Ceriporiopsis Subvermispora
Ceriporiopsis Subvermispora
BIOKATALIS
‘Ceriporiopsis subvermispora’
Dosen:
Oleh:
Tantry Eko Putri M. 23018016
Farah Nuranjani 23018017
Merymistika Yufrani Afred 23018030
Rizqan Jamal 23018044
i
I. Karakteristik dan Taksonomi
Bioproses dalam rangkaian proses pembuatan pulp dan kertas berperan
dalam tahapan pretreatment pulping (biopulping) dan biobleaching dengan
pemanfaatan jamur. Kelompok jamur yang mampu mendegradasi lignin
diantaranya adalah jamur pelapuk kayu, yang dikelompokkan menjadi jamur
pelapuk putih (white-rot jamur), jamur pelapuk coklat (brown-rot jamur) dan jamur
pelapuk lunak (soft-rot jamur). Salah satu yang termasuk dalam kelompok jamur
pelapuk putih adalah Gelatoporia subvermispora atau yang lebih dikenal
dengan nama ilmiah Ceriporiopsis subvermispora. Dalam hal ini jamur C.
subvermispora memiliki kemampuan untuk mendegradasi kandungan lignin
dalam kayu dengan memproduksi enzim lakase dan manganes peroksidase.
Karakteristik serta taksonomi dari jamur C. subvermispora adalah sebagai
berikut.
1
memiliki dua inti (hifa diploid) dan membentuk suatu badan (kantong)
yang disebut askokarp. Askokarp merupakan suatu kantong panjang
yang menghasilkan askospora.
2
Tabel 1. Kondisi Optimum C. subvermispora
C. subvermispora
Suhu optimum 270C sampai 37 0C
Kelembaban udara (Rh) 65%
pH 4,5 – 5,5
Parameter Kinetika
Parameter kinetika jamur C.subvermispora berdasarkan pengukuran
aktivitas enzim Mn-oksidase (OxOx) pada temperatur 25°C dengan luminescent
oxygen sensor disajikan pada tabel dibawah ini (Molina dkk, 2014).
Yield biomassa
Perolehan yield biomassa bergantung pada komposisi C, H, O, N dan
mikronutrien seperti mangan, data pada tabel dibawa ini. Kondisi optimal untuk
produksi biomassa Ceriporiopsis subvermisspora tidak sesuai dengan kondisi
optimum untuk produksi enzim lakase (metabolit sekunder) (Chmelová dan
Miroslav, 2013).
3
1.2 Taksonomi C. subvermispora
Tabel 4. Taksonomi C. subvermispora
Level Nama
Super Kingdom Eukariot
Opisthokonta
Kingdom Jamur
Subkingdom Dikarya
Filum Basidiomycota
Subfilum Agaricomycotina
Kelas Agaricomycetes
Agaricomycetes incertae sedis
Orde Polyporales
Famili Gelatoporiaceae
Genus Gelatoporia
Spesies sinonim
Gelatoporia subvermispora
4
Gambar 2. Ukuran Pengambilan Sampel Kayu
Isolasi Jamur
- Tahap pertama adalah penyediaan media campuran antara bubuk potato
dextrose agar (PDA) dengan air steril. Dalam pembuatanya diperlukan
19,5 g bubuk PDA untuk 500 mL air steril dicampurkan dengan 2 kapsul
antibiotik (kemisetin) yang berfungsi untuk mencegah perkembangbiakan
bakteri. Kemudian dipanaskan sampai mendidih pada hot plate dengan
suhu 200 °C serta diaduk dengan bantuan steerer selama prosesnya.
Setelah itu dibiarkan media hingga suhu tidak terlalu tinggi (hangat)
sehingga dapat dituang ke dalam cawan petri.
- PDA dituangkan ke dalam cawan petri di dalam laminar air flow untuk
mencegah kontaminasi dari udara. Dibiarkan selama 3 hari sehingga
media memadat dan untuk memastikan media steril atau terkontaminasi.
Bagian kayu yang terinfeksi jamur diambil, kemudian dibersihkan dengan
menggunakan air steril, dipotong persegi lalu dicuci dengan air steril
kemudian dikeringkan di atas tisu. Selanjutnya ditanam ke dalam media.
Diinkubasi cawan petri selama 3-4 hari pada rak kultur. Diamati
pertumbuhan jamur yang terbentuk. Biakan campuran yang tumbuh
selanjutnya dimurnikan pada media yang baru (Musa, dkk, 2012). Proses
penyiapan sample juga dapat dilakukan dengan cara substrat kayu lapuk
diambil sebanyak 5 g dihancurkan/digerus dalam mortar dengan pestil
yang sudah dibersihkan dengan alkohol 70%. Gerusan tersebut secara
aseptik dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer yang telah diisi dengan
aquades steril sebanyak 45 mL untuk memperoleh suatu suspensi sel
atau suspensi potongan hifa. Suspensi tersebut dikocok selama 1 menit,
selanjutnya dengan metode gores (streak), menggunakan jarum ose,
5
suspensi digoreskan ke permukaan agar medium PDA dalam cawan petri
(Gandjar dkk., 2006).
