Anda di halaman 1dari 14

Tugas III

TK5070 TEKNOLOGI BIOPROSES LANJUT

BIOKATALIS

‘Ceriporiopsis subvermispora’

Dosen:

Dr. Ardiyan Harimawan

Oleh:
Tantry Eko Putri M. 23018016
Farah Nuranjani 23018017
Merymistika Yufrani Afred 23018030
Rizqan Jamal 23018044

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Oktober 2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... i


I. Karakteristik dan Taksonomi ..................................................................... 1
1.1 Karakteristik C. subvermispora .............................................................. 1
1.2 Taksonomi C. subvermispora ................................................................ 4
II. Isolasi dan Pemuliaan ................................................................................ 4
2.1 Isolasi C. subvermispora ....................................................................... 4
2.1 Pemuliaan C. subvermispora ................................................................. 6
III. Penyediaan dan Optimasi Medium ............................................................ 7
3.1 Penyediaan Medium .............................................................................. 7
3.2 Optimasi Medium untuk Proses Produksi ............................................ 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. ii

i
I. Karakteristik dan Taksonomi
Bioproses dalam rangkaian proses pembuatan pulp dan kertas berperan
dalam tahapan pretreatment pulping (biopulping) dan biobleaching dengan
pemanfaatan jamur. Kelompok jamur yang mampu mendegradasi lignin
diantaranya adalah jamur pelapuk kayu, yang dikelompokkan menjadi jamur
pelapuk putih (white-rot jamur), jamur pelapuk coklat (brown-rot jamur) dan jamur
pelapuk lunak (soft-rot jamur). Salah satu yang termasuk dalam kelompok jamur
pelapuk putih adalah Gelatoporia subvermispora atau yang lebih dikenal
dengan nama ilmiah Ceriporiopsis subvermispora. Dalam hal ini jamur C.
subvermispora memiliki kemampuan untuk mendegradasi kandungan lignin
dalam kayu dengan memproduksi enzim lakase dan manganes peroksidase.
Karakteristik serta taksonomi dari jamur C. subvermispora adalah sebagai
berikut.

1.1 Karakteristik C. subvermispora


 Karakteristik morfologi C. subvermispora adalah sebagai berikut:
 Memiliki basidiocarp resupinate dengan warna lapisan lapisan pucat
berwarna krem
 Pori-pori lembut, bersudut, membelah saat kering
 Subiculum kecoklatan, jelas lebih gelap daripada lapisan pori, kornea
atau tulang rawan ketika kering
 Hifa tertentu tersusun secara horizontal, lebarnya tidak rata, berdiameter
3–7 μm, berdinding tipis atau agak tebal, ketika gelatin tua dan sulit
dilihat.
 Hifa dissepimenal tipis atau berdinding sangat tipis, membengkak secara
apikal, hingga 7 μm lebar, biasanya sangat bertatah dengan agregat yang
relatif besar dari kristal mirip "popcorn". Hifa subhymenial berdinding
sangat tipis, kaya cabang, selebar 2,5-3,5 μm.
 Ujung hifa jamur akan membesar dan menggelembung sebagai tempat
melekatnya sterigma. Sterigma adalah tangkai yang menyokong
konidium. Di dalam konidium terdapat spora vegetatif yang disebut
konidiospora. Reproduksi secara seksual dilakukan dengan membentuk
askokarp. Prosesnya, diawali dengan peleburan inti pada hifa yang

1
memiliki dua inti (hifa diploid) dan membentuk suatu badan (kantong)
yang disebut askokarp. Askokarp merupakan suatu kantong panjang
yang menghasilkan askospora.

Bentuk morfologi C. subvermispora ditampilkan dalam gambar dibawah ini.

Gambar 1. Morfologi C. subvermispora

Keterangan gambar (Kotiranta dkk 2007):


a. Subicular hyphae (Hifa berbentuk seperti tabung yang terbentuk dari
pertumbuhan spora atau konidia. Kumpulan hifa dapat membentuk massa
yang dikenal dengan miselum. Hifa dapat dengan mudah dilihat dengan
mata bila telah membentuk miselium.)
b. Encrusted dissepimental hyphae, encrusted = berkerak
c. Cristal dari trama (jaringan yang terdapat ditengan cendawan)
d. Basidia (jenis sporangium, yaitu struktur penghasil spora)
e. Spora.

