat
difungsikan. Jangan mematikan alarm. dan didengar misalnya alarm kadar oksigen,
tinggi/rendahnya tekanan oksigen.
Tarulah kantung resusitasi disamping tempat Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat
tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu- berguna untuk mempertahankan fungsi
waktu dapat digunakan. pernapasan jika terjadi gangguan pada alat
ventilator secara mendadak.
Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan Melatih klien untuk mengatur napas seperti
jika ventilator tiba-tiba berhenti. napas dalam, napas pelan, napas perut,
pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat
membantu memaksimalkan fungsi dan system
pernapasan.
Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai
rutin. kesiapan perawat dalam memberikan tindakan
Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa pada penyakit primer setelah menilai hasil
tekanan oksigen dalam tabung, monitor diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.
manometer untuk menganalisis batas/kadar
oksigen.
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg). periksa
fungsi spirometer.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi. mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas
Pemberian antibiotik. pengembangan parunya.
Pemberian analgesic.
Fisioterapi dada.
Konsul foto thoraks.

DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan
pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder
akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas
sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran
pernapasan.
Intervensi Rasional
Kaji keadaan jalan napas Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh
akumulasi sekret, sisa cairan mucus,
perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi
dari endotracheal/tracheostomy tube yang
berubah.
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi Pergerakan dada yang simetris dengan suara
suara napas pada kedua paru (bilateral). napas yang keluar dari paru-paru menandakan
jalan napas tidak terganggu. Saluran napas
bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelektasis akan menimbulkan
perubahan suara napas seperti ronkhi atau
wheezing.
Monitor letak/posisi endotracheal tube. Beri Endotracheal tube dapat saja masuk ke dalam
tanda batas bibir. bronchus kanan, menyebabkan obstruksi jalan
Lekatkan tube secara hati-hati dengan napas ke paru-paru kanan dan mengakibatkan
memakai perekat khusus. klien mengalami pneumothoraks.
Mohon bantuan perawat lain ketika memasang
dan mengatur posisi tube.
Catat adanya batuk, bertambahnya sesak Selama intubasiklien mengalami refleks batuk
napas, suara alarm dari ventilator karena yang tidak efektif, atau klien akan mengalami
tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret kelemahan otot-otot pernapasan
melalui endotracheal/tracheostomy tube, (neuromuscular/neurosensorik), keterlambatan
bertambahnya bunyi ronkhi. untuk batuk. Semua klien tergantung dari
alternatif yang dilakukan seperti mengisap lender
dari jalan napas.
Lakukan penghisapan lender jika diperlukan, Pengisapan lendir tidak selamanya dilakukan
batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau terus-menerus, dan durasinya pun dapat
lebih. Gunakan kateter pengisap yang sesuai, dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia.
cairan fisiologis steril. Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih dari
Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan 50% diameter endotracheal/tracheostomy tube
pengisapan dengan ambu bag (hiperventilasi). untuk mencegah hipoksia.
Dengan membuat hiperventilasi melalui
pemberian oksigen 100% dapat mencegah
terjadinya atelektasis dan mengurangi terjadinya
hipoksia.
Anjurkan klien mengenai tekhik batuk selama Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret
pengisapan seperti waktu bernapas panjang, dari saluran napas.
batuk kuat, bersin jika ada indikasi.
Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi
2jam). segmen paru-paru, mengurangi risiko
atelektasis.
Berikan minum hangat jika keadaan Membantu pengenceran sekret, mempermudah
memungkinkan. pengeluaran sekret.
Jelaskan kepada klien tentang kegunaan Pengetahuan yang diharapkan akan membantu
batuk efektif dan mengapa terdapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap
penumpukan sekret di saluran pernapasan. rencana terapeutik.
Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan
pengontrolan batuk. dan tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi.
Napas dalam dan perlahan saat duduk Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
setegak mungkin.
Lakukan pernapasan diafragma. Pernapasan diafragma menurunkan frekuensi
napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
Tahap napas selama 3-5 detik kemudian Meningkatkan volume udara dalam paru,
secara perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
mungkin melalui mulut.
Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan Pengkajian ini membantu mengevaluasi
dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek keefektifan upaya batuk klien.
dan kuat.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien Sekresi kental sulit untuk di encerkan dan dapat
batuk. menyebabkan sumbatan mucus, yang mengarah
pada atelektasis.
Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan Untuk menghindari pengentalan dari sekret atau
viskositas sekresi. : mempertahankan hidrasi mosa pada saluran napas pada bagian atas.
yang adekuat; meningkatkan masukan cairan
1000-1500 cc/hari bila tidak ada
kontraindikasi.
Dorong atau berikan perawatan mulut yang Higine mulut yang baik meningkatkan rasa
baik setelah batuk. kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan Ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan
fisioterapi. lendir dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien
Pemberian ekspektoran. atas pengembangan parunya.
Pemberian antibiotic.
Fisioterapi dada.
Konsul foto thoraks
Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan
seperti postural drainage, perkusi/penepukan. pengeluaran sekret.
Berikan obat-obat bronchodilator sesuai Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret
indikasi seperti aminophilin, meta-proterenol karena relaksasi muscle/bronchospasme.
sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride
(bronkosol).

DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
pereda nyeri nonfarmakologi dan non-invasif. nonfarmakologi lainnya telah menunujukkan
keefektifan dalam mengurangi nyeri.
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan Akan melansarkan peredaran darah sehingga
otot rangka, yang dapat menurunkan kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan
intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi akan mengurangi nyerinya.
masase.
Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut. Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang
menyenangkan.
Berikan kesempatan waktu istirahat bala Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan
terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
misalnya ketika tidur, belakangnya dipasang
bantal kecil.
Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab Pengkajian yang optimal akan memberikan
nyeri dan respons motorik klien, 30 menit perawat data yang objektif untuk mencegah
setelah pemberian obat analgesic untuk kemungkinan komplikasi dan melakukan
mengkaji efektivitasnya serta setiap 1-2 jam intervensi yang tepat.
setelah tindakan perawatan selama 1-2 hari.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri
analgetik. akan berkurang.

DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi,


nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d
minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan
motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda
peningktan TIK,
Intervensi Rasional
Kaji ulang tanda-tanda vital Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat
klien dan status relirologis klien kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan
dan perkembangankerusakan ssp.
Monitor tekanan darah, catat adanya Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti
hipertensi sistolik secara teratur dan tekanan penurunan tekanan darah distolik (nadi yang
nadi yang makin berat, obs, ht, pada klien membesar) merupakan tanda terjadinya
yang mengalami trauma multiple. peningkatan TIK, juga diikuti ( yang berhubungan
dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht (yang
berhubungan dengan trauma multiples) dapat
mengakibatkan kerusakan / iskemik serebral.
Monitor Heart Rate, catat adanya bradikardi, Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia)
takikardi atau bentuk disritmia lainya. dan disritmia dapat timbul yang encerminkan
adanya depresi / trauma pada batang otak pada
pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung
sebelumnya.
Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme, Nafas tidak teratur menunjukkan adanya
seperti periode apnea setelah hiperventilasi gangguan
(pernafasan cheyne – stokes). serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan
intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan
dukungan nafas buatan.
Kaji perubahan pada penglihatan ( penglihatan Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh
kabur, ganda, lap. Pandang menyempit kerusakan mikroskopik pada otak,
dan kedalaman persepsi. merupakan konsekuensi terhadap keamanan
dan juga akan mempngaruhi pilihan intervensi
Pertahankan kepala / leher pada posisi Kepala yang miring pada salah satu sisi
tengah/ pada posisi netral. Sokong dengan menekan vena jugularis dan menghambat aliran
handuk kecil / darah lain yang selanjutnya akan
bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar meningkat TIK.
pada kepala
Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 – Meningkatkan aliran balik vena dari kepala,
45o sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi. sehingga mengurangi kongesti dan edema
/ resiko terjadinya peningkatan TIK.
Kolaborasi pemberian O2 tambahan sesuai Menurunkan hipoksemia yang mana dapat
indikasi menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral
yang meningkatkan TIK.
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : - Untuk menurunkan air dari sel otak,
- Diuretik menurunkan edema otak TIK.
- Steroid - Menurunkan inflasi, yang
- Analgetik sedang selanjutnya menurunkan edema jaringan.
- Sedatif - Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat Θ
pada TIK tetapi harus digunakan dengan
hasil untuk mencegah gangguan
pernafasan.
- Untuk mengendalikan kegelisahan agitas
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth. Edisi 8. Jakarta:EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana
Asuhan. Jakarta:EGC
PATHWAY
Trauma Kepala dan Wajah

Kulit kepala Tulang kepala dan wajah Jaringan otak

Hematoma pada kulit Fr. Linear, fr. Comminuted, fr. Komusio, hematoma,
Depressed, fr. basis edema, kontusio

Cedera otak TIK ↑ Gangguan kesadaran,


gangguan TTV, kelainan
neurologis
Cedera otak primer Respon fisiologis otak
(Ringan, sedang, berat)
Hipoksemia serebral
Cedera otak skunder

Kelainan metabolisme
Kerusakan sel otak↑

↑ rangsangan simpatis Stress lokalis


Gangguan autoregulasi

↑ tahanan vascular ↑katekolamin, ↑sekresi


O2 ↓  gangguan sistemik asam lambung
metabolisme

↓ tek.pembuluh darah Mual, muntah


Aliran darah ke otak ↓ pulmonal

Intake nutrisi
↑ tekanan hidrostatik tidak adekuat
Produksi asam laktat ↑

Kebocoran cairan
kapiler
Edema otak

Edema paru
Gangguan perfusi
jaringan serebral ↓ Gangguan perfusi jaringan

Curah jantung ↓

Difusi O2 terhambat

Gangguan pola nafas Hipoksemia, hiperkapnea

Anda mungkin juga menyukai