Identifikasi Jamur
Uji Bavendamm (suatu metode pengujian sederhana dalam menentukan
kultur jamur, apakah termasuk jamur pelapuk putih atau jamur pelapuk cokelat)
dibuat dengan menambahkan 0,1% asam tannin ke dalam media PDA (Nishida
dkk., 1988). Bila pada permukaan media terbentuk warna cokelat, hal ini
mengindikasikan adanya aktivitas fenol oksidase, maka jamur tersebut termasuk
kelompok jamur pelapuk putih (Rayner dan Boddy, 1988).
Jamur yang tumbuh pada media Bavendamm dipotong dengan dengan
ukuran 3 mm x 3 mm dan dipindahkan ke kaca preparat sebanyak 3 potongan,
kemudian ditutup dengan kaca objek. Diletakkan kaca preparat tersebut ke
dalam cawan petri dan diberikan pelembab berupa tisu steril yang dibasahi
dengan air steril. Diinkubasi kotak selama 5-6 hari, setelah itu dibuang agar-agar
yang ada pada kaca preparat, diamati dan diidentifikasi jamur yang terlihat pada
mikroskop menyangkut hifa, basidispora dan ciri khusus tiap jamur. Ciri-ciri yang
diperoleh dicocokkan dengan buku identifikasi jamur untuk menentukan genus
jamur yang tumbuh (Musa, dkk, 2012).
Pengembangan Inokulum
Tahapan pengembangan inokulum dilakukan dengan tujuan perbanyakan
sel jamur C. subvermispora. Metode yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
- Penyediaan media YMPG (yeast extract-malt extract-peptone-glucose).
- Ambil miselium jamur, potong-potong, dan buat pellet.
- Tanam jamur ke 20 mL media YMPG segar selama 18 jam pada suhu
25°C.
- Ambil miselium (dengan metode filtrasi) kemudian dilanjutkan dengan
tahapan pengenceran selanjutnya (Tello dkk 2001).
6
meningkatkan produksi enzim laccase, implantasi ion N+ menghasilkan starin
yang mampu menghasilkan laccase 4.79 kali lebih besar (Wang dkk 2012).
Metode implantasi ion N+ dapat dilakukan dengan cara berikut:
Preparasi sampel
- Mensuspensikan spora dan diinokulasikan ke PDA plate, inkubasi selama
5 hari pada suhu 28°C.
- Miselia diambil dan dicuci, kemudian difilter untuk mengambil spora.
Preparasi plaque implantation
- 0,5 mL suspensi spora dimasukkan ke dalam petri steril dan dikeringkan
dengan udara steril.
- Implantasi N+ digunakan dengan TITAN ion implanter dengan energi 30
keV dan 10-3 Pa. Ion diinjeksikan dengan 5 detik pulse injection dengan
variai volume injeksi.
- Sampel didilusi 10x lalu inkubasi pada suhu 28°C sampai koloni
terbentuk.
- Koloni diinokulasikan pada media guaiacol untuk memilih strain terbaik.
Aktivitas lakase diukur dengan menggunakan:
- Substrat = 2, 2'-azino-bis (3- ethylbenzthiazoline-6-sulphonic acid) (ABTS)
- Larutan reaksi = (0,5 mL substrat, 2 mL dapar natrium-sitrat (pH 5), 0.5
mL larutan enzim.
- Inkubasi 5 menit pada suhu 25°C.
- Ambil sampel dan dalam waktu 3 menit ukur absorbansi dengan
spektrofotometer.
7
Fase pertumbuhan
Jamur membutuhkan sumber energi untuk memperbanyak diri. Pada fase
ini, nutrisi pada medium, baik makronutrien maupun mikronutrien, diatur
sedemikian rupa hingga mencapai kondisi optimal untuk proses pertumbuhan
jamur. Chmelova dan Ondrejovic (2013) telah melakukan penelitian mengenai
optimasi nutrisi pada C. subvermispora, dimana pada penelitian tersebut medium
yang digunakan adalah basic mineral medium yang mengandung MgSO4. 7 H2O
0.5 g/L; NaCL 0.1 g/L; CaCl2 .2 H2O 0.1 g/L; CuSO4.5 H2O 0.1 mg/L; FeSO4.7
H2O 0.2 mg/L; MnSO4.H2O 0.02 mg/L dan ZnCl2 0.15 mg/L. Adapun komposisi
mediumnya adalah 50 mL medium cair yang mengandung basic mineral medium
dengan kandungan glukosa (0 – 100 g/L) sebagai sumber karbon dan hidrolisat
kasein (0 – 100 g/L) sebagai sumber nitrogen yang diinokulasi dengan 5 mL
suspensi miselium jamur. Kultur cair tersebut dijaga pada kondisi teraduk (min.
200 rpm) selama 15 hari pada temperatur 30°C dan pH 5.