 Kondisi optimum pertumbuhan


Jamur Ceriporiopsis subvermispora dapat dikategorikan sebagai jenis jamur
mesofil berdasarkan kondisi pH dan temperatur optimum untuk pertumbuhannya.

2
Tabel 1. Kondisi Optimum C. subvermispora
C. subvermispora
Suhu optimum 270C sampai 37 0C
Kelembaban udara (Rh) 65%
pH 4,5 – 5,5

 Parameter Kinetika
Parameter kinetika jamur C.subvermispora berdasarkan pengukuran
aktivitas enzim Mn-oksidase (OxOx) pada temperatur 25°C dengan luminescent
oxygen sensor disajikan pada tabel dibawah ini (Molina dkk, 2014).

Tabel 2. Parameter Kinetika C. subvermispora


Parameter OxOx – Citrate OxOx –
Buffer Succinate Buffer
Konsentrasi enzim [μM] 0.078 ± 0.004 0.078 ± 0.004
Umax [μM/s] 0.3 ± 0.15 3.0 ± 0.2
Ks [mM] 1.3 ± 0.9 0.17 ± 0.06
kcat [s-1] 4± 2 39 ± 4

 Yield biomassa
Perolehan yield biomassa bergantung pada komposisi C, H, O, N dan
mikronutrien seperti mangan, data pada tabel dibawa ini. Kondisi optimal untuk
produksi biomassa Ceriporiopsis subvermisspora tidak sesuai dengan kondisi
optimum untuk produksi enzim lakase (metabolit sekunder) (Chmelová dan
Miroslav, 2013).

Tabel 3. Yield Biomassa dari C. subvermispora


Komposisi Glucose Casein Manganese Dry Laccase
medium (g/l) hydrolysate ions (g/l) biomassa (U/l)
(g/l) (g/l)
I 50 25 0.203 6.9 4.2
II 3.2 17.5 0.5 6.44 570
Sumber : Chmelová, D dan Miroslav O. (2013)

3
1.2 Taksonomi C. subvermispora
Tabel 4. Taksonomi C. subvermispora
Level Nama
Super Kingdom Eukariot
Opisthokonta
Kingdom Jamur
Subkingdom Dikarya
Filum Basidiomycota
Subfilum Agaricomycotina
Kelas Agaricomycetes
Agaricomycetes incertae sedis
Orde Polyporales
Famili Gelatoporiaceae
Genus Gelatoporia
Spesies sinonim
Gelatoporia subvermispora

II. Isolasi dan Pemuliaan


2.1 Isolasi C. subvermispora
Tahapan proses isolasi jamur C. subvermispora sebagai berikut :
 Pengambilan Sampel
Sumber diperoleh dari alam yaitu kayu beberapa jenis pohon salah satunya
adalah kayu jati. Pengambilan jaringan kayu mati menggunakan metode sensus
(metode yang mengamati kayu mati secara keseluruhan), dengan luas areal 100
m x 200 m (2 Ha) dari luas keseluruhan daerah ± 5 Ha. Jaringan kayu mati yang
akan digunakan adalah ranting atau batang yang ditumbuhi jamur. Jaringan kayu
mati yang diambil dipisahkan menjadi tiga tipe pelapukan yaitu baru (kayu
tersebut masih segar, dan bergetah), sedang (pemucatan warna kayu atau
perubahan warna pada permukaan) dan lanjut (kayu berubah menjadi lapuk dan
akhirnya menjadi bahan organik) (Murtihapsari, 2008). Jaringan kayu mati yang
dibersihkan (Musa, dkk, 2012).