Penggunaan komposisi ini menunjukkan jamur mencapai fase stasioner
setelah 12 hari dari awal kultivasi dan konsentrasi sumber karbon (glukosa)
menurun dibawah 1 g/L setelah 15 hari. Kemudian, produksi enzim lakase
diamati ketika konsentrasi glukosa pada medium mengalami penurunan hingga
mencapai titik kritisnya (sekitar 2 g/L). Berdasarkan penelitian ini, produksi enzim
lakase mencapai maksimum pada hari ke-19 seiring dengan menurunnya
produksi biomassa. Hal ini disebabkan karena setelah hari ke-15,
C.subvermispora tidak memiliki kandungan glukosa lagi sehingga fase
pertumbuhan diukur hanya sampai hari ke-15.
Konsentrasi glukosa yang terlalu rendah (0 g/L) tidak sesuai untuk
pertumbuhan jamur dan konsentrasi glukosa yang terlalu tinggi (100 g/L) akan
memberikan efek negatif bagi pertumbuhan jamur. Hasil yang diperoleh adalah
konsentrasi glukosa antara 15 – 50 g/L. Konsentrasi hidrolisat kasein yang terlalu
tinggi (50 – 100 g/L) memiliki efek negatif untuk pertumbuhan jamur sedangkan
konsentrasi hidrolisat kasein yang terlalu rendah (1, 1.66, dan 2.5 g/L)
menyebabkan pertumbuhan jamur menjadi lambat dan berhenti akibat kehabisan
sumber nitrogen. Selain kedua makronutrien tersebut, komposisi mikronutrien
diatur jumlahnya. Mikronutrien yang digunakan adalah ion magnesium, kalsium,
dan mangan (Mg2+, Ca2+, dan Mn2+). Ion Mg2+ dan Ca2+ menunjukkan tidak
memberikan efek pada pertumbuhan jamur sedangkan ion Mn2+ memberikan
8
pengaruh pada pertumbuhan jamur. Ion Mn2+ diperoleh dari senyawa MnSO4
yang terkandung pada basic mineral medium. Peningkatan konsentrasi ion Mn2+
akan meningkatkan pertumbuhan jamur. Berdasarkan hasil penelitian,
2+
konsentrasi ion Mn yang optimal berada pada rentang 0.203 sampai 0.797
mmol/L. Pada fase ini, kondisi nutrien yang baik untuk pertumbuhan jamur
adalah dengan konsentrasi glukosa 50 g/L dan nitrogen 25 g/L dengan
menghasilkan massa biomassa (jamur) sebesar 6.9 g/L. Pada fase ini juga,
aktivitas enzim lakase diukur dan menunjukkan nilai tertinggi yaitu 91.5 ± 0.5 U/L
pada komposisi medium dengan konsentrasi glukosa 32.5 g/L, konsentrasi
hidrolisat kasein 4.95 g/L, dan konsentrasi ion mangan 0.5 mmol/L serta 570.3 ±
71.0 U/L pada komposisi medium dengan konsentrasi glukosa 3.2 g/L,
konsentrasi hidrolisat kasein 17.5 g/L, dan konsentrasi ion mangan 0.5 mmol/L.
Kedua nilai aktivitas enzim lakase tersebut mengandung batas konsentrasi
hidrolisat kasein (4.95 g/L) dan glukosa (3.2 g/L).
9
dibandingkan senyawa anorganik. Aktivitas enzim lakase meningkat pada hari
ke-17 sebesar 2.02 U/mL dan setelah itu terjadi penurunan.
10
DAFTAR PUSTAKA
Aktar, M., Lentz, M. J., Blanchette, R. A., dan Kirk, T. K. (1997): Corn Steep
Liquor Lowers The Amount of Inoculum for Biopulping, TAPPI Journal, 80,
161-164.
Molina, L., Thomas, G., Umar, T., Ellen, M., Alexander, A. (2014). Real-Time
Kinetic Studies of Bacillus subtilis Oxalate Decarboxylase and Ceriporiopsis
subvermispora Oxalate Oxidase Using A Luminescent Oxygen Sensor.
Biochemical Technology, 5, 826-831.
Musa, B., Edy, B, Nelly, A., (2012): Identifikasi Fungi Pelapuk Jaringan Kayu Mati
yang Berperan pada Proses Biodelignifikasi di Taman Hutan Raya Bukit
Barisan Kabupaten Karo. Jurnal USU. 1.
Tello, M., Seelenfreund, D., Lobos, S., Gaskell, J., Cullen, D., dan Vicuna, R.
(2001): Isolation and characterization of homokaryotic strains from the
lignolytic basidiomycete Ceriporiopsis subvermispora, FEMS Microbiology
Letters, 199, 91-96.
Wang, C., Zhang, L., dan Xu, H. (2012): The effect of N+ ion implantation
mutagenesis on the laccase production of Ceriporiopsis subvermispora,
Biotechnology and Bioprocess Engineering, 17, 946-951.
ii
Data taksonomi Ceriporiopsis subvermispora diambil dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?id=914234
Diunduh pada tanggal 9 Oktober 2019.
iii