4
Gambar 2. Ukuran Pengambilan Sampel Kayu

 Isolasi Jamur
- Tahap pertama adalah penyediaan media campuran antara bubuk potato
dextrose agar (PDA) dengan air steril. Dalam pembuatanya diperlukan
19,5 g bubuk PDA untuk 500 mL air steril dicampurkan dengan 2 kapsul
antibiotik (kemisetin) yang berfungsi untuk mencegah perkembangbiakan
bakteri. Kemudian dipanaskan sampai mendidih pada hot plate dengan
suhu 200 °C serta diaduk dengan bantuan steerer selama prosesnya.
Setelah itu dibiarkan media hingga suhu tidak terlalu tinggi (hangat)
sehingga dapat dituang ke dalam cawan petri.
- PDA dituangkan ke dalam cawan petri di dalam laminar air flow untuk
mencegah kontaminasi dari udara. Dibiarkan selama 3 hari sehingga
media memadat dan untuk memastikan media steril atau terkontaminasi.
Bagian kayu yang terinfeksi jamur diambil, kemudian dibersihkan dengan
menggunakan air steril, dipotong persegi lalu dicuci dengan air steril
kemudian dikeringkan di atas tisu. Selanjutnya ditanam ke dalam media.
Diinkubasi cawan petri selama 3-4 hari pada rak kultur. Diamati
pertumbuhan jamur yang terbentuk. Biakan campuran yang tumbuh
selanjutnya dimurnikan pada media yang baru (Musa, dkk, 2012). Proses
penyiapan sample juga dapat dilakukan dengan cara substrat kayu lapuk
diambil sebanyak 5 g dihancurkan/digerus dalam mortar dengan pestil
yang sudah dibersihkan dengan alkohol 70%. Gerusan tersebut secara
aseptik dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer yang telah diisi dengan
aquades steril sebanyak 45 mL untuk memperoleh suatu suspensi sel
atau suspensi potongan hifa. Suspensi tersebut dikocok selama 1 menit,
selanjutnya dengan metode gores (streak), menggunakan jarum ose,

5
suspensi digoreskan ke permukaan agar medium PDA dalam cawan petri
(Gandjar dkk., 2006).

 Identifikasi Jamur
Uji Bavendamm (suatu metode pengujian sederhana dalam menentukan
kultur jamur, apakah termasuk jamur pelapuk putih atau jamur pelapuk cokelat)
dibuat dengan menambahkan 0,1% asam tannin ke dalam media PDA (Nishida
dkk., 1988). Bila pada permukaan media terbentuk warna cokelat, hal ini
mengindikasikan adanya aktivitas fenol oksidase, maka jamur tersebut termasuk
kelompok jamur pelapuk putih (Rayner dan Boddy, 1988).
Jamur yang tumbuh pada media Bavendamm dipotong dengan dengan
ukuran 3 mm x 3 mm dan dipindahkan ke kaca preparat sebanyak 3 potongan,
kemudian ditutup dengan kaca objek. Diletakkan kaca preparat tersebut ke
dalam cawan petri dan diberikan pelembab berupa tisu steril yang dibasahi
dengan air steril. Diinkubasi kotak selama 5-6 hari, setelah itu dibuang agar-agar
yang ada pada kaca preparat, diamati dan diidentifikasi jamur yang terlihat pada
mikroskop menyangkut hifa, basidispora dan ciri khusus tiap jamur. Ciri-ciri yang
diperoleh dicocokkan dengan buku identifikasi jamur untuk menentukan genus
jamur yang tumbuh (Musa, dkk, 2012).

 Pengembangan Inokulum
Tahapan pengembangan inokulum dilakukan dengan tujuan perbanyakan
sel jamur C. subvermispora. Metode yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
- Penyediaan media YMPG (yeast extract-malt extract-peptone-glucose).
- Ambil miselium jamur, potong-potong, dan buat pellet.
- Tanam jamur ke 20 mL media YMPG segar selama 18 jam pada suhu
25°C.
- Ambil miselium (dengan metode filtrasi) kemudian dilanjutkan dengan
tahapan pengenceran selanjutnya (Tello dkk 2001).

2.1 Pemuliaan C. subvermispora


Pemuliaan strain C. subvermispora dilakukan untuk menghasilkan stain
jamur yang mampu bekerja optimal. Salah satu cara adalah dengan

6
meningkatkan produksi enzim laccase, implantasi ion N+ menghasilkan starin
yang mampu menghasilkan laccase 4.79 kali lebih besar (Wang dkk 2012).
Metode implantasi ion N+ dapat dilakukan dengan cara berikut:
 Preparasi sampel
- Mensuspensikan spora dan diinokulasikan ke PDA plate, inkubasi selama
5 hari pada suhu 28°C.
- Miselia diambil dan dicuci, kemudian difilter untuk mengambil spora.
 Preparasi plaque implantation
- 0,5 mL suspensi spora dimasukkan ke dalam petri steril dan dikeringkan
dengan udara steril.
- Implantasi N+ digunakan dengan TITAN ion implanter dengan energi 30
keV dan 10-3 Pa. Ion diinjeksikan dengan 5 detik pulse injection dengan
variai volume injeksi.
- Sampel didilusi 10x lalu inkubasi pada suhu 28°C sampai koloni
terbentuk.
- Koloni diinokulasikan pada media guaiacol untuk memilih strain terbaik.
 Aktivitas lakase diukur dengan menggunakan:
- Substrat = 2, 2'-azino-bis (3- ethylbenzthiazoline-6-sulphonic acid) (ABTS)
- Larutan reaksi = (0,5 mL substrat, 2 mL dapar natrium-sitrat (pH 5), 0.5
mL larutan enzim.
- Inkubasi 5 menit pada suhu 25°C.
- Ambil sampel dan dalam waktu 3 menit ukur absorbansi dengan
spektrofotometer.

III. Penyediaan dan Optimasi Medium


3.1 Penyediaan Medium
Medium merupakan salah satu faktor yang paling menentukan dalam proses
pengembangan inokulum. Nutrisi – nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
harus terpenuhi agar mikroorganisme dapat tumbuh dengan baik. Pada proses
inokulasi jamur C. subvermispora, medium digunakan untuk fase pertumbuhan
dan menghasilkan metabolit sekunder (enzim). Komposisi medium yang
dibutuhkan pada kedua proses tersebut berbeda. Berikut penjelasan komposisi
medium yang dibutuhkan.

7
 Fase pertumbuhan
Jamur membutuhkan sumber energi untuk memperbanyak diri. Pada fase
ini, nutrisi pada medium, baik makronutrien maupun mikronutrien, diatur
sedemikian rupa hingga mencapai kondisi optimal untuk proses pertumbuhan
jamur. Chmelova dan Ondrejovic (2013) telah melakukan penelitian mengenai
optimasi nutrisi pada C. subvermispora, dimana pada penelitian tersebut medium
yang digunakan adalah basic mineral medium yang mengandung MgSO4. 7 H2O
0.5 g/L; NaCL 0.1 g/L; CaCl2 .2 H2O 0.1 g/L; CuSO4.5 H2O 0.1 mg/L; FeSO4.7
H2O 0.2 mg/L; MnSO4.H2O 0.02 mg/L dan ZnCl2 0.15 mg/L. Adapun komposisi
mediumnya adalah 50 mL medium cair yang mengandung basic mineral medium
dengan kandungan glukosa (0 – 100 g/L) sebagai sumber karbon dan hidrolisat
kasein (0 – 100 g/L) sebagai sumber nitrogen yang diinokulasi dengan 5 mL
suspensi miselium jamur. Kultur cair tersebut dijaga pada kondisi teraduk (min.
200 rpm) selama 15 hari pada temperatur 30°C dan pH 5.
Penggunaan komposisi ini menunjukkan jamur mencapai fase stasioner
setelah 12 hari dari awal kultivasi dan konsentrasi sumber karbon (glukosa)
menurun dibawah 1 g/L setelah 15 hari. Kemudian, produksi enzim lakase
diamati ketika konsentrasi glukosa pada medium mengalami penurunan hingga
mencapai titik kritisnya (sekitar 2 g/L). Berdasarkan penelitian ini, produksi enzim
lakase mencapai maksimum pada hari ke-19 seiring dengan menurunnya
produksi biomassa. Hal ini disebabkan karena setelah hari ke-15,
C.subvermispora tidak memiliki kandungan glukosa lagi sehingga fase
pertumbuhan diukur hanya sampai hari ke-15.
Konsentrasi glukosa yang terlalu rendah (0 g/L) tidak sesuai untuk
pertumbuhan jamur dan konsentrasi glukosa yang terlalu tinggi (100 g/L) akan
memberikan efek negatif bagi pertumbuhan jamur. Hasil yang diperoleh adalah
konsentrasi glukosa antara 15 – 50 g/L. Konsentrasi hidrolisat kasein yang terlalu
tinggi (50 – 100 g/L) memiliki efek negatif untuk pertumbuhan jamur sedangkan
konsentrasi hidrolisat kasein yang terlalu rendah (1, 1.66, dan 2.5 g/L)
menyebabkan pertumbuhan jamur menjadi lambat dan berhenti akibat kehabisan
sumber nitrogen. Selain kedua makronutrien tersebut, komposisi mikronutrien
diatur jumlahnya. Mikronutrien yang digunakan adalah ion magnesium, kalsium,
dan mangan (Mg2+, Ca2+, dan Mn2+). Ion Mg2+ dan Ca2+ menunjukkan tidak
memberikan efek pada pertumbuhan jamur sedangkan ion Mn2+ memberikan

8
pengaruh pada pertumbuhan jamur. Ion Mn2+ diperoleh dari senyawa MnSO4
yang terkandung pada basic mineral medium. Peningkatan konsentrasi ion Mn2+
akan meningkatkan pertumbuhan jamur. Berdasarkan hasil penelitian,
2+
konsentrasi ion Mn yang optimal berada pada rentang 0.203 sampai 0.797
mmol/L. Pada fase ini, kondisi nutrien yang baik untuk pertumbuhan jamur
adalah dengan konsentrasi glukosa 50 g/L dan nitrogen 25 g/L dengan
menghasilkan massa biomassa (jamur) sebesar 6.9 g/L. Pada fase ini juga,
aktivitas enzim lakase diukur dan menunjukkan nilai tertinggi yaitu 91.5 ± 0.5 U/L
pada komposisi medium dengan konsentrasi glukosa 32.5 g/L, konsentrasi
hidrolisat kasein 4.95 g/L, dan konsentrasi ion mangan 0.5 mmol/L serta 570.3 ±
71.0 U/L pada komposisi medium dengan konsentrasi glukosa 3.2 g/L,
konsentrasi hidrolisat kasein 17.5 g/L, dan konsentrasi ion mangan 0.5 mmol/L.
Kedua nilai aktivitas enzim lakase tersebut mengandung batas konsentrasi
hidrolisat kasein (4.95 g/L) dan glukosa (3.2 g/L).

 Fase menghasilkan enzim


Enzim dihasilkan pada fase logaritmik diperlambat hingga fase stasioner,
dimana enzim dapat disebut sebagai metabolit sekunder. Chmelova, et. al.
(2011) meneliti mengenai pengaruh kondisi kultivasi terhadap produksi enzim
lignoselulolitik dari C. subvermispora. Nutrien yang diteliti adalah sumber karbon,
nitrogen, dan mineral. Sumber karbon yang dipilih adalah glukosa, maltosa,
lignin, dan pati dengan konsentrasi 10 g/L. Sumber nitrogen yang digunakan
adalah amonium sulfat, urea, pepton, albumin, dan kalium nitrat dengan
konsentrasi 5 g/L. Seluruh nutrien tersebut dicampurkan bersama dengan basic
mineral medium yang komposisinya sama seperti pada penelitian optimasi
medium pada fase pertumbuhan diatas. Kondisi operasi pada temperatur 30°C
dan pH 5.
Berdasarkan hasil penelitian, sumber karbon yang berasal dari lignin
menunjukkan aktivitas enzim lakase yang optimum. Sedangkan sumber nitrogen
yang sesuai untuk produksi enzim lakase adalah pepton atau albumin. Pada
penelitian ini, tidak dilakukan pengujian mengenai pengaruh penambahan ion
Cu2+ dan Mn2+ terhadap produksi enzim lakase. Hal tersebut disebabkan karena
aktivitas enzim lakase lebih besar pengaruhnya akibat adanya senyawa organik

9
dibandingkan senyawa anorganik. Aktivitas enzim lakase meningkat pada hari
ke-17 sebesar 2.02 U/mL dan setelah itu terjadi penurunan.

3.2 Optimasi Medium untuk Proses Produksi


Kebutuhan medium yang digunakan antara skala penelitian dengan skala
industri memiliki perbedaan, dimana pada skala industri, faktor biaya produksi
menjadi salah satu faktor krusial yang menentukan penerapan bioproses pada
skala industri. Pada industri pulp dan kertas, optimasi medium bertujuan pula
untuk mengurangi jumlah inokulum yang digunakan dengan penggunaan nutrien
yang ekonomis.
Akhtar, et. al. (1997) melakukan penelitian mengenai penggunaan corn
steep liquor (CSL). Corn steep liquor berasal dari proses penggilingan basah
jagung, dimana jagung kering dicuci menggunakan larutan asam sulfur dalam
kondisi hangat. Selama proses, senyawa yang bersifat larut akan terlepas dan
mengalami fermentasi yang menghasilkan produk asam laktat yang terjadi
secara alami karena adanya bakteri. CSL memiliki fasa cairan yang memiliki
kandungan semi solid. Di dalam CSL, terdapat beberapa kandungan senyawa
antara lain, substansi kering, protein, asam laktat, dan glukosa. CSL yang
digunakan sebesar 0.5% basis berat kering kandungan padatan dari CSL.
Penambahan CSL sebagai substrat dapat mengurangi jumlah C.
subvermispora yang akan diinokulasi hingga mencapai dibawah 0.25 g/ton, baik
CSL yang tidak steril maupun telah disterilkan. Hal ini memberikan dampak bagi
biaya proses inokulasi sehingga dapat menurun. Penggunaan CSL berkaitan
dengan penghematan energi dan parameter tear index (tingkat kerobekan). CSL
yang tidak steril memberikan penghematan dan tear index yang lebih baik jika
dibandingkan dengan CSL yang telah disterilkan. Hal ini dapat disebabkan
karena terjadinya denaturasi beberapa protein penting yang dibutuhkan untuk
proses pertumbuhan jamur pada CSL yang telah disterilkan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Aktar, M., Lentz, M. J., Blanchette, R. A., dan Kirk, T. K. (1997): Corn Steep
Liquor Lowers The Amount of Inoculum for Biopulping, TAPPI Journal, 80,
161-164.

Chmelova, D.,Ondrejovic, M., Ondas, V., dan Sturdik, E. (2011): Influence of


Cultivation Conditions on Production of Lignocellulolytic Enzymes by
Ceriporiopsis subvermispora, Biologia, 66, 748-754.

Chmelova, D. dan Ondrejovic, M. (2013): Optimization of Nutrition Factors for


Ceriporiopsis subvermispora Biomass Production, International Journal of
Current Microbiology and Applied Sciences, 2, 206-218.

Kotiranta, H., Ushakova, N., dan Mukhin, V., A. (2007): Polypore


(Aphyllophorales, Basidiomycetes) studies in Russia. 2. Central Ural,
Annales Botanici Fennici, 44, 103-127.

Molina, L., Thomas, G., Umar, T., Ellen, M., Alexander, A. (2014). Real-Time
Kinetic Studies of Bacillus subtilis Oxalate Decarboxylase and Ceriporiopsis
subvermispora Oxalate Oxidase Using A Luminescent Oxygen Sensor.
Biochemical Technology, 5, 826-831.

Musa, B., Edy, B, Nelly, A., (2012): Identifikasi Fungi Pelapuk Jaringan Kayu Mati
yang Berperan pada Proses Biodelignifikasi di Taman Hutan Raya Bukit
Barisan Kabupaten Karo. Jurnal USU. 1.

Nishida, T., Y. Kashino, A. Mimura, Y. Takahara. (1988): Lignin Biodegradation


by Wood-Rotting Fungi I. Screening of Lignin-Degrading Fungi. Makuzai
Gakkaishi, 34, 530-536.

Rayner, A.D.M., dan L. Boddy (1988): Fungal Decomposition of Wood. It’s


Biology and Ecology. John Wiley and sons. New York.

Tello, M., Seelenfreund, D., Lobos, S., Gaskell, J., Cullen, D., dan Vicuna, R.
(2001): Isolation and characterization of homokaryotic strains from the
lignolytic basidiomycete Ceriporiopsis subvermispora, FEMS Microbiology
Letters, 199, 91-96.

Wang, C., Zhang, L., dan Xu, H. (2012): The effect of N+ ion implantation
mutagenesis on the laccase production of Ceriporiopsis subvermispora,
Biotechnology and Bioprocess Engineering, 17, 946-951.

ii
Data taksonomi Ceriporiopsis subvermispora diambil dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?id=914234
Diunduh pada tanggal 9 Oktober 2019.

Data taksonomi Ceriporiopsis subvermispora diambil dari:


https://www.uniprot.org/taxonomy/42742 Diunduh pada tanggal 9 Oktober
2019.

iii

Anda mungkin juga menyukai